StaffAny Dapat Pendanaan dari East Ventures dan Sejumlah Investor, Segera Ekspansi ke Indonesia

East Ventures ikut terlibat dalam putaran pendanaan seri A yang diperoleh StaffAny sebesar $3,4 juta atau 48,8 miliar Rupiah. StaffAny merupakan startup penyedia solusi untuk workforce management asal Singapura.

Dalam keterangan resminya, StaffAny mengungkap akan memanfaatkan pendanaan ini untuk meningkatkan skala bisnis dan timnya ke regional, khususnya ke pasar Indonesia dan Malaysia.

Adapun, pendanaan ini dipimpin oleh GGV Capital, turut pula berpartisipasi sejumlah investor FreakOut Shinsei Fund, Far East Ventures, Farquhar Venture Capital, serta beberapa angel investor, termasuk eks CFO Slack Allen Shim.

Sebagai informasi, StaffAny menawarkan solusi bagi pekerja blue collar untuk mengoptimalkan layanan operasional secara real-time dan terintegrasi , meningkatkan kinerja, dan memangkas biaya melalui pengembangan sejumlah fitur, seperti penjadwalan waktu kerja, pelacakan kehadiran karyawan, hingga pengajuan cuti.

Co-founder StaffAny Janson Seah mengatakan, kebutuhan terhadap digitalisasi workforce management di kalangan perusahaan terus meningkat yang dipicu oleh penerapan sistem Work From Home (WFH) selama pandemi Covid-19.

“Perusahaan mulai menyadari bahwa segala tools ini membantu mendorong skala [bisnis] secara efisien, serta menghasilkan data yang dapat meningkatkan operasional dan keuntungan,” ujar Janson.

Di 2021, StaffAny telah berhasil menjangkau pasar di tujuh negara,  solusinya telah membantu melacak lebih dari 11 juta jam kerja karyawan dan menghemat lebih dari 350.000 jam kerja.

Fleksibilitas kerja di masa pandemi

Survei Gartner mengungkap bahwa pandemi Covid-19 berdampak signifikan terhadap cara dan sistem kerja yang ada selama ini. Pemimpin bisnis di dunia menilai bahwa workforce management menjadi salah satu elemen untuk menuju sukses di masa depan.

Gartner juga melaporkan bahwa pengelolaan tenaga kerja full time secara tradisional atau berbasis di kantor dinilai sudah ketinggalan zaman dan tak lagi relevan untuk memenuhi kebutuhan bisnis yang cepat berubah.

Sebanyak 32% perusahaan mempertimbangkan untuk mengganti karyawan tetap dengan pekerja kontingen dan gig untuk menghemat biaya. Keduanya menawarkan fleksibilitas terhadap workforce management yang lebih besar.

Tak hanya itu, kombinasi tenaga kerja dengan AI, otomatisasi, dan teknologi canggih lainnya dinilai dapat berdampak besar terhadap pengelolaan pekerjaan yang lebih gesit, scalable, dan ulet. Apalagi dengan semakin berkembangnya sistem kerja dari rumah, karyawan bisa mendapatkan fleksibilitas kerja.

Berdasarkan laporan ReportLinker, pasar solusi workforce management di dunia diestimasi mencapai $3,5 triliun di 2020 dan diproyeksi mencapai $3,86 triliun di 2021. Dengan CAGR 8,68%, nilainya diestimasi naik menjadi $6,38 triliun di 2027.

Una Brands Ramaikan Bisnis “Rollup E-commerce” di Indonesia

Una Brands, startup agregator e-commerce asal Singapura, mengumumkan kehadirannya di Indonesia setelah mengantongi pendanaan seri A senilai $15 juta yang dipimpin salah satunya oleh Alpha JWC Ventures. Ditargetkan 12 hingga 15 merek lokal dapat diakuisisi pada tahun depan.

Una menaruh komitmen mengalokasikan investasi senilai $35 juta (lebih dari Rp500 miliar) untuk mendukung merek lokal di Indonesia berkembang menjadi usaha berkelas internasional melalui program akuisisi, pemberian modal kerja, dukungan operasional, hingga ekspansi bisnis internasional. Selain itu, juga berencana untuk mengembangkan Indonesia sebagai strategic sourcing hub untuk memperluas basis rantai pasok untuk portofolio Una Brands lainnya.

“Indonesia merupakan salah satu prioritas utama Una Brands. Kami tidak hanya melihat peluang untuk mengakuisisi merek lokal terbaik tetapi juga membantu mereka untuk ekspansi di Indonesia dan global, serta menjadikan Indonesia sebagai strategic sourcing hub untuk portofolio kami lainnya di luar sourcing hub yang saat ini berada di Tiongkok,” ucap Founder & CEO Una Brands Kiren Tanna dalam keterangan resmi.

Perusahaan sendiri telah hadir di sembilan pasar dengan fokus pasar Asia Pasifik, dengan kantor pusat di Singapura, kemudian Malaysia, Australia, Tiongkok, India, Taiwan, Korea, dan Jepang dengan lebih dari 100 karyawan . Indonesia adalah negara kesembilan yang dimasuki oleh perusahaan yang baru beroperasi pada tahun ini.

Secara terpisah, saat dihubungi DailySocial.id, Tanna menuturkan tim Una Brands di Indonesia sejatinya telah beroperasi sejak Oktober 2021 dan memiliki lima orang karyawan. Sudah ada satu brand yang sudah diakuisisi secara final oleh perusahaan, dan sembilan brand lainnya dalam tahap final due diligence. “Sedangkan untuk Una Brands secara global, kami telah berhasil mengakuisisi lebih dari 20 brand sejak Januari 2021.”

Dengan komitmen investasi yang telah diumumkan, Una Brands akan mengakuisisi merek lokal potensial yang memiliki proyeksi omzet bulanan minimal Rp400 juta, berjualan melalui jalur e-commerce populer seperti Tokopedia, Lazada, Shopee, dan Shopify. Menurutnya, tidak ada batasan ticket size yang akan dikucurkan untuk satu brand selama brand tersebut selama masuk ke dalam kriteria investasi di Una Brands.

“Kami hadir membawa pilihan baru di mana akuisisi oleh Una Brands tak hanya memberikan full exit secara tunai serta bagi hasil keuntungan bagi pengusaha, tapi juga melindungi legacy yang sudah tercipta selama ini, bahkan mengangkat legacy tersebut ke level selanjutnya melalui ekosistem Una Brands.”

Setelah proses akuisisi, Una Brands melalui teknologinya akan mengoptimalkan kinerja merek, termasuk branding, pemasaran, rantai pasok, hingga pengadaan. Serta, memperluas target distribusi secara domestik maupun internasional dalam lingkup Asia Pasifik, Amerika, dan Eropa dengan target pertumbuhan 10 kali lipat di nilai penjualan dan keuntungan.

