Gayo Capital Announces Two New Portfolios, Alatté Beauty and PasarMIKRO

The venture company under Ideosource, Gayo Capital, officially announced seed funding for two of its newest portfolios, Alatté Beauty and PasarMIKRO. Gayo Capital is reluctant to mention the exact investment value the two have received. However, Alatté Beauty is said to have secured around $100- $500 thousand, while PasarMIKRO around $500 thousand – $1 million.

Gayo Capital’s Co-founder & Managing Partner, Ishara Yusdian said the two portfolios are in line with the company’s vision to provide “impact investment”. He also prepared a business roadmap to encourage future business growth for both of them.

“We are impact investors. Therefore, we incubate first, give mentoring and pre-seed rounds before the product launches. Once launched, we entered as investors for the seed round,” Ishara said in an interview with DailySocial.

Thus, Gayo Capital has nine portfolios now, including in the agricultural segment (Lampung Cocoa Farmers, Inacom, Tunas Farm, PasarMIKRO, AGRetail & AGLogistics), waste management (WLabku, DAUR), and lifestyle (Alatté Beauty and Foom).

Alatté Beauty’s development

Throughout 2020, Gayo Capital saw a trend of increasing sales of beauty products during the pandemic. Moreover, his team began to conduct various researches in Q2 2020 and found that the average local cosmetic brand is still using the retail business model. In order to invest in this sector, Ishara said he wanted to find a business model that could have a broad impact.

He said, Alatté met Gayo Capital’s criteria. With a reseller-based business model, he believes Alatté can have a broad impact, especially for MSMEs in Indonesia. In contrast to most retail cosmetic brands, which are considered to require large capital to become a reseller. In fact, there is no assistance regarding selling, engagement, and transformation to digital selling.

“After our exploration, we found that Alatté has a different model from other brands, partnering with individuals and MSMEs. Think about resellers, such as the Oriflame [model]. Therefore, Alatté prepared the whole thing, the reseller will make sales and they will receive coaching, starting from the framework, marketing, and going to the market. Indirectly, Alatté is one of the medium to increase the GDP contribution from MSMEs,” he explained.

Ishara said, Alatté has achieved organic growth. Moreover, Alatté’s focus in 2021 is to fully increase sales figures through digital platforms, such as Tokopedia and Shopee. In 2022, Alatté will expand to offline stores, such as Watson, Sephora, Sociolla, and Metro.

Next, in the following year, then Alatté will enter into innovation development. One of the use cases that is currently being prepared is the development of face recognition to provide a virtual experience for buyers of Alatté cosmetic products.

“it’s currently on trial. But, we’ll be able to launch it if we have a significant number we can get. Therefore, it depends on the reseller in the area. Alatté’s equity value is different from other brands. The sales forecast seems very close . For example, when the equity value has been built, we want to make Alatté the first local cosmetics brand to be IPO,” he said.

Farmer’s financing facility

Next, the PasarMIKRO, this platform is prepared to synergize with existing portfolios in agriculture, Lampung Cocoa Farmers (PKL) and Inacom. Ishara revealed, PasarMIKRO  has provided financing facilities to more than 50 farmers. This year, his team targets to provide access to finance to 200 farmers in Indonesia.

In a general note, PasarMIKRO provides financing facilities for upstream farmers with risk profiling in accordance with POJK. Ishara assessed that farmers and ranchers in the regions have the ability to supply their crops to large retailers, such as Carrefour and Giant. However, this is considered difficult without the help of middlemen.

“PasarMIKRO has a business model similar to Investree P2P, only it is channeled into the captive market, including farmers and breeders. PasarMIKRO also provides facilities where farmers can trade their crops to agri food companies, such as Japfa Comfeed,” he added.

Target in 2021

During this year, Gayo Capital is preparing some other plans. Ishara revealed that his team would collaborate with the International Design School (IDS) and state-owned subsidiary PT INTI to prepare digital-based learning content. He said, the pre-employment market potential is huge, especially after Lebaran.

As a general note, IDS is owned by Andi Boediman, who is also a Managing Partner at Ideosource. Gayo Capital will announce a new portfolio in the third quarter, a Singapore-based insurtech platform, Ocktolife.

In addition, the company will launch three incubation programs this year. First, Start Camp Asia which aims to consolidate and integrate the MICRO Market with the existing portfolio. Second, Codiac for the integration and collaboration of AGRetail & AGLogistics with external parties.

Third, PILAR, the program that prepares leadership assistance for its portfolio, most of which are from agricultural verticals. “I think we have to have standards for those running the company. Currently, we are still providing one by one assistance,” he added.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Gayo Capital Umumkan Dua Portofolio Baru, Alatté Beauty dan PasarMIKRO

Perusahaan ventura di bawah naungan Ideosource, Gayo Capital, resmi mengumumkan pendanaan tahap awal untuk dua portofolio terbarunya, yaitu Alatté Beauty dan PasarMIKRO. Gayo Capital enggan menyebutkan nilai investasi pasti yang diterima keduanya. Namun, Alatté Beauty disebutkan mengantongi investasi di kisaran $100-$500 ribu, sedangkan PasarMIKRO di rentang $500 ribu-$1 juta.

