Accelerating Asia Umumkan Investasi ke 13 Startup, Termasuk Tokban dan TransTRACK.ID

Pemodal ventura sekaligus akselerator startup tahap awal Accelerating Asia mengumumkan putaran investasi terbarunya. Kali ini melihatkan 13 startup, termasuk 9 startup baru  yang bergabung dalam program unggulan Cohort 6. Selain itu mereka juga mengumumkan dana tambahan untuk 4 startup yang telah tergabung di Cohort sebelumnya.

Dari 9 startup baru tersebut, salah satunya dari Indonesia. Bernama Tokban, startup tersebut melahirkan platform B2B untuk bahan konstruksi, MRO, dan kebutuhan renovasi rumah lainnya. Tokban membantu toko bahan bangunan, toko perangkat keras, dan kontraktor mengakses bahan bangunan yang lebih bervariasi dengan harga lebih rendah. Serta mendigitalkan proses konektivitas bisnis.

Sementara dari portofolio Cohort sebelumnya, dari Indonesia yang mendapatkan dukungan follow-on funding adalah TransTRACK.ID.

Investasi terbaru yang dilakukan menambah total perusahaan portofolio Accelerating Asia menjadi 52 startup dengan total pendanaan lebih dari $42 juta. Investasi baru di Cohort 6 juga memiliki daya tarik pasar dan pendapatan yang terus meningkat dengan GMV rata-rata $100 ribu per bulan dan pendapatan rutin bulanan rata-rata lebih dari $25 ribu.

Masih dalam proses finalisasi, startu[ Cohort 6 Accelerating Asia akan melakukan Demo Day pada bulan Juni 2022 mendatang. Startup Cohort 6 hadir di lebih dari 10 negara serta mencakup 7 vertikal bisnis termasuk proptech, marketplace, fintech, logistik, services, e-commerce, dan healthtech.

“Sejak tahun 2019, kami telah membangun kumpulan aset investasi startup kami dengan investor yang mendatangi Accelerating Asia untuk mendapatkan akses awal ke jaringan startup yang menggabungkan keuntungan dengan tujuan,” kata General Partner Accelerating Asia Amra Naidoo.

Accelerating Asia meluncurkan Fund II pada tahun 2021. Cohort 6 merupakan investasi gelombang kedua untuk Fund II yang akan menyebarkan modal ke startup pra-seri A di seluruh wilayah Asia Tenggara dan Selatan.

Fokus kepada startup Indonesia dan Bangladesh

TransTRACK.ID menjadi salah satu startup unggulan mereka dari Indonesia. Startup ini didirikan oleh dua founder, yakni Anggia Meisesari dan Aris Pujud. Hingga saat ini pengguna sistem TransTRACK.ID sudah hampir 3000 unit. Perusahaan dapat melayani pelanggan di seluruh Indonesia, dengan service point sementara ini berada di seluruh pulau Jawa, Sumatera Utara, dan Sumatera Selatan. TransTRACK.ID fokus pada model bisnis B2B dan B2B2C.

“Dengan solusi telematika armada mereka dan pengalaman industri yang luas dari tim pendiri, TransTRACK.ID berada di jalur yang tepat dengan berhasil meraup pangsa pasar kargo dan logistik yang diharapkan bernilai US$383 miliar pada tahun 2023,” kata General Partner Accelerating Asia Craig Bristol Dixon.

Selain investasi dari Accelerating Asia, startup-startup ini telah menggalang dana dari Cocoon Capital, Dana Pemberdayaan Wanita Indonesia (sebuah inisiatif dari Moonshot Global & YCAB Ventures), Draper Startup House Ventures Fund, HH VC Investments, Startup Bangladesh, Impact Collective, dan angels investor di pendanaan Accelerating Asia.

Selain fokus kepada startup di Indonesia, Accelerating Asia juga mulai melirik startup dari negara Bangladesh.

“Minat investor terhadap kumpulan aset investasi kami meningkat sejak pertama kali mulai berinvestasi di Bangladesh pada tahun 2019 sebagai salah satu pemodal ventura bertaraf internasional. Contohnya, Shuttle telah berhasil berkembang dari awalnya sebagai solusi transportasi yang aman bagi wanita hingga memperluas layanannya untuk memasukkan penawaran B2B untuk perusahaan dan jalan lainnya.” tambah Craig.

Pasarnow Dikabarkan Raih Pendanaan 138 Miliar Rupiah, Kembali Dipimpin East Ventures

Startup online grocery Pasarnow dikabarkan memperoleh pendanaan lanjutan sebesar $9,5 juta (lebih dari 138 miliar Rupiah). Menurut sumber terpercaya yang kami terima, putaran tersebut melambungkan valuasi perusahaan ke angka $56 juta.

