Samsung Umumkan Chipset dan Sensor Kamera untuk Bidang Otomotif

Kita mengenal nama “Exynos” sebagai branding yang digunakan Samsung untuk chipset smartphone bikinannya. Pertama kali Samsung menggunakan branding tersebut adalah ketika mereka meluncurkan Samsung Galaxy S II di tahun 2011, dan sekarang Exynos bisa kita temui di semua smartphone Samsung yang dipasarkan di luar AS.

Sebelum era Exynos, Samsung sebenarnya sudah punya pengalaman yang cukup panjang di bidang produksi system-on-chip (SoC) untuk pabrikan lain. Maka dari itu, tidak heran apabila mereka akhirnya memutuskan untuk melebarkan cakupan Exynos ke ranah otomotif lewat branding baru Exynos Auto.

Samsung Exynos Auto

Samsung Exynos Auto bakal ditawarkan dalam tiga seri yang berbeda: Exynos Auto A untuk pengolahan sistem driving assistance, Exynos Auto V untuk sistem infotainment, dan Exynos Auto T untuk sistem telematika alias navigasi satelit pada mobil.

Samsung pada dasarnya cukup percaya diri akan keunggulan chipset Exynos dalam hal komputasi dan efisiensi energi untuk dipasok ke mobil-mobil modern. Sayangnya sejauh ini belum ada informasi pabrikan mobil mana yang tertarik menggunakan Exynos Auto.

Samsung ISOCELL Auto

Di samping Exynos Auto, Samsung turut memperkenalkan ISOCELL Auto. ISOCELL, seperti yang kita tahu, adalah branding yang dipakai untuk sensor kamera smartphone bikinan Samsung. Branding ini pertama kali dipakai di tahun 2013, dengan keunggulan dalam hal teknik isolasi pixel guna meningkatkan kualitas gambar di kondisi minim cahaya.

Samsung percaya kelebihan ini dapat diterapkan pada teknologi penunjang sistem kemudi otomatis, spesifiknya kamera yang bisa mengidentifikasi objek di sekitar mobil secara akurat, bahkan di malam hari sekalipun. Sejauh ini ISOCELL Auto telah ditawarkan dalam tiga varian resolusi dari 960p sampai 4K.

Kehadiran Exynos Auto dan ISOCELL Auto pada dasarnya semakin menekankan niat Samsung dalam menyeriusi segmen otomotif setelah sebelumnya mengakuisisi Harman senilai $8 miliar di tahun 2016.

Sumber: Samsung via Engadget.

BMW Vision iNext Demonstrasikan Teknologi Kabin yang Amat Canggih

Mobil konsep dulunya identik dengan pintu bergaya gullwing maupun elemen visual lain yang dapat menambah kesan keren secara instan. Zaman jelas sudah berubah. Sekarang, mobil konsep identik dengan interior minimalis ibarat sebuah lounge berjalan, maupun yang dapat berubah-ubah sesuai kebutuhan.

Tema yang sama juga diangkat oleh BMW lewat konsep terbarunya, BMW Vision iNext. Melalui iNext, BMW sejatinya ingin mendemonstrasikan teknologi-teknologi yang bakal mendikte perkembangan mereka selama setidaknya sepuluh tahun ke depan.

BMW Vision iNext Concept

Motor elektrik sudah pasti menjadi atribut utama, demikian pula integrasi sistem kemudi otomatis. iNext masih mempunyai lingkar kemudi pada dashboard penuh layarnya, yang berarti Anda masih bisa memilih untuk menyetir sendiri. Namun saat mode otomatisnya aktif, setir akan bergerak mundur, mengindikasikan sistem telah mengambil alih.

Yang cukup janggal dari kabin ini adalah absennya tombol atau kenop kontrol fisik. Oke, memang sudah ada beberapa mobil produksi zaman sekarang yang mengandalkan interface sentuh sepenuhnya. Lalu apakah iNext juga demikian? Ya, tapi jauh lebih canggih dari yang kita bayangkan.

