Di Kuartal Pertama 2020, Pendanaan Startup Indonesia Relatif Berjalan Normal

Pandemi Covid-19 telah memberikan dampak signifikan di berbagai sektor, tak terkecuali lanskap investasi. Menurut catatan Startup Genome, sejak permulaan krisis dalam dua bulan pertama tahun 2020, 57% dari total kesepakatan investasi pemodal ventura di Tiongkok telah terguncang. Kondisi tersebut turut diproyeksikan berdampak pada hilangnya potensi pendanaan startup senilai $28 miliar secara global.

Faktanya persebaran virus masih berlanjut. Banyak negara yang dibuat kalang-kabut dalam penanganannya, termasuk di Amerika Serikat dan Indonesia. Finch Capital, dalam laporan terbarunya, memprediksi krisis ini masih akan terus mengganggu ekosistem hingga Q3 2020 nanti, bahkan pemulihannya bisa membutuhkan waktu 12-18 bulan. Kondisi “normal baru” juga akan muncul, saat orang mulai terbiasa dengan layanan yang sepenuhnya digital.

Pendanaan startup Indonesia Q1 2020

Bedasarkan catatan DSResearch, pada periode Januari-Maret 2020 terdapat 20 transaksi pendanaan yang diumumkan startup Indonesia ke publik. Angka ini sebenarnya relatif normal jika dibandingkan dengan pendanaan periode yang sama tahun lalu. Menurut laporan Startup Report 2019 yang disusun DSResearch dengan dukungan Bank Mandiri dan Vidio, di periode yang sama tahun lalu (Q1 2019) ada 27 transaksi pendanaan yang diumumkan ke publik.

Startup Pendanaan
YukStay Seed Funding
Chilibeli Series A
Nusantics Seed Funding
Pahamify Seed Funding
Gojek Series F
Digiasia Bios Series B
Giladiskon Seed Funding
Datasaur Seed Funding
Visinema Series A
Greenly Seed Funding
Printerous Series A
Hukumonline Series A
Vutura Seed Funding
Arkademi Seed Funding
Gredu Pre-Series A
Zulu Seed Funding
Moladin Pre-Series A
Waresix Series A
Hacktiv8 Pre-Series A
Svara Seed Funding

Dirinci lebih dalam, pendanaan yang dikuncurkan investor kebanyakan di tahap awal, berkisar antara seed dan series A. Artinya inovasi yang dilahirkan startup baru masih memukau para investor di tengah kondisi pasar yang bergejolak.

Di tengah daftar juga ada pendanan Seri F yang kembali didapat Gojek mencapai 21 triliun Rupiah – kembali mengindikasikan kepercayaan investor untuk startup besar.

Untuk kondisi di Asia secara umum, merujuk pada daftar pendanaan yang diumumkan ke publik, CB Insight mencatat sepanjang Q1 2020 private market funding di Asia berpotensi membukukan $20 miliar. Nilainya turun 35% dibandingkan Q4 2019 yang mencapai $31 miliar.

Baru permulaan?

Analisis lain mengatakan, dampak yang sebenarnya dari pandemi mungkin baru akan terasa di Q2 2020. Perolehan di Q1 biasanya merupakan hasil kesepakatan yang sudah dilakukan sejak tahun 2019. Seperti diketahui, rata-rata startup membutuhkan waktu 6-12 bulan untuk melahirkan kesepakatan dengan pemodal ventura.

Terkait dengan ini, CB Insight melaporkan data temuannya. Menurut proyeksinya, sepanjang kuartal pertama 2020 kesepakatan pendanaan tahap awal yang paling terganggu.

Secara global penurunannya, secara jumlah transaksi, ditaksir mencapai 8% dibanding kuartal sebelumnya. Di Asia kondisinya lebih ekstrem, karena penurunannya mencapai 24%, berdasarkan jumlah transaksi, dibanding kuartal sebelumnya.

Dengan data yang ada, bisa dibilang tren investasi Q1 2020 di Indonesia belum terdampak terlalu serius. Secara regional, Sequoia Capital India menyatakan sudah berinvestasi tahap awal ke tiga startup, sementara pemodal ventura Rocket Internet yang berbasis Singapura, Global Founders Capital, telah berinvestasi tahap awal ke dua startup.

