Menggali Potensi Fintech Lewat Kolaborasi dengan Lembaga Keuangan Konvensional

Startup penyedia layanan pinjaman langsung Modalku bekerja sama dengan salah satu konsultan manajemen terkemuka di dunia Oliver Wyman menggelar acara Indonesia Fintech Conference di JW Marriot, Jakarta. Tujuannya, untuk membuka diskusi dalam menggali potensi kolaborasi antara industri fintech (financial technology) dengan institusi keuangan konvensional.

Menengok beberapa tahun kebelakang, hampir tidak ada satupun pihak yang memandang financial technology (fintech) sebagai vertikal bisnis baru dengan potensi yang besar layaknya e-commerce. Namun, seiring berjalannya waktu paradigma tersebut mulai runtuh perlahan. Penyebabnya, tak lepas dari kebutuhan masyarakat akan akses finansial yang lebih baik seiring dengan derasnya pertumbuhan teknologi digital.

Fintech bukan ancaman

(Kiri-Kanan) Ketua Oliver Wyman Indonesia Jason Ekberg, Chairman OJK DR. Muliaman D. Hadad, dan CEO Modalku Reynold Wijaya

Ketika Alpha JWC Ventures menggelar konferensi di penghujung Maret silam, bankir veteran Indonesia Arwin Rasyid menekankan bahwa bank sebagai lembaga keuangan mapan dan penuh regulasi harus dapat merangkul startup yang bergerak di bidang fintech. Dengan tegas ia juga menyebutkan jangan sampai bank melihat fintech sebagai rival dan keputusan untuk berkompetisi dengan startup fintech bukanlah keputusan bijak untuk diambil.

Kini nada yang hampir sama dilagukan kembali oleh Chairman Otoritas Jasa Keuangan (OJK) DR. Muliaman D. Hadad dalam Indonesia Fintech Conference kali ini. Muliaman menekankan bahwa fintech bukanlah ancaman bagi institusi finansial konvensional. Kedua industri ini justru harus dapat bersinergi bila ingin tumbuh di era digital sekarang ini.

“Di Indonesia ini pelaku industri keuangan nasional masih didominasi oleh bank. Saya pikir, […] respon bank terhadap fintech atau membangun partnership dengan fintech menjadi area yang sangat penting agar engagement yang terjadi [nantinya] harus betul-betul mendorong performance masing-masing. […]Sehingga bank bisa menjadi lebih efisien, dan menjadi lebih inklusif,” ujar Muliaman.

Muliaman menambahkan, “Mestinya fintech jangan dianggap sebagai ancaman bagi bank. Bagaimana itu bisa direalisasikan, tergantung dengan engagement yang dibangun. Dengan demikian, fintech [harusnya] bisa dianggap sebagai enabler [bagi sektor keuangan] dan bisa membawa industri keuangan nasional ke arah yang lebih baik.”

Menggeliatnya industri fintech yang dimulai sejak setahun belakangan ini juga memicu OJK untuk menerbitkan regulasi di ranah keuangan berbasis teknologi. Rencananya, regulasi ini akan mulai kelihatan batang hidungnya di akhir tahun. Saat ini, pelaku fintech yang sudah beraktivitas masih menjalalankan bisnisnya dengan peraturan yang sudah ada.

Menantang institusi keuangan konvensional demi melahirkan inovasi

Jajaran direksi Modalku dan Oliver Wyman usai press conference / DailySocial
Jajaran direksi Modalku dan Oliver Wyman usai press conference

Di saat yang bersamaan dengan digelarnya Indonesia Fintech Conference 2016, Oliver Wyman dan Modalku juga menerbitkan sebuah laporan berjudul “Time for Marketplace Lending: Addressing Indonesia’s Missing Middle”. Di sana, desebutkan bahwa peluang untuk usaha di bidang fintech berlimpah, khususnya marketplace lenders.

Bila peluang itu dioptimalkan maka dapat mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar $130 miliar dengan mengisi kekosongan dana sebesar $54 miliar bagi Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM). Indonesia sendiri memiliki lebih dari 57 juta usaha mikro, namun hanya satu persen dari usaha itu yang dapat berkembang menjadi UKM dengan daya saing yang baik.

Untuk merealisasikan hal tersebut perlu kolaborsi dari berbagai pihak terkait. Dalam hal ini adalah para pelaku fintech dengan intitusi keuangan lainnya, seperti bank. Tujuan akhir yang harusnya dicapai adalah menumbuhkan ekosistem keuangan yang jauh lebih sehat dari saat ini.

CEO Modalku Reynold Wijaya mengatakan, “Untuk bekerja sama dengan bank, obyektifnya sebenarnya sangat simple. Bank tidak bisa merangkul semuanya dan tidak semua bisa dirangkul oleh bank atau institusi keuangan lainnya. Jadi, kolaborasi ditujukan untuk membuat sebuah market baru [dan] kami [bank dengan fintech] bisa sama-sama merangkul UKM-UKM ini yang sebelumnya tidak bisa mendapatkan akses [finansial].”