East Ventures kembali memimpin putaran teranyar tersebut, didukung sejumlah investor seperti January Capital dan Skystar Capital. DailySocial.id sempat mencoba meminta konfirmasi perihal kabar tersebut, namun belum menerima respons dari pihak hingga berita ini diturunkan.

Pada September tahun lalu, Pasarnow menerima pendanaan tahap awal senilai $3,3 juta bersamaan dengan upaya pivot dari platform social commerce dengan brand sebelumnya “Jamannow”. Pada putaran ini, selain East Ventures, terdapat SMDV, Skystar Capital, Amand Ventures, Prasetia Dwidharma, dan lainnya.

Pasarnow didirikan pada 2019 oleh James Rijanto, Donald Wono, dan Cindy Ozzie. Mereka memiliki fokus untuk menyederhanakan rantai pasok di sektor bahan makanan sehat dan menawarkan produk makanan segar berkualitas kepada pelanggan melalui platform multi-channel, sehingga memungkinkan mereka untuk merangkul ranah B2B dan B2C secara sekaligus.

Tiap channel ini menawarkan harga, promosi, dan fitur utama yang berbeda untuk memenuhi kebutuhan spesifik pelanggan. Co-founder dan CEO Pasarnow James Rijanto mengatakan, produk makanan seperti buah-buahan, sayuran, dan daging beku mudah rusak, sehingga membutuhkan pengiriman yang cepat dengan kontrol suhu yang terjaga, dan akhirnya menyebabkan tingginya biaya logistik.

Hal tersebutlah yang menjadi fokus Pasarnow. Dalam proses kerjanya, sistem operasi di backend mengumpulkan riwayat pesanan untuk menghasilkan prediksi permintaan pasar, sehingga lebih dari 1.000 mitra petani dan pemasok dapat merencanakan dan mengoptimalkan jadwal panen mereka dengan lebih baik.

Dengan begitu, mereka dapat menawarkan bahan makanan berkualitas tinggi dan segar dengan harga terbaik kepada pelanggan dan meminimalkan jumlah bahan segar yang terbuang. Saat ini, Pasarnow beroperasi di Jabodetabek dan Bandung dengan lebih dari 100 karyawan dan 200 pekerja harian dan mitra pengemudi.

Daftar pendanaan startup online grocery

Sepanjang pandemi, bisnis online grocery terus menuai traksi yang tinggi karena masuk ke dalam kebutuhan sehari-hari. Berikut daftar pendanaan yang DailySocial.id rangkum sepanjang 2020 hingga sekarang:

Periode Startup Investasi
Maret 2022 Sayurbox Seri C
Februari 2022 Astro Seri A
Februari 2022 Bananas Pendanaan Awal
Januari 2022 KedaiSayur Pendanaan bridge round
Januari 2022 JaPang Pra-Seri A
November 2021 Astro Pendanaan Awal
September 2021 Pasarnow Pendanaan Awal
September 2021 Segari Seri A
Agustus 2021 Pasarnow Pendanaan Awal
Agustus 2021 Segari Seri A
Juli 2021 HappyFresh Seri D
Apri 2021 Sayurbox Seri B
Maret 2021 Dropezy Pendanaan Awal
Maret 2021 Segari Pendanaan Awal
Maret 2021 Eden Farm Pendanaan Awal
Agustus 2020 Wahyoo (meluncurkan Langganan.co.id) Seri A
Juli 2020 BorongBareng Pra-Seri A
Maret 2020 Chilibeli Seri A
Application Information Will Show Up Here

Moladin to Secure Series B Funding Worth of 1.4 Trillion Rupiah

The car marketplace Moladin is reported to have secured a series B funding of $95 million or equivalent to 1.4 trillion Rupiah. Based on the regulator’s data, this round was led by DST Global, with the involvement of Sequoia Capital India, Northstar Group, East Ventures and a number of other investors.

We tried to confirm with Moladin, however, the rep still refuse to comment regarding funding.

The latest funding is estimated to bring Moladin’s valuation to over $700 million — one step closer to a unicorn. Previously, the company had announced series A funding in early 2022 worth $42 million. Sequoia Capital India and Northstar Group are leading this funding.

The startup was founded by Jovin Hoon and Mario Tanamas, it is accelerating its business even faster after pivoting in 2021, from a motorcycle purchasing platform to a used cars marketplace.

In an interview with DailySocial.id last January, Moladin’s CEO, Jovin Hoon said the used car market in Indonesia is still very fragmented and unorganized. There are many players in the ecosystem such as agents, micro dealers, and large dealers with no structured platform and work system. Moladin is here to bridge the gap.

Post-pivot, Jovin said that Moladin has experienced explosive business growth for the past 6 months. This provide founders with confidence to focus their resources on the used car business, with short-term plans to expand the business to other verticals such as financing and other automotive additional services.

