Dua Tahun QRIS: Ragam Tantangan Adopsi pada Startup F&B

Beberapa waktu lalu, DailySocial menerbitkan artikel berseri berdasarkan mini survey dengan topik besar QRIS yang mengambil sudut pandang konsumen secara umum dan pengalaman bertransaksi melalui aplikasi keuangan digital. Keduanya telah kami publikasi dalam dua tulisan berbeda, yakni bagian pertama dan bagian kedua.

Melanjutkan seri tulisan sebelumnya, kali ini DailySocial mencoba memvalidasi sejumlah anggapan responden yang mengkaitkan merchant sebagai salah satu hambatan adopsi QRIS di Indonesia. Sekali lagi, mini survey yang kami lakukan beberapa waktu lalu hanya mewakili sebagian kecil fakta dan tantangan yang ada. Tulisan ini menjadi salah satu upaya kami menjembatani isu di lapangan kepada para pemangku kepentingan (stakeholder).

Kami memvalidasi hasil mini survey ini dengan mewawancarai beberapa startup F&B di Indonesia, antara lain Kopi Kenangan, Hangry, dan Livera, terkait pandangan mereka dalam mengadopsi QRIS pada gerai yang mereka miliki.

Customer dan Merchant Presented Mode

Sedikit penyegaran, dua tahun pasca-meluncur, nilai transaksi Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) telah mencapai sebesar Rp9 triliun di semester I 2021 atau tumbuh 214% secara tahunan (YoY). Bank Indonesia (BI) juga mencatat  sebanyak 8,2 juta merchant di Indonesia yang sudah mengadopsi QRIS. Jumlah tersebut telah bertambah sekitar 3 juta sejak akhir 2020.

Dengan pencapaian ini, BI berupaya untuk terus meningkatkan adopsi QRIS ke seluruh lapisan masyarakat di Indonesia. Terlebih melihat situasi pandemi Covid-19 yang belum berakhir, ekspektasi untuk bertransaksi secara nontunai (cashless) masih akan tetap ada.

Salah satu upaya BI adalah merilis fitur Customer Presented Mode untuk mempermudah penggunaan QRIS dalam waktu dekat. Customer Presented Mode memungkinkan kasir merchant untuk memindai (scan) QRIS milik pengguna ponsel. Merchant akan disediakan alat scanner dari penyedia pembayaran.

Sebaliknya, Merchant Presented Mode yang biasa kita gunakan untuk bertransaksi memampukan transaksi dengan memindai QRIS di merchant dan menyelesaikan transaksi lewat aplikasi pembayaran yang diinginkan. Sebelum QRIS meluncur, pengguna harus memasukkan nomor telepon pada masing-masing EDC milik penyedia jasa pembayaran.

“Dalam waktu dekat, kami juga akan segera meluncurkan fitur Customer Presented Mode karena sekarang kita baru ada Merchant Presented Mode. Kami juga sedang piloting transaksi QRIS untuk cross border, baik inbound maupun dan outbound,” ungkap Asisten Gubernur dan Kepala Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran Bank Indonesia Filianingsih Hendarta beberapa waktu lalu.

Memvalidasi isu adopsi QRIS pada merchant

Berdasarkan hasil mini survey QRIS, kami merangkum beberapa alasan utama responden yang belum bertransaksi dengan metode QRIS. Pertama, responden menilai merchant hanya menjadikan QRIS sebagai ‘pajangan’ saja alias kurang diutilisasi sebagaimana mestinya. Kedua, QRIS sudah tersedia, tetapi belum diaktifkan merchant.

Ketiga, petugas atau kasir kurang memahami cara memproses transaksi dengan QRIS. Keempat, QRIS terlalu banyak di-display di gerai karena setiap penyedia jasa pembayaran punya QRIS sendiri-sendiri. Terakhir, ketersediaan QRIS di merchant masih terbatas.

Kami telah mencoba memvalidasi hal-hal di atas dengan mengumpulkan perspektif lebih luas dari berbagai startup F&B. Namun, baru Kopi Kenangan, Hangry, dan Livera yang bersedia mengungkap perspektif dalam mengimplementasi QRIS. Tantangan yang mereka alami pun cukup berbeda mengingat Kopi Kenangan bertumpu pada gerai fisik, sedangkan Hangry dan Livera mengandalkan cloud kitchen.

Ilustrasi penggunaan QRIS pada platform pembayaran dompet digital / QRIS.id

Dalam pernyataannya kepada DailySocial, Manajemen Kopi Kenangan mengatakan sebanyak 500 gerai fisik miliknya sudah menerima metode pembayaran berbasis QRIS. Menurut catatannya, volume transaksi Kopi Kenangan dengan metode pembayaran QRIS meningkat 98% terhitung sejak Mei 2020 hingga Agustus 2021. Pertumbuhan ini sejalan dengan peningkatan awareness publik terhadap metode pembayaran QRIS.

Pihaknya menampik anggapan kasir kurang memahami penggunaan QRIS. Pasalnya, Kopi Kenangan menyebut selalu memberikan edukasi kepada staf terkait tata cara penggunaan QRIS. Biasanya, staf di gerai menanyakan pilihan metode pembayaran yang diinginkan oleh pelanggan dan promosinya.

“Sejauh ini tantangan utama yang kami rasakan adalah ketidakstabilan koneksi internet. Hal ini menyulitkan proses transaksi QRIS. Terkadang barcode tidak muncul, atau muncul tetapi tidak dapat di-scan,” ungkap Manajemen Kopi Kenangan.

Sementara itu, COO Hangry Andreas Resha mengaku belum menghadapi kendala krusial ketika staf merchant-nya memproses transaksi QRIS. Pasalnya, transaksi pemesanan di Hangry kebanyakan menggunakan metode delivery ketimbang take away.