Co-founder & Managing Partner Gayo Capital Ishara Yusdian mengatakan, kedua portofolio tersebut sejalan dengan visi perusahaan untuk memberikan “impact investment”. Pihaknya juga telah menyiapkan roadmap bisnis untuk mendorong pertumbuhan bisnis keduanya ke depan.

“Kami adalah impact investor. Jadi awalnya kami inkubasi dulu, berikan mentoring dan pre-seed round sebelum produk meluncur. Begitu sudah meluncur, kami masuk sebagai investor untuk seed round,” ujar Ishara dalam wawancaranya kepada DailySocial.

Dengan demikian, Gayo Capital kini telah memiliki sembilan portofolio, antara lain di segmen agrikultur (Petani Kakao Lampung, Inacom, Tunas Farm, PasarMIKRO, AGRetail & AGLogistics), waste management (WLabku, DAUR), dan lifestyle (Alatté Beauty dan Foom).

Pengembangan Alatté Beauty

Di sepanjang 2020, Gayo Capital melihat ada tren peningkatan penjualan produk kecantikan selama masa pandemi. Dari sini, pihaknya mulai melakukan berbagai riset di Q2 2020 dan menemukan bahwa rata-rata brand kosmetik lokal masih menggunakan model bisnis ritel. Untuk berinvestasi di sektor ini, Ishara menyebut ingin mencari model bisnis yang bisa memberikan dampak luas.

Menurutnya, Alatté memenuhi kriteria yang dicari Gayo Capital. Dengan model bisnis berbasis reseller, ia meyakini Alatté dapat memberikan dampak luas, terutama bagi UMKM di Indonesia. Berbeda dengan kebanyakan brand kosmetik ritel yang dinilai membutuhkan modal besar untuk menjadi reseller. Bahkan, tidak ada pendampingan mengenai cara berjualan, engagement, dan transformasi ke digital selling.

“Setelah kami eksplorasi, kami menemukan Alatté memiliki model berbeda dari merek lain, yaitu partnering dengan individual dan UMKM. Think about reseller, seperti [model] Oriflame. Jadi semua disiapkan oleh Alatté, reseller akan melakukan penjualan dan mereka akan menerima pembinaan, mulai dari framework, marketing, hingga go to the market-nya. Jadi, secara tidak langsung, Alatté menjadi salah satu upaya mendongkrak kontribusi GDP dari UMKM,” jelasnya.

Menurut Ishara, saat ini Alatté sudah mengantongi pertumbuhan secara organik. Untuk itu, fokus Alatté di 2021 adalah menaikkan angka penjualan sepenuhnya melalui digital platform, seperti Tokopedia dan Shopee. Di 2022, Alatté akan merambah offline store, seperti Watson, Sephora, Sociolla, dan Metro.

Kemudian di tahun selanjutnya, barulah Alatté akan masuk ke pengembangan inovasi. Salah satu use case yang tengah disiapkan adalah pengembangan face recognition untuk memberikan virtual experience bagi pembeli produk kosmetik Alatté.

“Sekarang lagi trial. But, we’ll be able to launch it if we have a significant number yang bisa kami dapatkan. Jadi sekarang tergantung dari reseller di daerah. Equity value Alatté berbeda dibanding brand lain. Sales forecast sudah kelihatan mendekati lah sekarang. Semisal sudah bangun equity value, kami bahkan ingin buat Alatté jadi brand lokal kosmetik pertama yang di-IPO-kan,” paparnya.

Fasilitas pembiayaan petani

Berlanjut ke PasarMIKRO, platform ini dipersiapkan untuk dapat bersinergi dengan portofolio existing di agrikultur, yaitu Petani Kakao Lampung (PKL) dan Inacom. Ishara mengungkap, saat ini PasarMIKRO telah memberikan fasilitas pembiayaan ke lebih dari 50 petani. Tahun ini, pihaknya menargetkan dapat memberikan akses pembiayaan ke 200 petani di Indonesia.

Sebagaimana diketahui, PasarMIKRO menyediakan fasilitas pembiayaan bagi petani di hulu dengan risk profiling sesuai dengan POJK. Ishara menilai bahwa petani dan peternak di daerah memiliki kemampuan untuk memasok hasil panennya ke peritel besar, seperti Carrefour dan Giant. Namun, hal ini dinilai sulit tanpa bantuan perantara tengkulak.

“PasarMIKRO memiliki model bisnis seperti pemain P2P Investree, hanya saja ini disalurkan untuk captive market, yaitu petani dan peternak. PasarMIKRO juga sediakan fasilitas di mana petani bisa trading hasil panen ke perusahaan makanan agri, seperti Japfa Comfeed,” tambahnya.

