Startup “Micro Finance Enabler” Djoin Memperoleh Pendanaan Pra Awal

Startup micro finance enabler Djoin memperoleh pendanaan pra-awal (pre-seed) sebesar $1 juta atau sekitar 14,5 miliar Rupiah dari angel investor yang dirahasiakan namanya (undisclosed). Pendanaan ini akan digunakan untuk memperkuat ekosistem keuangan mikro dan memperluas pasar di Indonesia.

Djoin merupakan startup asal Bali yang menyediakan platform SaaS terdesentralisasi untuk segmen koperasi. Berdiri sejak 2020, Djoin memiliki misi untuk menghadirkan solusi keuangan mikro secara holistik mulai aplikasi, pelatihan SDM, penguatan manajemen risiko, serta peningkatan brand bagi lembaga keuangan mikro, khususnya koperasi simpan pinjam.

Founder Djoin I Wayan Indra Adhi Suputra mengatakan akan memperluas cakupan layanannya ke seluruh Indonesia. Ia membidik target kerja sama dengan 1.000 lembaga keuangan mikro, terutama koperasi simpan pinjam, hingga 2025.

Saat ini, Djoin mengklaim telah bermitra dengan puluhan koperasi dengan total aset mencapai Rp1 triliun di Bali, NTB, dan NTT. Pihaknya juga bersinergi dengan pemerintah daerah setempat untuk mengedukasi lembaga keuangan mikro, khususnya koperasi.

“Kami memiliki visi untuk memberikan dampak sosial dengan mengembangkan lembaga keuangan mikro, khususnya koperasi modern, yang akan menjadi motor penggerak pertumbuhan UMKM di Indonesia.”

Djoin menawarkan dua layanan digital, yakni (1) Djoin Koperasi Digital untuk layanan simpan pinjam dan penjualan barang/jasa, dan (2) Djoin Lembaga Perkreditan Desa (LPD) Digital. Perlu dicatat, aplikasi mobile bersifat white label sehingga memakai nama koperasi alih-alih brand Djoin. Adapun, aplikasinya sudah meluncur sejak 2020.

Sebelumnya ada Kodi, layanan serupa yang juga hendak membantu koperasi di daerah digitalkan layanan dan memberikan value-added kepada anggotanya lewat fitur berbasis teknologi.

Transformasi koperasi

Mengutip Katadata, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah koperasi di Indonesia pada 2020 mencapai 127.124 unit dengan mayoritas berada di Jawa Timur (17,6%), Jawa Barat (11,5%), dan Jawa tengah (9,5%).

Kontribusinya terhadap PDB baru mencapai 5% di periode tersebut. Adapun, Kementerian Koperasi dan UKM (KemenkopUKM) membidik kontribusi sektor koperasi menyentuh 5,5% terhadap PDB nasional pada 2024.

Dalam pernyataannya tahun lalu, Sekretaris KemenkopUKM Arif Rahman Hakim mengatakan, perkoperasional nasional dihadapkan pada tantangan untuk mengubah cara berbisnis dengan memanfaatkan teknologi dan inovasi produk.

Untuk menghadapi perkembangan teknologi yang cepat, ia menilai koperasi dan UKM perlu melakukan digitalisasi agar dapat mencapai efisiensi dan efektivitas layanan koperasi tanpa perlu mengubah nilai dasar.

“Modernisasi koperasi adalah upaya perubahan atau transformasi digital koperasi agar lebih maju dalam hal organisasi, tata kelola dengan teknologi, dan dapat mengikuti perkembangan zaman,” tuturnya.

KitaBeli Secures 299 Billion Rupiah Funding, Expanding into New Business and Categories

An FMCG-specific social commerce startup, KitaBeli, announced a $20 million (worth 299.5 billion Rupiah) funding round led by Glade Brook Capital Partners, an American equity investment firm. KitaBeli’s previous investors, AC Ventures, and Go-Ventures also participated, along with a new investor, Innoven Capital.

KitaBeli is to use the fresh money to continue expanding into second and third-tier cities across the country, while launching new product categories such as beauty, personal care, mother & baby products, and frozen foods.

KitaBeli is a social commerce platform that offers FMCG products and allows users and partners to get discounts and earn money by leveraging their social network. This app allows consumers to enjoy discounted prices through a social and gamified shopping experience.

Unlike most e-commerce applications, KitaBeli runs a direct-to-consumer business model that offers buyers the basic necessities of daily life. KitaBeli combines PinDuoDuo’s ‘group buying’ approach and combines it with a local community approach.

“By being extremely consumer-focused, we have been able to achieve product-market fit and scale very fast in a historically untapped market,” explained Prateek Chaturvedi, co-founder and CEO of KitaBeli, Monday (18/7).

He continued, by leveraging the offline social networks of our Local Community Leaders (Mitras), we have been able to reach thousands of new users who are buying online for the first time in their lives. This has helped us build massive loyalty with our customers and enabled us to deliver better long-term margins than other players.”

“Glade Brook is one of the most experienced growth stage investors we’ve met, and their experience in e-commerce and social commerce across emerging markets globally is unmatched. The experience and insight that Linda Guo, Paul Hudson and their entire team have brought to this space convinced us that they are the right partners on our journey.” he said.

Glade Brook Capital Partners’ Partner, Linda Guo said, “We are excited to partner with KitaBeli to bring better, more affordable ecommerce access to second-tier communities in Indonesia. We believe the next wave of ecommerce growth in Indonesia will be driven by consumer demand outside major cities like Jakarta.”

AC Ventures Founder & Managing Partner Adrian Li added, the company’s commitment to KitaBeli further substantiates our thesis that Indonesia’s next frontier of ecommerce users will come from second- and third-tier cities in Indonesia. KitaBeli has focused on creating a solution that is well-suited for rural consumers. It utilizes social hooks and gamification to push engagement and employs a hyper-local community delivery model.

