Nusantics Biotech Startup Secures Seed Funding from East Ventures

A startup in the genomic tech sector, Nusantics, announced seed funding from East Ventures at undisclosed value. The fresh money is to be channeled to accelerate the company’s mission in leading the genome industry in Indonesia.

The startup was founded last year by Sharlini Eriza Putri (CEO), Vincent Kurniawan (COO), and Revata Utama (CTO). The three hold various backgrounds in academics, in the manufacture, FMCG, clean energy, aerospace, and biotechnology.

They believe in the science of biology, especially the microbiome, as one of the most essential parts of working a sustainable solution to human problems.

As a tech-based startup, Nusantics focused on the development of the implementation of various genome and microbiome research to fulfill a sustainable and healthy lifestyle demand.

Microbiomes are complex ecosystems consisting of microorganisms such as bacteria, viruses, to fungi that live on the surface and in the bodies of all living things, including humans. Every person has a unique microbiome profile that plays an important role in their immune system.

“Consumers can avoid mistakes in using skincare products if they understand the profile of their respective skin microbiomes. This is the solution provided by Nusantics,” Nusantics’ Co-Founder and CEO Sharlini Eriza Putri said in an official statement, Friday (3/20).

With a specialization in microbiomes, Nusantics conducts skin analysis to help industry and consumers consider the impact of each of their decisions on the health and sustainability of nature. This is claimed to be a new approach that was previously carried out for consumers in the lifestyle industry.

Sharlini explained, in various studies in the field of genomics showing healthy skin is skin that has diverse and balanced microbiomes. However, limited knowledge about the role of microbiome balance makes it difficult for consumers to find skincare products that are suitable for their individual needs.

Nusantics alone has released skincare products with the concept of clean beauty without adding dangerous products. The product range starts with facial cleanser, essence, face oil, serum, and balm. These products are sold online through various e-commerce platforms.

As estimated, according to the Nielsen and Euromonitor report titled Beauty Market Survey, the market value of the beauty industry in Indonesia reached Rp36 trillion in 2018. About 31.7% of that value came from skincare products.

Nusantics’ Co-Founder and CTO, Revata Utama ensures that skin problems are only a part of life aspects, the solution of which can be found by genomics and microbiome technology.

“I witnessed myself how this technology can help solve the various problems we face in the world. We work closely with the best scientists from within and outside the country, and ensure that the most sophisticated genomics research tools are available and can be implemented immediately,” Revata added.

East Ventures’ partner Melisa Irene added, more and more people are increasingly aware of the importance of well-being and holistic health. She said the quality of the Indonesian nation will develop with the availability of health inspection facilities that are affordable, accurate, and easily accessible.

“The Nusantics team has a mindset, character, and capability to introduce the positive impact of technology around the microbiome to the wider community. We are very enthusiastic about working with them,” she continued.

This is not East Ventures’ first portfolio in wellness concept company, they previously invest in Base offering beauty and wellness products. In addition, there is also Newman’s digital health clinic specifically targeting hair care products for men. This startup enters the W20 batch in Y Combinator.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Startup Biotech Nusantics Terima Pendanaan Tahap Awal dari East Ventures

Startup yang bergerak di bidang teknologi genomika, Nusantics, mengumumkan perolehan pendanaan tahap awal dari East Ventures dengan nilai yang tidak diungkapkan. Suntikan dana akan digunakan untuk mengakselerasi misi perusahaan dalam mempelopori industri biogenome di Indonesia.

Startup ini didirikan tahun lalu oleh Sharlini Eriza Putri (CEO), Vincent Kurniawan (COO), dan Revata Utama (CTO). Ketiganya memiliki beragam latar belakang akademis dan profesional, di bidang manufaktur, FMCG, energi bersih, dirgantara, dan bioteknologi.

Mereka percaya pemahaman atas ilmu hayati, khususnya tentang mikrobioma, adalah salah satu faktor terpenting dalam memberikan solusi berkelanjutan atas beragam permasalahan manusia.

Sebagai startup berbasis teknologi, Nusantics fokus pada pengembangan hingga penerapan berbagai riset genomika dan mikrobioma untuk memenuhi gaya hidup sehat dan berkelanjutan.

Mikrobioma adalah ekosistem kompleks yang terdiri dari mikroorganisme seperti bakteri, virus, hingga jamur yang hidup di permukaan dan di dalam tubuh semua makhluk hidup, termasuk manusia. Setiap orang memiliki profil mikrobioma unik yang berperan penting dalam sistem imunitas mereka.

“Konsumen dapat menghindari kesalahan dalam menggunakan produk perawatan kulit bila memahami profil mikrobioma kulitnya masing-masing. Inilah solusi yang disediakan oleh Nusantics,” terang Co-Founder dan CEO Nusantics Sharlini Eriza Putri dalam keterangan resmi, Jumat (20/3).

Dengan spesialisasi di mikrobioma, Nusantics melakukan analisis kulit untuk membantu industri dan konsumen dalam mempertimbangkan dampak setiap keputusan mereka bagi kesehatan dan keberlangsungan alam. Hal ini diklaim sebagai pendekatan baru yang sebelumnya pernah dilakukan untuk konsumen di industri gaya hidup.

Sharlini menjelaskan, dalam berbagai riset di bidang genomika menunjukkan kulit sehat adalah kulit yang memiliki mikrobioma yang beragam dan seimbang. Namun, keterbatasan pengetahuan tentang peran keseimbangan mikrobioma ini membuat konsumen kesulitan mencari produk perawatan kulit yang sesuai bagi kebutuhan masing-masing.

Nusantics sendiri telah merilis produk perawatan kulit dengan konsep clean beauty tanpa menambahkan produk berbahaya. Rangkaian produknya mulai dari pembersih wajah, essence, face oil, serum, dan balm. Produk tersebut dijual secara online melalui berbagai platform e-commerce.

Diestimasi, menurut laporan Nielsen dan EuroMonitor bertajuk Beauty Market Survey, nilai pasar industri kecantikan di Indonesia mencapai Rp36 triliun pada 2018. Sekitar 31,7% dari nilai tersebut berasal dari produk perawatan kulit.