Target di 2021

Di sepanjang tahun ini, Gayo Capital juga tengah menyiapkan sejumlah rencana lainnya. Ishara mengungkap, pihaknya akan bekerja sama dengan International Design School (IDS) dan anak usaha BUMN PT INTI untuk menyiapkan konten pembelajaran berbasis digital. Menurutnya, potensi pasar pra-kerja sangat besar, terutama usai Lebaran nanti.

Sekadar informasi, IDS dimiliki oleh Andi Boediman, yang juga merupakan Managing Partner di Ideosource. Gayo Capital juga akan mengumumkan satu portofolio baru di kuartal ketiga ini, yaitu Ocktolife, platform insurtech berbasis di Singapura.

Selain itu, perusahaan juga akan meluncurkan tiga program inkubasi di tahun ini. Pertama, Start Camp Asia yang bertujuan untuk melakukan konsolidasi dan integrasi PasarMIKRO dengan portofolio existing. Kedua, Codiac untuk integrasi dan kolaborasi AGRetail & AGLogistics dengan external party.

Ketiga, PILAR atau program mempersiapkan pendampingan leadership bagi portofolionya yang sebagian besar dari vertikal agrikultur. “Rasanya kami harus punya standarisasi untuk mereka yang running the company. Kalau sekarang, kami masih memberikan pendampingan one by one.” Tambahnya.

Viding Hadirkan Platform Terpadu untuk Adakan Acara Pernikahan Virtual

Bisnis yang berkaitan dengan penyelenggaraan acara pernikahan terganggu signifikan akibat pandemi. Aturan PSBB hingga social distancing, menjadikan acara pernikahan dan resepsi perkawinan menurun jumlahnya sepanjang tahun 2020. Melihat permasalahan tersebut, Viding, platform one-stop virtual wedding kemudian resmi meluncur pada bulan Juli 2020 lalu.

Kepada DailySocial, Founder & CEO Viding Alkiadi Joyo Diharjo mengungkapkan, platformnya didirikan dengan menciptakan solusi atas permasalahan dalam pengelolaan akad dan resepsi pernikahan selama pandemi. Hingga kini perusahaan mengklaim omzet untuk tahun 2021 sudah tumbuh 3x lipat dan telah mencetak laba.

Layanan yang disajikan meliputi undangan digital, buku tamu digital, saluran untuk pemberian angpao secara digital, sampai fasilitas untuk sesi live streaming. Semua terintegrasi dalam satu platform terpadu. Pengguna juga akan mendapatkan dasbor untuk memantau laporan dari penyelenggaraan acara.

“Kami melihat pernikahan dengan konsep yang sederhana, intim, dan diselenggarakan secara hybrid menjadi tren di kalangan muda di Indonesia. Model bisnis kami adalah B2C, monetisasi dilakukan melalui biaya layanan pada tiap fitur, biaya layanan per paket, dan biaya administrasi transaksi dari e-angpao,” kata Alkiadi.

Saat ini layanan Viding telah tersedia di Jabodetabek, Surabaya, Bandung, Jogja, Solo, Semarang, dan Bali. Dalam waktu dekat perusahaan juga berencana untuk memperluas area layanan di Medan.

Fitur unggulan

Disinggung apa yang membedakan Viding dengan platform serupa lainnya, disebutkan platform lain kebanyakan hanya menyediakan layanan web invitation atau live streaming saja. Sedangkan Viding menyediakan fitur yang terintegrasi secara menyeluruh, yang memberikan pengalaman maksimal bagi mempelai dan tamu dalam mengikuti kondangan/pernikahan virtual.

“Mempelai dapat membuat halaman website-nya sendiri secara mudah (drag & drop), di dalamnya terdapat fitur E-Guestbook, E-Angpao, Live Streaming dan Dashboard Reporting,” kata Alkiadi.

Sejak meluncur, platform Viding diterima dengan baik oleh target pengguna. Hal ini dibuktikan dengan pertumbuhan omzet lebih dari 20% per bulannya; dan banyaknya rekan-rekan vendor pernikahan yang berkolaborasi, karena posisi Viding sebagai komplementer.

Viding juga menawarkan pilihan yang relatif terjangkau, menyesuaikan paket yang diberikan dengan harga antara Rp3 juta hingga Rp10 juta.

Ada beberapa rencana yang akan dilancarkan Viding tahun ini, di antaranya adalah ekspansi di beberapa kota besar di Indonesia. Masih menjalankan bisnis secara bootstrapping, mereka tengah mempersiapkan kegiatan penggalangan dana dan bekerja sama dengan mitra strategis potensial untuk pendanaan.

“Target kami hingga akhir tahun ini dapat menyelenggarakan 1000 pernikahan, membuka layanan di beberapa kota (target 20 kota) dan terus menyempurnakan platform. Kami juga membuka pintu kolaborasi dengan instansi-instansi terkait untuk membuat konsumen semakin nyaman,” kata Alkiadi.

Gambar Header: Depositphotos.com

Jagofon Hadirkan Platform E-commerce Ponsel Bekas, Fasilitasi Pengujian Kualitas

Besarnya permintaan produk smartphone bekas di Indonesia, memberikan inspirasi kepada Stéphane Becquart untuk meluncurkan platform e-commerce Jagofon. Nilai unik dari layanan ini, setiap barang tangan kedua yang mereka suguhkan telah melalui uji kualitas dan orisinalitasnya — verifikasi tersebut diharapkan dapat memberikan keyakinan lebih kepada calon pembeli.