“Sektor bisnis yang dibidik adalah kebutuhan sehari-hari, seperti kebutuhan rumah dan tempat tinggal, kecantikan dan perawatan tubuh, kebutuhan bayi, anak, dan hewan peliharaan, olahraga, serta kegiatan luar ruangan. Namun, Una Brands juga tetap terbuka untuk mengakuisisi bisnis di luar kategori tersebut.”

Didukung geliat pertumbuhan e-commerce

Una Brands bukanlah pemain pertama yang merambah segmen “rollup e-commerce” di Indonesia, sudah ada Hypefast dan OpenLabs. Sebagai perbandingan, di pasar global, konsep yang dianut ketiganya mengacu pada template yang dibuat Thrasio, pemain sejenisnya dari Amerika Serikat. Tak hanya Indonesia, template ini juga ramai-ramai diadopsi di masing-masing pemain di negara lainnya.

Menurut Co-Founder dan CEO 10Club Bhavna Suresh, salah satu pemain rollup e-commerce India, merebaknya konsep bisnis ini lantaran didukung semakin matangnya ekosistem e-commerce. Mereka bertindak sebagai agregator merek era baru, mengakuisisi perusahaan D2C yang menjanjikan untuk memastikan keunggulan operasional dan pertumbuhan yang cepat, sehingga menciptakan nilai bagi investor.

Format ini sangat berbeda dari operasi perusahaan modal ventura tradisional. VC berinvestasi di semua jenis startup (baik online maupun offline) dan memberikan panduan strategis, tetapi founder tetap yang menjalankannya. Sebaliknya, perusahaan rollup e-commerce memperoleh prospek online, memberikan bantuan infrastruktur, dan tim ahli untuk membawa bisnis ke ketinggian baru.

Di Indonesia sendiri, diprediksi merek lokal D2C akan tetap menjadi segmen yang menarik dalam perkembangan industri e-commerce, terlebih penetrasinya terus menunjukkan tren meningkat di Indonesia. Mengacu pada laporan e-Conomy 2021, e-commerce tetap akan menjadi pendorong terbesar ekonomi digital di negara ini. Sektor ini diprediksi akan tumbuh dari $35 miliar pada 2020 menjadi $53 miliar pada 2021. CAGR sektor ini diproyeksikan naik 18% menjadi $104 miliar hingga 2025.

Assassin’s Creed Valhalla Kedatangan Expansion Ketiga dan Konten Crossover dengan AC Odyssey

Dirilis pada November 2020, Assassin’s Creed Valhalla sejauh ini telah menerima dua story expansion, yakni “Wrath of the Druids” dan “The Siege of Paris”. Namun seperti yang sempat diumumkan di event Ubisoft Forward pada bulan Juni kemarin, Valhalla masih akan menerima expansion lain lagi di tahun keduanya.

Tanpa harus menunggu lama, Ubisoft baru saja mengungkap bahwa expansion ketiga untuk Valhalla, “Dawn of Ragnarok”, akan resmi dirilis pada 10 Maret 2022. Ubisoft bilang ini merupakan expansion paling ambisius yang pernah mereka buat di sepanjang sejarah franchise Assassin’s Creed, dengan konten yang diperkirakan cukup untuk menyita waktu bermain selama sekitar 35 jam, dan lokasi baru dengan luas sepertiga dari lokasi di base game-nya.

Seperti yang bisa ditebak dari judulnya, Dawn of Ragnarok bakal berfokus pada mitologi Norse. Sang lakon utama, Eivor, bahkan bakal berperan sebagai Odin di sini, di dunia mitos bernama Svartalfheim. Kisah yang diangkat adalah perjalanan Odin menyelamatkan anaknya, Baldr, dan di sepanjang perjalanannya, tentu saja bakal ada sejumlah makhluk mitologi yang menghadang, mulai dari makhluk api dari Muspelheim, sampai Frost Giant dari Jotunheim.

Dawn of Ragnarok juga bakal menampilkan Surtr, iblis raksasa dengan api yang menyala di sekujur tubuhnya (yang juga muncul di film Thor: Ragnarok). Namun tentu saja, Eivor turut dibekali sejumlah kemampuan baru sebagai Odin, dari kemampuan untuk menyerap kekuatan musuh, teleportasi, sampai shape-shifting.

Dawn of Ragnarok digarap oleh tim Ubisoft Sofia, tim yang sama yang bertanggung jawab atas expansion Curse of the Pharaoh untuk Assassin’s Creed Origins, yang berarti ini bukan pertama kalinya mereka diminta mendalami sekaligus menyajikan narasi dari suatu mitologi populer.

Namun Dawn of Ragnarok bukan satu-satunya kejutan yang Ubisoft siapkan.

Assassin’s Creed Crossover Stories

Selagi menanti kedatangan expansion ketiganya tadi, pemain juga bisa menikmati konten ekstra bertajuk Assassin’s Creed Crossover Stories mulai 14 Desember 2021. Sesuai namanya, Crossover Stories bakal mempertemukan Eivor dengan Kassandra, lakon perempuan dari game sebelumnya, Assassin’s Creed Odyssey.

Kok bisa keduanya bertemu padahal ada jarak ribuan tahun? Well, kalau Anda sudah pernah menamatkan Odyssey, Anda pasti paham bagaimana ceritanya. Jadi ada baiknya alasannya tidak disebutkan di sini demi menghindari spoiler. Satu hal yang pasti, Crossover Stories ini merupakan DLC gratis untuk Odyssey dan Valhalla sekaligus.

Di Odyssey, DLC berjudul “Those Who Are Treasured” ini bakal bisa langsung dimainkan setelah menyelesaikan chapter pertama. Namun seperti yang saya bilang, sebaiknya Anda menamatkan main story-nya dulu secara menyeluruh supaya terhindar dari spoiler. Sementara di Valhalla, DLC-nya mengambil judul “A Fated Encounter” dan dapat dimainkan setelah membuka Valka the Seer sekaligus mencapai settlement level empat di Ravensthorpe.

Sumber: GamesRadar.

Wise Egg Announces Pre Series A Funding, Launching “MoneyDuck” Financial Products Aggregator in Indonesia

The Singapore based fintech startup Wise Egg announced a pre-series A funding with convertible notes led by Genesia Ventures, which was also a previous investor in the seed round. The new investors include Money Ventures and some angel investors. The value in this round is undisclosed.

The company will use this fresh money to build teams in Indonesia and Thailand, as well as expand its expert network and recruit engineers. Next, MoneyDuck plans to expand its business to other Southeast Asian countries by improving features to support sales for professionals.

