Platform Digital PURA Mudahkan Masyarakat Dapatkan Bahan Makanan Alami

Gaya hidup sehat terus tumbuh dalam benak masyarakat saat ini. Olahraga dan asupan gizi yang masuk ke dalam tubuh merupakan dua variabel utama dalam menjalankan gaya hidup sehat. Variabel terakhir relatif lebih sulit karena bahan makanan alami berkualitas belum cukup aksesibel.

Hal ini mendasari keputusan Monica Liando dan Johan S. Hermawan mendirikan Pura pada 2017, sebuah startup new retail yang menyediakan produk garam dan bumbu masak alami. Beberapa tahun sebelumnya, Monica sendiri sempat mendera penyakit yang mengharuskannya mengonsumsi bahan pangan alami. Namun saat itu ketersediaan bahan pangan seperti itu di Indonesia masih terbilang langka.

“Melalui PURA kami ingin menjadi jawaban untuk membantu masyarakat yang mengedepankan gaya hidup sehat dalam mencari merek natural yang trustable dan berkualitas,” ucap Monica yang juga memegang peran Marketing Strategist PURA.

Alasan memilih garam dan bumbu

PURA diambil dari kata “pure” yang berarti murni. Monica beralasan, garam dan bumbu adalah dua benda yang keberadaannya tak tergantikan dalam setiap masakan. Tak terkecuali untuk produk makanan sehat. Masalahnya stigma bahwa produk makanan sehat tak pernah cukup sedap cukup santer di kuping masyarakat.

PURA ingin membalikkan stigma itu tanpa mengorbankan kualitas kandungan bahan makanannya. Selain itu produk ini ditujukan untuk membantu orang-orang membuat masakan sehat mereka sendiri dengan mudah. Sebab tak jarang makanan sehat sekaligus nikmat hanya bisa disantap di rumah-rumah makan.

Adapun produk yang dijual meliput food powder, food seasoning, hingga garam Himalaya. Komposisi dari produk itu disebut tak mengandung karbohidrat, lemak, kalori, ataupun gula.

Mengikuti tren gaya hidup sehat

about-photo

PURA menjalankan bisnisnya secara direct to consumer dengan memanfaatkan kanal penjualan e-commerce dan distribusi di sejumlah pasar swalayan di kota-kota besar Indonesia. Mereka yang menjadi target PURA adalah masyarakat yang sudah sadar akan gaya hidup sehat.

Monica percaya PURA kian relevan dengan situasi sekarang karena mereka trennya memang berkembang demikian. Tren ini tidak hanya terjadi di negara-negara besar, tapi juga Indonesia. Ini cocok dengan data yang dicatat sejumlah lembaga.

Salah satu indikator tren gaya hidup sehat itu adalah bertambahnya petani yang mengelola pertanian organik dan gerai produk organik di pasar swalayan serta rumah makan. Hal itu diucapkan langsung oleh Direktur Kerja Sama Pengembangan Ekspor Kementerian Perdagangan, Marolop Nainggolan.

Tentang kompetisi dan tantangan

Tren ini juga berarti ada pertumbuhan pemain bahan makan alami seperti PURA. Menghadapi hal itu mereka yakin bisa keluar sebagai pemenang karena produk mereka mengikuti standar keamanan pangan dan rutin diuji ke laboratorium.

Monica menambahkan yang membedakan mereka dengan pemain serupa adalah edukasi yang kuat kepada konsumen tentang pentingnya hidup sehat khususnya melalui asupan makanan. “Sehingga kami juga mengkampanyekan bahwa menjadi pembeli juga harus kritis agar mereka bisa mengetahui sendiri apakah suatu produk benar-benar sehat dan berkualitas,” imbuhnya.

Sebagai peserta angkatan teranyar Gojek Xcelerate, PURA punya pekerjaan rumah untuk meningkatkan pemanfaatan teknologi. Monica mengatakan hal itu akan diatasi dengan digital marketing yang kuat. “Karena melalui digital marketing kami dapat memasarkan kepada target market kami di mana dan kapan saja.”

Monica mengakui bahwa setelah program akselerasi dengan Gojek kemarin mereka jadi lebih terbuka dengan opsi pendanaan. Menurut dia selama ini PURA beroperasi dengan dana mereka sendiri. Mereka berancang-ancang melakukan kerja sama strategis dan pengumpulan dana di tahun ini.

“Oleh karena itu, selain fokus pada pemasaran digital kami juga akan memperbesar area distribusi agar lebih mudah dijangkau oleh target market kami,” pungkas Monica.

Sneakershoot Akomodasi Jasa Cuci Sepatu dan Tas Melalui Aplikasi

Memanfaatkan besarnya minat layanan on-demand, platform Sneakershoot dihadirkan. Mereka menyuguhkan jasa pembersihan sepatu plus antar-jemputnya memanfaatkan aplikasi. Startup ini didirikan pada tahun 2019 oleh Donni Irawan, Ikhsan Senja Anchan, Dedy Haryadi, dan Noffian Triyadi. Visi mereka menjadi pioneer untuk jasa cuci sepatu berbasis teknologi.

“Perkembangan tren sneakers di Indonesia kini tumbuh semakin cepat, bukan hanya brand internasional yang berdatangan kini brand lokal Indonesia hadir dan berlomba untuk menaikkan popularitasnya. Kami hadir sebagai penyedia jasa perawatan sepatu,” kata CEO Sneakershoot Donni Irawan kepada DailySocial.

Meskipun baru berjalan selama 1,5 tahun,  Sneakershoot telah melayani lebih dari 5 ribu pelanggan dan telah membersihkan lebih dari 30 ribu pasang sepatu.

