Andalkan Pengalaman Pengguna yang Ringkas, Aplikasi Kasir Nuta Sasar Pebisnis Mikro Bidang Kuliner dan Ritel

Sejak didirikan pada tahun 2015, layanan point-of-sales Nuta berusaha membantu UKM mendigitalkan sebagian proses bisnisnya. Tujuannya untuk menghadirkan efisiensi dan peningkatan produktivitas. Kepada DailySocial, Co-Founder & CEO Nuta Erich Hartawan bercerita, nilai unik yang coba dihadirkan adalah kemudahan dalam penggunaan.

Slogan aplikasinya “kasir instan”, menjanjikan pengalaman pengguna yang diklaim lebih ringkas dari platform sejenis lainnya. Hal itu dilandasi target pasar Nuta adalah pelaku usaha mikro yang terbiasa dengan nota kertas, lalu coba dikonversi ke aplikasi.

“Yang coba kami lakukan adalah memindahkan nota kertas tersebut ke dalam sebuah tablet Android, menambahkan teknologi canggih di dalamnya, dan  membuatnya bekerja sealami mungkin. Sehingga pengguna tidak perlu belajar terlalu keras untuk menggunakan aplikasi ini. Target pasar utama Nutapos sektor kuliner dan ritel,” ujar Erich.

Sebagai portofolio program inkubator Indigo milik Telkom, Nuta bermarkas di Jogja Digital Valley. Saat ini juga sudah memiliki kantor perwakilan di Sidoarjo untuk perluasan cakupan bisnis. Selain Erich, ada Rahmat Ihsan yang juga merupakan Co-Founder.

Mereka juga sudah mendapatkan seed funding dari angel investor dan Telkom. Untuk akselerasi bisnis, pihaknya juga tengah melakuka penggalangan dana untuk tahap lanjutan.

“Traksi Nuta tumbuh setiap bulannya. Saat ini kami sudah memiliki hampir 1000 pengguna berbayar. Target tahun 2020 meningkatkan jumlah pengguna tiga kali lipat dan mengintegrasikan platform dengan berbagai digital wallet yang ada di Indonesia,” tambah Erich.

Seperti umumnya layanan POS, Nuta memiliki beberapa fitur seperti pembayaran, manajemen penjualan, dasbor pelaporan, hingga pajak. Layanan kasir digital ini dijajakan secara berlangganan, dengan mekanisme pembayaran per bulan per perangkat. Pada dasarnya aplikasi Nuta bisa digunakan dengan berbagai perangkat Android dan dihubungkan dengan printer portabel untuk mencetak nota pembelian.

Aplikasi juga mengakomodasi pencatatan stok bahan dan pemasok. Termasuk melakukan pencatatan dan kalkulasi komposisi guna memudahkan pebisnis kuliner untuk membuat estimasi pembelian bahan baku.

Di Indonesia sendiri sudah cukup banyak startup yang sajikan layanan serupa. Sebut saja Moka, Olsera, Cashlez, Qasir, NadiPOS, Whee, Pawoon, dan sebagainya.

Application Information Will Show Up Here

Alpha JWC Ventures Bags 1.7 Trillion Rupiah Through Its Second Fundraising

Alpha JWC Ventures has announced to close its second fundraising round at $123 million or around 1.7 trillion Rupiah. Since starting the second round in mid-2018, Fund 2 had been closed by “oversubscribed” – the number of investors who have a keen interest to join is exceeding the available slots. In addition, almost all investors in Fund 1 are rejoined this round.

The money collected from Fund 2 has been invested since the end of 2018 to 14 startups. One of the biggest investments has been Kopi Kenangan in November 2018 at $8 million or around 121 billion Rupiah. To date, they already listed 33 startups in their portfolio.

“To date, our team’s support in the journey and its development has been an important factor of our startup portfolio’s succession, and our focus lays on the business fundamentals of each company. We always remind all founders and startup teams the importance of proper unit economics calculations and financial accountability from the first day they joined Alpha JWC. We believe this approach is essential for the long-term sustainability of startups,” Alpha JWC Ventures’ Co-Founder & Managing Partner, Chandra Tjan explained.

In portfolio management, the company managed to use a hands-on approach in various business lines, from recruitment, marketing, and legal support.

“We also avoid investing in similar companies or any competitors to our previous portfolios. Our principle is to support our startups directly and intensively which means we have to choose the right founders and continue to help them throughout the startup journey,” Alpha JWC Ventures’ Co-Founder & Managing Partner, Jefrey Joe added.

To date, Alpha JWC has 20 team members. This year they added three new partners, namely Alan Hellawell (former CSO of SEA Group), Erika Go (former Principal of Alpha JWC), and Eko Kurniadi (former VP of Investment Creador). In addition, they have now launched a permanent office in Singapore to be able to reach more startups in Southeast Asia.

“We’re actively eyeing Vietnam’s digital industry for funding opportunities. As one of the fastest growing economies in the world, we believe Vietnam is the next largest market in Southeast Asia. Furthermore, we’ve invested in three companies in Vietnam and currently exploring some other startups,” Chandra added.

