Domino’s Pizza Kembali Uji Layanan Delivery Berbasis Robot

Di masa yang akan datang nanti, sebagian besar lahan pekerjaan kurir atau pengirim barang bakal diisi oleh robot. Tanda-tandanya sebenarnya sudah bisa kita pantau mulai sekarang, salah satunya Amazon Scout, robot mirip cooler box beroda yang telah diuji coba secara publik belum lama ini.

Amazon adalah peritel online terbesar sejagat, jadi wajar apabila mereka merasa perlu memulai tren armada robot pengirim barang. Bagaimana dengan pekerjaan kurir lain, semisal mengantar pizza? Well, di ranah itu sudah ada Domino’s Pizza yang tidak lelah bereksperimen dari tahun ke tahun.

Mereka sudah mencoba mengantarkan pesanan pizza konsumennya menggunakan robot, baik lewat darat maupun udara. Kedua percobaan itu dilangsungkan di Australia dan Selandia Baru, dan sekarang Domino’s ingin menjalankan program uji coba yang sama di kampung halamannya, Amerika Serikat.

Robot yang digunakan sekali lagi berbeda. Kali ini Domino’s bekerja sama dengan Nuro, startup bidang robotik yang didirikan oleh mantan engineer proyek self-driving milik Google (yang pada akhirnya berevolusi menjadi Waymo). Robot yang digunakan adalah Nuro R1, semacam mobil kecil yang dari awal dirancang untuk beroperasi secara mandiri.

Nuro R1

Nuro R1 tak bisa disamakan dengan mobil pada umumnya. Panjangnya cuma sekitar 2,5 meter, dan lebarnya pun hanya separuh sedan biasa. Ia sama sekali tidak mempunyai kabin untuk diisi manusia, melainkan hanya sepasang kompartemen untuk menyimpan kargo saja. Bahkan pedal rem dan lingkar kemudi pun ia tak punya.

Berhubung dimensinya cukup besar, Nuro R1 lebih pantas dianggap sebagai mobil tanpa sopir ketimbang robot, dan ia memang dirancang untuk melaju di jalanan umum, baik di kawasan urban ataupun suburban. Kecepatan maksimumnya berkisar di angka 40 km/jam.

Lokasi pengujian yang dipilih adalah kota Houston, yang kerap menjadi pilihan para penggiat teknologi autonomous berkat regulasi negara bagian Texas yang tidak begitu ketat. Program pengujian ini rencananya bakal dilancarkan antara kuartal ketiga atau keempat tahun ini.

Nantinya, pelanggan yang memesan dari salah satu cabang Domino’s tertentu dapat memilih untuk menerima pesanannya via sang robot, dan pelanggan pun bakal menerima kode PIN sekali pakai untuk membuka kompartemen R1 setibanya di lokasi. Mekanismenya tidak jauh berbeda dari mayoritas layanan pengiriman berbasis robot yang ditawarkan perusaahan lain.

Sumber: Fast Company dan Nuro.

Truk Otomatis Volvo, Vera, Siap Bertugas Mengangkut Kontainer dengan Sendirinya

Secara umum, tujuan utama dari pengembangan teknologi robotik dan autonomous adalah untuk menyediakan bantuan terhadap pekerjaan-pekerjaan repetitif. Kalau perlu contoh, pencapaian terbaru Volvo Trucks belum lama ini bisa menjadi contoh yang tepat.

Mereka baru saja mengumumkan bahwa truk otomatisnya yang diperkenalkan tahun lalu, Vera, siap menjalankan tugas perdananya tidak lama lagi. Bekerja sama dengan perusahaan logistik asal Swedia, DFDS, Volvo bakal menugaskan Vera untuk mengangkut kontainer dari area gudang di kota Gothenburg menuju ke pelabuhan.

Volvo Trucks Vera

Melihat wujud Vera, tampak jelas bahwa truk ini sengaja dirancang untuk tidak dikemudikan oleh seseorang. Mesinnya pun murni mengandalkan tenaga listrik, dengan kecepatan maksimum 40 km/jam. Selama bertugas, Vera akan terus dipantau oleh operator dari sebuah menara kontrol.

Koneksi antara Vera dan menara kontrol ini merupakan komponen yang esensial, sebab yang dimonitor secara akurat bukan cuma posisi tiap-tiap unit Vera saja, tapi juga parameter-parameter penting lain, macam sisa baterai misalnya. Kecepatan setiap unitnya juga bakal diatur dari pusat kontrol yang sama, menyesuaikan dengan kondisi yang ada.