“Kami tidak punya angka persis, tetapi kami memang melihat ada penurunan sejak pandemi, terlebih dengan semakin banyaknya masyarakat yang berkegiatan di rumah. Maka itu, metode delivery yang tidak menggunakan QRIS lebih banyak digunakan dibandingkan metode takeaway,” ujarnya.

Saat ini, Hangry telah mengimplementasi metode pembayaran QRIS di 49 outlet yang tersebar di daerah Jabodetabek dan Bandung. Andreas mengaku bahwa pihaknya kini tengah menyiapkan konsep restoran dine-in yang akan dibuka dalam waktu dekat dan akan menyertakan metode pembayaran QRIS juga.

Dari perspektif berbeda, Founder dan CEO Livera Marcello Judhandoyo menilai bahwa adopsi QRIS tampaknya kurang terutilisasi bagi pelaku bisnis F&B yang menggunakan cloud kitchen. Pasalnya, uang transaksi pembelian makanan/minuman lewat platform ride-hailing langsung otomatis masuk ke merchant. 

Sedikit informasi, cloud kitchen merupakan sebuah istilah yang dipakai pada restoran yang tidak menyediakan layanan makan di tempat (dine in), tetapi hanya memiliki opsi jasa pengiriman makanan (delivery) dan ambil di tempat (takeaway).

“Kalau bicara soal adopsi QRIS di bisnis F&B yang pakai cloud kitchen sebetulnya kurang optimal. Tapi kalau kasusnya pemesanan manual melalui WhatsApp, sebetulnya bisa. Livera menawarkan pembayaran via QRIS dengan mengirimkan barcode kepada konsumen. Sayangnya, dalam kasus ini, kebanyakan konsumen Livera lebih prefer metode transfer. Padahal, QRIS jauh lebih mudah lho, konsumen tidak perlu repot menanyakan bank rekening yang digunakan, apalagi harus mendaftarkannya satu-satu di aplikasi mobile banking,” paparnya.

Livera baru memulai bisnis di 2020 di mana operasionalnya baru menggunakan cloud kitchen. Adapun, pemesanan produknya baru dapat dilakukan via delivery di platform Gojek, Grab, dan Tokopedia maupun pemesanan secara manual melalui WhatsApp

Perluasan akses QRIS

Tidak ada yang menyangka dunia akan menghadapi pandemi Covid-19 di mana mobilitas menjadi sangat terbatas. Padahal, beberapa bulan sebelum kebijakan PSBB pertama kali, Pemerintah baru saja meluncurkan QRIS. Momentum ini sebetulnya dapat mendorong adopsi QRIS, bahkan jauh lebih signifikan dari pencapaiannya saat ini.

Di saat yang sama, tren cloud kitchen tengah berkembang di kalangan pelaku usaha F&B untuk menyiasati biaya mencekik dan ketidakpastian bisnis di tengah pandemi. Masyarakat pun memilih untuk bertransaksi lebih cepat dan mudah tanpa perlu bertatap muka dan melakukan sentuhan fisik.

Layanan yang diharapkan mengadopsi QRIS / Sumber: Mini Survey QRIS 2021
Layanan yang diharapkan mengadopsi QRIS / Sumber: Mini Survey QRIS 2021

Langkah Pemerintah memperkenalkan Customer Presented Mode juga bisa  membantu akselerasi adopsi QRIS. Meskipun demikian, jauh lebih penting untuk memperluas implementasinya agar tidak bertumpu pada merchant ritel modern saja. Sebanyak 87,3% responden kami mengharapkan QRIS dapat digunakan pada pedagang kaki lima, pasar (81%), layanan pemerintah (76,2%), dan transportasi publik (68,3%). Ini yang sebetulnya paling dinantikan untuk mengakselerasi adopsi QRIS yang lebih masif.

[Video] Cerita Alpha JWC Ventures Mendukung Pendanaan Kopi Kenangan dan Startup Indonesia Lainnya

DailySocial bersama Kezia Tenggono dari Alpha JWC Ventures membuka cerita tentang bagaimana sebuah venture capital memberikan dukungannya melalui pendanaan terhadap startup-startup lokal.

Saat ini, Alpha JWC Ventures sendiri telah memberikan investasi terhadap banyak startup di Indonesia, termasuk Kopi Kenangan, GudangAda, dan Bobobox.

Kunjungi pula video-video lainnya di kanal YouTube DailySocial TV.

Fintech Startup GajiGesa Raises Additional Funding, Launching Employee Management App “GajiTim”

Fintech startup GajiGesa announced additional strategic investments with an undisclosed value from OCBC NISP Ventura and some strategic angel investors, including Kopi Kenangan’s Founder. This round is announced four months after GajiGesa raised seed funding of $2.5 million.

In an interview with DailySocial, GajiGesa’s Co-Founder, Vidit Agrawal said, the OCBC NISP Ventura entrance creates an opportunity for GajiGesa to integrate its products with financial products. “Including to offer bank accounts opening for those who unbanked, loan products, and other financial solutions that can help improve the welfare of blue collar workers,” he said.

This is because as many as two thirds of the population in Indonesia are unbanked, which means they do not have bank accounts. Bank OCBC NISP has the opportunity to gathered them through GajiGesa.

In a separate interview with Techcrunch, Agrawal said that the founder of Kopi Kenangan, who is backed by a network of investors such as Sequoia Capital India, Alpha JWC, and Horizons Ventures, has made them prolific angel investors for other startups. He believes the network will help GajiGesa accelerate the impact for employers across Indonesia.

GajiGesa provides services for employers and employees in smoothing cash flow with financial products, including flexible salary access or what is known as Flexible Earned Wage Access (FEWA), financial education, bill payments, real-time analysis, and more. This concept is different from cash loan services operated by most lending companies in Indonesia.

