HP Luncurkan Monitor QHD 240 Hz dan Sekuel dari Gaming Headset Inovatifnya

Seperti biasa setiap tahunnya, deretan game yang diluncurkan di Gamescom turut dibarengi oleh sejumlah gaming gear baru. Dari kubu HP tahun ini, ada dua perangkat menarik yang diumumkan di bawah divisi gaming-nya, Omen.

Perangkat yang pertama adalah HP Omen X 27. Ukuran monitor ini memang kalah jauh dari persembahan terbaru Alienware, akan tetapi panelnya sangat istimewa: 27 inci dengan resolusi 2560 x 1440 pixel (QHD), refresh rate 240 Hz, dan response time 1 ms. Perpaduan resolusi dan refresh rate-nya ini tergolong langka mengingat mayoritas monitor 240 Hz yang ada di pasaran saat ini hanya mengemas resolusi 1080p.

Bukan hanya itu saja, panel milik Omen X 27 juga sudah mendukung penuh format HDR. Ia bahkan kompatibel dengan FreeSync 2 HDR, fitur khusus seri GPU AMD Radeon yang pada dasarnya mampu mencegah problem screen tearing terjadi meski monitor tengah menayangkan konten HDR.

HP Omen Mindframe Prime / HP
HP Omen Mindframe Prime / HP

Produk yang kedua adalah HP Omen Mindframe Prime, sekuel dari headset “anti kuping panas” yang HP rilis tahun lalu. Seperti sebelumnya, sistem termoelektrik yang bertugas menyerap udara panas di dalam earcup dan membuangnya ke luar kembali menjadi daya tarik utama dari headset ini.

Yang membuat suksesornya berbeda adalah, kinerjanya menyerap dan mengeliminasi panas semakin efektif berkat penambahan heat spreader berbahan grafit yang ditempatkan di sisi dalam earcup. Juga ikut disempurnakan adalah performa mikrofonnya, yang kini berjumlah sepasang dan bertipe noise cancelling, dengan klaim kemampuan mengeliminasi suara luar hingga 40 desibel.

Terkait jadwal pemasarannya, HP Omen X bakal tersedia lebih dulu mulai bulan September mendatang dengan harga $649, sedangkan HP Omen Mindframe Prime baru akan menyusul di bulan Januari 2020 seharga $199.

Sumber: Trusted Reviews dan IGN.

Gaming Mouse Razer Viper Unggulkan Optical Switch yang Inovatif

Mencari sebuah gaming mouse yang sempurna itu sulit, sebab semuanya kembali bergantung pada preferensi masing-masing konsumen. Sebagian mungkin lebih sreg dengan mouse yang dilengkapi sistem manajemen berat, sedangkan sebagian lainnya justru mendambakan mouse dengan bobot seringan mungkin demi mengakomodasi gaya bermainnya.

Razer baru saja menyingkap suguhan anyar untuk tipe konsumen yang kedua ini. Dijuluki Razer Viper, bobot mouse ini hanya berkisar di angka 69 gram, jauh di bawah mouse gaming lain pada umumnya, sehingga pengguna Viper semestinya bisa lebih cepat bereaksi ketimbang pemain lain.

Razer Viper

Bobot yang ringan tentu bukan satu-satunya fitur unggulan mouse berwujud ambidextrous ini. Viper juga menjadi mouse pertama yang mengemas Razer Optical Switch, yang diklaim menawarkan aktuasi hingga tiga kali lebih cepat ketimbang switch mekanis biasa.

Razer menjelaskan bahwa pada mouse tradisional, sinyal input akan dikirim ke komputer setelah switch mekanisnya bersentuhan dengan sebuah pelat logam. Kontak fisik ini seringkali berujung pada beberapa klik ekstra yang tak disadari, namun driver yang tertanam pada mouse cukup pintar untuk mengaktifkan efek debounce delay sehingga komputer membaca hanya ada satu klik yang terjadi.

Masalahnya, debounce delay ini juga kerap menjadi penyebab menurunnya responsivitas. Inilah problem yang hendak dipecahkan oleh Razer Optical Switch. Jadi ketimbang mengandalkan kontak fisik, Razer Optical Switch sepenuhnya mengandalkan sinar infra-merah yang melewati semacam lorong (yang proses buka-tutupnya diatur oleh setiap klik pada tombol) dan langsung mengirimkan sinyal input ke komputer.