BMW Vision iNext Concept

Untuk mengatur volume audio misalnya, tidak perlu menyentuh slider di layar atau menerapkan gesture tangan tertentu. Cukup letakkan jari di permukaan jok di samping paha, lakukan gerakan seperti menggambar lingkaran, maka volume bakal membesar atau mengecil.

BMW menyebut teknologi ini dengan istilah “Shy Tech”. Maksudnya, teknologi ini akan hanya tersedia ketika kita membutuhkannya saja. Sebaliknya, teknologi bakal membaur dengan material-material dalam kabin ketika tidak diperlukan, sama sekali tidak mengganggu pengalaman berkendara semua penumpang.

BMW Vision iNext Concept

Sepintas kedengarannya memang seperti sihir, akan tetapi BMW memanfaatkan teknologi Jacquard hasil garapan Google untuk mewujudkannya. Teknologi itu pada dasarnya memungkinkan material kain untuk disulap menjadi panel kapasitif karena ditenun menggunakan benang induktif.

Contoh lain Shy Tech yang lebih ekstrem adalah proyektor sebagai sumber segala konten. Bukan cuma konten yang tampil di layar infotainment saja, tapi juga yang muncul di halaman buku; saat berada di dalam kabin iNext, Anda cuma perlu membawa satu buku kosong, lalu proyektor akan mendeteksi keberadaannya dan memproyeksikan bacaan ke atasnya.

BMW Vision iNext Concept

Apakah ini lebih efisien ketimbang membawa sebuah iPad? Entahlah, toh ini memang mobil konsep, jadi semua hal tidak harus terdengar rasional. Kendati demikian, harus diakui filosofi Shy Tech ini sangat menarik, terutama apabila BMW bisa menerapkannya guna mengatasi problem-problem yang nyata, bukan sebatas keren-kerenan seperti mengganti buku dengan hasil proyeksi itu tadi.

BMW Vision iNext Concept

Beralih ke luar, kelihatan sekali wajah SUV yang amat futuristis. Ciri khas BMW masih dipertahankan lewat grille depannya, meski kini wujudnya sudah agak berbeda, demikian pula fungsinya yang telah beralih menjadi tempat bernaungnya sensor-sensor sistem kemudi otomatis.

Rencananya, BMW akan menggarap versi produksi iNext pada tahun 2021. Setahun sebelum itu, SUV elektrik BMW iX3 yang lebih tradisional bakal lebih dulu direalisasikan.

Sumber: CNET dan BMW.

Konsep Volvo 360c Gambarkan Kondisi Transportasi Pribadi di Masa Depan

Anggap Anda hendak menuju Bandung dari Jakarta, Anda pilih naik mobil atau pesawat? Naik pesawat memang jelas lebih cepat, tapi jika ditotal waktu yang dihabiskan sebenarnya tidak terlalu jauh berbeda; yang mencakup perjalanan ke bandara, waktu menunggu boarding, dan perjalanan dari bandara Husein Sastranegara ke lokasi yang dituju di kota Bandung.

Poin yang ingin saya angkat adalah, naik mobil dari Jakarta ke Bandung memang lebih lama dan lebih melelahkan, tapi jauh lebih praktis. Setidaknya satu kekurangannya itu (melelahkan) dapat diatasi oleh perkembangan mobil kemudi otomatis. Kira-kira demikian pemikiran di balik pengembangan mobil konsep terbaru Volvo, 360c.

Volvo 360c Concept

Volvo 360c dideskripsikan sebagai mobil elektrik yang fully autonomous alias sama sekali tidak memerlukan kehadiran seorang sopir. Tidak ada ruang untuk pengemudi di dalam kabinnya, yang ada hanyalah interior modular yang bisa diatur sesuai kebutuhan; apakah Anda perlu tidur selama perjalanan, perlu bekerja, perlu bertatap muka bersama kolega, atau mungkin sebatas perlu menghabiskan satu season serial favorit di Netflix.