“Kami menyediakan jasa free pick up dan delivery di kawasan Jabodetabek kepada pelanggan yang ingin mencuci sepatu dan tas mereka. Kami juga menawarkan jasa, repair, repaint, un-yellowing, dan re-coloring. Kepada pelanggan kami  berikan opsi berlangganan dan mendapatkan harga promosi,” kata Donni.

Meskipun saat ini masih fokus di kawasan Jabodetabek, namun beberapa kali juga menerima pelanggan yang bermukim di luar Jabodetabek. Biasanya mereka mengirim sepatu yang akan dibersihkan dan di re-paint melalui jasa ekspedisi.

“Saat ini kami belum berencana untuk melakukan fundraising. Akhir Februari 2020, perusahaan baru saja merampungkan penggalangan dana putaran pre-seed dari SALT Ventures,” kata Donni.

Penggunaan aplikasi

Saat ini Sneakershoot telah memiliki sekitar 15 tim internal dan beberapa tenaga paruh waktu (freelancer) untuk membantu operasional sehari-hari. Tenaga paruh waktu tersebut di antaranya adalah shoes technician dan tenaga kurir yang melakukan antar jemput sepatu.

Mereka yang menjadi tenaga freelance tersebut berhak mendapat komisi dari Sneakershoot, menyesuaikan perhitungan harian dan mendapatkan bonus jika telah mencapai target. Semua proses dilakukan di workshop milik mereka. Saat ini Sneakershoot baru memiliki satu workshop. Ke depannya perusahaan memiliki rencana untuk menambah jumlah workshop di kawasan lainnya.

Untuk memudahkan pelanggan melakukan pembayaran, Sneakershoot yang bisa diakses di Play Store dan App Store, menyediakan pilihan pembayaran beragam. Mulai dari dompet digital (Gopay, Dana, LinkAja, dan OVO), hingga transfer bank (Mandiri, BNI, Permata, dan BRI). Dalam waktu dekat juga berencana untuk menghadirkan pembayaran menggunakan kartu kredit.

Dalam melakukan treatment yang sepenuhnya memanfaatkan aplikasi, semua proses pengambilan sepatu kotor sampai proses pengantaran sepatu bersih itu semua dilakukan oleh pihak Sneakershoot. Pelanggan juga dapat mengatur jadwal yang diinginkan sehingga mereka tidak perlu repot datang membawa atau mengambil ke mall atau store laundry sepatu. Semua proses tersebut telah di asuransi-kan.

“Semua proses adalah penggunaan aplikasi menyeluruh. Ke depannya kami juga berencana untuk menghadirkan opsi akses di website,” kata Donni.

Application Information Will Show Up Here

Bagaimana Layanan Startup Membantu UMKM

Jumlah UMKM di Indonesia saat ini lebih dari 60 juta. Kendati untuk ukuran bisnis mereka masih tergolong kecil, tetapi secara bersama mereka mendukung ekonomi Indonesia. Dalam lima tahun terakhir kita lihat bersama bagaimana startup teknologi mencoba membantu UMKM bertumbuh dan berkembang cepat. Potensi ini terus belanjut, bahkan memasuki babak selanjutnya.

Di awal meledaknya implementasi teknologi digital, banyak startup yang menawarkan serangkaian solusi untuk membantu bisnis UMKM berkembang. Bulakapak, Tokopedia, dan Gojek adalah tiga dari banyak startup dengan semangat tersebut.

Tokopedia dan Bukalapak saat ini telah berhasil mengubah kebiasaan banyak masyarakat Indonesia dalam hal belanja online. Di sisi lainnya, efek meledaknya volume transaksi di dua layanan e-commerce top Indonesia tersebut adalah banyaknya penjual, yang kebanyakan UMKM, menikmati hasilnya. Platform Bukalapak dan Tokopedia terbukti menjadi etalase bisnis digital yang mampu menjangkau jutaan orang sekaligus.

Selain etalase online, Tokopedia dan Bukalapak juga menawarkan pengelolaan bisnis, integerasi dengan layanan logistik, dan sistem pembayaran yang sekarang semakin banyak pilihannya. Jadi tidak berlebihan jika menyebut Tokopedia dan Bukalapak adalah salah satu alasan UMKM bertahan dan berkembang, bahkan memicu banyak munculnya pebisnis baru.

Di periode yang sama Gojek berinovasi dengan GoFood. Layanan ini kemudian meledak, memicu pesaingnya Grab, meluncurkan layanans serupa, GrabFood. Meledaknya penggunaan layanan pesan antar makanan ini adalah berkah bagi mereka yang berjualan makanan. Tak hanya melayani pelanggan yang mampir ke warung, kini mereka bisa melayani pelanggan dari mana saja, asalkan terjangkau cakupan layanan pengiriman makanan.

Modal dan digitalisasi yang lebih baik

Setelah banyak bukti startup bisa bersinergi dengan UMKM, kemudian ramai-ramai bermunculan layanan dengan niat baik serupa. Mereka menghadirkan berbagai macam layanan yang ditujukan untuk membantu UMKM untuk “naik kelas”. Salah satu yang paling krusial adalah akses permodalan yang lebih mudah.

Nama-nama seperti KoinWorks, Investree, Modalku, Akseleran, Amartha adalah beberapa di antaranya. Mereka menawarkan akses ke pinjaman produktif. Tren mengembangkan layanan permodalan pun juga masuk ke area peternakan dan pertanian. Semuanya melalui kanal digital.

Modal adalah salah satu bagian penting perjalanan bisnis. Tidak hanya untuk memulai bisnis, modal juga diperlukan untuk melakukan inovasi lanjutan–ekspansi misalnya. Lahirnya banyak startup yang membantu UMKM mengakses permodalan ini penting untuk menyelesaikan salah satu permasalahan klasik UMKM secara digital.