Dari kacamata sederhana, Optical Switch yang terdapat pada Viper ini dapat merespon terhadap tekanan jari pengguna secara lebih instan, dengan waktu respon yang diklaim hanya 0,2 milidetik. Durabilitasnya pun tetap terjamin, dengan klaim ketahanan hingga 70 juta kali klik.

Razer Viper

Performa Viper turut didukung pula oleh penggunaan sensor optik 5G, dengan sensitivitas maksimum hingga 16.000 DPI dan kecepatan tracking 450 IPS. Juga menarik adalah kabel braided khusus yang Razer juluki dengan nama Speedflex, yang lebih fleksibel ketimbang kabel braided biasa sehingga tidak mengganggu pergerakan pengguna, terutama saat memakai tingkat DPI kecil.

Razer Viper saat ini sudah dipasarkan seharga $80. Kembali lagi ke pernyataan di awal, Viper pun tidak akan bisa mengakomodasi semua gaya bermain konsumen, dan kalau menurut saya lebih cocok bagi para penggemar game FPS kompetitif macam CS:GO, yang seringkali melibatkan perpaduan DPI kecil dan pergerakan mouse yang lebar sekaligus tiba-tiba.

Sumber: Razer.

8BitDo SN30 Pro+ Adalah Controller Wireless dengan Fungsi Kustomisasi yang Amat Lengkap

Nama 8BitDo tentunya sudah tidak asing lagi di telinga para gamer, khususnya para pencinta console klasik. Dalam beberapa tahun terakhir, 8BitDo telah meluncurkan sederet controller berpenampilan retro, sekaligus sejumlah adapter pintar yang memungkinkan kita untuk memainkan console baru menggunakan controller lawas, atau malah sebaliknya.

Untuk produk terbarunya, 8BitDo memutuskan untuk menciptakan sebuah controller pamungkas. Dijuluki SN30 Pro+, penampilannya kelihatan seperti hasil perkawinan controller Super Nintendo dan PlayStation. Ia siap digunakan secara wireless via Bluetooth 4.0, atau via kabel USB-C.

8BitDo SN30 Pro+

Namun yang menjadi keunggulan utamanya adalah kapabilitas kustomisasi yang begitu lengkap melalui 8BitDo Ultimate Software. Ada banyak sekali yang bisa diutak-atik di software ini, mulai dari sebatas menukar fungsi tiap-tiap tombol, sampai menetapkan macro, sehingga kalau mau Anda bisa saja mewakilkan kombinasi beberapa tombol sekaligus ke satu tombol saja, dan kemungkinan besar dicap curang selagi bermain game fighting.

Fungsi kustomisasinya benar-benar sangat komplet. Di samping button remapping dan macro itu tadi, pengguna SN30 Pro+ juga dapat mengatur sensitivitas kedua stik analognya, sensitivitas trigger, maupun sensitivitas fungsi getarnya (vibration), dan semua ini tidak harus identik antara sebelah kiri dan kanan.

8BitDo SN30 Pro+

Juga amat lengkap adalah kompatibilitasnya: SN30 Pro+ dapat digunakan di PC Windows, macOS, smartphone Android, Nintendo Switch, dan bahkan perangkat gaming yang ditenagai oleh Raspberry Pi. Sayangnya saya tidak melihat ada iOS di daftar kompatibilitasnya, padahal ini bisa menjadi senjata andalan dalam menyambut layanan gaming subscription Apple Arcade.

8BitDo SN30 Pro+ bakal segera dipasarkan seharga $50, termasuk terjangkau jika menimbang kelengkapan fitur yang ditawarkannya. Pilihan warnanya ada tiga: hitam, yang bertema Super Nintendo, dan yang bertema Game Boy.

Sumber: Polygon.

Headset Logitech G Pro X Unggulkan Teknologi Pengolahan Input Audio Racikan Blue Microphones

Akuisisi Logitech terhadap Blue Microphones tahun lalu akhirnya membuahkan hasil. Logitech baru saja meluncurkan gaming headset anyar bernama G Pro X, dan bersamanya datang teknologi pengolahan input audio mutakhir yang Logitech kembangkan bersama Blue, yang sekarang sudah menjadi anak perusahaannya.

Teknologi itu mereka juluki dengan istilah Blue Voice, dirancang untuk menyimulasikan beragam efek mikrofon dan preset input audio profesional melalui software. Sederhananya, Blue Voice diciptakan untuk meningkatkan kualitas mikrofon bawaan headset secara drastis, menjadikannya alternatif yang lebih terjangkau ketimbang harus membeli broadcast mic terpisah.