Genesia Ventures’ General Partner, Takahiro Suzuki said, there are many consumers in Southeast Asia with limited access to financial services although the region’s economy continues to grow. “This business is in line with six of our challenges, including ‘Enriching People’s Lives’ and ‘Equality of Information and Opportunities’, therefore, we are re-investing in this round after the previous one,” he said in an official statement, Wednesday (12/1).

In Southeast Asia, the working age population continues to grow, creating a pyramid where the younger generation took bigger space than the older generation. It will give birth to a “demographic bonus” in the future. As income grows, people can access financial services and products.

Financial products such as insurance, loans, and fintech product innovations have been offered in the market and currently growing, however, there are many challenges on the way. One of the challenges is the lack of public financial literacy, that makes it difficult to optimize financial services experience.

Wise Egg is the company behind MoneyDuck, a financial solutions platform for consumers and financial providers. Wise Egg’s Founder & CEO, Takashi Matsuura said, “Through MoneyDuck, we want to increase user access to financial services, create efficient relationships between consumers and financial companies, and contribute to creating a richer life by solving financial inclusion and social problems.

“MoneyDuck is not only trying to provide financial inclusion solutions for the public as users of financial services, but also solutions to financial providers for appropriate financial services,” Matsuura said.

Some players in Indonesia have offered similar services, such as CekAja, Cermati, Lifepal and what GoBear used to do until it finally went out of business. However, MoneyDuck offers an added value that allows users to get financial advice from experts through the chat feature on MoneyDuck, WhatsApp, or other communication platforms.

In terms of experts, they will be able to find prospects and carry out promotions, and get access to a dashboard to contact potential consumers based on their profiles. Meanwhile,in terms of users, they can consult with financial experts through a friendly UI, after answering a few simple questions to connect with experts according to their financial needs, for free.

The company also ensures that the information entered by this user is shared with suitable experts, and nothing to worry about getting a massive sales offers.

“Financial services are an important foundation for living a stable life. However, there are many people who are yet to have access to financial services due to the low level of user literacy in Southeast Asia. Meanwhile, the digital transformation of financial institution is yet to be improved, it creates inefficiency to approach new customers,” Matsuura said.

Based on its website, MoneyDuck provides credit card products, loans, savings, insurance, investments, and others together with related partners. Starting from J Trust Bank, Bank Mega, BNI, DBS Bank Indonesia, CTBTC Bank, Bank Danamon, BCA, BRI, Panin Bank, and many more. In terms of investment products, forex is currently the sole trading products.

Similar business in Indonesia

The opportunity to become an aggregator of financial products is widely open. In Indonesia alone, the potential for the unbanked is still higher than the bankable. This is the right aggregator solution to reach those with low financial literacy and have not been able to keep up with the fast changing market. On the regulatory side, the aggregator platform is currently work under the Digital Financial Innovation at OJK.

Another issue is the inability to choose and conduct personal research on financial products, causing problems due to choosing illegal products without realizing the consequences; users cannot access certain financial products due to difficulties in filling out forms and incorrectly preparing the required documents; and there are still few sources of financial advice providers with friendly UX.

It creates difficulty for financial institutions to switch to more efficient features such as AI chat bots or communication methods without a human touch due to user resistance. Users need sales people and customer service personnel to offer and explain products, as well as guide them through the application process.

Both CekAja and Cermati, currently with their aggregator business bases that have been operating for a longer time, have transformed into various other fintech business units. CekAja, for example, ventured into the credit scoring business to see how much loan and credit card applications were approved. Meanwhile, Cermati entered the insurtech realm with the Cermati Protect brand, Indodana p2p lending, and Bank-as-a-service (BaaS) solutions.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Terima Pendanaan Pra-Seri A, Wise Egg Luncurkan Agregator Produk Keuangan “MoneyDuck” di Indonesia

Startup fintech asal Singapura Wise Egg mengumumkan perolehan pendanaan pra-seri A dengan instrumen convertible notes yang dipimpin oleh Genesia Ventures, yang juga merupakan investor sebelumnya dalam putaran tahap awal. Investor baru yang turut berpartisipasi ada Money Ventures dan sejumlah angel investor. Tidak disebutkan nominal yang didapat perusahaan dalam putaran ini.

Perusahaan akan memanfaatkan dana segar ini untuk membangun tim di Indonesia dan Thailand, serta memperluas jaringan expert dan perekrutan tenaga engineer. Ke depannya, MoneyDuck berencana untuk ekspansi bisnis ke negara-negara Asia Tenggara lainnya dengan meningkatkan fitur yang mendukung proses penjualan untuk para profesional.

General Partner Genesia Ventures Takahiro Suzuki menuturkan, masih banyak konsumen di Asia Tenggara yang mengalami keterbatasan akses ke layanan keuangan, kendati pertumbuhan ekonomi di regional ini terus mengalami tren pertumbuhan. “Bisnis ini sesuai dengan sesuai dengan enam dari tantangan kami, yaitu ‘Memperkaya Kehidupan Orang’ dan ‘Kesetaraan Informasi dan Peluang’, sehingga kami kembali berinvestasi dalam putaran ini setelah sebelumnya di putaran awal,” ucapnya dalam keterangan resmi, Rabu (1/12).

Di Asia Tenggara, populasi usia produktif terus tumbuh sehingga menciptakan diagram piramida penduduk dengan populasi generasi muda lebih banyak dibandingkan generasi tua. Hal ini akan melahirkan “bonus demografi” di masa depan. Dan seiring pertumbuhan pendapatan, masyarakat dapat mengakses layanan dan produk keuangan.

Produk-produk finansial seperti asuransi, pinjaman, dan inovasi produk fintech telah ditawarkan di pasar dan terus berkembang, namun ada banyak tantangan yang harus dihadapi. Salah satu tantangannya adalah masih minimnya literasi keuangan masyarakat sehingga mereka sulit menikmati manfaat layanan keuangan secara optimal.

Wise Egg merupakan perusahaan di balik MoneyDuck, platform solusi keuangan bagi konsumen dan penyedia keuangan. Founder & CEO Wise Egg Takashi Matsuura menuturkan, melalui MoneyDuck pihaknya ingin meningkatkan akses pengguna layanan keuangan, menciptakan hubungan yang efisien antara konsumen dengan perusahaan keuangan, dan berkontribusi untuk melahirkan kehidupan yang lebih kaya lagi dengan memecahkan masalah inklusi keuangan dan masalah sosial.

“MoneyDuck tidak hanya berusaha memberikan solusi inklusi keuangan bagi masyarakat selaku pengguna layanan keuangan, namun juga solusi bagi penyedia keuangan agar layanan keuangan yang mereka miliki tepat guna,” ucap Matsuura.

