Waste4Change Teken Proyek Pengelolaan Sampah Senilai Rp250 miliar

Startup waste management Waste4Change menggencarkan kerja sama investasi dengan berbagai pihak untuk mendorong proyek pengelolaan sampah berbasis teknologi. Maka itu, Waste4Change mengumumkan kerja sama pengelolaan sampah dengan tujuh perusahaan dengan estimasi nilai proyek sebesar Rp250 miliar.

Kerja sama ini diteken melalui penandatangan MoU dengan PT Samudera Indonesia Tbk, PT Alam Bersih Indonesia, PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk, Sinar Mas Land, Basra Corporation, rePurpose Global, dan Freepoint Commodities.

“Dana ini akan berguna untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas pengelolaan sampah di berbagai area. Harapan saya, Waste4Change bisa terus bertumbuh dan menjadi partner yang tepat untuk mengembangkan investasi hijau di bidang persampahan,” ujar Founder dan CEO Waste4Change Mohamad Bijaksana Junerosano dalam peresmian RPM Waste4Change Bekasi 2.0, Rabu (8/3).

Sano, sapaan akrab dari Junerosano, menuturkan penanganan masalah sampah perlu kolaborasi dan kontribusi dari semua pihak. Stakeholder yang hadir di sini adalah bagian dari solusi untuk bekerja sama menangani sampah dari hulu ke hilir. Oleh karenanya, perlu membuka diri sebesar-besarnya untuk investasi yang lebih hijau demi mereformasi bidang persampahan di Indonesia.

Ia menuturkan, perusahaan telah membuat rencana sepuluh tahun untuk mengeksplorasi opsi potensial lainnya di masa depan. Di usia yang ke-8 ini, Waste4Change akan memantau gelombang baru e-waste, yang bersumber dari limbah kendaraan elektrik, seperti baterai yang adopsinya sudah mulai terasa.

“Tiap sepuluh tahun, kami membuat diferensiasi opsi. Selain e-waste, kami lihat pengelolaan sampah yang spesifik, misalnya furnitur yang sebenarnya ada aturannya. Pengelolaan limbah biodiesel mulai kami riset bersama SinarMas. Sekarang kami masih matangkan sampah rumah tangga di tahun ke-8 ini.”

Seremonial Peresmian RPM Waste4Change Bekasi oleh Perwakilan AC Ventures, Pemerintahan kota Bekasi, dan Deputi Kementerian Investasi / Waste4Change

Tak mengumumkan MoU, dalam kesempatan yang sama, Waste4Change juga meresmikan Rumah Pemulihan Material (RPM) Waste4Change 2.0 yang sudah disertai dengan teknologi terbaru: mesin pemilahan sampah dan pengintegrasian teknologi digital untuk memantau dan merekam aliran pengolahan sampah. Saat ini Waste4Change memiliki lima RPM yang tersebar di Bogor, Bekasi, Sidoarjo, Bali, dan Bandung.

Inovasi ini merupakan salah satu realisasi usai merampungkan pendanaan Seri A dari AC Ventures, PT Barito Mitra Investama, dan sederet investor lainnya pada akhir tahun lalu. Dengan inovasi baru, di lokasi RPM ini diklaim mampu mengurangi residu sampah dari 65% menjadi 10%. Kapasitas pengelolaan sampah pun juga naik dari 18 ton menjadi 22 ton per harinya.

Berikut daftar mesin pemilahan sampah otomatis milik Waste4Change:

  1. Conveyor untuk memindahkan material agar lebih mudah dipilah (anorganik dan residu benda keras dan berserat)
  2. Gibrig untuk memisahkan material plastik daunan dan bubur organik (untuk bsf)
  3. Centris untuk plastik daunan dari gibrig masuk ke centris. Fungsinya sebagai pengering (output kering dan organik yang masih menempel)
  4. Blower untuk menyedot material plastik output dari sentris ke stage
  5. Mesin cacah plastik dari stage menjadi fluff

“Kami akan terus tambah lokasi dan kerja sama dengan berbagai titik, di antaranya ke Cilegon, Tangerang, dan perluas Sidoarjo. Walau kecil-kecil titiknya ini sesuai dengan target kami Waste4Change untuk mengolah 5% sampah di Indonesia, atau 10 ribu ton per hari. Angka itu sama saja dengan total sampah di lima kota besar.”

Investasi hijau

Pengelolaan sampah termasuk ke dalam daftar prioritas investasi hijau yang ditetapkan Kementerian Keuangan, dengan target penerapan blended finance menyasar pembangunan infrastruktur sektor-sektor dengan angka multiplier effect terbesar. Diharapkan target ini mampu meningkatkan kualitas hidup dan adopsi teknologi hijau.

Sayangnya, sebesar 40%-50% pembangunan TPST dan TPS3R tidak terawat dan sanitary landfill kembali menjadi tempat pembuangan sampah akibat skema pembiayaan yang tidak berkelanjutan. Oleh karenanya, dibutuhkan reformasi dalam retribusi persampahan yang memungkinkan penanaman modal secara berkelanjutan dan juga regulasi yang memastikan investasi di infrastruktur pengelolaan sampah menjadi lebih optimal.

Direktur Perencanaan Infrastruktur, Kedeputian Bidang Perencanaan Penanaman Modal Moris Nuaimi menuturkan Kementerian investasi masih menyempurnakan regulasi mengenai investasi persampahan dan ini butuh pertimbangan yang matang. Di satu sisi kesempatan investasi hijau dan kesiapan pihak penerima menjalankan kepercayaan tersebut sudah terbentuk dengan baik. Inisiasi mandiri dan upaya dari pihak swasta, salah satunya Waste4Change, dapat menguatkan sumber pendanaan dari banyak aliran.

“Terlebih, jika kita ketahui, pemerintah daerah dan investor sudah bersedia memfasilitasi. Ini adalah contoh yang bisa ditiru oleh pihak pemerintah daerah lain dan penyedia layanan pengelolaan sampah lainnya untuk bergerak lebih gesit dalam menggali lebih banyak investasi hijau untuk dapat mewujudkan lingkungan Indonesia yang lebih berkelanjutan,” katanya.

Investasi hijau untuk sektor persampahan dapat dilakukan untuk membantu penanganan sampah. Caranya, melalui peningkatan infrastruktur atau fasilitas dan peralihan sumber daya serta mewujudkan penyelenggaraan ekonomi melingkar yang difokuskan untuk mengurangi timbulan sampah sedari awal.

Survei Global Sustainable Investment Alliance (GSIA) pada 2021 menyebut, aset investasi hijau di negara berkembang memiliki potensi pertumbuhan hingga $30,7 triliun. Dibutuhkan total investasi sebesar $18 miliar di bidang teknologi, dan $22 miliar di bidang jasa pada rentang tahun 2017 hingga 2040 untuk mengatasi tantangan dalam mengubah praktik business-as-usual menuju Skenario Perubahan Sistem pada pengelolaan sampah dan daur ulang yang efektif berdasarkan laporan NPAP.