Volvo Trucks Vera

Rute yang akan diambil Vera memang sudah paten, akan tetapi rupanya masih mencakup sejumlah jalan umum di kawasan industri. Jaraknya pun tidak begitu jauh, tapi kembali lagi, tujuan yang hendak dicapai adalah menyediakan solusi yang lebih efisien dan presisi terhadap pekerjaan repetitif.

Terakhir, program ini juga disiapkan sebagai salah satu langkah awal untuk mengadaptasikan infrastruktur. Tanpa dukungan infrastruktur yang tepat, semisal gerbang otomatis di area pelabuhan, teknologi canggih yang diusung Vera juga tidak akan bisa bekerja secara maksimal, dan ini sangat berpengaruh terhadap implementasi teknologi autonomous dalam skala yang lebih besar.

Sumber: Volvo.

Jaguar Land Rover Uji Sistem Proyeksi untuk Menunjukkan Arah Pergerakan Mobil Kemudi Otomatis

Mengembangkan mobil kemudi otomatis tentunya ada banyak sekali tantangan, namun salah satu yang terbesar yang dihadapi pabrikan otomotif adalah masalah kepercayaan; bagaimana mereka bisa meyakinkan publik bahwa mobil kemudi otomatis itu aman dikendarai, sekaligus aman untuk pengguna jalan lain di sekitarnya, termasuk para pejalan kaki.

Menurut Jaguar Land Rover (JLR), salah satu caranya adalah membuat mobil kemudi otomatis yang dapat memberitahukan ke sekitar apa yang sedang dan akan dilakukannya. Sistem yang mereka kembangkan mengandalkan proyektor untuk menampilkan indikator visual ke jalanan di depannya.

Indikatornya berupa garis-garis horizontal yang berjajar. Ketika mobil melaju, jarak antar garisnya akan melebar. Sebaliknya, ketika mengerem, jarak antar garis akan menyempit hingga akhirnya nyaris berdempet ketika berhenti total.

Jaguar Land Rover self-driving car projection system

Lalu ketika hendak membelok, garis-garis yang diproyeksikan juga akan melengkung mengikuti arah belokan. Harapannya, baik pengemudi lain atau pejalan kaki di sekitar dapat memahami ke mana arah pergerakan sang mobil kemudi otomatis. Ibaratnya seperti lampu sein, tapi untuk lebih dari sekadar arah membelok saja.

Saat ini sistemnya tengah dicoba bersama sebuah autonomous pod garapan Aurrigo. Implementasinya masih belum diketahui, sebab JLR untuk sekarang baru sekadar ingin mempelajari seberapa banyak informasi yang harus dibagikan sebuah mobil kemudi otomatis agar bisa memperoleh kepercayaan dari para pejalan kaki di sekitarnya.

Sumber: SlashGear dan Jaguar Land Rover.

Waymo Umumkan Layanan Taksi Online Tanpa Sopir, Waymo One

Sudah bukan rahasia apabila banyak sopir taksi dan ojek di tanah air yang merasa terancam dengan adanya layanan seperti GO-JEK atau Grab. Namun seandainya mereka memutuskan untuk ikut menjadi mitra pengemudi kedua perusahaan tersebut, apakah profesi mereka otomatis jadi terbebas dari ancaman?

Untuk sekarang mungkin jawabannya iya, tapi kita tidak boleh lupa bahwa di luar sana ada banyak pihak yang mati-matian mewujudkan armada taksi tanpa sopir. Salah satunya Waymo, anak perusahaan Alphabet yang sejak April tahun lalu sudah mengerahkan ratusan mobil tanpa sopir di jalanan kota Phoenix, Arizona.

Tidak lama lagi, program tersebut akan ‘lulus’ dan berevolusi menjadi layanan taksi online bernama Waymo One. Layanan ini sebenarnya masih bersifat uji coba, sebab masih ada satu karyawan Waymo yang mengawasi di balik setir setiap mobil. Yang bakal menjadi konsumen pun juga orang-orang yang sebelumnya sempat berpartisipasi dalam program Waymo.

Waymo One

Yang berbeda, mereka sekarang bebas membagikan kesan-kesannya menggunakan layanan ini kepada publik. Mereka juga dipersilakan mengajak rekan atau anggota keluarganya yang sebelumnya tidak termasuk sebagai partisipan program Waymo. Lalu kalau sebelumnya mereka cuma diminta umpan balik, sekarang mereka diharuskan membayar tarif yang tertera pada aplikasi.

