Skema “Project Financing” untuk Pengembang Game di Indonesia

Belum lama ini startup fintech yang fokus pada pembiayaan proyek (project financing) mengumumkan dukungannya untuk Touchten dalam pengembangan game bernama “Capsa Susun”. Game tersebut rencananya dirilis pada 31 Mei 2020 secara serentak untuk di Indonesia dan Vietnam melalui platform Hago; dan akan dipasarkan di seluruh Asia Tenggara.

Founder & CEO Likuid Projects Kenneth Tali mengatakan, mekanisme project financing untuk proyek game seperti ini menjadi pertama kalinya di Indonesia (dengan platform lokal). Menurutnya, pengembang game tanah air saat ini sebagian besar masih mengandalkan modal dari bootstrapping atau institusi saja.

Seperti diketahui sebelumnya, platform Likuid Projects memungkinkan masyarakat dapat turut berkontribusi pada pembiayaan sebuah proyek – atau dikenal dengan istilah crowdfunding. Model serupa sebenarnya sudah berjalan dengan cukup mulus di platform internasional seperti Kickstarter.

Dana total yang ditargetkan untuk proyek Touchten senilai 780 juta Rupiah. Hingga tulisan ini diterbitkan, sudah terkumpul sekitar 309 juta Rupiah dari 32 pemberi dana, atau yang disebut dengan “kolaborator”.

Co-Founder & CEO Touchten Rokimas Soeharyo mengungkapkan, “Permainan kartu Capsa Susun ini sudah tidak asing lagi bagi orang Indonesia dan juga masyarakat Vietnam, Malaysia, serta  Singapura. Oleh karena itu kami yakin untuk mengajak publik berkolaborasi di proyek ini dan mewujudkan mobile game asli buatan anak Indonesia ini.”

Mekanisme bagi hasil

Kampanye pembiayaan akan dibuka dalam waktu 60 hari atau dua bulan. Apabila dana yang ditargetkan tidak terkumpul, Likuid Projects akan mengembalikan 100% dana yang sudah masuk kepada kolaborator.  Adapun sumber revenue bagi kolaborator adalah 30% pendapatan Touchten dari in-app purchase dan pemasangan iklan.

Porsi ini kemudian setara dengan 15% imbal hasil pembiayaan per tahun. Kolaborator berhak mendapatkan revenue hingga satu tahun ke depan setelah kampanye pembiayaan ditutup, dengan periode pembagian revenue setiap tiga bulan sekali. Selain kesempatan ROI, para kolaborator juga akan mendapatkan konten eksklusif dan berbagai promo – menyesuaikan besaran investasi yang diberikan.

Dana yang terkumpul nantinya juga akan dialokasikan untuk 3 hal, yakni pengembangan game (10%), pemasaran (20%), dan iterasi pemeliharaan selama satu tahun (70%).

Pengembang game indie cukup akrab dengan konsep tersebut

Dari data yang dikumpulkan Imanitas Game, setidaknya dari tahun 2013 hingga awal tahun 2020 ini sudah ada sekitar 21 proyek game pengembang lokal yang didanai melalui crowdfunding, khususnya di Kickstarter (17) dan Indiegogo (4). Total dana yang dikumpulkan mencapai 7,1 miliar Rupiah dengan pendanaan tertinggi mencapai 860 juta Rupiah ditorehkan Semisoft melalui “Legrand Legacy” pada tahun 2017 lalu.

Jumlah proyek crowdfuniding yang dilakukan studio game lokal di Kickstarter dan Indiegogo / Imanitasgame
Jumlah proyek crowdfuniding yang dilakukan studio game lokal di Kickstarter dan Indiegogo / Imanitasgame

Model seperti ini memang menjadi angin segar, khususnya bagi para pengembang game indie, alih-alih model pendanaan melalui angel investor atau venture capital yang melibatkan entitas perusahaan secara penuh. Apalagi jika ada platform lokal, tentu akan jauh lebih memudahkan.

Namun pertanyaannya mungkin bakalan soal: “apakah penikmat game di Indonesia bisa mengapresiasi karya dengan cara itu?”, “apakah model investasi seperti ini bisa diterima di sini?”.

Kami menghubungi Everidea Interactive sebagai salah satu pengembang game lokal lulusan “Google Indie Games Accelerator 2018“. CEO Hendra Araji menyampaikan opininya, model project financing ini sangat cocok untuk validasi produk. Ketika pengembang memasang sebuah kampanye dengan “pitching” yang dibuat, pengguna akan mendapatkan akses awal dari game tersebut.

“Jadi memang yang utama tujuan utamanya, selain mendapatkan uang, adalah mendapatkan validasi pasar. Nah hasilnya udah di-build nih, pasar udah ada; mereka akan melakukan crowdfunding, nyumbang buat publisher buat mengembangkan game itu. Namun sejujurnya banyak pengembang yang emang punya problem mengenai dana yang dibutuhkan (ternyata lebih besar) ataupun bagaimana mengelola dana yang sudah didapat dari crowdfunding,” ujarnya.

Hendra mengungkapkan, di Indonesia sebenarnya sudah ada beberapa contoh sukses menggalang melalui platform crowdfunding. Namun satu tahun terakhir sudah lebih jarang studio yang melakukannya, menurutnya mereka mulai tertarik untuk galang investasi dari perusahaan (venture capital). Terkait adanya platform penggalangan dana lokal ia juga mengapresiasi, karena akan lebih mempermudah dari sisi pembayaran, pemberlakuan aturan (misal pajak), dan lain-lain.

“Sekarang kan industri game lagi naik banget karena pandemi ini, jadi seharusnya para platform crowdfunding lokal bisa melihat peluang ini. Menjadikan ini jadi kesempatan untuk bisa menjalin kerja sama dengan indie game developer. Terutama mungkin memang yang sudah terbukti itu kebanyakan indie game yang memang merilis gamenya untuk pasar luar negeri ya, dibandingkan pasar market Indonesia,” imbuh Hendra.

Juga dilakukan institusi ventura

Sebelumnya mekanisme project financing di Indonesia juga sudah berjalan untuk industri kreatif lain, salah satunya perfilman. Ideosource Entertainment menjadi salah satu pemodal ventura yang sudah mempraktikkan skema tersebut. Kebetulan Ideosource juga merupakan salah satu investor di balik Touchten.

Kepada DailySocial, Managing Partner Ideosource Andi Boediman berpendapat, model tersebut sangat mungkin direplikasi untuk pembiayaan proyek game di Indonesia. Karena model bisnisnya hampir serupa dengan konten kreatif lain seperti film. Pihaknya pun mengaku, punya ketertarikan untuk berinvestasi ke berbagai proyek-proyek game. Rencana ini paling cepat direalisasikan tahun depan, menanti pandemi Covid-19 berlalu.

Gayo Capital’s First Move as Ideosource’s New Venture Entity

After the new unit, Ideosource Entertainment, created to accommodate investment in a specific industry, Ideosource plans to target another business coverage. The company has officially announced a new entity named Gayo Capital, in charge of Ideosource Green Initiative.

Gayo Capital’s Co-Founder & Managing Director, Edward Ismawan Chamdani told DailySocial that the new venture has its own managed fund consists of “strategic investors” as Gayo Capital’s partner; later, there will be other funds as the investment thesis developed.

“Gayo was formed in early 2020, in fact, the idea and research have been brewed for 2.5 years,” Chamdani said.

Gayo Capital also has Ishara Yusdian to lead along Chamdani, both are fully responsible for the operation and execution of the defined roadmap. While Jefri Sirait and Andi S. Boediman acted as advisors.

Gayo Capital investment approach

The investment approach is quite unique, they’re focus on two things. First, Gayo targets companies that are working on a large traditional/conventional market share, for example in the agricultural, logistics, retail, supply chain, and others. However, they ensure that technology can be components of disruption. Ideosource’s experience is expected to improve the process of digital transformation in order to improve business.

Second, the founder sees fund pattern in venture capital does not match the investment thesis in conventional companies. There should be a breakthrough in order to connect. Therefore, an operating holding is formed, combining the “venture debt” model. It allows companies to obtain a “working capital” kind of funding, comes with intensive equity; in financial terminology, it is called “quasi-equity”.

“However, this pattern is to be combined with the venture capital model, in general, using a closed-ended fund structure, particularly for our investment in pure-tech companies,” Chamdani continued. “We basically expect to form a ‘reversed conglomeration’, where the companies we help and invest in are able to innovate and put a breakthrough in their respective sectors and make changes to the bottom-up business patterns.”

In addition to capital assistance, as an operating holding, Ideosource expects to play a role in providing direction, opening networks, providing access to capital, and forming inter-company synergies.

“Gayo Capital as an operating holding company has invested in several companies such as Inacom, PT Petani Kakao Lampung, WLabku, Hydro Retailindo, Foom.id, and several other portfolios in the ongoing process of mentorship and initial investment,” Chamdani said.

Optimizing business potential in Indonesia

In particular, Chamdani also told the reason behind Gayo Capital’s focus on business in Indonesia. There are quite principal reasons; He told an example, most of the agricultural sectors, such as coconut, cocoa, pepper, and others are managed by regular farmers. However, there is no disruption in terms of the supply chain that provides efficiency in the buying and selling, export-import, and product innovation processes.

“While we know that Indonesia’s strongest demographics in the world for this sector and archipelago land have indeed been the target of the entire world since the colonial era, it’s time for innovation to grow not from the top-down course, we hope the bottom-up can be more and more bold,” explained Edward.

Gayo through its social foundations will also penetrate the farmer-specialize education sector with a specific curriculum according to their managed land; currently under discussion with the stakeholders to be involved.

Investment amid pandemic

Debuting amid a crisis caused by the pandemic didn’t wash off the spirit of Gayo Capital’s founders. Edward and his team believe that timing as one of the key components along with strategy, roadmap, team, and capital.