Co-Founder dan CTO Nusantics Revata Utama memastikan permasalah kulit hanya sebagian dari aspek kehidupan yang solusinya dapat ditemukan oleh teknologi genomika dan mikrobioma.

“Saya menyaksikan sendiri bagaimana teknologi ini bisa membantu menyelesaikan berbagai masalah yang kita hadapi di dunia. Kami bekerja sama dengan ilmuwan terbaik dari dalam dan luar negeri, serta memastikan bahwa perangkat penelitian genomics tercanggih tersedia dan dapat langsung diimplementasikan,” ucap Revata.

Partner East Ventures Melisa Irene menambahkan, semakin hari semua orang semakin menyadari pentingnya kesejahteraan dan kesehatan yang holistik. Menurutnya, kualitas bangsa Indonnesia akan berkembang dengan tersedianya fasilitas pemeriksaan kesehatan yang terjangkau, akurat, dan mudah di akses.

“Tim Nusantics mempunya cari pikir, karakter, dan kapabilitas untuk memperkenalkan dampak positif dari teknologi seputar microbiome ke masyarakat luas. Kami sangat antusias bekerja bersama mereka,” tandasnya.

East Ventures bukan pertama kalinya berinvestasi ke perusahaan dengan konsep wellness seperti ini, sebelumnya ada Base yang menawarkan produk kecantikan dan wellness. Di luar itu, ada Newman’s khusus menyasar produk perawatan rambut untuk pria. Startup ini masuk ke dalam batch W20 di Y Combinator.

Apakah Perlu Mengkaji Jumlah Pelaku “Fintech Lending”

Dalam tiga bulan mendatang, OJK akan kembali membuka proses pendaftaran putaran baru untuk pemain fintech lending. Penangguhan yang berlaku mulai paruh pertama tahun ini, sebelumnya diambil atas rekomendasi AFPI karena mereka tengah membangun pusat data dan butuh waktu untuk integrasi dengan semua platform lending.

Mengutip dari berbagai pemberitaan, regulator dan asosiasi saat ini fokus pada pengembangan pusat data fintech atau Pusdafil (Fintech Data Center/FDC) yang telah dirilis pada November 2019. Salah satu manfaatnya adalah mengindentifikasi peminjam ‘nakal.’ Bagi regulator, karena ini adalah bagian komponen dari penyempurnaan sistem, maka proses pendaftaran dihentikan sementara.

“Penghentian itu dilakukan untuk memberi waktu dalam menyempurnakan sistem pengawasan dan memastikan peningkatan kualitas industri ini,” ujar Kepala Eksekutif IKNB OJK Riswinandi dikutip dari akun resmi OJK di Twitter.

AFPI merilis pusat data Fintech Data Center (FDC) untuk mempermudah penyedia layanan p2p dalam melakukan credit assessment saat menyalurkan kredit
Perayaan hari jadi AFPI yang pertama, turut dihadiri perwakilan OJK / DailySocial

Sepanjang penangguhan berlangsung, AFPI berfokus pada mengintegrasikan platform seluruh anggotanya dengan Pusdafil. Pusdafil dapat menjadi cara untuk mendeteksi dan mencegah calon nasabah melakukan peminjaman berlebihan melalui banyak platform fintech pada waktu bersamaan.

“Butuh waktu sekitar enam bulan untuk mengintegrasikan secara penuh dan real time [Pusdafil] bagi seluruh anggota AFPI saat ini,” terang Ketua Umum AFPI Adrian Gunadi.

Lebih jauh dijelaskan, Pusdafil akan berperan optimal jika seluruh anggota terintegrasi karena seluruh data yang dapat meningkatkan manajemen risiko di industri. Mereka semua bisa mengetahui portofolio calon peminjam dan credit assessment sehingga bisa mencegah potensi kredit bermasalah.

Adrian menyampaikan, informasi terkini sudah ada 21 perusahaan yang sudah terintegrasi dari 161 anggota AFPI yang terdaftar di OJK. “Ada sekitar 36 [perusahaan] yang sedang dalam tahap finalisasi. Target dalam tiga minggu ke depan bisa live lagi [Pusdafil],” ujar Adrian secara terpisah kepada DailySocial, Senin (16/3).

Sembari itu pula, OJK masih tetap memproses perusahaan yang sudah terdaftar untuk mendapatkan izin. Menurut regulator, terdapat 164 perusahaan yang sudah beroperasi, sebanyak 25 diantaranya sudah mengantongi izin.

Apakah perlu kaji ulang jumlah perusahaan?

Ada pertanyaan yang muncul dari pasca keputusan yang diambil regulator dan asosiasi, apakah sebenarnya durasi penangguhan perlu diperpanjang? Apakah jumlah pemain fintech yang terdaftar sebenarnya bisa mengakomodasi seluruh kebutuhan kredit yang belum bisa dijamah perbankan?.

Pengamat Indef Nailul Huda berpendapat dalam perlambatan ekonomi yang sedang dialami Indonesia, juga negara lainnya, kredit itu ibarat darah. Sehingga selalu dibutuhkan untuk menggenjot dunia usaha apalagi buat usaha kecil dan mikro agar terus bergerak dalam cashflow yang ideal. Fintech lending bisa menjadi channel yang tepat untuk memanfaatkan momentum tersebut.

“Gap kredit masih sangat lebar. Kita perlu membuka pintu untuk fintech. Saya kira masih banyak jenis fintech yang mampu didorong untuk memenuhi gap kredit di Indonesia. Equity crowdfunding salah satu yang bisa didorong untuk masuk ke pasar pembiayaan domestik,” imbuh Huda kepada DailySocial.

Sementara itu, Adrian belum bersedia memberikan pandangannya terkait pertanyaan ini. Dia berujar, asosiasi dan akademi sedang menyiapkan studi terkait credit gap dan kebutuhan akses pembiayaan untuk UMKM per sektor yang bisa dilayani fintech dan masuk ke segmen fintech.

“Sehingga tentunya terkait dengan kuantitas dan kebutuhan segmen UMKM bisa terpenuhi. Dari sisi kualitas [penyaluran kredit] tetap bagus. Sekitar sementar kedua akan dipublikasi.”