Logitech G Pro X

Kustomisasi mic yang ditawarkan Blue Voice ini dapat diakses melalui software Logitech G Hub. Oke, ini berarti gamer dan streamer bisa mengutak-atik input suaranya sesuai selera dan kebutuhan, tapi bagaimana cara mereka tahu itu semua sudah sesuai?

Di sinilah fungsi recording dan playback Blue Voice berperan. Jadi usai menetapkan pengaturan input audio yang diinginkan, pengguna dapat merekam suaranya, lalu mendengarkannya sendiri untuk mengevaluasi apa saja yang belum pas. Agar lebih memudahkan, tentu saja sudah tersedia sejumlah profil preset yang dapat langsung diaktifkan.

Itu tadi soal input, untuk output, G Pro X mengandalkan sepasang driver 50 mm dengan material hybrid mesh. Tidak ketinggalan adalah dukungan suara surround DTS Headphone: X 2.0, dan kombinasi ini semestinya dapat menyajikan pengalaman aural yang menyenangkan.

Logitech G Pro X

Dari segi estetika, G Pro X kelihatan lebih premium, utamanya berkat konstruksi yang banyak melibatkan material aluminium dan stainless steel. Bantalan telinganya juga masih terlihat besar dan tebal, tapi seandainya konsumen kurang suka dengan bahan kulit sintetis, paket penjualan G Pro juga mencakup sepasang bantalan ekstra yang berlapis velour.

Terlepas dari itu, sulit menangkis fakta bahwa Blue Voice adalah nilai jual terbesar dari G Pro X. Meski demikian, Logitech sendiri sadar bahwa tidak semua konsumen membutuhkannya. Sebagian mungkin sudah merasa cukup dengan pengaturan input mikrofon bawaannya, dan mereka ini biasanya juga tidak akan tertarik mengutak-atik lebih lanjut.

Itulah mengapa Logitech G Pro X bakal dipasarkan bersamaan dengan G Pro versi baru yang identik tapi tak dilengkapi dengan teknologi Blue Voice. Logitech mematok harga $130 untuk G Pro X dan $100 untuk G Pro, dengan pemasaran yang dijadwalkan berlangsung mulai bulan Juli ini juga.

Sumber: The Verge dan Logitech.

Mouse Corsair Nightsword RGB Dapat Mendeteksi Letak Pusat Gravitasinya Sendiri

Salah satu kriteria utama mouse gaming bagi mayoritas konsumen adalah performa yang presisi, diikuti oleh kustomisasi yang melimpah. Namun kalau menurut Corsair, kustomisasi yang melimpah juga dapat dibuat presisi sekaligus, dan itu mereka buktikan lewat mouse gaming terbarunya, Nightsword RGB.

Seperti biasa, kemudahan kustomisasi diwujudkan lewat sistem pemberat yang adjustable. Total ada dua set pemberat yang bisa diisi ke enam slot, memberikan total 120 kombinasi bobot dan keseimbangan yang berbeda.

Corsair Nightsword RGB

Yang tidak biasa adalah bagaimana sistem itu bisa dikalibrasi lebih lanjut lagi berkat bantuan software Corsair iCUE. Di sini iCUE bertugas untuk mendeteksi pemberat yang terpasang dan melaporkan total bobot dari Nightsword, sebelum akhirnya menandai letak pusat gravitasi yang tepat dari mouse tersebut.

Urusan performa, Nightsword mengunggulkan sensor optik beresolusi 18.000 DPI hasil kolaborasi Corsair bersama PixArt. Tidak hanya sangat sensitif, sensitivitasnya pun dapat diubah per satu digit jika memang diperlukan.

Total ada sepuluh tombol yang semuanya programmable pada tubuh ergonomis Nightsword. Tiap-tiap tombolnya pun telah dibekali switch bikinan Omron yang diklaim tahan hingga 50 juta klik. Terkait pencahayaan RGB, Nightsword menawarkan sistem yang dinamis pada empat zona yang berbeda.

Corsair M55 RGB Pro

Bagi pengguna kidal maupun yang lebih suka dengan desain ambidextrous, Corsair juga memiliki penawaran baru dalam bentuk M55 RGB Pro. Desain simetrisnya ini turut dibarengi dimensi yang ringkas, dengan bobot hanya 86 gram.