Market competition

Car marketplace services is commonly have a C2B2C business model. It provides services of buying used cars from consumers, then auctioning them off to dealer partners and/or reselling them to consumers through the digital platform. They also carry out detailed inspections, allowing consumers to get the most ideal price due to the vehicle’s current.

There are also several players in Indonesia, including Carro, Carsome, and OLX Autos. The first two has reached the unicorn milestone last year, prompting them to make a massive expansion by presenting Experience Centers in various cities in Indonesia to reach more consumers.

Jovin and the Moladin management team are well aware of its position in the market. A series of business models and strategies are prepared. One thing that sets Moladin apart from other car marketplaces is its focus on empowering its network of agents.

“Our agents is our value proposition. They are key and an integral part of our business. By empowering agents through providing the right tools and ecosystem, we can offer customers a highly personalized car transaction experience,” Jovin said.

In addition, technology adoption will also be Moladin’s main focus, in order to digitize business processes as a whole. Some of the things in the roadmap include: (1) speed of transaction and disbursement on the same day; (2) competitive price; (3) good inventory selection; and (4) accessibility, with a strong presence even outside the big cities. Currently, Moladin is available in more than 115 cities throughout Indonesia.

The above model is claimed to be well received by the market. Jovin said that the company has experienced rapid growth from its used car business with transaction volume growing >20x over the last few months. Their digital services are also claimed to have increased the productivity of agents and dealers by >2.5x.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Platform Pencarian Kerja “Atma” Segera Debut, Kantongi Pendanaan Awal 73 Miliar Rupiah

Platform pencarian kerja Atma mengantongi pendanaan tahap awal (pre-seed) sebesar $5 juta atau sekitar 73 miliar Rupiah. Pendanaan ini dipimpin oleh AC Ventures serta didukung oleh Global Founders Capital (GFC).

Selain itu, sejumlah pendiri turut berpartisipasi sebagai angel investor strategis, di antaranya dari GoTo Group, Advance Intelligence Group, Ula, Lummo, Kopi Kenangan, Sampoerna Strategic, MMS Group, dan Xiaomi.

Sebagai informasi, Atma didirikan di 2022 oleh sejumlah eks petinggi perusahaan teknologi, yaitu Edy Tan (eks Chief of Driver Gojek), Chris Gunawan (eks Co-founder RestoDepot dan Product Executive Vara), Susan Suhargo (eks Strategic Initiatives Tencent dan Regional Marketing Gojek), Tim Young (eks investor Atlas Asset Management dan Fixed Income Trader HSBC), dan Monica Oudang (Ketua YABB-GoTo Foundation dan eks CHRO Gojek yang menjabat sebagai penasihat).

Atma merupakan platform pencarian kerja berbasis komunitas yang membidik para pencari kerja berpenghasilan menengah ke bawah (kurang dari Rp10 juta per bulan), terutama segmen usia produktif di Indonesia. Atma berupaya membangun ekosistem secara end-to-end yang mencakup pasar kerja, lembaga peningkatan keterampilan, dan sistem dukungan berbasis komunitas.

Saat ini layanan Atma masih belum dirilis ke publik. Kendati di situs resminya mereka sudah menjaring calon pengguna tahap awalnya.

Terinspirasi pengalaman bekerja bersama driver

Co-founder & CEO Atma Edy Tan mengaku terinspirasi mendirikan startup baru ini dari pengalamannya bekerja sebagai eksekutif Gojek yang menangani komunitas driver. Ia melihat dampak sosial dari layanan Gojek yang mampu menciptakan lapangan pekerjaan di sektor informal ke 2,5 juta driver di Indonesia.

Dengan misi serupa, Edy ingin menjangkau populasi yang lebih luas dan mencakup sektor formal. Untuk itu, pendanaan ini akan digunakan untuk mendukung pengembangan kualitas produk dan layanan, menjalankan strategi go-to-market, dan memperluas jumlah tim mereka hingga akhir tahun ini.

Sementara itu, Founder dan Managing Partner AC Ventures Michael Soerijadji mengungkap ada lebih dari 100 juta pekerja aktif yang berpenghasilan menengah ke bawah menghadapi inefisiensi signifikan dalam mencari pekerjaan yang tepat dan sesuai keahlian dan preferensi mereka.

“Atma dapat membantu pemberi kerja melakukan seleksi pelamar dengan kualifikasi lebih relevan serta memberi peluang pengembangan karier lewat sertifikasi atau pelatihan tambahan. Atma akan mendefinisikan kembali pengalaman mencari kerja,” tutur Michael.

Selain Atma, saat ini ada sejumlah platform job marketplace lain yang juga beroperasi. Salah satunya Lumina yang baru mendapatkan pendanaan awal dari Y Combinator dan Alpha JWC Ventures awal Januari 2022 lalu. Selain tu ada juga Sampingan, MyRobin, Glints, dan lain sebagainya.