In its debut in 2016, Alpha JWC Ventures has launched Fund 1 worth $50 million or around 700 billion Rupiah. The funds were channeled to 23 startups in Southeast Asia, mostly in Indonesia. In less than 4 years, Fund 1 is claimed to have grown to 3.2x in Net Asset Value (NAV). Alpha JWC has also successfully made two exits, the Spacemob coworking space network (acquisition by WeWork in 2017) and the DealStreetAsia business media (acquisition by Nikkei in 2019).


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Rencana dan Target Dekoruma Perluas Lini Bisnis di Tahun 2020

Memasuki akhir tahun 2019, platform jasa desain interior dan konstruksi Dekoruma menyampaikan sejumlah pencapaiannya. Kepada media, Co-Founder & CEO Dekoruma Dimas Harry Priawan menyebutkan, saat ini platformnya telah memiliki sekitar satu juta pengguna aktif dan 500 merchant ritel. Mereka juga telah memiliki Experience Center dan rencananya tahun depan jumlahnya akan ditambah di area Jabodetabek.

Meskipun saat ini fokusnya 70% masih kepada B2C, namun Dekoruma juga terus membuka kemitraan dengan pengembangan rumah atau perusahaan properti di Indonesia.

“Salah satu kerja sama yang telah kami lancarkan adalah dengan Ciputra yang bisa diakses di kanal properti. Meskipun telah memberikan kontribusi yang besar, namun fokus kami masih kepada B2C,” kata Dimas.

Untuk pembayaran paling banyak dipilih oleh pelanggan Dekoruma adalah kartu kredit kemudian transfer bank. Sementara pilihan gratis ongkos kirim masih jadi fitur favorit penarik minat dan akan terus disuguhkan kepada pelanggan.

Dari demografi pengguna yang dimiliki, mereka mengklaim sebanyak 60-70% pengguna berasal dari kalangan perempuan. Hal ini turut disesuaikan pada visi Experience Center, didesain untuk meng-cater target pelanggan dengan gaya khas Dekoruma.

“Jika ditanya apa gaya atau pilihan dari selera dekorasi dan desain rumah, banyak pelanggan yang tidak bisa menjawab. Namun dengan melihat situs dan mengunjungi Experience Center kami biasanya mereka akan mendapatkan inspirasi seperti apa gaya yang sesuai untuk mereka,” kata Dimas.

Tahun 2020 mendatang, perusahaan memastikan untuk melakukan ekspansi di luar Jabodetabek. Kota-kota besar yang disasar di antaranya adalah Surabaya, Medan, Makassar, dan Bali. Rencana ekspansi ini adalah salah satu realisasi perusahaan pasca menerima pendanaan seri B dari Global Digital Niaga (Blibli) dan AddVentures tahun lalu.

Pihaknya juga memiliki rencana untuk melakukan penggalangan dana tahun 2020 mendatang, kendati tidak disebutkan detail waktu dan target perolehannya.

“Memang ada rencana tapi kami belum mulai melakukan penggalangan dana. Namun penjajakan dan pertemuan dengan investor terkait masih terus kita lakukan,” kata Dimas

Teknologi untuk mitra desainer interior

Salah satu lini bisnis yang tengah dijajaki adalah jasa desain interior ruangan yang menyasar kalangan premium. Karena makin besarnya minat dibarengi peningkatan kemampuan finansial dari segmen tersebut untuk membayar jasa desain interior. Saat ini perusahaan tengah mempersiapkan teknologi yang relevan yang bisa dimanfaatkan oleh mereka.

Melalui teknologi ini diharapkan bisa menjembatani kebutuhan pelanggan dengan produk yang tersedia di Dekoruma dan para desainer interior yang tersebar di Jabodetabek.

“Saat ini teknologi tersebut sudah kami terapkan kepada desainer yang bergabung dengan Dekoruma. Rencananya tahun depan teknologi tersebut akan kami luncurkan untuk publik,” kata Dimas.

Application Information Will Show Up Here

Alpha JWC Ventures Bukukan 1,7 Triliun Rupiah dalam Penggalangan Dana Keduanya

Alpha JWC Ventures mengumumkan telah menutup pengumpulan dana investasi keduanya senilai $123 juta atau setara 1,7 triliun Rupiah. Sejak dibuka pada pertengahan tahun 2018, Fund 2 ini ditutup “oversubscribed” — jumlah investor yang ingin bergabung lebih banyak dari slot yang tersedia. Selain itu hampir seluruh investor di Fund 1 turut bergabung pada putaran ini.

Dana yang dikumpulkan dalam Fund 2 telah diinvestasikan sejak akhir 2018 ke 14 startup. Salah satu yang mendapatkan investasi terbesar adalah Kopi Kenangan pada November 2018 dengan perolehan $8 juta atau sekitar 121 miliar Rupiah. Hingga saat ini sudah ada 33 startup dalam portofolio mereka.

“Salah satu faktor penting dari kesuksesan startup portofolio kami selama ini adalah dukungan dari tim kami dalam perjalanan dan perkembangan para startup tersebut; serta fokus kami pada fundamental bisnis tiap-tiap perusahaan. Kami selalu menekankan pada pendiri dan tim startup mengenai pentingnya perhitungan unit economics yang tepat serta akuntabilitas finansial sejak hari pertama mereka bergabung dengan Alpha JWC. Kami percaya pendekatan tersebut esensial bagi keberlangsungan startup secara jangka panjang,” jelas Co-Founder & Managing Partner Alpha JWC Ventures Chandra Tjan.