Performanya pun tidak tertinggal jauh, mengandalkan sensor optik 12.400 DPI, dengan lima preset yang dapat disimpan dan diaktifkan satu per satu via tombol khusus. Total ada delapan tombol yang dimiliki M55, semuanya programmable dan juga ditenagai oleh switch Omron yang sama.

Baik Corsair Nightsword RGB maupun M55 RGB Pro saat ini sudah mulai dipasarkan dengan banderol masing-masing $80 dan $40.

Sumber: Corsair.

HyperX Luncurkan Keyboard Mekanis dengan Switch Bikinan Mereka Sendiri, Alloy Origins

Bicara soal keyboard mekanis, sebagian besar pasti mengandalkan switch Cherry MX. Namun belakangan mulai banyak pabrikan yang memberanikan diri merancang switch bikinannya sendiri, contohnya Logitech dan Razer. Sekarang, giliran Kingston yang menyusul lewat divisi gaming-nya, HyperX.

Di ajang Computex 2019, mereka mengumumkan HyperX Alloy Origins, keyboard mekanis pertama yang mengemas switch rancangan mereka sendiri. Switch berwarna merah ini memiliki karakter yang mirip seperti Cherry MX Red yang sangat populer: linear dan non-taktil, dengan aktuasi yang lebih ringan ketimbang Cherry MX Black.

Yang membuat switch bikinan HyperX ini berbeda adalah jarak travel dan titik aktuasi yang lebih rendah, spesifiknya 3,8 mm dan 1,8 mm. Secara teori ini, ini berarti pengguna Alloy Origins bisa lebih lincah dalam memberdayakan jari-jemarinya selama sesi gaming berlangsung. Lebih lanjut, HyperX juga mengklaim daya tahan switch bikinannya mencapai angka 80 juta klik.

Layout-nya sendiri mengadopsi jenis full-size, yang berarti masih ada deretan tombol numpad di sisi kanan. Pencahayaan RGB sudah pasti ada demi mendapat pengakuan di ranah gaming, dan secara keseluruhan Alloy Origins tampak kokoh berkat sasis aluminiumnya.

Rencananya, HyperX Alloy Origins bakal dipasarkan mulai kuartal ketiga tahun ini seharga $110. HyperX juga berniat menambah variasi switch-nya dalam waktu dekat, sehingga konsumen bisa mempunyai lebih banyak pilihan untuk disesuaikan dengan selera dan kebutuhan masing-masing.

Sumber: The Verge dan TechCritter.

Razer Luncurkan Koleksi Periferal Bertema Stormtrooper

Ketika mendengar nama Razer, saya yakin yang terbayangkan di benak Anda adalah kumpulan periferal gaming dengan warna serba hitam dan hijau. Di satu sisi, hal ini terkesan konsisten, tapi di sisi lain juga cukup membosankan. Itulah mengapa Razer dari waktu ke waktu juga menyuguhkan koleksi periferal bertema khusus, macam Destiny 2 dan Overwatch.

Yang terbaru, suguhan periferal bertema khusus mereka ditujukan bagi para penggemar Star Wars. Seperti yang bisa Anda lihat pada gambar di atas, yang diangkat secara spesifik adalah Stormtrooper dengan warna khas putih beraksen hitamnya. Dalam koleksi ini, total ada tiga perangkat yang ditawarkan: keyboard BlackWidow Lite, mouse wireless Atheris dan mousepad Goliathus Extended.

Razer BlackWidow Lite - Stormtrooper Edition

BlackWidow Lite, seperti yang kita tahu, dirancang untuk memenuhi kebutuhan produktif sekaligus gaming. Arahan itu tersirat dari penggunaan switch mekanis Razer Orange yang bersifat taktil sekaligus senyap ketika diklik. Supaya tidak kelewat norak di atas meja kerja, sekaligus agar senada dengan tema Stormtrooper, backlight LED di balik masing-masing tombolnya menyala putih ketimbang RGB.

Untuk edisi khusus ini, Razer rupanya cukup perhatian terhadap detail-detail kecil yang mungkin tak kelihatan secara kasat mata. Contohnya adalah kabel braided dengan corak hitam-putih, serta lambang kubu Imperial pada tombol Esc.

Razer Atheris - Stormtrooper Edition

Beralih ke mouse-nya, Atheris sebelumnya juga Razer siapkan untuk dipakai bekerja sekaligus bermain. Wajah Stormtrooper terpampang jelas di tubuh ambidextrous-nya, dan performanya masih sama seperti Atheris standar berkat sensor optik 7.200 DPI yang diusungnya.