Aplikasi? Ya, cara memesannya tidak berbeda dari layanan taksi online yang kita kenal selama ini. Yang menarik, selagi dalam perjalanan, konsumen bisa melihat visualisasi pergerakan mobil beserta kondisi di sekitarnya pada aplikasi maupun layar tablet yang terpasang di kabin mobil.

Waymo One

Seperti yang saya bilang, untuk sekarang kesannya terlalu prematur menganggap layanan seperti Waymo One ini sebagai ancaman terhadap layanan taksi online konvensional. Regulasi setempat akan selalu menjadi penghalang terbesar, dan ini bukan tantangan yang mudah dilalui meskipun teknologi kemudi otomatis sudah bisa dibilang benar-benar matang.

Terlepas dari itu, Waymo One sejatinya bisa menjadi indikasi bahwa di masa yang akan datang, angkutan umum bakal sepenuhnya mengandalkan tenaga kerja robot (AI). Sekarang saja saya sudah berani menyebut Uber dan Grab sebagai layanan taksi online “konvensional” dengan hadirnya Waymo One.

Sumber: 1, 2, 3.

Konsep Volvo 360c Gambarkan Kondisi Transportasi Pribadi di Masa Depan

Anggap Anda hendak menuju Bandung dari Jakarta, Anda pilih naik mobil atau pesawat? Naik pesawat memang jelas lebih cepat, tapi jika ditotal waktu yang dihabiskan sebenarnya tidak terlalu jauh berbeda; yang mencakup perjalanan ke bandara, waktu menunggu boarding, dan perjalanan dari bandara Husein Sastranegara ke lokasi yang dituju di kota Bandung.

Poin yang ingin saya angkat adalah, naik mobil dari Jakarta ke Bandung memang lebih lama dan lebih melelahkan, tapi jauh lebih praktis. Setidaknya satu kekurangannya itu (melelahkan) dapat diatasi oleh perkembangan mobil kemudi otomatis. Kira-kira demikian pemikiran di balik pengembangan mobil konsep terbaru Volvo, 360c.

Volvo 360c Concept

Volvo 360c dideskripsikan sebagai mobil elektrik yang fully autonomous alias sama sekali tidak memerlukan kehadiran seorang sopir. Tidak ada ruang untuk pengemudi di dalam kabinnya, yang ada hanyalah interior modular yang bisa diatur sesuai kebutuhan; apakah Anda perlu tidur selama perjalanan, perlu bekerja, perlu bertatap muka bersama kolega, atau mungkin sebatas perlu menghabiskan satu season serial favorit di Netflix.

Karena ini adalah Volvo yang kita bicarakan, faktor keselamatan selalu menjadi prioritas sejak mereka pertama kali menciptakan sabuk pengaman tiga titik di tahun 1959, dan 360c pun tidak luput dari filosofi tersebut. Salah satu contohnya, selimut yang ada di dalam kabin juga dilengkapi sistem pengaman serupa, sehingga penumpang dapat tidur nyenyak sepanjang perjalanan selagi masih dijaga keselamatannya.

Pendekatan yang diambil Volvo ini tergolong cukup unik karena selama ini jarang sekali ada konsep-konsep mobil tanpa sopir yang menekankan fitur keselamatan, seakan-akan pengembangnya berasumsi mobil-mobil tersebut tidak akan pernah mengalami kecelakaan.

Masih seputar keselamatan, 360c juga dirancang agar dapat menyampaikan intensinya kepada pengguna jalan lain lewat perpaduan indikator suara dan lampu. Volvo berharap sistem komunikasi satu arah semacam ini dapat menjadi standar dalam pengembangan mobil kemudi otomatis ke depannya.

Volvo 360c Concept

Balik lagi ke cerita perjalanan Jakarta-Bandung tadi, Volvo 360c pada dasarnya bisa memberikan kepraktisan yang sama seperti naik mobil sendiri (tidak perlu ke bandara dan sebagainya) sekaligus kenyamanan seperti naik pesawat (cukup pejamkan mata saja sepanjang perjalanan). Namun selama mobil seperti 360c masih berstatus konsep, semua ini hanyalah angan-angan semata.

Juga penting untuk dicatat adalah, seandainya Volvo memproduksi mobil serupa di masa yang akan datang, kemungkinan Anda tidak akan bisa membelinya. Volvo bakal menawarkannya dalam bentuk layanan berlangganan (car sharing) ketimbang menjualnya ke konsumen secara langsung – ya setidaknya debat mengenai “bikin garasi dulu sebelum beli mobil” jadi bisa diselesaikan.