Karena ini adalah Volvo yang kita bicarakan, faktor keselamatan selalu menjadi prioritas sejak mereka pertama kali menciptakan sabuk pengaman tiga titik di tahun 1959, dan 360c pun tidak luput dari filosofi tersebut. Salah satu contohnya, selimut yang ada di dalam kabin juga dilengkapi sistem pengaman serupa, sehingga penumpang dapat tidur nyenyak sepanjang perjalanan selagi masih dijaga keselamatannya.

Pendekatan yang diambil Volvo ini tergolong cukup unik karena selama ini jarang sekali ada konsep-konsep mobil tanpa sopir yang menekankan fitur keselamatan, seakan-akan pengembangnya berasumsi mobil-mobil tersebut tidak akan pernah mengalami kecelakaan.

Masih seputar keselamatan, 360c juga dirancang agar dapat menyampaikan intensinya kepada pengguna jalan lain lewat perpaduan indikator suara dan lampu. Volvo berharap sistem komunikasi satu arah semacam ini dapat menjadi standar dalam pengembangan mobil kemudi otomatis ke depannya.

Volvo 360c Concept

Balik lagi ke cerita perjalanan Jakarta-Bandung tadi, Volvo 360c pada dasarnya bisa memberikan kepraktisan yang sama seperti naik mobil sendiri (tidak perlu ke bandara dan sebagainya) sekaligus kenyamanan seperti naik pesawat (cukup pejamkan mata saja sepanjang perjalanan). Namun selama mobil seperti 360c masih berstatus konsep, semua ini hanyalah angan-angan semata.

Juga penting untuk dicatat adalah, seandainya Volvo memproduksi mobil serupa di masa yang akan datang, kemungkinan Anda tidak akan bisa membelinya. Volvo bakal menawarkannya dalam bentuk layanan berlangganan (car sharing) ketimbang menjualnya ke konsumen secara langsung – ya setidaknya debat mengenai “bikin garasi dulu sebelum beli mobil” jadi bisa diselesaikan.

Sumber: CNET dan Volvo.

Demi Kebaikan Bersama, Tesla Akan Rilis Source Code Software Keamanannya

Elon Musk bukan sosok jenius (plus kaya) yang paling ramah yang bisa Anda temui, apalagi setelah kontroversi pernyataannya seputar aksi penyelamatan korban yang terjebak di dalam gua di Thailand beberapa waktu lalu. Kendati demikian, dunia masih perlu banyak berterima kasih kepadanya.

Ambil contoh Hyperloop. Konsep transportasi masa depan itu berawal dari pemikiran Elon Musk, namun ketimbang mematenkan teknologinya, beliau memutuskan untuk merilis blueprint-nya ke publik, dan dari situ akhirnya bermunculan sederet perusahaan yang mengembangkan sistem Hyperloop-nya sendiri-sendiri.

Baru-baru ini, Elon kembali membuktikan bahwa dirinya jauh dari kata egois jika menyangkut kebaikan generasi masa depan. Lewat sebuah Tweet (seperti biasa), Elon mengungkap rencananya untuk merilis source code dari software keamanan yang digunakan mobil-mobil Tesla, sehingga pabrikan lain bisa memakai source code tersebut tanpa mengeluarkan biaya lisensi (open-source).

Elon menilai bahwa langkah ini penting demi menjaga keselamatan mobil kemudi otomatis di masa yang akan datang. Padahal, kalau mau Elon sebenarnya bisa mengabaikan rencana ini, lalu ke depannya memasarkan mobil kemudi otomatisnya sebagai yang paling aman dibanding produk kompetitor.

Tampilan panel instrumen Tesla saat Autopilot aktif / Tesla
Tampilan panel instrumen Tesla saat Autopilot aktif / Tesla

Kasusnya mungkin kurang lebih mirip seperti ketika Volvo menciptakan sabuk pengaman tiga titik untuk pertama kalinya di tahun 1959. Awalnya Volvo mematenkan teknologi tersebut, namun tak lama setelahnya Volvo merelakan paten tersebut supaya pabrikan lain juga bisa memproduksi mobil dengan desain sabuk pengaman yang sama demi keselamatan orang banyak.