Terkait konektivitas wireless-nya, pengguna dibebaskan menggunakan sambungan Bluetooth atau dengan bantuan dongle 2,4 GHz-nya. Berbekal sepasang baterai AA saja, Atheris dapat digunakan selama lebih dari 300 jam.

Razer Stormtrooper Edition

Tiga periferal edisi Stormtrooper ini sekarang sudah dipasarkan dengan harga sebagai berikut:

Sumber: Razer.

Headset Audeze LCD-GX Diciptakan untuk Gamer yang Kebetulan Juga Seorang Audiophile

Saya yakin tidak banyak gamer yang mengenal perusahaan bernama Audeze, kecuali mereka juga punya hobi di bidang audio. Selama berkiprah sejak 2008, nama Audeze lebih populer di kalangan audiophile, akan tetapi per tahun lalu, mereka mulai merambah segmen gaming lewat headset bernama Mobius.

Eksperimen mereka di ranah baru ini rupanya membuahkan hasil yang cukup positif. Buktinya, mereka baru saja mengumumkan gaming headset kedua mereka. Dijuluki Audeze LCD-GX, wujudnya memang sama sekali tidak mencitrakan sebuah gaming gear, sebab memang target pasar yang diincar adalah para gamer yang kebetulan juga masuk di kalangan audiophile.

Itulah mengapa desainnya menyerupai headphone lain dari lini Audeze LCD, mengadopsi model open-backed demi menyajikan soundstage yang lebih luas, tapi dengan ‘ongkos’ suara akan bocor ke mana-mana, serta suara dari luar yang gampang sekali masuk. Di balik setiap earcup-nya, tertanam driver berteknologi planar magnetic dengan diameter 103 mm.

Audeze LCD-GX

Secara umum, keunggulan utama teknologi planar magnetic adalah dentuman bass-nya yang terdengar bulat dan sangat mantap. Ketika diaplikasikan ke ranah gaming, tentunya ini juga bisa dilihat sebagai hal yang positif, meski saya yakin banyak juga gamer yang lebih memprioritaskan gimmick seperti suara surround dan spatial audio.

Kalau memang itu yang dicari, maka Mobius jelas merupakan pilihan yang lebih tepat ketimbang LCD-GX, belum lagi rencana Audeze untuk menambahkan fitur yang dapat menerjemahkan pergerakan kepala menjadi input keyboard. LCD-GX di sisi lain hanya akan menarik perhatian mereka yang mementingkan kualitas suara di atas segalanya.

Sebagai sebuah gaming headset, tentu saja LCD-GX dibekali sebuah mikrofon, lengkap dengan tombol mute beserta lengan yang fleksibel sehingga masing-masing pengguna bisa menyesuaikan posisinya dengan mudah. Yang cukup menarik, mic ini menjadi satu dengan kabel, dan Audeze menyertakan dua pasang kabel yang berbeda; satu tanpa mic untuk pemakaian di luar sesi gaming.

Secara keseluruhan, Audeze LCD-GX bukan untuk semua gamer, sebab untuk bisa memaksimalkan kinerjanya, Audeze menyarankan untuk menyiapkan amplifier atau DAC terpisah sebagai pendampingnya. Harganya yang dipatok $899 juga merupakan alasan lain ia kurang cocok buat gamer mainstream.

Sumber: The Verge.

Logitech Luncurkan Versi Wireless dari Salah Satu Mouse Gaming Terbaiknya

November tahun lalu, Logitech menyingkap mouse gaming G502 HERO, empat tahun sejak G502 generasi pertama diluncurkan. Desainnya tidak berubah sama sekali, masih terlihat eksentrik di mata gamer yang senang dengan tampilan minimalis dan elegan seperti saya. Namun tentu jeroannya sudah dirombak total, utamanya berkat kehadiran sensor optik baru yang jauh lebih cekatan.

Tahun ini, Logitech kembali menelurkan varian baru G502, kali ini dengan embel-embel “Lightspeed” di belakangnya. Ya, ini merupakan varian wireless dari G502 HERO yang dicintai banyak gamer, dan lagi-lagi kita bisa melihat tak ada perubahan fisik kecuali hilangnya kabel dari ujung atasnya.