Dari hasil studi tersebut diharapkan akan muncul sejumlah rekomendasi valid yang bisa menjadi bahan pertimbangan buat para pengambil kebijakan. Kekhawatiran kerap muncul karena pesatnya pertumbuhan fintech lending, sejalan dengan kenaikan tindakan fraud yang dilakukan oleh pemain ilegal.

Satgas Waspada Investasi (SWI) menemukan 508 entitas ilegal pada kuartal pertama tahun ini. Bila menarik rentang waktu lebih jauh, total pinjaman fintech ilegal yang berhasil diringkus SWI sejak 2018 hingga Maret 2020 mencapai 2.406 perusahaan. Angka ini berbanding jauh dengan jumlah pemain yang legal.

Belajar dari Tiongkok

Sumber: Pixabay
Sumber: Pixabay

Quality over quantity. Kuantitas tidak melulu menjadi perkara baik kalau tidak bisa diimbangi dengan kualitas. Ketimpangan penyaluran kredit di Indonesia sebesar Rp1.000 triliun ini seperti pisau bermata dua, sehingga tidak bisa hanya dijawab dengan menghadirkan banyak pemain.

Skandal yang terjadi di Tiongkok menjadi bekal bahan pembelajaran agar tidak mengulangi yang sama. Saat ini pemain p2p lending diambang gulung tikar karena regulator Tiongkok memperketat ruang gerak laju pemain p2p lending dengan membuat sejumlah aturan. Kepercayaan masyarakat pun akhirnya pupus, meski angka permintaan kredit dari bisnis kecil dan individu tidak menunjukkan tanda mereda.

“Meningkatnya aturan dan modal untuk pemberi pinjaman p2p Tiongkok terus memberikan tekanan pada keberlanjutan model bisnis di seluruh sektor pada tahun ini, yang mengarah ke kontradiksi industri lebih lanjut,” kata Direktur Lembaga Keuangan Non Bank Fitch Ratings Katie Chen, seperti dikutip dari South China Morning Post.

Pengetatan aturan terefleksi dari berkurangnya jumlah pemain. Disebutkan pada 2016 angkanya mencapai 2.680 pemain, lalu turun drastis menjadi 343 pemain pada tahun lalu. Lebih dari separuh pemain berbasis di Beijing, ibukota Tiongkok.

Menurut laporan Wangdaizhijia, angka penyaluran menyusut menjadi 491 miliar Yuan ($70,4 miliar) pada tahun lalu. Padahal pada Juni 2018, angkanya tembus mencapai 1,32 triliun Yuan ($189,2 miliar). Perkembangan yang terlalu pesat dan kebijakan drastis yang diambil regulator mengakibatkan keruntuhan industri dalam waktu singkat.

Sumber: Pixabay
Sumber: Pixabay

“Uang telah mengering karena regulator mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk membersihkan sektor pinjaman non-bank dari penipuan dan penyalahgunaan yang terlalu merajalela,” kata Ketua dan Kepala Eksekutif China First Capital (bank investasi berbasis di Shenzhen) Peter Fuhrman. “Operator yang baik dihukum bersama bajingan,” sambungnya.

Salah satu pemain p2p lending terbesar di Tiongkok, Ezubao, disebutkan mengumpulkan dana sebesar 59,8 miliar Yuan ($8,5 miliar) dari lebih dari 900.000 investor. Perusahaan ini menjanjikan bunga pengembalian antara tiga hingga empat kali lebih besar dari bank. Tapi ini hanya sekadar janji manis, berbagai kasus bunuh diri terjadi karena mereka frustasi kehilangan dana.

Pada November 2019, regulator membuat ketentuan perusahaan harus memenuhi batas modal minimal 1 miliar Yuan ($143 juta) untuk memperoleh lisensi pembiayaan mikro online dan dapat beroperasi secara nasional. Besaran ini sama dengan persyaratan untuk bank komersial.

Regulator juga membatasi perusahaan untuk mengandalkan lembaga sebagai sumber dana, tidak lagi mengambil dari investor ritel. Fitch Ratings melihat persyaratan ini cenderung menjadi hambatan pertumbuhan untuk industri p2p lending, meski angka permintaan dari kalangan usaha kecil dan individu tidak menunjukkan tanda-tanda peredaan.

Frost & Sullivan memperkirakan p2p lending akan tumbuh menjadi 2,17 triliun Yuan ($311 miliar) pada 2023, naik drastis dari posisi 789 miliar Yuan ($113 miliar) pada 2018.

Mantan Presiden ICBC Yang Kaisheng mengatakan bahwa regulator Tiongkok perlu belajar dari kesalahan mereka dalam bertindak terlalu lambat dalam menangani risiko p2p lending.

“Jika enam atau tujuh tahun lalu ketika gelombang keuangan digital memanas, jika ada peraturan yang disarankan saat itu, meski kemungkinan [aturan] tidak terlalu matang, [risiko] mungkin agak samar, itu akan jauh lebih baik daripada apa yang terjadi bertahun-tahun kemudian,” katanya.

Kualitas di Indonesia sejauh ini

Dalam mengukur kualitas suatu industri indikatornya bisa dilihat dari kinerja. Menurut data yang dirangkum OJK, per Januari 2020, akumlasi penyaluran pinjaman secara nasional mencapai Rp88,37 triliun naik 239,85% yoy. Pulau Jawa masih mendominasi dari total portofolio sebesar Rp75,71 triliun dan luar Pulau Jawa Rp12,67 triliun.

Tingkat keberhasilan 90 hari (TKB90) mencapai 96,02% (skala 100), turun dibandingkan Desember 2018 sebesar 98,55%. Meski turun, angka ini menurut Kepala Bidang Kelembagaan dan Humas AFPI Tumbur Pardede masih dalam tahap wajar, sehingga tidak akan mengurangi kepercayaan pemberi pinjaman.

“Turunnya tingkat keberhasilan tahun lalu dianggap merupakan konsekuensi dari upaya penetrasi ke daerah-daerah yang tengah gencar dilakukan oleh pemain. Di luar Jawa, mereka gencar dengan sasaran utamanya adalah pinjaman bersifat konsumtif,” kata Tumbur dikutip dari Bisnis.com.