Solusi ini tak jauh berbeda dengan yang ditawarkan pemain sejenis di Indonesia, seperti CekAja, Cermati, Lifepal dan dulu sempat digeluti oleh GoBear sampai akhirnya gulung tikar. Namun nilai tambah yang ditawarkan MoneyDuck adalah memungkinkan pengguna mendapat saran finansial dari expert melalui fitur chat di MoneyDuck, WhatsApp, atau platform komunikasi lainnya.

Dari sisi expert, mereka akan dapat menemukan prospek dan melakukan promosi, dan mendapat akses dasbor untuk menghubungi potensial konsumen yang disaring berdasarkan profilnya. Sementara itu, dari sisi pengguna, mereka dapat berkonsultasi dengan expert keuangan melalui UI yang bersahabat, setelah jawab beberapa pertanyaan sederhana untuk terhubung dengan expert sesuai dengan kebutuhan finansial secara gratis.

Perusahaan turut memastikan bahwa informasi yang dimasukkan pengguna ini hanya dibagikan ke expert yang cocok, sehingga tidak perlu khawatir akan mendapat tawaran sales yang bertubi-tubi.

“Layanan keuangan merupakan pondasi penting untuk menjalani kehidupan yang stabil. Namun, masih banyak masyarakat yang belum dapat menikmati keuntungan dari layanan keuangan karena rendahnya literasi pengguna di Asia Tenggara. Sementara itu, transformasi digital dari perusahaan keuangan belum mengalami peningkatan sehingga pendekatan ke pelanggan baru tidak efisien,” tutup Matsuura.

Berdasarkan hasil pantuan situsnya, MoneyDuck menyediakan produk kartu kredit, pinjaman, tabungan, asuransi, investasi, dan lainnya bersama dengan rekanan terkait. Mulai dari J Trust Bank, Bank Mega, BNI, DBS Bank Indonesia, CTBTC Bank, Bank Danamon, BCA, BRI, Panin Bank, dan masih banyak lagi. Sedangkan untuk produk investasi, sejauh ini baru menghadirkan produk forex trading.

Perkembangan dari bisnis sejenis di Indonesia

Kesempatan untuk menjadi pemain agregator produk keuangan masih begitu luas karena di Indonesia saja, potensi unbanked masih lebih tinggi daripada bankable. Solusi agregator ini tepat untuk menjangkau mereka yang memiliki literasi keuangan masih rendah dan belum mampu menyeimbangi perubahan pasar yang cepat. Di sisi regulasi, platform agregator saat ini masih dinaungi dalam Inovasi Keuangan Digital di OJK.

Isu lainnya yang timbul adalah ketidakmampuan dalam memilih dan melakukan riset pribadi mengenai produk keuangan, sehingga menimbulkan masalah akibat memilih produk ilegal tanpa menyadari akibatnya; pengguna tidak bisa mengakses produk keuangan yang diinginkan karena kesulitan mengisi formulir dan salah menyiapkan dokumen yang diperlukan; dan masih sedikit sumber penyedia saran finansial dengan UX bersahabat.

Kondisi tersebut juga mempersulit lembaga keuangan beralih ke fitur yang lebih efisien seperti AI chat bots atau metode komunikasi tanpa sentuhan manusia karena adanya penolakan dari pengguna. Pengguna masih membutuhkan sales person dan petugas customer service untuk menawarkan dan menjelaskan produk, serta memandu mereka melewati proses aplikasi.

Baik CekAja dan Cermati, saat ini dengan basis bisnis agregatornya yang telah lebih lama beroperasi, sudah menjelma ke berbagai unit bisnis fintech lainnya. CekAja misalnya, merambah ke bisnis skoring kredit untuk melihat seberapa besar disetujuinya pengajuan pinjaman dan kartu kredit. Sementara itu, Cermati masuk ke ranah insurtech dengan brand Cermati Protect, p2p lending Indodana, dan solusi Bank-as-a-service (BaaS).

SaladStop! Dapat Pendanaan Seri B dari Temasek, East Ventures, dan Lainnya; Memvalidasi Ketangguhan “Cloud Kitchen”

Startup pengembang food chain yang fokus pada makanan sehat, SaladStop! Group, mengumumkan penutupan pendanaan seri B senilai SGD12 juta atau setara 125,7 miliar Rupiah. Putaran tersebut dipimpin Temasek, dengan keterlibatan East Ventures, Vulcan Capital, K3 Ventures, dan DSG Consumer Partners.

Saat ini layanannya sudah digunakan 3,5 juta orang per tahun oleh pengguna di Indonesia, Singapura, Jepang, Korea Selatan, Hong Kong, dan beberapa negara lainnya. Di Indonesia sendiri, layanan SaladStop! baru bisa dinikmati oleh pengguna di Jakarta dan Surabaya. Mereka juga telah mengoperasikan beberapa merek, termasuk Heybo, Wooshi, dan GoodFoodPeople dengan 69 gerai di seluruh negara basis operasionalnya.

Sesuai namanya, menu yang disuguhkan berupa salad, memadukan bahan segar nabati dan hewani. Selain itu ada beberapa menu lain juga seperti Wraps, Protein Bowl, dan makanan Korea. Menariknya, melalui situs yang disuguhkan untuk pemesanan, kita bisa menyusun makanan kita sendiri dengan memilih bahan dasar, sayuran, topping, sampai dressing-nya.  Setiap makanan yang dipesan akan dihitung kandungan nutrisinya.

“Misi kami untuk membentuk masa depan makanan di Asia dan memastikan bahwa makanan sehat itu nyaman dan dapat diakses oleh semua orang. Pandemi menunjukkan ketahanan bisnis kami di semua pasar dan mempercepat penetrasi online. Dipicu oleh teknologi inovatif, jaringan cloud kitchen, dan generasi baru merek makanan sehat  kami sangat senang dapat bermitra dengan investor strategis untuk meningkatkan skala bisnis,” ujar Co-Founder & CEO SaladStop! Adrien Desbaillets.

Manfaatkan cloud kitchen

Dalam menjajakan produknya, SaladStop! memanfaatkan konsep cloud kitchen. Ini dipilih agar dapat mendorong pertumbuhan yang lebih tinggi, terlebih didukung dengan teknologi yang mereka kembangkan. Di proses distribusi, mereka juga memanfaatkan ekosistem food delivery di masing-masing negara tujuannya. Seperti di Indonesia, mereka bermitra dengan GoFood dan Grab Food untuk pemesanan dan pengantaran makanan.

Selain itu, di Indonesia SaladStop! turut menggandeng operator cloud kitchen untuk membantu mereka memproduksi makanan untuk pelanggan. KitaKitchen menjadi platform yang mereka gandeng saat ini. Sebenarnya banyak opsi yang bisa digunakan juga, DailySocial.id mencatat setidaknya ada 15 operator yang kini terus memantapkan bisnis.