Prosesnya meliputi dua aspek utama, yakni pemeriksaan IMEI untuk memastikan barang tersebut legal. Dan yang kedua pemeriksaan fungsionalitas dari perangkat, termasuk kamera, mikrofon, baterai, sensor, layar dll. Harga jual akan disesuaikan dengan hasil penilaian akhir.

Mereka memiliki 4 jenis penilaian terhadap produk yang dijual, dari yang paling rendah ke paling tinggi, meliputi Fair, Good, Very Good, dan Mint. Status tersebut akan melekat ke produk dan berpengaruh pada persentase depresiasi atau penurunan dari harga awal.

“Indonesia adalah pasar yang ideal untuk smartphone bekas, yang hingga saat ini masih menjadi pasar yang besar, terfragmentasi, dan disfungsional. Setidaknya 20% ponsel diimpor, dicuri, atau dipalsukan secara ilegal, menurut sebuah studi oleh Kementerian Perindustrian & Qualcomm. Oleh karena itu, ada peluang besar untuk memberikan nilai yang lebih baik kepada konsumen Indonesia,” ujar Stéphane.

Melalui layanan iklan digital ala OLX atau Kaskus, sebenarnya proses jual-beli ponsel bekas sudah cukup ramai dipraktikkan di Indonesia. Namun sejauh ini faktor “kepercayaan” masih menjadi variabel utama dalam transaksi, alih-alih penilaian sistematis terhadap kondisi barang.

“Secara umum kebanyakan pasar tidak melakukan kontrol kualitas. Kami mencatat 40% smartphone di pasar pada umumnya tidak lulus pengujian dari kami, karena itu kurang baik kondisinya,” imbuh Stéphane.

Lebih lanjut ia mengatakan, “Secara khusus kami menerapkan strategi monetisasi berdasarkan komisi dari setiap transaksi. Kami juga menambahkan jaminan untuk perangkat di platform kami.”

Rencana penggalangan dana

Saat ini Jagofon memiliki sekitar 35 ribu pengguna aktif dan telah menjual 3 merek smartphone premium terpopuler di Indonesia, yakni Apple, Samsung dan Oppo. Ke depannya mereka secara bertahap akan menambah tipe dan merek barang yang dapat dijual dalam platform.

Meskipun hanya menjual dalam situs milik mereka sendiri, Jagofon juga saat ini tengah melakukan uji coba untuk mengintegrasikan dengan layanan onliine marketplace ternama di Indonesia, sebagai opsi kepada pelanggan untuk mengakses semua produk yang mereka jual.

“Sejak diluncurkan bulan Oktober 2020 lalu hingga saat ini kami masih fokus kepada wilayah Jabodetabek. Rencana ke depannya kami juga ingin memperluas area layanan,” kata Stéphane.

Jagofon telah mengantongi pendanaan pre-seed senilai $254.000 dari angel investor. Selanjutnya perusahaan juga memiliki rencana untuk melakukan penggalangan dana tambahan hingga $500.000 dalam waktu dekat. Rencananya dana segar tersebut akan digunakan Jagofon untuk memperluas area layanan. Startup ini juga sebelumnya merupakan peserta program akselerasi GK-Plug and Play di batch ke-8.

“Kami ingin bekerja sama dengan Plug & Play Corporate Partners di bidang pembiayaan (untuk menawarkan solusi angsuran yang lebih baik kepada pelanggan kami), pemasaran (promosi lintas-pemasaran misalnya), dan sourcing (bagi mereka yang memiliki akses ke inventaris barang bekas ),” kata Stéphane.

KULO Group Rilis Aplikasi Mobile, Optimalkan Platform Pemesanan dan Loyalitas

Perusahaan F&B KULO Group merilis aplikasi untuk permudah konsumen mengakses sembilan brand di bawah grup secara lebih mudah dari lokasi terdekat. Aplikasi secara resmi dirilis ke publik pada 17 Maret 2021 mendatang, tersedia di Android dan iOS.

Saat ini KULO memiliki 1500 outlet yang tersebar di seluruh Indonesia dengan sembilan brand terdiri dari Kopi Kulo, Pochajjang Korean BBQ, Kitamura Shabu-Shabu, Oseng Mie Jontor, Mazeru, Xiji Street Snack, MoTahuAja, Bu Eva Spesial Sambal, dan Xi Bo Ba.

CMO KULO Group Michelle Sulistyo menuturkan, kehadiran aplikasi ini merupakan bentuk penawaran perusahaan agar konsumen dapat mengakses seluruh brand dari lokasi terdekat dengan harga yang lebih terjangkau. Sebelumnya, KULO memanfaatkan kehadiran outlet untuk menerima dine-in, takeway, dan online food delivery bekerja sama dengan platform seperti GrabFood dan GoFood.