Inefisiensi proses pencarian kerja

Lebih lanjut, Edy menilai ada sejumlah masalah yang kerap dialami oleh para pencari kerja di segmen berpenghasilan menengah ke bawah. Padahal, digitalisasi telah berkembang secara masif di Indonesia.

Pada kegiatan rekrutmen, misalnya, ada inefisiensi yang signifikan di mana prosesnya memakan waktu panjang, dimulai dari pembukaan lowongan pekerjaan, seleksi kandidat, wawancara, hingga penerimaan kandidat. Situasi ini tak jarang membuat calon pekerja merasa terabaikan dalam waktu yang lama.

Bahkan ia menilai kemunculan internet sekalipun belum mampu menghadirkan inovasi yang dapat menjadi solusi menyeluruh terhadap permasalahan ini. “Para pencari kerja di segmen ini menggambarkan pengalaman mencari kerja sebagai sesuatu yang membawa trauma emosional. Sementara perusahaan mendeskripsikan pengalaman mencari kandidat sebagai proses random walk,” ungkapnya.  

Dari pain point tersebut, Atma ingin menghadirkan solusi produk berskala besar untuk mendefinisikan kembali proses pencarian kerja. Atma membangun produk untuk mengubah pengalaman pencari dan pemberi kerja secara keseluruhan dengan menggunakan elemen inti berbasis kemudahan, interaktivitas, sociability, personalisasi, dan gamifikasi.

“Kita sedang memasuki era teknologi berbasis komunitas di mana segala sesuatu yang kita lakukan terpengaruh oleh individu ataupun sekelompok orang. Komunitas memberikan identitas, rasa memiliki, koneksi, dukungan dan pertumbuhan bagi para pencari kerja,” tutup Edy.

Moladin Dikabarkan Mendapat Pendanaan Seri B Senilai 1,4 Triliun Rupiah

Platform car marketplace Moladin dikabarkan telah membukukan pendanaan seri B senilai $95 juta atau setara 1,4 triliun Rupiah. Berdasarkan data yang telah disetor ke regulator, putaran ini dipimpin DST Global, dengan keterlibatan Sequoia Capital India, Northstar Group, East Ventures, dan sejumlah investor lainnya.

Kami telah mencoba menghubungi pihak Moladin untuk meminta keterangan, namun untuk mereka masih menolak untuk berkomentar terkait pendanaan.

Ditaksirkan pendanaan baru tersebut membawa valuasi Moladin di angka lebih dari $700 juta — selangkah lagi menuju unicorn. Sebelumnya mereka baru mengumumkan pendanaan seri A pada awal tahun 2022 senilai $42 juta. Sequoia Capital India dan Northstar Group memimpin pendanaan tersebut.

Startup yang didirikan Jovin Hoon dan Mario Tanamas tersebut makin kencang mengakselerasi bisnisnya setelah sebelumnya melakukan pivot pada tahun 2021, dari portal pembelian sepeda motor menjadi platform marketplace untuk jual-beli mobil bekas.

Dalam wawancaranya bersama DailySocial.id pada Januari lalu, CEO Moladin Jovin Hoon mengatakan, pasar mobil bekas di Indonesia masih sangat terfragmentasi dan belum terorganisir. Masih banyak pemain di ekosistem seperti agen, diler mikro, dan juga diler besar yang belum memiliki platform dan sistem kerja yang terstruktur. Moladin hadir untuk menjembatani kesenjangan tersebut.

Pasca-pivot, Jovin mengatakan selama 6 bulan terakhir Moladin mendapati pertumbuhan bisnis yang eksplosif. Ini turut memberikan keyakinan tersendiri kepada para founder untuk memfokuskan sumber daya yang dimiliki pada bisnis mobil bekas, dengan rencana jangka pendek untuk memperluas bisnis ke vertikal lain seperti pembiayaan dan layanan tambahan otomotif lainnya.

Kompetisi pasar

Layanan car marketplace umumnya memiliki model bisnis C2B2C. Memberikan pelayanan berupa pembelian mobil bekas dari konsumen, kemudian melelangnya ke mitra diler dan/atau menjualnya kembali kepada konsumen melalui platform digital yang dimiliki. Mereka turut melakukan inspeksi mendetail, memungkinkan konsumen mendapatkan penawaran harga yang paling ideal menyesuaikan kondisi kendaraan yang dimiliki.

Pemainnya pun ada beberapa di Indonesia, tiga di antaranya Carro, Carsome, dan OLX Autos. Dua yang disebutkan pertama telah mencapai tonggak unicorn pada tahun lalu, mendorong mereka untuk melakukan ekspansi besar-besaran menghadirkan Experience Center di berbagai kota di Indonesia untuk menjangkau lebih banyak konsumen.

Jovin dan tim manajemen Moladin sadar betul tentang posisinya di pasar. Sejumlah model bisnis dan strategi di siapkan. Satu yang paling membedakan Moladin dengan car marketplace lainnya adalah fokusnya dalam memberdayakan jaringan agen yang dimiliki.