For employees, GajiGesa provides employees with real-time access to early salaries in the current month, which can be used to pay bills, buy credit and data packages, and access financial education.

Meanwhile, for employers, GajiGesa’s analysis platform provides the HR team to measure the effectiveness of financial health strategies, get real-time visibility into engagement, maintain retention and productivity, and employee financial health.

Employers have the flexibility and control of FEWA offerings, they can decide whether to take this service to employees for an additional fee or as part of a benefit package.

Agrawal said that GajiGesa has been used by more than 30 companies with a total of tens of thousands of employees in Indonesia.

Without further details, he said Ramadan and Eidthese are has became busy periods regarding the trend of early disbursement of salaries, because many employees withdrew their salaries earlier, given the increasing family needs. This condition is reflected in GajiGesa, where salary disbursement activities almost doubled during that period.

Launching Gajitim app

Agrawal said that the company has launched GajiTim employee management application for the UMKM segment in late March. This product is due to the requests and input from GajiGesa users who want a more efficient, transparent salary calculation and employee tracking solution.

“Building a product that can be used by businesses of all sizes is at the heart of our commitment. Martyna and I always wanted a meaningful solution that everyone could use. Our team quickly innovated to launch GajiTim.”

GajiTim helps MSMEs to manage employees digitally, such as daily/monthly salary, attendance/leave, salary calculation, payments, and others. It is also equipped with features and business insights, therefore, companies have better employee retention.

The innovation is expected to create an integrated and meaningful employee benefits solution for businesses of all sizes and their employees. Agrawal claims that since this application was initiated, it has been able to attract more than 50,000 active users organically.

GajiTim competes with similar players under the same industry. Those are Catapa, Talenta, Jojonomics, KaryaOne, Gadjian, Gaji.id, Benemica, Synergo, and others.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

Startup Fintech GajiGesa Peroleh Tambahan Investasi dan Rilis Aplikasi Kelola Karyawan “GajiTim”

Startup fintech GajiGesa mengumumkan tambahan investasi strategis dengan nominal dirahasiakan yang diberikan oleh OCBC NISP Ventura dan sejumlah angel investor strategis, salah satunya adalah founder Kopi Kenangan. Putaran ini diperoleh selang empat bulan setelah GajiGesa mengumumkan pendanaan tahap awal sebesar $2,5 juta.

Dalam wawancara bersama DailySocial, Co-Founder GajiGesa Vidit Agrawal menyampaikan, masuknya OCBC NISP Ventura membuka kesempatan bagi GajiGesa untuk mengintegrasikan produknya dengan produk finansial. “Termasuk, menawarkan pembukaan rekening bank untuk mereka yang masih dalam kelompok unbanked, produk pinjaman, dan solusi keuangan lainnya yang dapat membantu meningkatkan kesejahteraan pekerja kerah biru,” ujarnya.

Pasalnya, sebanyak dua pertiga dari populasi di Indonesia adalah kelompok unbanked yang berarti mereka tidak memiliki rekening bank. Bank OCBC NISP memiliki kesempatan untuk menjaring mereka melalui GajiGesa.

Secara terpisah dalam wawancara Agrawal bersama Techcrunch, ia mengatakan founder Kopi Kenangan yang telah di-back up oleh jaringan investor seperti Sequoia Capital India, Alpha JWC, dan Horizons Ventures, menjadikan mereka sebagai prolific angel investor bagi startup lain. Ia meyakini jaringan tersebut akan membantu GajiGesa mempercepat dampak untuk para pemberi kerja di seluruh Indonesia.

GajiGesa memberikan layanan untuk pemberi kerja dan karyawan dalam memperlancar arus kas dengan produk finansial, termasuk akses gaji yang fleksibel atau disebut dengan Flexible Earned Wage Access (FEWA), edukasi finansial, pembayaran tagihan, analisa real-time, dan lainnya. Konsep ini berbeda dengan layanan cash loan seperti yang dijalankan perusahaan lending kebanyakan di Indonesia.

Bagi karyawan, GajiGesa memberikan akses gaji lebih awal untuk karyawan bulan berjalannya secara real-time, yang dapat digunakan untuk membayar tagihan, membeli pulsa dan paket data, dan akses terhadap edukasi finansial.

Sementara bagi pemberi kerja, platform analisa GajiGesa memberikan tim HR untuk mengukur efektivitas strategi kesehatan finansial secara efektif, mendapatkan visibilitas real-time terhadap engagement, menjaga retensi dan produktivitas, dan kesehatan keuangan karyawan.

Pemberi kerja punya fleksibilitas dan kontrol untuk menawarkan FEWA kepada seluruh karyawan, dapat menentukan apakah mereka mau mengambil layanan ini untuk karyawan dengan biaya tambahan atau sebagai bagian dari paket manfaat.

Agrawal menuturkan GajiGesa telah digunakan oleh lebih dari 30 perusahaan dengan total puluhan ribu karyawan di Indonesia.

Terkait tren pencairan gaji lebih awal selama ramadan dan lebaran, meski tidak dirinci lebih jauh, ia bilang dua momentum ini menjadi masa sibuk karena banyak karyawan yang mencairkan gajinya lebih awal, mengingat kebutuhan keluarga yang meningkat. Kondisi tersebut terefleksi di GajiGesa, aktivitas pencairan gaji meningkat hampir dua kali lipat selama periode tersebut.

Aplikasi HRIS GajiTim

Agrawal menuturkan pada akhir Maret kemarin perusahaan meluncurkan aplikasi manajemen karyawan GajiTim untuk segmen UMKM. Produk ini hadir berkat permintaan dan masukan dari pengguna GajiGesa yang menginginkan perhitungan gaji yang lebih efisien, transparan, dan solusi pelacakan karyawan.