No Nama Operator Tahun berdiri Lokasi Minimum kontrak Ukuran dapur Harga sewa (mulai dari) Mitra brand
1 GrabKitchen 2018 45 outlet 1 tahun 10-20 m2 Bagi hasil Geprek Bensu, Reddog, The Good Habit Express
2 Dapur Bersama GoFood 2019 27 outlet 1 tahun 14-25 m2 Bagi hasil FamilyMart, Banzai, I am Geprek Bensu
3 Everplate 2019 9 outlet 1 tahun 6-17 m2 Biaya tetap, 6 juta/bln 2080 Burger, The Moo, Bakso Gembul
4 Yummy Kitchen 2019 40 outlet 6 bulan 5-10 m2 Bagi hasil, 7 juta/bln Dailybox, KyoChon, Se’i Sapi Lamalera
5 Kita Kitchen 2020 3 outlet 6 bulan 6-17 m2 Biaya tetap, 5 juta/bln Burgreens, Thai Alley, Yoshinoya, SaladStop
6 Telepot 2020 1 outlet 6 bulan 7-19 m2 Bagi hasil, 6 juta/bln Yuks Bowl, Kaka Bakes, CWIMS
7 Hangry 2020 40 outlet N/A N/A N/A Own brand
8 Popitsnack N/A 1 outlet N/A N/A N/A Segara Market, Tehna
9 Tabula 2020 53 outlet N/A N/A N/A Mujigae, Palava, Fondre
10 Eden Kitchen 2020 1 outlet N/A N/A Biaya tetap, 5 juta/bln Oppa Corn Dog, Unicorn Burger
11 Foodstory 2021 2 outlet N/A N/A N/A Ayam Sunda Empire, Nasi Goreng TikTok, Chick Pok!
12 Lookalkitchen 2021 50 outlet N/A N/A N/A Dapoer Bang Jali by Denny Cagur
13 DishServe 2021 100 outlet N/A N/A Komisi Phago, Daipan
14 Eatsii 2021 N/A N/A N/A N/A Nasi Goreng Endoy, Simply Fry
15 Boga Kitchen 2020 16 outlet N/A N/A N/A Own brand

Dengan mereduksi beban di sisi operasional, brand pengembang produk makanan memang cenderung bisa lebih gesit dalam melakukan inovasi produk dan ekspansi. Sebaran penyelenggara cloud kitchen yang terus meluas juga menjadi kesempatan tersendiri bagi pemain untuk memperluas pangsa pasarnya di tengah pergeseran kebiasaan pelanggan pascapandemi. Ini terbukti, sepanjang pandemi, lebih dari 50% penjualan SaladStop! dihasilkan secara online.

“Untuk mencapai strategi pertumbuhan ambisius kami berencana untuk memperdalam akar kami di pasar yang ada, sementara juga memperluas jejak di negara-negara baru yang dipilih. Kami telah membangun infrastruktur yang luas di seluruh wilayah selama beberapa tahun terakhir dan akan terus memanfaatkan kemampuan teknologi dan model operasi cloud kitchen eksklusif kami untuk mempercepat pertumbuhan kami di pasar negara berkembang,” imbuh Chief Growth Officer of SaladStop! Frantz Braha.

Konsep bisnis serupa di Indonesia

Hangry, Foodstory, Legit Group, dan beberapa pemain lokal lain sebenarnya juga telah mengadopsi model bisnis yang serupa, yakni “multi-brand cloud kitchen”. Melalui gerai-gerai mini yang tersebar di berbagai kota, bahkan sebagian tidak menyediakan opsi dine-in, mereka menghadirkan beberapa brand makanan sekaligus ke dalam satu opsi pemesanan. Contohnya Hangry!, dalam kedainya mereka memberikan beberapa opsi makanan mulai dari Moon Chicken, San Gyu, Kopi Dari Pada, dan Ayam Koplo.

Dari sisi pengguna model multi-brand ini juga menghadirkan keuntungan tersendiri. Dalam satu kali pemesanan, mereka bisa memperoleh varian item makanan dari merek yang berbeda — termasuk menghemat ongkos kirim.

Penerimaan pasar yang apik ternyata turut membuka mata pemodal ventura untuk turut menggarap lini industri ini. East Ventures berinvestasi ke Legit Group, sementara Alpha JWC Ventures juga turut mendukung Hangry! sejak debut awalnya.

Model bisnis yang dijalankan saat ini seperti bisa menjadi “template” untuk pengusaha kuliner generasi selanjutnya. Selain memungkinkan mereka bisa bergerak lincah untuk memperluas area bisnis, penerimaan pasar juga menjadi aspek penting yang kini mulai terbentuk. Di sisi lain infrastruktur yang mengakomodasi bisnis tersebut juga terus diperdalam. Sebut saja, untuk layanan pemesanan kini tidak hanya terpaku ke duo Grab-Gojek, platform lain seperti Shopee dan Traveloka mulai meningkatkan kualitas layanan food delivery mereka.

Tantangannya justru bagaimana ini pengusaha makanan menciptakan brand yang relevan dengan pangsa pasar di Indonesia – demi menghadirkan produk makanan berkualitas dengan biaya terjangkau. Toh di sisi operasional banyak biaya yang seharusnya bisa ditekan untuk diprioritaskan ke produk.

Modalku Debuts in Thailand, Securing Early Stage Funding from 500 Tuktuk

Funding Societies (known as Modalku in Indonesia) announced its operational debut in Thailand, after obtaining a crowdfunding license from the Thailand Securities and Exchange Commission (SEC) in February 2021. Simultaneously, the company secured early stage funding with an undisclosed nominal from 500 TukTuks.

Apart from Modalku, another fintech company pursuing on the same opportunity in the regional arena is Investree. In addition, Danacita has also been available in Thailand.

500 TukTuk is a venture capital part of 500 Startups which focuses on early-stage funding for startups across Thailand and CLMV (Cambodia, Laos, Myanmar, and Vietnam).

Funding Societies Thailand’s Country Head, Varun Bhandari said, the company’s vision is to always serve credit-worthy SMEs while growing wealth for investors. “[..] We believe that this will pave the way for Funding Societies to become the first choice digital lender for SMEs,” he said in an official statement.

500 TukTuk’s Partner, Krating Poonpol added, fintech is one of the rising industries with exponential growth in recent years. In Southeast Asia, there are many successful fintech startups due to many different factors including its large market size, population size, established financial institutions, and businesses that are open to new technologies and innovations.

They discover an opportunity for Funding Societies to grow exponentially with its capacity to solve the challenges faced by SMEs and startups in the region. “We strongly believe that Funding Societies can strengthen the Thai economy by offering solutions for entrepreneurs in Thailand,” he said.