Di fase ini juga muncul banyak bentuk layanan yang ditujukan untuk membantu UMKM. Misalnya, munculnya penyedia dashboard yang mampu mengelola beragam toko online di media sosial, lahirnya berbagai macam bentuk chatbot, pengleola stok, dan semacamnya.

Menyasar UMKM lebih banyak lagi

Tak berhenti pada pemodalan, masih banyak startup yang muncul untuk bisa memberikan solusi bagi bisnis UMKM untuk berkembang. Tidak hanya UMKM Go Online, tetapi terkait dengan manajemen dan pengelolaan. WarungPintar, Wahyoo, Mitra Bukalapak, Mitra Tokopedia, dan GrabKios lahir di fase ini.

Fokusnya tidak hanya bagaimana bisnis bisa dipasarkan lebih luas, tapi lebih ke bagaimana pengelolaan bisnis UMKM itu sendiri. Selain “menyulap” bisnis dengan tampilan yang kekinian, Platform ini menyediakan aplikasi yang bisa membuat pengusaha offline, dalam hal ini warung makan atau retail perorangan, untuk bisa berdaya.

Mitra Bukalapak, Mitra Tokopedia, dan Grab Kios misalnya. Mereka membuat para pedagang retail tak hanya menjual barang dagangannya, tetapi juga menjual tiket, pulsa, paket data, dan pembayaran lainnya. Wahyoo dan Warung Pintar pun demikian, hanya fokus ke kategori UMKM yang berbeda.

Inovasi selanjutnya tampaknya akan mengarah pada perbaikan disribusi pasokan barangnya atau supply chain. Jadi semua barang yang dijual akan mampu dipesan melalui aplikasi-aplikasi yang ada. Akan menjadi rantai pasok distribusi yang efisien jika startup-startup ini mampu menyediakan gudang atau tempat pemasok yang terjangkau. Tentunya dengan rantai pasokan yang lebih efisien harga juga bisa menjadi lebih baik. Belum lagi penawaran-penawaran menarik lainnya, seperti pilihan pembayaran dan semacamnya.

Yang terbaru, Ula, startup yang mencoba memberikan disrupsi di sektor supply chain, berhasil mendapatkan pendanaan awal sebesar Rp148 miliar dari sejumlah investor.

GetGo to Boost AI Technology for Retail Transaction

The development of artificial intelligence technology for retail consumers in Indonesia has not been as massive as in more developed countries. The implementation is quite intended for the corporations or governments, for example by making chatbot or CCTV detectors. This opportunity was used by GetGo as an AI startup focused on retail consumer transaction solutions.

“We focus on the daily issues in retail transactions, although there are many challenges to be solved with AI. AI for retail is quite small [its players], even in the region it is still not big enough,” GetGo’s Co-Founder and CEO, Erdian Tomy told DailySocial.

Erdian, along with Andika Rachman as Chief AI Officer in developing GetGo since July last year. Both are strong in their respective backgrounds, for example, Erdian has experience in advertising and Andika is strong in the AI-based innovation.

The journey begins when there are problems shopping at offline stores, sellers can not know the character and habits of buyers to do upselling. Even buyers cannot feel a seamless shopping experience.

“Starts from there we began to enter the offline realm by creating a GetGo Mini Cashier-less Store product, in collaboration with co-working space at seven locations earlier this year.”

In this first product, employees of coworking space can shop from products sold in the box and pay without cashiers. The payment process is done online. Nearly three months of running, GetGo managed to get 761 unique users.

This mid-March must stop because there is an obligation to quarantine at home because of the pandemic in Indonesia. “Finally from March until now our first product had to stop temporarily because of all the WFH offices, so there were no employees leaving.”

Erdian and the team finally racked their brains to continue to innovate, finally releasing a second product targeting online consumers called GetGo Visual Search. This product is an API that is integrated with e-commerce platform owners to be used by consumers when searching for goods online.

In the initial stages, GetGo can only be able to detect fashion products. The way for consumers is to simply take pictures that they can through the camera features in e-commerce applications. Product results will be immediately listed based on what they are looking for.

“This product is B2B. So we have an API that can be used by e-commerce partners. Consumers don’t need to install additional applications because AI GetGo has already been embedded in the e-commerce application.”

GetGo Mini Cashier-less Store di salah satu lokasi / GetGo
A location of GetGo Mini Cashier-less Store

Future business plans

Armed with the knowledge following the Gojek Xcelerate accelerator program, GetGo is more determined to get these two products mature. Erdian said that his team currently in the process of an agreement with two e-commerce platforms. Also, an additional AI’s ability to detect furniture products.

“Later, for the monetization model, we will charge per month to e-commerce. Meanwhile, Mini Cashier-less products use advertisements in each store. ”

Erdian believes that these two products will be widely accepted in the future and feel the impact of everyday transactions. Moreover, this product is built by local people, so there is more value offered, apart from pricing that is much cheaper.

“The technology is a commodity that cannot actually be used by certain countries. In the US and China, AI has become a part of life, they used to shop offline without cashiers. We have value, from the price is much cheaper and the approach is done locally. ”

Towards a new normal, he expects GetGo to be more expansive in developing business, including seeking funding. So far the company is still using its own funds, aka bootstrapping. The total GetGo team currently consists of six people and mostly are engineers.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

GetGo Ingin Populerkan AI untuk Permudah Transaksi Ritel

Pengembangan teknologi kecerdasan buatan untuk konsumer ritel di Indonesia belum semasif seperti negara-negara yang lebih maju. Implementasinya sejauh ini masih diarahkan untuk kebutuhan korporasi atau pemerintah, misalnya dengan membuat chatbot atau CCTV pendeteksi. Kekosongan ini dimanfaatkan GetGo sebagai startup AI yang fokus untuk solusi transaksi konsumer ritel.