“Yang membedakan dari aplikasi dengan order online adalah kami ingin berikan promo eksklusif yang hanya bisa ditemukan di aplikasi, bisa tukar poin dan redeem, dan special privilege mencoba produk baru yang akan kami luncurkan lebih dulu di aplikasi,” terang Michelle, Senin (15/3).

Aplikasi juga dilengkapi dengan berbagai macam fitur seperti pilihan untuk delivery atau pick up dengan menentukan jadwal sesuai pilihan konsumen, akses menu yang lebih lengkap dan beragam, dan fitur refer to friend untuk mendapatkan poin ekstra apabila teman mengunduh dan melakukan pembelian lewat aplikasi.

Ke depannya akan ada lebih banyak fitur yang akan disiapkan perusahaan untuk memanjakan konsumen, salah satunya adalah reservasi online apabila konsumen ingin makan langsung di restoran.

Secara model bisnis, KULO belum memanfaatkan cloud kitchen dalam operasionalnya, sehingga pemesanan dari aplikasi baru memungkinkan untuk satu outlet dari satu brand saja. Kendati demikian, Michelle menegaskan setiap outlet memungkinkan konsumen untuk memilih lebih banyak variasi pilihan entah itu menambah es, gula, saus, dan sebagainya yang tidak ditemukan saat memesan lewat aplikasi food delivery.

Selama pandemi, sambungnya, perusahaan juga turut terdampak dari sisi kunjungan konsumen untuk dine-in. Misalnya, untuk menu santapan yang lebih nikmat dinikmati langsung di lokasi, akhirnya harus take away untuk di makan di rumah. Alhasil, meski tidak dirinci lebih jauh, secara keseluruhan bisnis perusahaan cukup terbantu dengan kinerja dari brand minuman daripada makanan.

“[Saat awal pandemi] sempat turun, tapi sekarang sudah stabil naik. So far hampir semua brand kita ramai [pembeli], tapi untuk yang paling ramai brand minuman daripada makanan,” pungkasnya.

Green Butcher dan Misinya Populerkan Makanan Vegan Daging Nabati

Founder Burgreens Helga Angelina Tjahjadi dan Max Mandias menyadari, adanya pandemi yang dimulai oleh virus yang ditransmisi melalui hewan, membawa suatu dorongan untuk beralih ke protein nabati karena memiliki keamanan makanan yang tinggi dan lebih ramah terhadap lingkungan. Oleh karenanya, pola makan harus segera diubah.

Akan tetapi, Burgreens yang merupakan restoran makanan sehat berbasis nabati, tidak bisa melakukan misi tersebut sendirian karena mereka belum bisa mengakomodasi kebutuhan protein untuk masak di rumah. Sehingga dibutuhkan brand baru yang khusus menangani segmen tersebut.

Dorongan tersebut juga datang dari eksternal, ia mengaku pihaknya mendapat banyak permintaan dari konsumen loyal Burgreen dan rekan bisnis restoran untuk bisa membeli alternatif daging sapi dan ayam yang selama ini baru bisa dinikmati saat berkunjung ke restoran Burgreens.

“Kami pun akhirnya meluncurkan Green Butcher di tengah pandemi, tepatnya di September 2020. Target konsumen kami adalah semua orang yang peduli kesehatan diri dan lingkungan, namun menyukai rasa daging,” ucap Helga dalam wawancara bersama DailySocial.

“Daging nabati” ini sebenarnya terbuat dari jamur, kedelai non-GMO, buncis, dan seitan (gluten gandum). Bahan-bahan lainnya diambil dari petani lokal di Indonesia, misalnya garam laut yang berasal dari Bali, rempah-rempah (i.e. kunyit, lengkuas, dan serai) dari Jawa, dan minyak kelapanya bersumber dari pohon kelapa yang tumbuh secara berkelanjutan di Riau.

Dari segi rasa, Green Butcher mengambil pendekatan seperti Burgreens yang mengambil cita rasa dari kuliner Indonesia dan Asia, seperti Beefless Rendang, Chick’n Satay Taichan, dan Chink’n Karage. Tak hanya itu, mereka juga meluncurkan Vegan Boba yang mendapat respons baik dari konsumen.

Seluruh menu ini adalah makanan kemasan (Consumer Packaged Goods/CPG) yang siap masak (ready-to-cook) oleh konsumen di dapurnya masing-masing. Ada dua jenis bisnis yang dijalankan oleh Green Butcher, yakni B2C dan B2B. Untuk B2C, perusahaan bekerja sama dengan jaringan supermarket di berbagai kota dan melalui kanal digital untuk distribusi ke konsumen.

“Kami memiliki Production Facility yang berfungsi sebagai distribution center. Dari sinilah semua produk Burgreens dan Green Butcher didistribusikan.”

Sementara dengan B2B, perusahaan bekerja sama dengan pemain restoran menjadi penyuplai untuk menu daging nabati. Salah satu yang sudah terealisasi adalah bersama Starbucks yang meluncurkan meatless pastry line menggunakan Beefless Chucks milik Green Butcher.