Buat Tesla, jiwa mulianya ini memang belum terbukti, dan lagi masih ada faktor lain yang mempengaruhi keputusan mereka: Tesla dari awal memang menggunakan platform open-source macam Linux sebagai basis berbagai fiturnya, sehingga pada akhirnya mereka juga dituntut untuk membalas kebaikan komunitas dengan merilis source code rancangannya.

Tesla pun perlahan memenuhi tuntutan tersebut. Bulan Mei lalu, mereka merilis source code untuk software Autopilot-nya. Sekarang kita tinggal menunggu Tesla memenuhi rencananya mengenai perilisan source code untuk software keamanannya ini, demikian pula softwaresoftware lain ke depannya demi prospek industri otomotif yang lebih cerah.

Sumber: Engadget.

Bosch Umumkan Layanan Informasi Kondisi Jalan untuk Mobil Kemudi Otomatis

Tahun 2015 lalu, Bosch sempat menjabarkan visinya terkait mobilitas masa depan yang sarat teknologi baru. Sebagai supplier besar di industri otomotif, Bosch tentu tidak hanya pintar berwacana saja. Dalam beberapa tahun terakhir, perusahaan asal Jerman itu sibuk menyiapkan teknologi-teknologi pendukung untuk menyambut era baru di dunia otomotif.

Salah satunya baru saja mereka umumkan, yakni sebuah layanan informasi yang dikhususkan untuk membantu mengamankan kendaraan self-driving, terutama yang melaju di atas jalanan dengan kondisi kurang ideal (licin misalnya). Sistem ini mengandalkan data ramalan cuaca dari perusahaan asal Finlandia, Foreca, untuk meracik berbagai skenario yang bisa terjadi, sehingga mobil dapat mengantisipasi.

Layanan ini pada dasarnya bakal menjadi sumber peringatan bagi mobil kemudi otomatis terkait potensi bahaya jauh sebelum insiden terjadi. Dengan begitu, mobil tak perlu menyerahkan kemudinya kembali ke seseorang yang berada di balik setir ketika menjumpai tanda-tanda kondisi jalanan yang kurang baik, tapi bisa langsung mengantisipasi dengan berbagai cara, tergantung kondisinya.

Rencananya, layanan ini bakal mulai beroperasi pada tahun 2020. Ke depannya, Bosch juga akan memanfaatkan data dari mobil-mobil self-driving yang melaju di jalanan, bukan sebatas data ramalan cuaca dari Foreca itu saja.

Datanya cukup bervariasi, mulai dari yang simpel seperti informasi suhu di dalam dan luar mobil, sampai yang lebih rumit dan krusial seperti frekuensi aktivasi wiper dan rem mobil. Sistem bikinan Bosch ini sederhananya bakal menjadi perantara komunikasi antar mobil self-driving, dan kinerjanya tentu bakal semakin bisa diandalkan seiring bertambah banyaknya mobil kemudi otomatis yang turun ke jalan.

Sumber: Engadget.

Daimler dan Bosch Percayakan Platform Nvidia untuk Kembangkan Taksi Tanpa Sopirnya

Ajang CES 2018 lalu menjadi saksi atas komitmen dan keseriusan Nvidia di bidang otomotif. Miliaran dolar telah mereka habiskan dalam beberapa tahun belakangan guna mengembangkan sistem kemudi otomatis, dan ini tentu didasari oleh keyakinan mereka akan prospek bisnis ke depannya.

Tidak sedikit nama besar industri otomotif yang memercayakan Nvidia sebagai mitra utamanya dalam mengembangkan mobil kemudi otomatis. Salah satu yang terbaru adalah Daimler dan Bosch, yang sendirinya menjalin kerja sama untuk mengembangkan taksi otonom sejak tahun lalu. Keduanya berharap bisa melepas buah kolaborasinya dalam waktu lima tahun.