“Jadi bersama dengan pihak bank lainya kami [fintech dan bank] bersama-sama memberikan solusi sehingga bisa menjaga mereka [UKM] dan bank bisa menumbuhkan ekosistemnya lagi. Banyak detail jenis-jenis kerja samanya, namun secara general itulah tujuan utamanya,” tambahnya.

Sementara itu Head Partner Oliver Wyman Indonesia Jason Ekberg percaya bahwa fintech sebenarnya memiliki peran yang strategis di industri keuangan bila banyak berkolaborasi dengan bank. Menurut Jason, bank sebagai institusi keuangan konvensional saat ini memiliki metode yang ketinggalan jaman dan fintech harusnya dapat menantang berbagai institusi keuangan konvensional tersebut untuk mendorang lahirnya inovasi baru.

Sebagai informasi, Modalku yang baru beroperasi di Indonesia selama kurang lebih tiga bulan, mengklaim telah berhasil menyalurkan dana sebesar Rp 3,4 miliar kepada UKM di Indonesia. Sebelumnya, Modalku juga telah menjalin kerja sama dengan bank Sinarmas sebagai escrow agent. Menurut COO Modalku Iwan Kurniawan, saat ini Modalku juga tengah berupaya membuka peluang kerja sama dengan bank lainnya, terutama yang banyak bermain di segmen UKM.

Industri fintech saat ini memang tengah menggeliat, bukan hanya di Indonesia tetapi juga secara global. Menurut laporan Accenture yang baru-baru ini diterbitkan, Asia Pasifik adalah menjadi salah satu wilayah dengan pertumbuhan investasi fintech yang cukup besar. Peningkatannya mencapai empat kali lipat sepanjang tahun 2015, atau senilai $4,3 miliar.

Laporan Accenture Indikasikan Investasi Fintech Meningkat di Eropa dan Asia di Q1 2016

Baru-baru ini Accenture mengeluarkan laporan mengenai investasi di sektor startup teknologi finansial (fintech). Laporan tersebut mengemukakan bahwa di kuartal pertama tahun 2016 ini nilai investasi di sektor fintech tumbuh 67 persen menjadi senilai $5,3 miliar dan 62 persen pendanaannya terdapat di wilayah Eropa dan Asia.

Asia Pasifik menjadi salah satu wilayah dengan pertumbuhan investasi fintech yang cukup besar. Dari laporan yang diunggah Accenture, Asia Pasifik disebutkan mengalami peningkatan mencapai empat kali lipat sepanjang tahun 2015, atau senilai $4,3 miliar. Hal ini menjadikan Asia Pasifik sebagai wilayah terbesar kedua untuk investasi finansial teknologi setelah Amerika Utara.

Tiongkok dan India merupakan dua negara dengan pertumbuhan yang paling mengambil perhatian. Keduanya merupakan negara dengan pertumbuhan investasi di sektor fintech yang cukup tinggi di kawasan Asia. Masing-masing mendapatkan investasi fintech sebesar $1,97 miliar dan $1,65 miliar di kuartal pertama tahun ini.

Dalam rilis pers yang dikeluarkan Accenture mengenai laporan ini, Chief Executive Accenture Richard Lumb mengungkapkan bahwa pertumbuhan inovasi fintech telah menyebar dengan baik di luar penghubung teknologi tradisional. Fenomena penyebaran inovasi fintech ini disebutkan Richard merupakan “Revolusi Industri Keempat”. Sebuah fenomena global yang membawa invoasi baru dan perusahaan digital yang bersaing dengan berkolaborasi dengan jasa finansial tradisional.

Dalam rilis tersebut juga menyoroti bagaimana perusahaan fintech kolaboratif, yang menargetkan lembaga keuangan sebagai pelanggan, mulai mengganggu pasar dengan bersaing dengan lembaga finansial yang sudah ada.

Pendanaan untuk perusahaan fintech kolaboratif disebutkan menyumbang hingga 38 persen dari seluruh investasi fintech pada 2010, kemudian mencapai angka 44 persen di tahun 2015. Pertumbuhan investasi seperti ini sudah cukup untuk mengantarkan para fintech kolaboratif “mengganggu” para lembaga keuangan.

“Proporsi usaha fintech kompetitif di Eropa dan Asia jauh lebih tinggi daripada di Amerika Utara, yang sebagian besar mencerminkan tahap awal kematangan pasar fintech,” ungkap Managing Directur Accenture Financial Service Julian Skan.

Di Indonesia, sektor fintech juga terus menunjukkan tren pertumbuhan. Dari para pemain dan regulator, fintech kami prediksikan menjadi salah sektor paling “hot” di tahun 2016.

59 Ide Yang Terpilih Untuk Mengikuti Finhacks 2016 #HackBytheBeach

Setelah melewati babak penjurian, dari 460 ide yang telah disubmisikan oleh para peserta Finhacks (Financial Hackathon) 2016, berhasil terpilih 59 ide aplikasi terbaik yang berhak mengikuti pagelaran puncak Finhacks 2016 #HackByTheBeach yang akan dihelat pada 23-24 April 2016, di Segarra Beach Ancol, Jakarta, sekaligus menjadi agenda puncak rangkaian acara Finhacks 2016. Di hari tersebut, para peserta terpilih akan berkompetisi merealisasikan ide yang telah disubmisikan hingga melahirkan sebuah solusi aplikasi untuk sistem pembayaran digital terbarukan.