“Kami juga sedang menyiapkan peluncuran produk plant-based dengan dua grup F&B ternama di Indonesia yang sangat terkenal dengan meat selection dan japanese food mereka.”

Helga berharap para brand F&B ini ke depannya semakin banyak yang terlibat dalam gerakan menghadirkan menu plant-based untuk mengakomodasi lebih banyak konsumen yang ingin makan protein dengan sehat dan aman.

Co-Founder Burgreens Max Mandias & Helga Angelina / Burgreens
Co-Founder Burgreens Max Mandias & Helga Angelina / Burgreens

Terima pendanaan tahap awal

Menariknya, meski usia Green Butcher belum menginjak satu tahun, sudah mengantongi pendanaan tahap awal sebesar $2 juta (lebih dari 28 miliar Rupiah) yang dipimpin Unovis Asset Management, Teja Ventures, diikuti oleh SavEarth Fund yang berorientasi pada dampak lingkungan dari James dan Suzie Cameron, Phi Trust, C4D, dan investor individu Elisa Khong, Michal Klar, dan Simon Newstead.

Teja Ventures merupakan salah satu investor Burgreens yang turut masuk dalam sejumlah putaran investasi yang digelar.

Dalam keterangan resmi, Managing Director Unovis Asset Management Kim Odhner mengungkapkan rasa terhormatnya karena bisa mendukung pekerjaan penting yang sedang dilakukan Green Butcher.

“Helga Angelina dan seluruh tim telah membuat kemajuan yang mengesankan selama setahun terakhir, dan Unovis bertujuan untuk memanfaatkan pengalaman unik dan posisi industrinya untuk membantu meluncurkan pembangkit tenaga listrik nabati yang inovatif ini kepada khalayak global,” terang Odhner.

Helga menyebut, dana segar akan dimanfaatkan perusahaan untuk mengembangkan tim R&D, meningkatkan produksi, dan masuk ke jaringan pengecer utama pada Q2 2021.

Secara terpisah, Helga mengatakan Unovis adalah investor global terdepan khusus di industri alternatif protein. Nantinya mereka akan membantu proses peluncuran Green Butcher sebagai brand global. “Kami sangat bersyukur bisa bekerja dengan highly experienced investor seperti Unovis,” tutupnya.

Gencarkan Strategi Omnichannel, Hangry Targetkan Miliki 150 Gerai Tahun Ini

Hangry, startup multi-brand virtual restaurant, mengambil langkah agresif untuk dapat membuka 150 gerai offline hingga akhir 2021 (posisi saat ini 41 gerai). Diharapkan ekspansi ini dapat mendongkrak brand awarenss dari lima brand restoran milik Hangry, sekaligus kinerja perusahaan.

Co-Founder & CEO Hangry Abraham Viktor menjelaskan, meski bisnisnya baru berumur setahun, namun pandemi berhasil memberikan banyak pelajaran. Pada awal pandemi, perusahaan sebenarnya ikut terdampak hingga penurunan penjualan hingga 30%. Akan tetapi, angka tersebut belum seberapa dibandingkan pemain F&B lainnya yang bermain di layanan dine-in.

Seiring berjalannya waktu, salah satunya didorong percepatan konsumsi aplikasi digital yang masif, berdampak pada kinerja perusahaan yang dapat tumbuh lebih cepat dibandingkan sebelumnya dari sebelum PSBB tahap pertama.

Momentum tersebut dimanfaatkan dengan terus ekspansi meluncurkan brand-brand F&B baru di bawahnya, hingga akhirnya memutuskan untuk buka gerai khusus dine-in, dari sebelumnya hanya berkonsep cloud kitchen untuk pesan antar memanfaatkan jasa GoFood dan GrabFood.

“Tahun ini kita mau lebih banyak effort ke branding supaya lebih banyak orang kenal Hangry. Makanya kita pakai strategi omnichannel buka gerai dine-in dan delivery, tapi rencananya kita mau lebih banyak dine-in biar semakin engage dengan konsumen,” terang Viktor dalam konferensi pers virtual, Kamis (25/2).

Saat ini Hangry memiliki 40 gerai yang tersebar di Jabodetabek dan 1 gerai di Bandung. Adapun pada awal tahun ini, perusahaan meresmikan satu gerai dine-in dinamai Hangry the Alley berlokasi di Puri Pesanggrahan, Jakarta Barat. Gerai ini akan menjadi flagship dari seluruh brand Hangry agar semakin dikenal masyarakat luas.

Viktor sendiri merencanakan, dalam target 150 gerai pada akhir tahun ini. Setidaknya di tiap kota besar akan hadir satu gerai flagship tersebut untuk memperkenalkan brand Hangry. Lalu sisanya akan difokuskan untuk perbanyak gerai stand alone buat Moon Chicken dan San Gyu. Keduanya merupakan brand dengan penjualan tertinggi dan memiliki banyak konsumen.