“Agen kamilah yang membedakan kami. Mereka adalah kunci dan bagian integral dari bisnis kami. Dengan memberdayakan agen melalui penyediaan perangkat dan ekosistem yang tepat, kami dapat menawarkan pengalaman transaksi mobil yang sangat personal kepada pelanggan,” jelas Jovin .

Selain itu, adopsi teknologi juga akan menjadi fokus utama Moladin, guna mendigitalkan proses bisnis secara menyeluruh. Beberapa hal yang ingin ditawarkan di antaranya: (1) kecepatan transaksi dan pencairan di hari yang sama; (2) harga yang kompetitif; (3) pilihan inventaris yang baik; dan (4) aksesibilitas, dengan kehadiran yang kuat bahkan di luar kota-kota besar. Saat ini Moladin telah hadir di lebih dari 115 kota di seluruh Indonesia.

Model di atas diklaim dapat diterima dengan baik oleh pasar. Jovin berujar bahwa perusahaan telah mengalami pertumbuhan pesat dari bisnis mobil bekas dengan volume transaksi tumbuh >20x lipat selama beberapa bulan terakhir. Layanan digital mereka juga diklaim telah meningkatkan produktivitas agen dan diler hingga >2,5x lipat.

Application Information Will Show Up Here

Saturdays Umumkan Pendanaan Seri A, Dipimpin oleh Altara Ventures

Startup direct-to-consumer (DTC) Saturdays mengumumkan pendanaan seri A dengan nilai investasi yang dirahasiakan. Pendanaan ini dipimpin oleh Altara Ventures dengan sejumlah partisipasi dari DSG Consumer Partners dan afiliasi lainnya.

Terakhir kali Saturdays menutup pendanaan tahap awal (seed) dari Alpha JWC Ventures, Kinesys Group, dan Alto Partners pada 2020, tetapi baru diumumkan pada Februari 2021.

Co-Founder Saturdays Andrew Kandolha mengatakan, pendanaan tersebut akan mempercepat ekspansinya ke seluruh Indonesia dan memperkuat pengalaman omnichannel berbasis teknologi.

“Dengan posisinya sebagai merek DTC, penting untuk memberikan kepuasan pelanggan pada pertemuan pertama. Maka itu, pendekatan omnichannel berbasis teknologi yang kami miliki punya peran penting untuk memudahkan pelanggan berbelanja dengan pengalaman lebih menyenangkan, baik lewat website, aplikasi, SMS, layanan uji coba di rumah, hingga di toko fisik,” ujar Andrew.

Partner dan CMO Altara Ventures Huiting Koh menambahkan, solusi hibrida dengan menggabungkan jaringan toko fisik dan layanan uji coba di rumah menjadi daya tarik Saturdays dalam memperluas jangkauan dengan konsep lifestyle.

Sebagai informasi, Saturdays didirikan oleh Rama Suparta dan Andrew Kandolha di 2016. Saturdays menawarkan produk lifestyle dengan eyewear sebagai bisnis utamanya. Saturdays memproduksi sendiri material lensa dan frame, mulai dari desain, manufaktur, hingga pengiriman langsung ke konsumen.

Layanan omnichannel Saturdays

Saturdays berupaya menjawab salah satu isu penting terkait penanganan gangguan penglihatan di Indonesia. Perusahaan mencatat, hanya sepertiga dari penduduk di Indonesia yang mampu mengakses atau membeli kacamata dengan resep maupun layanan perawatan penglihatan.

Di samping itu, masih banyak masyarakat yang memilih membeli produk kacamata bermerek yang dirancang untuk western face, atau sekadar membeli kacamata tiruan dengan kualitas kurang baik.

World Health Organization (WHO) mengungkap bahwa kacamata dapat meningkatkan produktivitas sebesar 30% dan pendapatan keseluruhan sebesar 20% di berbagai negara berkembang.

Untuk menghadirkan pengalaman omnichannel, Saturdays mengadopsi model online-to-offline (O2O) melalui website dan toko retail. Toko flagship pertamanya berada di Lotte Shopping Avenue, Jakarta, yang terintegrasi dengan gerai kopi untuk memberi sentuhan lifestyle. Total toko Saturdays saat ini telah mencapai 15 gerai.

Saturdays juga merilis aplikasi “Saturdays Lifestyle” pada awal 2021 sebagai strategi untuk membentuk perilaku baru dalam berbelanja kacamata melalui platform digital. Aplikasi ini memungkinkan konsumen untuk melakukan uji coba produk langsung dari rumah (Home Try-On).

Saturdays mengklaim sebagai pelopor layanan ini karena ditangani oleh ahli optik berlisensi dengan menghadirkan lebih dari 100 frame bersama dengan peralatan pengujian mata yang nyaman untuk dilakukan di rumah.