Dalam manajemen portofolio, pihaknya memakai pendekatan hands-on dalam berbagai lini bisnis terkait, mulai dari dukungan rekrutmen, pemasaran, dan legal.

“Kami juga menghindari investasi di perusahaan sejenis atau yang berkompetisi langsung dengan startup yang telah kami danai sebelumnya. Prinsip kami untuk mendukung startup kami secara langsung dan intensif berarti kami harus benar-benar memilih founder yang tepat dan terus membantu mereka sepanjang perjalanan startup tersebut,” imbuh Co-Founder & Managing Partner Alpha JWC Ventures Jefrey Joe.

Saat ini Alpha JWC telah memiliki 20 orang anggota tim. Tahun ini mereka menambah tiga partner baru, yakni Alan Hellawell (mantan CSO SEA Group), Erika Go (sebelumnya Principal Alpha JWC), dan Eko Kurniadi (mantan VP of Investment Creador). Selain itu kini mereka telah membuka kantor permanen di Singapura untuk bisa menjangkau lebih banyak startup di Asia Tenggara.

“Kami terus memperhatikan industri digital Vietnam secara aktif untuk kesempatan pendanaan. Sebagai salah satu ekonomi dengan pertumbuhan tercepat di dunia, kami yakin Vietnam adalah pasar terbesar selanjutnya di Asia Tenggara. Sejauh ini, kami telah memiliki tiga investasi di Vietnam dan sedang mendalami beberapa startup lainnya,” tambah Chandra.

Dalam debut awalnya di tahun 2016, Alpha JWC Ventures meluncurkan Fund 1 senilai $50 juta atau sekitar 700 miliar Rupiah. Dana tersebut disalurkan kepada 23 startup di Asia Tenggara, mayoritas dari Indonesia. Kurang dari 4 tahun, Fund 1 diklaim telah berkembang hingga 3,2x dalam Net Asset Value (NAV). Alpha JWC juga telah berhasil melakukan dua exit, yaitu jaringan coworking space Spacemob (akuisisi oleh WeWork di 2017) dan media bisnis DealStreetAsia (akuisisi oleh Nikkei di 2019).

CEO Ovo, Jason Thompson Membahas Strategi Bisnis, Investasi, dan Rumor

Pemain digital di sektor pembayaran, Ovo, tengah menjadi perbincangan dalam ekosistem digital negara ini. Selama beberapa tahun terakhir, perusahaan telah berkembang sangat pesat serta menciptakan berbagai terobosan: seperti mengakuisisi platform pinjaman Taralite dan investasi online Bareksa, berinvestasi di dua startup teknologi, dan meluncurkan fitur PayLater.

Belum lama ini, Ovo mencuri perhatian ketika mantan menkominfo Indonesia, Rudiantara, mengumumkan bahwa perusahaan berhasil memasuki jajaran “unicorn” dengan valuasi senilai US$ 1 miliar. Berdasarkan Fintech Report Indonesia 2019 yang dikeluarkan oleh DailySocial, Ovo menjadi e-wallet yang paling populer di Indonesia dan menempati posisi kedua sebagai dompet digital yang paling sering digunakan di negara ini.

Pohon yang tinggi tentunya akan diterpa angin yang kencang, seperti Ovo yang tengah menjadi sorotan media dalam beberapa bulan terakhir mengenai isu merger dengan kompetitor mereka, Dana, yang juga didukung Ant Financial. Belum lama ini, perusahaan induknya, Lippo Group, dilaporkan menjual 70% sahamnya di Ovo terkait pengeluaran besar beberapa waktu terakhir.

Menanggapi rumor tersebut, CEO Ovo Jason Thompson mencoba tetap netral dan menyampaikan bahwa ia tidak terlalu memikirkan spekulasi pasar dan ingin fokus pada pengembangan bisnis ke depan. Dengan persaingan yang dinamis di lanskap fintech Indonesia saat ini, besar kemungkinan Ovo akan muncul lebih banyak di portal berita lokal dan internasional nantinya.

KrASIA belum lama ini mendapat kesempatan berdiskusi dengan Jason Thompson di acara Wild Digital Conference 2019 di Jakarta, membahas strategi perusahaan ke depannya.

Jason Thompson. Dokumentasi oleh Ovo
Jason Thompson. Dokumentasi oleh Ovo

KrASIA (Kr): Menilik kembali semua pencapaian Ovo di tahun ini, menurut Anda posisi perusahaan sekarang ada di stage seperti apa?

Jason Thompson (JT): Pertama, kami merasa tersanjung diakui sebagai unicorn kelima. Seluruh tim sangat antusias, dan penghargaan ini berdampak baik pada bisnis. Hal ini membuktikan investasi eksternal, seberapa cepat pertumbuhan fintech di Indonesia dan kami sebagai satu-satunya unicorn yang mengusung fintech seutuhnya, tetapi jujur saja, kami merasa bahwa masih di tahap awal.