Angka tersebut memungkinkan harapan untuk dapat menangani masalah sampah yang ada. Peran aktif investor dan pemilik modal sangat penting dalam mengarahkan pelaku bisnis untuk lebih tanggap dalam melihat peluang bisnis hijau yang selaras dengan alam, salah satunya persampahan.

Tur RPM 2.0 bersama bersama perwakilan Kementerian Investasi / Waste4Change

Faktanya, menurut data Systemiq & Delterra di tahun 2022, 97% pendanaan sampah di Indonesia masih mengandalkan iuran sampah dari rumah ke rumah (door-to-door fee collection). Sedangkan negara yang lebih maju sudah meninggalkan metode tersebut dan beralih pada iuran sampah sebagai pajak dan iuran sampah yang termasuk pada biaya langganan utilitas.

Beberapa hal terkait dukungan pengelolaan sampah tentu perlu ditingkatkan, baik dari segi teknis maupun pembiayaan. Mengurangi aktivitas membakar dan mengubur sampah, menjalankan TPS 3R dan fasilitas pengelolaan sampah lainnya secara cermat dan berkelanjutan, serta meningkatkan kesadaran akan pentingnya retribusi sampah, adalah hal yang bisa mulai ditingkatkan. Dalam hal ini pemerataan fasilitas bukan lagi masalah utama, tapi bagaimana memastikan fasilitas pengelolaan sampah berjalan optimal.

“Iuran sampah di area perumahan itu baru bisa comply di harga Rp60 ribu per bulan, tapi karena regulasinya enggak ketemu, biasanya ditawar hingga Rp25 ribu. Perumahan elit di Jakarta Selatan dengan harga Rp3 miliar saya rasa sanggup bayar iuran segitu. Tapi ini tidak masuk karena jadi sulit bagi kami untuk menyejahterakan para pekerja informal.”

Untuk mengimbangkan dari sisi sosial dengan bisnis, Waste4Change kini mengimplementasikan strategi inovative waste credit dan blended financing. Waste credit adalah upaya mendukuung usaha produsen dalam mendaur lebih banyak sampah di Indonesia. Konsepnya persis sama dengan carbon credit, yang mana karbon dioksida yang dihasilkan dari suatu kegiatan harus dibayar dengan menyerap kembali karbon tersebut.

Untuk sampah, bisa diproses menjadi RDF yang berguna sebagai energi pada pabrik pembuatan semen. Salah satu material sampah yang diolah adalah multilayer plastic (MPL) packaging atau sering disebut saset.

Adapun untuk blended finance merupakan penggunaan strategis keuangan pembangunan untuk mobilisasi keuangan tambahan terhadap pembangunan berkelanjutan di negara-negara berkembang. Blended finance menarik modal komersial ke arah proyek-proyek yang berkontribusi pada pembangunan berkelanjutan, sambil memberikan pengembalian hasil kepada investor.

Pengembang Biogas “Gree Energy” Peroleh Investasi 50 Miliar Rupiah dari Earthcare Group

Gree Energy, perusahaan pengembang biogas ke energi asal Indonesia, mengumumkan perolehan pendanaan pra-seri A senilai $3,2 juta atau sebesar 49,9 miliar Rupiah yang dipimpin oleh Earthcare Group, catalytic investor berbasis di Hong Kong.

Putaran ini merupakan investasi tambahan dari pendanaan pra-seri A sebesar $250 ribu oleh Water Unite Impact pada Mei 2022. Bila ditotal, Gree Energy telah mengantongi dana sebesar $3,45 juta atau sekitar 53,8 miliar Rupiah.

“Visi Gree untuk mengurangi polusi di sektor pertanian dan pangan, dan untuk menggantikan energi yang dihasilkan dari bahan bakar fosil adalah kunci mitigasi perubahan iklim, dan sangat sejalan dengan tujuan Indonesia untuk mengurangi emisi karbon sebesar 43% pada 2030,” kata Co-Head of Investment Earthcare Group Andre Barlian, seperti dikutip dari situs resmi Gree Energy pada Rabu (21/12).

Ia melanjutkan, perusahaan memiliki pendekatan holistik unik yang memungkinkan mereka menghasilkan aliran pendapatan yang terdiversifikasi dengan sedikit biaya tambahan. “Model bisnis Gree juga sangat dapat direplikasi di sebagian besar ekonomi berbasis pertanian dengan permintaan energi yang terus meningkat, yang terjadi di sebagian besar wilayah Selatan Global. Potensi pertumbuhannya luar biasa,” tambahnya.

Solusi Gree Energy

Didirikan pada 2013, Gree Energy adalah perusahaan yang mendekarbonisasi pengolah makanan di negara berkembang dengan mengubah air limbah mereka menjadi biogas. Adapun, biogas ini digunakan untuk menghasilkan energi, panas, bio-CNG, air bersih, pupuk organik, dan dapat dijual sebagai kredit karbon, sehingga layak secara finansial dengan membuka akses ke pasar kredit karbon, keuangan hijau, dan pasar energi terbarukan.

Salah satu contoh proyek Gree yang berhasil adalah Hamparan di Lampung. Disebutkan, proyek yang sudah berjalan sejak Desember 2022 tersebut telah mengurangi lebih dari 30.000 emisi CO2eq setiap tahunnya, menghasilkan hampir 10 GWh energi bersih, dan andal per tahun untuk 19 desa di sana. Proyek ini memperlihatkan bukti potensi skala model dampak Gree untuk berkontribusi terhadap dekarbonisasi industri makanan di negara-negara berkembang.

Perusahaan mengestimasi ada lebih dari 1.350 pengolah makanan di Indonesia menghasilkan lebih banyak polusi air daripada populasi 185 juta. Pengolah makanan ini mengeluarkan 50 juta ton emisi CO2eq per tahun, setara dengan mengeluarkan sepulih juta mobil di jalan setiap tahun.

Secara paralel, pada 2030 mendatang, Indonesia menargetkan untuk meningkatkan porsi listrik terbarukan dari 13,5% pada 2021 menjadi 34% dan mengurangi emisi karbon hingga hampir 32% dengan upaya sendiri (43,2% dengan bantuan internasional).

Biogas adalah salah satu landasan utama untuk mengatasi tantangan kembar ini. Untuk memanfaatkan potensi biogas Indonesia, diestimasi membutuhkan investasi lebih dari $2 miliar untuk fasilitas pengolahan air limbah biogas. Ini akan membuka investasi lebih dari $3 miliar dalam pengembangan aset energi biogas terdistribusi.