“Kami ingin menghadirkan visi baru lewat pendekatan omnichannel sehingga dapat memberikan solusi bagi siapa pun dengan menyediakan kacamata bagi jutaan masyarakat,” tambah Co-founder Saturdays Rama Suparta.

D2C di Asia Tenggara

Dalam tulisannya, eks Venture Analyst Intern di Plug and Play APAC Kartik Jain mengungkap sejumlah faktor penting untuk melihat kesiapan pasar Asia Tenggara menyambut D2C. Memang pasar D2C berkembang signifikan, utamanya dipicu oleh pandemi Covid-19.

Pada dasarnya, pelaku D2C  harus dapat mengendalikan rantai pasokan secara penuh baik dari aspek desain, manufaktur, pemasaran hingga distribusi.

Namun, sebelum itu, pelaku D2C juga perlu memerhatikan faktor-faktor makro lain yang dapat memberikan peran signifikan terhadap kesuksesan D2C, seperti penetrasi internet dan pembayaran berbasis elektronik dan digital.

Jain juga menyoroti tentang metrik Customer Lifetime Value (CLV) dan Customer Acquisition Cost (CAC) yang sama-sama punya posisi penting pada model D2C. Menurutnya, model D2C harus memiliki retensi yang tinggi untuk membuat nilai ekonomi lebih layak. Hanya saja, untuk mencapainya, pelaku D2C perlu mengeluarkan biaya lebih banyak pada pemasaran yang pada akhirnya harus menaikkan CAC.

Dalam konteks pasar Indonesia, e-Conomy SEA Report mencatat ada sebanyak 21 juta pengguna digital baru sejak awal pandemi hingga pertengahan 2021, di mana 72% di antaranya berasal dari kota non-metropolitan. Adapun, GMV e-commerce Indonesia diperkirakan tumbuh 52% mencapai $53 miliar di 2021 dan diproyeksi sebesar $104 miliar di 2025.

Application Information Will Show Up Here

Sejumlah Investor Baru Masuk di Pendanaan Seri A VIDA, Kini Bukukan 738 Miliar Rupiah (UPDATE)

*Update: Ada penambahan investor di putaran ini, yakni Orion Advisors dengan dana segar $2,5 juta.

Pendanaan seri A VIDA masih berlangsung, setelah sebelumnya kumpulkan dana $41,2 juta dari Alpha JWC Ventures, Endeavor Catalyst, dan sejumlah lainnya; kini beberapa investor baru meliputi SEA Frontier Fund, YTL Utilities Finance, dan Olympus Capital turut menambahkan investasi dalam putaran tersebut senilai $6,8 juta atau 98 miliar Rupiah.

Dengan demikian, menurut data yang telah diinput ke regulator, dari putaran teranyar tersebut VIDA berhasil mengumpulkan dana segar $50,5 juta atau sekitar 691 miliar Rupiah.

Ketika dihubungi DailySocial.id, pihak terkait masih enggan memberikan komentar terkait adanya putaran pendanaan ini.

Masih dari sumber yang sama, total dana investasi keseluruhan yang telah dihimpun VIDA mencapai hampir $60 juta, mendongkrak valuasi VIDA mendekati $300 juta. Ini sekaligus menjadi pendanaan terbesar yang pernah didapatkan oleh startup digital signature di Indonesia.

Startup sejenis lain yang terakhir membukukan pendanaan seri B adalah Privy. Invetasi yang dipimpin GGV Capital tersebut membawa dana segar 240 miliar Rupiah. Dari data yang kami himpun, dari semua putaran pendanaannya, Privy berhasil mengumpulkan dana ekuitas sekitar hampir $24 juta.

Momentum layanan tanda tangan digital

VIDA, Privy, TekenAja, hingga Digisign tengah merebutkan potensi pasar yang besar dari produk tanda tangan digital/elektronik. Menurut Fortune Business Insight, ukuran pasar untuk layanan tanda tangan digital telah mencapai $3 miliar pada 2021. Tahun ini diperkirakan akan meningkat menjadi $4,05 miliar dan bertumbuh hingga $35,03 miliar pada 2029 dengan CAGR 36,1%.

Sementara di Indonesia, menurut analisis DocuSign, total addressable market masih terbuka sangat luas. Potensinya bisa mencapai $25 triliun.

Hal ini dikarenakan use case penggunaan yang semakin luas. Terlebih sektor krusial seperti perbankan juga sudah mengadopsi untuk mendukung layanan perbankan online-nya. Selain itu, layanan terkait juga sudah mendapatkan perhatian dari regulator, misalnya untuk produk tanda tangan digital masuk ke PSrE di Kominfo dan e-KYC masuk di regulatory sandbox OJK.