“Kita fokus ke masalah transaksi sehari-hari di ritel, padahal di sini ada banyak tantangan yang bisa diselesaikan dengan AI. AI for retail ini masih kecil [pemainnya], bahkan di regional saja masih sedikit,” ucap Co-Founder dan CEO GetGo Erdian Tomy kepada DailySocial.

Selain Erdian, ia ditemani Andika Rachman sebagai Chief AI Officer dalam merintis GetGo sejak Juli tahun lalu. Keduanya kuat di latar belakang masing-masing, misalnya Erdian yang punya pengalaman di bidang periklanan dan Andika kuat di bidang AI.

Perjalanan dimulai ketika ditemukan masalah belanja di toko offline, penjual tidak bisa mengetahui karakter dan kebiasaan pembeli untuk melakukan upselling. Pembeli pun tidak bisa merasakan pengalaman belanja yang seamless.

“Dari situ kita mulai masuk ke ranah offline dengan membuat produk GetGo Mini Cashier-less Store, bekerja sama dengan coworking space ada di tujuh lokasi pada awal tahun ini.”

Pada produk pertama ini, karyawan dari coworking space tersebut bisa berbelanja dari produk-produk yang dijual di dalam kotak dan membayarnya tanpa kasir. Proses pembayaran dilakukan secara online. Hampir tiga bulan berjalan, GetGo berhasil mendapat 761 unique user.

Pertengahan Maret ini harus terhenti karena ada kewajiban untuk karantina di rumah karena pandemi merebak di Indonesia. “Akhirnya dari Maret sampai sekarang produk pertama kita harus berhenti sementara karena semua kantor WFH, jadi tidak ada karyawan yang keluar.”

Erdian dan tim akhirnya putar otak untuk terus berinovasi, akhirnya merilis produk kedua yang menyasar konsumen online bernama GetGo Visual Search. Produk ini berupa API yang dintegrasikan ke pemilik platform e-commerce agar bisa digunakan oleh konsumennya saat mencari barang secara online.

Pada tahap awal, GetGo baru bisa mampu mendeteksi produk fesyen. Caranya konsumen cukup mengambil gambar yang mereka dapat melalui fitur kamera di dalam aplikasi e-commerce. Hasil produk akan langsung tertera berdasarkan yang mereka cari.

“Produk ini b2b. Jadi kita punya API yang bisa dipakai oleh mitra e-commerce. Konsumen jadi tidak perlu install tambahan aplikasi karena AI GetGo sudah ditanamkan di dalam aplikasi e-commerce tersebut.”

GetGo Mini Cashier-less Store di salah satu lokasi / GetGo
GetGo Mini Cashier-less Store di salah satu lokasi / GetGo

Rencana bisnis berikutnya

Berbekal ilmu yang didapat mengikuti program akselerator Gojek Xcelerate, GetGo semakin mantap untuk mematangkan produk keduanya tersebut. Erdian mengatakan saat ini pihaknya sedang dalam proses kesepakatan dengan dua platform e-commerce. Juga menambah kemampuan AI untuk mendeteksi produk furnitur.

“Nanti model monetisasinya, kita akan charge per bulan ke e-commerce-nya. Sementara untuk produk Mini Cashier-less menggunakan iklan di tiap store-nya.”

Erdian meyakini, kedua produk ini ke depannya dapat diterima secara luas dan merasakan dampaknya dalam transaksi sehari-hari. Terlebih produk ini dibangun oleh orang-orang lokal, sehingga ada nilai lebih yang ditawarkan, selain dari pricing yang jauh lebih murah.

“Teknologi itu adalah komoditas yang sebenarnya tidak bisa dipakai oleh negara tertentu saja. Di AS dan Tiongkok, AI sudah jadi bagian kehidupan, mereka biasa belanja offline tanpa kasir. Kita punya value, dari harga jauh lebih murah dan approach-nya dengan cara lokal.”

Menuju kondisi normal baru, dia berharap GetGo lebih ekspansif untuk mengembangkan bisnis, termasuk mencari pendanaan. Sejauh ini perusahaan masih memanfaatkan dana sendiri alias bootstrapping. Adapun total tim GetGo saat ini berjumlah enam orang dan mayoritas adalah engineer.

MENA Indonesia Dukung Ekonomi Kreatif di Kampung Adat

Melalui platform, MENA Indonesia mengembangkan bisnis sosial berbasis komunitas untuk memasarkan produk tradisional. Mereka turut memberdayakan ekosistem lokal dengan melibatkan kampung adat, salah satunya menghasilkan diversifikasi produk tenun.

Tidak hanya sebagai cendera mata, produk tenun ini juga dijadikan tiket masuk wisatawan ke kampung adat yang tentunya proses produksi, manajemen keuangan, dan pemasaran dikelola oleh organisasi di kampung adat.

Kepada DailySocial, Co-founder MENA Indonesia Ni Nyoman Sri Natih mengungkapkan, selain memberikan solusi di internal kampung adat, produk turunan tenun juga dikembangkan menjadi brand lifestyle berbasis ekosistem dengan semangat nilai-nilai lokal yang dikawinkan dengan desain kontemporer.

Pemasaran produk juga didukung oleh cerita (storytelling) dibalik proses perancangan dan pembuatannya yang memperkuat identitas produk itu sendiri sebagai agen preservasi budaya Ngada.