“KitaBeli’s product-led approach and operational excellence has demonstrated powerful customer engagement, strong top-line growth, and promising take rate expansion. We are enthusiastic about KitaBeli’s future and excited to have been a part of the journey from the very beginning,” Adrian said.

Opportunities in the second and third tier cities

Chaturvedi said that historically, expansion into rural areas has not been widely implemented by other players. Whereas second and third-tier cities in Indonesia currently represent a market of more than $100 billion, with over 200 million consumers and contributions exceeding 50% of the country’s GDP. However, this opportunity is not immune to the following issues.

For example, consumers often experience longer delivery times for online shopping orders. KitaBeli provides solutions by building warehouses in its operational areas, enabling it to make same-day and next-day deliveries straight to the customer.

Furthermore, consumers are often hitched with higher prices due to broken supply chains. This often results in 10%-50% cost higher than consumers living in Jakarta. By sourcing products directly from brands and principals, KitaBeli provides huge savings to consumers.

“Also, consumers in second-and third-tier cities often have trust issues with e-commerce as they don’t familiar with the person they doing business with. In order to solve the trust issues, KitaBeli employs a different strategy from its competitors, focusing on consumers’ offline networks and encouraging them to invite friends and family to use the platform.”

Over the past few months, KitaBeli claims to have grown more than 10 times and this achievement makes the company a leading player in this vertical in Indonesia.

Download the recent Social Commerce report published by DailySocial.id here. Discussing the trend and business model of Indonesian Social Commerce.

Application Information Will Show Up Here

KitaBeli Raih Pendanaan 299 Miliar Rupiah, Siap Perluas Bisnis dan Kategori Baru

Startup social commerce khusus produk FMCG KitaBeli mengumumkan telah menyelesaikan putaran pendanaan senilai $20 juta (senilai 299,5 miliar Rupiah) yang dipimpin oleh Glade Brook Capital Partners, perusahaan investasi ekuitas asal Amerika Serikat. Investor KitaBeli sebelumnya, yakni AC Ventures, Go-Ventures juga turut bergabung, bersama investor baru, Innoven Capital.

KitaBeli akan memanfaatkan dana segar untuk melanjutkan ekspansi ke kota-kota lapis kedua dan ketiga di seluruh nusantara, sembari meluncurkan kategori produk baru seperti kecantikan, perawatan pribadi, produk ibu & bayi, dan makanan beku.

KitaBeli adalah platform social commerce yang menawarkan produk FMCG dan memungkinkan pengguna dan mitra mendapatkan diskon dan mendapatkan uang dengan memanfaatkan jejaring sosial mereka. Aplikasi ini memungkinkan konsumen untuk menikmati harga diskon melalui pengalaman belanja sosial dan gamified.

Berbeda dengan aplikasi e-commerce kebanyakan, KitaBeli menjalankan model bisnis direct-to-consumer yang menawarkan kebutuhan pokok kehidupan sehari-hari kepada pembeli. KitaBeli menggabungkan pendekatan ‘group buying’ ala PinDuoDuo dan menggabungkan dengan pendekatan komunitas lokal.

“Dengan sangat berfokus pada konsumen, kami telah mampu mencapai kesesuaian dan skala produk-pasar dengan sangat cepat di pasar yang secara historis belum dimanfaatkan,” jelas Co-founder dan CEO KitaBeli Prateek Chaturvedi dalam keterangan resmi, Senin (18/7).

Dia melanjutkan, dengan memanfaatkan jaringan sosial offline dari Pemimpin Komunitas Lokal (Mitra), perusahaan dapat menjangkau ribuan pengguna baru yang membeli secara online untuk pertama kalinya dalam hidup mereka. Langkah tersebut dapat membangun loyalitas dari pelanggan dan memungkinkan pihaknya untuk memberikan margin jangka panjang yang lebih baik daripada pemain lain.

“Glade Brook adalah salah satu investor tahap pertumbuhan paling berpengalaman yang pernah kami temui, dan pengalaman mereka dalam e-commerce dan social commerce di seluruh negara berkembang secara global tidak tertandingi. Pengalaman dan wawasan mendalam yang dibawa Linda Guo, Paul Hudson, dan seluruh tim mereka ke ruang ini meyakinkan kami bahwa mereka adalah mitra yang tepat dalam perjalanan kami,” ujarnya.

Partner Glade Brook Capital Partners Linda Guo menyampaikan, “Kami sangat senang dapat bermitra dengan KitaBeli untuk menghadirkan akses e-commerce yang lebih baik dan lebih terjangkau ke komunitas lapis kedua di Indonesia. Kami percaya gelombang pertumbuhan e-commerce berikutnya di Indonesia akan didorong oleh permintaan konsumen di luar kota-kota besar seperti Jakarta.”

Founder & Managing Partner AC Ventures Adrian Li menambahkan, komitmen perusahaan terhadap KitaBeli semakin memperkuat tesis yang menyatakan bahwa pengguna e-commerce berikutnya di Indonesia akan datang dari kota-kota tingkat kedua dan ketiga di Indonesia. KitaBeli telah berfokus pada penciptaan solusi yang cocok untuk konsumen pedesaan. Ini menggunakan kait sosial dan gamifikasi untuk mendorong keterlibatan dan menggunakan model pengiriman komunitas hyperlocal.

“Pendekatan yang dipimpin oleh produk dan keunggulan operasional KitaBeli telah menunjukkan keterlibatan pelanggan yang kuat, pertumbuhan lini atas yang kuat, dan ekspansi tingkat penerimaan yang menjanjikan. Kami sangat antusias dengan masa depan KitaBeli dan bersemangat untuk menjadi bagian dari perjalanan sejak awal,” ucap Adrian.

Potensi di kota lapis dua dan tiga

Chaturvedi menyampaikan, ekspansi ke daerah pedalaman ini secara historis belum banyak dilirik oleh pemain lain. Padahal di kota-kota tingkat kedua dan ketiga di Indonesia sekarang mewakili pasar lebih dari $100 miliar, dengan lebih dari 200 juta konsumen berkontribusi lebih dari 50% dari PDB negara. Akan tetapi, peluang tersebut tidak luput dari isu yang menghantui.

