Sampingan Receives Pre Series A Funding Worth of 21 Billion Rupiah

Sampingan is an app that offers side jobs for its users. Today (10/8) they announced pre-series A funding worth of $1.5 million or equivalent to 21.2 billion Rupiah, led by Golden Gate Ventures – a venture capital that focuses on seed funding.

Participated also in this round, Antler and some angel investors. Sampingan happened to graduate from Antler‘s startup program. Investment is to be focused on business operational expansion.

Sampingan is designed to connect business with freelancers. There are few job offers, such as reviewer, surveyor, marketing agent, many more. Users that register as an agent or worker can participate in any job and gain credit (cash) to be disbursed.

Founded in late 2018, Sampingan is currently supported by 60 officers and build a headquarter in Jakarta. They just developed an app in the Android version, however, they claimed to have more than 150 thousand applicants.

Sampingan was founded by three people, Wisnu Nugrahadi, Margana Mohamad, and Dimas Pramudya. Those are graduates from Universitas Padjadjaran. Wisnu and Dimas used to be in the product and developer team at Gojek. Margana owns and runs an outsourcing business.

Previously, the founder said in an interview with DailySocial that the service was inspired by the outsourcing business models with a daily or monthly target for users. In the process, Sampingan uses a similar approach, and provides income based on performance (pay per performance).


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

TouchTen Umumkan Pendanaan Baru, Mulai Fokus Kembangkan Produk Game untuk Segmen Perempuan

Startup pengembang mobile game TouchTen belum lama ini mengabarkan telah mendapatkan pendanaan baru dengan nilai yang tidak disebutkan. Prasetia Dwidharma, Sheila Tiwan (CEO Carsurin), dan Indra Leonardi (Kingfoto Group) menjadi investor baru di putaran ini. Investor sebelumnya CUEBIC Inc. juga turut terlibat dalam pendanaan ini.

Selain melanjutkan inovasi produk, salah satu fokus bisnis tim TouchTen adalah mengembangkan game untuk menjangkau pasar  gamer perempuan. Dinilai segmen pasar ini masih sering dilupakan oleh pengembang, sedangkan potensinya cukup besar.

Dalam sambutannya, Co-Founder & CEO TouchTen Roki Soeharyo mengatakan, “Selama ini game sering dianggap sebagai hobi untuk laki-laki saja, tapi dunia sudah berubah. Saat ini setengah dari pemain mobile game adalah perempuan. Meskipun data menunjukkan kurangnya konten game yang menarik bagi mereka, namun lebih banyak perempuan bermain game daripada sebelumnya.”

“Hal inilah yang membuat tim TouchTen semakin bersemangat untuk membawa kegembiraan bagi para pemain yang kurang mendapatkan perhatian secara global, melalui permainan yang juga kami sukai,” lanjut Roki.

Tahun ini pendapatan dan basis pengguna game TouchTen diklaim telah tumbuh 238% dan 93% dibanding tahun sebelumnya. Salah satu strateginya dengan mengembangkan game berdasarkan momentum di pasar.

Sebagai contoh salah satu game yang telah diluncurkan beberapa waktu lalu. Memadukan konsep puzzle game dengan tema pecinta hewan peliharaan, dipasarkan untuk pengguna di Ameria Serikat dan Eropa. Tim juga sedang mengerjakan proyek lain, khusus untuk pasar Indonesia yang dijadwalkan akan dirilis pada akhir 2019.

“TouchTen memiliki banyak pengalaman dalam mengembangkan mobile game. Prasetia bersemangat untuk bergabung kali ini, karena kami percaya TouchTen adalah tim yang sempurna untuk menangani pangsa pasar gamer perempuan berskala internasional. Yang paling menarik perhatian kami adalah karena TouchTen sangat dilandasi oleh data dalam mengembangkan game mereka,” sambut CEO Prasetia Dwidharma Arya Setiadharma.

TouchTen sudah berdiri sejak tahun 2009, selain Roki salah satu pemrakarsanya adalah Anton Soeharyo yang tak lain adalah kakak kandungnya – kini ia fokus mengembangkan platform PlayGame.com memanfaatkan blockchain untuk bantu pengembang game menghadirkan model permainan interaktif. Ada juga co-founder lain yakni Dede Indrapurna yang saat ini menjabat jadi COO TouchTen.

Ideosource, CyberAgent Capital, GREE Ventures, dan 500 Startups adalah beberapa investor yang pernah berpartisipasi pada putaran sebelumnya.

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

Bagaimana “Venture Debt” Membantu Startup Indonesia

Kini sangat lumrah jika startup mendapatkan pendanaan dari modal ventura melalui pendanaan ekuitas (equity financing). Founder menjual sebagian saham setelah dihitung valuasinya oleh investor untuk mendapatkan dana yang mendukung pengembangan bisnis.

Nilai minus dari pendanaan ekuitas adalah potensi kepemilikan founder yang semakin terdelusi bila sering menggalang pendanaan. Alih-alih bisa mengontrol perusahaan, founder harus rela untuk dikontrol para investor yang telah menguasai saham mayoritas. Bila kinerja tidak sesuai ekspektasi, ia siap-siap harus didepak.

Sebenarnya ada metode lain untuk mendapatkan pendanaan, dan telah diatur OJK, yakni bagi hasil dan obligasi konversi.

Di luar negeri dengan ekosistem perusahaan teknologi sudah dewasa, seperti Amerika Serikat, Eropa, bahkan India, sebenarnya lebih awal dikenal konsep venture debt (utang ventura). Kehadirannya disebabkan kebutuhan pasar pada saat itu.

Cara kerjanya kurang lebih mirip dengan pembiayaan dari bank. Founder mendapat kredit dan harus dikembalikan dengan tenor dan kupon yang sudah disepakati berdasarkan profil risiko perusahaan.

Sejumlah perusahaan teknologi penting pernah terbantu lewat venture debt, seperti Airbnb dan Uber. Sebetulnya, apa itu venture debt? Lalu seperti apa potensinya buat startup Indonesia?

Mengenal venture debt

DailySocial meminta pandangan secara umum mengenai venture debt dari MDI Ventures yang diwakili Kenneth Li dan Aldi Adrian. Aldi menjelaskan venture debt umumnya masuk berbarengan dengan pendanaan ekuitas. Sangat riskan buat firma venture debt masuk sendiri.