“In every crisis, there will be a greater opportunity, just as the ball we press into the water will bounce higher and faster when released,” Chamdani shared a parable. “Every week we’ll be contacted by 1 to 3 Asian and American financial companies wanted to dig more on Gayo Capital, and we believe that we’re working in the right sector.”

We’ve come into anticipation of the “new normal” situation. Edward also said the shaded sectors are now increasingly focused on transparency. That is because each party is getting more literate on technology, creating technological opportunities to be elaborated.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Gayo Capital Debut sebagai Entitas Ventura Baru dari Ideosource

Setelah Ideosource Entertainment sebagai anak unit ventura yang mengakomodasi investasi di bisnis hiburan, Ideosource kembali memperlebar cakupan bisnisnya. Kali ini dengan meresmikan entitas baru bernama “Gayo Capital”, menaungi Ideosource Green Initiative.

Kepada DailySocial, Co-Founder & Managing Director Gayo Capital Edward Ismawan Chamdani menyampaikan, perusahaan ventura baru ini telah memiliki dana kelolaan sendiri, terdiri dari “strategic investor” yang menjadi partner di Gayo Capital; dan ke depannya juga akan ada “fund” sesuai perkembangan tesis investasi yang dikembangkan.

“Gayo dibentuk secara formal awal tahun 2020 ini, namun cikal bakal ide dan riset sudah kita lakukan sejak 2,5 tahun yang lalu,” ujar Edward.

Selain Edward, Gayo Capital dipimpin oleh Ishara Yusdian, keduanya bertanggung jawab penuh pada operasional dan eksekusi roadmap yang sudah didefinisikan. Sedangkan Jefri Sirait dan Andi S. Boediman bertindak sebagai advisor.

Pendekatan investasi Gayo Capital

Pendekatan investasi yang dilakukan cukup unik, fokusnya ada pada dua hal. Pertama, Gayo menargetkan perusahaan yang menggarap pangsa pasar tradisional/konvensional yang sudah besar, misalnya di lanskap pertanian, logistik, ritel, supply chain, dan lainnya. Namun, mereka memastikan bahwa nuansa teknologi dapat menjadi komponen disrupsi. Pengalaman Ideosource diharapkan dapat meningkatkan proses transformasi digital tersebut dalam rangka meningkatkan bisnis.

Kedua, founder melihat pola struktur fund di modal ventura tidak cocok dengan tesis investasi di perusahaan konvensional. Perlu adanya terobosan untuk menjembatani. Maka dari itu dibentuk operating holding, mengombinasikan model “venture debt”. Memungkinkan perusahaan mendapatkan pendanaan yang bersifat modal kerja, namun tetap dengan intensif ekuitas; dalam terminologi finansial disebut “quasi-equity”.

“Namun pola ini setelah berkembang tetap akan kami kombinasikan dengan model venture capital umumnya dengan struktur fund yang close-ended juga, khususnya untuk investasi kami ke perusahaan yang pure-tech,” lanjut Edward. “Yang kami harapkan pada dasarnya membentuk ‘reversed conglomeration’, di mana perusahaan-perusahaan yang kami bantu dan investasikan mampu melakukan inovasi dan terobosan di sektor masing-masing dan membuat perubahan pola bisnis yang sifatnya bottom-up.”

Sehingga selain memberikan bantuan modal, diharapkan sebagai operating holding Ideosource dapat berperan memberikan arahan, membuka jaringan, memberikan akses ke kapital, dan membentuk sinergi antar-perusahaan.

“Gayo Capital sebagai operating holding company sudah memiliki investasi di beberapa perusahaan seperti Inacom, PT Petani Kakao Lampung, WLabku, Hydro Retailindo, Foom.id; dan ada beberapa portfolio lainnya yang sedang dalam proses mentorship dan investasi awal,” kata Edward.

Optimalkan potensi bisnis di Indonesia

Secara khusus Edward juga menceritakan mengapa Gayo Capital difokuskan untuk bisnis di Indonesia. Ada alasan yang cukup prinsipil; ia mencontohkan, sektor pertanian kelapa, kakao, lada, dan lainnya sebagian besar masih dikelola petani rakyat. Namun belum ada disrupsi di sisi supply chain yang memberikan efisiensi pada proses jual-beli, ekspor-impor, hingga inovasi produk.

“Sedangkan kita tahu demografi Indonesia terkuat di dunia untuk sektor ini dan lahan archipelago memang sudah menjadi incaran seluruh dunia sejak jaman penjajahan, sudah waktunya inovasi tumbuh bukan dari top-down saja, kita harapkan bottom-up bisa makin banyak dan berani melangkah,” terang Edward.

Gayo melalui yayasan sosialnya juga akan masuk ke sektor pendidikan khusus petani dengan kurikulum yang spesifik sesuai tanah kelolaan mereka; saat ini tengah dalam tahap diskusi dengan para stakeholder yang akan terlibat.

Investasi di tengah pandemi

Debut dibarengi dengan krisis yang disebabkan karena pandemi tidak membuat semangat pendiri Gayo Capital luntur. Bagi Edward dan tim, timing menjadi salah satu komponen kunci dibarengi dengan strategi, roadmap, tim, dan kapital untuk dieksekusi pada waktunya

“Di setiap krisis pasti ada peluang yang makin besar, sama seperti bola yang kita tekan ke dalam air akan melambung makin tinggi dan cepat pada saat di lepas,” ungkap Edward memberikan perumpamaan. “Dalam setiap minggunya kami di hubungi 1 sampai 3 perusahaan finansial Asia maupun Amerika yang tertarik mengenal Gayo Capital lebih dalam, jadi kami melihat sektor yang kami garap memang sudah tepat.”

Perubahan yang akan menjadi “new normal” juga sudah mulai diantisipasi. Edward turut melihat, sektor-sektor yang dinaungi juga makin memfokuskan pada transparansi. Hal itu dikarenakan setiap pihak makin melek teknologi, sehingga peluang teknologi untuk bisa dielaborasikan di dalamnya.

Pendanaan yang Masih Seret Jadi Ironi Pengembang Game Lokal

Lebih dari dua tahun lalu kami membuat laporan mengenai kesulitan industri game lokal memperoleh modal. Kali ini kami berbicara dengan sejumlah pengembang game dan investor untuk mencari menengok kembali perkembangan ekosistem game Indonesia.

Belum lama ini judul game Coffee Talk dan DreadOut 2 menghiasi majalah Tempo. Keduanya disorot karena dianggap berhasil memikat banyak pelanggan dari luar negeri. Coffee Talk yang dipasarkan via Steam disebut 99% pembelinya berasal dari luar negeri, sementara DreadOut 2 disebut paling banyak laku dikonsumsi pembeli Tiongkok.

Tangkapan gambar DreadOut 2.
Tangkapan gambar DreadOut 2.

Namun di balik pencapaian itu, masih ada tantangan yang belum sepenuhnya terpecahkan–tak hanya oleh Digital Happiness dan Toge Productions, tapi juga seluruh ekosistem pengembangan game itu, yakni pendanaan. Digital Happiness yang membesut DreadOut 2 mengandalkan hasil penjualan game sebelumnya untuk memproduksi karya terbarunya. Toge Productions yang melahirkan Coffee Talk mengaku meski game teranyar mereka laku di pasaran, kenyataannya pengembang game masih sulit menggaet investor.

CEO & Founder Toge Productions Kris Antoni Hadiputra Nurwowo mengatakan, pengembangan game memang memakan biaya yang tak sedikit. Bahkan Kris juga mengatakan bisnis ini berisiko tinggi. Dengan kompetisi ketat di pasar lokal dan internasional, mereka dituntut untuk terus menghasilkan game berkualitas agar bisa menarik minat investor ataupun sumber pendanaan lain.

“Jujur saja pencapaian pengembang game lokal masih belum seberapa jika dibandingkan dengan game developer indie internasional lainnya. Kebanyakan game developer Indonesia juga tidak memiliki pengalaman ataupun network ke publisher atau investor game internasional,” ujar Kris.

Tangkapan gambar dari Coffee Talk
Tangkapan gambar dari Coffee Talk

Investor masih belum melirik

Kris melanjutkan bahwa cara kerja investor dalam negeri, khususnya perusahaan modal ventura tidak selaras dengan cara kerja ekosistem pengembang game lokal. Ia berpendapat sistem penanaman modal yang dilakukan oleh VC tidak cocok dengan kebutuhan studio game.

“Apalagi di mata kebanyakan VC di Indonesia tidak mengerti industri game dan memiliki lebih banyak lahan lain yang lebih hijau,” imbuh Kris.

CEO & Founder Digital Happiness Rachmad Imron membenarkan bahwa industri game memiliki risiko yang tinggi dan itu yang menurutnya membuat investor lokal enggan menanamkan uangnya ke pengembang game. Persoalan ini baginya wajar karena ekosistem lokal masih dalam tahap mengejar ketertinggalan dari aspek bisnis maupun teknis.

“Tidak banyak pemodal lokal yang mau berisiko untuk berinvestasi dalam skala panjang lebih dari 5 tahun untuk pengembangan satu produk, misalnya mereka lebih prefer ke skala kecil kurang dari 1-2 tahun maksimal misalnya,” ungkap Imron.

Hingga saat ini jumlah institusi keuangan yang berani menyuntikkan modal ke pengembang game masih sedikit. Pemodal ventura yang masuk ke sektor ini jumlahnya masih bisa dihitung dengan jari, semisal Ideosource, Maloekoe Ventures, dan Digital Nusantara Capital (DNC). Pemerintah sebetulnya juga punya peran meski tak begitu besar. Hal ini tercermin dari kebijakan Bekraf yang memasukkan pengembangan game sebagai subsektor yang berhak memperoleh hibah Bantuan Insentif Pemerintah (BIP). Namun bantuan dari Bekraf ini bersifat terbatas dan sementara.