Since the launching in Thailand, Funding Societies has funded local Thai SMEs and startups of up to more than THB100 million (approximately 42 billion Rupiah) at affordable prices, with no bad credit. Also, partnering with Central Retail, NocNoc, Freshket, and Accrevo as institutional lenders.

Funding Societies offer short-term financing to businesses, connecting them to retail and institutional clients seeking attractive alternative investment opportunities. In Thailand, there are more than 3 million SMEs operating in various industries, and more than 60% of them have experienced declining income due to the pandemic.

Many of these SMEs have no access to adequate funding from traditional financial institutions. As small businesses become the backbone of the economy, Funding Societies is committed to bridging the SME financing gap in the region by providing flexible loan products to meet working capital and expansion needs such as invoice financing, PO financing, project financing and term loans of up to THB 50 million (approx. 21 billion Rupiah).

The Modalku Group was founded in 2015 to address the S$300 billion SME funding gap, with the strong belief that every eligible SME deserves funding. Over the past six years, the company has disbursed over 58 billion (over 21 trillion Rupiah) THB through 4.8 million loans to more than 70,000 SMEs throughout the Southeast Asia region.

Its default rate during the pandemic remains less than 2%, supported by an AI-led credit scoring model. The platform has been trusted by regional partners such as Lazada, Shopee, CIMB, and FoodPanda, to fund SMEs in the supply chain, such as suppliers, distributors or merchants.

Southeast Asia SME market

Based on a study by the Asian Development Bank entitled “Asia Small and Medium Sized Enterprise Monitor 2020”, MSMEs accounted for an average of 97% of all types/scale companies, 69% of the total workforce, and 41% of the country’s gross domestic product (GDP) during 2010-2019.

The Covid-19 pandemic in 2020 exacerbated the high tense global trade and economic uncertainty in the region. In many ways, MSMEs hold the key to economic recovery in Asia’s developing countries.

Indonesia is a Southeast Asia’s country with the largest number of MSMEs in the region at 64 million, followed by Thailand with 3.5 million, and the Philippines with 1.2 million MSME units.

MSMEs are a major and important force to drive the Southeast Asian economy. The number is 97% of the business world and absorbs 97% of the national workforce from 2010 to 2019 period. MSMEs also contribute an average of 41% of GDP for each country in the same period.

However, there are still many business players have no access to financing. Many of them are considered ineligible to borrow from banks with no credit history.

Fintech can make it easier for MSMEs to optimize the effectiveness and efficiency of business operations, as well as make it easier for MSMEs with no sufficient requirements to access banking financing, in accessing working capital financing.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Mulai Beroperasi, Modalku Thailand Terima Pendanaan Tahap Awal dari 500 TukTuk

Funding Societies (dikenal sebagai Modalku di Indonesia) mengumumkan dimulainya operasional di Thailand, setelah mendapat lisensi crowdfunding dari Thailand Securities and Exchange Commission (SEC) pada Februari 2021. Bersamaan dengan itu, perusahaan memperoleh pendanaan tahap awal dengan nominal dirahasiakan dari 500 TukTuk.

Selain Modalku, perusahaan fintech lainnya yang turut menggarap peluang yang sama di kancah regional adalah Investree. Selain itu, terdapat Danacita yang sudah hadir di Thailand.

500 TukTuk merupakan modal ventura bagian dari 500 Startups yang berfokus pada pendanaan tahap awal untuk startup yang tersebar di Thailand dan CLMV (Cambodia, Laos, Myanmar, and Vietnam).

Country Head of Funding Societies Thailand Varun Bhandari mengatakan, visi perusahaan adalah selalu melayani UKM yang layak mendapat kredit sambil menumbuhkan kekayaan bagi investor. “[..] Kami percaya bahwa ini akan membuka jalan bagi Funding Societies untuk menjadi pemberi pinjaman digital pilihan bagi UKM,” ucapnya dalam keterangan resmi.

Partner 500 TukTuk Krating Poonpol menambahkan, fintech adalah salah satu industri yang sedang naik daun yang tumbuh secara eksponensial dalam beberapa tahun terakhir. Di Asia Tenggara, ada banyak startup fintech yang sukses karena banyak faktor yang berbeda termasuk ukuran pasarnya yang besar, jumlah populasi, lembaga keuangan yang mapan, dan bisnis yang terbuka untuk teknologi dan inovasi baru.

Pihaknya melihat peluang bagi Funding Societies untuk tumbuh secara eksponensial dengan kapasitasnya untuk memecahkan tantangan yang dihadapi oleh UKM dan startup di wilayah ini. “Kami sangat percaya bahwa Funding Societies dapat memperkuat ekonomi Thailand dengan menawarkan solusi bagi para pengusaha di Thailand,” ucapnya.

Sejak diluncurkan di Thailand, Funding Societies telah mendanai UKM dan startup lokal Thailand hingga lebih dari THB100 juta (sekitar 42 miliar Rupiah) dengan harga terjangkau, tanpa kredit macet. Serta, bermitra dengan Central Ritel, NocNoc, Freshket, dan Accrevo sebagai lender institusinya.

Funding Societies menawarkan pembiayaan jangka pendek untuk bisnis, menghubungkan mereka ke klien ritel dan institusi yang mencari alternatif peluang investasi yang menarik. Di Thailand, ada lebih dari 3 juta UKM beroperasi di berbagai industri, dan lebih dari 60% di antaranya mengalami penurunan pendapatan akibat pandemi.

Banyak dari UKM ini tidak memiliki akses ke pendanaan yang memadai dari lembaga keuangan tradisional. Karena usaha kecil adalah tulang punggung perekonomian, Funding Societies berkomitmen untuk menjembatani kesenjangan pembiayaan UKM di kawasan ini dengan menyediakan produk pinjaman yang fleksibel untuk memenuhi kebutuhan modal kerja dan ekspansi seperti pembiayaan faktur, pembiayaan PO, pembiayaan proyek dan pinjaman berjangka hingga THB 50 juta (sekitar 21 miliar Rupiah).

Grup Modalku didirikan pada 2015 untuk mengatasi kesenjangan pendanaan UKM sebesar S$300 miliar, dengan keyakinan kuat bahwa setiap UKM yang layak berhak mendapatkan pendanaan. Selama enam tahun terakhir, perusahaan telah menyalurkan lebih dari THB 58 miliar (lebih dari 21 triliun Rupiah) melalui 4,8 juta pinjaman kepada lebih dari 70.000 UKM di seluruh kawasan Asia Tenggara.

Tingkat default-nya selama pandemi tetap kurang dari 2%, didukung oleh model penilaian kredit yang dipimpin AI. Platform-nya telah dipercaya oleh mitra regional seperti Lazada, Shopee, CIMB, dan FoodPanda, untuk mendanai UKM dalam rantai pasokan, seperti pemasok, distributor, atau pedagang.