Sumber: CNET dan Volvo.

Demi Kebaikan Bersama, Tesla Akan Rilis Source Code Software Keamanannya

Elon Musk bukan sosok jenius (plus kaya) yang paling ramah yang bisa Anda temui, apalagi setelah kontroversi pernyataannya seputar aksi penyelamatan korban yang terjebak di dalam gua di Thailand beberapa waktu lalu. Kendati demikian, dunia masih perlu banyak berterima kasih kepadanya.

Ambil contoh Hyperloop. Konsep transportasi masa depan itu berawal dari pemikiran Elon Musk, namun ketimbang mematenkan teknologinya, beliau memutuskan untuk merilis blueprint-nya ke publik, dan dari situ akhirnya bermunculan sederet perusahaan yang mengembangkan sistem Hyperloop-nya sendiri-sendiri.

Baru-baru ini, Elon kembali membuktikan bahwa dirinya jauh dari kata egois jika menyangkut kebaikan generasi masa depan. Lewat sebuah Tweet (seperti biasa), Elon mengungkap rencananya untuk merilis source code dari software keamanan yang digunakan mobil-mobil Tesla, sehingga pabrikan lain bisa memakai source code tersebut tanpa mengeluarkan biaya lisensi (open-source).

Elon menilai bahwa langkah ini penting demi menjaga keselamatan mobil kemudi otomatis di masa yang akan datang. Padahal, kalau mau Elon sebenarnya bisa mengabaikan rencana ini, lalu ke depannya memasarkan mobil kemudi otomatisnya sebagai yang paling aman dibanding produk kompetitor.

Tampilan panel instrumen Tesla saat Autopilot aktif / Tesla
Tampilan panel instrumen Tesla saat Autopilot aktif / Tesla

Kasusnya mungkin kurang lebih mirip seperti ketika Volvo menciptakan sabuk pengaman tiga titik untuk pertama kalinya di tahun 1959. Awalnya Volvo mematenkan teknologi tersebut, namun tak lama setelahnya Volvo merelakan paten tersebut supaya pabrikan lain juga bisa memproduksi mobil dengan desain sabuk pengaman yang sama demi keselamatan orang banyak.

Buat Tesla, jiwa mulianya ini memang belum terbukti, dan lagi masih ada faktor lain yang mempengaruhi keputusan mereka: Tesla dari awal memang menggunakan platform open-source macam Linux sebagai basis berbagai fiturnya, sehingga pada akhirnya mereka juga dituntut untuk membalas kebaikan komunitas dengan merilis source code rancangannya.

Tesla pun perlahan memenuhi tuntutan tersebut. Bulan Mei lalu, mereka merilis source code untuk software Autopilot-nya. Sekarang kita tinggal menunggu Tesla memenuhi rencananya mengenai perilisan source code untuk software keamanannya ini, demikian pula softwaresoftware lain ke depannya demi prospek industri otomotif yang lebih cerah.

Sumber: Engadget.

Daimler dan Bosch Percayakan Platform Nvidia untuk Kembangkan Taksi Tanpa Sopirnya

Ajang CES 2018 lalu menjadi saksi atas komitmen dan keseriusan Nvidia di bidang otomotif. Miliaran dolar telah mereka habiskan dalam beberapa tahun belakangan guna mengembangkan sistem kemudi otomatis, dan ini tentu didasari oleh keyakinan mereka akan prospek bisnis ke depannya.

Tidak sedikit nama besar industri otomotif yang memercayakan Nvidia sebagai mitra utamanya dalam mengembangkan mobil kemudi otomatis. Salah satu yang terbaru adalah Daimler dan Bosch, yang sendirinya menjalin kerja sama untuk mengembangkan taksi otonom sejak tahun lalu. Keduanya berharap bisa melepas buah kolaborasinya dalam waktu lima tahun.

Lima tahun adalah waktu yang tergolong singkat, apalagi jika yang dibicarakan adalah mobil kemudi otomatis yang masuk di kategori Level 4 dan 5, di mana Level 5 merepresentasikan teknologi paling mutakhir dan kesiapan untuk mengaspal tanpa sentuhan tangan manusia sedikit pun. Itulah mengapa Daimler dan Bosch melirik ke Nvidia, yang sejauh ini bisa dibilang paling teruji platform kemudi otomatisnya di samping Waymo (Google).