Menurut Gree Energy, biogas adalah teknologi yang telah terbukti memenuhi bauran energi terbarukan Indonesia, tetapi peluang untuk membuka potensi penuhnya belum dimanfaatkan sepenuhnya.

Model dampak Gree berada di posisi yang tepat untuk menangkap peluang tersebut di Indonesia dan mereplikasinya di pasar negara berkembang lainnya yang perlu memenuhi permintaan energi yang terus meningkat sambil mendekarbonisasi dan mengolah air limbah industri dengan benar.

Gree Energy mengadopsi metrik lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG) yang terukur dan dapat diverifikasi secara independen untuk melaporkan aktivitas, hasil, dan dampak secara transparan. Perusahaan telah tersertifikasi B-Corp yang berkomitmen untuk memenuhi standar kinerja sosial dan lingkungan terverifikasi tertinggi.

Indonesia Investment Authority Siapkan Dana Investasi untuk Sektor Berdampak

Bertujuan  menjajaki peluang investasi guna mendorong transisi energi
hijau dan mendukung pembangunan sosial yang inklusif di tanah air, Indonesia Investment Authority (INA) menandatangani Kesepakatan Kerangka Kerja Investasi dengan Investment Fund for Developing Countries (IFU) dari Kerajaan Denmark.

Kesepakatan ini mencakup prospek investasi bersama dalam energi terbarukan, air, pengelolaan limbah, dan ekonomi sirkular lainnya. Total target investasi kedua pihak direncanakan bernilai hingga $500 juta.

Selanjutnya IFU dan INA berambisi untuk menawarkan modal bagi proyek-proyek “hijau” dan berkelanjutan, dengan kontribusi masing-masing sekitar $100 juta. Dengan kekuatan yang dimiliki, kedua pihak akan bersama-sama mencari co-investor potensial lainnya untuk turut berkontribusi dalam memenuhi selisih total target investasi tersebut di atas.

“Kesepakatan hari ini menandai langkah positif dalam mendukung komitmen Indonesia dalam memenuhi target netral karbon 2060. Kami optimis kesepakatan ini tidak hanya akan memberikan keuntungan yang optimal dengan risiko yang sesuai bagi pihak-pihak yang terlibat, tetapi juga dapat mendukung dan mendorong pertumbuhan yang inklusif bagi Indonesia dalam jangka panjang,” kata Ketua Dewan Direktur INA, Ridha Wirakusumah.

Fokus kepada lingkungan sosial dan ESG

Ini juga menandai kesepakatan investasi pertama antara INA dan entitas Skandinavia yang terkenal memiliki standar lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG) tinggi. IFU dengan rekam jejaknya yang telah terbukti dalam rantai nilai energi terbarukan, dapat menjadi mitra yang kuat bagi Indonesia dalam hal transisi energi hijau.

Lebih lanjut lagi, kesepakatan ini sejalan dengan komitmen INA untuk menarik dan bermitra dengan investor global guna mendorong pembangunan berkelanjutan di Indonesia. Hal ini  menunjukan kepercayaan dan optimisme kepada INA dan Indonesia, tidak hanya dalam mempromosikan investasi hijau, tetapi juga dalam hal mengimplementasikan aspek operasionalisasi dan tata kelola dengan standar kelas dunia.

“Kemitraan dengan INA menyediakan platform yang ideal untuk membantu perusahaan swasta terlibat dalam menciptakan ekonomi Indonesia yang lebih “hijau” dan memungkinkan investor swasta untuk meningkatkan investasinya dengan keuntungan ganda –bisnis yang tetap menguntungkan sambil mengurangi emisi gas rumah kaca. Kami berharap kerja sama dengan INA dan Indonesia akan membawa banyak manfaat,” kata CEO IFU Torben Huss.

Tercatat hingga saat ini IFU telah berinvestasi bersama pada lebih dari 1.300 perusahaan di lebih dari 100 negara berkembang dan pasar negara berkembang. Investasi yang telah ditandatangani bernilai total EUR 31 miliar, dengan IFU telah menyumbang EUR 3,4 miliar. Modal yang dikelola adalah EUR 1,7 miliar.

Mengunjungi “JID LaunchPad”, Pusat Inovasi Teknologi Berkelanjutan di Singapura

Salah satu lokasi yang saat ini menjadi tempat berkumpulnya komunitas startup dan entrepreneur di Singapura adalah LaunchPad yang terletak di Jurong Innovation District (JID). Lokasi yang sengaja dibangun untuk menjadi area uji coba hingga kolaborasi pembelajaran ini dilengkapi dengan fasilitas hingga peralatan pendukung, untuk mengembangkan starup agritech, deep tech, IoT, dan lainnya.

Fokus kepada teknologi berkelanjutan

Microfactory (mFac) adalah salah satu “studio” di area tersebut yang telah membawa banyak ide startup ke prototipe, kemudian ke produk kerja yang layak. mFac difungsikan sebagai pusat komunitas, memungkinkan para pemula dapat saling belajar, bertukar pengetahuan, dan berkolaborasi dalam proyek tertentu.

Tempat ini juga menawarkan lingkungan yang kondusif bagi para pemula untuk menguji coba dan menyempurnakan solusi mereka. Ruang kerja tersebut dilengkapi dengan mesin 3D scanner, 3D printer, mesin CNC, dan alat teknik lainnya.

Mesin 3D Printer

Dalam situs resminya Managing Director of Mistletoe Singapore Atsushi Taira mengungkapkan, “Tantangan kami selanjutnya adalah memberdayakan masyarakat dengan alat produksi. Kami melakukan ini dengan membuat pabrik mikro di setiap komunitas, memberi orang alat dan perlengkapan untuk membangun apa yang mereka inginkan.”

Selanjutnya ada Mistletoe, sebuah ruang kolektif yang berfokus pada “proyek berdampak” untuk mengatasi tantangan besar yang memengaruhi masyarakat. Didirikan di Jepang dan berkantor pusat di Singapura, Mistletoe memiliki portofolio lebih dari 200 startup berdampak.

Pada bulan September 2019, Mistletoe bermitra dengan Singapura JTC untuk memulai Audacity, taman bermain komunitas untuk inovator. Misi Audacity adalah memberdayakan generasi berikutnya untuk mengembangkan teknologi ground-up baru untuk membuat prototipe kota masa depan.

Fokus kepada teknologi yang berkelanjutan menjadi salah satu misi dari pemerintah Singapura. Dengan mengedepankan teknologi, komunitas startup setempat diberikan platform yang lengkap untuk mengembangkan inovasi yang relevan dan selaras dengan rencana dari pemerintah.