Application Information Will Show Up Here

Masih Berkondisi “Stealth”, Honest Bank Dikabarkan Telah Bervaluasi Centaur

Masih dalam mode “stealth”, startup digitalopen banking Honest Bank dikabarkan telah mencapai valuasi sekitar $200 juta. Hal ini ditopang dengan pendanaan yang terus mengalir.

Menurut data yang disetor ke regulator, terakhir pada April 2022 ini sejumlah investor turut menambah pundi-pundi modal lebih dari $10,4 juta, di antaranya XYZ Capital, Digital Horizon, Alumni Ventures, dan sejumlah nama lainnya.

Sebelumnya, di tahap seed Honest Bank mendapatkan dukungan dalam XYZ Capital dan Village Global senilai hampir $3 juta. Kemudian dilanjutkan pendanaan seri A senilai hampir $23 juta dari Insignia, Global Founder Capital, Alpha JWC Ventures, dan beberapa lainnya. Jika ditotal dana ekuitas yang berhasil dibukukan sejauh ini hampir $37 juta.

Sementara itu, sampai saat ini produk atau layanan Honest Bank masih belum diluncurkan ke publik. Namun diketahui, perusahaan berbasis di Singapura itu memiliki misi untuk menawarkan platform keuangan yang bisa memberikan akses layanan perbankan yang adil kepada masyarakat di Asia Tenggara.

Startup ini mulai diinisiasi sejak 2019 oleh Peter Panas dan Will Ongkowidjaja. Will sendiri adalah salah satu Founding Partner dari Alpha JWC Ventures.

Indonesia jadi prioritas pasar

Awal tahun ini, Honest Bank mengakuisisi mayoritas saham (71,2%) dari PT Sahabat Finansial Keluarga (SFK). SFK adalah perusahaan pembiayaan yang dimiliki PT Bank Permata Tbk.

Berdasarkan keterbukaan di BEI, nilai akuisisi ini 241 miliar Rupiah. Disampaikan oleh Direktur Bank Permata Chalit Tayjasanant, akuisisi diharapkan bisa memperkuat lini pembiayaan konsumen dan produk keuangan inovatif SFK.

Selain terkait akuisisi SFK, sinyal rencana menjadikan Indonesia sebagai pasar debut mereka, saat ini perusahaan tengah melakukan perekrutan sejumlah posisi untuk ditempatkan di Jakarta.

Selain Indonesia, Thailand juga menjadi target awal yang sepertinya akan disinggahi Honest Bank.

Pinhome Dikabarkan Kantongi Pendanaan Seri B 719 Miliar Rupiah

Platform proptech Pinhome dikabarkan telah mengantongi pendanaan seri B senilai $50 juta atau setara 719 miliar Rupiah. Dari data yang disetorkan ke regulator, beberapa investor yang terlibat meliputi Goodwater Capital, Intudo Ventures, Ribbit Capital, Eurazeo Smart City, Insignia Ventures Partners, Watiga Trust, Global Founders Capital, dan sejumlah lainnya.

DailySocial.id mencoba untuk mendapatkan konfirmasi dari pihak terkait, namun mereka enggan untuk menjelaskan lebih lanjut terkait dengan pendanaan ini. Menurut juru bicara Pinhome yang diwakilkan oleh Head of Marketing & PR Pinhome Dani, mereka belum dapat memberikan komentar apapun terkait dengan pendanaan maupun investor.

“Fokus Pinhome saat ini untuk meningkatkan layanan serta pengalaman konsumen saat melakukan transaksi properti maupun layanan rumah tangga, sehingga dapat meningkatkan new user serta monthly active user di aplikasi dan situs kami.”

Tahun 2021 lalu Pinhome telah mendapatkan pendanaan seri A yang dipimpin oleh Ribbit Capital dengan nilai investasi sebesar $25,5 juta atau setara 369,3 miliar Rupiah. Beberapa investor lain juga turut andil dalam pendanaan Pinhome, di antaranya Goodwater Capital, Insignia Ventures Partners, dan Global Founder Capital selaku unit investasi milik Rocket Internet.

Sebelumnya Pinhome juga telah melakukan penggalangan dana awal. Investor yang terlibat di antaranya adalah Insignia Ventures dan Global Founders Capital. Dari keseluruhan pendanaan yang berhasil dibukukan, diperkirakan valuasi Pinhome saat ini sudah mencapai $225 juta dan masuk ke jajaran Centaur.

Didirikan oleh CEO Dayu Dara Permata dan CTO Ahmed Aljunied sejak tahun 2020, Pinhome hadir dengan tujuan memfasilitasi transaksi properti agar lebih mudah, cepat, dan transparan dengan bantuan teknologi.

Dalam sebuah kesempatan wawancara Dara menjelaskan, “Pinhome sangat berbeda, kami adalah sebuah platform online yang memfasilitasi interaksi antara pemilik, pembeli, dan agen properti. Sebagai pemilik properti akan sangat dimudahkan karena ke depannya kami akan memiliki akses ke ratusan ribu agen yang siap membantu memasarkan propertinya.”

