Layanan P2P Lending Danamart Mudahkan UKM Cairkan Pinjaman Secara Online

Industri fintech lending di Indonesia semakin diramaikan oleh para pemain baru, diantaranya adalah Danamart. Startup ini memfokuskan diri pada pinjaman untuk UKM dengan dua produk utamanya berupa pinjaman untuk pembayaran tagihan (invoice financing) dan pembayaran PO (purchase order financing).

CEO dan Co-Founder Danamart Patrick Gunadi menerangkan, Indonesia masih membutuhkan pemain fintech lending untuk kredit produktif. Sedangkan kebanyakan pemain lending saat ini fokus pada kredit konsumtif yang sifatnya payday cash loan, di mana ada risiko besar di belakangnya.

“Sementara p2p lending untuk pembiayaan bisnis jumlahnya belum banyak. Padahal, di segmen ini siklus pembayarannya jelas kapan lenders harus exit, dan sebagainya,” terangnya kepada DailySocial.

Untuk menjamin keamanan pendana dan peminjam, Danamart bekerja sama dengan berbagai pihak pendukung seperti asuransi kredit, perbankan, dan lembaga lainnya. Apabila terjadi gagal bayar, asuransi kredit akan menjamin 80% dari total kredit untuk mengembalikan dana ke pendana.

“Karena kita ini basisnya adalah marketplace, makanya penting untuk menjaga keamanan dari sisi kanan dan kiri. Seluruh pinjaman yang terbit melalui Danamart pada dasarnya sudah di-cover oleh asuransi. Untuk itu kami perketat dari sisi credit scoring-nya.”

Credit scoring di Danamart, sambungnya, cukup ketat. Selain harus melengkapi dokumen yang diminta, ada tim lapangan yang akan mengunjungi lokasi peminjam untuk memastikan keaslian usaha. Tim perlu bertemu tatap muka dengan perwakilan direktur dan pemegang saham, untuk mengukur peminjam berdasarkan kemampuan dan kemauan mengembalikan pinjaman.

Setelah itu, setiap peminjam akan mendapat grade apakah ada di grade A sampai E untuk menentukan bunga yang harus dibayarkan. Seluruh proses mulai dari pengajuan sampai penggalangan dana kurang lebih memakan waktu sampai 14 hari. Apabila dana sudah 100% terkumpul, peminjam baru bisa mencairkannya.

Peminjam dapat mengajukan pinjaman mulai dari Rp100 juta sampai Rp2 miliar. Tenornya minimal 1 bulan sampai 6 bulan. Apabila terlambat mengembalikan pinjaman, setiap harinya akan dikenakan bunga harian 0,2% yang berlaku sampai 60 hari ke depan.

Bunga berjalan akan berhenti setelah memasuki hari ke 61, sesuai dengan dorongan dari Asosiasi Fintech Pembiayaan Bersama Indonesia (AFPI) kepada seluruh anggotanya.

Adapun untuk pendana, mereka bisa berinvestasi dengan nominal dari Rp1 juta sampai Rp2 miliar, sehingga cocok untuk peminjam individu dan korporasi.

Target Danamart

Patrick menuturkan pengajuan sepenuhnya dilakukan secara online melalui situs resmi perusahaan, belum ada aplikasi tersedia. Hanya saja, lokasi peminjam sementara ini terbatas di Jakarta saja.

Secara model bisnis, Danamart sudah siap untuk beroperasi, namun memilih untuk menunggu sampai menerima surat tanda terdaftar dari OJK demi menjaga keamanan dalam kegiatan usahanya.

“Dari OJK menganjurkan untuk sampai surat terdaftar diterima baru bisa beroperasi, perkiraannya kami baru launch bulan depan atau awal tahun depan.”

Setelah launch, pihaknya menargetkan pada tahap awal dapat menyalurkan pinjaman sebanyak Rp100 miliar. Perusahaan juga akan menambah produk pinjaman yang diklaim belum ada di industri fintech lending.

Patrick mengatakan produk tersebut nantinya dikhususkan untuk peminjam yang berlokasi di Jakarta dan Bali saja, lantaran sesuai dengan kontur bisnis di masing-masing daerah.

Danamart siap akan buka satu atau dua kantor perwakilan di luar Pulau Jawa demi meningkatkan penetrasi bisnisnya di Indonesia. Sejauh ini Danamart masih menggunakan dana sendiri untuk pengembangan bisnisnya.