TKB adalah istilah lazim dalam dunia p2p lending, untuk memberi gambaran kepada calon pemberi pinjaman sebelum berinvestasi melalui platform. TKB merujuk pada tingkat keberhasilan dari perusahaan dalam menyediakan fasilitas penyelesaian kewajiban pinjam meminjam dalam jangka waktu 90 hari sejak jatuh tempo.

TKB wajib dicantumkan dalam laman situs platform sebagai perwujudan transparansi. Semakin tinggi persentase TKB 90 dalam sebuah platform menunjukkan bahwa perusahaan memiliki strategi yang solid untuk mencegah terjadinya gagal bayar kepada pemberi pinjaman.

Sumber: Pixabay
Sumber: Pixabay

Penyaluran peminjaman memang sudah merambah ke daerah luar Jawa. OJK mencatat, titik lokasinya terlihat sudah menyentuh Aceh hingga Papua. Dari pertumbuhan yoy terbesar, dipegang oleh Sulawesi Utara (458,37%), Sulawesi Tengah (437,1%), Papua Barat (432,73%), Maluku Utara (392,71%), dan Kalimantan Tengah (380,24%).

Meskipun secara nominal belum besar, tapi pertumbuhan ini menjadi indikasi bahwa ada kebutuhan yang besar di sana. Angka pertumbuhan yang dipegang lima provinsi ini kalah jauh dengan pertumbuhan di Pulau Jawa dan Bali.

Peluang tersebut, bisa dijawab oleh pemain fintech lending entah baru atau petahana dengan meracik produk pinjaman yang bisa menjawab kebutuhan pasar. Jadi sebenarnya ini bukan soal perlu atau tidaknya banyak pemain baru. Melainkan seberapa cepat perusahaan berinovasi menangkap peluang. Kesempatan terbuka ini berlaku buat semua perusahaan.

Keberadaan platform digital, sangat membantu perusahaan ekspansi lebih cepat. Pemberi pinjaman dari manapun bisa meminjamkan dananya untuk peminjam di lokasi lain. Memanfaatkan keberadaan pemain industri keuangan konvensional seperti koperasi dan BPR, atau membuat skema urun dana seperti Amartha bisa menjadi cara untuk mengendalikan potensi fraud dan kredit macet.

Laporan East Ventures bertajuk EV-DCI 2020 menjadi rujukan terbaik (untuk saat ini) dalam memetakan potensi ekonomi digital dari masing-masing kota atau provinsi yang bisa dikembangkan lebih dalam. Di Sulawesi Utara, misalnya, masuk urutan ke-15 dengan skor 30,2 (dari skala 0-100).

Kekuatan di provinsi ini adalah pilar penggunaan ICT (54,9; urutan ke-10 dari semua provinsi). Pilar tersebut didukung oleh indikator rasio penduduk yang mengakses internet dengan smartphone (93,1; ke-8). Selain itu, infrastruktur juga sudah cukup baik (46,9; ke-17).

Akan tetapi, dari sisi SDM masih tertinggal dan ada di posisi ke-24 karena jumlah program studi digital yang sangat minim. Alhasil mahasiswa berkemampuan digital menjadi sangat terbatas. Input dan penunjang yang masih kurang membuat kewirausahaan digital di provinsi ini sulit berkembang (5,8; ke-24).

Kondisi ini selaras dengan jumlah Usaha Menengah Besar (UMB) dan Usaha Mikro Kecil (UMK) yang menggunakan internet (3,3) dan rasio antara keduanya (21,7).

Bagi sektor fintech lending, menciptakan produk pinjaman dimulai dari bersifat konsumtif bisa menjadi panduan awal sebelum diperkenalkan lebih dalam dengan produk pinjaman lainnya yang diperuntukkan buat modal usaha di sektor usaha yang paling dominan.

Di sana, kontribusi PDRB (produk domestik regional bruto) terbesar dipegang oleh ICT (38,3), sektor jasa keuangan (29,6), dan subsektor pergudangan, penunjang angkutan, pos & kurir (16,4).

EV-DCI mencatat rasio desa yang memiliki ATM sangat kecil (9,2). Angka ini selaras dengan ketersediaan kantor cabang bank (9,7). Dengan kata lain, provinsi ini punya peluang yang besar untuk dirambah pemain fintech, khususnya lending.

Greenly Practices the New Retail Concept for Healthy Food Products Market

The new retail concept is getting popular among businessmen. The tech-based operation is quite fit to speed up offline business’ growth. Greenly, a fast-casual F&B retail network offering various healthy food and beverages has adopted the approach.

Greenly was founded by Liana Gonta Widjaja and Edrick Joe Soetanto. Liana is a Bachelor of Science from the University of California majoring in nutritional science, dietetics, who has begun her career as a nutritionist. Erick is a serial entrepreneur who also graduated from the University of California.

The healthy food business debuted in January 2019 in Surabaya, with 5 outlets. One is located in the mall with a restaurant and cafe concept, while the other 4 branches serve orders as cloud kitchen – taking orders through on-demand applications such as GoFood or GrabFood.

In a year, Greenly claims to have managed growth up to five times with hundreds of orders every day.

“Our business model is new retail with an online to offline (O2O) approach, we adopt a multi-channel sales pattern in distributing products. Using this strategy, Greenly not only has a physical store in a shopping center like traditional retail but also operates a cloud kitchen and sales through online platforms,” Greenly’s Director & Co-founder Edrick Joe Soetanto said.

Entering its second year Greenly managed to secure seed funding led by East Ventures. The fresh funds received will be used for product innovation, technology development and expanding its network in Surabaya, including other cities.

Optimizing technology to leverage business

Furthermore, Soetanto said the new retail strategy with the O2O approach is what distinguishes the business from other conventional services and other similar businesses.

Greenly also developed a system with some leading features in order to be more effective, developed, and loved by its customers. The stuff being implemented are including supply chain management, POS, accounting and taxation systems, HRIS and payroll, also third-party delivery systems, user loyalty, and pick-up orders.

“The current technology has supported Greenly run business and serve customers in maximum effort. The development of backend technology helps us manage the supply chain efficiently, particularly since we manage fresh & perishable products with a very short extent. With the development of infrastructure technologies such as demand forecasting, inventory management, and logistics optimization, we can maximize production output, manage resource capacity effectively, track inventory accurately, minimize waste, and optimize distribution,” Soetanto added.