VC menyesuaikan

Menanggapi kondisi ini, Co-Founder & Managing Partner East Ventures Willson Cuaca menyampaikan bahwa perusahaannya tetap akan melakukan investasi ke startup seperti waktu-waktu sebelumnya. Menurutnya, perlambatan dalam kesepakatan mungkin saja terjadi –tanpa pembatalan—karena beberapa startup mulai menggeser fokus bisnisnya menyesuaikan pangsa pasar.

“Kalau hujan berinvestasi untuk payung, kalau panas untuk topi,” begitu ujar Willson menganalogikan, seperti dikutip Bisnis.com.

Selama kuartal pertama, mereka telah berinvestasi setidaknya ke empat startup Indonesia, yakni Hacktiv8, Moladin, Greenly, dan Nusantics. Yang terakhir, East Ventures dan sejumlah portofolionya membantu Nusantics melakukan penggalangan dana untuk membuat tes PCR mandiri dengan meluncurkan inisiatif “Indonesia Pasti Bisa”.

Hal senada dilayangkan CEO Mandiri Capital Indonesia Eddi Danusaputro. Menurutnya pandemi jelas akan mempengaruhi proses pendanaan startup di Indonesia. Kendati demikian, pihaknya masih terus aktif untuk menemukan startup yang layak didanai, salah satunya dengan melakukan sesi pitching secara online.

“Pada 2020 kami ada budget Rp50 miliar untuk dua hingga tiga investasi baru. Juga menyiapkan dana Rp50 miliar untuk pendanaan lanjutan. Startup yang diincar adalah fintech yang harus bisa sinergi dengan Mandiri Group seperti insurtech dan remittance,” terang Eddi seperti dikutip Kontan.

Di sisi lain, beberapa rencana modal ventura mulai terganggu. Pada November 2019 lalu, Mandiri Capital mengumumkan hendak mengumpulkan dana kelolaan (venture fund) yang bernilai total $100 juta. Karena Covid-19, pihaknya sulit untuk melakukan roadshow pengumpulan dana investor ke Jepang, Korea Selatan, dan beberapa negara tujuan lainnya. Kemungkinan penggalangan dana ini dilanjutkan di Q3 2020 jika pandemi benar-benar berakhir.

Strategi Salim Group Berinvestasi di Startup

Meski kiprah Salim Group dalam pendanaan startup digital tidak sekencang konglomerasi yang lain, sepak terjangnya tidak bisa diragukan. Tercatat ada beberapa investasi besar yang pernah dilakukan, seperti Elevenia, iLotte, Jagadiri, dan KlikIndomaret agar tetap sejalan dengan perkembangan zaman.

Ditemui saat konferensi tahunan NextICorn 2019 di Bali, Portfolio Manager Salim Group Edmund Carulli banyak menceritakan tentang strategi Salim Group dalam berinvestasi, baik untuk startup digital maupun non digital.

Salim Group tidak memiliki investment arm khusus saat menyalurkan pendanaannya. Mereka membentuk divisi khusus yang posisinya langsung di bawah grup, dinamai Innovation Factory.

Divisi ini khusus menyalurkan pendanaan tahap awal. Yang tidak termasuk dalam investasi ini adalah porsi untuk Elevenia, iLotte, Jagadiri, dan KlikIndomaret.

Tercatat ada 25 startup yang masuk ke dalam portofolio sejak memulai debutnya tiga tahun lalu. Startup tersebut bergerak di berbagai segmen, seperti SaaS, fintech, agrikultur, makanan, kecantikan, edukasi, dan otomotif.

“Dari 25 startup itu, beberapa di antaranya adalah tech startup,” terangnya, kemarin (14/11).

Masuk ke pendanaan tahap awal sebenarnya memiliki risiko tersendiri. Namun, Edmund menilai keputusan ini diambil karena filosofi investasi grup adalah bersama-sama bangun startup dari awal, agar nantinya dapat sejalan dengan visi besar grup.

Edmund menjelaskan setiap investasi yang diberikan, pihaknya tidak selalu mengambil saham mayoritas dari startup tersebut. Dari 25 portfolio, hanya sedikit diantaranya yang mayoritas.

Di samping itu, investasi yang dikucurkan saat ini masih dilakukan sendiri tanpa co-invest dengan investor lain. “Co-invest betul kita belum pernah co-invest, tapi tidak menutup kemungkinan [co-invest dengan investor lain].”

Filosofi investasi Salim Group

Seperti CVC kebanyakan, Salim Group cenderung lebih memilih startup yang memiliki unsur berkaitan dengan lini bisnisnya agar dapat mendukung eskalasi bisnis existing. Industri pendukung lainnya seperti fintech dan SaaS juga turut dicari, meski tidak dilakukan secara agresif.