BRI Siapkan “Pinang”, Platform Pinjaman secara Online

Bank Rakyat Indonesia (BRI) tengah mempersiapkan peluncuran platform pinjaman secara online kepada nasabah yang bernama Pinang. Cara kerjanya tidak jauh berbeda dengan yang ditawarkan layanan peer-to-peer lending.

Nantinya Pinang akan dikelola BRI Agro, anak usaha BRI. Masih dalam tahap pengembangan, jika sesuai dengan jadwal, platform ini akan diluncurkan BRI akhir November 2018 mendatang.

Menurut Direktur Teknologi Informasi dan Operasional Bank BRI Indra Utoyo, pinjaman yang bisa didapatkan nasabah melalui Pinang adalah maksimal Rp20 juta. Proses verifikasi dan credit scoring diklaim BRI dilakukan hanya dalam waktu 15 menit. Terkait dengan bunga yang dikenakan, ia menjamin akan lebih terjangkau dibandingkan yang ditetapkan layanan fintech, khususnya payday loan, saat ini.

“Ini bentuknya kredit tanpa agunan (KTA). Rate-nya tentu lebih murahlah, kita kan bank,” jelas Indra seperti dilansir dari CNBC Indonesia.

Upaya BRI adopsi teknologi

Pinang yang segera diluncurkan BRI merupakan bagian upaya BRI mengadopsi teknologi digital. Sebelumnya BRI juga mengumumkan peningkatan kemampuan chatbot Sabrina yang kini bisa diakses dengan perintah suara, dari sebelumnya yang hanya berbasis teks. Peningkatan teknologi ini diharapkan dapat membantu mempercepat nasabah mencari informasi seputar produk atau layanan BRI, serta melakukan transaksi seperti memesan tiket bioskop.

BRI juga cukup agresif menjalin kemitraan dengan layanan e-commerce seperti Bukalapak. Bukalapak resmi menjadi mitra Bank Rakyat Indonesia (BRI) untuk perluasan fasilitas perbankan kepada para pelapak dan pengguna. Layanan yang dibuka untuk Bukalapak meliputi Briva Online, CMC payment priority, E-pay, WS Overbooking dan notification, serta jasa perbankan lainnya.

BRI juga memberikan dukungan kepada PAYFAZZ dalam pengembangan sistem dan teknologi termasuk mengandalkan keunggulan konektivitas melalui satelit BRIsat. Peran PAYFAZZ sendiri akan menyediakan produk aplikasi perbankan untuk BRI yang akan diintegrasikan ke dalam sebuah sistem keagenan untuk layanan perbankan mandiri (di luar kantor bank) di daerah.

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia Tetapkan “Pagu Biaya” untuk Perlindungan Konsumen

Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) membuat standar pagu kredit pinjaman untuk melindungi konsumen. Kesepakatan ini dibuat secara mufakat oleh para anggota AFPI dan siap diterapkan. Belum ada pembicaraan lebih lanjut dengan OJK apakah pagu kredit ini akan dibuat dalam beleid resmi.

Pagu biaya yang dimaksud artinya jika pinjaman telah melewati masa penagihan maksimal 90 jari dari tenggat waktu pembayaran, biaya pinjaman dan pokok dijamin tidak akan bertambah.

Sebagai contoh apabila konsumen memiliki pinjaman senilai Rp2 juta dan ia mengalami kesulitan dalam pengembalian, maka maksimal pinjaman total beserta biaya-biaya keseluruhan berhenti di hari ke-90. Kewajiban yang harus dibayarkan adalah pokok pinjaman (Rp2 juta) + biaya dan bunga hingga maksimal hari ke-90.

Dengan adanya pagu biaya, AFPI memastikan bahwa visi untuk melakukan edukasi kredit kepada masyarakat dan pada akhirnya meningkatkan inklusi keuangan dapat tercapai.

“AFPI peduli dengan perlindungan nasabah. Untuk itu kami sepakat untuk membuat pagu biaya. Jadi total biaya yang dibayarkan tidak melebihi sampai 3-4 kali lipat dari nominal pinjaman, agar tidak tercekik,” kata Wakil Ketua Eksekutif untuk Pendanaan Multiguna AFPI Aidil Zulkifli, Selasa (6/11).

Mekanisme penerapan pagu biaya ini, sambungnya, diserahkan kepada masing-masing penyelenggara. Berdasarkan data dari AFPI, ada beberapa platform penyelenggara yang sudah lebih dahulu memberhentikan biaya-biaya setelah melewati hari ke 30, di antaranya Uang Teman dan Pendanaan.com.