Berikut ini adalah daftar 59 peserta/kelompok terbaik yang berhasil lolos ke tahap berikutnya:

No. Nama Peserta/Kelompok Asal Kota
1 Adam Widi Bagaskarta Surabaya
2 Ade Rifaldi Bandung
3 Ahmad Syarif Hidayatullah Bandung
4 Alfat Saputra Harun Jakarta Selatan
5 Alvin Leonardo Malang
6 Andri Yadi Bandung
7 Anselmus Krisma Adi Kurniawan Bandung
8 Arie Rachmad Syulistyo Depok
9 Arief Rahmansyah Jakarta Barat
10 Ary Purnomoz Jakarta Barat
11 Atdy Rosyan Sabtuni Jakarta Selatan
12 Baskoro Aji Susetyo Surabaya
13 Billy Riantono Jakarta Pusat
14 Brian Dwi Murdianto Yogyakarta
15 Christ Angga Saputra Bandung
16 D’abc Depok
17 Daniel Adinugroho Semarang
18 David Wijaya Bogor
19 Dwi Hastoto Jakarta Pusat
20 Edwin Andrianto Jakarta Selatan
21 Eko Purnomo Bogor
22 Escher Marlie Bogor
23 Fajar Purwo Nugroho Jakarta Timur
24 Fariz Tadjoedin Jakarta Barat
25 Fitrah Syuhada Jakarta Selatan
26 Habib Mufid Ridho Bandung
27 Hermansyah Jakarta Timur
28 Ibrahim Jakarta Timur
29 Ihsan Fauzi Rahman Jakarta Selatan
30 Imam Teguh Jakarta Selatan
31 Indra Kurniawan Tangerang
32 Jeffrey Hermanto Hs Jakarta Selatan
33 Jeremy Leonardo Limman Jakarta Selatan
34 Jerry Suryo Bekasi
35 Jouvy Alif Pradewo Jakarta Timur
36 Kenrick Satrio Sahputra Jakarta Utara
37 Kukuh Tw Jakarta Timur
38 Aria Rajasa Jakarta Pusat
39 Leonardus Gazali Jakarta Barat
40 Lie, Albert Tri Adrian Bandung
41 M Sena Luphdika Bandung
42 Muhamad Ircham Semarang
43 Muhammad Dery Rahma Surabaya
44 Muhammad Muhlas Abror Yogyakarta
45 Octavia George Kuningan
46 Pevrizal Bandung
47 Ramadhan Rosihadi Perdana Surabaya
48 Reza Aqrobby Semarang
49 Reza Pawanov Adiatmaja Jakarta Selatan
50 Saepul Bahri Bekasi
51 Sai Nantara Bandung
52 Sefrinaldi Zen Jakarta Selatan
53 Shendy Aprianto Wibowo Jakarta Selatan
54 Tata Taufik Nugraha Bandung
55 Tri Haryo Pratama Jakarta Barat
56 Tri Nugraha Jakarta Barat
57 Ugi Ispoyo Widodo Bogor
58 Albert Surabaya
59 Yulius Kepulauan Seribu

Peserta yang lolos ke Finhacks 2016 #HackBytheBeach berkesempatan untuk memperebutkan hadiah berupa uang tunai Rp 59.000.000 + Oculus Rift untuk aplikasi terbaik pertama, Rp 35.900.000 + DJI Phantom 3 untuk aplikasi terbaik kedua dan Rp 15.900.000 + GoPro Hero 4 Black Ed untuk aplikasi terbaik ketiga.

Rangkaian acara Finhacks 2016 mengajak seluruh inovator dan pengembang perangkat lunak lokal berkreasi mengembangkan solusi pembayaran digital. Menggunakan API Data yang dirilis BCA, diharapkan keluaran inovasi yang dikembangkan mampu memiliki daya guna tinggi di tengah era ekonomi digital dan pertumbuhan e-commerce di Indonesia.

Selamat bagi peserta terpilih, dan kami ucapkan untuk seluruh peserta yang telah bersemangat mensubmisikan ide aplikasinya. Bagi peserta terpilih akan dihubungi oleh panitia untuk informasi mengenai kegiatan selanjutnya.

Pendaftaran Finhacks 2016 Ditutup Hari Ini

Finhacks (Financial Hackathon) 2016 merupakan sebuah rangkaian acara yang diinisiasi BCA (Bank Central Asia) untuk melahirkan inovasi digital di bidang finansial. Dengan komitmen untuk mendukung pengembang lokal memanfaatkan potensi pembayaran digital dalam negeri, dukungan berupa pembukaan API (Application Program Interface) akan diberikan kepada peserta Finhacks 2016 #HackByTheBeach yang akan dihelat pada 23-24 April 2016, di Segarra Beach Ancol, Jakarta, sekaligus menjadi agenda puncak rangkaian acara Finhacks 2016.