Edmund memastikan Salim Group tidak melulu harus investasi. Bisa juga dengan sinergi bisnis. Intinya bagaimana mereka bisa memperkaya dan meningkatkan operasional di bisnis utama grup.

“Filosofi kami mencari startup bisa sinergi dengan bisnis di grup, terbesar ada Indomaret dan Indofood. Makanya kami cari startup yang bisa bantu kami untuk bantu ke sana.”

Di samping itu, preferensi startup yang dipilih adalah mulai mengarah pada pertumbuhan yang berkelanjutan. Tujuannya agar ekosistem startup lebih sehat, bagaimana mendorong mereka untuk tetap sustain ke depannya tanpa harus selalu bakar duit.

“Dari awal kita tidak percaya dengan startup yang burning money, yang kita cari adalah sustainable growth. Jadi kita cari startup yang punya bottom line-nya EBITDA positif, dari awal kita push ke sana.”

Portofolio juga berkesempatan untuk masuk ke dalam ekosistem digital Salim Group. Dari 25 portofolio startup, mereka bisa saling bersinergi satu sama lain. Pun demikian dengan seluruh entitas dalam Salim Group itu sendiri, meski tidak bisa integrasi secara langsung karena butuh proses.

Edmund menerangkan tahun ini perusahaan telah berinvestasi melalui Skala, program akselerator yang dibuat bersama Gree Ventures. Tanpa menyebut rinci, perusahaan telah berinvestasi tahap awal ke tiga startup.

“Dalam inkubator itu kita bina tiga startup selama tiga bulan, lalu kita danai di tahap awal. Sampai tahun ini sudah selesai, baru tahun depan kita akan mulai investasi baru lagi,” pungkasnya.

Pandangan Investor tentang Kesenjangan Pendanaan Awal di Industri Startup Indonesia

Popularitas bisnis digital di Indonesia dalam beberapa tahun belakangan membawa berkah bagi para investor. Pada 2018, Menristekdikti Mohamad Nasir sempat menyebutkan terdapat 956 startup di Indonesia dalam empat tahun terakhir.

Meroketnya industri startup turut mendorong iklim investasi. Startup bergerak cepat dalam mengembangkan inovasi yang memicu Venture Capital (VC) untuk berinvestasi dengan harapan return besar dan boom, industri VC tumbuh subur di Indonesia. Deal investasi semakin banyak, cuan ikut meningkat.

Sampai saat ini, ada banyak VC yang aktif memberikan pendanaan di Indonesia. Fokusnya beragam, mulai dari fokus pada pendanaan tahap awal (early stage) hingga penggalangan dana putaran akhir (later stage), seperti yang diterima Gojek dan Tokopedia.

Tidak ada yang menyangka model bisnis yang dijalankan keduanya berhasil merebut pasar di Tanah Air. Keduanya kini memiliki kesamaan, yakni sama-sama mengantongi valuasi tinggi yang mengantarkannya pada status unicorn dan memperoleh investasi yang terbilang sebagai pendanaan terbesar di Indonesia untuk saat ini.

Tahun lalu Tokopedia memperoleh pendanaan yang dipimpin Softbank dan Alibaba senilai $1,1 miliar atau setara Rp16 triliun. Sementara, Gojek dikabarkan bakal mendapatkan pendanaan seri F senilai $3 miliar dalam waktu dekat. Sebuah angka fantastis yang tidak pernah terpikirkan ketika keduanya merintis bisnis.

Semakin ke sini, ekosistem startup semakin terbentuk. Hal ini memicu sejumlah VC mulai aktif berinvestasi di Indonesia, termasuk kemunculan VC baru, seperti Venturra Discovery. Ekosistem startup kita juga banyak dimotori oleh kehadiran program inkubator dan akselerator.

Bukan berarti iklim investasi sepi-sepi saja pada masa-masa awal ekosistem startup terbangun. Co-founder dan CEO DailySocial Rama Mamuaya mengungkap, investasi startup pada 2014 ke belakang sangat aktif.

Ia mencontohkan e-commerce fashion wanita Berrybenka mendapat pendanaan seri B senilai $5 juta dari TransCosmos dan Gree Ventures. Angka $5 juta terbilang sangat besar untuk ukuran industri yang baru berkembang saat itu. Jika bicara kondisi sekarang, investasi $5 juta sudah sangat mungkin diperoleh startup sebagai pendanaan tahap awal.