Daimler sebagai induk perusahaan Mercedes-Benz bakal menyematkan sistem Nvidia Drive Pegasus ke sedan mewah S-Class dan van V-Class. Keduanya bakal menjalani uji coba di kawasan Silicon Valley mulai babak kedua 2019. Selain itu, pekerjaan rumah lain yang harus diselesaikan adalah merancang sistem layanan yang nantinya bakal menatap konsumen secara langsung.

Namun mungkin yang menjadi pertanyaan adalah, mengapa harus taksi? Mengapa tidak kendaraan pribadi saja? Alasannya simpel: di saat awal mobil kemudi otomatis Level 4 dan Level 5 terealisasikan nanti, harganya bisa dipastikan sangat mahal dan kurang masuk akal untuk konsumen secara luas.

Jadi mungkin akan lebih bijak kalau dalam beberapa tahun pertama mobil-mobil tersebut dijadikan transportasi umum saja. Selanjutnya ketika teknologi di baliknya semakin terjangkau untuk diproduksi secara massal, barulah mobil-mobil ini dapat menyasar konsumen secara langsung.

Sumber: Engadget dan Daimler.

Land Rover Kembangkan Sistem Kemudi Otomatis Khusus Off-Road

Bukan hal yang mengejutkan lagi apabila banyak pabrikan mobil tengah sibuk mengembangkan sistem kemudi otomatisnya masing-masing. Namun saya yakin penggemar otomotif bakal sedikit heran mendengar nama Land Rover sebagai salah satunya.

Alasannya simpel: Land Rover identik dengan mobil off-road yang sangat jago menerjang banjir, melintasi medan terjal, atau sesinting mendaki ratusan anak tangga. Kalau mereka memutuskan untuk mengerjakan sistem kemudi otomatisnya sendiri, sudah pasti ada hubungannya dengan off-road, bukan?

Benar. Bukan Land Rover namanya kalau tidak mengedepankan aspek off-roading, dan proyek baru mereka yang bernama Cortex ini punya tujuan untuk merealisasikan sebuah SUV yang sanggup mengemudikan dirinya sendiri di medan off-road. Tidak tanggung-tanggung, dana sebesar nyaris 5 juta dolar mereka kucurkan hanya untuk proyek ini.

Ini jelas bukan pekerjaan mudah bagi Land Rover, sebab di medan off-road tidak ada alat bantu seperti marka jalan yang dapat dimanfaatkan sistem untuk memprediksi pergerakan mobil selanjutnya. Itulah mengapa mereka memutuskan untuk meminta bantuan para ahli machine learning dari Myrtle AI dan University of Birmingham.

Land Rover Project Cortex

Untuk sekarang, yang sedang dikembangkan adalah bagaimana sistem dapat memaksimalkan potensi radar pada mobil. Land Rover ingin sistemnya bisa memanfaatkan lebih dari sebatas sepuluh persen data radar seperti kasusnya pada sistem active cruise control sekarang.

Untuk itu, diperlukan komponen radar yang mampu menangkap data dalam resolusi lebih tinggi, dan yang lebih sulit adalah bagaimana sistem dapat mengolah data berukuran masif tersebut setiap detiknya. Ini tentu baru sebagian cerita, sebab masih ada faktor penting lain seperti misalnya optimasi algoritma prediktif.

Ketika tujuan akhir Cortex terwujud nanti, dua premis unggulan Land Rover pun dapat semakin dipertegas, spesifiknya kapabilitas off-road dan kenyamanan dalam kabin, sebab seseorang yang berada di balik lingkar kemudi bisa bersantai menjadi penumpang dan menikmati keindahan alam selagi mobilnya melintasi medan tak bersahabat.

Sumber: Wired dan Land Rover.

Dampak Skandal Mobil Kemudi Otomatis Uber, Nvidia Terapkan Pengujian Secara Virtual

Di event CES pada bulan Januari lalu, Nvidia sempat bicara panjang-lebar mengenai rencananya memaksimalkan artificial intelligence di industri otomotif. Mereka tidak segan menghabiskan dana miliaran dolar untuk melakukan riset di bidang pengembangan sistem kemudi otomatis, dan sederet inovasi sudah mereka siapkan bagi mitra pabrikan mobil yang tertarik.

Namun situasinya berubah setelah kasus kecelakaan yang melibatkan mobil kemudi otomatis Uber pada tanggal 19 Maret lalu, yang memakan korban seorang wanita berusia 49 tahun. Selang beberapa hari setelahnya, Recode melaporkan bahwa Nvidia memutuskan untuk menyetop semua pengujian mobil kemudi otomatisnya selagi investigasi atas kasus Uber berlangsung.