Finhacks 2016 mengajak seluruh inovator dan pengembang perangkat lunak lokal berkreasi mengembangkan solusi pembayaran digital. Setelah dibuka dari tanggal 7 Maret 2016, dalam hitungan jam formulir submisi ide untuk Finhacks 2016 akan segera ditutup. Semua ide yang telah masuk akan diseleksi untuk menghasilkan 59 ide terbaik dan berhak mengikuti acara puncak Finhacks 2016 #HackBytheBeach akhir bulan April.

Pagelaran Finhacks 2016 #HackBytheBeach turut menjadi upaya percepatan inovasi digital Indonesia di bidang teknologi finansial (fintech). Pengembangan inovasi fintech dalam negeri penting untuk memfasilitasi transaksi online yang terus diminati masyarakat, dibarengi dengan makin diminatinya layanan e-commerce dan online marketplace untuk berbelanja.

Terdapat beberapa ketentuan penjurian yang akan digunakan untuk menilai kualitas ide oleh juri, yaitu:

  1. Kesiapan guna aplikasi
  2. Masalah yang bisa diselesaikan
  3. Fitur dan kegunaan aplikasi
  4. Penggunaan API Data
  5. Konsep atau ide inovasi
  6. Kemudahan tampilan dan penggunaan
  7. Kesesuaian dengan tema

Peserta Finhacks 2016 #HackBytheBeach berkesempatan untuk mendapatkan hadiah berupa uang tunai Rp 59.000.000 + Oculus Rift untuk aplikasi terbaik pertama, Rp 35.900.000 + DJI Phantom 3 untuk aplikasi terbaik kedua dan Rp 15.900.000 + GoPro Hero 4 Black Ed untuk aplikasi terbaik ketiga.

Proses penjurian akan dilakukan secara tertutup. Semua keputusan juri adalah mutlak dan tidak dapat diganggu gugat.

Setiap pengembang dibebaskan untuk memanfaatkan penggunaan API BCA dalam sistem pembayaran yang dikembangkan tanpa ada batasan. Melalui acara ini diharapkan akan muncul solusi dari para inovator lokal untuk mengimbangi laju transaksi online yang makin hari makin tak terbendung. Dengan demikian, kebutuhan dalam negeri dapat ditopang oleh layanan dan inovasi karya anak bangsa.

Platform P2P Lending Crowdo Resmi Melenggang di Indonesia

Startup asal Singapura penyedia layanan pinjaman peer-to-peer (P2P), Crowdo, Sabtu kemarin (9/3) mengumumkan telah tersedia untuk di akses secara publik di Indonesia. Ini adalah tindak lanjut Crowdo setelah Juli 2015 silam masuk ke pasar Indonesia dan melakukan uji coba untuk kalangan tertentu saja (private beta). Di Indonesia, Crowdo terdaftar dengan nama PT Mediator Komunitas Indonesia.

Juli tahun lalu layanan peminjaman dana P2P Crowdo resmi melakukan perluasan wilayah operasional ke Indonesia, menindak lanjuti langkah perluasan sebelumnya ke Malaysia. Targetnya adalah untuk memberikan pinjaman modal kerja ke bisnis di Indonesia yang belum terlayani oleh sistem keungan tradisional (pinjaman bank).

Sebagai catatan, menurut International Finance Corporation yang merupakan bagian dari grup bank dunia, di Indonesia terdapat lebih dari 20 juta UKM dengan akses terbatas terhadap pendanaan dengan perkiraan celah kredit sebesar $27 miliar. Potensi inilah yang coba dimaksimalkan oleh Crowdo di Indonesia yang merupakan negara berkembang.

“Salah satu tantangan bagi usaha kecil menengah di Indonesia adalah dari segi pemodalan. Sejauh ini sumber dana UKM masih dari perbankan, tetapi perbankan sendiri terbiliang sulit masuk ke UKM karena bank cenderung menghindari resiko,” ujar Senior Advisor Crowdo Indonesia Ari Wibowo.

Co-Founder dan CEO Crowdo Leo Shimada mengatakan, “Misi kami adalah untuk menghubungkan perusahaan rintisan ‘kelas atas’ dan bisnis kecil menengah dengan penanam modal global. […] Indonesia adalah pasar penting bagi P2P kami. […] Kami hadir di sini untuk jangka panjang.”

CROWDO P2P Lending Page / Crowdo

Leo juga optimis bahwa pilihan layanan peminjaman P2P dapat menjadi alternatif yang menjanjikan dalam membantu usaha-usaha tahap awal berkembang. Pemilik usaha akan dibantu untuk mendapatkan dana dan pemodal dapat mengakses secara transparan aliran dana yang dikucurkan juga kesempatan baru untuk berinvestasi.

Para investor yang mengunakan layanna Crowdo ini, baik itu angel ataupun ventura capital, dapat mengucurkan investasi minimum sebesar Rp 500 ribu. Sedangkan pemilik usaha dapat memperoleh pinjaman hingga mencapai satu miliar rupiah. Pihak Crowdo akan melakukan uji kelayakan dari aplikasi pinjaman dahulu sebelum diteruskan kepada pemodal.