Komunitas “green startup” di LaunchPad JID

Meskipun memiliki beragam kategori startup, namun green startup atau startup yang fokus kepada lingkungan terlihat cukup signifikan di LaunchPad. Ekosistem startup di LaunchPad sendiri telah terkurasi untuk memastikan memiliki akses ke sumber daya yang mereka butuhkan. Lebih dari 40 inkubator, akselerator, dan enabler menjalankan program di LaunchPad.

Salah satu startup asal Singapura yang telah bergabung dalam komunitas tersebut di antaranya adalah Soil Social. Startup yang fokus kepada waste management ini, berfokus kepada pengembangan dan pembaruan tanah berkualitas tinggi untuk menumbuhkan tanaman. Gerakan yang mereka lancarkan adalah, melakukan kompos sampah sendiri di rumah. Setelah diolah nantinya kompos tersebut bisa digunakan untuk menanam tanaman. Soil Social didirikan oleh Jayden dan Ee Peng.

Startup lainnya yang juga terlibat dalam komunitas tersebut adalah Insect Feed Technologies. Dalam hal ini pendiri Sean Tan menyadari potensi Black Soldier Flies (BSF) sebagai alternatif pakan tradisional dan pupuk yang digunakan dalam pertanian.

Startup lainnya yang juga masuk dalam ekosistem LauncPad JID adalah Xinterra. Didukung oleh para pendirinya yang sudah sangat berpengalaman dan pakar dibidangnya, Xinterra menggabungkan artificial intelligence dengan eksperimen untuk mendorong batas-batas inovasi ilmu material. Xinterra menciptakan bahan terobosan dengan kecepatan yang jauh lebih cepat dan lebih terjangkau.

Ketiga startup tersebut secara khusus menghadirkan solusi berkelanjutan yang akan mendukung sektor pertanian dan aquaculture.

Kategori yang memang menjadi fokus dari LauncPad JID. Selain startup yang bisa bergabung dalam komunitas LaunchPad JID, inkubator hingga perusahaan komersial berupa venture capital yang mendukung ekosistem startup juga bisa bergabung dalam komunitas LaunchPad JID Singapura.

Pertamina NRE Alokasikan 7,7 Triliun Rupiah untuk Investasi ke Startup Energi

PT Pertamina melalui anak usaha Pertamina New and Renewable Energy (Pertamina NRE) akan mengalokasikan dana sebesar $500 juta atau sekitar 7,7 triliun Rupiah untuk investasi startup di sektor energi. Inisiatif Energy Fund ini akan dikelola bersama MDI Ventures.

Dilansir dari DealStreetAsia, Wakil Menteri BUMN I Pahala Mansury mengungkap bahwa dana tersebut akan dialokasikan untuk investasi selama lima tahun. “Kami harap akan lebih banyak investor bergabung [pada dana kelolaan ini],” ujarnya.

Dalam pemberitaan DailySocial.id sebelumnya, Energy Fund merupakan satu dari tiga dana kelolaan yang diresmikan oleh Kementerian BUMN pada September 2022 di ajang BUMN Startup Day. Peluncuran ketiga dana kelolaan ini disepakati melalui penandatanganan Head of Agreement (HoA).

Adapun, dua dana kelolaan lainnya disuntik oleh disuntik dari PT Bio Farma (Bio Health Fund) dan PT Pupuk Indonesia (Agri Fund). Ketiga dana kelolaan ini akan menjadi kendaraan investasi pada startup tahap early hingga growth di vertikal terkait.

Kepada DailySocial.id, CEO MDI Ventures Donald Wihardja mengatakan pembentukan dana kelolaan ini tak semata untuk mendapat capital gain, tetapi juga membawa sinergi, produk baru, ke induk usaha. “Investasi [tiga dana kelolaan] ini menyasar tahap seed sampai seri B dan C, tetapi ini vertical-focused ya. Berbeda dengan Merah Putih Fund yang fokus pada startup soonicorn,” ungkap Donald.

Dalam keterangan resminya, Direktur SDM dan Penunjang Bisnis Pertamina NRE Said Reza Pahlevy mengatakan bahwa inisiatif ini bertujuan untuk mempercepat transisi energi. Sektor yang diincar oleh Pertamina antara lain low carbon solutions, energi baru dan terbarukan (EBT), dan masa depan di sektor energi.

“Transisi energi membutuhkan kolaborasi berbagai pihak. Kolaborasi Pertamina NRE dengan MDI Ventures yang didukung oleh Kementerian BUMN membuka peluang pendanaan bagi perusahaan rintisan yang memiliki semangat yang sama untuk mengembangkan energi bersih,” tuturnya seperti dikutip dari CNN.

Ekosistem startup energi

Pada tulisan feature kami tiga tahun lalu mengenai gelombang startup energi, dikatakan bahwa antusiasme pelaku startup di sektor ini mulai bangkit. Namun, pelaksanaannya memang masih sulit karena sejumlah faktor. Misalnya, investasi di sektor ini membutuhkan modal besar, tetapi lama untuk bisa menghasilkan keuntungan. Belum lagi anggapan produk masih mahal, seperti panel surya.

Sejak beberapa tahun terakhir, iklim investasi startup mulai ramai mengarah pada sektor hijau, energi salah satunya. Investor mulai berfokus pada pendanaan berdampak (impact) tak hanya sosial, tetapi juga lingkungan. Bahkan Pemerintah menggerakkan BUMN hingga perusahaan teknologi besar untuk terlibat dalam mendorong perkembangan ekosistem energi terbarukan.

Saat ini, sejumlah startup yang fokus pada energi terbarukan di Indonesia antaranya adalah SolarKita, Xurya, Warung Energi, Weston Energy, Forbetric, Erenesia, Khaira Energy, dan Syailendra Power. Sebagian besar menggarap potensi tenaga surya.

Powerbrain menawarkan solusi smart energy management melalui perangkat IoT (termasuk sensor) hingga automation software untuk memaksimalkan utilisasi energi. Sementara, SolarKita menawarkan layanan end-to-end dari konsultasi terkait Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), hingga survei ke rumah dan memperhitungkan kondisi dan situasi untuk instalasi PLTS.

SolarKita salah satunya disuntik oleh lembaga non-profit New Energy Nexus yang fokus pada pendanaan, program, dan jaringan yang mendukung startup dan pebisnis di bidang energi bersih. Juga berdiri sebagai organisasi non-profit Achmad Zaky Foundation (AZF) juga fokus terhadap investasi di sektor impact.

Tantangan dan Peluang Pertumbuhan “Green Startup” di Indonesia

Salah satu alasan lambannya pertumbuhan dan penetrasi layanan green startup adalah belum berkembangnya ekosistem yang ada. Kendati demikian menurut Co-founder & CEO Ecoxyztem Jonathan Davy, meskipun masih sedikit jumlah para penggiat startup lokal yang mencoba untuk memberikan solusi seputar renewable energy, efficiency energy, hingga waste management, di perkirakan dalam beberapa tahun ke depan jumlahnya akan mengalami peningkatan.