“Membangun suatu produk yang dapat digunakan oleh bisnis dari semua ukuran adalah inti dari komitmen kami. Martyna dan saya selalu menginginkan sebuah solusi bermakna yang dapat digunakan oleh semua orang. Tim kami dengan cepat berinovasi untuk meluncurkan GajiTim.”

GajiTim membantu UMKM untuk mengelola karyawan secara digital seperti gaji harian/bulanan, absensi/cuti, penghitungan gaji, pembayaran, dan lainnya. Dilengkapi pula dengan fitur-fitur dan insight bisnis yang dibuat agar perusahaan memiliki retensi karyawan yang lebih baik.

Inovasi ini diharapkan dapat menciptakan solusi tunjangan karyawan yang terintegrasi dan bermakna untuk semua ukuran bisnis dan karyawan mereka. Agrawal mengklaim sejak dirintis aplikasi ini mampu menarik lebih dari 50.000 pengguna aktif secara organik.

GajiTim bersaing dengan pemain sejenis di ranah yang sama. Mereka ada Catapa, Talenta, Jojonomics, KaryaOne, Gadjian, Gaji.id, Benemica, Synergo, dan lainnya.

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

Edward Tirtanata’s New Role: An Angel Investor through Kenangan Kapital

The new retail startup Kopi Kenangan has received a lot of attention, thanks to the Indonesian coffee chain business which has received large funding from a number of well-known VCs, including Sequoia Capital and Facebook Co-Founder Eduardo Saverin.

The success of this business cannot be separated from the efforts of its founders, Edward Tirtanata and James Prananto. Kopi Kenangan has now transformed into one of the top-tier coffee brands, especially among young adults in Indonesia.

DailySocial had the opportunity to interview Edward Tirtanata, not as a business founder, but his new experience as an angel investor through Kenangan Kapital. How does Edward define his new role?

Passion for entrepreneurship

Edward’s role as an angel investor has been going on since last year. Through his angel fund (called the Kenangan Investment Fund), he has invested in some of Indonesian startups, including BukuKas, GudangAda, OtoKlix, and Medigo (Smart Clinic).

From the beginning, he declared his big passion for entrepreneurship. This is visible from his efforts to build Kopi Kenangan. However, his success in building a business does not end there.

For him, entrepreneurship can be said as “good wealth management” which involves asset class in diverse. This means that if he wants to make a distinction, he doesn’t want to invest in just blue chips or deposits.

“A good investor must be able to diversify. Angel investing class assets, to increase ten times in a year is normal. I find it interesting,” Edward said.

Through Kenangan Kapital, he expects to contribute more to the Indonesian startup industry. This also encourages Edward to experience new role by being involved in startup funding.

Interest in the consumer tech

Consumer tech is one of the business verticals that attracts many investors. Consumer products combined with technology are the reasons why this business can be easily scalable.

The most obvious example is the mushrooming startups entering traditional businesses and utilizing technology with a direct-to-consumer (DTC) approach. Either eyewear or beauty products can now be marketed without having to build distribution channels.

Realizing this trend, Edward admits that he is interested to top up in the consumer tech sector through Kenangan Kapital. He said that there is still a missing gap in Indonesian consumer tech.

He said Indonesia needs more disruption, considering that products/services targeting the consumer segment are still underrated in terms of technology. On the other hand, Edward curious to what extent this vertical leads him to new experiences in entrepreneurship.

This is reflected in a number of his portfolios that mostly running in the B2C segment. A somewhat different hypothesis is taken when investing in Medigo.

Medigo’s business model is considered to have an impact on the consumer segment. Clinics are the main pillars of the health ecosystem in Indonesia. Currently, there are many clinics that are yet to be standardized, while being hospitalized costs quite expensive and is yet to reach the grassroots segment.

“We took an early bet when the numbers are still small, but now they are [Medigo] showing promising results even during the pandemic,” Edward said.

Challenges

Apart from his main focus on consumer tech, Edward revealed that he did not set any portfolio targets in 2021. Likewise, the target range of investment for Kenangan Kapital.

In his opinion, angel investors do not have a certain pressure in providing funding. This is in contrast to the way VCs work, which is to follow KPIs. He tends to choose to invest if there’s a sight of opportunities.

“I think being an angel investor doesn’t require an investment target [issued]. It all depends on the deal per deal. In fact, if there are exceptions for certain companies, I can invest as much as I can,” he added.

Without any specific KPI, Edward emphasized that the most important thing in following the growth of his portfolio business is the product-market fit. If a startup is gaining organic traction, the metric is at least customer acquisition cost (CAC).

However, Edward admits that the challenge of becoming an angel investor is not that different from a venture capitalist. The most common issue is selecting portfolios. He tends to choose founders who can run/find the right business.

“There are many good founders, but not many of them pick a good business. Better to invest in a good business even though the founder is quite Mediocre. The most important thing for me is conviction. That is, no matter what happens, they stick around and make the best out of it. The term is determination,” he said.

Become the CEO and investor at a time

How come Edward manages his role as CEO and angel investor as the number of Capital Memories portfolios grows in the future?

“First, I need to emphasize that my main full-time job is the CEO of Kopi Kenangan. I don’t want my passion to help entrepreneurs interfere with my main job at Kopi Kenangan,” he said.

Second, he thinks it is not good for every businessman to be too dependent on their investors for a long time. Ideally, these founders are expected to be independent and focused on their business in three to six months.

“Because Kenangan Kapital is like a family office and there are no outside investors, I have no pressure to deploy capital like private equity or VC. I can invest in a very few but exceptional founders and help 2-3 founders at a time,” he said.

In fact, he admits that he is happy when his portfolio joins a well-known accelerator program. According to Edward, that could mean they won’t need his further involvement in terms of business.

Accommodating the angel investor ecosystem

It can’t be denied that the angel investor ecosystem in Indonesia is quite silent. Even though angel investors play a big role in providing startup funding in the early phase.