Managing Director Ideosource Andi S. Budiman menyebut metode pengumpulan dana oleh pengembang game masih sebatas dengan model ekuitas saja. Padahal menurut Andi masih ada metode lain seperti yang ia lakukan di industri film yakni dengan model financing per judul film.

Dalam kondisi demikian, Andi mengatakan hingga sekarang investor belum ada yang berminat terjun ke industri game. “Ada dua hal, pengembang belum biasa melakukan fundraise seperti film dan industri game belum banyak dipahami oleh investor,” tukasnya.

Butuh waktu

Komparasi pendanaan untuk industri film juga dipakai Imron. Menurutnya baik industri game maupun film sama-sama punya risiko tinggi dan potensi untung yang besar. Hanya saja waktu produksi film yang relatif lebih singkat menjadikannya lebih menarik bagi investor karena itu artinya perputaran uang mereka lebih cepat.

Namun ia optimis jika ekosistem pengembangan game di Indonesia kian matang, faktor-faktor tak menentu yang menyulitkan pengembang meraih pendanaan akan terkikis seperti halnya yang terjadi di industri film. Sumber optimisme Imron beranjak dari peningkatan jumlah pembeli DreadOut 2 dari Indonesia serta penerimaan yang menjanjikan di pasar internasional.

“Lima tahun lalu user Indonesia untuk DreadOut di peringkat belasan,” pungkas Imron.

Melihat kiprah pengembang lokal, seperti Digital Happiness dan Toge Productions, tak berlebihan menilai kualitas game buatan lokal terus meningkat seiring waktu berjalan. Meski begitu, bisa dikatakan belum ada kemajuan berarti bagi aspek pendanaan di industri pengembangan game lokal. Baik pengembang maupun investor masih mencari titik pertemuan yang cocok soal pendanaan.

Bagaimana “Venture Debt” Membantu Startup Indonesia

Kini sangat lumrah jika startup mendapatkan pendanaan dari modal ventura melalui pendanaan ekuitas (equity financing). Founder menjual sebagian saham setelah dihitung valuasinya oleh investor untuk mendapatkan dana yang mendukung pengembangan bisnis.

Nilai minus dari pendanaan ekuitas adalah potensi kepemilikan founder yang semakin terdelusi bila sering menggalang pendanaan. Alih-alih bisa mengontrol perusahaan, founder harus rela untuk dikontrol para investor yang telah menguasai saham mayoritas. Bila kinerja tidak sesuai ekspektasi, ia siap-siap harus didepak.

Sebenarnya ada metode lain untuk mendapatkan pendanaan, dan telah diatur OJK, yakni bagi hasil dan obligasi konversi.

Di luar negeri dengan ekosistem perusahaan teknologi sudah dewasa, seperti Amerika Serikat, Eropa, bahkan India, sebenarnya lebih awal dikenal konsep venture debt (utang ventura). Kehadirannya disebabkan kebutuhan pasar pada saat itu.

Cara kerjanya kurang lebih mirip dengan pembiayaan dari bank. Founder mendapat kredit dan harus dikembalikan dengan tenor dan kupon yang sudah disepakati berdasarkan profil risiko perusahaan.

Sejumlah perusahaan teknologi penting pernah terbantu lewat venture debt, seperti Airbnb dan Uber. Sebetulnya, apa itu venture debt? Lalu seperti apa potensinya buat startup Indonesia?

Mengenal venture debt

DailySocial meminta pandangan secara umum mengenai venture debt dari MDI Ventures yang diwakili Kenneth Li dan Aldi Adrian. Aldi menjelaskan venture debt umumnya masuk berbarengan dengan pendanaan ekuitas. Sangat riskan buat firma venture debt masuk sendiri.

Dengan demikian, founder akan memiliki runway yang lebih panjang untuk ekspansi bisnis tanpa sahamnya banyak terdelusi. Dia mencontohkan, ketika startup X ingin menggalang pendanaan dengan hitungan valuasi hanya bisa dapat sekitar $5 juta-$10 juta.

Tapi dengan tambahan venture debt, ada tambahan $5 juta untuk dikembalikan dalam satu atau dua tahun, artinya startup tersebut akan punya landasan lebih panjang. “Ada ekspektasi dari performa dan traksi startup bisa jauh lebih tinggi valuasinya tanpa harus galang dana lagi di tengah jalan.”

Kombinasi antara dana yang masuk, berupa ekuitas dan venture debt, akan membuat founder jadi lebih nyaman karena mereka tidak harus melepas saham lebih banyak. Mereka tetap akan mengontrol perusahaan.

“Jika founder tidak mau give up equity, bisa ambil venture debt karena kan kalau sudah kasih equity tidak bisa diambil lagi, beda dengan venture debt,” tambah Kenneth.

Aldi melanjutkan, kecenderungan venture debt itu dana digunakan untuk modal kerja, bukan untuk disalurkan lagi sebagai disbursement, atau disebut loan channeling, kendati metode ini sebenarnya juga bisa dipakai venture debt.

Umumnya venture debt masuk berbarengan dengan equity financing / DailySocial
Umumnya venture debt masuk berbarengan dengan equity financing / DailySocial

Pernyataan ini sekaligus meluruskan debt financing (pembiayaan utang) yang didapat Kredivo. Startup fintech lending ini memperoleh debt financing dari firma venture debt Partners for Growth (PFG) sebesar $20 juta. Dana sepenuhnya disalurkan lagi sebagai pinjaman ke konsumen melalui lini produk Kredivo.

Kredivo memisahkan kantong pendanaan bisnis menjadi dua. Pertama adalah pendanaan ekuitas dari VC untuk membiayai seluruh pengeluaran operasional dan mendukung pertumbuhan perusahaan.

“Yang kedua yaitu pendanaan lini kredit (debt line) yang berasal dari institusi keuangan seperti bank atau firma pembiayaan seperti PFG. Kami gunakan sepenuhnya untuk penyaluran pinjaman kepada konsumen melalui beberapa lini produk pembiayaan: e-commerce, pinjaman tunai, dan offline,” ujar Head of Marketing Kredivo Indina Andamari.

Dia beralasan, pemisahan ini sebatas praktik bisnis dan pengelolaan dana yang dianggap sehat bagi pertumbuhan dan keberlanjutan perusahaan. “Kami akan terus menerapkan ini untuk seterusnya. Keduanya sangat krusial bagi bisnis kami.”

Venture debt ini tidak jauh berbeda dengan pembiayaan dari bank. Ada tenor dan kupon yang secara bulanan harus rutin dibayar startup. Perkiraan tenor cukup pendek, ada yang satu sampai dua tahun.

Namun, menurut Kenneth, kupon bisa dipastikan lebih rendah dari bank karena umumnya investor menawarkan opsi waran (warrant). Utang tersebut bisa dikonversi menjadi saham menjelang jatuh tempo atau saat startup menggalang pendanaan baru.

Ada investor yang menjadikan waran sebagai opsi, tapi ada juga yang dikunci pasti jadi saham. Itu kembali ke kewenangan masing-masing. Opsi waran inilah poin utama yang membedakan venture debt dengan convertible notes. Convertible notes pasti dikonversi menjadi saham.

“Kalau ternyata di tengah jalan startup-nya kurang menarik bila dikonversi, akhirnya tinggal balikin seperti biasa saja uangnya tiap bulan.”

Tidak ada ketentuan nominal dalam venture debt. Jadi tidak ada istilah Seri A, B, dan seterusnya. Besaran dana akan diberikan sesuai kebutuhan startup, tentunya setelah investor mengukur profil risikonya.

Pemain venture debt ini, sebenarnya tidak hanya datang dari firma venture debt. Bank juga turut berpartisipasi. Di Amerika Serikat, Silicon Valley Bank (SVB) disebut-sebut sebagai pionirnya. Selain itu ada juga Comerica Bank, Bridge Bank, Pacific Western Bank, dan Square 1 Bank.

Sementara itu, yang berasal dari firma adalah Western Technology Investment (WTI), Triplepoint Capital, Hercules Technology, Lighthouse Capital, Pinnacle Ventures, Horizon Ventures, dan masih banyak lagi.

Di Asia Tenggara, ada Genesis Alternative Ventures, InnoVen Capital, dan DBS yang semuanya beroperasi di Singapura.

Perbedaan tingkat toleransi risiko investasi dari tiap investor / DailySocial
Perbedaan tingkat toleransi risiko investasi dari tiap investor / DailySocial

Perbedaan antara keduanya adalah profil risiko dan pengembalian masing-masing. Bank selalu menjadi investor dengan bentuk pembiayaan termurah, tapi jarang mengambil risiko yang signifikan. Kerugian terbesar yang mereka estimasi hanya 1%-1,5% dari tiap portofolio.

Bagi firma venture debt, term sheet mereka sering disamakan dengan bank, tapi ini dianggap kurang tepat. Mereka ini lebih dikategorikan sebagai versi hibrida antara pembiayaan bank dan VC.

Sumber dana para firma bermacam-macam, termasuk mengambil dari bank, seperti halnya Partners for Growth, salah satu mitra strategis SVB.

InnoVen sendiri sebelumnya bernama SVB India Finance, yang merupakan bagian dari SVB. Ia beroperasi sejak 2008 dan tercatat mengucurkan lebih dari 75 pinjaman ke 50 perusahaan di India senilai $110 juta per tahun 2015. SVB India dibeli Temasek Holdings di 2015, sekaligus menandakan masuknya Temasek ke pasar venture debt.