Pasar UMKM di Asia Tenggara

Berdasarkan studi oleh Asian Development Bank bertajuk “Asia Small and Medium Sized Enterprise Monitor 2020”, UMKM menyumbang rata-rata 97% dari semua jenis/skala perusahaan, 69% dari total tenaga kerja, dan 41% dari produk domestik bruto (PDB) negara selama 2010-2019.

Pandemi Covid-19 pada tahun 2020 memperburuk tensi perdagangan global yang sudah meningkat dan ketidakpastian ekonomi di wilayah regional. Dalam banyak hal, UMKM memegang kunci pemulihan ekonomi di negara berkembang Asia.

Indonesia menjadi negara di Asia Tenggara yang mempunyai jumlah UMKM terbesar di kawasan sebanyak 64 juta disusul oleh Thailand dengan 3,5 juta, dan Filipina dengan 1,2 juta unit UMKM.

UMKM merupakan kekuatan utama dan penting untuk mendorong perekonomian Asia Tenggara. Jumlahnya 97% dari dunia usaha dan menyerap 97% angkatan kerja nasional dalam periode 2010 hingga 2019. UMKM juga menyumbang rata-rata 41% dari PDB tiap negara dalam periode yang sama.

Namun, masih ada banyak pelaku usaha yang belum memiliki akses terhadap pembiayaan. Banyak dari mereka dianggap tidak memenuhi syarat meminjam di bank dan tidak memiliki histori kredit.

Fintech dapat memudahkan UMKM untuk mengoptimalkan efektivitas dan efisiensi operasional usaha, serta memudahkan UMKM yang tidak memiliki persyaratan cukup untuk mengakses pembiayaan perbankan, dalam mengakses pembiayaan modal kerja.

Qapita Closes 213 Billion Rupiah Funding, Focusing on Expansion to Indonesia

Singapore-based legaltech startup Qapita announced $15 million (over 213 billion Rupiah) series A funding led by East Ventures through Growth Fund and Vulcan Capital. Participated also in this round NYCA and previous investors, including MassMutual Ventures, Endiya Partners, and several angel investors, including Alto Partners, partners from Northstar Group and K3 Ventures.

Previously, Qapita raised $5 million in the Pre-Series A round and $2.25 million in the seed round, respectively in April 2021 and September 2020. The company has raised a total of $22.25 billion in funding since it was founded.

Qapita is a legaltech company that helps private companies such as startups to manage company’s record of share ownership structures (known as capital tabulations/cap tables) and employee share ownership plans (ESOPs). The startup was founded in September 2019 by CEO Ravi Ravulaparthi, COO Lakshman Gupta, and CTO Vamsee Mohan.

The three of them saw an opportunity to digitize and make the private capital market more efficient. The founders come from diverse professional backgrounds with more than 20 years of experience working as bankers, investors and technologists in South and Southeast Asia.

Qapita’s Co-founder & CEO, Ravi Ravulaparthi explained that the fresh funds will be used to expand its operations in Indonesia, including to strengthen its client base in Singapore and India. He said, Indonesia is one of the fastest growing private markets in the world. It is now a good time to build operating systems and transaction rails for private enterprise ownership in the region.

“It is related to the use of technology to increase transparency, access, efficiency, and liquidity in the private market. This platform will also empower Indonesian startup employees in terms of company ownership. The Qapita team is very grateful to our shareholders and partners in Indonesia who have supported this effort,” Ravulaparthi said in an official statement, Wednesday (6/10).

The Qapita team has grown from 7 people, twelve months ago to around 65 people, today in Singapore and India. Qapita’s operational scope is now spread across three countries, India, Indonesia and Singapore.

The reason is said that these three areas have companies identify opportunities to use technology as it gathers three main trends. It includes the rapid growth in various startups, the expansion of several venture capital, and the financial digitalization.

Qapita predicts the private securities value in the region will exceed $1 trillion-$1.5 trillion (with 200-250 unicorns) in the next few years and scalable digital solutions will be critical for the ecosystem to thrive. Qapita equity management software solves problems related to HR (ESOP), finance and fundraising issues for private companies, investors, shareholders and employees.

Qapita’s marketplace enables secondary transactions for stakeholders. Qapita estimates that more than USD 150 billion of equity will require various liquidity solutions.

Ravulaparthi continued, the company plans to add more products to its platform with this funding round, not only to provide solutions for private companies and startups, but also investors, shareholders and employees.

“Qapita also plans to facilitate liquidity solutions through digital marketplaces that enable transactions for companies between their investors and employee stakeholders.”

East Ventures’ Co-founder & Managing Partner, Willson Cuaca stated his enthusiasm to invest more in Qapita to build an operating system for the private market in the region. “Qapita can be a liaison network between private companies, their employees, shareholders and investors in all matters relating to equities. The startup ecosystem in Indonesia and other regions is growing rapidly,” he said.

ESOP trend in Indonesia

Casting for skilled talent is an important task for startups, but retaining talented staff is another big challenge. High salaries and benefits are the traditional way to retain talent. However, this strategy does not always work, especially when the startup faces competition from other, bigger and more established startups.

In the ESOP, the employer allocates a varying number of company shares to each qualified employee, depending on the salary scale or other aspects. ESOPs usually come with a vesting period, during which employees are prohibited from selling shares.

Each employee’s stock is held in the company’s ESOP trust until the employee retires, leaves the company, or is allowed to sell their shares. Once fully entitled, the company can “buy back” shares from employees, either in its entirety or periodically through liquidity or buybacks.

The plan was created to increase employees dedication to achieve positive results for the startup, as the value of their shares will increase along with the value of the company. By owning shares in the company, employees are less likely to leave, thus potentially reducing employee turnover rates for startups.

The ESOP is becoming a method that is being used gradually in Southeast Asia for small startups to attract and retain talent. In Indonesia, on Ravulaparthi’s observation, this concept is just getting popular. While in India, it has been implemented since the last three years.

A joint survey conducted by Monk’s Hill Ventures and recruitment platform Glints found that in Southeast Asia, equality is a common compensation for C-level staff and other executive-level employees, yet not limited to junior or mid-level employees. The survey stated that less than 32% of participants were compensated in the form of equity. The preference for cash payments is the main reason for the low proportion.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Qapita Tutup Pendanaan Seri A 213 Miliar Rupiah, Difokuskan untuk Ekspansi ke Indonesia

Startup legaltech asal Singapura Qapita mengumumkan perolehan pendanaan seri A sebesar $15 juta (lebih dari 213 miliar Rupiah) yang dipimpin East Ventures melalui Growth Fund dan Vulcan Capital. NYCA dan para investor terdahulu, meliputi MassMutual Ventures, Endiya Partners, dan beberapa angel investor, termasuk Alto Partners, para mitra dari Northstar Group dan K3 Ventures, turut berpartisipasi dalam putaran ini.