Namun, hal itu juga membawa kami berada dalam banyak tekanan atas harapan yang menjulang dari pencapaian sebelumnya — dari Bank Indonesia, pemerintah, dan yang lebih penting, dari para pelanggan kami. Melihat ke belakang di tahun ini, kami berada di tahun yang sangat sulit tetapi juga sukses. Organisasi ini begitu berkembang, kami menguatkan posisi sebagai platform pembayaran nomor satu di negara ini, begitu pula dengan kehadiran layanan baru, dan kami memiliki tahun yang luar biasa bisa bekerja sama dengan Grab dan Tokopedia.

Kami juga punya beberapa metrik pada umumnya. Pada tahun 2019, ada lebih banyak orang yang bertransaksi dengan platform ini berkat beragam kemitraan dalam ekosistem. Transaksi tahunan kami mencapai 27,7 kali lebih tinggi dari tahun sebelumnya. Kami berhasil meningkatkan total nilai pembayaran sebesar 18,5 kali dan fasilitas di dalam toko sebesar 6,8 kali. Pengguna aktif bulanan Ovo tumbuh sebanyak 400% per tahun tahun ini.

Saya percaya bahwa inklusi serta “melek” finansial memiliki lima tantangan. Yang pertama adalah untuk membuat orang mendaftar di platform, yang kedua bagi mereka untuk top up, dan yang ketiga adalah mendorong mereka untuk membayar melalui platform ini. Yang keempat dan kelima adalah untuk membuat mereka kembali top up dan akhirnya, kembali membayar melalui aplikasi. Ketika orang mulai menyimpan uang dalam platform Ovo, kami percaya hal ini turut mendorong literasi keuangan untuk tabungan, investasi, dan lainnya.

Kr: Apa yang menjadi fokus Ovo di tahun 2020?

JT: Tiga area fokus pada tahun 2020 menurut saya akan terkait dengan percepatan pertumbuhan untuk pinjaman, sebagian besar akan berfokus pada pedagang serta lainnya untuk pinjaman konsumen. Prioritas kedua adalah bersama Bareksa untuk mengeksekusi e-investasi.

Saya pikir kita bisa belajar dari kisah sukses China dengan pemain investasi digital seperti Yu’e Bao dan melihat bagaimana kita bisa mengeksekusi hal serupa di Indonesia. Selanjutnya, fokus pada asuransi melalui kemitraan dengan Prudential. Kami masih mengembangkan produk asuransi dan berharap untuk bisa segera dirilis tahun depan. Jadi, kami mulai beralih dari pembayaran ke layanan keuangan ini di tahun ini dan tahun depan.

Seperti halnya pembayaran, kami akan menerapkan ekosistem terbuka untuk layanan keuangan. Misalnya, untuk peminjaman, kami memiliki pinjaman konsumen dengan Tokopedia melalui fitur PayLater. Terdapat juga Ovo Dana Tara, pinjaman modal khusus untuk pedagang kami, lalu Ovo Talangan Siaga, pinjaman jangka pendek khusus untuk mitra dan agen Grab. Hal tersebuth adalah gabungan dari pedagang dan agen pinjaman konsumen, dan kami akan mulai mengembangkan ini tahun depan.

Jason Thompson di acara Wild Digital Conference 2019. Dokumentasi oleh Wild Digital.
Jason Thompson di acara Wild Digital Conference 2019. Dokumentasi oleh Wild Digital.

Kr: Bagaimana Anda memposisikan Ovo di antara para kompetitor dompet digital di Indonesia?

JT: Persaingan terbesar kami masih dengan uang tunai karena pembayaran e-money saat ini hanya mencapai 2,3% [dari total pembayaran] di Indonesia, jadi saya tidak berpikir bahwa pasar [dompet digital] sangat padat. Meskipun banyak orang ingin memasuki pasar ini dengan meluncurkan platform e-wallet, sulit untuk mempertahankannya di Indonesia kecuali Anda memiliki model kemitraan dan bisnis yang tepat.

Fokus kami adalah untuk mencapai sustainability, dan itulah sebabnya kami berinvestasi lebih banyak dalam layanan keuangan karena kami percaya ini adalah jalan yang tepat menuju kedewasaan dan sustainability dalam jangka panjang. Kami percaya bahwa selama kami melayani mitra, pedagang, dan pelanggan kami dengan baik, kami bisa berhasil di pasar ini.

Kr: Memasuki tahun ketiga, apakah menurut Anda strategi bakar uang seperti cashback atau promosi masih relevant?

JT: Menurut saya cashback itu penting sebagai stimulus pada suatu titik, tetapi tidak untuk berkelanjutan. Hal ini seperti masalah fisika; jika Anda akan memindahkan objek besar, Anda harus memiliki energi dalam jumlah besar di awal, tetapi begitu Anda mendapatkan momentum, maka energi tersebut bisa dikurangi. Dalam hal pembayaran, energi berasal dari subsidi.