Dengan demikian, founder akan memiliki runway yang lebih panjang untuk ekspansi bisnis tanpa sahamnya banyak terdelusi. Dia mencontohkan, ketika startup X ingin menggalang pendanaan dengan hitungan valuasi hanya bisa dapat sekitar $5 juta-$10 juta.

Tapi dengan tambahan venture debt, ada tambahan $5 juta untuk dikembalikan dalam satu atau dua tahun, artinya startup tersebut akan punya landasan lebih panjang. “Ada ekspektasi dari performa dan traksi startup bisa jauh lebih tinggi valuasinya tanpa harus galang dana lagi di tengah jalan.”

Kombinasi antara dana yang masuk, berupa ekuitas dan venture debt, akan membuat founder jadi lebih nyaman karena mereka tidak harus melepas saham lebih banyak. Mereka tetap akan mengontrol perusahaan.

“Jika founder tidak mau give up equity, bisa ambil venture debt karena kan kalau sudah kasih equity tidak bisa diambil lagi, beda dengan venture debt,” tambah Kenneth.

Aldi melanjutkan, kecenderungan venture debt itu dana digunakan untuk modal kerja, bukan untuk disalurkan lagi sebagai disbursement, atau disebut loan channeling, kendati metode ini sebenarnya juga bisa dipakai venture debt.

Umumnya venture debt masuk berbarengan dengan equity financing / DailySocial
Umumnya venture debt masuk berbarengan dengan equity financing / DailySocial

Pernyataan ini sekaligus meluruskan debt financing (pembiayaan utang) yang didapat Kredivo. Startup fintech lending ini memperoleh debt financing dari firma venture debt Partners for Growth (PFG) sebesar $20 juta. Dana sepenuhnya disalurkan lagi sebagai pinjaman ke konsumen melalui lini produk Kredivo.

Kredivo memisahkan kantong pendanaan bisnis menjadi dua. Pertama adalah pendanaan ekuitas dari VC untuk membiayai seluruh pengeluaran operasional dan mendukung pertumbuhan perusahaan.

“Yang kedua yaitu pendanaan lini kredit (debt line) yang berasal dari institusi keuangan seperti bank atau firma pembiayaan seperti PFG. Kami gunakan sepenuhnya untuk penyaluran pinjaman kepada konsumen melalui beberapa lini produk pembiayaan: e-commerce, pinjaman tunai, dan offline,” ujar Head of Marketing Kredivo Indina Andamari.

Dia beralasan, pemisahan ini sebatas praktik bisnis dan pengelolaan dana yang dianggap sehat bagi pertumbuhan dan keberlanjutan perusahaan. “Kami akan terus menerapkan ini untuk seterusnya. Keduanya sangat krusial bagi bisnis kami.”

Venture debt ini tidak jauh berbeda dengan pembiayaan dari bank. Ada tenor dan kupon yang secara bulanan harus rutin dibayar startup. Perkiraan tenor cukup pendek, ada yang satu sampai dua tahun.

Namun, menurut Kenneth, kupon bisa dipastikan lebih rendah dari bank karena umumnya investor menawarkan opsi waran (warrant). Utang tersebut bisa dikonversi menjadi saham menjelang jatuh tempo atau saat startup menggalang pendanaan baru.

Ada investor yang menjadikan waran sebagai opsi, tapi ada juga yang dikunci pasti jadi saham. Itu kembali ke kewenangan masing-masing. Opsi waran inilah poin utama yang membedakan venture debt dengan convertible notes. Convertible notes pasti dikonversi menjadi saham.

“Kalau ternyata di tengah jalan startup-nya kurang menarik bila dikonversi, akhirnya tinggal balikin seperti biasa saja uangnya tiap bulan.”

Tidak ada ketentuan nominal dalam venture debt. Jadi tidak ada istilah Seri A, B, dan seterusnya. Besaran dana akan diberikan sesuai kebutuhan startup, tentunya setelah investor mengukur profil risikonya.

Pemain venture debt ini, sebenarnya tidak hanya datang dari firma venture debt. Bank juga turut berpartisipasi. Di Amerika Serikat, Silicon Valley Bank (SVB) disebut-sebut sebagai pionirnya. Selain itu ada juga Comerica Bank, Bridge Bank, Pacific Western Bank, dan Square 1 Bank.

Sementara itu, yang berasal dari firma adalah Western Technology Investment (WTI), Triplepoint Capital, Hercules Technology, Lighthouse Capital, Pinnacle Ventures, Horizon Ventures, dan masih banyak lagi.

Di Asia Tenggara, ada Genesis Alternative Ventures, InnoVen Capital, dan DBS yang semuanya beroperasi di Singapura.

Perbedaan tingkat toleransi risiko investasi dari tiap investor / DailySocial
Perbedaan tingkat toleransi risiko investasi dari tiap investor / DailySocial

Perbedaan antara keduanya adalah profil risiko dan pengembalian masing-masing. Bank selalu menjadi investor dengan bentuk pembiayaan termurah, tapi jarang mengambil risiko yang signifikan. Kerugian terbesar yang mereka estimasi hanya 1%-1,5% dari tiap portofolio.

Bagi firma venture debt, term sheet mereka sering disamakan dengan bank, tapi ini dianggap kurang tepat. Mereka ini lebih dikategorikan sebagai versi hibrida antara pembiayaan bank dan VC.

Sumber dana para firma bermacam-macam, termasuk mengambil dari bank, seperti halnya Partners for Growth, salah satu mitra strategis SVB.

InnoVen sendiri sebelumnya bernama SVB India Finance, yang merupakan bagian dari SVB. Ia beroperasi sejak 2008 dan tercatat mengucurkan lebih dari 75 pinjaman ke 50 perusahaan di India senilai $110 juta per tahun 2015. SVB India dibeli Temasek Holdings di 2015, sekaligus menandakan masuknya Temasek ke pasar venture debt.

Perkembangan venture debt secara global

Pangsa pasar venture debt dan venture capital di AS / DailySocial
Pangsa pasar venture debt dan venture capital di AS / DailySocial

Ada survei menarik yang dirilis Kruze Consulting (Agustus 2019). Mereka memaparkan, 85% responden yang mewakili pasar venture debt di Amerika Serikat menyatakan telah menyalurkan $23 miliar pinjaman (Rp325,7 triliun) secara akumulatif selama tiga tahun terakhir.

Diestimasi tahun ini saja penyalurannya menjadi $10 miliar (Rp141,6 triliun)  atau tumbuh 20% dari pencapaian di 2018.