Logitech G502 Lightspeed

Ini berarti semua keunggulan G502 HERO bisa kita temukan darinya, utamanya sensor High Efficiency Rated Optical (HERO) yang memiliki sensitivitas maksimum 16.000 DPI dan kecepatan tracking 400 IPS. Ketahanannya juga cukup terjamin berkat switch mekanis hasil rancangan Logitech bersama Omron.

Bagi yang sama sekali belum pernah mengenal Logitech G502, salah satu kelebihan mouse ini adalah dari aspek kustomisasi. Secara total ada 11 tombol yang dapat diprogram sesuai kebutuhan masing-masing pengguna, dan bobot mouse pun bisa diatur dengan melepas atau menambahkan pemberat ke balik pelat bawahnya.

Logitech G502 Lightspeed

Yang baru tentu saja adalah konektivitas wireless itu sendiri. Logitech menjulukinya dengan istilah Lightspeed karena responnya yang begitu cepat; waktu responnya cuma 1 milidetik, bahkan melampaui sejumlah mouse yang masih mengandalkan sambungan kabel.

Lebih lanjut, G502 Lightspeed juga kompatibel dengan Logitech PowerPlay, mousepad ajaib yang dapat terus mengisi baterai mouse wireless yang berada di atasnya. Tidak seperti Qi wireless charger yang mengharuskan perangkat berada di titik tertentu, PowerPlay mampu meneruskan aliran daya di seluruh penampangnya.

Memang tidak banyak yang dapat ditawarkan G502 Lightspeed yang belum ada di G502 HERO. Namun kalau konektivitas wireless merupakan suatu keharusan, bersiaplah menyisihkan $150 untuk meminang mouse ini.

Sumber: Logitech.

Headset Wireless SteelSeries Arctis 9X Diciptakan Khusus untuk Pengguna Xbox

Kalau ditanya apa salah satu kekurangan Xbox One dibanding PlayStation 4, mungkin mayoritas penggunanya akan bilang absennya kompatibilitas headset Bluetooth. Sebagai gantinya, Microsoft mengandalkan protokol khusus bernama Xbox Wireless, kurang lebih mirip seperti kasus Apple dan AirPlay.

Yang jadi masalah, populasi headset Xbox Wireless tergolong kecil. Beruntung SteelSeries tergerak untuk meluncurkan produk di segmen ini, yaitu Arctis 9X. Kelebihan utamanya? Apa lagi kalau bukan dukungan resmi Xbox Wireless, yang berarti pengguna Xbox dapat menyambungkannya tanpa kabel maupun dongle.

Dukungan Xbox Wireless juga berarti latency-nya dipastikan sangat rendah, yang berarti hampir tidak ada jeda antara audio yang keluar dari game dan yang terdengar di telinga. Lebih lanjut, SteelSeries juga mengklaim bahwa Arctis 9X menawarkan koneksi yang paling bisa diandalkan di antara headset Xbox Wireless lain, dan ini berdasarkan pernyataan Microsoft kepada mereka.

SteelSeries Arctis 9X

Dari segi estetika, Arctis 9X tampak tidak jauh berbeda dari headset Arctis lainnya. Desainnya simpel namun elegan (tidak norak seperti mayoritas gaming headset), dan kenyamanan yang ditawarkannya mungkin sudah bisa diwakilkan oleh bantalan telinga yang terlihat cukup tebal.

Berhubung ini adalah headphone wireless, sudah pasti ada sejumlah tombol kontrol di earcup-nya. Namun yang paling menarik adalah sebuah kenop di earcup sebelah kiri, yang berfungsi untuk mengatur volume audio yang datang dari Xbox di saat headset juga tersambung ke perangkat lain via Bluetooth.

Ya, Arctis 9X mendukung multiple input. Jadi selagi tersambung ke Xbox, ia juga bisa disambungkan ke ponsel via Bluetooth, entah untuk mendengarkan musik atau menerima panggilan telepon, semuanya sembari asyik bermain game.

SteelSeries Arctis 9X

Terkait daya tahan baterai, dalam satu kali pengisian, Arctis 9X diklaim mampu beroperasi sampai 20 jam nonstop, dan pengguna dapat memantau sisa baterainya langsung di TV. Saat baterainya habis, pengguna masih bisa memakainya dengan bantuan kabel 3,5 mm.

SteelSeries saat ini sudah memasarkan Arctis 9X seharga $200. Bukan harga yang murah, tapi cukup pantas jika mempertimbangkan semua fiturnya, serta fakta bahwa headset Xbox Wireless merupakan spesies yang langka.

Sumber: AnandTech.