Bila peminjam tidak membayar dua kali cicilan berturut maka pinjaman akan dikatakan gagal bayar. Bila terdapat agunan, maka agunana akan dilikuidasi untuk membayar kembali investor. Namun, jika pinjaman tersebut tidak memiliki agunan maka Crowdo akan berkomunikasi dengan peminjam untuk mencari opsi lain.

Sebagai informasi, hingga saat ini OJK masih belum memiliki regulasi yang dapat menata layanan P2P lending. Pun begitu, Leo meyakinkan pihaknya telah berkonsultasi dengan pihak regulator dan memastikan telah memenuhi segala persyaratan yang sudah berlaku.

Dengan dibukanya akses publik, Crowdo saat ini akan fokus untuk melihat perilaku pengguna di Indonesia terlebih dahulu untuk setidaknya selama enam bulan ke depan. Dari sana, tak menutup kemungkinan akan diluncurkan sebuah aplikasi mobile demi memudahkan pengguna. Selain itu, fokus untuk segera menumbuhkan tim operasional di Indonesia juga menjadi perhatian Leo saat ini.

Koinworks Hadirkan Layanan P2P Lending

Satu lagi startup Indonesia berbasis layanan finansial hadir, kali ini menyediakan platform pasar online yang menghubungkan pemberi pinjaman dengan peminjam, atau biasa disebut dengan istilah Peer-to-peer Lending (P2P Lending). Bernama Koinworks, layanan ini terinspirasi dari LendingClub di Amerika Serikat. KoinWorks menyediakan sistem penilaian pinjaman, sistem pembayaran, dan teknologi yang memberikan pengalaman lebih baik untuk para pemberi pinjaman dan peminjam.

Layanan peminjaman uang digital ini diinisiasi dengan dalih untuk memberikan sebuah alternatif layanan finansial yang sederhana. Selain itu juga memberi pilihan di tengah opsi pinjaman dari institusi finansial yang masih mematok margin bunga (Net Interest Margin) yang sangat tinggi (jika dibandingkan negara-negara lain).

Kepada DailySocial Co-Founder Koinworks Benedicto Haryono bercerita tentang awal mula pendirian layanannya:

“Kami sudah memulai riset dan idea kami di awal 2015, kemudian mulai mencari key persons untuk tim kami. Di pertengahan 2015 kami memulai part-time development dari sisi business processes dan legal due dilligence untuk product design dan company structure kami. Di Oktober 2015 kami akhirnya memulai full time development. Untuk pendanaan, sekarang ini kami masih memakai seed capital yang kami galang di 2015.”

Ben juga menambahkan, dengan Koinworks pengguna akan mendapatkan keuntungan berupa produk dan interaksi yang lebih baik bagi kedua belah pihak. Bagi peminjam akan mendapatkan bunga yang lebih rendah, biaya yang lebih murah, aplikasi yang lebih cepat dan fleksibel, dan juga kemudahan lainnya seperti pelunasan awal tanpa denda.

Sedangkan bagi pemberi pinjaman akan mendapatkan bunga yang lebih baik dari deposito, sistem penyaluran pinjaman yang mudah didiversifikasi ke banyak peminjam, dan sistem pembayaran kembali yang mudah.

“Di model kami, semua keuntungan dari bunga dinikmati oleh pengguna. Kami hanya mengenakan service fee untuk transaksi yang sukses. Apabila transaksi tidak berhasil, maka tidak ada fee apa pun yang dikenakan ke pengguna. Service fee kami adalah 3% untuk peminjam yang berhasil mendapatkan pendanaan, dan 1% untuk pemberi pinjaman sewaktu pengembalian. Biaya lainnya seperti asuransi atau biaya transfer bank kita kenakan at-cost,” ujar Benedicto.

Di Indonesia sendiri saat ini belum memiliki peraturan yang secara khusus mengatur pinjaman peer-to-peer, seperti yang dihadirkan Koinworks. Kendati demikian pihak Koinworks siap jika sewaktu-waktu regulasi tersebut dirilis, dan bersedia untuk menyesuaikan proses layanannya.

“Kepercayaan itu tidak bisa diberikan, tapi didapatkan dengan layanan yang baik melalui proses waktu. Karena itu, kami lebih fokus untuk membuat sistem yang baik dan aman […] Kami pikir peraturan resmi akan dirancang oleh pemerintah, dan kami dukung itu karena akan menjadi dorongan positif untuk industri peer finance,” imbuh Benedicto.

Untuk memaksimalkan kepuasan pelanggan tersebut, Koinworks berfokus pada berbagai improvisasi dan strategi. Dari sisi IT dan operasional, Koinworks melakukan banyak uji coba dan masukkan contingency plannings. Dari sisi analisis kredit, Koinworks merekrut dan berkonsultasi dengan orang-orang yang sudah berpengalaman di bank.

Koinworks juga menerapkan sistem fraud-check yang ketat, dan juga membuat algoritma khusus untuk analisa kredit.  Dari sisi peraturan, Koinworks melakukan konsultasi dengan OJK baik secara langsung ataupun dari tim legal.

“Di tahun ini kami tidak menargetkan volume bisnis yang besar, tapi lebih fokus ke pelayanan yang baik untuk para pengguna kami. Dengan ini, kami berharap untuk mengawali track record yang bagus bagi brand kami. Saya rasa reputasi dan kepercayaan harus dibangun secara perlahan,” pungkas Benedicto.