Di India, meski tidak sebesar Negeri Paman Sam, perkembangan venture debt cukup pesat sesuai dengan kondisi startup di sana. Kehadiran firma seperti InnoVen Capita, Trifecta Capital, Alteria Capital, dan investor individu seperti Sachin Bansal dan Binny Bansal (Co-Founder Flipkart) turut berkontribusi meramaikan pasar ini.

Menurut riset YourStory Research, venture debt yang tersalurkan di India tahun 2017 adalah $1,2 miliar (Rp16,9 triliun) dengan 47 pinjaman. Tahun berikutnya naik jadi $1,4 miliar (Rp19,8 triliun) dengan 62 pinjaman. Lalu pada tujuh bulan pertama di 2019 ini, jumlahnya mencapai $547 juta (Rp7,7 triliun) dengan 35 pinjaman.

Nama-nama startup yang mengambil venture debt di antaranya Ninjacar, Bigbasket, UrbanLadder, Bounce, dan Oyo. Yang terakhir ini sudah berekspansi ke Indonesia.

Venture debt yang berhasil tergantung pada pendanaan ekuitas. Yang punya banyak pemainnya di India. Dana VC yang fokus di sini cukup kering, ada $3-$4 miliar pada satu titik, akan masuk pada dua sampai tiga tahun ke depan. Bagi venture debt, yang penting startup harus tetap punya kinerja baik agar terus menarik modal, di mana itu sudah tersedia,” ucap Managing Partner Alteria Capital Vinod Murali.

Sementara itu, di Asia Tenggara tepatnya di Singapura, venture debt baru ramai sejak 2015 pasca Temasek mengambil SVB India Finance dan di-rebrand menjadi InnoVen Capital. Mereka beroperasi di tiga negara, India, Tiongkok, dan Asia Tenggara. Sebanyak 190 pinjaman telah mereka kucurkan untuk 170 perusahaan.

Rinciannya, 26 startup di Tiongkok, 24 startup di Asia Tenggara, dan lebih dari 100 startup di India. Di Asia Tenggara, InnoVen telah berinvestasi untuk Pomelo, Face, Tabsquare, Akulaku, Kargo, RedDoorz, Sorabel, Sepulsa (rebrand jadi Alterra), Wego, Tada, Zuzu, dan lainnya.

Sementara Genesis Alternative Ventures, yang berdiri pada 2018, diprakarsai konglomerasi Sasson Investment Corporation dan Bank CIMB Niaga untuk mendukung debut Genesis di Indonesia.

Bagaimana dengan Indonesia? Apakah potensinya sama seperti negara lain?

Kepada DailySocial, Co-Founder and Partner Genesis Martin Tang mengatakan, “Kami melihat founder startup Indonesia sangat savvy dan mulai sadar perlunya mempertahankan saham mereka selama mungkin. Venture debt adalah sumber modal yang dapat membantu startup perpanjang runway atau mendanai modal kerja dengan dilusi ekuitas yang lebih rendah.”

Dia melanjutkan, di luar Indonesia, venture debt lebih banyak digunakan karena ketersediaan yang lebih luas. Genesis secara aktif mulai mendanai startup lokal bersama Bank CIMB Niaga, sekaligus menandai debutnya di sini.

Untuk komitmen awal, kedua belah pihak bersama menyiapkan dana venture debt sebesar Rp300 miliar untuk disalurkan. Martin masih enggan membeberkan nama-nama startup yang akan menerima kucuran dana. Dia hanya menyebutkan ada beberapa yang sudah dalam pipeline.

“Kami memandang market startup Indonesia sangat menarik, terlihat dari banyaknya pengusaha lokal yang berkualitas tinggi dengan populasi yang besar untuk dilayani.”

Associate Director InnoVen Capital Paul Ong menambahkan, venture debt punya korelasi erat dengan jumlah investasi yang mengalir ke negara manapun. Di Indonesia sendiri, ekosistem startup telah tumbuh dan matang dalam lima tahun terakhir.

“Dengan semakin banyak founder berada di titik sukses, mereka mulai sadar akan mengurangi kepemilikan saham untuk melindungi kekayaan pribadi. Venture debt bisa bantu itu dengan menyediakan dana yang lebih murah dan less dilutive buat perusahaan mempercepat pertumbuhan.”

Paul mengonfirmasi bahwa InnoVen belum melakukan debut di Indonesia, apalagi menyediakan dana khusus. Pihaknya baru menyediakan pendanaan untuk startup melalui entitasnya di Singapura.

Untung rugi buat startup dan investor

Konsep pendanaan ini terdengar memang menarik karena founder tetap bisa menjaga sahamnya tidak terdilusi. Dikutip dari laman Kauffman Fellows, modal tambahan yang diberikan lewat venture debt memungkinkan startup untuk mencapai lebih banyak kemajuan sebelum menuju pendanaan berikutnya atau meningkatkan kepastian untuk pencapaian tertentu, sambil meminimalkan dilusi yang akan terjadi dengan mengamankan modal tambahan pada putaran sebelumnya.

Contoh nyatanya, sebuah startup SaaS menerima venture debt sebesar $1,25 juta untuk meningkatkan angka penjualan. Ongkos dari pembiayaan ini adalah $250 ribu dalam bentuk bunga dan waran yang mewakili 0,79% saham perusahaan.

Jika mencari pendanaan ekuitas pada putaran ini, founder harus merelakan 10,7% saham dimiliki investor baru dengan nilai yang sama. Dengan venture debt ini, founder dapat menghemat saham yang signifikan hampir 10%. 22 bulan setelah pembiayaan, perusahaan dibeli dengan kelipatan signifikan dari valuasi terakhir.

Bagi founder, mempertahankan kontrolnya terhadap perusahaan bukan hanya tentang memaksimalkan kekuasaan, melainkan pada cara mempertahankan kontrol atas strategi dan operasi. Saham itu sangat berharga. Menyerahkannya untuk memenuhi peluang jangka pendek, padahal bisa didanai lewat utang, belum tentu menjadi cara terbaik dalam menjalankan bisnis.

Pertimbangan yang harus diperhatikan sebelum mengambil pendanaan venture debt / DailySocial
Pertimbangan yang harus diperhatikan sebelum mengambil pendanaan venture debt / DailySocial

Di sisi lain, tidak semua startup tepat untuk memilih venture debt sebagai alternatif yang bisa dipilih. Meski kontradiktif, tapi inilah charm dari venture debt. Membatasi startup adalah salah satu cara investor mitigasi risiko.