“Dengan penerapan ini, konsumen jadi terlindungi dari kekhawatiran beban biaya yang memberatkan. Kehadiran kami di pasar adalah untuk memberikan solusi dan akses bagi konsumen yang tidak atau belum terlayani oleh perbankan.”

Menurut Aidil, kesepakatan ini telah dibawa ke OJK untuk dimintai persetujuannya. Regulator pun senang dengan inisiatif seperti ini, meski belum ada regulasi yang secara sah mengatur soal pagu biaya. Belum ada kemungkinan pula potensi apakah regulator akan menurunkannya dalam bentuk beleid agar lebih kuat.

Berdasarkan data OJK per bulan September 2018, data NPL untuk layanan p2p lending dan payday loan mencapai 1,2%.

Selain menetapkan pagu biaya, asosiasi juga mengagendakan agar para anggotanya memperoleh sertifikasi ISO/ICE 27001 terkait sistem manajemen penanganan informasi, peraturan Menkominfo No.4/2016. Penerapan sertifikasi ini merupakan bagian dari manajemen risiko dan menjaga keamanan data kepada konsumen.

Tak hanya itu, asosiasi juga akan menerapkan standarisasi dan sertifikasi bagi proses penagihan yang dilakukan oleh para anggota AFPI kepada konsumen. Di mana proses penagihan harus sesuai dengan kode etik penagihan yang telah disetujui oleh seluruh anggota AFPI. Agen penagihan harus memiliki sertifikasi yang dikeluarkan oleh asosiasi.

Selayaknya pemberian kredit, akan diterapkan pula mekanisme pembayaran dan konsekuensi atas kegagalan pembayaran. Asosiasi menekankan bahwa konsumen juga harus cerdas dan berhati-hati saat akan mengajukan pinjaman. Konsumen wajib mengidentifikasi apakah penyelenggara pinjaman merupakan perusahaan yang terdaftar di OJK dan mengeceknya di situs resmi OJK.

Data nasabah yang dikupulkan asosiasi akan dikumpulkan dan digunakan secara bersama dengan perbankan nasional. Sehingga dapat membantu industri keuangan secara keseluruhan. Visi untuk meningkatkan inklusi keuangan pun dapat tercapai dengan lebih cepat.

Tanggapi kabar negatif dari LBH

Inisiatif asosiasi dalam mengeluarkan beberapa pernyataan ini, menanggapi terkait isu negatif yang menimpa industri fintech p2p lending terkait aduan konsumen ke Lembaga Bantuan Hukum (LBH). Disebutkan ada 283 korban pinjaman online sejak 2016. Untuk mengkomodasi seluruh keluhan, LBH pun membuka posko pengaduan korban.

Konsumen komplain dengan cara penagihan dari penyelenggara yang tidak etis dan melanggar ketentuan, menghubungi seluruh kontak yang tersimpan di ponsel konsumen, bunga tinggi, dan sebagainya. Buntut persoalan ini dianggap merugikan AFPI karena seluruh tindakan tersebut bukan dilakukan oleh anggota asosiasi. Pemain p2p lending yang bandel dan ilegal tersebut berinisial UC, DR, KP, VL dan RN.

“Asosiasi belum menerima komplain ada pelanggaran terkait penagihan yang dilakukan oleh anggota kami, baik dari AFPI maupun AFTECH,” ujar Wakil Ketua Umum AFPI Sunu Widiatmoko.

Sunu menganggap isu ini merugikan karena merusak nama baik p2p lending yang susah-susah dirintis sejak awal oleh para pemain industri. Oleh karena itu, asosiasi akan melaporkan hal ini ke pihak kepolisian untuk ditindak lanjuti. Tak hanya itu, berkunjung ke LBH untuk edukasi lebih lanjut terkait perbedaan fintech legal dan ilegal.

Dia menegaskan seluruh praktik yang dilakukan di lapangan oleh anggota diawasi penuh oleh OJK dan sesuai dengan aturan yang berlaku.

“AFPI keberatan dan merasa dirugikan. Padahal dari awal kami mau membangun tata kelola yang baik untuk industri p2p lending yang sesuai ketentuan.”

AFPI pun sudah memeriksa barang bukti dari kedua belah pihak. Disimpulkan penyelenggara yang bukan anggota dan ilegal ini tidak memiliki itikad baik untuk berbisnis secara jangka panjang di Indonesia. Bahkan AFPI menuding pemain tersebut sengaja untuk bawa kabur dana nasabah dan keluar dari Indonesia.