Adapun Hangry kini memiliki tiga brand F&B lainnya, yakni Dari Pada, Nasi Ayam Bude Sari, dan Ayam Koplo. Masing-masing brand jadi cari perusahaan untuk menangkap semua masyarakat yang memiliki favorit makanan yang berbeda-beda.

Mengenai kinerja perusahaan terjadi tren kenaikan hingga 2000% yang ditunjukkan lewat penjualan produk di bawah naungan Hangry mencapai 22 kali lipat dari Januari 2020 ke Desember 2020.

Pada tiap kuartal sepanjang 2020, perusahaan mampu menjual mulai dari 135 ribu porsi dalam sebulan, tembus ke angka 525 ribu porsi sebulan di kuartal terakhir. Bahkan disebutkan pula pada Desember 2020, dalam sehari pernah tembus 17 ribu porsi.

“Oleh karena itu, kami melihat bahwa minat masyarakat terhadap produk Hangry cukup tinggi dan menjadi salah satu alasan kami untuk berinovasi melakukan ekspansi dengan membuat restoran dine-in,” tutupnya.

Ekspansi perusahaan yang agresif ini juga didukung oleh perolehan pendanaan tahap awal senilai $3 juta dari Sequoia dan Alpha JWC Ventures yang diumumkan pada Juni tahun lalu.

Application Information Will Show Up Here

Saturdays Boosts Omnichannel Network Expansion After Seed Funding

The direct-to-consumer startup, Saturdays, has just announced seed funding from three venture capitals, including Alpha JWC Ventures, Kinesys Group, and Alto Partners. In fact, this round was closed in 2020, the announcement is just arrived. The fresh funds will be focused on expanding offline stores and strengthening the omnichannel network.

In a general note, Saturdays offers lifestyle products with eyewear as its main business. With the DTC model, Saturdays produced its own lens and frame materials, from design, manufacturing, to direct delivery to consumers. Saturdays was founded by Rama Suparta and Andrew Kandolha in 2016.

In terms of sales, Saturdays has adopted the online-to-offline (O2O) model through websites and retail stores. Its first flagship store is located at Lotte Shopping Avenue, Jakarta, which is integrated with a coffee shop for a lifestyle effect.

Today, Saturdays also announced a new online sales channel, the Saturdays Lifestyle. This application allows users to shop for eyewear products on an O2O basis. Users can now download it via iOS and Android devices.

In his statement, Saturdays’ Co-founder Rama Suparta said that there are some integrated O2O shopping features available for users, such as online purchases, then picking them up at offline stores. Saturdays also present several payment options, including Buy Now Pay Later from Kredivo.

“One of the best features in this application is the Home Try-On reservation. This is Saturdays’ breakthrough by presenting an at-home eyeglass trial program. Customers only need to set a date, select ten frames, set an address, and get selected Arabica coffee, all for free,” Rama said.

Furthermore, Saturdays will continue to add offline store chains with a lifestyle to other big cities this year. Currently, the company has eight offline stores spread across the Jabodetabek area.

According to Rama, since the beginning, Saturdays was inspired by the unicorn startup Warby Parker who kicked off the conventional eyewear industry, by creating products that were authentic, affordable, and easy. Thus, by cutting significant brokerage fees, the company shares a vision of offering high-quality eyewear at affordable prices.

“We want to provide an extraordinary shopping experience for customers who are used to shopping with conventional and boring models. In the future, we will continue to innovate to become the dominant market leader in Indonesia,” Rama concluded.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Saturdays Gencarkan Ekspansi Jaringan Omnichannel Setelah Bukukan Pendanaan Awal

Startup direct-to-consumer Saturdays baru saja mengumumkan pendanaan seed dari tiga pemodal ventura, antara lain Alpha JWC Ventures, Kinesys Group, dan Alto Partners. Sebenarnya putaran ini sudah ditutup sejak tahun 2020 lalu, hanya saja baru diumumkan sekarang. Investasi ini difokuskan untuk ekspansi toko offline dan memperkuat jaringan omnichannel.

Seperti diketahui, Saturdays menawarkan produk lifestyle dengan eyewear sebagai bisnis utamanya. Dengan model DTC, Saturdays memproduksi sendiri material lensa dan frame, mulai dari desain, manufaktur, hingga pengiriman langsung ke konsumen. Saturdays didirikan oleh Rama Suparta dan Andrew Kandolha di 2016.

Dari sisi penjualan, Saturdays mengadopsi model online-to-offline (O2O) melalui website dan toko retail. Toko flagship pertamanya berada di Lotte Shopping Avenue, Jakarta, yang terintegrasi dengan gerai kopi untuk memberi sentuhan lifestyle. 

Kali ini, Saturdays sekaligus mengumumkan channel penjualan online baru, yakni aplikasi Saturdays Lifestyle. Aplikasi ini memungkinkan pengguna untuk berbelanja produk eyewear secara O2O. Kini pengguna sudah bisa mengunduhnya melalui perangkat iOS dan Android.