Aldi menerangkan, startup yang biasanya dibidik investor venture debt adalah mereka yang sudah arus kas stabil, sudah mulai monetisasi, dan minimal sudah pernah menerima pendanaan Seri A. Bicara target konsumen, investor lebih suka yang bergerak di B2B untuk mendukung poin-poin di atas.

“Di Indonesia itu kebanyakan bergerak direct ke B2C, jadi untuk track monthly cashflow-nya agak challenging. Makanya investor itu lebih prefer ke B2B karena clear cari yang cashflow-nya jelas. Sehingga tidak ada spesifikasi bergerak di industri mana, tapi lebih ke cashflow-nya harus jelas.”

Venture debt kurang cocok apabila startup tersebut sering bakar uang, punya revenue stream bervariasi, tujuan penggunaan dana tidak jelas, dan pembayaran utang mencakup lebih dari 25% dari biaya operasional.

“Jangan sampai terima uang tapi enggak bisa balikinnya. Makanya ini lebih tepat buat startup yang sudah mature dan proven model bisnisnya. Bukan buat startup yang masih cari-cari model bisnis.”

Venture debt juga dapat menciptakan masalah di putaran ekuitas berikutnya. Investor baru harus setuju untuk membayar utang atau berinvestasi di bawah utang sebagai pilihan keduanya. Kedua situasi ini akan sulit diterima oleh investor baru karena umumnya mereka lebih sreg melihat modal yang disuntikkan langsung masuk ke perusahaan.

Segala kekurangan dan kelebihan ini seharusnya menjadi bahan pertimbangan buat startup ketika ingin mengambil cara ini. Kenneth menyebut, tren venture debt ini masih sangat awal di Indonesia, sehingga bisa dikatakan belum banyak yang paham. Pemainnya yang terlihat jelas juga baru Genesis Alt Ventures bersama Bank CIMB Niaga.

“Di Asia Tenggara saja ini masih jadi challenging, apalagi di Indonesia. Akan tetapi mungkin ke depannya venture debt ini bakal punya porsi sendiri.”

Aldi ikut menimpali, “Mungkin sebenarnya investor sudah mengincar Indonesia tapi belum berani agresif karena opportunity-nya belum banyak yang sesuai dengan appetite mereka.”

Pernyataan Aldi dan Kenneth diperkuat Paul dan Martin. Paul menjelaskan, ada metrik yang dipakai dalam menyasar startup baru, di antaranya adalah bagaimana peluang pasarnya, keunggulan utama perusahaan, dan tim yang solid.

Selain itu, mereka juga melihat berapa banyak modal ekuitas yang telah dikumpulkan startup dan siapa saja investornya. “Kami agnostik secara sektor dan tahap [pendanaan], namun kami biasanya memberikan pinjaman kepada startup yang telah meningkatkan modal ekuitas dari investor institusional atau VC.”

Setelah startup menerima dana, InnoVen tidak mengatur bagaimana uang tersebut digunakan. Meskipun demikian peruntukkannya harus jelas, misalnya untuk belanja pemasaran, membuka kantor baru, mengembangkan produk, modal kerja, membeli lebih banyak inventaris, atau membuka gerai apabila mereka bergerak di bisnis brick and mortar.

Sepanjang perjalanan InnoVen, Paul mengklaim bahwa InnoVen berhasil menekan risiko gagal bayar (default rate) nol persen di Asia Tenggara. Kinerja ini akan tetap dipertahankan, setidaknya ditekan sampai di bawah 4% untuk jangka panjangnya.

“Perusahaan portofolio kami yang telah mampu bayar kembali pinjaman, kini terus tumbuh dalam langkah yang sehat dan terus menarik modal investasi baru.”

Genesis juga tidak berbeda. Martin mencari startup yang telah mendapat pendanaan setidaknya Seri A ke atas dengan proposisi bisnis yang nyata menuju keberlanjutan. Di samping itu, startup juga perlu memiliki unit economics yang kuat dan basis konsumen loyal untuk beli produk premiumnya, ini membuktikan ada margin kotor masuk ke pundi-pundi.

“Kami juga mencari startup yang memiliki strategi ‘bakar duit’ yang terkendali, sepadan dengan pertumbuhan dan margin kotor.”

Poin-poin di atas sangat ia tekankan sebagai faktor penentu kesuksesan buat firma venture debt saat menyalurkan dana.

Oleh karena itu, sebelum memilih opsi ini, Martin menyarankan agar founder memahami strategi ‘bakar uang’ mereka, siklus modal kerja, dan model bisnis, untuk memutuskan apakah memiliki utang akan membantu atau justru menghambat mereka.

Leverage (penggunaan aset dan sumber dana/source of funds) akan selalu baik jika digunakan dengan benar. Namun, ini atas dasar bahwa perusahaan dapat memenuhi kewajiban utangnya,” tutur Martin.

Dalam mencari partner venture debt yang tepat, Paul mendorong founder untuk selalu bekerja dengan investor yang kredibel, punya pengalaman, dan selaras dengan rencana bisnis perusahaan. Tujuannya untuk memastikan bahwa perusahaan bisa tetap mengatur utang mereka secara optimal dan tidak melebihi dari yang seharusnya.

“Meski kami tidak memiliki fund life, kami mampu mendukung portofolio perusahaan kami dengan berbagai pinjaman pada berbagai tahap penggalangan dana, seiring perusahaan tersebut tumbuh.”

Debut venture debt di Indonesia

Sebenarnya di antara portofolio InnoVen di Asia Tenggara sudah muncul sejumlah startup Indonesia yang memanfaatkan dana utang ventura ini, seperti Akulaku, Alterra (dulu Sepulsa), RedDoorz, dan Sorabel.

Selain itu UangTeman di tahun 2017 mengumpulkan dana Seri A senilai $12 juta dalam bentuk utang dan ekuitas yang dipimpin K2 Venture Capital.

Perbandingan dasar antara venture debt dengan venture capital / DailySocial
Perbandingan dasar antara venture debt dengan venture capital / DailySocial

DailySocial sudah berusaha untuk menghubungi Bank CIMB Niaga untuk menanyakan detail strategi mereka bawa masuk venture debt di Indonesia. Belum ada jawaban yang diberikan hingga tulisan ini dimuat.