He also mentioned that technology integration and supply chain efficiency enable them to cut into the minimum operational cost, therefore we can offer products at affordable prices.

Integration with delivery services of third parties through the cloud kitchen concept is claimed to have succeeded in making dozens of Greenly customers comfortable.

Today, for the first three months of 2020, they are targeting to open 3 new outlets in Pakuwon Mall and Tunjungan Plaza, Surabaya. The first outlet in Jakarta will also be launched, located in the Senopati area. This year, Greenly is to focus on product development, technological innovation, customer growth, and expansion both in Jakarta, Surabaya, and other cities.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Greenly Adopsi Konsep “New Retail” untuk Jual Produk Makanan Sehat

Konsep new retail tampaknya mulai banyak dilirik oleh pebisnis. Potensi pemanfaatan teknologi dirasa cocok untuk bisa membantu “bisnis offline” melanjut lebih kencang. Pendekatan tersebut kini juga diadopsi Greenly, jaringan ritel fast casual F&B yang menawarkan aneka makanan dan minuman sehat.

Greenly didirikan oleh Liana Gonta Widjaja dan Edrick Joe Soetanto. Liana adalah seorang Bachelor of Science dari University of California di bidang nutritional science, dietetics dan juga telah menjalani karier sebagai ahli nutrisi  kesehatan. Sedangkan Edrick adalah seorang serial entrepenuer yang juga lulusan University of California.

Bisnis makanan sehat tersebut pertama beroperasi pada Januari 2019 di Surabaya, dengan 5 outlet. Satu outlet berada di mall dengan konsep restoran dan cafe, sementara 4 cabang lainnya melayani pesan antara dengan konsep cloud kitchen — menerima pesanan melalui aplikasi on-demand seperti GoFood atau GrabFood.

Selama satu tahun perjalanannya, Greenly mengklaim telah berhasil mengalami pertumbuhan hingga lima kali lipat dengan ratusan pesanan tiap harinya.

“Bisnis model kami adalah new retail dengan pendekatan online to offline (O2O), kami mengadopsi pola penjualan multi-kanal dalam mendistribusikan produk. Dengan strategi ini, Greenly tidak hanya memiliki toko fisik di pusat perbelanjaan layaknya ritel tradisional, namun juga mengoperasikan cloud kitchen dan penjualan via platform online,” terang Director & Co-founder Greenly Edrick Joe Soetanto.

Memasuki tahun keduanya Greenly berhasil mendapatkan pendanaan tahap awal yang dipimpin oleh East Ventures. Dana segar yang didapat rencananya akan digunakan perusahaan untuk inovasi produk, pengembangan teknologi dan memperluas jaringannya di Surabaya, termasuk juga ekspansi di kota-kota lainnya.

Memaksimalkan teknologi untuk perkuat bisnis

Lebih jauh Edrick bercerita, bahwa strategi  new retail dengan pendekatan O2O  menjadikan mereka berbeda dengan layanan konvensional dan bisnis sejenis lainnya.

Greenly juga mengembangkan sistem dengan sejumlah fitur yang dibutuhkan agar mereka bisa lebih efektif, berkembang, sekaligus dicintai pelanggannya. Yang diimplementasikan mulai dari manajemen supply chain, POS, sistem akuntansi dan perpajakan, HRIS dan payrol, hingga sistem pengantaran pihak ketiga, loyalitas pengguna dan pick-up order.

“Teknologi yang kami pergunakan membantu Greenly menjalankan bisnis dan melayani pelanggan dengan lebih optimal. Pengembangan teknologi backend membantu kami dalam mengatur supply chain dengan lebih efisien, terlebih karena kami mengelola produk fresh & perishable dengan shelf life yang sangat singkat. Dengan pengembangan teknologi infrastruktur seperti demand forecasting, inventory management hingga logistic optimization, kami dapat memaksimalkan output produksi, mengatur kapasitas sumber daya secara efektif, melacak inventaris secara akurat, meminimalkan waste, hingga mengoptimalkan distribusi,” lanjut Edrick.

Ia juga menerangkan bahwa integrasi teknologi dan efisiensi supply chain membuat mereka bisa memangkas biaya operasional ke level minimum sehingga kami dapat menawarkan harga terjangkau untuk produk-produknya.

Integrasi dengan layanan pesan antar pihak ketiga melalui konsep cloud kitchen yang dibangun juga diklaim berhasil membuat nyaman puluhan ribu pelanggan Greenly.

Kini untuk tiga bulan pertama di tahun 2020 mereka menargetkan untuk membuka 3 gerai baru di Pakuwon Mall dan Tunjungan Plaza, Surabaya. Gerai pertama di Jakarta juga akan diresmikan, tepatnya di kawasan Senopati. Sepanjang tahun ini Greenly akan fokus pada pengembangan produk, inovasi teknologi, pertumbuhan pelanggan, dan ekspansi baik di Jakarta, Surabaya, juga kota-kota lainnya.

Cerita Transisi Profesional Pemodal Ventura Menjadi CEO Startup

Menjadi seorang CEO dan mendirikan startup sejak awal tidak mudah. Sudah banyak pengalaman seorang founder yang membangun bisnisnya sejak awal hingga sukses atau harus berakhir gagal karena rapuhnya startup. Salah satu CEO startup yang mengalami proses tersebut adalah Agung Bezharie Hadinegoro, Co-Founder dan CEO Warung Pintar.

Berangkat dari pengalamannya sebagai CGI Program Officer di Global Enterpreneurship Program Indonesia (GEPI) hingga terakhir Special Project Associate di East Ventures, banyak pengalaman menarik yang didapat Agung.

Tidak mudah untuk melakukan transisi dari seorang profesional yang bertanggung jawab melakukan analisis bisnis startup yang ingin didanai menjadi seorang CEO yang harus cerdas mengelola perusahaan dan orang-orang di dalamnya.

Menurut Agung, meskipun saat ini sudah mulai terbiasa setelah menjalaninya selama dua tahun terakhir, proses tersebut tidak selalu berjalan dengan mudah.