Ada sejumlah faktor mengapa para investor kini mulai mengucurkan pendanaan seed dalam jumlah besar. Bisa jadi karena industri yang semakin matang hingga berubahnya mindset investor dalam berinvestasi di industri startup.

Meningkatnya nilai pendanaan seed dan perubahan mindset investor

Fenomena kesenjangan (gap) pada pendanaan tahap awal (pre-seed, seed, dan seri A) sebetulnya tidak mampir begitu saja. Pasar Amerika Serikat (AS) yang merupakan kiblat industri digital dunia juga sempat mengalaminya. Mengingat pasar digital AS dimulai sejak era 1999, tren pendanaan tahap awal VC di AS baru booming pada 2006.

Seperti dikutip dari artikel “Why Has Seed Investing Declined? And What Does This Mean for the Future?”, pendanaan tahap awal di AS sempat mengalami kemerosotan. Hal ini bukan disebabkan oleh kemauan VC untuk berinvestasi dalam jumlah kecil, melainkan perkembangan teknologi yang membuat biaya untuk meluncurkan dan mengembangkan produk startup semakin murah.

Bagaimana di Indonesia? Fenomena gap ini disebut mulai terjadi sejak dua-tiga tahun belakangan. Ada yang menyebutkan gap pendanaan tahap awal membuat para VC kini berinvestasi dalam jumlah kecil dengan nilai berkisar $100 ribu-$500 ribu. Ada juga yang mengatakan bahwa sesungguhnya gap ini paling dirasakan pada pendanaan seri A.

Saat ini, belum ada data yang dapat menunjukkan tren penurunan nilai pendanaan seed selama tiga-empat tahun terakhir. Hal ini karena sejumlah kesepakatan memang sengaja tidak umumkan agar startup dapat fokus untuk membangun produk dan terhindar dari publisitas pasar. Alhasil data yang tersedia saat ini hanya menampilkan jumlah deal untuk pendanaan seed dalam tiga tahun terakhir.

Namun, dari segi jumlah deal, pertumbuhan pendanaan tahap awal tidak terlalu signifikan. Startup Report DailySocial mencatat jumlah pendanaan seed (tidak termasuk pre-seed) mengalami naik-turun, antara lain 28 deal (2016) lalu naik menjadi 32 deal (2017), dan turun drastis ke 21 deal (2018). Sementara, pendanaan seri A mengalami penurunan drastis sebanyak 19 deal (2018) dari 29 deal (2017).

Investasi startup tahap awal dan series A di Indonesia
Jumlah deal pendanaan startup tahap awal dan series A di Indonesia

Berdasarkan wawancara DailySocial dengan sejumlah VC di Indonesia, beberapa di antaranya mengakui adanya gap tersebut. Head of Investment MDI Ventures Aldi Adrian Hartanto menilai stage wise untuk pendanaan seed mulai menjadi masalah karena perolehan dana investasi yang dikelola VC semakin meningkat.

Sebagai contoh saja, dalam dua tahun terakhir, ada beberapa startup yang telah memperoleh penggalangan dana tahap awal dengan nilai besar. Contohnya, Ajaib mendapat suntikan dana sebesar $2,1 juta (Rp29,6 miliar). Adalagi platform agregator logistik Shipper yang menerima investasi awal $5 juta (Rp70,1 miliar).

Nah, karena tren ini, Aldi menilai tidak masuk akal apabila VC memberikan investasi dalam jumlah kecil lagi. Alih-alih menahan pendanaan seed, industri VC justru meningkatkan besaran investasinya. Kondisi ini juga membuat sejumlah VC beralih fokus pada startup di growth round karena pengalamannya terbukti dan risikonya kecil.

“Karena banyak kekosongan [investasi] di seed, kondisi ini akhirnya memaksa startup yang masih berada di tahap itu untuk sekalian saja menggalang dana dalam nilai yang lebih besar,” ungkap Aldi beberapa waktu lalu.

Nilai pendanaan seed yang diumumkan dalam 5 tahun terakhir
Deretan pendanaan seed yang diumumkan dalam 5 tahun terakhir

Fenomena ini berkebalikan dengan kondisi di 2014 ke belakang di mana saat itu belum ada sektor bisnis yang menunjukkan dominasinya. Pertumbuhan industri baru berkembang dan startup masih mencari model bisnis yang tepat. Masuk akal jika investor belum berani berinvestasi di later stage karena berisiko gagal.