Di antaranya, konsumen sering mengalami waktu pengiriman yang lama untuk pesanan belanja online. Solusi yang diberikan KitaBeli adalah membuka gudang di setiap kota tempat ia beroperasi, memungkinkannya untuk melakukan pengiriman pada hari yang sama dan hari berikutnya langsung ke depan pintu pelanggan.

Berikutnya, konsumen sering dihadapi dengan harga yang lebih tinggi karena rantai pasokan yang rusak. Hal ini sering mengakibatkan pelanggan akhir membayar 10%-50% lebih banyak daripada konsumen yang hidup di Jakarta. Dengan mendapatkan produk langsung dari merek dan prinsipal, KitaBeli memberikan penghematan besar kepada konsumen.

“Terakhir, konsumen di kota tingkat kedua dan ketiga sering kali memiliki masalah kepercayaan dengan e-commerce ketika mereka tidak mengenal orang yang mempromosikan atau menjual produk. Untuk mendobrak hambatan kepercayaan, KitaBeli menggunakan strategi yang berbeda dari pesaingnya, berfokus pada jaringan offline konsumen dan mendorong mereka untuk mengundang teman dan keluarga untuk menggunakan platform.”

Selama enak bulan terakhir, KitaBeli mengklaim telah tumbuh lebih dari 10 kali lipat dan pencapaian ini menjadikan perusahaan sebagai pemain terdepan di vertikal ini di Indonesia.

Unduh laporan tentang Social Commerce yang baru diterbitkan DailySocial.id di sini. Membahas tren dan model bisnis Social Commerce yang ada di Indonesia.

Application Information Will Show Up Here

Gokomodo Ramaikan Persaingan Industri Agritech di Indonesia

Pertanian merupakan salah satu sektor ekonomi utama nusantara dan penyumbang terbesar kedua bagi perekonomian negara. Menariknya sektor ini juga telah menunjukkan ketahanan dalam menghadapi pandemi Covid-19. Selama beberapa dekade terakhir, pertanian telah mengalami banyak kemajuan teknologi yang pesat. Mulai di sisi inklusi keuangan —dari petani yang unbankable menjadi bankable—hingga pemanfaatan platform teknologi untuk peningkatan produktivitas.

Gokomodo merupakan salah satu perusahaan agri-commerce B2B untuk rantai pasok serta layanan agribisnis di Indonesia. Melalui platformnya, perusahaan menawarkan solusi pengadaan, jual-beli, dan distribusi. Misinya adalah membuka akses seluas-luasnya bagi para pemangku kepentingan ke produk agrikultur berkualitas dengan kemudahan akses dan harga yang kompetitif.

Platform commerce Gokomodo menawarkan berbagai produk terkait kebutuhan pertanian — mulai dari pupuk, herbisida, benih hingga bahan sipil, peralatan keselamatan, dan banyak lagi.

Bukukan pendanaan awal

Berdasarkan informasi dari data regulator, perusahaan telah menerima pendanaan tahap awal sebesar $1 juta atau sekitar 15 miliar Rupiah dari East Ventures dan Waresix. Terkait ini, pihak terkait masih enggan memberikan komentar.

Gokomodo memiliki tiga unit bisnis utama, yakni platform pengadaan digital (e-procurement), agri-commerce (e-commerce khusus untuk produk pertanian/agrikultur), dan hub sebagai jaringan distribusi.

Berdiri sejak tahun 2019, sistem platform eProcurement Gokomodo terus berkembang pesat dan telah memiliki lebih dari 2.000 penjual dan puluhan pembeli, terutama untuk produk kelapa sawit. Ekosistemnya telah dipercaya oleh para pemain besar di sektor tersebut, seperti Sampoerna Agro, First Resources Ltd., Bumitama Gunajaya Agro Ltd., dan Global Palm Resources.

Dalam pernyataan resmi, Co-Founder & CEO Gokomodo Samuel Tirtasaputra mengungkapkan, “Kami berupaya menjembatani kendala yang dimiliki buyer dan seller. Digitalisasi proses bisnis untuk menciptakan ekosistem digital yang menguntungkan kedua belah pihak adalah solusi yang dapat kami tawarkan. Tidak hanya untuk perusahaan, kami juga mengembangkan ekosistem digital yang dapat dimanfaatkan dengan baik oleh smallholders“.

Gokomodo memiliki visi untuk memberikan akses mudah terhadap produk agrikultur berkualitas, dengan menjadi platform dan layanan rantai pasok terdepan di agribisnis dan komoditas. Di tahun 2022 ini, pihaknya juga akan terus menjalankan ekspansi bisnis, diiringi dengan penyempurnaan fitur-fitur platform Gokomodo demi mendapatkan solusi terbaik bagi para pengguna.

Indonesia memiliki area agrikultur seluas 42,3 hektar sepertiganya (16 juta hektar) merupakan perkebunan kelapa sawit. Berbagai pihak dan lapisan masyarakat terlibat aktif sebagai pemangku kepentingan, mulai dari perusahaan perkebunan, Koperasi Unit Desa (KUD), Toko Tani, hingga Petani.

Di sisi lain, sektor agrikultur juga menyumbang 14% kepada Produk Domestik Bruto (PDB) negara, mempekerjakan sepertiga dari total angkatan kerja di Indonesia, dan 93% pelaku usaha agrikultur terdiri dari petani individu berskala kecil.

Pada bulan April lalu, Gokomodo telah meresmikan hub pertamanya dengan menggandeng Koperasi Unit Desa (KUD) Mesuji, Sumatera Selatan sebagai mitra. Hub ini berfungsi sebagai perpanjangan bisnis yang memungkinkan KUD dan toko tani memesan produk pertanian secara online. Produk tersebut selanjutnya akan dikirim dari gudang untuk diambil pembeli di hub Gokomodo di seluruh Indonesia.