“Saya sudah dengar bukti rekamannya. Kata-kata yang dilontarkan benar-benar tidak etis dan tidak pantas diucapkan.”

Sunu menyebut, asosiasi menutup diri dan tidak bersedia untuk menerima pemain ilegal tersebut sebagai anggota resmi. Dia bilang, kalau pemain tersebut memiliki itikad baik, hal pertama yang harus mereka lakukan adalah mendaftarkan diri secara resmi ke OJK baru ke asosiasi.

“Semua pemain bisa mendaftar ke OJK, sekarang tinggal dari niat mereka apakah baik atau tidak karena ini hanya soal administrasi saja. Kenapa harus merangkul [sebagai anggota] kalau niat mereka mau hit and run uang nasabah dan melanggar aturan hukum.”

Sunu juga menegaskan asosiasi ini bukan sesuatu yang ekslusif, sehingga siap merangkul siapapun yang beritikad baik.

Asosiasi siap bekerja sama dan membantu pihak LBH dan berwajib dalam menyelesaikan permasalahan yang dialami konsumen. Saat ini anggota AFPI ada 73 penyelenggara dan seluruhnya telah terdaftar di OJK.

UangTeman Salurkan Pinjaman Rp 300 Miliar di Q2 2018, Siap Ekspansi ke Filipina

Platform pinjaman online UangTeman (PT Digital Alpha Indonesia) mencatat pertumbuhan yang diklaim signifikan di Q2 2018. Perusahaan telah menyalurkan pinjaman lebih dari Rp300 miliar atau meningkat lebih dari 300% dibanding periode sama tahun sebelumnya, sementara jumlah nasabah baru meningkat sebesar 6 kali lipat. Perusahaan kini telah melayani lebih dari 60 ribu akun nasabah.

UangTeman juga mengklaim tetap menjaga kualitas penyaluran pinjaman dengan mencatat rasio Non-Performing Loan (NPL) di bawah 3%.

“Sebagai salah satu perusahaan teknologi finansial peer-to-peer pinjaman dana multiguna, UangTeman berorientasi untuk memberikan pinjaman yang aman dan bertanggung jawab secara sosial kepada masyarakat yang membutuhkan. Kami pun memiliki fokus yang kuat untuk usaha yang berkesinambungan dengan menerapkan seleksi calon nasabah yang cepat dan akurat sehingga kualitas penyaluran pinjaman kami terus terjaga, meskipun secara kuantitas meningkat tajam,” kata CEO UangTeman Aidil Zulkifli.

Saat ini lebih dari 30% pinjaman ditujukan untuk keperluan pengembangan UKM, sedangkan 25% untuk keperluan darurat terkait pendidikan, 20% untuk keperluan darurat terkait kesehatan dan sisanya lebih ke arah konsumsi.

Selain mengklaim mengalami pertumbuhan yang positif, UangTeman juga fokus ke peningkatan layanan kepada para nasabah. Salah satunya dengan menerapkan standar ISO/IEC 27001 terkait sistem manajemen pengamanan informasi yang sesuai dengan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 4 Tahun 2016.

“UangTeman fokus menyasar segmen ritel, transaksi mikro termasuk para pelaku usaha mikro hingga ke sejumlah daerah di Indonesia. Hal tersebut sejalan dengan komitmen perusahaan untuk mendukung peningkatan inklusi keuangan di Indonesia sesuai komitmen pemerintah menjadi 75% pada 2019,” kata Aidil.

Fokus ekspansi UangTeman

Pasca memperoleh pendanaan Seri B, UangTeman berencana melakukan ekspansi ke Filipina. Disinggung apa rencana UangTeman selanjutnya dan kapan ekspansi tersebut dilancarkan, pihak UangTeman enggan menyebutkan. Langkah ini bakal menjadi yang pertama dilakukan UangTeman sejak berdiri pada tahun 2015 lalu. Meskipun akan menerapkan model bisnis yang serupa dengan di Indonesia, diperkirakan nama yang akan diperkenalkan akan berbeda.

Saat ini UangTeman telah memiliki sejumlah fitur, seperti One Tap Pay, Advance Notification System, dan DEEP. Yang terakhir adalah fitur untuk mengukur tingkat kepuasan nasabah terhadap produk.

Application Information Will Show Up Here

OJK Wacanakan Implementasi Blockchain untuk Fintech Lending

OJK mulai mewacanakan implementasi teknologi blockchain untuk industri fintech lending guna mengurangi potensi kredit macet dan efisiensi bisnis. Wacana tersebut baru memulai diskusi intensif untuk implementasi pada Q4 2019.