Lima tahun adalah waktu yang tergolong singkat, apalagi jika yang dibicarakan adalah mobil kemudi otomatis yang masuk di kategori Level 4 dan 5, di mana Level 5 merepresentasikan teknologi paling mutakhir dan kesiapan untuk mengaspal tanpa sentuhan tangan manusia sedikit pun. Itulah mengapa Daimler dan Bosch melirik ke Nvidia, yang sejauh ini bisa dibilang paling teruji platform kemudi otomatisnya di samping Waymo (Google).

Daimler sebagai induk perusahaan Mercedes-Benz bakal menyematkan sistem Nvidia Drive Pegasus ke sedan mewah S-Class dan van V-Class. Keduanya bakal menjalani uji coba di kawasan Silicon Valley mulai babak kedua 2019. Selain itu, pekerjaan rumah lain yang harus diselesaikan adalah merancang sistem layanan yang nantinya bakal menatap konsumen secara langsung.

Namun mungkin yang menjadi pertanyaan adalah, mengapa harus taksi? Mengapa tidak kendaraan pribadi saja? Alasannya simpel: di saat awal mobil kemudi otomatis Level 4 dan Level 5 terealisasikan nanti, harganya bisa dipastikan sangat mahal dan kurang masuk akal untuk konsumen secara luas.

Jadi mungkin akan lebih bijak kalau dalam beberapa tahun pertama mobil-mobil tersebut dijadikan transportasi umum saja. Selanjutnya ketika teknologi di baliknya semakin terjangkau untuk diproduksi secara massal, barulah mobil-mobil ini dapat menyasar konsumen secara langsung.

Sumber: Engadget dan Daimler.

Audi Gandeng Huawei untuk Kembangkan Teknologi Konektivitas Khusus Mobil

Tanpa harus terkejut, ada banyak komponen esensial yang membentuk sebuah mobil kemudi otomatis selain mobilnya itu sendiri. Sering kali pabrikan mobil pun harus mengandalkan pihak lain demi mengintegrasikan komponen-komponen ini. Tidak terkecuali Audi, yang baru saja menyepakati kerja sama dengan Huawei.

Sebelum ini, Audi sudah lebih dulu bekerja sama dengan Nvidia dalam pengembangan mobil kemudi otomatisnya, spesifiknya untuk menggunakan sistem berbasis AI yang dikerjakan oleh produsen kartu grafis tersebut. Kemitraannya dengan Huawei ini agak berbeda, di mana yang menjadi fokus adalah seputar konektivitas.

Seperti yang kita tahu, sebelum menjadi pemain besar di industri smartphone, Huawei mengawali kiprahnya sebagai produsen modem dan sejenisnya. Selama beberapa tahun terakhir ini, Huawei rupanya juga sibuk mengembangkan teknologi jaringan baru bernama LTE-V, di mana imbuhan “V” di sini tentu saja merujuk pada kata “vehicle“.

Koneksi yang optimal tentu sangat esensial kalau kabin mobilnya secanggih milik e-tron Quattro / Audi
Koneksi yang optimal tentu sangat esensial kalau kabin mobilnya secanggih milik e-tron Quattro / Audi

Varian baru LTE ini pastinya dirancang demi mengoptimalkan keluar-masuknya data yang berlangsung selama mobil berjalan. Data dalam konteks ini juga cukup spesifik, semisal informasi lalu lintas yang dikalkulasikan berdasarkan data dari lampu lalu lintas dan kamera CCTV di perempatan atau pertigaan jalan.

Kolaborasi ini memungkinkan Audi dan Huawei untuk mengembangkan dan menguji LTE-V ke tingkat lebih lanjut. Di samping itu, ada pula visi terkait digitalisasi berbagai layanan yang termasuk dalam ekosistem mobil. Rencananya, mobil hasil kerja sama keduanya nanti bakal dipasarkan lebih dulu di dataran Tiongkok.

Selain karena alasan di atas, Anda mungkin masih bingung mengapa harus Huawei yang dipercaya Audi? Well, Huawei sendiri sebenarnya sudah punya banyak inisiatif terkait masa depan industri otomotif. Salah satunya sempat mereka pamerkan di ajang MWC 2018 lalu dalam bentuk Porsche Panamera yang ‘disopiri’ oleh smartphone.