Edward said, the existence of angel investors in Indonesia is very different from the one in the United States (US). The country which is the mecca for the startup industry has a database platform that attracts thousands of angel investors. That way, startups can get direct access and find it easier to find funding from angel investors.

“Here, access to angel investors is rather difficult, so they tend to look for funding options from their families. Therefore, this is what makes them unable to provide [relevant] experience to invested startups because the investors are not from a startup background,” Edward said.

He is aware of the situation. He thought the phenomenon is similar to when the new VC industry has emerged and popular in recent years. As the industry develops, he expects the angel investor ecosystem to develop along the way in the future.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Peran Baru Edward Tirtanata: Jadi “Angel Investor” Lewat Kenangan Kapital

Startup new retail Kopi Kenangan telah menuai banyak sorotan berkat bisnis coffee chain Indonesia yang memperoleh pendanaan besar dari sederet VC ternama, termasuk Sequoia Capital dan Co-Founder Facebook Eduardo Saverin.

Menjulangnya bisnis ini tak lepas dari upaya para pendirinya, Edward Tirtanata dan James Prananto. Kini Kopi Kenangan telah menjelma menjadi salah satu brand minuman kopi terkuat, terutama di kalangan anak muda di Indonesia.

DailySocial berkesempatan mewawancarai Edward Tirtanata, bukan sebagai pendiri bisnis, melainkan pengalaman barunya sebagai angel investor melalui Kenangan Kapital. Bagaimana Edward memaknai peran barunya ini?

Passion di bidang kewirausahaan

Kiprah Edward menjadi angel investor sebetulnya telah berlangsung sejak setahun terakhir. Melalui angel fund miliknya (dengan nama dana kelolaan Kenangan Investment Fund), ia telah berinvestasi di sejumlah startup Indonesia, antara lain BukuKas, GudangAda, OtoKlix, dan Medigo (Klinik Pintar).

Sejak awal, ia mengaku sangat menekuni bidang enterprenuership. Hal ini terbukti dari upayanya membangun Kopi Kenangan. Namun,  kesuksesannya membangun bisnis tak ingin berhenti sampai di situ saja.

Baginya, kewirusahaan dapat diibaratkan sebagai “a good wealth management” yang mana melibatkan asset class yang berbeda. Artinya, apabila ingin melakukan pembedaan, ia tak ingin berinvestasi pada aset bagus (blue chip) atau deposit saja.

A good investor itu harus bisa diversify. Asset class angel investing, dalam satu tahun naik sepuluh kali lipat itu normal. Buat saya itu menarik,” ujar Edward.

Lewat Kenangan Kapital, ia berharap dapat berkontribusi lebih terhadap industri startup Indonesia. Hal ini juga yang mendorong Edward untuk menjajal pengalaman baru dengan terlibat dalam pendanaan startup.

Ketertarikan ke sektor consumer tech

Consumer tech merupakan salah satu vertikal bisnis yang dilirik investor. Produk consumer yang dipadukan dengan teknologi menjadi alasan mengapa bisnis ini dapat di-scale up dengan mudah.

Contoh paling lekat adalah menjamurnya startup yang masuk ke bisnis tradisional dan memanfaatkan teknologi dengan pendekatan direct-to-consumer (DTC). Produk kacamata atau kecantikan kini bisa dipasarkan tanpa perlu membangun jalur distribusi.

Menyadari tren ini, Edward mengaku tertarik bermain lebih banyak pada sektor consumer tech lewat Kenangan Kapital. Ia menilai masih ada missing gap di consumer tech Indonesia.

Menurutnya, Indonesia masih membutuhkan disrupsi lebih banyak mengingat produk/layanan yang menyasar segmen consumer masih terbilang underrated dari sisi teknologi. Di sisi lain, Edward ingin melihat sejauh mana vertikal ini membawanya kepada pengalaman baru dalam berwirausaha.

Hal ini tercermin dari sejumlah portofolionya yang rata-rata bergerak di segmen B2C. Hipotesis yang agak berbeda diambil ketika berinvestasi ke Medigo.

Model bisnis yang diusung Medigo dinilai dapat memberikan impact terhadap segmen consumer. Klinik merupakan pilar utama ekosistem kesehatan di Indonesia. Saat ini, masih banyak klinik yang belum tersandarisasi, sedangkan biaya perawatan di rumah sakit masih terbilang mahal dan belum dapat menjangkau segmen grassroot.

We took an early bet when the numbers are still small, but now they are [Medigo] showing promising results even during the pandemic,” ungkap Edward.

Tantangan

Di luar fokus utamanya di consumer tech, Edward mengungkap ia tidak menetapkan berapa target portofolio yang akan dikejar di tahun 2021. Demikian pula target range investasi yang akan dikucurkan Kenangan Kapital.

Menurutnya, angel investor tidak memiliki pressure tertentu dalam memberikan pendanaan. Hal ini berkebalikan dengan cara kerja VC yang punya KPI tersendiri. Ia cenderung memilih berinvestasi jika melihat peluang yang ada di depan mata.

“Saya pikir menjadi angel investor tidak harus punya target investasi [yang dikeluarkan]. Semua tergantung dari deal per deal. Tentu saja jika ada pengecualian untuk perusahaan tertentu, saya bisa investasi sebanyak mungkin,” paparnya.

Meskipun tidak memiliki KPI tertentu, Edward menekankan bahwa hal terpenting dalam mengikuti pertumbuhan bisnis portofolionya adalah product to market fit. Apabila startup mendulang traksi organik, paling tidak metrik yang ia ukur adalah customer acquisition cost (CAC).