Perkembangan venture debt secara global

Pangsa pasar venture debt dan venture capital di AS / DailySocial
Pangsa pasar venture debt dan venture capital di AS / DailySocial

Ada survei menarik yang dirilis Kruze Consulting (Agustus 2019). Mereka memaparkan, 85% responden yang mewakili pasar venture debt di Amerika Serikat menyatakan telah menyalurkan $23 miliar pinjaman (Rp325,7 triliun) secara akumulatif selama tiga tahun terakhir.

Diestimasi tahun ini saja penyalurannya menjadi $10 miliar (Rp141,6 triliun)  atau tumbuh 20% dari pencapaian di 2018.

Di India, meski tidak sebesar Negeri Paman Sam, perkembangan venture debt cukup pesat sesuai dengan kondisi startup di sana. Kehadiran firma seperti InnoVen Capita, Trifecta Capital, Alteria Capital, dan investor individu seperti Sachin Bansal dan Binny Bansal (Co-Founder Flipkart) turut berkontribusi meramaikan pasar ini.

Menurut riset YourStory Research, venture debt yang tersalurkan di India tahun 2017 adalah $1,2 miliar (Rp16,9 triliun) dengan 47 pinjaman. Tahun berikutnya naik jadi $1,4 miliar (Rp19,8 triliun) dengan 62 pinjaman. Lalu pada tujuh bulan pertama di 2019 ini, jumlahnya mencapai $547 juta (Rp7,7 triliun) dengan 35 pinjaman.

Nama-nama startup yang mengambil venture debt di antaranya Ninjacar, Bigbasket, UrbanLadder, Bounce, dan Oyo. Yang terakhir ini sudah berekspansi ke Indonesia.

Venture debt yang berhasil tergantung pada pendanaan ekuitas. Yang punya banyak pemainnya di India. Dana VC yang fokus di sini cukup kering, ada $3-$4 miliar pada satu titik, akan masuk pada dua sampai tiga tahun ke depan. Bagi venture debt, yang penting startup harus tetap punya kinerja baik agar terus menarik modal, di mana itu sudah tersedia,” ucap Managing Partner Alteria Capital Vinod Murali.

Sementara itu, di Asia Tenggara tepatnya di Singapura, venture debt baru ramai sejak 2015 pasca Temasek mengambil SVB India Finance dan di-rebrand menjadi InnoVen Capital. Mereka beroperasi di tiga negara, India, Tiongkok, dan Asia Tenggara. Sebanyak 190 pinjaman telah mereka kucurkan untuk 170 perusahaan.

Rinciannya, 26 startup di Tiongkok, 24 startup di Asia Tenggara, dan lebih dari 100 startup di India. Di Asia Tenggara, InnoVen telah berinvestasi untuk Pomelo, Face, Tabsquare, Akulaku, Kargo, RedDoorz, Sorabel, Sepulsa (rebrand jadi Alterra), Wego, Tada, Zuzu, dan lainnya.

Sementara Genesis Alternative Ventures, yang berdiri pada 2018, diprakarsai konglomerasi Sasson Investment Corporation dan Bank CIMB Niaga untuk mendukung debut Genesis di Indonesia.

Bagaimana dengan Indonesia? Apakah potensinya sama seperti negara lain?

Kepada DailySocial, Co-Founder and Partner Genesis Martin Tang mengatakan, “Kami melihat founder startup Indonesia sangat savvy dan mulai sadar perlunya mempertahankan saham mereka selama mungkin. Venture debt adalah sumber modal yang dapat membantu startup perpanjang runway atau mendanai modal kerja dengan dilusi ekuitas yang lebih rendah.”

Dia melanjutkan, di luar Indonesia, venture debt lebih banyak digunakan karena ketersediaan yang lebih luas. Genesis secara aktif mulai mendanai startup lokal bersama Bank CIMB Niaga, sekaligus menandai debutnya di sini.

Untuk komitmen awal, kedua belah pihak bersama menyiapkan dana venture debt sebesar Rp300 miliar untuk disalurkan. Martin masih enggan membeberkan nama-nama startup yang akan menerima kucuran dana. Dia hanya menyebutkan ada beberapa yang sudah dalam pipeline.

“Kami memandang market startup Indonesia sangat menarik, terlihat dari banyaknya pengusaha lokal yang berkualitas tinggi dengan populasi yang besar untuk dilayani.”

Associate Director InnoVen Capital Paul Ong menambahkan, venture debt punya korelasi erat dengan jumlah investasi yang mengalir ke negara manapun. Di Indonesia sendiri, ekosistem startup telah tumbuh dan matang dalam lima tahun terakhir.

“Dengan semakin banyak founder berada di titik sukses, mereka mulai sadar akan mengurangi kepemilikan saham untuk melindungi kekayaan pribadi. Venture debt bisa bantu itu dengan menyediakan dana yang lebih murah dan less dilutive buat perusahaan mempercepat pertumbuhan.”

Paul mengonfirmasi bahwa InnoVen belum melakukan debut di Indonesia, apalagi menyediakan dana khusus. Pihaknya baru menyediakan pendanaan untuk startup melalui entitasnya di Singapura.

Untung rugi buat startup dan investor

Konsep pendanaan ini terdengar memang menarik karena founder tetap bisa menjaga sahamnya tidak terdilusi. Dikutip dari laman Kauffman Fellows, modal tambahan yang diberikan lewat venture debt memungkinkan startup untuk mencapai lebih banyak kemajuan sebelum menuju pendanaan berikutnya atau meningkatkan kepastian untuk pencapaian tertentu, sambil meminimalkan dilusi yang akan terjadi dengan mengamankan modal tambahan pada putaran sebelumnya.

Contoh nyatanya, sebuah startup SaaS menerima venture debt sebesar $1,25 juta untuk meningkatkan angka penjualan. Ongkos dari pembiayaan ini adalah $250 ribu dalam bentuk bunga dan waran yang mewakili 0,79% saham perusahaan.

Jika mencari pendanaan ekuitas pada putaran ini, founder harus merelakan 10,7% saham dimiliki investor baru dengan nilai yang sama. Dengan venture debt ini, founder dapat menghemat saham yang signifikan hampir 10%. 22 bulan setelah pembiayaan, perusahaan dibeli dengan kelipatan signifikan dari valuasi terakhir.

Bagi founder, mempertahankan kontrolnya terhadap perusahaan bukan hanya tentang memaksimalkan kekuasaan, melainkan pada cara mempertahankan kontrol atas strategi dan operasi. Saham itu sangat berharga. Menyerahkannya untuk memenuhi peluang jangka pendek, padahal bisa didanai lewat utang, belum tentu menjadi cara terbaik dalam menjalankan bisnis.

Pertimbangan yang harus diperhatikan sebelum mengambil pendanaan venture debt / DailySocial
Pertimbangan yang harus diperhatikan sebelum mengambil pendanaan venture debt / DailySocial

Di sisi lain, tidak semua startup tepat untuk memilih venture debt sebagai alternatif yang bisa dipilih. Meski kontradiktif, tapi inilah charm dari venture debt. Membatasi startup adalah salah satu cara investor mitigasi risiko.

Aldi menerangkan, startup yang biasanya dibidik investor venture debt adalah mereka yang sudah arus kas stabil, sudah mulai monetisasi, dan minimal sudah pernah menerima pendanaan Seri A. Bicara target konsumen, investor lebih suka yang bergerak di B2B untuk mendukung poin-poin di atas.

“Di Indonesia itu kebanyakan bergerak direct ke B2C, jadi untuk track monthly cashflow-nya agak challenging. Makanya investor itu lebih prefer ke B2B karena clear cari yang cashflow-nya jelas. Sehingga tidak ada spesifikasi bergerak di industri mana, tapi lebih ke cashflow-nya harus jelas.”

Venture debt kurang cocok apabila startup tersebut sering bakar uang, punya revenue stream bervariasi, tujuan penggunaan dana tidak jelas, dan pembayaran utang mencakup lebih dari 25% dari biaya operasional.

“Jangan sampai terima uang tapi enggak bisa balikinnya. Makanya ini lebih tepat buat startup yang sudah mature dan proven model bisnisnya. Bukan buat startup yang masih cari-cari model bisnis.”

Venture debt juga dapat menciptakan masalah di putaran ekuitas berikutnya. Investor baru harus setuju untuk membayar utang atau berinvestasi di bawah utang sebagai pilihan keduanya. Kedua situasi ini akan sulit diterima oleh investor baru karena umumnya mereka lebih sreg melihat modal yang disuntikkan langsung masuk ke perusahaan.

Segala kekurangan dan kelebihan ini seharusnya menjadi bahan pertimbangan buat startup ketika ingin mengambil cara ini. Kenneth menyebut, tren venture debt ini masih sangat awal di Indonesia, sehingga bisa dikatakan belum banyak yang paham. Pemainnya yang terlihat jelas juga baru Genesis Alt Ventures bersama Bank CIMB Niaga.

“Di Asia Tenggara saja ini masih jadi challenging, apalagi di Indonesia. Akan tetapi mungkin ke depannya venture debt ini bakal punya porsi sendiri.”

Aldi ikut menimpali, “Mungkin sebenarnya investor sudah mengincar Indonesia tapi belum berani agresif karena opportunity-nya belum banyak yang sesuai dengan appetite mereka.”

Pernyataan Aldi dan Kenneth diperkuat Paul dan Martin. Paul menjelaskan, ada metrik yang dipakai dalam menyasar startup baru, di antaranya adalah bagaimana peluang pasarnya, keunggulan utama perusahaan, dan tim yang solid.

Selain itu, mereka juga melihat berapa banyak modal ekuitas yang telah dikumpulkan startup dan siapa saja investornya. “Kami agnostik secara sektor dan tahap [pendanaan], namun kami biasanya memberikan pinjaman kepada startup yang telah meningkatkan modal ekuitas dari investor institusional atau VC.”