Investasi di sektor agritech Indonesia

Belakangan ini, kinerja startup tanah air sempat diguncang isu tidak menyenangkan. Salah satunya datang dari startup agritech Tanihub yang di awal tahun ini sempat melakukan perombakan bisnis dengan menghentikan kegiatan operasional di dua pergudangan (warehouse) miliknya di Bandung dan Bali. Sebagai dampak dari kebijakan ini, perusahaan juga dikabarkan melakukan PHK karyawan.

Kendati demikian, pendanaan di sektor ini tidak semata-mata menyusut. Selain Gokomodo, beberapa startup yang memiliki fokus di sektor agrikultur juga berhasil mengamankan pendanaan, termasuk AgriAku (GoVentures dan MDI Arise), ARIA (GK-Plug and Play Indonesia dan East Ventures), PasarMikro (Gayo Capital dan 1982 Ventures), serta Eratani (Trihill Capital dan Kenangan Kapital).

Daftar di atas membuktikan bahwa minat investor untuk berinvestasi di sektor ini tidak menurut. Selain itu, sektor pertanian Indonesia juga terbukti memiliki potensi yang masih sangat besar untuk digarap.

Menurut riset McKinsey tahun 2020, pemanfaatan teknologi digital dalam sektor pertanian bisa membawa dampak positif bagi para petani dan meningkatkan output ekonomi hingga 94.846 triliun Rupiah atau $6,6 miliar per tahun.

Application Information Will Show Up Here

Startup Budidaya Unggas “Chickin” Terima Pendanaan Tahap Awal Dipimpin East Ventures

Startup agritech budidaya unggas Chickin menerima pendanaan tahap awal dengan nominal dirahasiakan dipimpin oleh East Ventures. Kabar ini langsung dikonfirmasi oleh petinggi Chickin saat dihubungi DailySocial.id.

Dalam informasi yang kami dapat, selain East Ventures dalam putaran tersebut juga terdapat investor lain, seperti 500 Startups dan GK-Plug and Play.

Pada saat yang bersamaan, petinggi Chickin juga menyampaikan pihaknya sedang menggalang putaran seri A bernilai berkali-lipat dari yang diperoleh saat ini. Rencananya proses tersebut bakal rampung pada kuartal ketiga tahun ini.

Menurut perusahaan, dana segar ini akan dimanfaatkan untuk mempercepat misi Chickin meningkatkan ketahanan pangan Indonesia dengan meningkatkan kinerja pertumbuhan, manusia, teknologi, akuisisi mitra, pemberdayaan petani untuk menghasilkan produksi dalam jumlah dan kualitas yang maksimal.

Sebelumnya startup budidaya ternak Pitik juga telah membukukan pendanaan seri A $14 juta. Inovasi mereka turut membantu peternak unggas untuk memaksimalkan produktivitasnya.

Solusi yang ditawarkan Chickin

Chickin didirikan pada 2018 di Klaten, Jawa Tengah oleh tiga kawan, yakni Ashab Al Kahfi, Tubagus Syailendra, dan Ahmad Syaifulloh yang sebelumnya adalah peternak unggas. Dari pengalaman yang dirasakan sebagai pembudidaya, data adalah isu terpenting untuk mengatasi permasalahan di lapangan.

Pemanfaatan data yang akurat dapat membantu evaluasi demi mencegah kegagalan panen dan bisa memprediksi kira-kira hasil panen bisa dihasilkan untuk apa. Terlebih itu, adopsi teknologi sangat penting bagi peternak karena burung itu sangat rentan terhadap risiko penyakit. “Forecasting di supply chain dapat membantu proses matchmaking antara supply dan demand,” ucap Tubagus dalam wawancara bersama DailySocial.id beberapa waktu lalu.

Isu lainnya yang turut menjadi perhatian adalah indeks konsumsi daging protein hewani yang masih kalah dibandingkan negara ASEAN lainnya. Menurut OECD-FAO, konsumsi daging ayam dan daging sapi oleh masyarakat Indonesia masih rendah dibandingkan negara tetangga. Konsumsi per kapita daging ayam baru menyentuh 11,6 kilogram, sedang daging sapi lebih rendah, yaitu 2,7 kilogram.

Dalam menjawab kebutuhan tersebut, Chickin menawarkan perangkat IoT dan SaaS untuk mengumpulkan data dan matchmaking data apa yang ada di dalam kandang untuk kebutuhan bisnis B2B. Dengan teknologi digitalnya, Chickin menawarkan solusi untuk peternak unggas di Indonesia tentang cara mengurangi kesalahan manusia, limbah pakan, dan biaya listrik. Solusi membantu mereka berubah dari manajemen tradisional hingga manajemen berbasis digital.

Chickin menyediakan solusi sistem manajemen perkandangan cerdas terintegrasi berbasis IoT melalui Chickin App – Micro Climate Controller (MCC) dan Chickin Smart Farm yang diharapkan dapat menekan angka FCR sehingga berdampak pada efisiensi pakan yang semakin baik. Dengan manajemen perkandangan berbasis IoT dan AI support, mereka memudahkan para peternak melakukan budidaya secara optimal, produktif, dan efisien.

Untuk model bisnisnya, Chickin menyediakan suplai daging ayam berkualitas ke konsumen B2B (Chickin Fresh). Ibaratnya seperti e-commerce B2B untuk daging ayam saja, seperti Aruna yang menjadi B2B untuk ikan. Kemudian, monetisasi terjadi di sektor hilirnya. Para mitra bisnis Chickin datang dari beragam vertikal, ada e-grocery, ritel, kuliner, korporasi, hingga jaringan waralaba.