Dalam keterangannya, Co-founder Saturdays Rama Suparta mengatakan bahwa pengguna dapat menikmati sejumlah fitur belanja O2O yang terintegrasi, seperti melakukan pembelian online, lalu mengambilnya di toko offline. Saturdays juga menghadirkan beberapa opsi pembayaran, seperti Buy Now Pay Later dari Kredivo.

“Salah satu fitur terbaik di aplikasi ini adalah reservasi Home Try-On. Ini merupakan terobosan Saturdays dengan menghadirkan program coba kacamata di rumah. Pelanggan tinggal menentukan tanggal, memilih sepuluh bingkai, menetapkan alamat, dan mendapatkan kopi Arabica pilihan, semua secara gratis,” ujar Rama.

Lebih lanjut, Saturdays akan terus menambah jaringan toko offline dengan sentuhan lifestyle ke kota-kota besar lain di tahun ini. Saat ini, perusahaan telah memiliki delapan toko offline yang tersebar di area Jabodetabek.

Menurut Rama, sejak awal Saturdays terinspirasi oleh startup unicorn Warby Parker yang menggebrak industri kacamata konvensional, dengan menciptakan produk yang otentik, terjangkau, dan mudah. Maka itu, dengan memotong biaya jasa perantara yang signifikan, perusahaan memiliki visi yang sama untuk menawarkan kacamata berkualitas tinggi dengan harga terjangkau.

“Kami ingin memberikan pengalaman berbelanja luar biasa bagi para pelanggan yang terbiasa belanja dengan model konvensional dan membosankan. Ke depannya, kami akan terus berinovasi untuk menjadi pemimpin pasar yang dominan di Indonesia,” tutup Rama.

Application Information Will Show Up Here

Startup Agritech Brambang Kenalkan “ReadyToEat”, Layanan Pemesanan Bahan Makanan Siap Masak

Setelah hadir sejak 2017 lalu menawarkan produk bawang merah, cabai, kentang, dan kebutuhan dapur lainnya, platform agritech Brambang kini mulai menjajah lini produk lainnya. Yang baru diluncurkan adalah layanan pesan-antar makanan siap saji “ReadyToEat”.

Kepada DailySocial, Founder & CEO Brambang Dustin Haliman mengungkapkan, perusahaan melihat adanya peluang untuk menghadirkan ReadyToEat sebagai solusi makanan yang praktis di tengah kesibukan.

“Zaman sekarang banyak orang tidak ada waktu untuk masak di rumah. Pergi makan keluar atau delivery (pesan-antar) belum tentu praktis dan ideal. Produk ReadyToEat dapat disimpan di kulkas, siap setiap saat, dan memungkinkan konsumen untuk menikmati makanan enak tanpa repot masak.”

Saat ini layanan ReadyToEat Brambang hanya tersedia di Jakarta, Depok, Tangerang Selatan, Bekasi dan Kabupaten Bekasi (hanya kecamatan Cikarang Selatan dan Tambun Selatan). Untuk memastikan kualitas makanan terpantau dengan baik kondisinya, Brambang tidak memanfaatkan konsep cloud kitchen. Semua produksi dilakaukan secara langsung di central kitchen milik mereka.

“Kondisi saat ini membuat setiap orang berjaga-jaga tidak terkecuali dalam memilih makanan, hal itu yang mendorong Brambang’s Kitchen menghadirkan makanan ReadyToEat sehingga masyarakat tidak perlu khawatir saat hendak menyantapnya,” ujar Dustin.

Layanan pesan antar makanan siap masak dan siap saji yang sebelumnya sudah hadir di antaranya adalah CooklabHomeadeKulina, GorryGourmet dan Yummybox.

Pandemi mendorong akselerasi layanan baru

Salah satu faktor penunjang bagi Brambang untuk kemudian meluncurkan layanan ReadyToEat adalah, pandemi yang mendorong lebih banyak masyarakat untuk melakukan pembelian secara online. Meskipun tidak meninggalkan produk terdahulu, saat ini fokus dari Brambang adalah memperkenalkan lebih luas lagi layanan ReadyToEat.

“Seperti pada umumnya selama pandemi banyak orang mentransisi ke pembelanjaan secara online untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari termasuk pembelian produk makanan. Kami di Brambang senantiasa berinovasi untuk membuat makanan yang enak, bermutu, dan praktis menjadi aksesibel pada masyarakat,” kata Dustin.

Tidak disebutkan lebih lanjut seperti apa strategi monetisasi yang dilancarkan dan berapa jumlah pengguna aktif Brambang hingga tahun 2021 ini. Namun perusahaan menjamin semua produk yang dijual di Brambang telah melewati proses kontrol mutu internal dan dikirim dengan fasilitas pendingin untuk menjamin kesegaran produk saat diterima oleh konsumen. Untuk memudahkan proses pembelian, Brambang juga telah meluncurkan aplikasi versi Android yang kini bisa diunduh oleh pengguna.

“Target Brambang adalah untuk memperkenalkan produk ReadyToEat kepada masyarakat secara luas dan untuk terus mengembangkan pilihan-pilihan makanan ReadyToEat,” kata Dustin.

Application Information Will Show Up Here