Dilengkapi fitur unggulan

Sempat melakukan integrasi dengan Gojek, saat ini Pinhome mengklaim telah dibekali dengan sederet keunggulan, salah satunya panduan membeli properti. Pengguna akan dipandu dalam menentukan budget dan properti ideal, opsi pembayaran, mengontak agen, melakukan kunjungan properti, menentukan estimasi harga, panduan KPR, memulai transaksi, menyiapkan dokumen penting, hingga proses serah terima semua dalam satu aplikasi.

Menurut survei internal Pinhome, KPR masih menjadi primadona generasi muda dalam membeli rumah idaman. Sebanyak 78% memiliki metode KPR bank, 12% memilih metode uang tunai (cash keras, cash bertahap), dan 9% menggunakan KPR multifinance. Saking pentingnya program KPR bagi pemilik rumah, Pinhome juga membuka kesempatan untuk KPR refinancing.

Saat ini, Pinhome telah bermitra dengan 50 lembaga keuangan, mulai dari bank dan multifinance yang dapat dipilih konsumen.

Application Information Will Show Up Here

VIDA Dikabarkan Mendapat Pendanaan 591 Miliar Rupiah, Masuk Kategori Centaur

Startup pengembang layanan tanda tangan digital VIDA dikabarkan telah mendapatkan pendanaan seri A senilai $41,2 juta atau setara dengan 591,4 miliar Rupiah. Alpha JWC Ventures, Endeavor Catalyst, Ferro Investments, dan sejumlah lainnya terlibat dalam putaran ini.

Terkait kabar ini, DailySocial.id sudah mencoba meminta keterangan pihak terkait. Namun sampai berita ini diterbitkan, belum ada komentar.

Menurut data yang telah diinputkan ke regulator, total dana investasi keseluruhan yang telah dihimpun VIDA mencapai $51 juta. Membawa valuasi perusahaan sekitar $260 juta, sekaligus mengokohkan mereka masuk ke jajaran centaur.

VIDA didirikan sejak 2018 oleh Niki Luhur, Sati Rasuanto, dan Gajendran Kandasamy. Saat ini mereka memiliki 3 layanan utama, meliputi VIDA Verify (layanan verifikasi identitas), VIDA Sign (layanan tanda tangan elektronik), dan VIDA Pass (sistem autentikasi dan otorisasi). VIDA juga telah menjadi penyelenggara sertifikasi elektronik (PSrE) yang terdaftar di Kemkominfo.

Selain Kominfo, di Indonesia untuk platform seperti yang disediakan VIDA turut bernaung dalam beleid yang dikeluarkan Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan — kendati saat ini masih di tahapan regulatory sandbox.

Perkembangan bisnis VIDA

Selain telah mendapatkan perizinan dari regulator di Indonesia, VIDA juga telah melakukan sejumlah aksi strategis untuk mendukung layanannya. Termasuk kemitraan dengan Ditjen Dukcapil hingga mendapatkan sertifikasi ISO 27001 untuk stardardisasi manajemen keamanan informasi.

VIDA juga telah mendapatkan akreditasi internasional, seperti dari WebTrust, menjadi anggota Cloud Signature Consortium, dan terdaftar dalam anggota Adobe Approved Trust List. Dengan kehadirannya di lanskap internasional, VIDA Sign kini sudah dikenali pengguna di 40 negara.

Terbaru, awal tahun ini VIDA mengumumkan kerja sama strategis dengan DocuSign. Kemitraan ini memberikan pilihan bagi pengguna tanda tangan elektronik DocuSign di Indonesia untuk menandatangani dokumen dengan verifikasi identitas online yang aman dan berkekuatan hukum, didukung platform yang dimiliki VIDA.

Kompetisi pasar

Menurut laporan Fortune Business Insight, ukuran pasar untuk layanan tanda tangan digital telah mencapai $3 miliar pada 2021. Tahun ini diperkirakan akan meningkat menjadi $4,05 miliar dan bertumbuh hingga $35,03 miliar pada 2029 dengan CAGR 36,1%. Sementara di Indonesia, menurut DocuSign total addressable market masih terbuka sangat luas. Potensinya bisa mencapai $25 triliun.

Di Indonesia sendiri selain VIDA juga sudah terdapat beberapa pemain lainnya yang sudah terdaftar di regulator, di antaranya Privy, TekanAja, dan Digisign.

Dengan use case yang semakin luas, khususnya di sektor konsumer digital seperti fintech, e-commerce, dan lain-lain, diyakini solusi terkait tanda tangan digital akan bisa diadopsi secara luas. Terlebih Covid-19 membawa tren digitalisasi di berbagai lini industri, yang juga mendorong pemberkasan administrasi turut dilakukan secara digital.

Application Information Will Show Up Here