Nvidia bukannya menyerah. Mereka masih punya ide lain untuk meneruskan kerjanya, tanpa harus mengemban risiko fatal yang bisa terjadi. Ide tersebut diwujudkan lewat sistem bernama Nvidia Drive Constellation, yang sederhananya memungkinkan mitra-mitra Nvidia untuk melakukan pengujian secara virtual.

Nvidia Drive Constellation

Drive Constellation terdiri dari dua komponen. Yang pertama adalah software Nvidia Drive Sim yang berjalan pada suatu server, yang bertugas menyimulasikan semua teknologi yang terdapat pada mobil kemudi otomatis, termasuk deretan sensor seperti radar dan lidar.

Simulasi virtual ini juga dapat merefleksikan kondisi mengemudi yang bervariasi, semisal saat kaca depan mobil menjadi target silauan matahari terbenam, atau saat badai besar melanda. Kreasi datanya dipercayakan pada sejumlah GPU buatan Nvidia sendiri.

Komponen yang kedua juga berupa server, tapi yang menjalankan software Nvidia Drive Pegasus. Tugasnya adalah memroses data-data yang berasal dari server Drive Sim, lalu merespon balik secara instan.

Perpaduan keduanya memungkinkan mitra Nvidia untuk menguji reaksi algoritma kemudi otomatisnya masing-masing ketika dihadapkan dengan skenario-skenario ekstrem. Selain sama sekali tidak membahayakan, simulasi virtual juga dapat menghasilkan lebih banyak data untuk dipelajari, sebab pabrikan bisa melangsungkannya sebanyak apapun mereka mau dalam satu hari.

Sumber: Engadget.

Huawei Buktikan Bahwa AI Milik Smartphone Juga Bisa Mengemudikan Mobil dengan Sendirinya

Sehebat apa kapabilitas artificial intelligence (AI) yang terdapat pada smartphone saat ini? Seperti yang kita tahu, tren ini belakangan mulai populer sejak Apple mengklaim iPhone X memiliki komponen neural engine pada chipset-nya. Tidak lama setelahnya, Huawei yang juga merancang chipset-nya sendiri bilang bahwa seri Mate 10 turut dilengkapi komponen serupa.

Huawei punya cara unik untuk mendemonstrasikan kapabilitas AI yang mereka sematkan pada smartphone buatannya. Di ajang MWC 2018 di kota Barcelona, mereka mengajak sejumlah jurnalis untuk mengendarai Porsche Panamera yang ‘disopiri’ oleh Mate 10 Pro, tanpa ada seorang pun di balik lingkar kemudi mobil tersebut.

Sumber gambar: USAToday
Sumber gambar: USAToday

Mobilnya sendiri tentu sudah dimodifikasi dengan sistem kemudi otomatis, termasuk sebuah kamera yang diletakkan di bagian atap. Mate 10 Pro di sini bertindak sebagai ‘otak’ mobil, mengolah informasi yang diterimanya dari kamera itu tadi, lalu mengirimkan instruksi ke sistem robotik pada mobil.

Huawei bilang bahwa AI milik Mate 10 Pro dapat mengenali lebih dari 1.000 objek yang berbeda, mulai dari anjing dan kucing, sampai bola dan sepeda. Ketika objek-objek itu terdeteksi, ponsel akan mengirimkan instruksi supaya mobil bisa mengerem atau menghindarinya. Andai objeknya tidak dikenali, AI tetap bisa dilatih berkat kapabilitas deep learning.

Pada awal demonstrasi, mobil hanya berjalan dalam kecepatan sekitar 10 km/jam saja selagi AI mendeteksi dan mempelajari sejumlah objek yang ada di sekitar. Setelahnya, mobil mulai melaju secepat 50 km/jam selagi bermanuver dengan tepat (menyesuaikan dengan input penumpang melalui sebuah aplikasi) ketika ada objek di rutenya.

Proyek ini Huawei sebut dengan istilah “RoadReader”, dan mereka rupanya hanya butuh waktu sekitar lima minggu untuk mengerjakannya. Pada umumnya, kapabilitas seperti ini hanya bisa diwujudkan dengan bantuan chip khusus macam yang dibuat oleh Nvidia, akan tetapi Huawei berhasil membuktikan bahwa chipset smartphone saja sudah punya potensi yang cukup mendekati.

Sumber: 1, 2, 3.