Kami memiliki peta yang jelas menuju sustainabilty dan profitability, dan kami akan mengurangi [operasi bakar uang] ini secara signifikan di tahun depan. Bukan hanya kita, saya percaya bahwa rekan-rekan sejawat juga berinvestasi dengan cara yang sama untuk membangun bisnis mereka. Jadi, cashback atau promosi masih menjadi hal penting, tetapi pelaksanaannya harus rasional dan harus ada jalur koreksi subsidi.

Kr: Apa yang menjadi dasar kerjasama Ovo dengan Grab saat ini, mengingat Ovo bukan lagi satu-satunya opsi pembayaran dalam ekosistem Grab?

JT: Kami adalah organisasi independen, jadi hubungan kami dengan Grab, begitu pula Tokopedia, sebagian besar terfokus pada eksekusi. Tim kami telah menghabiskan banyak waktu untuk berpikir dan merencanakan hal yang bisa kita lakukan dengan Grab atau Tokopedia. Kita harus melayani mereka dengan cara terbaik walaupun tidak berada dalam kontrak eksklusif.

Saat ini, Grab memiliki LinkAja dalam ekosistem dan Tokopedia memiliki banyak opsi pembayaran. Kami tidak dalam posisi istimewa dengan mitra kami, kami harus bekerja keras, jika tidak, kami akan kehilangan posisi kami karena kemitraan didasarkan pada pertukaran nilai. Kami tidak percaya pada eksklusivitas karena hal itu juga tidak baik untuk pasar dan konsumen.

Kr: Tahun ini Ovo telah berinvestasi di dua startup, satu dari industri new retail Warung Pintar dan satu lagi platform ad-tech StickEarn. Apakah investasi kini menjadi bagian dari strategi Anda ke depan?

JT: Hal ini tentu menjadi langkah yang sangat strategis, meskipun nilainya relatif rendah. Untuk StickEarn, kami percaya bahwa melibatkan konsumen melalui pemasaran interaktif sangat penting, sehingga menjadikan pertukaran nilai antar perusahaan ini sangat erat. StickEarn melakukan hal-hal besar dan semua menuju keberhasilan di Indonesia.

Adapun Warung Pintar, keberadaan mereka sangat penting karena sebelumnya tidak ada yang memperhatikan segmen warung atau kios sebelumnya. Ketika pertama kali datang ke Indonesia, saya segera menyadari bahwa warung adalah pusat budaya Indonesia, tetapi tidak ada yang benar-benar peduli akan hal ini.

Warung Pintar mempelajari masalah mereka dan berpikir tentang bagaimana bisa membawa model yang berbeda untuk warung sehingga mereka dapat melayani lebih banyak di masyarakat. Mereka menempatkan pada setiap warung dukungan digital dan infrastruktur termasuk pembayaran, saya pun sangat senang dengan kerjasama ini.

Investasi di kedua perusahaan ini melibatkan tujuan spesifik. Melibatkan cara kerja yang sangat strategis untuk mendorong inklusi keuangan, tetapi bukan berarti kami akan berinvestasi di lebih dari lima atau bahkan sepuluh perusahaan nantinya, karena kami bukan platform wirausaha. Misi kami adalah melayani pasar, dan salah satu caranya adalah dengan membangun kemitraan strategis dengan organisasi lain dan melihat bagaimana kami dapat bertukar dan memaksimalkan nilai-nilai yang ada.

Kr: Ovo sedang menghadapi banyak rumor di tahun ini, salah satu yang mencuri perhatian adalah isu merger dengan platform Dana. Bagaimana Anda menanggapi hal ini?

JT: Saya hanya bisa mengatakan bahwa saya tidak terlalu memikirkan spekulasi yang beredar di luar. Lanskap fintech sangat dinamis, saya rasa banyak yang suka berspekulasi tentang pemain fintech sama seperti yang terjadi dalam dunia sepakbola, Anda tahu, setiap musim penggemar sepakbola akan memprediksi klub mana yang akan membeli pemain mana, dan seterusnya [tertawa].

Apa yang akan terjadi pada tahun 2020 adalah pasar akan mulai goyang. Kehilangan beberapa pemain bisa terjadi akibat lingkungan investasi global berubah dengan cepat, dan jika belum memiliki strategi bisnis yang jelas, akan menjadi tahun yang sulit bagi mereka. Jadi, kami fokus pada eksekusi serta pengawasan pasar, yang bisa memakan waktu 18 jam sehari dalam hidup saya sehingga tidak memiliki kapasitas untuk hal lain.

Kr: Apakah ada rencana untuk penggalangan dana dalam waktu dekat?

JT: Ada kemungkinan kami akan menggalang dana di semester pertama tahun depan. Saat ini masih dalam proses penjajakan, namun belum ada pernyataan resmi dari investor potensial atau timeline pastinya.

Kr: Bagaimana Anda melihat lanskap bisnis pembayaran mobile di Indonesia sekarang?

JT: Secara global, Indonesia tengah menjadi pusat bisnis fintech saat ini. Tiongkok, pada skala besar, sulit untuk disentuh karena sudah ada terlalu banyak pemain dominan seiring Ant Financial yang saat ini memimpin [pasar].