“Perbedaan dengan pekerjaan saya sebelumnya di venture capital dan saat ini sebagai CEO lebih kepada pandangan saja sebenarnya. Jika dulu hanya bekerja dengan segelintir orang saja, ketika masuk dalam jajaran manajamen di startup saya harus bisa berinteraksi sekaligus mengelola tim yang jumlahnya jauh lebih banyak. Belum lagi tanggung jawab ke partner, shareholder, hingga media yang semua memiliki ekspektasi masing-masing.”

Untuk bisa memahami benar peranan seorang CEO startup, Agung memberikan beberapa poin menarik yang wajib untuk diketahui mereka yang berencana untuk mendirikan startup atau para founder yang sudah menjalankannya dan kerap menemui kendala.

Pentingnya mengelola talenta

Berawal dari uji coba yang dilakukannya saat bekerja sebagai Associate dan Special Project Associate di East Ventures, Agung dan rekan-rekan lainnya menemukan ide menarik untuk mengembangkan Warung Pintar. Atas kepercayaan East Ventures, sejak bulan Oktober 2017 Agung menjadi CEO Warung Pintar.

Salah satu poin menarik adalah bagaimana talenta yang berada dalam ekosistem perusahan memiliki peranan penting untuk kemajuan perusahaan itu sendiri. Agung banyak menemui kendala untuk memahami masing-masing individu yang jumlahnya selalu bertambah. Untuk itu penting bagi seorang founder mencari tahu cara tepat agar selalu melakukan pendekatan secara personal.

“Idealnya sebuah startup dituntut untuk bisa bekerja dengan cepat, namun terkadang hal tersebut tidak selalu didukung dengan talenta yang ada. Untuk itu penting bagi Founder atau CEO untuk bisa memahami masing-masing skill dan kemampuan tim yang ada sekaligus memahami mereka secara lebih dekat dan personal.”

Learning by doing

COO Warung Pintar Harya Putra dan CEO Warung Pintar Agung Bezharie Hadinegoro saat acara di Banyuwangi
COO Warung Pintar Harya Putra dan CEO Warung Pintar Agung Bezharie Hadinegoro saat acara di Banyuwangi

Hal menarik lainnya yang ditemui Agung saat menduduki posisi manajemen adalah tantangan baru banyak ditemui seiring makin bertambahnya jumlah tim dan makin berkembangnya perusahaan. Penting bagi pemimpin startup untuk terus beradaptasi dan terus belajar.

Ketika bekerja dengan sudut pandang investor, poin yang selalu dipegang Agung adalah lebih kepada situasi makro. Ketika menjadi seorang CEO, aspek yang wajib diperhatikan lebih besar lagi.

“Belajar dari pengalaman sendiri, saya melihat pada akhirnya memang lebih ideal untuk berinvestasi ke pendiri startup jika startup ingin sukses dan terus berkembang,” kata Agung.

Salah satu kegiatan yang wajib untuk dilakukan adalah untuk selalu mencari informasi dan belajar dari buku-buku yang relevan. Biasanya seorang CEO atau pemimpin di startup akan selalu merasa kurang dan haus akan informasi. Untuk bisa memenuhi semua keinginan tersebut, buku bisa menjadi sumber yang paling tepat.

“Sekarang saya juga jadi lebih mengerti kenapa banyak yang menyebutkan sangat baik untuk membaca buku 12 jam sehari. Tujuannya adalah untuk bisa memenuhi semua rasa ingin tahu dari rasa kekurangan yang kerap menghampiri pikiran seorang Founder dan CEO di startup,” kata Agung.

Kesehatan mental

Menjadi seorang CEO dan pemimpin startup pada umumnya sangat melelahkan. Dengan semua beban dan tanggung jawab tidak hanya untuk diri sendiri, tetapi juga tim yang ada di perusahaan, biasanya mereka kerap kehilangan motivasi.

Penting bagi CEO atau Founder untuk selalu bisa memikirkan ide atau solusi setiap harinya, agar startup yang sifatnya rapuh bisa terus berjalan dan tumbuh. Tekanan tersebut biasanya akan berpengaruh kepada kesehatan mental mereka. Untuk itu, menurut Agung, sah-sah saja bagi seorang CEO atau founder untuk berbagi pengalaman atau tantangan dengan sesama atau dengan rekan di luar pekerjaan.

Di Amerika Serikat sendiri, persoalan ini sudah banyak dibicarakan. Para Founder harus jatuh bangun mendirikan startup dan mengorbankan kesehatan mental mereka. Colin Kroll (Co-Founder Vine), Austen Heinz (Founder Cambrian Genomics), dan Jody Sherman (Founder Ecomum) adalah contoh pemimpin bisnis yang sukses, tetapi perjalanan mereka harus berhenti tiba-tiba dan berakhir dengan kematian.

Kesehatan mental memainkan peran penting di dalamnya. Meski di Indonesia belum terlalu ekstrem kondisinya, kesehatan mental menjadi hal yang penting untuk diperhatikan.

Agung menyebut ada Founder startup lokal sukses yang pernah berbagi tentang pengalaman kesehatan mental yang diderita dan berhasil dilaluinya.

“Penting bagi mereka untuk memikirkan kesehatan mental. Karena hal ini masih belum banyak dibicarakan yang faktanya banyak dialami oleh CEO atau Founder startup,” tutup Agung.

East Ventures Introduces Triawan Munaf as Venture Advisor

Today (2/4), East Ventures announces Triawan Munaf to join boards of leaders as Venture Advisor. He will be occupied to help the company explore the best potential of Indonesia’s startups and hands-on to help the business perform regional expansion.

“Mr. Munaf shared the same value as East Ventures. As for his experience and capabilities, we expect to develop Indonesia’s digital economy better and faster,” East Ventures’ Co-Founder & Managing Partner, Willson Cuaca said.

Entering the second decade, East Ventures aims to list more companies on the portfolio and expects to create a greater impact on the currently growing Indonesia’s startup ecosystem.

East Ventures’ managed funds, consists of early-stage fund and growth fund, have advanced into US$1.2 billion assets. The company also participated in 20 exits within the last decade.