Kendati demikian, Edward mengakui bahwa tantangan menjadi angel investor sebetulnya tak jauh berbeda dengan venture capitalist. Yang paling umum adalah perihal menyeleksi portofolio. Ia cenderung memilih founder yang dapat menjalankan/menemukan bisnis yang tepat.

“Banyak good founder, tapi tak banyak good founder yang pick a good business. Lebih baik berinvestasi di bisnis yang oke meski founder-nya mediocre. Yang utama buat saya sih conviction. Artinya, no matter what happens, mereka tetap bertahan and make the best out of it. Istilahnya ada determination,” tuturnya.

Menjadi CEO dan investor sekaligus

Lalu bagaimana Edward mengelola perannya menjadi CEO dan angel investor seiring berkembangnya jumlah portofolio Kenangan Kapital di masa depan?

“Pertama, saya perlu menegaskan bahwa full time job utama saya adalah sebagai CEO Kopi Kenangan. Saya tidak ingin passion saya untuk membantu para entrepreneur justru menganggu pekerjaan utama saya di Kopi Kenangan,” ucapnya.

Kedua, ia menilai tidak baik bagi setiap pebisnis untuk terlalu bergantung pada investor mereka dalam jangka waktu lama. Idealnya, para founder ini diharapkan bisa menjadi independen dan fokus terhadap bisnisnya dalam tiga hingga enam bulan.

“Karena Kenangan Kapital itu seperti family office atau tidak ada investor luar, saya tidak ada pressure untuk deploy modal seperti halnya private equity atau VC. I can invest in a very few but exceptional founders and help 2-3 founders at a time,” ungkapnya.

Justru ia mengaku senang apabila portofolionya ada yang bergabung di program akselerator ternama. Menurut Edward, itu dapat berarti mereka tidak bakal memerlukan keterlibatannya lebih banyak di bisnis.

Mengakomodasi ekosistem angel investor

Tak dimungkiri bahwa ekosistem angel investor di Indonesia terbilang tak terdengar gaungnya. Padahal angel investor berperan besar dalam memberikan pendanaan startup di fase awal.

Menurut Edward, eksistensi angel investor di Indonesia sangat jauh berbeda dengan di Amerika Serikat (AS). Negara kiblat industri startup ini memiliki platform database yang menjaring ribuan angel investor di sana. Dengan begitu, startup bisa mendapatkan akses langsung dan lebih mudah mencari pendanaan ke angel investor.

“Di sini akses ke angel investor agak sulit, makanya mereka cenderung cari opsi pendanaan ke keluarga. Makanya, ini yang membuat mereka juga ga bisa kasih pengalaman [yang relevan] ke startup yang diinvestasi karena investor-nya bukan dari background startup,” jelas Edward.

Ia memahami situasi ini. Menurutnya fenomenanya sama ketika industri VC baru bermunculan dan populer beberapa tahun belakangan. Seiring berkembangnya industri, ia berharap ekosistem angel investor bakal ikut berkembang juga nanti.

Indonesian Startup investment Exceeds $100 Million During the Pandemic

The second quarter of this year put a new color on the Indonesian startups dynamics. In addition to news about several business shutdowns, during the first half of 2020, funding flows for startups tend to increase compared to the same period in the previous year. In fact, some startups gain funding with a value above $100 million (equivalent to 1.4 trillion Rupiah).

The following are the some startups reportedly raised fresh funding during the pandemic:

Tokopedia (reportedly) raised $500 million

As first reported by DealStreetAsia, sources said the company, led by William Tanuwijaya, received additional capital worth of US$500 million or equivalent to 7.3 trillion Rupiah. Previously, Tokopedia is said to raise new funding up to 21 trillion Rupiah since last year. One of the objectives is to prepare the company to be listed on the stock market. Whether this is true, this acquisition will be the largest in Southeast Asia in the first half of 2020.

Gojek bags US$300 million

In early June, Gojek announced some new investors in their F series rounds. Two of them are Facebook and Paypal. Although it was undisclosed, it was widely publicized that the funds raised reached $ 300 million or equivalent to IDR 4.3 trillion. One of its main focuses is to strengthening GoPay, which driven Gojek’s subsidiary to get filing with unicorn valuation.

Traveloka secured US$250 million

Yesterday, (7/28), Traveloka announced the new funding worth of $250 million or equivalent to 3.6 trillion Rupiah. The fresh money is to support the company rise from the Covid-19 downfall, which kinda hit the OTA business hard in Indonesia and throughout the world. Some strategies are re-planned, although they remain focused on the domestic accommodation business. Some new services, such as Xperience (online), are being promoted to become new revenue streams in the midst of minimal travel ticket sales transactions.

Kopi Kenangan received $109 million

The new retail startup Kopi Kenangan received Series B funding worth of $109 million, equivalent to 1.6 trillion Rupiah in May 2020. This round adds to the total investment raised by the company at $137 million. In addition to expanding business-coverage, the main agenda is to work on the “cloud kitchen” business model, thus enabling many new food and beverage products to be immediately served to its customers.

Bukalapak is to finalize $100 million funding

The latest case comes from Bukalapak. They are currently raising new funding of (at least) US$100 million or equivalent to 1.4 trillion Rupiah. DealStreetAsia said two of its main investors, EMTEK and Ant Financial, had first injected funds in March 2020. It is yet to discover, the agenda for the recent fund. Bukalapak currently operates without any of the founding members in the management, after Fajrin Rasyid appointed as Telkom’s Board of Directors member.

Investment dominated around Southeast Asia

To put rank on the largest funding throughout 2020, the five names above will fill the top 10 list. Some startups in other Southeast Asian countries that have also received new funds reaching at least $100 million, such as Ninja Van (Singapore) $279 million, RWDC Industries (Singapore) $133 million, Tiki (Vietnam) $130 million, and Voyager Innovations (Philippines) $120 million.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Pendanaan Startup Indonesia Bernilai Lebih dari $100 Juta Sepanjang Pandemi

Kuartal kedua tahun ini memberi warna baru dalam dinamika startup Indonesia. Selain kabar mengenai banyak bisnis yang terperosok, selama paruh pertama 2020 arus pendanaan startup cenderung meningkat dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Beberapa startup bahkan mendulang pendanaan dengan nilai di atas $100 juta (setara 1,4 triliun Rupiah).