Sebelumnya, saat peresmian nota kesepahaman dengan Genesis, Presiden Direktur CIMB Niaga Tigor M. Siahaan menjelaskan inisiatif terjun ke venture debt karena ingin mengisi kekosongan pendanaan di startup. Bahwa selain equity financing, startup juga butuh loan financing.

“Sebenarnya sasarannya mungkin startup yang sudah berjalan satu hingga dua tahun, namun sulit berkembang karena sulit dapat pendanaan,” katanya.

Segmen startup yang dibidik, tidak melulu berkaitan dengan startup yang bergerak di dunia teknologi. Mereka juga menyasar fesyen, kuliner, properti, transportasi, kesehatan, hingga manufaktur.

Di luar bank, sebenarnya ada pemain modal ventura lokal yang tertarik dan tengah mempersiapkan diri terjun ke venture debt. Mereka ialah Ideosource. Kepada DailySocial, Managing Partner Ideosource Edward Chamdani menjelaskan sebelum tutup tahun Ideosource berharap meresmikan bisnis barunya tersebut.

Riset sudah dilakukan sejak dua tahun lalu. Pertimbangan Ideosource terjun ke segmen ini karena Indonesia punya kekosongan pendanaan di industri brick and mortar dan konvensional, tidak hanya di startup teknologi. Konsep investasi startup di Indonesia menurutnya sedikit salah kaprah karena terlalu banyak mengaca di Silicon Valley.

Di sana, banyak produk yang dikembangkan dengan proses yang lama dan membutuhkan tenaga engineer yang berkualitas. Di Indonesia, ekosistem seperti itu belum ada. Oleh karena itu, banyak startup di sini yang lahir dan jadi besar karena berangkat dari masalah di pasar.

“Kalau fokus ke pasar, biasanya startup punya cashflow yang bagus karena product development-nya tidak lama dan bisa langsung dipasarkan. Efeknya rata-rata produknya butuh working capital, cashflow sudah bagus tapi belum ada yang bisa bantu karena belum bankable. Di situ jadi switch spot buat venture debt masuk,” terang Edward.

Bisnis barunya ini akan di bawah PT yang akan bertindak sebagai operating holding. Mereka akan memiliki akses ke investor institusi dengan model pembiayaan berbasis proyek, bukan pool of fund seperti yang dipakai VC kebanyakan.

“Semua value yang kita punya akan dimasukkan dan dikelola oleh holding secara asetnya. Konsep yang sama sebenarnya juga sudah diterapkan untuk pembiayaan di film, dikelola oleh pak Andi [Boediman, Managing Partner Ideosource].”

Sembari menunggu holding beroperasi, Ideosource menyiapkan inkubasi khusus startup binaan sebelum menerima venture debt. Mereka melakukan proof of concept dari model bisnisnya dan arah bisnisnya di pasar setelah diberi sejumlah pendanaan.

Dalam debutnya, Ideosource memilih usaha yang bergerak di fintech, infrastruktur, logistik, marketplace, perkebunan. Ketiga segmen awal menjadi fokus karena dianggap substansial dalam mendukung ekosistem awal yang ingin dibangun Ideosource.

Startup yang dibidik tidak melulu bergerak di teknologi, tapi juga konvensional dengan potensi dapat berkolaborasi dengan teknologi. Edward menekankan, startup tersebut punya target konsumen B2B dan arus kas yang bagus. “Kalau pure tech, tapi cashflow bagus tetap bisa. Intinya asal ada cashflow.”

Nantinya, Ideosource menetapkan waran yang sudah dikunci sejak awal sebelum venture debt disuntikkan. Mereka tetap memosisikan diri sebagai VC, tapi ini semua sudah dirundingkan sebelumnya dengan startup dan masuk melalui venture debt. Konversi sahamnya berada di belakang menjelang tempo utang berakhir.

Lantaran tujuan Ideosource yang ingin membangun ekosistem, setiap transaksi akan diarahkan ke pengambilan saham mayoritas. “Tergantung value, hitungannya variasi. Tapi bisa sampai 50% [ambil saham] karena kita operating holding jadi mau bersama-sama dengan startup. Kita enggak akan ninggalin mereka.”

Menurutnya, konsep lama Ideosource yang melepas saham ketika ada investor baru masuk kini dianggap tidak lagi menarik. Alhasil, dia memilih untuk berinvestasi sekali untuk selamanya, agar menuju IPO dan membangun ekosistem bersama.

“Kami akan stay seterusnya, jadi lebih cocok untuk masuk ke venture debt,” pungkas Edward.

Sampingan Dapat Pendanaan Pra-Seri A Senilai 21 Miliar Rupiah

Sampingan adalah aplikasi yang memungkinkan penggunanya untuk mengambil pekerjaan ringan secara paruh waktu. Hari ini (08/10) mereka mengumumkan perolehan pendanaan pra-seri A senilai $1,5 juta atau setara 21,2 miliar Rupiah, dipimpin Golden Gate Ventures – venture capital yang juga memberikan pendanaan tahap awal.

Antler dan beberapa angel investor turut berpartisipasi dalam putaran ini. Sampingan juga merupakan lulusan dari program startup generator Antler. Investasi tersebut akan difokuskan perusahaan untuk perluasan operasi bisnis.

Aplikasi Sampingan didesain untuk menghubungkan bisnis dengan freelancer. Beberapa perkerjaan seperti memberikan ulasan, survei, agen penjualan, dan lainnya diakomodasi melalui aplikasi ini. Pengguna yang mendaftar sebagai agen atau pekerja bisa berpartisipasi pada setiap pekerjaan dan mendapatkan kredit (uang tunai) yang dapat dicairkan.

Mengudara sejak akhir 2018, saat ini Sampingan telah didukung 60 orang pekerja dan berkantor pusat di Jakarta. Mereka baru memiliki aplikasi di platform Android, namun demikian mengklaim telah memiliki lebih dari 150 ribu mitra pekerja.

Sampingan didirikan oleh tiga orang founder, yakni Wisnu Nugrahadi, Margana Mohamad, dan Dimas Pramudya. Ketiganya adalah lulusan manajemen Universitas Padjadjaran. Wisnu dan Dimas sebelumnya berpengalaman sebagai tim pengembang dan produk di Gojek. Sedangkan Margana memiliki dan menjalankan bisnis outsourcing.