Membangun ekosistem

Ada beberapa catatan menarik yang dibagikan Jonathan, berdasarkan pengalamannya terjun langsung ke sektor lingkungan. Mulai dari latar belakangan pendiri startup yang harus benar-benar memahami solusi dan permasalahan yang ada, hingga potensi menggarap segmen B2B yang lebih menguntungkan.

Hal tersebut menjadi langkah yang tepat dilakukan, dilihat dari pasar yang jauh lebih terukur dibandingkan dengan B2C. Dibutuhkan adopsi yang masif hingga affordability ketika startup yang fokus kepada climate tech mengawali bisnisnya ke B2C. Selain B2B, potensi yang kemudian juga bisa digarap adalah turut menyasar kepada B2G.

Serupa dengan tren global, saat ini kebanyakan penggiat startup yang menghadirkan produk atau layanan untuk mendukung perubahan iklim di antaranya adalah energy efficiency, renewable energy, waste management dan electric vehicle (EV), serta layanan dan teknologi pendukungnya yaitu charging station.

DailySocial.id mencatat beberapa tahun terakhir, perusahaan teknologi dan energi hingga pemodal ventura ramai-ramai menggarap proyek kendaraan listrik. Hal ini untuk mendukung upaya pemerintah menjadikan Indonesia sebagai pusat produksi kendaraan listrik di Asia Tenggara dengan target produksi 600 ribu mobil listrik dan 2,5 juta sepeda motor listrik pada 2030.

“Serupa dengan tren global, mobility dalam hal ini adalah EV memang paling besar mendapatkan pendanaan. Hal tersebut terjadi karena teknologi EV yang paling mature saat ini. Namun layanan dan produk lainnya saat ini juga sudah mulai menyusul, seperti ekonomi sirkular hingga renewable energy dan energy efficiency,” kata Jonathan.

Tantangan menemukan talenta

Jika dilihat dari latar belakang para pendiri startup yang menghadirkan layanan climate tech, kebanyakan dari mereka memahami benar permasalahan lingkungan dan hal terkait lainnya. Hal tersebut menurut Jonathan yang membedakan pendiri green startup dengan pendiri startup di segmen lain.

Pendiri Surplus misalnya, Muhammad Agung Saputra, selain merupakan lulusan ITB, ia juga merupakan lulusan dari Imperial College London dengan fokus pendidikan kepada Environmental Economics, Environmental Law, Environmental Pollution & Control, Environmental Policy.

Kini Surplus terbilang salah satu startup yang terus mengalami pertumbuhan menghadirkan prevention food waste management untuk industri hospitality dan F&B di Indonesia. Sementara itu salah satu Co-founder Powerbrain Irvan Farasatha, selain merupakan lulusan ITB, ia juga merupakan lulusan Master of Science – MS, Energy Engineering Politecnico di Milano.

“Kita sudah melakukan riset hampir ke 100 ecopreneur di Indonesia, dan tantangan utama saat ini ada tiga. Yang pertama adalah soal skillset dan akses talenta. Jadi memang kebanyakan mereka adalah master atau para PHD di bidangnya,” kata Jonathan.

Faktor kedua yang juga masih menjadi tantangan adalah risk capital. Meskipun ada beberapa dana segar yang mengalir saat ini, namun kebanyakan investasi tersebut hanya fokus kepada pendanaan tahapan lanjutan. Sehingga masih banyak dibutuhkan investor yang bisa membantu mereka untuk mendapatkan dana segar di tahap awal hingga melalui semua proses yang ada. Tantangan terkahir adalah, navigasi untuk ke pasar dan regulator barrier.

Dari sisi regulasi pun saat ini masih terbilang abu-abu. Artinya pemerintah melalui Kementrian Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) hingga Bappenas, belum memberikan sebuah aturan kepada green startup di tanah air.

Namun demikian dari sisi growth model, belum banyak di antara pendiri startup climate tech tersebut menemukan formula yang tepat. Hanya sebagian dari mereka yang kemudian berhasil melakukan uji coba langsung ke pasar, dan menemukan model bisnis yang tepat dan tentunya menguntungkan.

Dari sisi investasi, meskipun tergolong masih sangat niche, namun diprediksikan dalam waktu beberapa tahun ke depan akan semakin banyak investor lokal yang tertarik untuk berinvestasi kepada startup climate tech. Meskipun saat ini sebagian besar investor asing yang masih mendominasi investasi kepada para ecopreneur.

Yang perlu ditekankan adalah, jangan hanya fokus kepada geografi saja, tapi juga ticket size yang diberikan. Saat ini sudah mulai banyak investor lokal yang tertarik untuk berinvestasi kepada green startup.

“Berdasarkan beberapa laporan yang kami lihat, investasi venture capital untuk startup yang menyasar climate tech masih sedikit jumlahnya. Namun ke depannya walaupun sedang tech winter, kita masih melihat pertumbuhan di investasi akan naik sekitar $40 miliar,” kata Jonathan.

Fokus Ecoxyztem

Sebagai venture builder yang peduli benar dengan pertumbuhan ecopreneur di Indonesia, Ecoxyztem menyediakan sumber daya manusia yang berkualitas, bantuan berupa venture architects untuk pemodelan bisnis, dan mendukung penetrasi pasar dengan business matchmaking, serta penggalangan modal. Bukan hanya bantuan modal, namun juga jaringan yang relevan hingga peluang untuk mendapatkan investasi dari green fund dan lembaga asing lainnya.

Sebagai latar belakang, Ecoxyztem yang merupakan bagian dari Greeneration Group ini memutuskan ubah model bisnis menjadi venture builder pada 17 Mei 2021. Kata XYZ melambangkan pilar bisnis Ecoxyztem, X dari kata X-Seed yakni pengembangan sumber daya manusia, Y dari kata Ympact Lab untuk pengembangan climate-tech startup, dan Z dari kata Zinergy untuk mengembangkan akses ke pasar.

Saat ini Ecoxyztem telah memiliki empat portofolio startup, yakni Waste4Change di bidang pengelolaan sampah, ReservoAir yang mengatasi masalah banjir, Ravelware yang menggerakkan transisi industri hijau, dan Enertec yang bekerja di sektor efisiensi energi.

Baru-baru ini Waste4Change mengumumkan perolehan pendanaan seri A sebesar $5 juta (lebih dari 76 miliar Rupiah). AC Ventures dan PT Barito Mitra Investama menjadi lead dalam putaran ini, diikuti jajaran investor lain, yakni Basra Corporation, Paloma Capital, PT Delapan Satu Investa, Living Lab Ventures, SMDV, dan Urban Gateway Fund.