Berikut ini adalah nama-nama startup yang dikabarkan mendapatkan pendanaan besar baru di masa pandemi:

Tokopedia (dikabarkan) raih $500 juta

Pertama kali diberitakan DealStreetAsia, sumber mengatakan perusahaan yang dipimpin William Tanuwijaya tersebut mendapatkan dana tambahan senilai US$500 juta atau setara 7,3 triliun Rupiah. Sebelumnya dikabarkan Tokopedia memang tengah mencari dana baru hingga 21 triliun Rupiah sejak tahun lalu. Salah satu tujuannya mempersiapkan perusahaan melantai di bursa saham. Jika benar, perolehan ini menjadi yang terbesar di Asia Tenggara di paruh pertama 2020.

Gojek dapat US$300 juta

Awal Juni lalu, Gojek mengumumkan bergabungnya sejumlah investor di putaran seri F mereka. Dua di antaranya adalah Facebook dan Paypal. Kendati tidak diumumkan ke publik, santer tersiar nilai dana yang didapat mencapai $300 juta atau setara 4,3 triliun Rupiah. Pendanaan baru tersebut salah satunya fokus untuk penguatan GoPay, yang mendorong anak usaha Gojek ini melakukan filing dengan valuasi unicorn.

Traveloka rengkuh US$250 juta

Kemarin, (28/7), Traveloka mengumumkan perolehan pendanaan barunya senilai $250 juta atau setara 3,6 triliun Rupiah. Dana ini untuk membantu perusahaan bangkit dari terjangan Covid-19 yang memorak-porandakan bisnis OTA di Indonesia dan seluruh dunia. Beberapa strategi direncanakan ulang, meski tetap fokus di bisnis akomodasi domestik. Beberapa layanan baru, seperti Xperience (online), mulai digalakkan untuk menjadi revenue stream baru di tengah transaksi penjualan tiket perjalanan yang minim.

Kopi Kenangan amankan $109 juta

Startup new retail Kopi Kenangan mendapatkan pendanaan Seri B senilai $109 juta atau setara 1,6 triliun Rupiah pada Mei 2020 lalu. Perolehan ini menambah total investasi yang didapat perusahaan di angka $137 juta. Selain memperluas cakupan bisnis, agenda utama dengan dana baru ini adalah menggarap model bisnis “cloud kitchen”, sehingga memungkinkan banyak produk makanan dan minuman baru yang segera disuguhkan ke para pelanggannya.

Bukalapak dikabarkan rampungkan pendanaan $100 juta

Kabar terbaru datang Bukalapak. Mereka sedang menggalang pendanaan baru senilai (minimal) US$100 juta atau setara 1,4 triliun Rupiah. Sumber DealStreetAsia mengatakan, dua investor utamanya, yakni EMTEK dan Ant Financial, telah terlebih dulu menyuntikkan dana di bulan Maret 2020 lalu. Belum diketahui pasti agenda yang dicanangkan perusahaan dengan dana baru ini. Kini Bukalapak beroperasi tanpa keterlibatan founder di jajaran manajemen, setelah Fajrin Rasyid bergabung dengan Telkom sebagai anggota Direksi.

Dominasi pendanaan di Asia Tenggara

Jika dibuat peringkat pendanaan terbesar sepanjang tahun 2020 ini, lima nama di atas akan mengisi daftar 10 besar. Beberapa startup di negara Asia Tenggara lain yang juga memperoleh dana baru senilai minimal $100 juta adalah Ninja Van (Singapura) $279 juta, RWDC Industries (Singapura) $133 juta, Tiki (Vietnam) $130 juta, dan Voyager Innovations (Filipina) $120 juta.

Alpha JWC Ventures’ Focus and Plans Amid Pandemic

With many VCs performing tight curation, even postpone their investment plans to startup during the pandemic, Alpha JWC Ventures claimed to be quite aggressive in pouring fresh funds into startups in Indonesia. Reportedly, they have announced follow-on funding on 3 of the portfolios. Those include Kopi Kenangan, GudangAda, and Bobobox.

The three startups are Alpha JWC’s preference, as the business model innovations in the industry engaged with people’s basic needs. For example, FMCG – daily-consumed products, yet the industry is still constrained by supply chain structures and traditional transaction processes.

When the pandemic strikes and business activities are limited, these items cannot reach the end consumer as expected. Such startups as GudangAda plays an important role in providing solutions for traders to carry out the transaction (trading) flows, at various levels of the supply chain, in a simplified way through their marketplace platforms and logistics service.

Bobobox is also quite interesting. When the occupancy rate in the hotel industry has dropped dramatically, they provide long-stay accommodation for people who need adequate work-at-home facilities, and also modify their pods into medical rest space.

“We are looking for a startup with a clear vision, a distinctive value proposition, and an agile organizational and cultural structure, therefore, they can adapt to various challenges. Such companies will be able to maintain relevance, develop according to their potential expectations, and eventually became a market leader,” Alpha JWC’s Partner, Eko Kurniadi said.

Alpha JWC is also conducting an assessment of new startups in various funding phases. On the other hand, the team internally focused on helping founders in the current portfolio, both strategically and financial support in the form of follow-on funding.

Business adjustment during pandemic

In particular, Alpha JWC eyes structural changes in the startup business model, as a result of a pandemic that caused changes in consumer consumption behavior and patterns. Businesses are then ‘forced’ to look for new ways to maintain their relevance among consumers – including changes in the customer acquisition process, user experience innovation, and the search for new sources for monetization.