“I’m happy to join the leading venture capital with aligned vision with mine, it is to build a sustainable business ecosystem and create a more inclusive digital economy for the better nation,” Munaf added.

Aside from East Ventures, the former Bekraf’s executive is also appointed as Garuda Indonesia’s President Commissioner. He’s also trusted as the Honorary Advisor to the Minister of Tourism and Creative Economy in the merger of the Ministry of Tourism and Bekraf.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

East Ventures Umumkan Triawan Munaf sebagai “Venture Advisor”

Hari ini (04/2) East Ventures umumkan bergabungnya Triawan Munaf di jajaran kepemimpinan sebagai Venture Advisor. Dalam tugasnya, ia akan membantu perusahaan menggali potensi terbaik dari startup Indonesia dan membantu mereka untuk mengembangkan bisnisnya ke tingkat regional.

“Pak Triawan berbagi nilai yang sama dengan East Ventures. Dengan pengalaman dan kemampuannya, kami berharap dapat mengembangkan ekonomi digital ekonomi Indonesia lebih cepat,” ujar Co-founder & Managing Partner East Ventures Willson Cuaca.

Memasuki dekade kedua dalam perjalanannya, East Ventures berencana untuk terus menggandeng lebih banyak perusahaan ke dalam portofolionya dan berupaya untuk memberikan dampak lebih besar di ekosistem startup Indonesia yang saat ini berkembang pesat.

Dana kelolaan East Ventures, yang terdiri dari early stage fund dan growth fund, kini telah tumbuh menjadi aset senilai US$1,2 miliar. Perusahaan turut berpartisipasi dalam 20 exit selama satu dekade terakhir.

“Saya senang dapat bergabung dengan perusahaan modal ventura terdepan yang memiliki visi yang sama dengan saya, yaitu membangun ekosistem bisnis yang berkelanjutan dan menciptakan ekonomi digital yang lebih inklusif untuk kebaikan bersama,” sambut Triawan.

Selain di East Vetnures, mantan Kepala Bekraf tersebut kini juga menjabat sebagai Komisaris Utama Garuda Indonesia. Ia juga dipercaya menjadi Penasihat Kehormatan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dalam proses peleburan Kementerian Pariwisata dan Bekraf.

Laporan East Ventures: Daya Saing Digital Masih Rendah, Startup Didorong Masuk ke Pelosok

Daya saing digital Indonesia masih terbilang rendah menurut laporan East Ventures – Digital Competitiveness Index (EV-DCI) dengan indeks rata-rata 27,9 untuk 34 provinsi. Jakarta menjadi provinsi dengan indeks tertinggi (79,7), sementara Papua menempati urutan terakhir (17,7).

Laporan ini merupakan alat untuk mengukur kondisi ekonomi digital di wilayah Indonesia berdasarkan tiga aspek. Masing-masing aspek ini memiliki tiga pilar yang menjadi alat ukur EV-DCI, dengan turunan data pendukung yang diambil dari lembaga resmi.

Aspek input yang mencakup sejumlah pilar utama yang mendukung terciptanya ekonomi digital. Tiga pilarnya adalah SDM, penggunaan ICT, pengeluaran untuk ICT. Aspek output untuk menggambarkan sejumlah pilar terkait ekonomi digital yang dihasilkan. Tiga pilarnya adalah perekonomian, kewirausahaan dan produktivitas, dan ketenagakerjaan.

Terakhir, aspek penunjang yang mendukung secara tidak langsung pengembangan ekonomi digital. Tiga pilarnya adalah infrastruktur, keuangan, regulasi dan kapasitas pemda.

Persebaran Skor EV-DCI / East Ventures
Persebaran Skor EV-DCI / East Ventures

Dari sembilan pilar ini, kesiapan Indonesia dalam ekonomi digital terlihat dari pilar penggunaaan ICT dengan skor tertinggi. Penggunaan ICT yang dimaksud terdiri dari kepemilikan smartphone, komputer, dan besarnya akses internet dari masing-masing daerah.

Kondisi ini sejalan dengan pilar infrastruktur yang merupakan bagian dari aspek penunjang, berada di posisi kedua. Sementara, dua pilar terendah adalah SDM dan kewirausahaan. Bila diterjemahkan, Indonesia masih menghadapi persoalan keterbatasan SDM yang terampil dalam ekonomi digital.

Wilayah Jawa memiliki daya saing digital terbaik, semua provinsinya menempati posisi 10 besar. Dilihat dari sub-indeks input dan output, hampir semua provinsi di Indonesia memiliki skor output yang lebih rendah daripada input.

Hal ini mengindikasikan daerah-daerah di Indonesia belum dapat mengoptimalkan input dalam hal SDM, penggunaan dan pengeluaran ICT, menjadi output dalam hal perekonomian, kewirausahaan, dan tenaga kerja. Kondisi ini tercermin dari NTB dan Papua yang punya output lebih besar daripada input.

Urutan provinsi dengan indeks EV-DCI terbaik hingga terendah / East Ventures
Urutan provinsi dengan indeks EV-DCI terbaik hingga terendah / East Ventures

Yogyakarta menjadi provinsi dengan jarak cukup jauh antara input dan output. Artinya, provinsi ini punya sumber daya besar, tapi belum dimanfaatkan secara optimal untuk mendorong ekonomi digital. Hal yang sama juga terjadi untuk Kalimantan Timur, Bali, Kepulauan Riau, dan Bangka Belitung.

Selain membahas penggunaan digital dan literasinya, laporan ini juga membahas pekerjaan-pekerjaan apa saja yang akan hilang karena ekonomi digital. Juga memperkirakan pekerjaan baru apa saja yang akan muncul untuk meningkatkan kapabilitas suatu orang.

Langkah selanjutnya untuk stakeholder

Managing Director East Ventures Willson Cuaca menjelaskan EV-DCI bisa menjadi peta berikutnya untuk para penggiat startup dalam melebarkan bisnisnya secara tepat guna. Untuk startup yang skalanya sudah besar bisa didorong untuk masuk ke daerah yang potensi digitalnya masih gersang agar literasi digitalnya tinggi.