Kesles Resmi Hadir di Pulau Dewata

Kesles, salah satu layanan pembayaran menggunakan aplikasi besutan PT Maximilian Kesles Indonesia Group baru-baru ini mengumumkan ketersediaan layanannya di Bali. Bali dirasa menjadi salah satu tempat yang cocok setelah Jakarta, mengingat perkembangan dan konsumsi teknologi masyarakat di Bali tidak kalah dengan Jakarta.

Kesles yang sudah mulai hadir di Indonesia sejak tahun 2015 ini menawarkan kemudahan bertransaksi bagi penggunanya. Pengguna hanya diwajibkan untuk mengunduh aplikasi yang tersedia di Google Play maupun di App Store.

Tidak hanya kemudahan yang ditawarkan, sejumlah strategi juga dilakukan Kesles untuk menarik minat pengguna. Seperti memberikan penawaran menarik atau diskon dari merchant yang telah bekerja sama dan pemberian poin reward yang dapat dikumpulkan dan nantinya dapat ditukar dengan berbagai macam hadiah yang telah disediakan.

Michael Harefa salah satu perwakilan dari pihak Kesles dalam keterangan pers yang kami terima menyampaikan bahwa saat ini, di Bali, mereka telah bekerja sama dengan lebih dari 100 merchant yang siap melayani transaksi pengguna yang ada di Bali.

“Kami sangat bersemangat untuk memperkenalkan Kesles ke Bali. Untuk saat ini Kesles sudah bekerja sama dengan lebih dari 100 merchant di Bali. Penggunaan aplikasi Kesles sangat mudah, member hanya perlu men-download aplikasi tersebut di mobile phone mereka dan melakukan registrasi. Selain itu Kesles lebih aman, nyaman dan cepat karena proses transaksi hanya dengan memindai kode QR, lalu jumlah transaksi otomatis akan dipotong dari kredit Kesles mereka,” terang Michael.

Selain itu pihak Kesles juga mengabarkan bahwa mereka telah menjalin kerja sama dengan Bank QNB sehingga pengguna bisa melakukan penambahan kredit Kesles melalui mesin ATM di seluruh Indonesia. Proses penambahan sama dengan proses transfer antar bank, dan masukan kode QNB (167) dan diikuti dengan nomor Kesles yang telah didaftarkan, lalu kredit Kesles member akan ter-update sesuai nominal yang di top up.

Layanan Mobile Money Asal Inggris Segera Berinvestasi di Indonesia

BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal) kembali mengumumkan rencana penerimaan dana investasi. Kali ini Kepala BKPM Franky Sibarani mengungkapkan ada perusahaan asal Inggris, yang bergerak di bidang layanan mobile money, yang siap menggelontorkan dana $5 juta (atau senilai dengan Rp 65 miliar).

“Direktur perusahaan tersebut telah bertemu dengan perwakilan BKPM di London dan menyampaikan akan melakukan perluasan investasinya di bidang mobile money di Indonesia, sehingga dalam jangka waktu lima tahun ke depan, total nilai investasi akan mencapai sekitar $5 juta,” kata Franky.

Perusahaan tersebut, yang belum disebutkan namanya, kabarnya juga telah mendapatkan Izin Prinsip dari BKPM di awal tahun 2016 ini sebagai usaha telekomunikasi nirkabel dengan nilai investasi $1,14 juta (Rp 15 miliar).

Seperti harapan-harapan dari tiap investasi, dalam wacana ini Franky turut mengharapkan prospek yang positif untuk perkembangan bangsa terutama di sektor IT dan ekonomi digital yang tengah tumbuh. Berdasarkan pemberitaan Detik, kesempatan kali ini juga diusahakan menjadi pemicu untuk investasi-investasi lanjutan dari perusahaan Inggris.

Jika melihat tren yang berkembang, menggarap pasar Asia Tenggara terutama Indonesia merupakan hal yang menggiurkan di ranah digital dewasa ini. Franky sendiri melihat potensinya dan serta merta mendukung dalam aspek birokrasi yang disederhanakan. “Berinvestasi di Indonesia lebih mudah karena proses perizinan lebih cepat,” ungkapnya.

Pejabat Promosi Investasi kantor perwakilan BKPM London Nurul Ichwan ikut menyampaikan perannya yang mengiringi proses minat investasi dari pihak yang terlibat, “Saat ini kami menyediakan layanan end to end services kepada investor sehingga perusahaan telekomunikasi tersebut tentu kami harapkan dapat menggunakan services kami untuk mempercepat perluasan investasi mereka.”

Minggu lalu, BKPM turut mewartakan niatan dari perusahaan perakit ponsel asal Amerika Serikat dengan nilai $18 juta (Rp 240 Miliar), dan perusahaan penyedia konten hiburan asal Malaysia dengan nilai $10 juta (Rp 130 Miliar).

Ranah e-commerce Indonesia memang merupakan magnet bagi pelaku usaha yang berburu potongan kue dari market share tersebut. Tidak heran jika industri yang bersinggungan seperti vendor perangkat ponsel, dan solusi pembayaran online turut menaruh minat mengiringi roda bisnis nasional.