Direktur Pengaturan Perizinan dan Pengawasan Fintech OJK Hendrikus Passagi menuturkan, selama ini kondisi yang terjadi di lapangan ada nasabah yang lolos mengajukan pinjaman ke 20 perusahaan lending sekaligus. Hal ini tentunya akan berbahaya karena berpotensi risiko gagal bayar.

“Yang kami inginkan ketika pakai blockchain, karena ada distributed ledger jadi antar perusahaan lending saling terhubung. Sehingga saat ada nasabah buruk bisa langsung ketahuan,” ujarnya di sela-sela Fintech Days Bali.

Begitupun saat melakukan e-KYC, calon nasabah tidak perlu melakukan verifikasi berkali-kali saat mengajukan ke perusahaan lending. Konsumsi data pada akhirnya akan jauh lebih efisien.

“Kami juga ingin dorong pemanfaatan poin loyalitas yang bisa dipakai untuk bayar hutang. Selama ini kurang maksimal dan banyak yang hangus. Sebenarnya ada banyak lagi efisiensi yang bisa dihasilkan dari memanfaatkan teknologi blockchain.”

Hendrikus mengungkapkan, pihaknya belum memutuskan lebih detail, misalnya bagaimana proses implementasinya untuk pemain industri atau siapa perusahaan yang bertindak sebagai pengembang teknologinya. Sekarang masih sekadar sosialisasi.

Dia juga menegaskan bahwa implementasi ini sebenarnya bukan untuk memaksa industri agar menggunakan blockchain, melainkan sepenuhnya membebaskan. OJK pun memutuskan untuk mulai melirik teknologi ini, lantaran saat ini di seluruh dunia masih terjadi trial and error dalam implementasinya.

“Kuartal 4 2019 itu baru mulai diskusi intensif. Namun kami tidak memaksakan agar semua pemain memakai blockchain. Kenapa enggak kita ikut trial and error karena momennya sekarang pas, start belajarnya berbarengan dengan negara lain.”

Rencana OJK dalam menggunakan teknologi blockchain dan mata uang kripto merupakan bagian dari roadmap fintech lending OJK 2017-2022. Ada lima fase yang direncanakan OJK, mulai dari konsolidasi, penetrasi, kolaborasi, pengakuan nasional, blockchain dan mata uang kripto, dan pengakuan global.

Dalam menyusun rencana roadmap ini, OJK dibantu oleh pemain industri fintech lending yang kini sudah membangun asosiasi terpisah dari AFTECH, yakni Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPRI).

“Jadi sekarang belum ada pembicaraan apapun soal blockchain. AFPRI yang akan susun program kerja mereka yang sudah disesuaikan dengan roadmap yang OJK buat agar saling bersinergi,” pungkas Hendrikus.

OJK Resmikan Kehadiran AFPI, Asosiasi Khusus Fintech Lending

OJK meresmikan kehadiran Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI). Asosiasi dihadirkan khusus menangani isu seputar fintech lending yang diprediksi akan membesar seiring jumlah pemain yang terus bertambah. Asosiasi ini akan berjalan beriringan dengan Asosiasi Fintech Indonesia (AFTECH) dan OJK.

“Mengawal industri lending ini sangat berat karena harus melindungi dua jenis konsumen, lender dan borrower. Kami lihat industri ini akan membesar dan masalahnya pun akan ikut besar. Untuk itu kami tidak ingin industri ini berakhir seperti di Tiongkok, kami ingin industri baru ini tumbuh sehat, kuat, dan berkontribusi pada inklusi keuangan,” terang Direktur DP3F OJK, Hendrikus Passagi, dalam Fintech Days di Bali, Jumat (26/10).

Menurut Hendrikus, dalam program kerjanya AFPI akan fokus pada isu seputar p2p lending yang selama ini belum terurus saat masih di dalam naungan AFTECH. Pasalnya, dalam keanggotaan AFTECH tidak hanya diisi oleh pemain fintech lending saja, tapi ada juga fintech lain seperti pembayaran, agregator, e-commerce dan lainnya. Keseluruhannya bergerak di bawah payung regulasi yang berbeda.

“Malah dalam bayangan kami nanti AFTECH akan jadi sokoguru untuk fintech secara umum, menjadi payung untuk semua asosiasi fintech yang bakal lebih spesifik di bawahnya.”