“Dimulai dari Ngada, kami sepakat dan komit untuk melanjutkan kolaborasi bersama masyarakat lokal di beberapa kampung adat, melanjutkan program sembari merintis kewirausahaan sosial dalam bentuk brand kultural yang merepresentasi nilai-nilai lokal sejak tahun 2018,”kata Ni Nyoman.

Dengan model bisnis B2C dan direct-to-consumer, segmentasi pasar MENA adalah wisatawan mancanegara yang menyukai perjalanan wisata eco-culture dengan konsep live-in bersama komunitas lokal. Selain itu juga menargetkan masyarakat Indonesia dengan penghasilan tergolong ke dalam A-B+ dari generasi (X, Y, Z) yang mencintai nilai-nilai budaya lokal dalam desain lebih kontemporer dalam sebuah produk kerajinan tangan.

Memperluas kolaborasi dan kemitraan

[Ki-Ka] Ni Nyoman Sri Natih S; Justine Yohana; Steven Ellis; Ignatia Dyahapsari; Savira Lavinia Raswari / MENA
[Ki-Ka] Ni Nyoman Sri Natih S; Justine Yohana; Steven Ellis; Ignatia Dyahapsari; Savira Lavinia Raswari / MENA
Secara keseluruhan saat ini MENA telah memiliki 5 penenun perempuan, 2 laki-laki pembuat gelang anyam, 1 mitra koordinator lokal. MENA telah menjalin kemitraan dengan beberapa toko seperti Dia.Lo.Gue dan matalokal MBlocSpace di Jakarta; dan to~ko concept Rumah Sanur di Bali.

Secara berjualan di toko, MENA juga tersedia online di marketplace seperti KuKa Indonesia dan Moselo. MENA juga telah bermitra dengan tokotoko.us di Amerika Serikat, dan terlibat dalam berbagai pesta belanja kultural.

“Strategi monetisasi yang kami terapkan adalah revenue stream dari penjualan produk dengan kerja sama dengan partnerstore (offline), platform marketplace, media sosial, dan webstore. Sharing profit baru dilakukan untuk produk masker. Sebelumnya kami memberikan insentif apresiasi sesuai dengan jumlah produk yang selesai dibuat oleh penenun,” kata Ni Nyoman.

Di masa pandemi ini, tim bekerja lebih responsif dan adaptif dengan kondisi yang ada. Produk aksesoris yang tersebar di partner store harus tutup sementara. MENA kemudian bergerak dengan penjualan online melalui Instagram. Tidak hanya kasus Covid-19 yang berdampak ke Ngada, Nusa Tenggara Timur, juga kasus DBD yang tinggi menjadi perhatian MENA Indonesia.

“Kami berinisiatif membuat masker tenun dari perca dan berhasil membuat 52 masker yang 30% hasil penjualannya untuk donasi kesehatan – 5 KG ABATE untuk Ngada. Melihat antusiasme tinggi dari penjualan masker dan mempertimbangkan kampung adat kolaborator MENA yang menjadi tujuan wisata ditutup, kami merespons dengan membuka produksi masker tenun batch 2 dengan tujuan agar local economy tetap berjalan di desa dengan skema sharing profit dengan penenun,” kata Ni Nyoman.

Rencana usai program Gojek Xcelerate

MENA merupakan salah satu startup dari 11 startup yang tergabung dalam program Gojek Xcelerate Batch 4. Seluruh startup terpilih ini bergerak di bidang direct-to-consumer, menyesuaikan dengan tantangan bisnis di masa pandemi. Disinggung apa rencana usai mengikuti program, MENA yang menjalankan bisnis sosial mulai terdorong lebih progresif untuk menentukan strategi mengingat bahwa “scale up our business” beriringan dengan impact metric. Perusahaan juga berencana melakukan penggalangan dana.

“Ke depan rencananya kami akan lebih memasifkan strategi digital marketing dan teknologi untuk mengoptimalkan peningkatan sales. Hal lainnya, membangun valuable partnership dengan kolaborator dan investor yang sevisi dengan kami. Kolaborator lain dan investor ini akan menambah kesempatan dan demand agar local economy terus berjalan di desa, selain peningkatan kapasitas masyarakat yang terus dilakukan. Kami terus berupaya agar dampak dirasakan secara holistik, baik oleh tim, konsumen, kolaborator, investor, dan masyarakat,” kata Ni Nyoman.

Alpha JWC Ventures Terlibat dalam Pendanaan Awal Hangry Senilai 42,7 Miliar Rupiah

Hangry, startup yang mengembangkan konsep restoran “multi-brand” telah mendapatkan pendanaan tahap awal senilai US$3 juta atau setara dengan 42,7 miliar Rupiah. Investasi tersebut didapatkan dari Sequoia dan Alpha JWC Ventures. Putaran pendanaan tersebut sudah ditutup sejak awal tahun 2020 ini.

Sebelumnya bisnis yang digawangi Abraham Viktor, Andreas Resha, dan Robin Tan tersebut juga mengikuti program akselerator Surge milik Sequoia India pada debut awalnya.

“Benar kami sudah menutup pendanaan tahap awal sejak Januari 2020. Sangat bersyukur bisa dipercaya oleh investor,” ujar Viktor kepada DailySocial.

Konsep multi-brand Hangry memiliki dan mengelola beberapa brand produk makanan. Mereka mengoptimalkan layanan pesan antar makanan untuk mendistribusikan produk-produknya – mengandalkan berbagai platform seperti Gofood, Grabfood, dan Traveloka Eats. Saat ini juga sudah merilis aplikasi untuk sistem loyalty.