Menurut data terbaru yang dibagikan perusahaan, diklaim perusahaan telah mengakuisisi ribuan peternak dan lebih dari 150 lokasi peternakan dengan kapasitas populasi lebih dari 2,6 juta ayam. Chickin juga telah dipercaya oleh lebih dari 200 klien yang terdiri dari brand F&B terkemuka, katering, dan juga food processing. Kinerja yang kinclong ini terefleksi langsung dengan pendapatan yang diklaim tumbuh 50 kali lipat dalam setahun terakhir.

Tubagus juga menyampaikan ambisi Chickin ke depannya untuk membidik pertumbuhan dari bisnis vertikal, lewat akuisisi dari hulu ke hilir. Kemudian, masuk ke downstream dengan menguasai demand agregasi ayam. Selanjutnya masuk ke midstream (rumah potong), ke upstream (kandang ayam).

“Tujuannya agar kami bisa supply farm input, seperti pakan dan bisnis, sembari masuk ke sektor horizonal di luar ayam. Sebab kami rencananya mau leading meat e-commerce B2B di Indonesia,” pungkasnya.

Startup Brand Agregator “Tjufoo” Umumkan Pendanaan Awal dari TNB Aura

Startup brand agregator Tjufoo hari ini (13/7) mengumumkan raihan pendanaan tahap awal dengan nominal dirahasiakan dari TNB Aura, VC asal Singapura. Modal segar ini akan dimanfaatkan Tjufoo mengakselerasi bisnisnya melalui pengembangan direct-to-consumer (D2C) brands di tanah air.

“Tjuffo fokus pada offline brand asli Indonesia, menyediakan modal pertumbuhan utama, dan menyediakan tim yang luar biasa yang dipimpin oleh para co-founder, TJ dan Aldrian Foo, yang membedakan mereka dari yang lain. Kami berharap dapat mendukung digitalisasi gelombang UMKM berikutnya di Indonesia,” ucap Founding Partner TNB Aura Vicknesh R Pillay dalam keterangan resmi.

Sejak berdiri pada awal tahun ini, Tjufoo hadir untuk mendukung kemajuan Indonesia secara menyeluruh dan berkelanjutan, dari aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan, dengan menyediakan akses di dalam ekosistem Tjufoo sesuai kebutuhan brand, meliputi saluran distribusi, riset, platform dana dan analitik, hingga optimalisasi infrastruktur dan rantai pasok. Perusahaan juga bekerja sama dengan pemilik brand untuk memberikan berbagai pilihan exit strategy dan menghasilkan uang dari strategi tersebut.

“Kami juga menghubungkan para brand dengan sosok-sosok ahli dan berpengalaman dari berbagai perusahaan kenamaan di Indonesia yang dapat memberi masukan strategis hingga kesempatan kerja sama untuk tumbuh bersama-sama. Kami pun berkomitmen dalam menciptakan industri yang lebih inklusif dalam mendukung pemberdayaan perempuan di dunia bisnis,” kata Co-founder dan CEO Tjufoo TJ Tham.

Sejauh ini, perusahaan lokal yang sudah dibantu oleh Tjufoo cukup beragam. Mereka adalah ACMIC, Cypruz, Granova, dan Dew It. Keseluruhan brand ini diklaim dapat tumbuh dua kali lipat dalam waktu kurang dari satu tahun, penjualan online naik 4x lipat dalam waktu kurang dari satu kuartal, menambah lebih dari 1.000 sales points baru, dan membuka akses kepada lebih dari 5 juta pengguna baru.

TJ menuturkan, pada tahun ini perusahaan menargetkan akan mengakuisisi lebih banyak brand potensial, baik dari dalam dan luar negeri. Untuk brand D2C dari luar negeri yang ingin ekspansi ke tanah air, Tjufoo akan menjadi mitra yang tidak hanya memberi investasi, namun juga keahlian menyeluruh akan strategi bisnis, mulai dari akuisisi, manajemen sumber daya manusia, sampai brand tersebut meluncur di Indonesia.

Inisiasi dukung pemberdayaan perempuan

Dalam kesempatan yang sama, TJ juga mengumumkan kolaborasi dengan Stellar Women, platform berbasis komunitas dari, oleh, dan untuk perempuan guna mencapai potensi diri secara personal dan profesional. Kolaborasi ini dinamakan AKSI Perempuan (Akselerasi Bisnis Perempuan), program inkubasi bagi bisnis yang dirintis perempuan.

Peserta program akan mengikuti pelatihan selama 3-6 bulan dari para praktisi berpengalaman. Di akhir program, akan dipilih hingga 10 bisnis yang akan mendapatkan pendampingan lebih lanjut dari Tjufoo untuk membawa bisnisnya ke level yang lebih tinggi.

“Kami memahami bahwa perempuan menghadapi banyak hambatan dalam menjalankan bisnis. Selain modal, perempuan juga dihadapkan dengan peran di keluarga, stigma, tekanan sosial, hingga minimnya akses terhadap informasi dan jejaring yang dibutuhkan. [..] Kami harap inisiatif ini dapat menginspirasi banyak perempuan untuk lebih berani dalam memulai bisnis,” tambah Co-founder dan CEO Stellar Women Samira Shihab yang juga menjadi Co-founder dan CEO Tinkerlust.

VC Hendra Kwik Berpartisipasi ke Pendanaan Startup SaaS No-Code “Fieldproxy”

Startup SaaS pengembang platform no-code Fieldproxy mengumumkan penerimaan dana pra-seri A senilai $750 ribu (sekitar 11,2 miliar Rupiah). Putaran ini dipimpin oleh Y Combinator (W22 Batch), diikuti jajaran investor lainnya, yakni Number Capital, Mars Shot Ventures, Kevin Moore, dan Abheek Basu. Investor sebelumnya, seperti LetsVenture, 2am VC, magic.fund, serta angel investor dari sejumlah perusahaan di India turut serta dalam penyertaan modal.