Saya melihat adanya revolusi fintech yang sedang terjadi di sini dan semakin banyak organisasi mencoba datang ke Indonesia, baik secara legal maupun ilegal. Kita harus memastikan bahwa kita melindungi ekosistem, ekonomi, dan pendapatan domestik. Regulasi menjadi kunci untuk memastikan bisnis dan ekosistem yang sehat, dan saya pikir Bank Indonesia telah melaksanakannya dengan baik dan sejauh ini mendukung setiap prosesnya. Saya percaya fintech di Indonesia sudah matang dan akan mencapai inflection point dalam tiga hingga lima tahun.

Application Information Will Show Up Here


Artikel ini pertama kali dirilis oleh KrASIA. Kembali dirilis sebagai bagian dari kerja sama dengan DailySocial

Traveloka: Fundraising, Optimizing New Verticals, and Planning for IPO

Slowly but surely, Indonesia’s giants start to initiate exit strategy through go-public, including Traveloka. This is shared directly by its Co-Founder & CEO, Ferry Unardi in an interview with Bloomberg. He  said the realistic plan for IPO is to be accomplished in the next 2-3 years.

In order to achieve the goal, the company’s main homework is to maintain a positive financial flow. He also said the business is currently stable and facing the right track. They also have a clear direction to be profitable in the near future.

There’s a chance for dual listing

There has been a discussion about the go-public initiative with some parties, including IDX, Unardi said. However, the company might have to choose to make a listing on the other side of the digital world, in the US.

This has become a common move, like what happened to Alibaba, starting off in the US a few years back then, and in the Hong Kong exchange recently.

Previously in a separate occasion, Traveloka’s President Henry Hendrawan also mentioned the IPO issue. The company is likely to have a dual listing, in Indonesia and another country. The strategy to accelerate the realization is by optimizing digital financial services in the application ecosystem, in order to accelerate profit gain.

Aside from Traveloka, a similar initiative was made by other unicorns, such as Tokopedia and Gojek. Tokopedia is currently in the fundraising mode for 21 trillion Rupiah to prepare the company’s profitability entering the IPO season. Through various pits, the CEO, William Tanuwijaya has brought up the initiative to have pre-IPO first.

Analytical assumptions arose about digital startups flocked to plan for IPO, it is due to the overvaluation issue from other digital companies, like WeWork and Uber, resulting in a decrease of valuation (and investors’ trust) in a significant way. Moreover, there’s a projection of deceleration to the global economy in the next few years that could affect the current business model.

Continue with the fundraising

BRI and Traveloka partnership for PayLater Card / Traveloka
BRI and Traveloka partnership for PayLater Card / Traveloka

Similar to the other unicorns, Traveloka is said to grow with a conservative investment fund. As informed, the mechanism works as investors made an investment in return for stock, obligation, or cash – in another way is convertible notes – with merely lower risk, therefore, adopted by many startups.

The team is to accelerate growth by exploring new vertical that supports OTA business, such as lifestyle and financial technology. Some of the initiatives have started, such as the PayLater feature in partnership with Danamas, also Bank Rakyat Indonesia. – BRI is said to have a discussion regarding investment for Traveloka. In the wellness sector, they’ve optimized the Xperience feature to help their consumer’s recreational experience.

In order to accelerate, the company will continue to make fundraising. In fact, Unardi ensured that they are looking for investors with probability as strategic partners to support the new verticals. Rumor sparks in the mid-2018, that Traveloka has been looking for new funding up to 7 billion Rupiah.

Traveloka has been backed by some investors, including Expedia, JD.com, GIC, and Sequoia Capital.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Traveloka: Penggalangan Dana, Optimasi Vertikal Baru, hingga Rencana IPO

Pelan tapi pasti raksasa digital Indonesia mulai menyusun strategi exit melalui penawaran publik, tak terkecuali Traveloka. Hal ini disampaikan langsung oleh Co-Founder & CEO Ferry Unardi dalam sebuah wawancara bersama Bloomberg. Ia mengatakan rencana realistis IPO akan dilakukan sekitar 2-3 tahun mendatang.

Untuk mencapai hal itu, PR utama perusahaan adalah memastikan arus keuangan perusahaan positif. Ia pun menyampaikan bahwa saat ini kondisi bisnisnya masih stabil dan dalam lajur pertumbuhan yang sesuai. Turut ditegaskan mereka sudah memiliki arah yang jelas untuk menuai profit dalam waktu dekat.

Kemungkinan IPO di dua tempat

Sudah ada perbincangan mengenai rencana go-public dengan beberapa pihak, termasuk IDX, demikian disampaikan Unardi. Namun ada kemungkinan perusahaan akan terlebih dulu memilih listing di tempat perusahaan digital dunia lainnya berada, di Amerika Serikat.

Ini jadi praktik yang lumrah, seperti yang dilakukan Alibaba, mengawali di Amerika Serikat beberapa tahun lalu, dilanjutkan di bursa Hong Kong beberapa hari lalu.

Sebelumnya dalam kesempatan terpisah President Traveloka Henry Hendrawan juga menyampaikan soal IPO. Kemungkinan perusahaan akan melakukan dual listing, di Indonesia dan di negara lain. Strategi yang dilakukan untuk mempercepat realisasinya dengan mengoptimalkan layanan keuangan digital di ekosistem aplikasi, untuk mengakselerasi penciptaan profit.