Sumber: TechCrunch dan Audi.

Land Rover Kembangkan Sistem Kemudi Otomatis Khusus Off-Road

Bukan hal yang mengejutkan lagi apabila banyak pabrikan mobil tengah sibuk mengembangkan sistem kemudi otomatisnya masing-masing. Namun saya yakin penggemar otomotif bakal sedikit heran mendengar nama Land Rover sebagai salah satunya.

Alasannya simpel: Land Rover identik dengan mobil off-road yang sangat jago menerjang banjir, melintasi medan terjal, atau sesinting mendaki ratusan anak tangga. Kalau mereka memutuskan untuk mengerjakan sistem kemudi otomatisnya sendiri, sudah pasti ada hubungannya dengan off-road, bukan?

Benar. Bukan Land Rover namanya kalau tidak mengedepankan aspek off-roading, dan proyek baru mereka yang bernama Cortex ini punya tujuan untuk merealisasikan sebuah SUV yang sanggup mengemudikan dirinya sendiri di medan off-road. Tidak tanggung-tanggung, dana sebesar nyaris 5 juta dolar mereka kucurkan hanya untuk proyek ini.

Ini jelas bukan pekerjaan mudah bagi Land Rover, sebab di medan off-road tidak ada alat bantu seperti marka jalan yang dapat dimanfaatkan sistem untuk memprediksi pergerakan mobil selanjutnya. Itulah mengapa mereka memutuskan untuk meminta bantuan para ahli machine learning dari Myrtle AI dan University of Birmingham.

Land Rover Project Cortex

Untuk sekarang, yang sedang dikembangkan adalah bagaimana sistem dapat memaksimalkan potensi radar pada mobil. Land Rover ingin sistemnya bisa memanfaatkan lebih dari sebatas sepuluh persen data radar seperti kasusnya pada sistem active cruise control sekarang.

Untuk itu, diperlukan komponen radar yang mampu menangkap data dalam resolusi lebih tinggi, dan yang lebih sulit adalah bagaimana sistem dapat mengolah data berukuran masif tersebut setiap detiknya. Ini tentu baru sebagian cerita, sebab masih ada faktor penting lain seperti misalnya optimasi algoritma prediktif.

Ketika tujuan akhir Cortex terwujud nanti, dua premis unggulan Land Rover pun dapat semakin dipertegas, spesifiknya kapabilitas off-road dan kenyamanan dalam kabin, sebab seseorang yang berada di balik lingkar kemudi bisa bersantai menjadi penumpang dan menikmati keindahan alam selagi mobilnya melintasi medan tak bersahabat.

Sumber: Wired dan Land Rover.

Dampak Skandal Mobil Kemudi Otomatis Uber, Nvidia Terapkan Pengujian Secara Virtual

Di event CES pada bulan Januari lalu, Nvidia sempat bicara panjang-lebar mengenai rencananya memaksimalkan artificial intelligence di industri otomotif. Mereka tidak segan menghabiskan dana miliaran dolar untuk melakukan riset di bidang pengembangan sistem kemudi otomatis, dan sederet inovasi sudah mereka siapkan bagi mitra pabrikan mobil yang tertarik.

Namun situasinya berubah setelah kasus kecelakaan yang melibatkan mobil kemudi otomatis Uber pada tanggal 19 Maret lalu, yang memakan korban seorang wanita berusia 49 tahun. Selang beberapa hari setelahnya, Recode melaporkan bahwa Nvidia memutuskan untuk menyetop semua pengujian mobil kemudi otomatisnya selagi investigasi atas kasus Uber berlangsung.

Nvidia bukannya menyerah. Mereka masih punya ide lain untuk meneruskan kerjanya, tanpa harus mengemban risiko fatal yang bisa terjadi. Ide tersebut diwujudkan lewat sistem bernama Nvidia Drive Constellation, yang sederhananya memungkinkan mitra-mitra Nvidia untuk melakukan pengujian secara virtual.