“Selama pandemi ini, growth kami masih aman. Mungkin karena banyak orang yang belum mulai makan di luar. Dari Januari sampai Maret pertumbuhannya 100%, sementara dari Maret ke Juni 30% tiap bulannya,” imbuhnya.

Produk makanan yang mereka jajakan meliputi San Gyu (japanese beef bowl), Ayam Koplo (ayam geprek), Bude Sari (nasi ayam, kulit dan paru tradisional) dan Kopi Dari Pada (aneka ragam minuman). Dan baru-baru ini meluncurkan brand baru bernama “Moon Chicken”.

“Sejauh ini kami masih melayani pelanggan  di sekitar Jakarta, Bintaro, Bekasi, dan Karawaci. Tapi sedang proses juga untuk membuka di Serpong, Alam Sutra, Cengkareng, dan beberapa wilayah lainnya. Tentu ekspansi ke kota-kota lain akan menjadi agenda kami selanjutnya,” terang Viktor.

Hangry adalah salah satu representasi perkembangan bisnis kuliner. Melalui sentuhan teknologi, bisnis kuliner mulai bertransformasi. Misalnya, akhir-akhir ini banyak bisnis menghadirkan konsep “cloud-kitchen”, yakni konsep restoran yang hanya melayani pemesanan makanan melalui aplikasi delivery.

Penyaji makanan di cloud kitchen umumnya tidak memiliki kedai atau tempat makan layaknya restoran biasa. Hanya saja, secara brand dan produk mereka memiliki daya tawar tersendiri. Startup pengembang platform cloud kitchen menjembatani proses bisnis antara dapur dengan pelanggan, sembari memberikan jasa pengiriman hingga transaksi.

Application Information Will Show Up Here

Pendekatan Teknologi Efektif Diterapkan Elio untuk Jajakan Produk Kesehatan Pria

Elio mendefinisikan dirinya sebagai perusahaan consumer health berbasis teknologi yang menawarkan produk dan layanan khusus pria. Sentuhan teknologi ditambahkan dalam rangka memberikan kemudahan akses kepada produk-produk perawatan yang telah direkomendasikan dokter.

Beberapa produk yang ditawarkan Elio fokus pada kesehatan pria, seperti halnya kerontokan rambut, pengobatan jerawat, dan juga disfungsi ereksi.

Untuk membantu mengenali keluhan dan permasalahan pelanggannya, Elio memberikan konsultasi online gratis, juga beberapa pertanyaan kuesioner yang harus dijawab. Setelah itu dokter akan menganalisis keluhan pelanggan tersebut dan merekomendasikan produk yang cocok.

“Elio mengimplementasikan teknologi telehealth dengan menyediakan konsultasi dokter secara online di website. Selain itu Elio menggunakan media sosial untuk berkomunikasi secara intens dengan pelanggan,” ujar Co-Founder  & Co-CEO Elio Walton Hartanto.

Walton lebih jauh menjelaskan, teknologi digital bagi Elio bisa menunjang komunikasi dengan pelanggan. Konsultasi secara online diyakini sebagai salah satu sarana paling tepat bagi para pelanggan Elio untuk mendapat produk perawatan dan kesehatan yang sesuai.

“Hal itu tentunya didukung oleh riset internal Elio bahwa kurang dari 20% pria belum atau tidak pernah melakukan konsultasi secara langsung kepada dokter. Selain itu juga terus mencari formulasi yang tepat dengan inovasi produk baru,” imbuh Elio.

 

Perjalanan Elio

Adopsi teknologi di bidang kesehatan memang mengalami akselerasi pertumbuhan. Kehadiran layanan pembelian obat online dan telemedicine semakin memasyarakatkan pengalaman akses layanan kesehatan dengan teknologi di Indonesia. Elio adalah salah satu yang mencoba memanfaatkan peluang tersebut.

Dimulai sejak tahun 2019, Elio mengklaim sudah berhasil mendapatkan 10 ribu pelanggan aktif. Mereka juga berhasil menjadi salah satu dari 11 startup lokal yang mengikuti Gojek Xcelerate.

“Elio berkomitmen untuk meningkatkan layanan pelanggan dan juga melakukan inovasi seamless user interface dan user experience sehingga memudahkan pelanggan untuk berkomunikasi aktif dengan Elio. Selain itu, Elio juga telah mengenkripsi seluruh data pelanggan terdaftar untuk memastikan keamanan privasi pelanggan,” terang Walton.

Selanjutnya, Elio juga berencana untuk melakukan inovasi dengan memperluas ke berbagai lini produk baru untuk perawatan kesehatan pria. Selain itu secara grup perusahaan, Elio juga akan berinovasi untuk produk-produk kesehatan wanita dan kesehatan umum.

“Pada implementasi teknologi digital, Elio akan terus meningkatkan infrastruktur digital untuk memperluas lini layanan pelanggan,” tutup Walton.

Kanal Digital Membuka Peluang Pasar Produk “Wellness”

Dalam sebuah laporan yang dirilis DSResearch bertajuk “Pemahaman Pasar Wellness di Jakarta“, ditemukan beberapa fakta mengenai produk wellness di kalangan masyarakat. Produk obat-obatan (73,5%), suplemen kesehatan (70%), suplemen makanan (69,2%), dan produk kebugaran (57%) menjadi yang paling diminati. Survei juga mengemukakan, adopsi digital yang tinggi di kalangan masyarakat, mampu menjadi katalis untuk mendorong pemasaran dan pemahaman masyarakat terhadap produk-produk tersebut.