Bagi regulator, kehadiran asosiasi yang spesifik ini tentunya sangat bermanfaat dalam mengawasi industri lending. OJK berkeinginan industri bergerak secara tangkas, sesuai dengan semangat startup.

Dalam praktiknya, regulator mengawasi industri dengan memanfaatkan empat lapisan. Pertama, dari publik untuk mengawasi dan melaporkan apabila ada yang berbeda dengan sosialisasi POJK 77/2016. Kedua, pengendalian dari internal penyelenggara untuk pelaksanaan sesuai GCG. Ketiga, pengawasan dari asosiasi yang ikut mengawal industri. OJK ada di lapis terakhir.

“Jadi OJK ada di lapis terakhir karena kami ingin industri fintech lending ini bisa bergerak lebih agile.”

Berdasarkan data terbaru OJK, ada 73 penyelenggara fintech lending yang sudah mengantongi surat tanda terdaftar, dua di antaranya bergerak di lending syariah. Domisilinya terpusat di Jabodetabek ada 71 perusahaan, satu perusahaan berada di Bandung.

Di internal OJK, ada 47 penyelenggara yang masih dalam proses pendaftaran, 59 penyelenggara dikembalikan permohonannya untuk dilengkapi kembali, dan 38 penyelenggara yang berminat mendaftar. Sehingga bila ditotal ada 217 penambahan penyelenggara yang akan masuk sebagai anggota AFPI dan AFTECH.

Sampai September 2018, industri lending telah menyalurkan Rp13,83 triliun. Jumlah lender sebesar 161.297 entitas dan borrower 2,3 juta entitas. Rasio NPL di saat yang sama tercapai 1,2% meningkat dari posisi akhir 2017 sebesar 0,99%.

Program kerja AFPI

Hendrikus melanjutkan dalam program kerjanya AFPI memiliki sekitar delapan kompartemen yang keseluruhannya mendukung jalannya industri fintech lending agar lebih kuat. Beberapa kompartemen tersebut di antaranya menangani soal isu pembiayaan multiguna, produktif, fintech pendukung, infrastruktur, dan syariah.

Masing-masing menangani isu spesifik yang selama ini belum pernah sempat dilakukan saat masih di bawah AFTECH, seperti digital signature, pajak, artificial intelligence, kode etik, dan lainnya.

“Menariknya ada isu besar dalam pendanaan, ada yang dalam bentuk konvensional dan syariah. Dari 73 total penyelenggara yang sudah dapat tanda terdaftar, hanya dua yang berbentuk syariah. Ini mungkin jadi penyebab mengapa lending syariah kurang berkembang, karena AFTECH kurang fokus ke sana. Kita harapkan dari AFPI bisa memulainya.”

AFPI diketuai oleh Adrian A Gunadi (Investree) dan Sunu Widyatmoko (Dompet Kilat) sebagai wakil ketua. Beberapa nama penggiat fintech lending juga turut menangani AFPI, di antaranya Cally Alexandra (Crowdo), Sendy Filemon (Futureready), Lutfi Adhiansyah (Ammana), dan lainnya.

Pegadaian Announces G5TAR Fintech Business Unit

PT Pegadaian (Pegadaian) announces the development of G5TAR business unit to support the company’s initiative as a dominant fintech player. G5TAR is a realization of IDR 1.2 trillion investment last April. It’ll be led by Rama Manusama (previously Chief of Innovation MDI Ventures) and Bhimo Hantoro (previously Accenture Netherland’s Consultant). G5TAR is expected to distribute loans up to IDR 15 trillion by 2023.

G5TAR is said to perform as an omnichannel lending platform, available online and offline, to digitize Pegadaian business which mostly are offline, including through 4300 outlets all over Indonesia.

As a separate business unit, G5TAR is prepared to become a lending platform for individual consumers and micro business segments. Currently, Pegadaian reportedly has assets of IDR 50 trillion and profit of IDR 2,5 trillion.

“On this occasion, we see an opportunity to digitize some process and business development through fintech initiative particularly for consumers and micro-segments. Fintech has grown rapidly in Indonesia, but there are some reality check should be considered, such as the high price of consumer’s acquisition which leads to limitation while scaling up. Pegadaian owns a physical footprint to answer all the challenges,” Sunarso, Pegadaian’s President Director, said.

Although the lending business will be the main guide of the company’s business, the digital platform will also support Pegadaian’s existing business, including fiduciary

“Fintech will certainly lead the future’s economy and provide financial inclusion for consumer and business segments where banks haven’t reached. We are targeting [to distribute loans] IDR 15 trillion for fintech channels over the next four years,” Teguh Wahyono, IT and Digital Service Director, said.