Seiring berjalan waktu, industri startup di Tanah Air semakin matang. Dominasi mulai ditunjukkan oleh keberhasilan sejumlah pelaku startup dalam menjalankan bisnis e-commerce, ride-hailing, dan online travel. Seleksi alam pun terjadi di mana ada banyak startup yang gagal dan investor memilih jalur exit lewat merger dan akuisisi.

Kini, investor mengalami perubahan mindset di mana startup yang ingin menggalang pendanaan awal harus memiliki rencana traction dan monetisasi yang jelas. Dengan kata lain, investor semakin selektif dalam berinvestasi.

Menurutnya, perusahaan VC kini cenderung konservatif. Hipotesisnya tak lagi sebatas pada visi dan misi para founder, tetapi termasuk bagaimana startup memiliki rencana monetisasi yang jelas dalam beberapa tahun ke depan, cara untuk scale up untuk pengembangan bisnis, dan tidak hanya fokus dalam mencari pendanaan saja.

Ia menilai akan sangat berbahaya bagi investor apabila menaruh uang di awal dalam nilai besar pada sebuah startup hanya bermodalkan produk, tanpa tahu rencana monetisasi untuk menuju profitabilitas.

Sebagaimana kita tahu, pendanaan tahap awal atau biasa disebut seed mengacu pada penanaman modal di awal untuk mendukung bisnis sebuah startup sampai dapat menghasilkan uang sendiri atau sampai penggalangan dana berikutnya. Startup tahap awal biasanya belum memiliki traction.

Partner Venturra Discovery Raditya Pramana juga menilai bahwa tidak tepat apabila startup menggalang investasi besar di awal dengan traction yang nihil. Menurutnya ada banyak yang harus dilakukan startup untuk mencapai sebuah valuasi.

“Di Indonesia, pendanaan seed $1 juta itu normal, kan valuasi jadi naik. Pasar makin kompetitif, semakin banyak orang ingin menaruh uang dalam jumlah besar. Yang utama itu orang mau mengambil uang dalam jumlah besar dengan valuasi besar,” ujarnya.

Pria yang karib disapa Adit ini menilai gap pendanaan tahap awal mulai berangsur mengecil sejalan dengan kemunculan VC baru yang fokus untuk mengisi kekosongan pendanaan seed di Indonesia.

Dampaknya bagi industri VC dan startup

Mindset investor tetap mengacu pada cuan. Memberikan investasi awal dalam jumlah besar tentu berisiko. Tetapi ada keuntungan yang dapat dirasakan bagi investor dan startup. Kami mencatat beberapa poin penting dari para VC terkait dampaknya bagi ekosistem startup di Indonesia.

Partner Alpha JWC Erika Dianasari menilai berkurangnya pendanaan VC pada seed justru membuka pintu bagi angel investor untuk berinvestasi di Indonesia. Di sisi lain, tren pendanaan awal yang lebih besar justru dapat memperkuat fondasi para founder startup untuk lebih giat dalam membangun bisnisnya.

“Hal lain menjadi poin penting, seleksi alam akan terjadi antara pemain berkualitas dan bisnis yang solid. Ketika investor lihat potensi besar startup, kenapa tidak kita investasi lebih? Dengan begitu tim dapat fokus membangun milestone sambil membebaskan founder dari distraksi lain,” jelasnya kepada DailySocial.

Sementara menurut Aldi, tren pendanaan tahap awal dengan nilai besar memberikan nilai tambah bagi startup untuk memiliki kesempatan meraih pertumbuhan awal lebih cepat dari sebelumnya. Dengan pendanaan ini, startup dapat memaksimalkan pengembangan produk demi menggaet traction dan mempercepat pencapaian valuasi.

Soal pencapaian valuasi memang tidak bisa kita bandingkan pada lima tahun ke belakang. Startup masih kesulitan untuk membuahkan traction karena sejumlah faktor, seperti ekosistem digital di Indonesia yang belum matang, infrastruktur yang masih minim, hingga rendahnya awareness masyarakat terhadap layanan digital kala itu.

“Startup dapat berkembang menjadi lebih cepat karena mereka didukung oleh pendanaan yang besar. Hal ini tentu bagus [bagi industri startup], tetapi bisa berdampak buruk karena dapat menciptakan gelembung [ekonomi]. Ini sebaiknya dihindari agar [pendanaan] seed bisa balance lagi,” ucap Aldi.