Akan tetapi, untuk startup baru, menerjemahkan laporan ini bukan dengan masuk ke lokasi yang gersang. Menurutnya startup itu butuh ekosistem sendiri, beberapa di antaranya butuh jumlah penduduk yang tepat, akses ke investor, infrastruktur ICT, hingga bandara udara.

“Ibaratnya sama seperti menanam pohon. Tidak semua jenis pohon bisa ditanam di tanah yang sama karena harus ada ekosistemnya,” terangnya.

Dia menerangkan, East Ventures punya teori yang menyebutkan bahwa startup itu baru akan jalan ketika masuk ke daerah dengan populasi minimal 7 juta orang. Asumsi angka ini dilihat dengan mengambil rata-rata kasar jumlah usia muda, diperkirakan ada 20%.

Dari angka ini diperkirakan, pengguna internet ada separuhnya sekitar satu juta. Artinya, ini adalah potensi pengguna yang bakal memakai produk apabila merilis suatu aplikasi. “Kalau populasinya hanya 70 ribu orang, maka target penggunanya akan semakin kecil.”

Teori ini melihat dari kesuksesan California dengan Silicon Valley yang punya populasi di atas 7 juta. Tokyo diperkirakan punya 14 juta populasi, sementara hampir sepertiga dari populasi di Korea Selatan terpusat di Seoul.

“Jadi berdasarkan teori ini mungkin buat startup di Surabaya kemungkinan gagalnya tinggi, harus beralih ke Jakarta.”

Menurutnya, apabila teori ini tidak tepat maka kenyataannya Silicon Valley akan ada banyak di berbagai negara. Tapi kenyataan ini tidak terjadi. Selain Jakarta, belum ada startup dari daerah yang terlihat paling menonjol.

Willson juga membuka kesempatan untuk mengelaborasi lebih jauh dari hasil laporan EV-DCI ini karena ada banyak turunan yang bisa dibahas. Salah satunya adalah fakta mengenai tingginya indeks persebaran layanan fintech di suatu lokasi, sejalan dengan penurunan kantor cabang.

Kondisi ini bisa dibuat suatu prediksi oleh bank dan regulator di mana lokasi penutupan berikutnya. Agar bank tersebut bisa fokus ke hal lain.

“Kita enggak mau berhenti [sebar luaskan laporan] di sini saja, mau teruskan ke luar negeri. Sehingga orang tahu negara kita seperti apa, agar semakin banyak orang yang masuk ke Indonesia untuk berinvestasi,” pungkasnya.

Fokus Moladin Setelah Amankan Pendanaan Pra-Seri A

Moladin berhasil mengamankan pendanaan Pra-Seri A yang dipimpin East Ventures. Tidak ada nominal yang disebutkan, dengan CyberAgent Capital bergabung sebagai investor baru bersama beberapa angel investor lainnya. Rencananya pendanaan kali ini akan dimanfaatkan Moladin untuk memperkuat posisinya di industri dengan penguatan bisnis dan ekspansi.

Tahun 2019 kemarin merupakan tahun yang cukup berkesan bagi Moladin. Kepada Dailysocial, CEO Moladin Jovin Hoon menyampaikan mereka berhasil melipat gandakan GMV dari tahun sebelumnya. Mereka juga berhasil menambahkan 8000 listing sepeda motor bekas di sistem mereka, termasuk 8 kali lipat pertumbuhan penggunaan aplikasi.

Moladin juga juga memperkenalan produk baru seperti auto mortgage loan untuk memudahkan pengguna yang membutuhkan pilihan dalam mendapatkan sepeda motor mereka.

“Kami berencana untuk fokus pada pertumbuhan produk seperti penjualan motor baru, motor bekas, dan automotive mortgage loans. [Kami juga berencana] memperluas penjualan motor baru di pulau Jawa, yang untuk saat ini hanya di Jabodetabek. [Kami juga akan] fokus pada peningkatan produk dan teknologi dengan membangun lebih banyak kemitraan dan memperluas tim,” terang Jovin.

Moladin didirikan pada tahun 2017. Berangkat dari semangat untuk memudahkan masyarakat dalam transaksi pembelian motor Moladin mulai mengembangkan bisnisnya, mulai dari memberikan informasi seputar sepeda motor, lokasi bengkel servis terdekat, hingga membuka untuk penjualan sepeda motor bekas.

Pada tahun 2018 silam Moladin juga mendapatkan suntikan dana $1,2 juta atau sekitar Rp17,1 miliar dari East Ventures, Berjaya Group, dan Ethos Partners.

“Kami percaya dengan visi Jovin dan Mario bahwa Moladin dapat menjadi pemimpin industri sepeda motor. Selama 2 tahun perjalanan mereka dan tim telah menunjukkan kemajuan signifikan dalam mewujudkan visi ini,” terang Partner East Ventures Melisa Irene.

Manfaatkan potensi pasar sepeda motor Indonesia

Penjualan sepeda motor di Indonesia mengalami pertumbuhan tipis di tahun 2019 dari tahun sebelumnya. Kendati demikian kisaran angka penjualannya berada di 6,5 juta unit. Masuknya Moladin ke segmen motor bekas juga menjadi langkah strategis untuk meningkatkan jangkauan pengguna, di mana masih banyak masyarakat yang memilih membeli mobil bekas karena di rasa lebih terjangkau.

Jovin menjelaskan, dengan penjualan lebih dari 6 juta unit per tahunnya Indonesia merupakan pasar yang besar untuk sepeda motor. Hanya saja digitalisasi di industri ini dirasa masih dalam tahap awal dan masih banyak yang bisa dilakukan untuk meningkatkan pengalaman pengguna dalam membeli sepeda motor. Itulah menjadi salah satu alasan mengapa Moladin mencoba memperkuat produk dan teknologi yang mereka miliki saat ini.

Jovin dan tim menatap tahun 2020 dengan optimis. Dengan apa yang mereka dapatkan di tahun 2019 dan dukungan investor di awal tahun ini, Moladin ditargetkan untuk menumbuhkan 3 hingga 4 kali GMV dibandingkan tahun sebelumnya. Ekspansi ke kota-kota besar di seluruh Indonesia dan optimalisasi operasi menuju profit adalah dua dari serangkaian rencana besar perusahaan tahun ini.

Application Information Will Show Up Here