Setelah startup menerima dana, InnoVen tidak mengatur bagaimana uang tersebut digunakan. Meskipun demikian peruntukkannya harus jelas, misalnya untuk belanja pemasaran, membuka kantor baru, mengembangkan produk, modal kerja, membeli lebih banyak inventaris, atau membuka gerai apabila mereka bergerak di bisnis brick and mortar.

Sepanjang perjalanan InnoVen, Paul mengklaim bahwa InnoVen berhasil menekan risiko gagal bayar (default rate) nol persen di Asia Tenggara. Kinerja ini akan tetap dipertahankan, setidaknya ditekan sampai di bawah 4% untuk jangka panjangnya.

“Perusahaan portofolio kami yang telah mampu bayar kembali pinjaman, kini terus tumbuh dalam langkah yang sehat dan terus menarik modal investasi baru.”

Genesis juga tidak berbeda. Martin mencari startup yang telah mendapat pendanaan setidaknya Seri A ke atas dengan proposisi bisnis yang nyata menuju keberlanjutan. Di samping itu, startup juga perlu memiliki unit economics yang kuat dan basis konsumen loyal untuk beli produk premiumnya, ini membuktikan ada margin kotor masuk ke pundi-pundi.

“Kami juga mencari startup yang memiliki strategi ‘bakar duit’ yang terkendali, sepadan dengan pertumbuhan dan margin kotor.”

Poin-poin di atas sangat ia tekankan sebagai faktor penentu kesuksesan buat firma venture debt saat menyalurkan dana.

Oleh karena itu, sebelum memilih opsi ini, Martin menyarankan agar founder memahami strategi ‘bakar uang’ mereka, siklus modal kerja, dan model bisnis, untuk memutuskan apakah memiliki utang akan membantu atau justru menghambat mereka.

Leverage (penggunaan aset dan sumber dana/source of funds) akan selalu baik jika digunakan dengan benar. Namun, ini atas dasar bahwa perusahaan dapat memenuhi kewajiban utangnya,” tutur Martin.

Dalam mencari partner venture debt yang tepat, Paul mendorong founder untuk selalu bekerja dengan investor yang kredibel, punya pengalaman, dan selaras dengan rencana bisnis perusahaan. Tujuannya untuk memastikan bahwa perusahaan bisa tetap mengatur utang mereka secara optimal dan tidak melebihi dari yang seharusnya.

“Meski kami tidak memiliki fund life, kami mampu mendukung portofolio perusahaan kami dengan berbagai pinjaman pada berbagai tahap penggalangan dana, seiring perusahaan tersebut tumbuh.”

Debut venture debt di Indonesia

Sebenarnya di antara portofolio InnoVen di Asia Tenggara sudah muncul sejumlah startup Indonesia yang memanfaatkan dana utang ventura ini, seperti Akulaku, Alterra (dulu Sepulsa), RedDoorz, dan Sorabel.

Selain itu UangTeman di tahun 2017 mengumpulkan dana Seri A senilai $12 juta dalam bentuk utang dan ekuitas yang dipimpin K2 Venture Capital.

Perbandingan dasar antara venture debt dengan venture capital / DailySocial
Perbandingan dasar antara venture debt dengan venture capital / DailySocial

DailySocial sudah berusaha untuk menghubungi Bank CIMB Niaga untuk menanyakan detail strategi mereka bawa masuk venture debt di Indonesia. Belum ada jawaban yang diberikan hingga tulisan ini dimuat.

Sebelumnya, saat peresmian nota kesepahaman dengan Genesis, Presiden Direktur CIMB Niaga Tigor M. Siahaan menjelaskan inisiatif terjun ke venture debt karena ingin mengisi kekosongan pendanaan di startup. Bahwa selain equity financing, startup juga butuh loan financing.

“Sebenarnya sasarannya mungkin startup yang sudah berjalan satu hingga dua tahun, namun sulit berkembang karena sulit dapat pendanaan,” katanya.

Segmen startup yang dibidik, tidak melulu berkaitan dengan startup yang bergerak di dunia teknologi. Mereka juga menyasar fesyen, kuliner, properti, transportasi, kesehatan, hingga manufaktur.

Di luar bank, sebenarnya ada pemain modal ventura lokal yang tertarik dan tengah mempersiapkan diri terjun ke venture debt. Mereka ialah Ideosource. Kepada DailySocial, Managing Partner Ideosource Edward Chamdani menjelaskan sebelum tutup tahun Ideosource berharap meresmikan bisnis barunya tersebut.

Riset sudah dilakukan sejak dua tahun lalu. Pertimbangan Ideosource terjun ke segmen ini karena Indonesia punya kekosongan pendanaan di industri brick and mortar dan konvensional, tidak hanya di startup teknologi. Konsep investasi startup di Indonesia menurutnya sedikit salah kaprah karena terlalu banyak mengaca di Silicon Valley.

Di sana, banyak produk yang dikembangkan dengan proses yang lama dan membutuhkan tenaga engineer yang berkualitas. Di Indonesia, ekosistem seperti itu belum ada. Oleh karena itu, banyak startup di sini yang lahir dan jadi besar karena berangkat dari masalah di pasar.

“Kalau fokus ke pasar, biasanya startup punya cashflow yang bagus karena product development-nya tidak lama dan bisa langsung dipasarkan. Efeknya rata-rata produknya butuh working capital, cashflow sudah bagus tapi belum ada yang bisa bantu karena belum bankable. Di situ jadi switch spot buat venture debt masuk,” terang Edward.

Bisnis barunya ini akan di bawah PT yang akan bertindak sebagai operating holding. Mereka akan memiliki akses ke investor institusi dengan model pembiayaan berbasis proyek, bukan pool of fund seperti yang dipakai VC kebanyakan.

“Semua value yang kita punya akan dimasukkan dan dikelola oleh holding secara asetnya. Konsep yang sama sebenarnya juga sudah diterapkan untuk pembiayaan di film, dikelola oleh pak Andi [Boediman, Managing Partner Ideosource].”

Sembari menunggu holding beroperasi, Ideosource menyiapkan inkubasi khusus startup binaan sebelum menerima venture debt. Mereka melakukan proof of concept dari model bisnisnya dan arah bisnisnya di pasar setelah diberi sejumlah pendanaan.

Dalam debutnya, Ideosource memilih usaha yang bergerak di fintech, infrastruktur, logistik, marketplace, perkebunan. Ketiga segmen awal menjadi fokus karena dianggap substansial dalam mendukung ekosistem awal yang ingin dibangun Ideosource.

Startup yang dibidik tidak melulu bergerak di teknologi, tapi juga konvensional dengan potensi dapat berkolaborasi dengan teknologi. Edward menekankan, startup tersebut punya target konsumen B2B dan arus kas yang bagus. “Kalau pure tech, tapi cashflow bagus tetap bisa. Intinya asal ada cashflow.”

Nantinya, Ideosource menetapkan waran yang sudah dikunci sejak awal sebelum venture debt disuntikkan. Mereka tetap memosisikan diri sebagai VC, tapi ini semua sudah dirundingkan sebelumnya dengan startup dan masuk melalui venture debt. Konversi sahamnya berada di belakang menjelang tempo utang berakhir.

Lantaran tujuan Ideosource yang ingin membangun ekosistem, setiap transaksi akan diarahkan ke pengambilan saham mayoritas. “Tergantung value, hitungannya variasi. Tapi bisa sampai 50% [ambil saham] karena kita operating holding jadi mau bersama-sama dengan startup. Kita enggak akan ninggalin mereka.”

Menurutnya, konsep lama Ideosource yang melepas saham ketika ada investor baru masuk kini dianggap tidak lagi menarik. Alhasil, dia memilih untuk berinvestasi sekali untuk selamanya, agar menuju IPO dan membangun ekosistem bersama.

“Kami akan stay seterusnya, jadi lebih cocok untuk masuk ke venture debt,” pungkas Edward.

Ubah Fokus Bisnis, Ideosource Segera Garap “Venture Debt” Tahun Ini

Perusahaan modal ventura lokal Ideosource mengungkapkan sedang mempersiapkan unit bisnis terbarunya venture debt (utang ventura), karena melihat ada potensi yang belum tergarap baik di sini. Pengumuman ini sekaligus menandai pergeseran fokus pendanaan Ideosource dari berbasis ekuitas menjadi venture debt.

Kepada DailySocial, Managing Partner Ideosource Edward Chamdani menjelaskan, venture debt cukup terkenal sebagai opsi pendanaan startup di Amerika Serikat, Eropa bahkan India, namun masih sangat baru di Indonesia.

Sebelum mantap di ranah barunya ini, Edward mengaku sudah melakukan riset mendalam sejak dua tahun lalu. Menurutnya, Indonesia punya kekosongan pendanaan di industri brick and mortar dan konvensional, tidak hanya di startup teknologi saja.

Konsep investasi startup di Indonesia juga menurutnya sedikit salah kaprah karena terlalu banyak mengaca di Silicon Valley. Di sana banyak pengembangan produk dengan proses yang lama dan membutuhkan tenaga engineer yang berkualitas.

Beda halnya di Indonesia, ekosistem seperti itu belum ada. Dampaknya, kebanyakan startup di sini lahir dan menjadi besar karena berangkat dari masalah di lapangan yang tidak butuh proses pengembangan yang lama dan bisa langsung dipasarkan.

Padahal, di luar itu ada banyak usaha yang sifatnya brick and mortar, sudah besar dan cashflow bagus, tapi tidak ada yang bisa bantu karena belum bankable. Kebutuhan pendanaan untuk bantu modal usaha tetap dibutuhkan.