Sets up a Digital Team

To support this initiative, Pegadaian keeps on recruiting new talents with high experience in the digital industry, investment, and corporate innovation.

In leading this initiative, Rama Manusama and Bhimo Hantoro are supported by Herdi Sularko (VP of Digital Partnership and Business Development) and Aditya Rachman (PMO and Change Management) in the G5TAR management boards. Previously, Herdi was MDI Ventures Head of Synergy and Partnership, while Aditya was the Country Head of LotusFlare, a Silicon Valley company engaged in data science to support telco business and OTT.

“We continue to build a team consists of some background industries, including banking, consulting, telco, venture capital, and startup to support our transformation into the future fintech company,” he concluded.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Pegadaian Umumkan Unit Bisnis G5TAR, Siap Jadi Pemain Fintech Dominan

PT Pegadaian (Pegadaian) mengumumkan pendirian unit bisnis fintech G5TAR untuk mendukung inisiatif perusahaan menjadi pemain fintech dominan. G5TAR merupakan realisasi investasi Rp1,2 triliun yang diumumkan April lalu. G5TAR bakal dipimpin bersama oleh Rama Manusama (sebelumnya Chief of Innovation MDI Ventures) dan Bhimo Hantoro (sebelumnya Consultant di Accenture Belanda). G5TAR ditargetkan bisa menyalurkan dana hingga 15 triliun Rupiah di tahun 2023.

G5TAR disebutkan bakal mengarah menjadi platform lending secara omni-channel, tersedia secara online maupun offline, yang berharap mendigitalisasi bisnis Pegadaian yang kebanyakan saat ini masih berupa kantor fisik, termasuk 4300 gerai di seluruh Indonesia.

Sebagai unit bisnis tersendiri, G5TAR disiapkan menjadi platform peminjaman bagi segmen konsumen perorangan dan bisnis mikro. Saat ini Pegadaian disebutkan memiliki aset Rp50 triliun dan profit Rp2,5 triliun.

“Pada kesempatan ini, kami melihat saatnya untuk melakukan digitisasi beberapa proses dan pertumbuhan bisnis melalui inisiatif fintech terlebih kepada segmen konsumen dan mikro. Fintech di Indonesia memang pesat pertumbuhannya, namun banyak reality check yang harus diperhatikan seperti tingginya harga akusisi konsumen yang akhirnya harus melihat keterbatasan ketika scaling up. Pegadaian memiliki footprint fisik yang dapat menjadi jawaban bagi tantangan ini,” ujar Dirut Pegadaian Sunarso.

Meskipun bisnis lending bakal menjadi pendorong utama bisnis perusahaan, platform digital ini juga akan mendukung bisnis existing Pegadaian, termasuk bisnis gadai.

“Fintech tentunya akan menjadi penggerak ekonomi di masa depan, di mana akan memberikan inklusi finansial bagi segmen konsumen dan usaha yang selama ini belum dijangkau oleh perbankan. Kami menargetkan [menyalurkan dana pinjaman] Rp15 Triliun untuk channel fintech selama empat tahun ke depan,” kata Direktur IT dan Digital Service Teguh Wahyono.

Menyiapkan tim digital

Untuk mendukung inisiatif ini, Pegadaian terus merekrut talenta yang sudah berkecimpung di industri digital, investasi, dan inovasi korporasi.

Selain Rama Manusama dan Bhimo Hantoro yang memimpin inisiatif ini, termasuk dalam jajaran manajemen G5TAR adalah Herdi Sularko (VP Digital Partnership dan Business Development dan Aditya Rachman (PMO dan Change Management). Herdi sebelumnya adalah Head of Synergy and Partnership MDI Ventures, sementara Aditya sebelumnya adalah Country Head LotusFlare, sebuah perusahaan Silicon Valley yang bergerak di bidang data science untuk membantu bisnis perusahaan telekomunikasi dan OTT.

“Kami terus membangun tim yang terdiri dari latar belakang industri yaitu bankingconsulting, telco, modal ventura, dan startup untuk mendukung transformasi kami menjadi perusahaan fintech di masa depan,” tutup Teguh.

Fintech Lending Startup Helicap Expands to Indonesia, Raising $5 Million Funding

Helicopter Capital (Helicap), a Singapore-based lending platform developer startup, today (9/13) announced it has raised $5 million (around IDR 74 billion) of Pre-Series A Funding. It was led by East Ventures and Soilbuild Group Holdings. It’s to focus on the expansion to the Indonesian market.