Number Capital dan MAGIC merupakan unit ventura yang turut dinakhodai oleh Hendra Kwik, atau dikenal sebagai founder Payfazz. Di Number Capital ia berperan sebagai Founding Partner, sementara di MAGIC sebagai LP dan Partner.

Sejauh ini perusahaan berhasil mengumpulkan dana sebesar $1,05 juta. Adapun dana segar akan dimanfaatkan untuk meningkatkan upaya go-to-market (GTM).

Didirikan pada 2020 oleh Swaroop Vijayakumar, alumnus IIM Kozhikode, dan Balakrishna B, alumnus BITS Pilani di India, Fieldproxy menyediakan platform tanpa kode berbasis web yang memungkinkan bisnis merampingkan dan menyederhanakan interaksi internal mereka dengan tim lapangan di industri seperti bidang jasa, barang konsumsi, farmasi, energi, atau telekomunikasi.

Co-Founder Razorpay & Partner Mars Shot Ventures Shashank Kumar menuturkan, pihaknya senang dapat mendukung FieldProxy untuk mewujudkan visi mereka yang memungkinkan manajemen kekuatan lapangan yang mudah. “Manajemen kekuatan lapangan yang efisien adalah peluang besar di seluruh industri dan kami percaya bahwa FieldProxy berada di posisi yang kuat untuk mendisrupsi industri melalui platform tanpa kode mereka dan menggunakan template berbasis kasus,” katanya melalui keterangan resmi, Rabu (13/7).

Penjelasan Hendra Kwik tentang investasi ini

Founding Partner Number Capital Hendra Kwik menyampaikan, Fieldproxy adalah investasi perdana Number Capital di India. Pihaknya merasa terhormat dapat bermitra dengan Swaroop, Balakrishna, dan tim untuk membangun “Salesforce for Field Teams” di India. Timnya percaya pada tesis bahwa India akan menciptakan banyak startup SaaS besar dengan potensi kuat untuk ekspansi pasar global, mengingat negara tersebut kini dikenal sebagai produsen SAAS.

“Berikutnya, pangsa pasar yang besar karena terjadi inefisiensi, dan potensi ekspansi pasar global setelah dominasi India, adalah tiga alasan utama mengapa kami memutuskan untuk berinvestasi di Fieldproxy,” kata Hendra.

Menurut Hendra, Fieldproxy yang berbasis di Chennai, satu lokasi dengan basis operasional Freshworks yang terdaftar di NASDAQ, membawa optimisme yang tinggi bahwa Fieldproxy akan mengikuti kesuksesan Freshworks di tahun-tahun mendatang. “Manajemen tim lapangan adalah pasar yang sangat besar namun masih sangat tidak efisien, tidak terorganisir, manual, dan sangat bergantung pada pulpen dan kertas. Pendekatan perangkat lunak tanpa kode dari Fieldproxy akan meningkatkan efisiensi tim lapangan dan membantu perusahaan menghemat miliaran dolar,” tambah dia.

Mengomentari soal penggalangan dana, Co-founder & CEO Fieldproxy Swaroop Vijayakumar mengatakan, pihaknya senang karena bergabungnya sejumlah investor kelas dunia dan mengumpulkan dana yang dibutuhkan untuk mempercepat mimpi Fieldproxy untuk untuk mengubah industri lapangan pertama dengan menyediakan kualitas terbaik, solusi kekuatan tanpa kode untuk jutaan bisnis.

“Setelah kami meningkatkan upaya GTM kami, Fieldproxy tidak hanya bertujuan untuk melayani lebih banyak pelanggan perusahaan, tetapi juga bekerja untuk meningkatkan pustaka template siap pakai untuk membantu bisnis bergabung dan membangun solusi mutakhir dalam hitungan menit,” kata Vijayakumar.

Solusi no-code dari Fieldproxy

Menurut data yang dikutip Fieldproxy, permintaan global akan solusi berbasis teknologi meningkat di antara 5 juta pemilik bisnis di lapangan yang kehilangan sekitar 20% pendapatan mereka. Alasannya karena proses yang tidak efisien dan kurangnya visibilitas ke pelanggan, kontrak, pembayaran, atau teknisi lapangan mereka. Platform tanpa kode Fieldproxy membantu organisasi ini melindungi pendapatan mereka dan mengembangkan bisnis mereka.

Co-founder & CTO Fieldproxy Balakrishna B menyatakan, “Pendekatan tanpa kode untuk mengelola tim lapangan adalah yang pertama di industri dan membantu bisnis tradisional di industri seperti FMCG, farmasi, dan layanan lapangan, menyebarkan aplikasi dengan cepat untuk merampingkan tenaga kerja mereka di lapangan tanpa biaya tambahan untuk menjalankan dan mengelola tim pengembangan yang terpisah. Ini membantu mereka fokus pada bisnis inti mereka.”

Secara terpisah, saat dihubungi DailySocial.id, Vijayakumar menyampaikan, meski kantor pusatnya di India, pihaknya sudah menjalin kerja sama bisnis dengan beberapa UKM di Indonesia. Ke depannya, pada 12-18 bulan mendatang, fokus perusahaan akan ekspansi ke kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia.

“Hal ini kami pilih mengingat pasar ini sangat mirip dengan India. Hal ini berlaku terutama di industri tempat kami beroperasi – barang konsumsi, farmasi, dan ruang servis rumah di mana sebagian besar operasi masih dijalankan melalui WhatsApp atau pulpen atau kertas dan tidak dalam bentuk digital,” pungkas dia.

Potensi no-code

Di Indonesia, startup pengembang platform no-code, sudah ada beberapa yang hadir. Mereka adalah Typedream dan Feedloop. Kemudahan yang ditawarkan membuat platform no-code, atau sering juga disebut low-code, berkembang pesat. Di kancah global, saat ini banyak sekali platform berbasis SaaS yang menawarkan kapabilitas serupa untuk berbagai kebutuhan spesifik.