Sebelumnya dalam wawancara bersama DailySocial, para founder mengatakan pengembangan layanan tersebut terinspirasi dari model bisnis outsourcing yang mengenakan target harian atau bulanan ke pekerja. Dalam proses kerjanya, Sampingan menggunakan pendekatan mirip dengan model tersebut, memberikan bayaran berdasarkan hasil kinerja (pay per performance).

Application Information Will Show Up Here

Ubah Fokus Bisnis, Ideosource Segera Garap “Venture Debt” Tahun Ini

Perusahaan modal ventura lokal Ideosource mengungkapkan sedang mempersiapkan unit bisnis terbarunya venture debt (utang ventura), karena melihat ada potensi yang belum tergarap baik di sini. Pengumuman ini sekaligus menandai pergeseran fokus pendanaan Ideosource dari berbasis ekuitas menjadi venture debt.

Kepada DailySocial, Managing Partner Ideosource Edward Chamdani menjelaskan, venture debt cukup terkenal sebagai opsi pendanaan startup di Amerika Serikat, Eropa bahkan India, namun masih sangat baru di Indonesia.

Sebelum mantap di ranah barunya ini, Edward mengaku sudah melakukan riset mendalam sejak dua tahun lalu. Menurutnya, Indonesia punya kekosongan pendanaan di industri brick and mortar dan konvensional, tidak hanya di startup teknologi saja.

Konsep investasi startup di Indonesia juga menurutnya sedikit salah kaprah karena terlalu banyak mengaca di Silicon Valley. Di sana banyak pengembangan produk dengan proses yang lama dan membutuhkan tenaga engineer yang berkualitas.

Beda halnya di Indonesia, ekosistem seperti itu belum ada. Dampaknya, kebanyakan startup di sini lahir dan menjadi besar karena berangkat dari masalah di lapangan yang tidak butuh proses pengembangan yang lama dan bisa langsung dipasarkan.

Padahal, di luar itu ada banyak usaha yang sifatnya brick and mortar, sudah besar dan cashflow bagus, tapi tidak ada yang bisa bantu karena belum bankable. Kebutuhan pendanaan untuk bantu modal usaha tetap dibutuhkan.

Kementerian Indonesia punya banyak program pengembangan startup, dana yang dikucurkan bukan main besarnya. Namun, tidak banyak yang bisa memastikan bagaimana mereka bisa tetap beroperasi, dari dapat hibah, terima dana dari VC, sampai bankable, siapa yang bisa menjaminnya?. Ini yang menurutnya bisa dimasuki oleh venture debt dan project financing.

Perlu ditekankan di sini, venture debt adalah pembiayaan utang yang biasanya ada opsi waran untuk mengonversi utang menjadi saham. Tidak ada saham yang terdelusi dalam venture debt, kecuali ada kesepakatan waran. Sementara, project financing itu murni menyalurkan kredit.

“Bentuk growth-nya seperti startup, sudah pernah dapat seed atau angel investor dari teman dan keluarga untuk buat modal kerja. Penjualan sudah naik pelan-pelan, tapi sampai akhirnya stuck. Butuh inovasi baru, ini artinya butuh modal kerja lebih besar lagi. Di situ jadi switch spot buat venture debt masuk,” terang Edward.

Ideosource memanfaatkan lisensi yang dikantongi Dana Mandiri Sejahtera untuk bermain di segmen ini. Berdasarkan POJK No 35 Tahun 2015 Tentang Penyelenggaraan Usaha PMV, disebutkan venture debt adalah model dan mekanisme investasi yg berbeda dari penyertaan ekuitas. Untuk terjun ke sini, bisa memakai izin sebagai PMV atau Dana Ventura.

Ideosource sendiri belum memiliki izin PMV karena regulasi dirasa memberatkan, termasuk harus menyetor modal minimal Rp50 miliar. Ini kurang sesuai dengan pola pemain VC yang kebanyakan bermain di startup teknologi, mereka banyak menggalang dana dari investor eksternal.

“Jadi PMV license sangat memberatkan dari sisi persyaratan, namun Dana Ventura sesuai dengan pola VC tech. Kebanyakan VC tech polanya bukan setor modal, tapi menggalang dana dari investor eksternal.”

Selain Dana Mandiri Sejahtera, dua PMV yang mengantongi izin Dana Ventura adalah Mandiri Capital dan Reliance Modal Ventura.

Reduplikasi seperti Ideosource Entertainment

Ideosource akan membuat anak usaha yang bertindak sebagai operating holding. Rencananya segera beroperasi menjelang akhir tahun ini. Nama badan usaha masih dirahasiakan rapat-rapat oleh Edward.

Nantinya holding ini yang akan memiliki akses ke investor institusi dari dalam dan luar negeri memakai berbagai sumber pembiayaan dan berbasis proyek, bukan pool of fund seperti yang dipakai VC kebanyakan.

Cara yang sama juga sudah dilakukan lewat Ideosource Entertainment (IDEO), arm VC khusus industri film. Ada fund khusus yang dibentuk untuk menyalurkan pembiayaan dinamai Ideosource Film Fund (IFF) menyasar investasi film & media, produksi film, platform media analytic, digital marketing, dan sebagainya.

“Semua value yang kita punya akan dimasukkan dan dikelola oleh holding secara asetnya. Konsep yang sama sebenarnya juga sudah diterapkan untuk pembiayaan di film, dikelola oleh pak Andi [Managing Partner Ideosource],” katanya.

Tentunya akan ada perbedaan value chain yang ingin diperkuat Ideosource lewat venture debt ini. Misalnya untuk mendanai usaha di manufaktur, apabila ingin berinovasi pasti butuh lisensi IP, produk turunan pun semakin banyak. Lambat laun, makin banyak partner yang bisa digandeng untuk membesarkannya.

“Nanti kita bekerja seperti konglomerasi, dari value chain punya banyak partner. Jadi holding ini seperti ecosystem builder.”

Sembari menunggu holding beroperasi, Ideosource menyiapkan inkubasi khusus startup yang dibina sebelum menerima venture debt. Mereka melakukan proof of concept dari model bisnisnya dan arah bisnisnya di pasar setelah diberi sejumlah pendanaan.

Setidaknya startup sudah beroperasi selama dua tahun, termasuk waktu menyusun ide awalnya. Segmennya bergerak di agrikultur, FMCG, dan fintech.