Kementerian Indonesia punya banyak program pengembangan startup, dana yang dikucurkan bukan main besarnya. Namun, tidak banyak yang bisa memastikan bagaimana mereka bisa tetap beroperasi, dari dapat hibah, terima dana dari VC, sampai bankable, siapa yang bisa menjaminnya?. Ini yang menurutnya bisa dimasuki oleh venture debt dan project financing.

Perlu ditekankan di sini, venture debt adalah pembiayaan utang yang biasanya ada opsi waran untuk mengonversi utang menjadi saham. Tidak ada saham yang terdelusi dalam venture debt, kecuali ada kesepakatan waran. Sementara, project financing itu murni menyalurkan kredit.

“Bentuk growth-nya seperti startup, sudah pernah dapat seed atau angel investor dari teman dan keluarga untuk buat modal kerja. Penjualan sudah naik pelan-pelan, tapi sampai akhirnya stuck. Butuh inovasi baru, ini artinya butuh modal kerja lebih besar lagi. Di situ jadi switch spot buat venture debt masuk,” terang Edward.

Ideosource memanfaatkan lisensi yang dikantongi Dana Mandiri Sejahtera untuk bermain di segmen ini. Berdasarkan POJK No 35 Tahun 2015 Tentang Penyelenggaraan Usaha PMV, disebutkan venture debt adalah model dan mekanisme investasi yg berbeda dari penyertaan ekuitas. Untuk terjun ke sini, bisa memakai izin sebagai PMV atau Dana Ventura.

Ideosource sendiri belum memiliki izin PMV karena regulasi dirasa memberatkan, termasuk harus menyetor modal minimal Rp50 miliar. Ini kurang sesuai dengan pola pemain VC yang kebanyakan bermain di startup teknologi, mereka banyak menggalang dana dari investor eksternal.

“Jadi PMV license sangat memberatkan dari sisi persyaratan, namun Dana Ventura sesuai dengan pola VC tech. Kebanyakan VC tech polanya bukan setor modal, tapi menggalang dana dari investor eksternal.”

Selain Dana Mandiri Sejahtera, dua PMV yang mengantongi izin Dana Ventura adalah Mandiri Capital dan Reliance Modal Ventura.

Reduplikasi seperti Ideosource Entertainment

Ideosource akan membuat anak usaha yang bertindak sebagai operating holding. Rencananya segera beroperasi menjelang akhir tahun ini. Nama badan usaha masih dirahasiakan rapat-rapat oleh Edward.

Nantinya holding ini yang akan memiliki akses ke investor institusi dari dalam dan luar negeri memakai berbagai sumber pembiayaan dan berbasis proyek, bukan pool of fund seperti yang dipakai VC kebanyakan.

Cara yang sama juga sudah dilakukan lewat Ideosource Entertainment (IDEO), arm VC khusus industri film. Ada fund khusus yang dibentuk untuk menyalurkan pembiayaan dinamai Ideosource Film Fund (IFF) menyasar investasi film & media, produksi film, platform media analytic, digital marketing, dan sebagainya.

“Semua value yang kita punya akan dimasukkan dan dikelola oleh holding secara asetnya. Konsep yang sama sebenarnya juga sudah diterapkan untuk pembiayaan di film, dikelola oleh pak Andi [Managing Partner Ideosource],” katanya.

Tentunya akan ada perbedaan value chain yang ingin diperkuat Ideosource lewat venture debt ini. Misalnya untuk mendanai usaha di manufaktur, apabila ingin berinovasi pasti butuh lisensi IP, produk turunan pun semakin banyak. Lambat laun, makin banyak partner yang bisa digandeng untuk membesarkannya.

“Nanti kita bekerja seperti konglomerasi, dari value chain punya banyak partner. Jadi holding ini seperti ecosystem builder.”

Sembari menunggu holding beroperasi, Ideosource menyiapkan inkubasi khusus startup yang dibina sebelum menerima venture debt. Mereka melakukan proof of concept dari model bisnisnya dan arah bisnisnya di pasar setelah diberi sejumlah pendanaan.

Setidaknya startup sudah beroperasi selama dua tahun, termasuk waktu menyusun ide awalnya. Segmennya bergerak di agrikultur, FMCG, dan fintech.

Dalam debutnya, Ideosource memilih segmen yang bergerak di fintech, infrastruktur, logistik, marketplace, perkebunan. Ketiga segmen di awal paling utamakan karena dianggap substansial dalam mendukung ekosistem awal yang ingin dibangun Ideosource.

Startup yang dibidik tidak melulu bergerak di teknologi, tapi juga konvensional dengan berpotensi dapat dikolaborasikan dengan teknologi. Edward menekankan, startup tersebut punya target konsumen b2b dan arus kas yang bagus. “Kalau pure tech, tapi cashflow bagus tetap bisa. Intinya asal ada cashflow.”

Nantinya, Ideosource menetapkan waran yang sudah dikunci sejak awal sebelum venture debt disuntikkan. Mereka tetap memosisikan diri sebagai VC, tapi ini semua sudah dirundingkan sebelumnya dengan startup dan masuk melalui venture debt. Akan tetapi konversi sahamnya di belakang menjelang tempo utang berakhir.

Pertimbangan yang dia ambil, lantaran tujuan Ideosource yang ingin bangun ekosistem, kemungkinan besar akan ambil saham mayoritas startup. “Tergantung value, hitungannya variasi. Tapi bisa sampai 50% [ambil saham] karena kita operating holding jadi mau bersama-sama dengan startup. Kita enggak akan ninggalin mereka.”

Menurutnya, konsep lama yang biasa Ideosource pakai lepas saham ketika investor masuk, kini dianggap tidak menarik lagi buat perusahaan. Alhasil, dia memilih untuk invest sekali untuk selamanya. Ujungnya menuju IPO bersama dan bangun ekosistem bersama.

“Kami akan stay seterusnya, jadi lebih cocok untuk masuk ke venture debt,” tutupnya.

Kiprah Ideosource sebagai VC bisa dikatakan cukup lama, sudah beroperasi sejak 2011. Sejumlah startup pernah masuk dalam portofolionya, yakni Touchten, Stockbit, Immobi, Jas Kapital, Orori, Female Daily, Bhinneka, Kapan Lagi Network, eFishery, dan masih banyak lagi.

Ingin Dukung Industri Film, NFC Indonesia Berinvestasi di Ideosource Entertainment

Bertujuan untuk memperkuat value chain di lanskap digital dan hiburan, PT NFC Indonesia Tbk (NFCX), entitas dari PT M Cash Integrasi Tbk (MCAS), mengumumkan rencananya untuk berinvestasi di Ideosource Entertainment (IDEO). Nantinya investasi akan berfokus pada pembiayaan portofolio yang beragam.

Tidak disebutkan lebih lanjut berapa jumlah investasi yang digelontorkan, namun melalui kerja sama dengan berbagai produser Indonesia yang sukses secara komersial, investasi dikucurkan untuk portofolio film yang terkurasi, khususnya untuk layar lebar dan serial untuk layanan streaming digital.

“NFCX terus membangun disruptive platforms di berbagai area, termasuk media dan periklanan. Namun, kami percaya bahwa platform yang kuat harus juga didukung dengan konten yang kuat. Hal tersebut akan menciptakan magnet alami bagi platform tersebut. Kami juga melihat bahwa IDEO film dan media analytic platform juga dapat memperkuat infrastruktur programmatic and deep-learning and advertising kami. Dengan dukungan finansial dan ekosistem digital luas dari NFCX, kami dapat membantu IDEO untuk berkembang lebih cepat dan lebih besar,” kata CEO NFCX Abraham Theofilus.

Fokus IDEO untuk produksi film Indonesia

Didirikan oleh Andi Boediman pada tahun 2011 lalu, hingga kini Ideosource Venture Capital telah mendanai 27 startup mulai dari e-commerce, digital media, games, IoT (internet of things) yang mendapat kucuran dana dari Ideosource. Andi kini menjabat sebagai Managing Partner Ideosource Venture Capital.

Sejak tahun 2017, Ideosource mulai merambah dunia film dan menyalurkan investasinya melalui Ideosource Film Fund (IFF).  Melihat potensi yang cukup besar di industri film Indonesia serta latar belakang pendidikannya pernah belajar film di Amerika, CEO IDEO Andi Boediman mengungkapkan, IDEO memiliki beragam portofolio film fitur Indonesia. Ia mengklaim ‘Keluarga Cemara’ merupakan investasi film paling sukses dengan penonton yang menembus angka 1,7 juta penonton serta pendapatan lain-lain dari sponsor dan hak digital.

“IDEO juga berinvestasi di deretan film Screenplay Bumilangit, salah satunya adalah ‘Gundala’, pahlawan super komik asli Indonesia karya (alm) Hasmi. Disutradarai oleh Joko Anwar, film ini menceritakan tentang asal usul dari si pahlawan super tersebut, dan menjadi salah satu film yang paling ditunggu-tunggu tahun ini.”

Terdapat empat bisnis model yang nantinya akan diterapkan oleh IDEO, di antaranya adalah investasi film & media, produksi film & media, film & media analytic platform dan digital marketing agency. Dalam memutuskan investasi, Andi memiliki beberapa kriteria. Pertama, ia melihat rekam jejak produser dan sutradaranya. Rumah produksinya sudah pernah mengeluarkan karya-karya apa saja. Rekam jejak ini penting untuk keberhasilan investasinya.

“Setelah itu, saya melihat dari segi proyeknya. Film itu dilihat dari paketnya. Apakah dia menggunakan intellectual property, cast, story yang bagus, dan revenue model, kita jadi tertarik. Kalau di depan, itunya saja tidak menarik, ya, bagaimana kita bisa tertarik,” kata Andi.

Stockbit Investment Platform Announces Series A Funding

Today (5/7) the investment app developer startup Stockbit announces series A funding led by East Ventures. It also supported by Convergence Ventures, FreakOut, and some angel investors. There are also previous ones, such as 500 Startups, Braavos Ventures, and Ideosource. With the latest model, Stockbit is getting ready to accelerate democratize mission of Indonesian investment market.