“Kita melirik startup yang masih bootstraping atau mereka yang masih dalam tahapan awal. Karena tujuan kita bukan mencari keuntungan saja, namun lebih kepada ingin membawa ekosistem climate tech lebih maju di Indonesia,” kata Jonathan.

Fokus Bisnis dan Rencana Penggalangan Dana Surplus Indonesia

Saat ini Surplus sudah mengalami pertumbuhan yang positif sebagai sebuah food waste prevention app. Tahun 2022 dijadikan momentum khusus bagi perusahaan untuk bergerak maju, menghadirkan layanan dan produk yang relevan kepada target pengguna. Sekaligus membantu lebih banyak industri terkait untuk mengurangi laju food waste mereka.

Kepada DailySocial.id, CEO Surplus Indonesia Muhammad Agung Saputra menyampaikan rencana Surplus Indonesia. Mulai dari merampungkan penggalangan dana tahapan awal, memiliki gudang, dan menambah jumlah merchant.

Pertumbuhan bisnis positif

Jika saat awal muncul Surplus masih harus melakukan edukasi kepada merchant dan pengguna, saat ini perusahaan mengklaim sudah cukup nyaman dengan kesadaran dan pemahaman yang dimiliki oleh target pengguna. Meningkatnya awareness generasi muda untuk mengikuti gaya hidup sehat dan fokus kepada lingkungan menjadi benefit tersendiri bagi perusahaan saat ini.

Dari sisi merchant yang saat ini banyak berasal dari bakery, kafe, restoran, hingga hotel, yang awalnya mereka masih enggan untuk bermitra, kini mereka justru memiliki SOP khusus untuk Surplus. Dengan kolaborasi tersebut beberapa mitra bahkan mampu untuk menekan laju food waste atau stok produk mereka hingga 80%. Hal tersebut yang kemudian menjadi kebanggaan tersendiri bagi Surplus, yang juga telah menjadi katalis bagi industri F&B untuk pengelolaan food waste mereka.

Untuk bisa mendapatkan merchant dari jaringan hotel dan restoran, menurut Agung dibutuhkan proses yang cukup panjang dan penuh tantangan. Sempat mengalami kendala di awal, namun saat ini mulai banyak hotel dan restoran yang memutuskan untuk bergabung dengan Surplus.

“Proses untuk mendapatkan decision maker di mall atau jaringan hotel/restoran tidak mudah. Apalagi ini adalah hal yang baru, namun ketika mulai banyak jaringan hotel yang telah bergabung, kemudian menjadi daya tarik tersendiri bagi mereka,” kata Agung.

Tercatat saat ini Surplus telah memiliki sekitar 100 ribu unduhan aplikasi dan 2 ribu merchant lebih yang tersebar di 11 kota seperti Jabodetabek, Bandung, Jogjakarta, Solo, Malang, Surabaya, hingga Bali. Jika dulunya mereka yang menjemput bola, kini dengan word of mouth di kalangan mitra, mulai banyak mitra yang kemudian menawarkan diri langsung untuk bergabung di ekosistem Surplus.

Jaringan hotel seperti The Ascott Limited, ARTOTEL Group, dan Swiss-Belhotel International telah menjadi bagian dari Surplus. Sudah ada sekitar 100 hotel yang menjalin kerja sama strategis dengan Surplus. Ke depannya Surplus juga ingin merangkul lebih banyak pemain FMCG hingga ritel untuk memanfaatkan layanan dan teknologi dari Surplus.

Untuk pengiriman Surplus masih mengandalkan layanan dari GrabExpress dan GoSend. Namun untuk melancarkan kampanye mereka untuk lebih peduli kepada lingkungan, pilihan Ambil Sendiri di lokasi layanan F&B terdekat, juga makin agresif mereka lancarkan.

“Kami mencatat saat ini pelanggan terbanyak adalah dari generasi muda seperti gen Z dan milenial. Mereka adalah generasi yang sudah memiliki kesadaran sangat tinggi terhadap peduli lingkungan dan sosial. Meskipun masih sangat niche tapi kami yakin ke depannya akan makin banyak lagi pelanggan yang bisa kami jangkau,” kata Agung.

Rencana penggalangan dana awal

Tim Surplus Indonesia

Untuk bisa memiliki gudang yang mampu menampung stok sementara dari FMCG dan ritel, saat ini Surplus tengah menggalang dana tahapan awal. Jika sesuai target, pendanaan tersebut akan mereka rampungkan akhir tahun 2022 ini. Sebelumnya Surplus termasuk startup yang tidak terlalu fokus kepada kegiatan penggalangan dana. Memanfaatkan grant atau hibah, perusahaan mampu menjalankan bisnis dan operasional dengan dukungan 12 orang tim.

“Tahun 2022 ini kemudian menjadi waktu yang paling tepat bagi startup yang fokus kepada lingkungan dan ESG seperti Surplus. Dengan acara G20 yang fokus kepada climate tech dan lingkungan. Di sisi lain juga mulai banyak platform renewable energy hingga motor listrik yang hadir di Indonesia. Harapannya akan lebih banyak platform green tech di tanah air sehingga makin mengembangkan ekosistem,” kata Agung

Disinggung siapa investor yang sudah terlibat dalam pendanaan awal ini, Agung enggan untuk menjelaskan lebih lanjut. Namun demikian menurutnya, investor asing yang paling banyak memberikan perhatian khusus untuk startup seperti Surplus.

Sebelum melakukan penggalangan dana tahapan awal dari investor, Surplus juga sempat melakukan crowdfunding. Namun karena kesulitan untuk mendapatkan pendonor karena kurangnya awareness Surplus di mancanegara, target yang mereka inginkan pun tidak tercapai.

“Dari sana kita melihat negara asing memiliki awarness yang sangat tinggi akan climate tech dan environment & social impact. Untuk Surplus saja yang mereka tidak kenal, masih bersedia bagi mereka untuk memberikan dana dalam bentuk crowdfunding. Kehadiran pendiri startup asing yang melancarkan platform green tech di Indonesia kemudian juga menjadi pemicu bagi penggiat startup lokal untuk bisa menghadirkan platform green tech,” kata Agung.

Tercatat saat ini mulai banyak investor hingga angel investor yang tertarik untuk berinvestasi kepada green tech di Indonesia. Di antaranya adalah MDI Ventures yang berencana meluncurkan Impact Fund, hingga Achmad Zaky Foundation (AZF) yang telah berinvestasi kepada pengembang efisiensi energi memanfaatkan smart technology di Indonesia, Powerbrain.

East Ventures (Growth Fund) sebelumnya juga telah memimpin pendanaan kepada startup energi terbarukan Xurya. Sementara itu Kejora-SBI Orbit telah berinvestasi kepada perusahaan teknologi yang membangun infrastruktur pertukaran baterai di Indonesia, SWAP Energy. Dan baru-baru ini DeClout Ventures telah memberikan investasi kepada pengembang kendaraan motor listrik, Charged Indonesia.