Another thing worth highlighting is the importance of strong business and financial fundamentals. The term ‘growing at all cost’ is no longer the single important line for startups. Startups are now required to show healthy unit economics calculations and clear business plans to achieve profitability.

On the other hand, adjustments or corrections to valuation calculations will also occur through natural selection. The number of startups with funding demand will rise, especially in difficult times. On the contrary, most investors take a more cautious and selective approach in choosing which companies to invest. It is due to the mismatch between supply and demand, price correction (valuation) in the market arose.

The tech industry has helped accelerate digital adoption in traditional industries. This has been visible in some sectors and it is expected that the changes are to spread to other industries such as FMCG, F&B, finance, agriculture, entertainment, and others. Pandemics also create opportunities for many consumers, who were previously conservative, to try technology products offering more convenience.

“Looking at some of the more mature (later-stage) startups in the sectors we discussed earlier, I believe they have the right ingredients to maintain this momentum, even after the pandemic ends – then, it’s a matter of proper execution at the right time,” Kurniadi said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Fokus dan Rencana Investasi Alpha JWC Ventures di Tengah Pandemi

Meskipun kebanyakan VC memilih untuk melakukan kurasi ketat, bahkan menunda, rencana investasinya ke startup, namun selama pandemi Alpha JWC Ventures mengklaim justru cukup agresif menggelontorkan dana segar kepada startup di Indonesia. Tercatat mereka telah mengumumkan pendanaan lanjutan (follow-on funding) bagi 3 dari portofolio. Di antaranya adalah Kopi KenanganGudangAda, dan Bobobox.

Ketiga startup tersebut menjadi pilihan Alpha JWC, dilihat dari inovasi model bisnis dalam industri yang justru merupakan basic needs dari masyarakat. Contohnya, FMCG — kebutuhan pokok masyarakat yang dikonsumsi sehari-hari, namun industri tersebut masih terkendala struktur supply chain dan proses transaksi yang masih tradisional.

Pada saat pandemi melanda dan berbagai kegiatan bisnis menjadi terbatas, barang-barang tersebut tidak dapat sampai ke pintu konsumen akhir seperti yang diharapkan. Startup seperti GudangAda memegang peranan penting dalam memberikan solusi bagi para pedagang agar tetap dapat menjalankan arus transaksi (jual-beli) mereka, di berbagai level supply chain, dengan jauh lebih mudah melalui platform marketplace dan layanan logistiknya.

Bobobox juga menjadi contoh menarik. Di saat occupancy rate di industri perhotelan menurun drastis, mereka menyediakan penginapan long-stay bagi masyarakat yang butuh fasilitas bekerja di rumah yang memadai, dan juga memodifikasi pods mereka menjadi tempat istirahat tenaga medis.

“Yang kami cari adalah startup yang memiliki visi jelas, value proposition yang distinctive, dan struktur organisasi dan culture yang agile, sehingga mereka dapat beradaptasi dalam menghadapi berbagai macam tantangan. Perusahaan seperti inilah yang akan mampu mempertahankan relevansi, berkembang sesuai harapan atas potensinya, dan akhirnya menjadi market leader,” kata Partner Alpha JWC Eko Kurniadi.

Alpha JWC juga sedang melakukan assessment kepada startup baru dalam fase proses pendanaan yang beragam. Di sisi lain, secara internal tim juga fokus untuk membantu founder dalam portofolio binaan, baik secara strategis maupun dukungan finansial dalam bentuk pendanaan lanjutan.

Penyesuaian bisnis startup saat pandemi

Secara khusus Alpha JWC melihat perubahan struktural pada model bisnis startup terjadi, akibat dari pandemi yang menyebabkan perubahan dalam perilaku dan pola konsumsi konsumen. Pelaku bisnis kemudian ‘dipaksa’ untuk mencari cara-cara baru untuk mempertahankan relevansi mereka di mata konsumen — termasuk perubahan dalam proses akuisisi pelanggan, inovasi user experience, dan pencarian sumber-sumber baru untuk monetisasi.

Hal lain yang kemudian menjadi perhatian adalah, pentingnya fundamental bisnis dan finansial yang kuat. Istilah ‘growing at all cost’ bukan lagi merupakan satu-satunya hal utama bagi startup. Startup kini dituntut untuk menunjukkan perhitungan unit economics yang sehat dan rencana bisnis yang jelas untuk mencapai profitabilitas.

Di sisi lain penyesuaian atau koreksi perhitungan valuasi juga akan terjadi melalui proses seleksi alam. Jumlah startup yang membutuhkan dana akan bertambah, terutama di masa sulit seperti ini. Namun sebaliknya, investor kebanyakan mengambil pendekatan yang lebih hati-hati dan selektif dalam memilih perusahaan mana yang akan didanai. Karena adanya mismatch antara supply dan demand, koreksi harga (valuasi) di pasar pun terjadi.

Industri teknologi juga turut membantu mempercepat adopsi digital di industri tradisional. Hal ini sudah terlihat di beberapa sektor tersebut dan diharapkan perubahan ini akan terus cepat menyebar ke industri lainnya seperti FMCG, F&B, keuangan, agrikultur, hiburan, dan lainnya. Pandemi juga menciptakan peluang bagi banyak konsumen, yang tadinya cenderung konservatif, untuk mencoba produk teknologi yang menawarkan convenience. 

“Melihat beberapa startup yang lebih matang (later-stage) di sektor-sektor yang tadi kita bahas, saya percaya mereka memiliki ingredients yang tepat untuk menjaga momentum ini, bahkan setelah pandemi berakhir — dari situ, hanya tinggal masalah eksekusi yang benar di saat yang tepat,” kata Eko.