Kesempatan ini lantas dilirik beberapa startup, mereka mencoba menyajikan produk dan layanan yang mengakomodasi kebutuhan gaya hidup sehat masyarakat dengan sentuhan digital. Bentuknya bermacam-macam, misalnya Jovee muncul sebagai aplikasi penyedia kebutuhan suplemen; ada juga The Fit Company yang tawarkan berbagai aktivitas kebugaran dan produk makanan sehat; Base memadukan produk gaya hidup sehat dan kecantikan; dan beberapa lainnya.

Terbaru ada Youvit, pengembang produk multivitamin untuk suplemen kesehatan masyarakat di beragam usia. Mereka juga terapkan strategi digital untuk pasarkan dan distribusikan produk-produknya. Realisasinya dalam bentuk situs web berbasis e-commerce yang dilengkapi dengan beberapa fitur, termasuk untuk memudahkan pengguna menemukan jenis suplemen vitamin yang tepat sesuai dengan karakteristiknya masing-masing.

Wouter Kolk sekalu Co-founder & CEO YOU, perusahaan di balik Youvit, mengatakan bahwa konsep produknya memang diformulasikan (khususnya) untuk kalangan milenial. Produknya pun turut disesuaikan, berbentuk permen kenyal beraneka rasa. Di masa pandemi seperti ini, mereka pun mengklaim berhasil dapatkan capaian baik — di tengah upaya masyarakat untuk menjaga staminanya, juga tren gaya hidup sehat yang makin meningkat di kalangan milenial.

Wouter sendiri sosok yang tidak asing dalam dunia startup digital, ia pernah berkarier di Rocket Internet, salah satu venture builder yang menghasilkan banyak bisnis digital di Asia Tenggara. Sebelum mendirikan YOU, dia merupakan Co-Founder Carmudi Indonesia (didukung Rocket Internet) yang akhirnya diakuisisi iCar Asia pada tahun 2019.

Wouter van der Kolk
Wouter van der Kolk

Youvit sudah mulai diformulasikan sejak tahun 2016. Awalnya mereka memasarkan melalui jaringan ritel modern (seperti minimarket) di Indonesia. Pendekatan direct-to-consumer dilakukan untuk mempercepat pertumbuhan bisnis perusahaan, di tengah momentum Covid-19 yang memberikan banyak berkah untuk pengembang solusi kesehatan. Ke depan mereka juga  punya rencana untuk ekspansi ke kawasan Asia Tenggara.

Turut disampaikan oleh Wouter, mengutip laporan Nielsen, bahwa Asia Tenggara tengah mendapati momentum pertumbuhan gaya hidup sehat di kalangan masyarakat. Pada April 2020, pertumbuhannya meningkat 81%. Pandemi banyak memotivasi keluarga untuk memperkuat sistem kekebalan tubuh. Dari statistik penjualan yang disampaikan, dalam rentang Februari-April 2020 mereka mendapati pertumbuhan bisnis tiga kali lipat.

Tantangan Startup Manajemen Sampah di Indonesia

Persoalan lingkungan adalah salah satu isu terbesar abad ke-21. Isu ini punya beragam cabang persoalan, mulai dari perubahan iklim hingga pembabatan hutan ilegal punya tingkat kegentingan masing-masing. Bagi sebagian masyarakat dan pemangku kepentingan, isu pengelolaan sampah merupakan salah satu persoalan lingkungan paling mengkhawatirkan.

Kita langsung ambil contoh pengelolaan sampah di Jabodetabek. Jumlah sampah yang dihasilkan oleh warga Jabodetabek diperkirakan sekitar 14.000 ton per hari. Hanya ada 8 tempat pembuangan akhir (TPA) yang menampung gunungan sampah tersebut. Mengutip laporan Jakarta Post, dua di antaranya sudah melebihi kapasitas, tiga yang lain bernasib serupa tahun ini dan tahun depan. Saat ini pemerintah sedang membangun TPA Lulut-Nambo yang luasnya 55 hektare atau setengah dari luas lahan TPA Bantargebang.

Keadaan tersebut secara tak langsung melahirkan sejumlah startup yang fokus di pengelolaan sampah. Gringgo, Waste4Change, Magalarva, dan MallSampah adalah beberapa di antaranya. Hal ini wajar karena persoalan sampah di Indonesia mengakar sangat dalam. Jangan heran sungai Citarum sempat meraih predikat sungai terkotor di dunia.

Akar masalah

Sejatinya sumber masalah pengelolaan sampah di Indonesia ada begitu banyak, tapi Bijaksana Junerosano dari Waste4Change memadatkannya jadi tiga penyebab utama. Pertama adalah penegakan hukum. Indonesia punya sejumlah peraturan soal sampah, tapi penegakannya masih jauh dari kata cukup.

Sano, begitu ia akrab disapa, menyebut penegakan hukum yang lemah menyebabkan sejumlah warga memilih jalan pintas untuk membuang sampahnya, entah dengan membakar atau membuang ke sungai. Jangan kaget saat berkunjung ke tepi sungai besar, seperti Ciliwung, Anda dapat menemukan barang-barang seperti kasur hingga sofa mengapung terbawa arus.

Penyebab kedua adalah ongkos pengelolaan sampah yang terlalu murah dibandingkan tanggung jawab yang harus diemban. Ongkos yang kelewat murah ini dinikmati warga selama bertahun-tahun sehingga sedikit kenaikannya saja bisa menuai protes.

Data Waste4Change menunjukkan ada disparitas yang cukup besar antara rata-rata target retribusi sampah dengan jumlah penerimaannya di kota-kota metropolitan. Pada tahun lalu target rata-rata target kota-kota metropolitan untuk penerimaan retribusi sampah sekitar Rp17 miliar. Namun kenyataannya yang bisa mereka kumpulkan rata-rata hanya berkisar Rp12 miliar.