ANGIN tahun 2021 lalu telah merilis laporan bertajuk “Investing in Impact in Indonesia”. Dalam laporan tersebut terungkap, fokus dari tiap investor berdampak juga berbeda. ANGIN mencatat secara tematik, ada 10 jenis usaha berdampak yang menjadi fokus masing-masing, terbagi menjadi inklusi keuangan, kehutanan, energi bersih, kemiskinan, gender lens, circular economy, perikanan, iklim, agrikultur, dan media. Masing-masing tema ini mencerminkan peluang dan tantangan di Indonesia.

“Kami berharap nantinya jika Surplus telah merampungkan pendanaan tahap awal, bisa menjadi pembuka bagi startup lainnya yang juga fokus kepada ESG untuk bisa mendapatkan pendanaan juga,” kata Agung.

Potensi startup green tech di Indonesia

Kolaborasi Surplus Indonesia dengan Kemenparekraf

Menurut Agung, ada beberapa alasan mengapa pada akhirnya tidak banyak penggiat startup yang tertarik untuk menawarkan layanan dan produk bertemakan lingkungan. Salah satunya adalah sulit untuk di monetisasi dan belum adanya regulasi yang kemudian bisa memberikan punishment atau incentive kepada pihak terkait.

Untuk startup kemudian bisa memberikan layanan yang relevan dan tetap fokus untuk menjaga lingkungan, harus memahami benar layanan atau produk yang bakal di hadirkan. Salah satunya adalah dengan melakukan riset secara komprehensif, melakukan trial and error dan memiliki passion yang besar agar tidak cepat menyerah.

“Mereka harus mengetahui masalah lingkungan secara spesifik, kemudian harus mengetahui grass root-nya. Di Surplus sendiri grass root yang kita pahami adalah kebiasaan masyarakat Indonesia yang menyukai diskon dan telah terbiasa melakukan pemesanan makanan dan minuman secara online. Dengan memahami grass root tersebut, nantinya akan tercipta perubahan secara langsung,” kata Agung.

Untuk bisa mempercepat awareness dan pertumbuhan bisnis, Surplus juga secara agresif melakukan kerja sama strategis dengan pemerintah dan pihak terkait. Di antaranya dengan Kemenparekraf dan dengan Kementerian BUMN.

“Pada akhirnya saya melihat Indonesia sudah mulai ke arah sana. Mengikuti ekosistem di negara lain yang sudah fokus kepada ESG dan climate tech. Jika renewable energy hype-nya makin meluas akan menyusul juga kepada platform lainnya,” kata Agung.

Application Information Will Show Up Here

[Video] Menilik Potensi “Green Startup” di Indonesia

Berbekal inovasi teknologi, banyak startup yang kini mulai fokus terhadap lingkungan. Salah satunya adalah Surplus, perusahaan yang peduli terhadap penanganan food waste di Indonesia.

DailySocial bersama Agung Saputra dari Surplus membahas mengenai tantangan dan peluang green startup di Indonesia.

Untuk video menarik lainnya seputar startup dan teknologi, kunjungi kanal YouTube DailySocialTV.

Surplus dan Misinya Tumbuhkan Gerakan “Zero Food Waste”

Salah satu persoalan yang masih kerap dialami oleh industri F&B adalah  besarnya food waste atau terbuangnya makanan berasal dari hotel, restoran, katering, supermarket, dan masyarakat pada umumnya. Dari statistik yang kami dapat, sekitar 13 juta ton makanan di Indonesia terbuang tiap tahunnya.

Berangkat dari isu tersebut, platform Surplus resmi meluncur. Layanan tersebut memungkinkan para pelaku usaha F&B untuk dapat menjual produk makanan berlebih dan imperfect produce yang masih aman dan layak untuk dikonsumsi di jam-jam tertentu sebelum tutup toko, dengan diskon setengah harga (closing-hour discounts/clearance sale).

“Berbeda dengan platform lainnya, secara khusus Surplus bukan hanya sebagai food marketplace yang menjual produk makanan seperti beberapa pemain lainnya, namun konsepnya hanya menjual produk makanan berlebih dan imperfect produce kepada pelanggan, untuk mengatasi permasalahan food waste,” kata Managing Director PT Ekonomi Sirkular Indonesia Muhammad Agung Saputra.

Ditambahkan olehnya, di sisi lain mitra bisa mendapatkan pelanggan baru serta pendapatan tambahan dari produk berlebihnya. Diperkirakan margin 50% dari setiap produk yang terjual akan lebih menguntungkan untuk meng-cover HPP (Harga Pokok Penjualan) daripada terbuang sia-sia. Untuk strategi monetisasi yang diterapkan adalah revenue-sharing dengan mitra sekitar 10% dari setiap transaksi melalui aplikasi.

“Jumlah mitra Surplus saat ini berkisar 400 lebih yang tersebar di Jabodetabek, Bandung, dan Yogyakarta. Sementara itu untuk kategori mitra yang bisa bergabung dengan Surplus adalah yang umumnya berpotensi menghasilkan banyak produk makanan berlebih seperti bakery & pastry, kafe, restoran, hotel, supermarket, katering & pertanian,” kata Agung.

Bagi mitra yang ingin memanfaatkan aplikasi Surplus, bisa mengunggah foto makanan berlebih atau imperfect produce yang akan dijual cepat melalui aplikasi Surplus Partner di jam tertentu sebelum jam tutup toko makanan/restoran tersebut.

Kemudian bagi pelanggan bisa menentukan pilihan makanan yang diinginkan melalui menu khusus. Selanjutnya makanan yang dipilih bisa diambil sendiri di restoran atau toko terkait, atau dapat memilih menggunakan pengiriman GoSend yang sudah terintegrasi eksklusif di aplikasi Surplus. Untuk pilihan pembayaran Surplus menyediakan opsi seperti Ovo, Gopay, dan Dana.

“Setiap transaksi di aplikasi Surplus, maka pihak pelanggan dan mitra telah berkontribusi untuk mendukung gerakan zero food waste karena telah menyelamatkan lingkungan dari ancaman food waste,” kata Agung.

Pandemi dan dan target Surplus

Meluncur saat pandemi bulan Maret 2020 lalu, ternyata cukup menyulitkan bagi Surpus untuk menjalankan bisnis. Pandemi membuat mitra yang sudah bergabung di awal menjadi tidak aktif dan kesulitan untuk mengakuisisi mitra untuk bergabung selama masa pandemi. Dampak lainnya adalah target pelanggan Surplus yaitu mahasiswa, pekerja kantoran hingga anak indekos menjadi sangat susah untuk diakuisisi, karena adanya kebijakan PSBB dan WFH serta belajar dari rumah.