Tidak hanya Traveloka, rencana serupa juga tengah digalakkan oleh unicorn lain, misalnya Tokopedia dan Gojek. Tokopedia sendiri tengah galang pendanaan baru hingga 21 triliun Rupiah untuk mempersiapkan profitabilitas perusahaan menjelang IPO. Dalam berbagai kesempatan CEO William Tanuwijaya sudah menyinggung keinginan perusahaan melakukan pra-IPO terlebih dulu.

Banyak analisis yang beredar mengenai startup digital yang berbondong menginisiasi IPO, salah satunya ditengarai isu overvaluation dari perusahaan digital lain, seperti WeWork dan Uber, yang justru menurunkan nilai (dan kepercayaan investor) secara signifikan. Terlebih ada proyeksi perlambatan ekonomi global dalam beberapa waktu mendatang yang bisa berdampak pada model bisnis yang sekarang dijalankan.

Masih terus melakukan fundraising

Traveloka BRI
Peresmian kerja sama BRI dan Traveloka untuk PayLater Card / Traveloka

Sama seperti unicron lokal lainnya, disampaikan saat ini Traveloka masih terus melaju dengan conservative invesment fund.  Sebagai informasi, dalam mekanisme tersebut investor memberikan pendanaan dengan imbal balik dapat berupa saham, obligasi, atau uang tunai – bentukan yang lebih riil salah satunya convertible notes – ini cenderung minim risiko, sehingga banyak diadopsi usaha rintisan.

Pihaknya masih akan terus mengejar pertumbuhan dengan mengeksplorasi vertikal baru yang mendukung bisnis OTA, yakni gaya hidup dan teknologi finansial. Beberapa inisiatif sudah digulirkan, termasuk fitur PayLater bekerja sama dengan Danamas sekaligus Bank Rakyat Indonesia – BRI dikabarkan tengah dalam tahap penjajakan untuk turut andil jadi investor Traveloka. Untuk gaya hidup mereka juga sudah mulai optimalkan Xperience untuk mendukung kegiatan rekreasi penggunanya.

Genjot pertumbuhan, perusahaan masih akan terus melakukan penggalangan dana. Akan tetapi Unardi menegaskan, bahwa mereka tengah mencari investor yang sekaligus dapat dijadikan rekanan strategis untuk mengembangkan dua vertikal baru di atas. Pertengahan tahun lalu beredar kabar, Traveloka tengah cari dana hingga 7 triliun Rupiah.

Traveloka telah didukung oleh sejumlah investor, termasuk Expedia, JD.com, GIC, hingga Sequoia Capital.

Application Information Will Show Up Here

Soon to IPO, Tokopedia Is Said to Start a New Funding Round Worth of 21 Trillion Rupiah

Tokopedia is said to start new funding round (fundraising), the value reached up to $1.5 billion or equivalent to 21.1 trillion Rupiah. According to the source reported by Bloomberg, one of the investors is said to be a US-based internet company – also one of Tokopedia’s investors in the previous round – and to participate with $1 billion.

In the series G round closed by the end of 2018, the company has secured $1 billion funding, increasing its valuation to $7 billion. Aside from Softbank and Alibaba, other investors are not to be mentioned.

William Tanuwijaya has mentioned the plan to go-public on some occasions. Although the time is yet to be precise, the internals have been talking about the pre-IPO initiative in a short period of time. The company is to make sure the balance sheet stays in the positive state.

It is likely that additional funds collected will be focused on increasing company traction, before finally having “green” finance and an IPO. Finally Tokopedia announced that their GMV had exceeded 222 trillion Rupiah throughout 2019. On various occasions, William emphasized, instead of regional expansion they wanted to optimize local penetration in Indonesia, including to reach rural areas.

Tokopedia President Patrick Cao also explained, there are currently more than 60 million SMEs in Indonesia and Tokopedia only contributed around 6.6 million, equivalent to creating 857 thousand new jobs. They also have around 350 thousand partners and will continue to add to this number amid increasing daily transactions.

Cao also highlighted that although the IPO plan is getting closer, they are to prioritize local listing first – unlike Alibaba’s IPO debut in New York.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Sebelum IPO, Tokopedia Dikabarkan Tengah Galang Pendanaan Baru 21 Triliun Rupiah

Tokopedia dikabarkan tengah mengumpulkan pendanaan putaran baru (fundraising), nilai yang ditargetkan mencapai $1,5 miliar atau setara 21,1 triliun Rupiah. Menurut sumber yang dilansir Bloomberg, salah satu investor yang akan terlibat adalah perusahaan internet asal Amerika Serikat –juga merupakan investor Tokopedia dalam putaran sebelumnya—ditaksirkan akan berpartisipasi memberikan $1 miliar.

Di pendanaan seri G yang ditutup pada akhir tahun 2018 lalu, perusahaan telah mengumpulkan dana $1 miliar, meningkatkan valuasi ke angka $7 miliar. Selain Softbank dan Alibaba, nama-nama investor lain yang terlibat tidak disebutkan.