In its Indonesian debut, there will be data and technology teams to improve the company’s data collection capacity. In the distribution to SMEs, Helicap is using its own data analysis platform. The analysis was intended to generate return and credit score to convince investors (institutions) in providing loans.

Helicap introduced itself as the Capital as a Services platform within B2B2C scope. They didn’t provide direct loans, but distributing loans from partners with data analysis as the collateral. Particularly in Indonesia, Helicap admits providing loans only from the registered lenders in OJK to ensure obedience with the local regulation.

The name “Helicopter” is said to have a certain meaning. Helicap covers all access to credit data collected by some financial organizations. The data was managed to produce insights for investment allocation. It’s considered to be the helicopter view or comprehensive knowledge of the to-be-invested business.

“Southeast Asia becomes the most developing economic region, driven by SMEs. However, it also produced a fragmented loan ecosystem, incapable to serve capital loans for business as a whole,” David Wang, Helicap’s CEO and Co-Founder added.

He continued, East Ventures entree in business will give essential contribution in Indonesia. Support from Soilbuild is to validate Helicap’s portfolio, because of their expertise in the property business segment in particular. Since its operational debut in the second quarter of 2018, Helicap claims to distribute loans to more than 100,000 customers.

Indonesian expansion has set an optimistic target for this startup. The business in Indonesia is targeted to run in this year’s fourth quarter. Soon, they’ll appoint the Country Manager to lead the business maneuver in Indonesia.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Dapatkan Pendanaan 74 Miliar Rupiah, Startup Fintech Lending Helicap Ekspansi ke Indonesia

Helicopter Capital (Helicap), startup pengembang platform pinjaman yang berbasis di Singapura, hari ini (13/9) mengumumkan perolehan pendanaan Pra-Seri A senilai $5 juta (atau setara 74 miliar Rupiah). Pendanaan tersebut dipimpin East Ventures dan Soilbuild Group Holdings. Rencananya pendanaan tersebut akan difokuskan untuk berekspansi ke pasar Indonesia.

Debutnya di Indonesia akan dimulai dengan membangun tim teknologi dan data untuk meningkatkan kapasitas pengumpulan data perusahaan. Dalam menyalurkan pinjaman ke UKM, Helicap memanfaatkan platform analisis data yang dimiliki. Analisis dimaksudkan untuk menghasilkan skor kredit dan pengembalian untuk meyakinkan investor (institusi) dalam memberikan pinjaman.

Helicap menyebut dirinya sebagai platform Capital as a Services dengan cakupan B2B2C. Mereka tidak memberikan pinjaman secara langsung, tetapi menyalurkan pinjaman dari organisasi yang telah menjadi mitra dengan memberikan jaminan dari analisis data yang dilakukan. Khusus di Indonesia, Helicap mengaku hanya memberikan pinjaman dari badan peminjaman yang sudah terdaftar di OJK demi memastikan kepatuhan terhadap regulasi di sini.

Pemilihan nama “Helicopter” disebut memiliki makna tersendiri. Helicap menampung akses data kredit yang dikumpulkan berbagai organisasi keuangan. Data tersebut diolah sedemikian rupa sehingga memberikan wawasan untuk memberikan alokasi investasi. Wawasan tersebut dinilai menjadi “helicopter view” atau pemahaman menyeluruh terkait bisnis yang akan diinvestasi.

“Asia Tenggara menjadi kawasan ekonomi yang paling bertumbuh, didorong oleh UKM. Namun pertumbuhan tersebut juga menghasilkan ekosistem pinjaman yang terfragmentasi, belum dapat melayani pinjaman modal untuk bisnis secara keseluruhan,” ujar Co-Founder & CEO Helicap David Wang.

Wang melanjutkan, masuknya East Ventures dalam bisnis akan memberikan dukungan penting untuk kehadirannya di Indonesia. Didukung kontribusi Soilbuild yang akan memvalidasi portofolio Helicap, terutama karena keahlian mereka di segmentasi bisnis bidang properti. Sejak memulai operasionalnya pada kuartal kedua 2018, Helicap mengklaim telah menyalurkan pinjaman ke lebih dari 100.000 nasabah.

Kehadiran di Indonesia membuat startup ini mematok target optimis. Operasional di Indonesia ditargetkan berjalan pada kuartal keempat tahun ini. Dalam waktu dekat mereka juga akan menunjuk Country Manager untuk memimpin manuver bisnis di Indonesia.