“Namun setelah satu tahun Surplus bertahan di tengah pandemi, kami bisa membuat tren pertumbuhan positif dari segi transaksi dengan YoY sekitar 1500% (periode April 2020-April 2021). Diharapkan tren pertumbuhan positif ini tetap terjaga hingga berakhirnya pandemi,” kata Agung.

Tahun ini ada sejumlah target yang ingin dicapai oleh Surplus, di antaranya adalah dapat menjangkau 10.000 pengguna aktif dan menjangkau 1000 lebih mitra dan bergabung kepada zero food waste movement. Sehingga dapat mengurangi laju food waste sekitar 10-15% di area Jabodetabek, Bandung dan Yogyakarta di akhir tahun 2021.

“Kami juga sedang mempersiapkan penggalangan dana dalam bentuk crowdfunding melalui platform Kickstarter yang rencananya akan di-launching pada 1-2 bulan ke depan. Kami juga sangat terbuka kepada investor yang mempunyai visi-misi yang sama atau sedang mencari investasi kepada green startup atau perusahaan yang menghasilkan dampak sosial dan lingkungan,” kata Agung.

Menurut laporan ANGIN bertajuk “Investing in Impact in Indonesia”, pada tahun 2013 konsep investasi berdampak atau startup dengan pendekatan “hijau” atau ramah lingkungan, masih sangat jarang di Indonesia. Namun sekarang makin familiar karena mulai ada VC yang membuat fund khusus untuk investasi di sektor berdampak.

Ada sejumlah investor berdampak yang telah berinvestasi di Indonesia, baik itu pemain lokal dan asing. Beberapa telah memiliki tim representatif di Indonesia. Totalnya mencapai 66 investor, dengan rincian 61 dari fund luar negeri dan lima sisanya dari Indonesia.

Sementara itu, investor mainstream yang telah mengucurkan sejumlah dananya untuk sektor berdampak jumlahnya jauh lebih banyak, hampir dua kali lipatnya sebanyak 107 investor. Dengan rincian 32 investor lokal dan 75 investor dari luar negeri.

Application Information Will Show Up Here

Optimisme nafas Rambah Produk Air Purifier “aria”

Baik buruknya kualitas udara akibat polusi dan hal-hal eksternal lainnya, belum menjadi topik umum bagi sebagian besar orang Indonesia. Perjalanan dalam meningkatkan kesadaran ini masih begitu panjang, yang sekarang dititahkan kepada nafas, sebagai aplikasi penyedia data kualitas udara.

Sementara itu di sisi yang lain, dibutuhkan solusi sebagai aksi nyata untuk meningkatkan kualitas udara di sekitar. nafas pun merambah produk air purifier berbasis smart home dinamai “aria” yang sudah dibeli secara online di platform marketplace.

Kepada DailySocial, Co-Founder & CEO nafas Nathan Roestandy menjelaskan bahwa aria menjadi tindakan langsung terhadap peningkatan kualitas udara. Meski segmen ini sudah dihuni oleh banyak merek elektronik multinasional, aria cukup percaya diri dapat bersaing di lapangan karena memiliki proposisi yang unik.

Selama ini produk yang ada di pasaran belum memberikan pengalaman pengguna maksimal karena tidak memberikan umpan balik dari data-data kualitas udara yang ditarik dari ruangan pengguna. Pertanyaan-pertanyaan seperti, apakah air purifier tersebut apakah mampu meningkatkan kualitas udara di sekitar atau tidak, belum mampu dijawab oleh perangkat yang ada saat ini.

Sementara, aria memiliki sensor terhubung dengan nafas yang dapat dimanfaatkan untuk monitor kualitas udara di dalam ruangan adalah yang paling aktual. Sensor kualitas udara mendefinisikan AQI dan kadar PM2.5 yang dapat menjadi panduan aman buat aktivitas pengguna setiap hari.

“Secara product journey, kita bangun nafas dulu baru kurang lebih setahun kemudian aria kami rintis. Sebagian proses manufakturnya kami lakukan di Indonesia dan ada di luar negeri,” terang Nathan.

Aria memiliki dua produk, yakni AirTest untuk memonitor kualitas udara dan memastikan data kualitas udara di dalam ruangan adalah yang paling aktual karena terhubung dengan aplikasi nafas. Lalu, Pure40 yang mampu membersihkan polusi udara di ruangan dengan jangkauan 40 meter persegi (terluas di kategorinya). Pengguna dapat mengatur waktu kapan Pure40 akan dinyalakan serta dimatikan, atur hari dan juga kecepatan yang diinginkan untuk mendapatkan AQI melalui aplikasi nafas.

Kompetisi di pasar

Dalam menciptakan skala ekonomi, terjadi dilema bagi skala startup untuk bersaing dengan korporasi besar, agar dapat bersaing dari segi harga yang lebih terjangkau untuk konsumen. Oleh karenanya, meski saat ini harga aria terhitung lebih di atas harga pasaran, namun ada proposisi lainnya yang ditawarkan ke konsumen.

Nathan menjelaskan, nafas mengedepankan pengalaman akses data kualitas udara kepada lebih banyak pengguna. Ke depannya, perusahaan akan perbanyak lokasi sensor nafas ke kota-kota besar, seperti Bandung, Semarang, dan Medan dari posisi saat ini lebih dari 100 sensor tersebar di Jabodetabek dan Yogyakarta.

Peletakan sensor tersebut ke depannya juga tidak hanya di lokasi privat saja, juga akan masuk ke lokasi publik yang lebih terbuka. Dengan demikian, semakin banyak sensor yang tersebar, maka akan akurat data kualitas udara yang didapat. Lebih banyak pula inisiatif berikutnya yang dapat dilakukan berbekal data tersebut.

Salah satunya adalah lebih intensifnya interaksi antara kualitas udara di indoor dan outdoor dalam membaca kualitas udara. Pasalnya, buruknya kualitas udara terbesar datang dari luar ruangan. “Dengan nafas kita bisa coverage interaksi tersebut dengan analisa-analisa yang bisa lebih berguna untuk pengguna.”

Produksi aria juga ditargetkan lebih masif agar perusahaan dapat menciptakan skala ekonomis, sehingga lebih banyak orang yang mendapat akses dan awareness terhadap kualitas udara kian meningkat. “Tentunya kami ada rencana mengembangkan aria menjadi lebih mass karena dalam skala ekonomi pricing yang lebih ekonomis itu bisa didapat dari produksi skala besar. Itu salah satu dilema dari startup di bidang consumer electronic di awalnya bersaing dari segi harga.”

Meski enggan merinci, Nathan menerangkan saat ini nafas telah mengantongi investasi untuk pengembangan berikutnya dari sejumlah investor yang fokus pada ekonomi berkelanjutan.

Application Information Will Show Up Here