Targeting millennials, a startup founded by Wellson Lo (CEO) and Johny Susanto (CTO) designed user experience in such apps like social network for stock investors, equipped with stock trading and information aggregator services. The app has been launched since 2013, and now equipped with Robo-Advisor, a feature that helps consumers build a more personal investment portfolio.

“Despite the high returns, Indonesian beginner traders still feeling intimidated to make investment in stock market due to the lack of knowledge, high-quality investment consultant, and its expensive rate. Stockbit aims to make investment easy for everyone,” Wellson said.

Based on BEI data, Indonesian retail investors have grown 40% in 2018. A total 70% of the new investors are millennials. Despite the rapid growth, less than 1% are participated in the exchange.

Stockbit has established its position as a main player in the stock market by creating a platform to consolidate important and necessary information in making investment decisions. We are confident that the Stockbit team is capable to help Indonesia to reach higher individual participation in the stock market,” Partner East Ventures, Melisa Irene said.

Previously, Stockbit has pre Series A funding from 500 Startups in 2017, followed by their seed funding from Ideosource and Braavos Ventures. Starting this year, they made an acquisition over major shares of mutual fund marketplace Bibit to expand investment market.

“Before, it was only the 1% upper class to have access for good investment. Unfortunately, this industry is not transparent and convenience enough to make a smart investment. Through technology, we provide high-quality investment products and services for everyone,” Johny said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Platform Investasi Saham Stockbit Umumkan Perolehan Pendanaan Seri A

Hari ini (07/5) startup pengembang aplikasi investasi saham Stockbit mengumumkan perolehan pendanaan seri A yang dipimpin oleh East Ventures. Pendanaan didukung Convergence Ventures, FreakOut, dan beberapa angel investor. Turut terlibat juga investor sebelumnya, yakni 500 Startups, Braavos Ventures, dan Ideosource. Dengan penambahan model ini, Stockbit makin mantap untuk mempercepat misi mendemokratisasi investasi pasar modal di Indonesia.

Menyasar kalangan milenial, startup yang didirikan Wellson Lo (CEO) dan Johny Susanto (CTO) ini mendesain pengalaman pengguna di aplikasi layaknya jejaring sosial untuk investor saham, dilengkapi layanan perdagangan saham dan agregator informasi. Aplikasi yang telah meluncur sejak tahun 2013 tersebut kini juga dilengkapi dengan Robo-Advisor, yakni fitur yang membantu konsumen membangun portofolio investasi yang lebih personal.

“Terlepas dari imbal hasil yang tinggi, para trader pemula di Indonesia masih terintimidasi untuk melakukan investasi di pasar modal karena minimnya pengetahuan, akses penasihat investasi yang berkualitas, dan tingginya biaya dari layanan penasihat profesional. Stockbit bertujuan untuk membuat investasi menjadi mudah bagi semua orang,” ujar Wellson.

Berdasarkan data BEI, jumlah investor ritel di Indonesia tumbuh 40% pada tahun 2018. Sebanyak 70% dari investor baru yang terdaftar datang dari kalangan milenial. Terlepas dari pertumbuhan cepat ini, masih kurang dari 1% masyarakat Indonesia yang telah berpartisipasi di pasar saham.

Stockbit telah berhasil menetapkan posisinya sebagai pemain penting dalam industri pasar modal dengan menciptakan platform yang mengkonsolidasikan informasi penting dan diperlukan dalam mengambil keputusan investasi. Kami yakin bahwa tim Stockbit mampu melaksanakan misinya untuk membantu Indonesia mencapai partisipasi individu yang lebih tinggi ke pasar modal,” sambut Partner East Ventures Melisa Irene.

Sebelumnya Stockbit mendapatkan pendanaan pra-seri A dari 500 Startups pada tahun 2017, diikuti partisipasi investor pendanaan awal mereka yakni Ideosource dan Braavos Ventures. Awal tahun ini Stockbit lakukan akuisisi saham mayoritas platform marketplace reksa dana Bibit untuk perluas potensi pasar investasi.

“Sebelumnya hanya golongan masyarakat 1% teratas saja yang memiliki akses untuk layanan investasi yang baik. Sayangnya, industri ini masih kurang transparan dan nyaman untuk melakukan investasi yang nyaman dengan cerdas. Melalui teknologi, kami menyediakan produk dan layanan investasi berkualitas tinggi untuk semua orang, tidak peduli di mana pun mereka berada atau jumlah kekayaan mereka,” tambah Johny.

Application Information Will Show Up Here

Industri “Gaming”: Digemari Tapi Sulit Dimodali

Industri game masih dianggap menjadi barang asing di mata pemain jasa keuangan, mulai dari perbankan hingga modal ventura. Jangan heran jika jumlah pembiayaan modal kerja bagi industri ini masih minim. Kalaupun ada, jumlahnya masih bisa dihitung dengan jari. Gaming Industry harus mengandalkan modal dari pihak asing untuk terus mengembangkan usahanya.

Bisnis game yang memiliki faktor X (faktor ketidakpastian) dianggap menjadi titik lemah bagi pemain jasa keuangan lokal. Ketidakpastian yang dimaksud adalah meski produk sudah dibuat sesuai riset pasar dan memakai talenta berbakat, masih ada kemungkinan besar untuk gagal.

Keunikan dan ketidakpastian pasar dan keuntungan membuat hanya sedikit pemodal yang berani terjun. Beberapa nama perusahaan modal ventura lokal yang sudah berinvestasi di perusahaan game adalah Ideosource dan Maloekoe Ventures. Untuk modal ventura asing ada Discovery Nusantara Capital (DNC).

Berbeda dengan perbankan, pembiayaan melalui Modal Ventura dilakukan melalui penyertaan saham. Jadi, modal tunai disuntikkan dan ditukar dengan sejumlah saham kepemilikan.

Kisah investasi di startup gaming

Ideosource pernah berinvestasi putaran seri A untuk perusahaan game lokal Touchten dengan nilai yang dirahasiakan di 2011. Investasi tersebut adalah kick off Ideosource sejak pertama kali berdiri. Meski nilai investasi tidak disebutkan, namun kisaran nilai investasi seri A US$1 juta-US$4 juta (Rp13 miliar-Rp52 miliar). Seluruh sumber dana investasi yang digunakan Ideosource berasal dari dana keluarga lokal dengan nama dirahasiakan.

Touchten Games dapatkan pendanaan untuk kembangkan industri

Managing Director Ideosource Andi S Budiman menuturkan pihaknya memilih Touchten sebagai investasi perdana karena pada saat itu baru Touchten satu-satunya yang memiliki mobile game dengan jumlah unduhan lebih dari 1 juta kali. Hal ini melatarbelakangi Ideosource untuk berkeyakinan bahwa Touchten memiliki kemampuan untuk mengembangkan bisnisnya lebih besar.

Founder Touchten punya trik tersendiri untuk membuat perusahaan mampu bertahan. Salah satunya berkolaborasi dengan brand terkenal, dengan menggabungkan variasi game dari digital sampai kartu berbentuk fisik. Lalu dipasarkan dengan penggabungan online dan offline (O2O).

“Dari situ kami berkeputusan bahwa perusahaan ini punya up side bisnis yang tinggi. Benar kejadian tiga tahun kemudian, saat mereka berhasil mendapat investor dengan nilai valuasi 7 kali lipat dari saat kami masuk,” kata Andi.

Touchten terhitung menjadi perusahaan game lokal teraktif yang mendapatkan pendanaan dari investor. Namun seluruhnya berasal dari asing, yakni perusahaan teknologi konglomerat Jepang Cyber Agent Ventures, perusahaan animasi Jepang TMS Entertainment, private equity UOB Venture Management, perusahaan mobile game Jepang Gree, modal ventura Amerika Serikat 500 Startups, dan DNC.

Modal ventura asing yang terhitung menjadi investor teraktif berinvestasi di perusahaan game lokal adalah DNC. Ada tiga perusahaan game lokal yang masuk ke dalam portofolio DNC, yaitu Touchten, Toge Productions, dan Arsanesia.

DNC fokus ke investasi tahap awal (seed stage). Biasanya besaran nilai investasi dalam tahap ini US$50 ribu-US$1 juta (Rp650 juta-Rp13 miliar). DNC adalah perusahaan patungan antara Hangzhou Zhexin IT Co., Ltd. (Zhe Xin IT) dengan Project Discovery Ltd. dan Qomolangma Ltd. yang didirikan September 2016.

DNC didirikan khusus berinvestasi di sektor game di Asia Tenggara, dengan fokus utama di Indonesia.

Tim DNC / DNC
Tim DNC / DNC

Zhe Xin IT adalah anak usaha dari Zhejiang Jinke Entertainment Culture Co., Ltd. Pada awalnya Zhe Xin IT adalah perusahaan game yang berdiri pada tahun 2010. Seluruh dana investasi DNC berasal dari kombinasi antara Limited Partner dan Angel investor.

Sebagai modal ventura yang paham dengan siklus perusahaan game, Managing Partner DNC Irene Umar menjelaskan alasan DNC terjun ke sektor ini. Ia menjelaskan, selain karena ada hubungan dengan afiliasi perusahaan game, juga karena tidak ada modal ventura yang mau fokus investasi ke industri game. Yang terakhir ini, menurut DNC justru sebuah peluang.

Dia menilai DNC memiliki kemampuan transfer pengetahuan dari jaringan investor yang mereka miliki ke para talenta lokal. Hal ini ditambah bonus demografi dan potensi bisnis yang besar. Oiya, yang juga penting adalah para personil DNC gemar bermain game.