Alpha JWC Ventures Soroti Fintech dan Big Data Menjadi Tren Inovasi Digital di Indonesia

Kemarin (30/3) venture capital Alpha JWC Ventures menggelar konfrensi di Hotel Kempinski, Jakarta dengan tema “Next Wave of Technology Disruption in Indonesia”. Dalam konfrensi tersebut ada dua sektor yang disorot Alpha JWC Ventures untuk jadi tren inovasi digital berikutnya di Indonesia, yakni fintech dan big data.

Konfrensi tersebut juga dihadiri oleh beberapa tokoh dan pemimpin bisnis di sektornya masing-masing. Beberapa di antaranya yaitu Mentri Perdagangan Indonesia Thomas Lempbong, Veteran Bankir Arwin Rasyid, CEO Net Mediatama Wishnutama Kusubandio, CEO Mediatrac Regi Wahyu, CTO Mediatrac Imron Zuhri dan beberapa perusahaan portofolio Alpha JWC Ventures.

Co-Founder dan Managing Partner Alpha JWC Ventures Jefrey Joe dalam sesinya menjelaskan bahwa e-commerce dan marketplace saat ini adalah sektor yang paling diminiati di Indonesia dengan masing-masing persentasi yaitu 21 dan 17 persen. Pun begitu, fintech dan big data menunjukkan peningkatan yang signifikan di angka 10 persen dan 7 persen.

Teknologi finansial dan industri perbankan

IMG_20160330_145259

Dalam sesi panel diskusi pertama yang fokus pada teknologi finansial, veteran bankir Arwin Rasyid percaya bahwa saat ini bank di Indonesia sedang dalam masa rumit karena perkembangan teknologi. Arwin juga menuturkan bila saat ini bank masih enggan masuk ke ranah mobile maka itu sama saja dia sudah keluar dari kompetisi.

Arwin mengatakan, “Generasi milenial yang akan membentuk bagaimana bank beroperasi [di Indonesia], karena mereka digital savvy. […] Bank itu sudah mapan dan penuh dengan aturan, itulah mengapa bank harusnya merangkul startup fintech. […] Bank jangan melihat mereka [startup fintech] sebagai rival, tetapi lihat sebagai pelengkap. Bukan ide yang baik bila bank harus berkompetisi dengan startup fintech.”

Sementara itu Co-founder dan Managing Partner Will Ongkowidjaja menyebutkan bahwa penting bagi startup di bidang finansial untuk mencari investor yang berpengalaman di bidang yang sama. Dari sana, selain nantinya dapat dibantu untuk membentuk model bisnsi yang baik, startup juga dapat dibantu untuk duduk bersama dan berdiskusi dengan para regulator.

Big data dan dampak pada berbagai perusahaan

20160330_154134

Di panel diskusi kedua, topik yang dibahas adalah mengenai big data dan dampaknya ke berbagai industri. Disebutkan oleh CEO Mediatrac Regi Wahyu, saat ini data masih didominasi oleh konsumen internet, tetapi ke depannya akan segera bergerak ke industrial consumer, dan akan diikuti dengan pemerintahaan berbasis internet.

Big data technology memang sedang terjadi di Indonesia saat ini, meski belum menjadi hype sebesar e-commerce. Tantangannya saat ini adalah bagaimana perusahaan mengoptimalkan data yang dimiliki untuk memberikan dampak yang positif.

Pendiri Sepulsa Ananto Wibisono percaya bahwa implementasi big data pada perusahaan bukan hal yang mudah untuk dilakukan. Pun begitu, ia juga yakin bahwa big data itu sendiri merupakan investasi jangka panjang yang baik bagi perusahaan.

Pendiri dan CEO NET Mediatama Wishnutama Kusubandio mengatakan bahwa media yang akan bertahan dalam lima tahun ke depan adalah yang bisa memanfaatkan big data seoptimal mungkin. Wishnu percaya bahwa big data akan berguna untuk tiap konten yang dibuat oleh media, bukan hanya untuk pendistribusian tepat sasaran, tetapi juga untuk monetisasi.

Alpha JWC Ventures adalah perusahaan modal ventura institusional dan independen yang berinvestasi pada perusahaan teknologi tahap awal atau berkembang dengan fokus pasar utama di Indonesia. Tak ada sektor khusus yang dibidik, Alpha JWC Ventures hanya berupaya menjadi nilai tambah bagi pendiri perusahaan rintisan dalam membangun perusahaannya. Beberapa portofolio dari Alpha JWC Ventures di antaranya yaitu, Mediatrac, Kredivo, Modalku, Sepulsa, Jualo, UangTeman dan Asmaraku.

Optimisme Investree Hadapi Persaingan Pasar P2P Lending

Salah satu kategori startup fintech yang kian ramai di Indonesia adalah startup dengan layanan peer to peer lending (P2P). Startup ini memiliki konsep marketplace yang akan mempertemukan para investor (mereka yang mempunyai dana) dengan peminjam. Satu dari startup P2P lending di Indonesia adalah Investree.