Menurut temuan hasil survei Appinventiv, layanan no-code banyak diminati oleh pebisnis lantaran memudahkan langkah mereka melakukan inovasi dan transformasi. Seperti diketahui, bisnis dituntut untuk secara tangkas melakukan transformasi digital dengan go-online. Proses pengembangan manual dapat memakan waktu panjang untuk perusahaan yang baru memulai langkah tersebut, karena harus melakukan banyak tahapan, mulai perencanaan hingga perekrutan staf ahli di bidang pemrograman.

Potensi ini membawa nilai pasar layanan tersebut mencapai $45,5 miliar pada tahun 2025 mendatang. Varian platform yang ada tidak hanya memfasilitasi kebutuhan spesifik perusahaan besar, melainkan juga kepada UMKM yang ingin meningkatkan kehadirannya secara online atau meminimalkan friksi dalam kegiatan operasionalnya.

The Manufacture Hub Startup Imajin Receives Pre Series A Funding from Init-6

The manufacturing hub startup Imajin received pre-seed funding from Init-6 with an undisclosed amount. This funding  will be used to accelerate digitization in the manufacturing industry through market expansion and new product development.

In a short discussion with DailySocial.id, Imajin‘s Co-founder & CEO, Chendy Jaya said that Init-6 is currently the sole investor for this round. However, the Global Fund is said to participate in this funding.

In Indonesia, Imajin plans to expand to several cities in Java and Batam. In addition, the company is strongly considering an expansion to Japan. After his recent visit to Japan, he implied to gain a positive response from the local companies.

“I think we’ll need representatives in the country, in order [prospective customers] to be onboard at Imajin,” he added.

Imajin is a platform that bridges demand and supply in the manufacturing industry. By positioning itself as a manufacturing hub, Imajin offers three business models, (1) a platform to gather business players in the manufacturing industry, (2) project financing, and (3) a marketplace to supply raw materials.

Throughout the first semester of 2022, he continued, Imajin has recorder an Annual Recurring Revenue (ARR) contract of almost ten times growth compared to two years ago. The company has just started its expansion in East Java, and released an AI-based Quick Note feature to detect 3D files and instantly determine the price range of the goods.

On his LinkedIn page, Init-6’s Venture Partner, Rexi Christopher believes that Imajin will have a significant role to play in revolutionizing the manufacturing industry in Indonesia. Moreover, 20% of Indonesia’s total GDP is projected to come from manufacturing. Its growth is also predicted to be faster due to the adoption of new technologies.

In addition, he believes that Imajin is backed by know-how founders in this sector. “We believe that Imajin can accelerate digitization in manufacturing so as to make its industry in Indonesia more competitive in the global market,” he said.

In fact, Init-6 was founded by Bukalapak’s Co-founders, Achmad Zaky and Nugroho Herucahyono with a focus on investing in early-stage startups. Recently, Init-6 has channeled funding to the “Dibimbing” edtech platform.

Manufacturing digitization

On a separate occasion, Imajin works closely with the Sole Agents of Brand Holders (ATPM) in the automotive and other sectors and cooperates with the Ministry of Industry to accelerate the digitization of manufacturing in the country.

In its efforts to enter the Japanese market, Chendy said that the automotive industry in Indonesia has great potential. Moreover, some high technology for automotive products, such as servo-brakes, gear boxes, and drive-axles, are still imported from Japan. According to a report by the Indonesian Embassy in Tokyo with Mizuho Bank, the import value reached $1 billion.

Meanwhile, the Indonesian government is aggressively encouraging domestic digitalization in order to meet the regulation of the Domestic Content Level (TKDN) of at least 35% and increase to 80% in 2026, especially in electric vehicles.

“We found a classic problem that often occurs in the manufacturing sector, which is finding trusted vendors. We want to digitize the procurement process to production, therefore, the Indonesian market can compete with other countries,” he said.

Currently, Imagin has more than 400 local manufacturing partners and 80 customers including Japanese companies in Indonesia. Imajin strives to provide dozens of customers from leading companies, such as Tom’s Racing, Toyota Motor Corporation, Mitsubishi Motor Corporation, so that they comply with product standards owned in Japan.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

East Ventures Pimpin Pendanaan Pra-Awal 82 Miliar Rupiah Startup Proptech “Tanaku”

Startup proptech Tanaku mengumumkan perolehan dana segar senilai $5,5 juta (lebih dari 82 miliar Rupiah) dalam putaran pra-awal yang dipimpin oleh East Ventures. Dalam putaran ini mencakup ekuitas dan modal utang, dengan nominal tidak dirinci, dari bank internasional terkemuka.

Modal baru ini akan dimanfaatkan Tanaku untuk menghadirkan kepemilikan rumah yang mudah diakses dan mengubah pengalaman membeli rumah secara radikal, dengan fokus saat ini pada membangun produk, memperluas tim, memperoleh rumah, dan melaksanakan strategi go-to-market.

“Kami sangat menghargai investasi dan kepercayaan East Ventures dalam visi kami untuk menjembatani kesenjangan kepemilikan rumah dan mendorong inklusivitas keuangan di Indonesia,” ucap Co-founder & CEO Tanaku Jonathan Ma dalam keterangan resmi, Selasa (12/7).

Jonathan, bersama rekan-rekannya, yakni Andries De Vos (Head of Product), Bhanu Prakash (Head of Marketing), dan Alwin Hajaning (Head of Commercial), merintis Tanaku pada tahun ini dengan latar belakang beragam, mulai dari properti, keuangan, hukum, produk, dan pertumbuhan.

Permasalahan kompleks di area ini juga membuat sejumlah startup lain tertantang untuk memberikan solusi serupa untuk pembiayaan kepemilikan properti — tentunya dengan model bisnis yang unik, di antaranya Ringkas dan Pinhome.

Solusi Tanaku

Sejak 2020, kepemilikan rumah di Indonesia terus menurun sebesar 2% tiap tahunnya. Sebanyak 70 juta generasi muda adalah segmen yang paling terdampak dengan 70% dari angka tersebut tidak mampu membeli rumah mereka sendiri.