Dalam debutnya, Ideosource memilih segmen yang bergerak di fintech, infrastruktur, logistik, marketplace, perkebunan. Ketiga segmen di awal paling utamakan karena dianggap substansial dalam mendukung ekosistem awal yang ingin dibangun Ideosource.

Startup yang dibidik tidak melulu bergerak di teknologi, tapi juga konvensional dengan berpotensi dapat dikolaborasikan dengan teknologi. Edward menekankan, startup tersebut punya target konsumen b2b dan arus kas yang bagus. “Kalau pure tech, tapi cashflow bagus tetap bisa. Intinya asal ada cashflow.”

Nantinya, Ideosource menetapkan waran yang sudah dikunci sejak awal sebelum venture debt disuntikkan. Mereka tetap memosisikan diri sebagai VC, tapi ini semua sudah dirundingkan sebelumnya dengan startup dan masuk melalui venture debt. Akan tetapi konversi sahamnya di belakang menjelang tempo utang berakhir.

Pertimbangan yang dia ambil, lantaran tujuan Ideosource yang ingin bangun ekosistem, kemungkinan besar akan ambil saham mayoritas startup. “Tergantung value, hitungannya variasi. Tapi bisa sampai 50% [ambil saham] karena kita operating holding jadi mau bersama-sama dengan startup. Kita enggak akan ninggalin mereka.”

Menurutnya, konsep lama yang biasa Ideosource pakai lepas saham ketika investor masuk, kini dianggap tidak menarik lagi buat perusahaan. Alhasil, dia memilih untuk invest sekali untuk selamanya. Ujungnya menuju IPO bersama dan bangun ekosistem bersama.

“Kami akan stay seterusnya, jadi lebih cocok untuk masuk ke venture debt,” tutupnya.

Kiprah Ideosource sebagai VC bisa dikatakan cukup lama, sudah beroperasi sejak 2011. Sejumlah startup pernah masuk dalam portofolionya, yakni Touchten, Stockbit, Immobi, Jas Kapital, Orori, Female Daily, Bhinneka, Kapan Lagi Network, eFishery, dan masih banyak lagi.

Bukalapak Announces Series F Funding, Now Valued at 35 Trillion Rupiah

Today (10/4) Shinhan GIB announced investment to Bukalapak’s series F. There’s no information of the number raised from the South Korean Bank in the release. In fact, Bukalapak has closed this round at over $2.5 billion (equivalent to 35 trillion Rupiah). Emtek as the previous investor is said to be involved.

The valuation is quite interesting compared to the other unicorns. Says Ovo, the e-wallet app is said to reach $2.9 billion. While the closest rival, Tokopedia, exceeded $7 billion valuation post-Alibaba and Softbank funding in the late-2018.

The fresh money is to be used in the long-term business plan and strategy for financial inclusion and retail business transformation in Indonesia. This has brought fresh air to the Achmad Zaky – founded company, post the layoff rumor.

The company also said that Bukalapak currently has over 70 million users. It includes more than 4 million sellers and 2 million partners/agents (shops) from all over the country.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Umumkan Pendanaan Seri F, Valuasi Bukalapak Kini Senilai 35 Triliun Rupiah

Hari ini (04/10) Shinhan GIB mengumumkan keterlibatan dalam pendanaan seri F Bukapalak. Dalam rilis yang dikirimkan tidak disebutkan nilai partisipasi korporasi perbankan asal Korea Selatan tersebut. Namun demikian disampaikan bahwa dengan penutupan putaran ini valuasi Bukalapak telah mencapai lebih dari $2,5 miliar (setara 35 triliun Rupiah). Investor sebelumnya, yakni Emtek, dikatakan turut terlibat dalam pendanaan tersebut.

Capaian valuasi ini cukup menarik dibahas, terlebih jika dibandingkan dengan rekan-rekan unicorn lokal lainnya. Sebut saja Ovo, pengembang aplikasi e-wallet tersebut dikabarkan telah mencapai status unicorn dengan valuasi mencapai $2,9 miliar. Sementara rival terdekatnya, Tokopedia, sudah menembus valuasi $7 miliar pasca perolehan di pengujung tahun 2018 dari Alibaba dan Softbank.

Investasi baru akan dimanfaatkan Bukalapak untuk menjalankan rencana dan strategi bisnis jangka panjangnya untuk inklusi keuangan dan transformasi bisnis ritel di Indonesia. Kabar ini pun sekaligus menjadi angin segar dari perusahaan yang dipimpin Achmad Zaky tersebut, pasca diterpa beberapa kabar termasuk soal perampingan karyawan.

Perusahaan turut menyampaikan, saat ini layanan Bukalapak telah digunakan lebih dari 70 juta pengguna. Di dalamnya ada lebih dari 4 juta pelapak dan 2 juta mitra warung/agen dari berbagai wilayah di Indonesia.

Application Information Will Show Up Here

Venturra Discovery Eyes for An Investment Opportunity in Vietnam

Venturra Discovery Venture Capital aims for an investment opportunity in Vietnam. As Raditya Pramana, Venturra Discovery’s Partner said, they’ve planned for investment this year.

To date, Venturra Discovery has invested in Medigo, Ekrut, Club Alacarte, and Antler. Raditya said to have plans for three companies that cannot be revealed yet in Vietnam, Singapore, and Jakarta.

He said Vietnam is now facing the phase when Indonesia had its early digital business in 2014. It was marked by the rise of smartphone users. Statista research wrote only 34% of the total population in Vietnam are using smartphones, it’s to increase by 45% in 2023.

“Only a bunch of people wants to invest, and none were able to deploy series A and B type of money. Nowadays, the market is growing, purchasing power is increasing, and local investors are getting active in Vietnam. The most important one, we have positive investor appetite,” he said to DailySocial.

In terms of business, the VC under Lippo Group is still aiming for investment in the consumer tech sector, the marketplace in particular. Raditya said, as the market just growing, Vietnam is yet to show domination in the digital industry with a relatively small business category.

Thus, in selecting its portfolios, the company is to replicate a vertically integrated marketplace strategy once implemented while investing in Indonesian e-commerce.

“We’ll see from the e-commerce horizontal, then identify some categories big enough to be a stand-alone. The category must have two from three criteria, social facilitation and transaction, extremely high margin, and high repurchase rate,” he added.

Targeting healthcare and property tech segment

Was founded in September 2018, the company focused on seed funding to Pre Series A in Southeast Asia. At the launching, Venturra Discovery prepared a $15 million investment targeting 30-40 portfolios.