Sementara itu, Adit menilai tingginya penggalangan dana untuk seed dapat mendorong industri VC. Menurutnya, semakin tinggi investasi yang dikucurkan, akan semakin besar juga fee yang dikantongi VC. Artinya, keuntungan ini dapat dimanfatkan perusahaan untuk melakukan ekspansi tim, serta membangun kapabilitas dan defensibilitas sebuah VC.

Ia mencontohkan, penggalangan dana sebesar $10 juta dan $100 juta tentu akan berbeda pengelolaannya, demikian juga fee yang diterima. Bayangkan jika VC mendapat dua persen fee atau $2 juta per tahun dari $100 juta, tentu ini lebih menguntungkan bagi pengembangan bisnis VC.

“Sebagai investor, kalau beli barang karena kualitas bagus tapi untung kecil buat apa? Nah, kalau saya bayar mahal sekarang [investasi di seed], tidak apa deh karena valuasinya bakal besar,” papar Adit.

Di sisi lain, Adit memprediksi tren pendanaan seed dalam ticket size yang lebih besar akan terus berlanjut sampai terjadi market correction yang masif. Menurutnya, jika market correction di pasar saham terjadi, hal ini akan berdampak pada valuasi startup yang didanainya dan membuat private market seperti VC ikut jatuh.

Dari paparan di atas, kita dapat sepakat bahwa pendanaan tahap awal di Indonesia masih cukup aktif meskipun tidak tumbuh secara signifikan. Bahwasannya juga, VC sudah mengubah mindset berinvestasi sejalan dengan perkembangan industri dan lanskap bisnis digital di Indonesia.

Peluang investasi di Indonesia menjadi tak terbatas mengingat VC tak lagi menyuntik pendanaan pada startup yang mengembangkan produk murni teknologi. Kini, VC juga sudah mulai masuk ke startup tech enabler dengan model bisnis konvensional, seperti coffee chain dan warung tradisional.

Meminjam sebuah istilah, tren “pendanaan seed masa kini adalah seri A di masa lalu, dan pre-seed adalah seed lama” di Indonesia sebetulnya kini telah dimulai.

Marsya Nabila berkontribusi dalam pembuatan artikel in-depth ini.

East Ventures Masih Akan Terus Menambah Portofolio Startup Baru di Tahun 2019

Sebagai salah satu modal ventura yang cukup aktif memberikan pendanaan, East Ventures konsisten dengan misi mereka membantu startup early stage. Mengklaim bersifat agnostik, pihaknya mengatakan tidak memiliki kriteria khusus mengenai startup kategori apa yang bakal diinvestasi.

Saat ini East Ventures telah berinvestasi di ratusan perusahaan di Indonesia, Singapura, Jepang, Malaysia, dan Thailand. Mayoritas portofolio East Ventures mampu mendapatkan pendanaan lanjutan, mendominasi pasar dan bahkan menjadi pemimpin di bidangnya.

Di antara startup yang saat ini sudah sukses dan masih mendapatkan pendanaan tahapan lanjutan adalah Tokopedia, Traveloka, Ruangguru, Warung Pintar, Disdus (diakuisisi oleh Groupon), Kudo (diakuisisi oleh Grab), Loket (diakuisisi oleh Gojek), Shopback, Techinasia, IDN Media, Moka, CoHive, dan Omise.

Menurut Partner East Ventures Melisa Irene, memasuki usia yang ke 10 tahun bulan Oktober mendatang, East Ventures masih memiliki rencana untuk terus memberikan pendanaan tahap awal kepada startup Indonesia. Sedikitnya sudah 30 startup yang mendapatkan pendanaan tahun 2018 lalu. Dan tahun 2019 ini, East Ventures memiliki target untuk menambah jumlah tersebut.

“Selama 6 bulan terakhir kami sudah closed 12 deal, saat ini 6 startup sedang dalam tahap persiapan dan target closed East Ventures adalah 24 startup sampai kuartal tiga mendatang,” kata Melisa.

Selain mendukung berbagai startup, East Ventures juga mengembangkan tiga proyek internal di Indonesia yaitu CoHive, Warung Pintar dan Fore Coffee. Ketiga proyek tersebut berhasil menemukan produk yang tepat untuk pasar (product market fit) dan kemudian berdiri menjadi startup mandiri.

Menurut Melisa, keputusan East Ventures untuk menjalankan proyek dengan menempatkan tim East Ventures adalah melihat peluang dan ekosistem yang mendukung untuk meluncurkan proyek tersebut.