Masalah tersebut bermula dari cara pembelian rumah, banyak anak muda tidak punya dana atau tabungan yang cukup untuk dijadikan sebagai uang muka awal (DP) dan bank akan menolak mayoritas pengajuan KPR. Pengembang properti sering menawarkan paket cicilan, tapi sering kali ada biaya tersembunyi yang mahal, suku bunga tinggi, dan persyaratan yang sulit dipenuhi.

Kondisi tersebut membuat mereka frustrasi dan beralih ke persewaan properti jangka panjang yang menyebabkan stabilnya penurunan kepemilikan rumah.

Jonathan menuturkan, Tanaku membangun solusi pra-hipotek untuk memiliki hunian. Tanaku akan membangun platform teknologi end-to-end unik untuk memfasilitasi pembelian dan transaksi rumah secara online untuk mengakomodasi berbagai startup proptech di Indonesia.

“Misi kami adalah memutarbalikkan penurunan kepemilikan rumah di Indonesia dan mewujudkan impian memiliki rumah. Dalam jangka panjang, kami ingin mendorong transisi Indonesia menuju perumahan hijau.”

Calon pembeli rumah bisa mendapatkan prakualifikasi bersama Tanaku dengan persyaratan yang jauh lebih sederhana daripada bank tradisional. Mereka cukup membayar 2% DP dan bisa menempati di rumah baru. Kemudian, mereka dapat fokus melunaskan sisa DP dengan cicilan bulanan dan memperbarui rumahnya dengan Tanaku atau mengakses pinjaman bank dengan persyaratan yang jauh lebih baik, berkat riwayat kredit yang sudah dikumpulkan.

Pada peluncuran awal, calon pembeli rumah dapat memilih rumah dari daftar properti pilihan Tanaku melalui situsnya. Ke depannya, Tanaku akan memfasilitasi pembelian rumah di pasar terbuka dengan berbagai agen mitra di beberapa kota di Indonesia.

“Kami percaya pada ambisi dan keahlian tim Tanaku dalam memberikan solusi alternatif pembiayaan rumah untuk membantu jutaan masyarakat Indonesia dalam menjadi pemilik rumah yang bertanggung jawab secara finansial. Kami bersemangat untuk dapat menjadi bagian dari perjalanan tim Tanaku dalam menyambut era baru kepemilikan rumah di Indonesia,” kata Principal East Ventures Devina Halim.

Agriaku Secures Series A Funding Worth of 520 Billion Rupiah

The agritech startup, Agriaku, announced a Series A funding round of $35 million (approximately 520 billion Rupiah) led by Alpha JWC Ventures. Previous investors, including MDI Growth (ARISE, Centauri, and MDI) and Go-Ventures participated in this round, along with new investors, BRI Ventures, and Mandiri Capital Indonesia.

In addition, Agriaku added the list of strategic investors, such as Gentree Fund, K3 Ventures, and public company Thai Wah, which will help the company’s international expansion in the future. Alto Partners, InnoVen Capital, and Mercy Corps Social Ventures Fund also participated in the latest round.

On the same occasion, Agriaku also welcomed two new figures in its leadership ranks, Abraham Seodjito (CSO) and Valmik Mirani (CCO). Abraham previously worked at Traveloka Thailand as Chief Product Officer of Financial Services. Meanwhile, Mirani is Assistant Vice President at Paytm and Vice President for Marketplace Strategy Office at Tokopedia. These two leaders will strengthen technology-based solutions and operational performance at Agriaku.

In an official statement, some Agriaku investors also have a statement. Alpha JWC Ventures’ partner, Eko Kurniadi said that agriculture is one of the biggest contributors to the Indonesian economy, but this sector still faces many inefficiencies, including in the supply chain.

Agriaku is best positioned to empower Toko Tani by securing a consistent supply of agricultural tools at transparent prices, expanding its supplier network, and providing the necessary financing to grow its business. “We are happy to collaborate and be a part of Agriaku’s journey,” he said, Monday (11/7).

ARISE’s Partner, Aldi Adrian Hartanto added, “It was an honor to witness the extraordinary execution by the Agriaku team from day one. We are proud to continue to support the team for the third time and beyond to empower more Toko Tani and other agricultural stakeholders across the archipelago.”

Agriaku product

Source Agriaku

Agriaku was founded by Irvan Kolonas and Danny Handoko in May 2021. This startup aims to increase farmers’ productivity and income backed by technology. This is because the agricultural sector in this country contributes 13.7% of GDP 2020. However, the upstream agricultural market is highly fragmented with an unorganized value chain.

“The fragmented upstream agriculture industry makes it difficult for farmers, suppliers, and retailers to get what they need on time, resulting in frequent supply and price volatility. In addition, they also have problems with low manual work efficiency, inadequate logistics services, and limited access to financing,” Agriaku’s Co-founder and President, Irvan Kolonas said.

In overcoming these problems, Agriaku provides a B2B marketplace platform, connecting producers and suppliers so that they can provide farming tools directly to retailers (Toko Tani) at competitive prices. Furthermore, Toko Tani will distribute the products directly to farmers. Agriaku has two applications, Agria Aku Mitra App (to serve Farmers’ Shops) and Agriaku Seller Web (for suppliers).

It is said that Agriaku is now available in more than 500 cities in Java, Sumatra, and Sulawesi. The company is to expand services, establishing its position as a provider of comprehensive agribusiness solutions. The fresh funds will be used to expand Toko Tani’s network and its distributors, also the product and technology team, therefore, they can continue to innovate.

Irvan said AgriAku will focus on optimizing the economic unit and expanding revenue with innovation through value-added services, including logistics and financing to distributors and manufacturers to help them grow operationally with the AgriAKU platform. “We will strengthen market penetration by expanding toko tani and distributor networks, as well as business expansion to provide agricultural products.”


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here