Nvidia Drive Constellation

Drive Constellation terdiri dari dua komponen. Yang pertama adalah software Nvidia Drive Sim yang berjalan pada suatu server, yang bertugas menyimulasikan semua teknologi yang terdapat pada mobil kemudi otomatis, termasuk deretan sensor seperti radar dan lidar.

Simulasi virtual ini juga dapat merefleksikan kondisi mengemudi yang bervariasi, semisal saat kaca depan mobil menjadi target silauan matahari terbenam, atau saat badai besar melanda. Kreasi datanya dipercayakan pada sejumlah GPU buatan Nvidia sendiri.

Komponen yang kedua juga berupa server, tapi yang menjalankan software Nvidia Drive Pegasus. Tugasnya adalah memroses data-data yang berasal dari server Drive Sim, lalu merespon balik secara instan.

Perpaduan keduanya memungkinkan mitra Nvidia untuk menguji reaksi algoritma kemudi otomatisnya masing-masing ketika dihadapkan dengan skenario-skenario ekstrem. Selain sama sekali tidak membahayakan, simulasi virtual juga dapat menghasilkan lebih banyak data untuk dipelajari, sebab pabrikan bisa melangsungkannya sebanyak apapun mereka mau dalam satu hari.

Sumber: Engadget.

Huawei Buktikan Bahwa AI Milik Smartphone Juga Bisa Mengemudikan Mobil dengan Sendirinya

Sehebat apa kapabilitas artificial intelligence (AI) yang terdapat pada smartphone saat ini? Seperti yang kita tahu, tren ini belakangan mulai populer sejak Apple mengklaim iPhone X memiliki komponen neural engine pada chipset-nya. Tidak lama setelahnya, Huawei yang juga merancang chipset-nya sendiri bilang bahwa seri Mate 10 turut dilengkapi komponen serupa.

Huawei punya cara unik untuk mendemonstrasikan kapabilitas AI yang mereka sematkan pada smartphone buatannya. Di ajang MWC 2018 di kota Barcelona, mereka mengajak sejumlah jurnalis untuk mengendarai Porsche Panamera yang ‘disopiri’ oleh Mate 10 Pro, tanpa ada seorang pun di balik lingkar kemudi mobil tersebut.

Sumber gambar: USAToday
Sumber gambar: USAToday

Mobilnya sendiri tentu sudah dimodifikasi dengan sistem kemudi otomatis, termasuk sebuah kamera yang diletakkan di bagian atap. Mate 10 Pro di sini bertindak sebagai ‘otak’ mobil, mengolah informasi yang diterimanya dari kamera itu tadi, lalu mengirimkan instruksi ke sistem robotik pada mobil.

Huawei bilang bahwa AI milik Mate 10 Pro dapat mengenali lebih dari 1.000 objek yang berbeda, mulai dari anjing dan kucing, sampai bola dan sepeda. Ketika objek-objek itu terdeteksi, ponsel akan mengirimkan instruksi supaya mobil bisa mengerem atau menghindarinya. Andai objeknya tidak dikenali, AI tetap bisa dilatih berkat kapabilitas deep learning.

Pada awal demonstrasi, mobil hanya berjalan dalam kecepatan sekitar 10 km/jam saja selagi AI mendeteksi dan mempelajari sejumlah objek yang ada di sekitar. Setelahnya, mobil mulai melaju secepat 50 km/jam selagi bermanuver dengan tepat (menyesuaikan dengan input penumpang melalui sebuah aplikasi) ketika ada objek di rutenya.

Proyek ini Huawei sebut dengan istilah “RoadReader”, dan mereka rupanya hanya butuh waktu sekitar lima minggu untuk mengerjakannya. Pada umumnya, kapabilitas seperti ini hanya bisa diwujudkan dengan bantuan chip khusus macam yang dibuat oleh Nvidia, akan tetapi Huawei berhasil membuktikan bahwa chipset smartphone saja sudah punya potensi yang cukup mendekati.

Sumber: 1, 2, 3.