Investree hadir di Indonesia pada November tahun lalu. Baru di awal tahun ini layanan Investree melakukan soft-launching. Startup yang digawangi oleh Adrian Asharyanto Gunadi, Andi M Andries dan Dickie Widjaja ini sejauh ini masih berjalan dengan modal pribadi. Dengan pengalaman masing-masing Founder dan Co-founder, Investree berkomitmen untuk memberikan layanan yang terbaik bagi penggunanya.

Tak hanya didukung dengan teknologi untuk transaksi dan pencatatan, layanan Investree juga didukung dengan analisis manajemen risiko yang tinggi. Sejak aktif pada bulan November silam, Investree mengklaim memiliki pertumbuhan yang baik. Menurut data internal Investree saat ini total pembiayaan yang telah dilakukan mencapai Rp 2,5 M. Angka tersebut juga dibarengi dengan meningkatnya jumlah investor yang tergabung dalam sistem Investree.

“Rata-rata transaksi berhasil didanai dalam waktu 5 hari oleh 6 lenders. Investree juga telah menjalankan proses repayment atas pinjaman yang didanai dan menangani beberapa deal dengan Borrower yang datang dari berbagai macam latar belakang bisnis, termasuk penyedia tenaga kerja outsourcing, digital agency, hingga perusahaan konstruksi. Seluruh pinjaman yang ditawarkan berhasil didanai 100% dengan proses repayment yang aman dan terkendali. Pertumbuhan perusahaan telah mendekati 100% per bulan dari segi pinjaman dan visitor,” ungkap Adrian saat menjelaskan kondisi layanan Investree kepada Dailysocial.

Sama seperti P2P lending lainnya Investree juga bermitra dengan pihak bank. Saat ini Investree bermitra dengan bank Danamon sebagai cash management. Menurut penjelasan Adrian kerja sama ini sejalan dengan prinsip bisnis Investree yang tidak melakukan penghimpunan dana.

“Setiap transaksi yang diadministrasikan oleh Investree akan dilakukan melalui Virtual Account (VA) dalam sistem Bank Danamon. Investor dan Borrower pun akan memiliki sebuah VA dengan nomor rekening tertentu yang dapat digunakan untuk aktivitas transaksi di Investree,” terang Adrian.

Menatap persaingan dengan optimis

Konsep layanan P2P lending di Indonesia tergolong masih baru meski sudah banyak yang memberikan layanan ini. Itu lah mengapa pihak Investree merasa tertantang untuk bisa mengedukasi masyarakat mengenai layanan ini.

P2P lending pada dasarnya ingin membantu masyarakat memperoleh pinjaman, terutama bagi mereka yang kesulitan mendapatkan pinjaman dari bank. Salah satu yang menjadi fokus Investree adalah UKM.

“Sektor UKM, yang menjadi salah satu fokus Investree, adalah satu contoh nyata. Mereka menyumbang 99% pekerjaan yang ada di Indonesia, namun porsi pembiayaan di sektor tersebut masih sangat rendah. Oleh karena itu, kami mendukung pertumbuhan P2P lending dan layanan serupa yang dapat membantu masyarakat Indonesia meraih akses finansial secara mudah. Kami juga secara aktif berkomunikasi dengan OJK melalui Task Force Fintech untuk mendiskusikan regulasi tentang P2P lending bersama dengan perusahaan P2P lending lainnya agar industri ini dapat berkembang secara sehat di masa depan,” jelas Adrian.

Adrian bercerita ada beberapa hal yang menjadi keunggulan Investree dibanding dengan startup P2P lending lainnya. Dari sisi produk, Investree fokus pada bidang pinjaman bisnis dengan produk berupa pembiayaan piutang, selain itu dalam waktu dekat Investree juga akan menyajikan produk consumer loans yang ditujukan kepada para peminjam individual untuk keperluan-keperluan seperti renovasi rumah, pinjaman pernikahan atau pinjaman umroh.

Selain itu Investree juga mengklaim memiliki sistem credit scoring yang kredibel dalam menganalisis, menyeleksi dan menyetujui permintaan pinjaman yang diajukan oleh peminjam. Hal tersebut akan memastikan bahwa hanya peminjam yang layak yang akan tersedia di marketplace Investree.

Fokus dan target saat ini

Adrian menjelaskan saat ini pihaknya sedang berusaha memberikan manfaat sebanyak-banyaknya bagi pengguna Investree, baik peminjam maupun investor. Di samping itu, sebagai persiapan menuju grand-launching Investree yang rencanannya akan dilakukan pada bulan Mei mendatang saat ini Investree tengah giat melakukan digital campaign.

Untuk target jangka pendek pihak Investree tengah berupaya menambah jumlah basis pengguna baik itu peminjam maupun investor, memperkuat SDM untuk menunjang layanan Investree, dan peluncuran aplikasi mobile di akhir tahun ini.

Sedang untuk jangka panjang Investree berharap bisa melakukan ekspansi ke kota dan negara lain, menambah portofolio produk dan berupaya menjadi “Indonesia’s leading peer-to-peer marketplace” yang mampu meningkatkan inklusi finansial di tanah air.