“Saya juga melihat belum ada entrepreneur yang bisa menawarkan kepada kami solusi yang kemudian kami jalankan sebagai proyek internal,” kata Melisa.

Awal tahun ini, East Ventures memperkenalkan hipotesis investasi baru, yaitu New Consumption. Beberapa portofolio East Ventures yang sejalan dengan hipotesis tersebut adalah Fore Coffee dan juga The FIT Company, startup yang memanfaatkan teknologi dalam membangun wellness ecosystem dengan misi membantu individu mencapai tujuan hidup sehat.

Pentingnya Product Market Fit

Bagi East Ventures, semua model bisnis jika memiliki inovasi yang menarik, tim yang solid dan potensi yang menjanjikan, pastinya akan menjadi perhatian untuk diberi pendanaan. Di East Ventures sendiri terdapat tiga poin penting yang diterapkan saat proses kurasi startup dilakukan. Di antaranya adalah people, potensial market dan product.

“Kita juga menyarankan startup tersebut sudah mengerti dengan baik product market fit. Jika startup sudah melakukan proses tersebut, kami sebagai investor akan melirik produk yang ditawarkan,” kata melisa.

Disinggung apakah dalam waktu ke depan East Ventures tertarik untuk berinvestasi kepada e-sports, Melisa menegaskan untuk saat ini belum tertarik. Sebagai modal ventura, East Ventures tidak tertarik memberikan pendanaan kepada industri yang hanya bersifat trending dan hype saja, namun belum bisa menjanjikan masa depannya secara long term.

“Kita melihat e-sports, meskipun sangat populer saat ini hanya bersifat hype sesaat saja, sementara secara long term prospeknya belum terlihat menjanjikan,” kata Melisa.

“New Consumption” Jadi Hipotesis Baru Investasi East Ventures Tahun Ini

East Ventures, yang spesialis mendanai startup tahap awal, mengungkapkan segmen new consumption menjadi hipotesis terbaru yang bakal mewarnai tren investasi pada tahun ini. Di samping itu, startup yang bergerak di bidang gaya hidup, wellness, kesehatan, O2O integration, dan new retail menjadi perhatian perusahaan modal ventura yang berpusat di Singapura tersebut.

“Tiap tahun kita selalu datang dengan hipotesis yang berbeda, cukup tematik. Ada naratif tertentu di belakangnya. Apakah lifestyle atau entertainment sebenarnya [kita] enggak begitu particular vertical. Intinya sekarang GDP Indonesia sudah mulai naik, artinya ada kebutuhan tidak dasar lagi yang mulai dicari orang. Di semua negara berkembang pasti begitu [arahnya],” katanya Managing Partner East Ventures Willson Cuaca.

Segmen ini, menurutnya, tidak akan bisa terjadi apabila mundur ke 10 tahun belakangan. Pada saat itu, ekosistem digital di Indonesia belum terbangun secara menyeluruh dan terintegrasi, baik dari sistem pembayaran, logistik, dan layanan e-commerce. Sekarang kondisinya sudah berbeda jauh dan membuatnya jadi lebih efisien.

Willson mencontohkan, Fitmee, salah satu lini usaha dari The Fit Company yang baru mendapat pendanaan dari East Ventures, adalah bentuk new consumption. Fitmee adalah brand baru tapi model bisnisnya tidak kuno karena tetap menjual mie instan, namun menggunakan bahan-bahan yang sehat.

Kasus yang sama juga terjadi untuk Fore Coffee, konsepnya tetap berjualan kopi tapi bisa dipesan secara online dan diantar oleh kurir instan. Sebagai catatan, Fore Coffee adalah proyek percobaan baru East Ventures, setelah Co-Hive dan Warung Pintar.

“Kita ada hipotesis kenapa orang harus ke Starbucks? [saat mau ngopi], kenapa harus nongkrong di sana? Gimana kalau kopi bisa diantar ke tempat mereka? Mungkin enggak? [kalau sekarang] ya mungkin, tapi mungkin enggak kalau ini terjadi di 10 tahun lalu? Ya enggak mungkin.”

Willson mengaku tahun ini East Ventures akan terus berinvestasi ke startup. Bahkan disebutkan dalam seminggu melakukan close deal dengan dua sampai tiga startup. Terkait dana investasinya, dia mengklaim East Ventures masih memiliki persediaan dari penggalangan sebelumnya.