“Ini masalah besar karena pemerintah diminta membenahi masalah sampah, tapi yang punya sampah tidak mau bayar dengan benar,” ujar Sano.

Dari perkara retribusi itu memunculkan tantangan ketiga dan yang terakhir yakni pembiayaan pengelolaan sampah. Sano yakin jika ekosistem pengelolaan sampah ingin maju maka aspek pembiayaan harus lebih baik sehingga tidak melulu bergantung pada anggaran pemerintah yang terbatas.

Berbagi peran

Di ekosistem pengelolaan sampah ini pemerintah punya peran yang sangat besar, meliputi pembuatan regulasi, penegakannya, dan pembiayaan. Startup manajemen sampah dalam ekosistem ini berperan menawarkan beragam solusi baru untuk mengatasi masalah ini. Kami mengambil dua contoh solusi dari MallSampah dan Waste4Change.

MallSampah adalah startup yang bergerak di manajemen sampah yang bermarkas di Makassar. Beroperasi sejak 2019, MallSampah punya dua layanan yakni layanan jual sampah dan daur ulang. Layanan pertama menekankan pada pengumpulan sampah yang teratur. Pengguna jasa ini dapat menjual sampahnya dengan memilah berdasarkan jenis sampah. Setelah dipilah, maka sampah akan dijemput pihak MallSampah sesuai tempat dan waktu yang ditentukan.

Sementara layanan kedua MallSampah bersifat B2B dengan prinsip mirip dengan layanan pertama. Pemilik bisnis dapat berlangganan layanan daur ulang ini untuk menjual atau mendaur ulang sampah mereka. Dengan kedua layanan tersebut MallSampah berhasil mendaur ulang 30 ton sampah setiap bulan dengan 5.000 pengguna aktif bulanan.

Berbeda dengan MallSampah, layanan Waste4Change jauh lebih beragam dan komprehensif dari hulu ke hilir dan terbagi antara perusahaan dan individu. Mereka punya layanan penjemputan sampah dari rumah ke rumah, kotak sampah untuk sampah siap daur ulang, sedia peralatan dan perlengkapan pengomposan mandiri, konsultasi pengelolaan sampah perusahaan, penyortiran sampah berlabel, hingga edukasi ke sekolah-sekolah mengenai prinsip reduce, reuse, dan recycle. Berkat banyaknya jenis layanan mereka, Waste4Change berhasil mengelola 5.400 ton sampah sejauh ini.

Kendala yang masih dihadapi

CEO MallSampah Adi Saifullah Putra mengatakan kendala paling kentara dari vertikal ini adalah regulasi dan pelaksanaan di lapangan. Adi menilai begitu banyak program pengelolaan sampah yang dibuat, namun sedikit merangkul gerakan dan komunitas yang sudah bergerak sebelumnya.

Adi merujuk pada keberadaan pemulung dan pengepul yang memiliki peran kunci dalam rantai pengelolaan sampah di Indonesia. “Berapa banyak program pemerintah yang menginisiasi pendampingan dan peningkatan efektivitas kerja pemulung dan pengepul, sebagai kunci dari rantai daur ulang di Indonesia? Kebanyakan justru membuat program baru masing-masing,” imbuh Adi.

Sano di sisi lain mengatakan faktor infrastruktur dan pembiayaan sebagai kendala yang masih harus mereka hadapi. Hal ini tercermin dari cara kerja Waste4Change yang kini juga bermitra dengan pemerintah daerah.

Sano sempat mengatakan jika mereka akan sangat kewalahan jika Waste4Change sendirian melayani masyarakat di satu wilayah besar. Ini tak lain karena infrastruktur yang ada belum memadai dan setara di semua wilayah sehingga perlu investasi uang dan waktu yang besar dari Waste4Change untuk menciptakannya. Tak heran jika layanan personal waste management mereka masih terbatas di Jakarta Selatan, Tangerang Selatan, dan Bekasi saja.

Belakangan Waste4Change mengakalinya dengan menggandeng pemerintah setempat. Kolaborasi mereka dengan pemerintah sudah terealisasi di Kota Bekasi. Dari kerja sama ini, mereka menargetkan bisa mengolah sampah kota  hingga 500 ton.

“Enggak mungkin kita minta orang bayar sebelum kita kasih pelayanan. Jadi membangun infrastruktur lebih dulu baru membenahi retribusi,” ujar Sano kala menandatangani nota kesepahaman dengan Pemkot Bekasi pada Maret lalu.

Butuh waktu

Bisnis pengelolaan sampah ini bisa dikatakan tak sesederhana vertikal lain seperti sebut saja sharing economy misalnya. Selain lapisan permasalahan yang lebih mendalam, regulasi yang startup vertikal ini hadapi juga lebih rumit.

Kendati begitu Indonesia setidaknya sudah punya arah kebijakan manajemen sampah yang jelas seperti yang tertuang di Peraturan Presiden Nomor 97 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional (Jakstranas).

Perpres itu menargetkan pengurangan sampah sebesar 30% dan penanganan sampah 70 % pada 2025 nanti. Ini artinya perlu kerja sama yang erat antara startup dengan pemerintah dalam tiap upaya pengelolaan sampah.

Hal ini sudah dipraktikkan Waste4Change yang menggandeng Kementerian Lingkungan Hidup dan Lingkungan, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, dan Bappenas. Kolaborasi besar ini mungkin diperlukan karena Indonesia menghasilkan sampah 175.000 ton per hari atau 64 juta ton per tahun.

“Ini adalah sektor baru yang baru saja diganggu oleh teknologi dan belum ada model yang cukup sukses sejauh ini,” pungkas Adi.