Dalam sebuah kesempatan, William Tanuwijaya sudah mulai menyinggung rencana go-public. Kendati waktunya belum pasti, namun di internal sudah membicarakan inisiatif pre-IPO dalam waktu yang tidak lama lagi. Perusahaan terus mengupayakan agar kondisi neraca keuangan perusahaan juga dalam keadaan positif.

Besar kemungkinan dana tambahan yang tengah dikumpulkan akan difokuskan untuk meningkatkan traksi perusahaan, sebelum akhirnya miliki keuangan yang “hijau” dan IPO. Terakhir Tokopedia mengumumkan bahwa GMV mereka telah tembus di angka 222 triliun Rupiah sepanjang tahun 2019. Dalam berbagai kesempatan William menegaskan, alih-alih ekspansi regional mereka ingin mengoptimalkan penetrasi di Indonesia, termasuk menjangkau pelosok pedesaan.

Presiden Tokopedia Patrick Cao turut menerangkan, saat ini terdapat lebih dari 60 juta UKM di Indonesia dan Tokopedia baru berkontribusi pada sekitar 6,6 juta, setara dengan menciptakan 857 ribu lapangan pekerjaan baru. Mereka juga telah miliki sekitar 350 ribu mitra dan terus akan menambah jumlah tersebut di tengah transaksi harian yang terus meningkat.

Cao juga menegaskan, kalaupun rencana IPO sudah dekat, mereka akan lebih mengutamakan listing di lokal terlebih dulu — tidak seperti debut IPO Alibaba di New York.

Application Information Will Show Up Here

Mandiri Capital Debut Galang Investasi Eksternal, Targetkan Dana 1,4 Triliun Rupiah

Mandiri Capital Indonesia, ventura korporasi dari Bank Mandiri, mengungkapkan sedang dalam proses pengumpulan dana investasi perdana. Target dana yang akan dihimpun adalah $100 juta (lebih dari 1,4 triliun) dan bakal rampung pada tahun depan.

CEO MCI Eddi Danusaputro menerangkan, perubahan strategi ini [membuka kesempatan LP dari luar terlibat] dilakukan karena ada kebutuhan investasi yang besar di Indonesia, terutama untuk startup fintech. Hal ini tidak bisa sepenuhnya dipenuhi apabila sumber investor dari Bank Mandiri saja, butuh investor dari luar untuk menyokongnya.

“Tidak bisa terus-menerus mengandalkan dana dari Bank Mandiri saja. Sekarang masih fundraising, sudah keliling ke Jepang dan Korea Selatan, mereka berminat untuk masuk ke Indonesia,” terang Eddi saat ditemui di sela-sela NextICorn 2019, Jumat (15/11).

Dia juga meyakini reputasi Bank Mandiri sebagai bank pelat merah, tentunya akan memberikan nilai lebih buat para investor luar negeri untuk memercayakan dananya dikelola oleh MCI.

Menurutnya, tidak ada perbedaan mencolok antara mengelola dana dari kantong sendiri dengan eksternal. Selama ini Bank Mandiri selalu mengutamakan bagaimana startup yang didanai bisa memberikan sinergi buat grup dan imbal hasil yang diberikan.

Sedangkan, investor eksternal kurang mengedepankan sinergi, lebih kepada bagaimana MCI bisa memberikan imbal hasil yang baik dari dana yang diberikan.

Dalam fundraising ini, Eddi menargetkan setidaknya dapat menghimpun dana sebesar $100 juta. Bank Mandiri akan turut berpartisipasi dalam putaran tersebut, diperkirakan hanya 10% atau sekitar $10 juta (setara 140 miliar Rupiah).

Tahun depan diharapkan MCI sudah mulai berinvestasi lewat fund terbaru tersebut. Startup yang diincar 80% bergerak di fintech, sisanya bergerak di sektor pendukung fintech. Tahapan pendanaannya tetap di seri A.

“Tetap di hipotesa awal kita bermain di early stage, seri A. Tapi tidak menutup kemungkinan bila ada yang bagus masuk ke seri B.”

MCI telah beroperasi sejak 2016 dan sepenuhnya menggantungkan sumber pendanaannya lewat suntikan dari Bank Mandiri tiap tahun. Total pendanaan yang disalurkan mencapai Rp980 miliar untuk 13 startup fintech.

Hampir sepenuhnya dilakukan pendanaan seri A dan co-invest dengan investor lain. Akan tetapi, ada satu pengecualian. MCI pernah ikut dalam penggalangan seri B untuk Investree pada 2018.

Menjelang akhir tahun ini, MCI akan mengumumkan satu investasi teranyar untuk startup yang bergerak di bidang wealth management. Eddi belum bersedia memberikan info terkait hal ini.

Pendanaan yang terakhir diumumkan adalah pendanaan pra seri A untuk Crowde sebesar $1 juta (sekitar 14 miliar Rupiah).

Pemilihan strategi serupa sebelumnya juga dilakukan oleh MDI Ventures untuk dana investasi ketiga. Target dananya juga sama, sebanyak $100 juta. Salah satu nama investor yang sudah terkuak adalah Kookmin Bank dari Korea Selatan.

MDI Ventures juga menjajaki investor lainnya dari Timur Tengah dan beberapa negara di Asia Tenggara, seperti Thailand dan Singapura.