East Ventures terakhir kali mengumpulkan fund sebesar US$30 juta pada akhir 2017. Dana tersebut difokuskan untuk berinvestasi di Indonesia, dengan nominal dari pendanaan tahap awal dan seri A. Secara rutin, perusahaan melakukan penggalangan dana dari para investornya tiap dua tahun sekali karena sangat aktif berinvestasi.

Membaca tren lewat hipotesis

Pada kesempatan terpisah, saat Willson menjadi pembicara dalam Indonesia PE-VC Summit 2019 pekan lalu, dia menyebut berbagai hipotesis sudah dibuat East Ventures sejak awal kehadirannya. Pada tahun pertama, East Ventures aktif berinvestasi ke platform e-commerce karena Indonesia belum memiliki ekosistemnya.

“Jika Anda sadari, dari perjalanan komputer mulai dari konsumer lalu sampai ke tahap enterprise. Sama seperti Indonesia, di mana kami mulai dari e-commerce. Di 2013, kami datang kembali dengan hipotesis baru yakni SME, kami pun banyak berinvestasi di sana.”

Berikutnya, hipotesis baru berdatangan yakni SaaS lalu O2O. Segmen baru ini dengan cepat dimasuki East Ventures sehingga terkesan ada di posisi terdepan dibandingkan VC lainnya. Willson menggambarkan sebagai VC yang fokus di pendanaan awal harus selalu ada di depan gelombang, timing memainkan peran yang begitu penting.

“Jika Anda berada di belakang gelombang, maka Anda hanya dapat melihat gelombang. Penting bagi orang-orang tahap awal untuk menangkap pergerakan sebelum menjadi tren.”

Saat ini East Ventures memiliki sekitar 140 portofolio, 20 startup di antaranya telah tutup. Willson menyebut rasio ini dianggap lebih baik daripada teori yang umum dipaparkan industri. Umumnya rasio dari 10 startup yang dapat bertahan itu hanya satu.

Di sisi East Ventures, rasionya dari 10 startup yang diinvestasikan hanya dua yang mati, delapan di antaranya masih tetap hidup. Ada juga yang sudah exit karena diakuisisi perusahaan lain, contohnya Cermati, Disdus, Kudo, dan Loket.

Diklaim 70% startup Indonesia yang meraih pendanaan Seri A mendapat pendanaan tahap awal dari East Ventures.

Tidak kontrol portofolio startup

Meski banyak porfolio yang dikelola East Ventures, Willson mengaku pihaknya tidak melakukan kontrol terhadap perusahaan tersebut. Mereka juga tidak memberikan mentoring seperti yang ditawarkan VC lain. Dia percaya apabila founder itu adalah seorang wirausahawan sejati, maka harus tahu dasar-dasar administrasi bisnis.

Apabila founder tersebut baru pertama kali merintis startup, maka mereka harus memiliki cepat dan terampil dalam berbagai hal. Hal ini selaras hipotesis lainnya yang dibuat East Ventures, bahwa founder harus bisa membedakan antara visi, strategi, dan taktis.

Founder harus bisa menyelaraskan visi dan bagaimana memberi solusi atas masalah besar. Berbicara tentang strategi, pihaknya hanya memberi nasihat, tapi tidak memberi saran sampai di tahap taktis.

“Jadi kami setuju bahwa Anda harus pergi [ambil keputusan] ke sana tapi apakah Anda belok kiri atau kanan itu terserah Anda. Kami akan mengajari Anda apa yang harus dihindari, bukan apa yang harus dilakukan.”

“Karena jika kami mengajari Anda apa yang harus dilakukan, Anda akan terbatas pada batas-batas yang saya ajari. Jika kami mengajarkan 10, Anda akan sampai di 9 atau 9,5 saja. Tapi jika kita mengajarinya untuk tidak melakukan kesalahan, maka Anda bisa terbang ke langit,” pungkasnya.

Agensi Performa Digital Valuklik Dapatkan Investasi dari East Ventures

Agensi performa digital Valuklik yang berbasis di Indonesia mengumumkan perolehan investasi tahap awal dari East Ventures dengan nilai yang tak disebutkan. Pendanaan ini akan digunakan untuk melanjutkan ekspansi dalam bisnis pemasaran digital di Indonesia. Didirikan tahun 2013 oleh serial entrepreneur Cleosent Randing, Valuklik telah bekerja sama dengan sejumlah perusahaan ternama, seperti Telkomsel, BNI, L’Oreal, Elevenia, dan BCA.

Continue reading Agensi Performa Digital Valuklik Dapatkan Investasi dari East Ventures