“Next year, we’re targeting 10 companies. However, we’re more likely to be opportunist for our focus is specific rather than involved in too many portfolios,” he said.

Venturra Discovery, besides the marketplace, also aims for other business categories with a bigger deal in the future, such as healthcare and property tech.

“In terms of B2B business model, it’s not really our focus. The business has to compete with the global vendor. For example, the Software-as-a-service (SaaS) for corporate we’ve found in Indonesia, the product is not ready to compete. We also have a lack of talents,” he said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Venturra Discovery Bidik Peluang Investasi di Vietnam

Pemodal ventura (VC) Venturra Discovery agresif membidik peluang investasi startup di Vietnam. Menurut Partner Venturra Discovery Raditya Pramana, pihaknya telah menjajaki rencana investasi di sana tahun ini.

Hingga saat ini, Venturra Discovery telah menyuntik pendanaan ke Medigo, Ekrut, Club Alacarte, dan Antler. Raditya menyebutkan tengah menjajaki pendanaan tiga perusahaan yang belum dapat disebutkan namanya di Vietnam, Singapura, dan Jakarta.

Ia menilai saat ini Vietnam sedang berada di fase ketika Indonesia mengecap pertumbuhan bisnis digital pada 2014 lalu. Salah satunya ditandai oleh peningkatan pengguna smartphone. Riset Statista mencatat penetrasi smartphone Vietnam di 2018 baru mencapai 34 persen dari total populasi, dan diestimasi naik menjadi 45 persen di 2023.

“Dulu bisa dihitung jumlah yang mau investasi, dan none were able to deploy series A and B type of money. Sekarang pasar mulai berkembang, purchasing power naik, dan investor lokal di Vietnam mulai aktif. Paling penting, investor appetite sangat positif,” tutur Raditya kepada DailySocial.

Dari kategori bisnis, VC di bawah naungan Lippo Group ini masih membidik investasi di sektor consumer tech, terutama di marketplace. Menurut Raditya, selain baru bertumbuh, pasar Vietnam dinilai belum menunjukkan kategori bisnis yang mendominasi industri digital karena masih terbilang kecil.

Untuk itu, dalam memilih portfolio di kategori ini, perusahaan bakal mereplikasi strategi vertically integrated marketplace yang pernah diterapkan saat berinvestasi di e-commerce Indonesia.

“Kami akan lihat dari horizontal e-commerce, lalu mengidentifikasi beberapa kategori yang bakal besar as a stand alone. Kategori ini harus punya dua dari tiga kriteria, yaitu social facilitation and transaction, extremely high margin, dan high repurchase rate,” jelasnya.

Incar segmen healthcare dan property tech

Sejak awal berdiri pada September 2018, perusahaan fokus untuk mengisi kekosongan pendanaan tahap awal hingga Pra-Seri A di Asia Tenggara. Pada saat resmi meluncur, Venturra Discovery menyiapkan investasi sebesar $15 juta dengan target 30-40 portfolio.

“Untuk tahun depan, target investasi kami di sepuluh perusahaan. Tapi kami lebih oportunis saja karena kami lebih memilih fokus pada perusahaan yang kami incar daripada memiliki terlalu banyak portfolio,” ungkap Raditya.

Selain marketplace, Venturra Discovery juga akan mengincar beberapa kategori bisnis lain yang dinilai potensial di masa depan, seperti healthcare dan property tech.

“Untuk model bisnis B2B, kami belum terlalu incar. Bisnis ini harus berkompetisi dengan vendor global. Contoh, vendor Software-as-a-service (SaaS) untuk korporat yang kita temui di Indonesia, produknya belum bisa compete. Kita juga kekurangan talent di bidang itu,” katanya.

Marketplace Sewa Barang Cumi Raih Pendanaan Tahap Awal dari East Ventures

Marketplace sewa barang Cumi (Cuma Minjem) mengumumkan perolehan pendanaan tahap awal dengan nominal tidak disebutkan dari East Ventures. Dana akan digunakan untuk mempercepat pertumbuhan pengguna, merekrut talenta, dan memperluas layanan di seluruh Indonesia.

Co-Founder dan CEO Cumi Christian Sugiono menjelaskan, Cumi hadir untuk menggarap potensi bisnis sharing economy yang nilainya diperkirakan tumbuh dari $15 miliar (sekitar Rp211 triliun) pada 2014 menjadi $235 miliar (sekitar Rp3.312 triliun) pada 2025.

Menurutnya, tren sharing economy telah mengubah kebiasaan generasi saat ini, dipengaruhi oleh media sosial dan akses informasi yang lebih mudah. “Cumi hadir untuk membantu para pengguna tersebut menggunakan berbagai barang tanpa perlu membelinya. Di sisi lain kami buka peluang bagi orang-orang yang telah memiliki barang untuk bisa meraih pendapatan tambahan,” katanya dalam keterangan resmi.

Cumi mengumpulkan para vendor dalam satu platform. Sebelum menyewakan barang, vendor dan penyewa harus diverifikasi identitasnya dengan mengisi nomor telepon, mengonfirmasi rekening bank, dan kartu identitas yang digunakan. Diharapkan metode ini, Cumi dapat menjamin semua barang dan layanan yang disewakan punya kualitas terbaik.

Sejauh ini, Cumi menyewakan barang dari 12 kategori, seperti otomotif, fesyen, wifi portabel, kamera, mainan, buku, perlengkapan kantor, dan perlengkapan elektronik. Totalnya ada 500 vendor terverifikasi yang tersebar di Jabodetabek, Surabaya, dan Bali. Pengguna terdaftar Cumi diklaim ada 5 ribu orang sejak dirilis resmi pada Mei tahun lalu.

Managing Partner East Ventures Willson Cuaca memberikan alasannya berinvestasi di Cumi. Menurutnya, startup ini ingin membenahi sistem penyewaan barang di Indonesia yang penuh masalah dengan menyediakan platform yang mudah digunakan oleh para vendor dan penyewa barang.

“Dipimpin oleh para founder yang berkualitas, East Ventures percaya bahwa tim ini dapat menjadi juara dan kami siap mendukung mereka dalam mentransformasi bisnis sharing economy tradisional di Indonesia.”

Sebelumnya Cumi telah menerima pendanaan dari empat angel investor, yaitu Danny Oei Wirianto, Antonny Liem, Reino Barack, dan Andrew Darwis dengan nominal yang tidak disebutkan.