Sebelumnya, Qapita mengumpulkan dana sebesar $5 juta di babak Pra-Seri A dan $2,25 juta di tahap awal, masing-masing pada April 2021 dan September 2020. Perusahaan telah mengumpulkan total pendanaan sebesar $22,25 miliar sejak pertama kali berdiri.

Qapita adalah perusahaan legaltech yang membantu perusahaan tertutup seperti startup untuk mengelola pencatatan struktur kepemilikan saham perusahaan (dikenal sebagai tabulasi permodalan/cap table) dan rencana kepemilikan saham karyawan (ESOP). Startup ini didirikan pada September 2019 oleh CEO Ravi Ravulaparthi, COO Lakshman Gupta, dan CTO Vamsee Mohan.

Mereka bertiga melihat peluang untuk melakukan digitalisasi dan membuat pasar modal privat lebih efisien. Para pendiri berasal dari latar belakang profesi yang beragam dengan pengalaman lebih dari 20 tahun bekerja sebagai bankir, investor, dan ahli teknologi di Asia Selatan dan Asia Tenggara.

Co-founder & CEO Qapita Ravi Ravulaparthi menjelaskan, perusahaannya akan menggunakan dana segar ini untuk perluasan operasionalnya di Indonesia, termasuk memperkuat basis kliennya di Singapura dan India. Menurutnya, Indonesia adalah salah pasar swasta dengan pertumbuhan tercepat di dunia. Sekarang merupakan waktu yang tepat untuk membangun sistem operasi dan rel transaksi untuk kepemilikan perusahaan swasta di wilayah ini.

“Hal ini berkaitan dengan pemanfaatan teknologi untuk meningkatkan transparansi, akses, efisiensi, dan likuiditas di pasar swasta. Platform ini juga akan memberdayakan karyawan startup Indonesia dalam hal kepemilikan perusahaan mereka. Tim Qapita sangat berterima kasih kepada para pemegang saham dan mitra kami di Indonesia yang telah mendukung dalam upaya ini,” ucap Ravulaparthi dalam keterangan resmi, Rabu (6/10).

Tim Qapita telah berkembang dari 7 orang, dua belas bulan yang lalu menjadi sekitar 65 orang, pada hari ini di Singapura dan India. Cakupan operasional Qapita kini tersebar di tiga negara, yakni India, Indonesia, dan Singapura.

Dia beralasan di tiga wilayah ini perusahaan mengidentifikasi peluang untuk menggunakan teknologi karena terjadi pertemuan tiga tren utama. Yakni, pertumbuhan pesat dalam jumlah startup, ekspansi jumlah modal ventura, dan digitalisasi keuangan.

Qapita memperkirakan nilai sekuritas swasta di wilayah ini akan melebihi $1 triliun-$1,5 triliun (dengan 200-250 unicorn) dalam beberapa tahun ke depan dan solusi digital yang terukur akan sangat penting bagi ekosistem tersebut untuk berkembang. Perangkat lunak manajemen ekuitas Qapita memecahkan masalah yang berkaitan dengan SDM (ESOP), masalah keuangan dan penggalangan dana untuk perusahaan swasta, investor, pemegang saham, dan karyawan.

Marketplace dari Qapita memungkinkan transaksi sekunder bagi para pemangku kepentingan. Qapita memperkirakan bahwa lebih dari USD 150 miliar ekuitas akan membutuhkan berbagai solusi likuiditas.

Ravulaparthi melanjutkan, dari putaran pendanaan ini, perusahaan berencana untuk menambah lebih banyak produk ke platform-nya yang tidak hanya memberikan solusi bagi para perusahaan swasta dan startup, tetapi juga kepada para investor, pemegang saham, dan karyawannya.

“Qapita juga berencana untuk memfasilitasi solusi likuiditas melalui pasar digital yang memungkinkan transaksi bagi perusahaan antara investor mereka dan para pemangku kepentingan karyawan.”

Co-founder & Managing Partner East Ventures Willson Cuaca menuturkan antusiasmenya dapat kembali berinvestasi di Qapita untuk membangun sistem operasi bagi pasar swasta di wilayah ini. “Qapita dapat menjadi jaringan penghubung antara perusahaan swasta, karyawan mereka, pemegang saham, dan investor dalam semua hal berkaitan dengan ekuitas. Ekosistem startup di Indonesia dan region lain tumbuh dengan pesat,” kata dia.

Tren ESOP di Indonesia

Perburuan talenta terampil adalah tugas penting bagi startup, namun mempertahankan staf berbakat adalah tantangan besar lainnya. Gaji dan tunjangan yang tinggi adalah cara tradisional untuk mempertahankan talenta. Namun strategi ini tidak selalu berhasil, terutama ketika startup menghadapi saingan dari startup lain yang lebih besar dan lebih mapan.

Dalam ESOP, pemberi kerja mengalokasikan sejumlah saham perusahaan yang bervariasi kepada setiap karyawan yang memenuhi syarat, tergantung pada skala gaji atau aspek lainnya. ESOP biasanya datang dengan periode vesting, di mana karyawan dilarang menjual saham.

Setiap saham karyawan disimpan dalam kepercayaan ESOP perusahaan sampai karyawan tersebut pensiun, keluar dari perusahaan, atau diizinkan untuk menjual saham mereka. Setelah sepenuhnya menjadi hak, perusahaan dapat “membeli kembali” saham dari karyawan, baik secara keseluruhan atau secara berkala melalui likuiditas atau pembelian kembali.

Rencana tersebut dibuat untuk meningkatkan dedikasi karyawan untuk mencapai hasil positif bagi startup, karena nilai saham mereka akan meningkat seiring dengan nilai perusahaan. Dengan memiliki saham di perusahaan, kemungkinan karyawan untuk keluar akan lebih kecil, sehingga berpotensi mengurangi tingkat turnover karyawan untuk startup.

Tren ESOP menjadi metode yang perlahan-lahan digunakan di Asia Tenggara bagi startup kecil untuk menarik dan mempertahankan talentanya. Di Indonesia sendiri, menurut Ravulaparthi, konsep ini baru mulai populer. Sementara di India sudah lebih dahulu menerapkannya sejak tiga tahun terakhir.

Sebuah survei bersama yang dilakukan oleh Monk’s Hill Ventures dan platform rekrutmen Glints menemukan bahwa di Asia Tenggara, kesetaraan adalah kompensasi umum untuk staf tingkat C dan karyawan tingkat eksekutif lainnya, tetapi tidak terbatas pada karyawan junior atau menengah. Survei tersebut menyatakan bahwa kurang dari 32% peserta diberi kompensasi dalam bentuk ekuitas. Preferensi untuk pembayaran tunai adalah alasan utama proporsi yang rendah.