“Ketika kami memutuskan bahwa DNC khusus investasi ke game, banyak yang bilang kami itu gila. Sebab pada saat itu, banyak perusahaan game yang tidak tahu bagaimana cara kerja VC [Venture Capital – Red] dan sebagainya. Kami harus melakukan edukasi bahwa VC adalah elemen penting yang sempat hilang pada tahun lalu dalam ekosistem game. Kami pun bangga dapat masuk mengisi kekosongan gap tersebut,” terang Irene.

Dalam mengukur portofolio perusahaan yang akan diinvestasi, ada beberapa parameter keuangan yang dipakai DNC. Di antaranya pendapatan, operating expenditure (opex), arus kas, dan laba bersih. Semua parameter ini dilihat secara historis maupun proyeksi yang harus sesuai dengan rencana bisnisnya.

Intinya, sambung Irene, arah perusahaan harus didorong oleh visi founder yang kemudian diterjemahkan ke dalam rencana bisnis. Tujuannya untuk menentukan langkah apa yang diambil selanjutnya dan sesuai tujuan mereka. “Semuanya akan berakhir ke keuangan mereka. Kuncinya, ada di founder itu sendiri.”

Menurutnya, perusahaan hanyalah kendaraan dan motor penggeraknya berasal dari orang-orang di dalamnya. Oleh karena itu, DNC cenderung melihat secara dekat karakter founder dan mencoba untuk memahami visi mereka, menilai kemampuannya untuk mengeksekusi, dan tingkat kemampuan yang dapat mereka hadapi dalam kesuksesan.

Jadi ide itu sesuatu yang murah karena yang terpenting adalah eksekusi. Menaiki tangga menuju kesuksesan lebih mudah daripada mempertahankannya.

“DNC bercita-cita ingin mendukung perusahaan portofolio kami ke puncak. Tapi akan terserah mereka apakah bersedia untuk tetap melangkah atau tetap di posisi puncak.”

Industri gaming di kacamata perbankan

Pelaku jasa keuangan di Indonesia, baik perbankan maupun modal ventura lokal, masih enggan mempercayakan uangnya di perusahaan game. Alasannya klasik, karena bank menyalurkan dana masyarakat, sehingga perlu rekam jejak perusahaan dan sudah memiliki cash flow yang lancar sebagai jaminan keberlangsungan usaha. Tak ketinggalan, perlu aset fisik sebagai jaminan utamanya.

Presiden Direktur BCA Jahja Setiaatmadja mengaku belum memberikan kredit untuk perusahaan game. Menurutnya, kredit itu prinsipnya adalah menggunakan dana masyarakat untuk membantu masyarakat yang mau berbisnis. Untuk itu perlu ada prinsip bahwa perusahaan tersebut sudah memiliki pengalaman di bisnis tersebut, ada jaminan cukup, referensi bisnis dari temannya.

“Jadi memang ketat [persyaratannya]. Kalau industri kreatif tersebut memenuhi persyaratan akan kita berikan. Sayangnya belum banyak,” tutur Jahja.

SUMBER: BEKRAF
SUMBER: BEKRAF

Meski bukan bergerak di ekonomi kreatif, salah satu perusahaan digital yang pernah ‘lulus’ dan mendapatkan kredit dari BCA adalah Tiket.com. Jahja menuturkan Tiket mendapat kredit sebesar Rp100 miliar dengan mengagunkan laporan keuangan yang diakumulasi selama tiga tahun.

“Tiket.com pakai agunan kok laporan keuangan dan account. Mereka dapat kredit bukan untuk jangka panjang. Mereka itu agak unik karena 80% penjualan mereka melalui channel BCA, untuk kartu kredit, transfer dan lainnya. Fasilitasnya juga lebih banyak sebagai overdraft untuk weekend dan hari libur.”

Bank Mandiri juga berpendapat sama. Perusahaan game dianggap memiliki risiko dan ketidakpastian yang tinggi. Kendati demikian, perseroan terus membuka kemungkinan untuk menjadikan perusahaan game sebagai debitur. Asalkan perusahaan tersebut memiliki kejelasan bisnis, pasar, dan domisili usaha. Malah, perseroan membuka kesempatan kolaborasi B2B untuk para perusahaan game dalam hal sistem pembayaran. Misalnya, co-branding kartu, pembayaran dengan mesin EDC, atau lainnya.

“Bank Mandiri apabila diposisikan sebagai technical aqcuiring, kami bisa bantu. Tidak harus selalu bentuk loan, jadinya ini saling win win,” kata Senior Vice Presiden Bank Mandiri Rahmat Broto Triaji.

Senada dengan Bank Mandiri, Bank Permata berkeyakinan bahwa industri kreatif, terutama digital adalah industri yang mempunyai prospek baik di masa yang akan datang.

“Kami terus mempelajari industri semacam ini dari waktu ke waktu. Bila dipandang layak, maka kemungkinan akan dibiayai,” ucap Direktur Ritel Bank Permata Bianto Surodjo.

Usaha Kuliner, Salah Satu Subsektor Ekonomi Kreatif yang Sudah Mendapat Fasilitas Kredit dari Bank / Shutterstock
Usaha Kuliner, Salah Satu Subsektor Ekonomi Kreatif yang Sudah Mendapat Fasilitas Kredit dari Bank / Shutterstock

Sedikit berbeda dengan BNI. Kendati belum terjun ke perusahaan game untuk memberikan kredit, namun perseroan mengaku akan perlahan-lahan masuk ke sektor industri kreatif. Sejauh ini sektor yang sudah masuk dalam portofolio BNI didominasi oleh kuliner, kerajinan, dan fesyen. Total kredit yang telah disalurkan BNI untuk sektor tersebut sebesar Rp3,5 triliun per Juni 2017 dengan total debitur 5 ribu orang.

“BNI sudah bekerja sama dengan beberapa startup berbasis digital untuk membiayai kegiatan usahanya, antara lain TaniHub dan membiayai penjual yang tergabung dalam [layanan] e-commerce Tokopedia dan Lazada. Skema unik yang akan kami kembangkan ke subsektor lainnya adalah perfilman, desain, dan lainnya,” terang Direktur Perencanaan & Operasional BNI Bob Tyasika Ananta.

Dari data terakhir yang dihimpun Otoritas Jasa Keuangan (OJK), realisasi penyaluran kredit dari perbankan untuk ekonomi kreatif sebesar Rp121 triliun atau 2,87% terhadap total kredit perbankan Rp4.213 triliun sepanjang September 2016.

SUMBER: BEKRAF
SUMBER: BEKRAF

Bagi modal ventura lokal, industri game belum begitu menarik karena bisnisnya yang unik, cenderung riskan untuk dimasuki karena perlu orang yang benar-benar paham dengan industri tersebut.

Wakil Ketua Asosiasi Modal Ventura dan Startup Indonesia (Amvesindo) Donald Wihardja mengatakan tidak banyak investor lokal yang paham dengan siklus bisnis dari perusahaan game. Hal ini yang mengakibatkan banyak perusahaan game lokal akhirnya melarikan diri ke modal ventura asing untuk mendapatkan bantuan pendanaan.

“Karena untuk investasi ke sektor manapun butuh ahli yang paham, sehingga tidak banyak perusahaan game yang menerima funding dari ventura lokal. Buat game itu sama seperti artis yang produksi film, jadi lebih unsur gambling-nya kalau enggak ngerti,” ujar Donald.

Dia menambahkan, di Indonesia itu lebih banyak perusahaan game yang bertindak sebagai publisher, membawa game dari luar untuk dipasarkan di Indonesia. Bagi investor itu bukan sesuatu yang bernilai tinggi karena posisinya mereka hanya menjadi penyokong dana untuk kegiatan pemasaran.

Amvesindo melihat tren modal ventura saat ini lebih banyak yang fokus pendanaan untuk sektor financial technology (fintech) dan layanan e-commerce.

Langkah Bekraf

Untuk menstimulasi industri kreatif, sejak pertengahan tahun ini Bekraf mendapat persetujuan dari pemerintah untuk memberikan dana hibah bersumber dari kantong Bekraf sendiri lewat program Bantuan Insentif Pemerintah (BIP). Bekraf mengalokasikan dana hibah senilai Rp10,8 miliar untuk pelaku usaha yang bergerak di bidang kuliner, aplikasi dan developer game (AGD).

Dreadout Cover
Dreadout Cover

BIP adalah skema bantuan modal nonperbankan berupa penambahan modal kerja dan/atau investasi aktiva tetap yang difasilitasi Bekraf. Besaran dana hibah yang diberikan berkisar antara Rp90 juta sampai Rp200 juta tergantung hasil penilaian.

Dari total applicant yang masuk, Bekraf menyaringnya dan memutuskan ada 34 perusahaan yang menerima dana hibah. Rinciannya terdiri dari 19 perusahaan dari kuliner dan 15 perusahaan dari aplikasi dan developer game. Rata-rata berlokasi di Pulau Jawa, Makassar, dan Balikpapan. Beberapa nama perusahaan game yang mendapat BIP adalah Ekuator Games (kreator game PC Celestian Tales), Digital Semantika Indonesia (kreator game PC DreadOut).

“Kita bayarkan 40% dari nilai assesment, lalu dievaluasi untuk kemudian ditentukan pencairan berikutnya. Evaluasi itu dilakukan pada November 2017,” ujar Deputi Infrastruktur Bekraf Hari Sungkari.

Tak berhenti di sini, Bekraf akan melanjutkan program ini pada tahun depan. Hanya saja Hari enggan menyebutkan nominal dana hibah yang diajukan ke pemerintah. Lewat inisiasi nyata lewat BIP ini diharapkan bisa menimbulkan efek domino di industri jasa keuangan dan membuka mata tentang nyatanya potensi industri game di Indonesia. Kita tunggu kabar-kabar baik ke depannya.