Cerita Delapan Tahun eFishery Pelopori Startup Akuakultur di Indonesia

Kepercayaan diri eFishery yang mampu menutup pendanaan Seri C menjadi kisah menarik karena diklaim sebagai pendanaan terbesar yang berhasil diperoleh oleh startup akuakultur di kancah dunia.

Ada tiga nama investor baru yang memimpin putaran tersebut, yakni Temasek, SoftBank, dan Sequoia Capital India. Masuknya investor global ini ke startup akuakultur merupakan hal baru, dari yang biasanya lebih dikenal berinvestasi ke bisnis yang berbasis consumer, mulai tertarik pada potensi bisnis yang diseriusi eFishery.

Perjalanan eFishery sendiri untuk mencapai titik sejauh ini tidak semudah membalikkan telapak tangan. Dari sisi industri ini sendiri, tidak hanya di Indonesia, bahkan di skala global pun belum ada tolak ukur yang bisa dipakai eFishery untuk mencari model bisnisnya. Alhasil, dalam delapan tahun ini, perusahaan banyak melakukan trial and error untuk membuat playbook sendiri.

“Tapi karena saya dulu ikut budidaya lele, dari hasil ngobrol dengan para petani ikan, masalah utama dari budidaya ikan itu adalah pakannya yang makan biaya paling besar sampai 70% dari total biaya produksi,” ucap Co-Founder dan CEO eFishery Gibran Huzaifah dalam media gathering.

Dalam kesempatan tersebut turut hadir Komisaris eFishery Aldi Haryopratomo dan Managing Director Northstar Group Sidharta Oetama.

Produk utama eFishery adalah eFishery Smart Autofeeder yang merupakan mesin pemberi pakan ikan otomatis cerdas yang diatur menggunakan smartphone. Alat ini memberi pakan secara otomatis, mencatat data pakan, dan terhubung ke internet. Data-data tersebut dikumpulkan kemudian diutilisasi oleh perusahaan dalam menyediakan solusi berikutnya, yakni eFarm dan eFisheryKu.

eFarm merupakan platform yang menyediakan informasi lengkap dan mudah dipahami mengenai operasional tambah udang. Sementara, eFisheryKu adalah platform terintegrasi yang memungkinan pembudidaya ikan dapat membeli berbagai keperluan budidaya, seperti pakan ikan, dengan harga yang kompetitif.

Smart Autofeeder ini tersedia dalam bentuk berlangganan. Harganya dimulai dari Rp5 ribu per hari sampai Rp150 ribu satu bulan, sementara untuk budidaya ikan dipatok maksimal Rp350 ribu sebulan. “Ini semua sudah termasuk biaya jasa dan pemasangan, farmers bisa stop berlangganan kapan saja.”

Dari keseluruhan produk di atas, salah satu poin menarik yang ditekankan Aldi adalah mengenai mekanisasi. Mengubah cara kerja pembudidaya ikan dari yang awalnya serba manual menggunakan alat modern, untuk menciptakan efisiensi yang berdampak ke banyak hal.

“Dari mekanisasi ini banyak data yang dapat diutilisiasi dan menjadi fondasi untuk produk-produk berikutnya eFishery. Karena sebelumnya yang kasih makan ikan tidak ada ukuran, jadi ada standarnya,” kata Aldi.

Sidharta menambahkan, selain mekanisasi, dari sisi humanisme, mekanisasi ini memberikan rasa kebebasan kepada para pembudidaya ikan untuk melakukan hal lain di luar pekerjaan utamanya.

Pengalaman tersebut sebelumnya dihadirkan oleh pemain sharing economy, seperti Gojek yang memberi kebebasan kepada para mitranya untuk melakukan pekerjaan lainnya.

“Dengan mekanisasi, sekarang pembudidaya bisa mengukur produktivitasnya mereka sendiri dan fleksibel untuk melakukan hal lain. Dari yang saya lihat saat berkunjung ke salah satu lokasi mitra, mereka bergabung ke eFishery karena alasannya capek harus beri makan ikan setiap hari, pakai tangan, belum lagi kalau kolamnya lebih dari satu, kalau suruh orang lain belum tentu ikannya diberi makan. Tapi sekarang pakai aplikasi sangat mudah,” kata Sidharta.

Hanya saja, tantangannya untuk memperkenalkan solusi eFishery ke lebih banyak pembudidaya ikan dan udang itu begitu berat, terutama di tahap-tahap awal. “Namun the harder the challenge, the bigger the opportunity is,” sambungnya seraya menjelaskan mengapa Northstar tertarik berinvestasi di eFishery.

Masuk tahap inflection point

Gibran melanjutkan, produk Smart Autofeeder adalah entry point eFishery dalam menjangkau pembudidaya baru, sekaligus menjadi jembatan untuk memasukkan produk-produk eFishery lainnya. Untuk itu, semakin banyak pembudidaya yang memanfaatnya, makin besar dampak yang diciptakan, dari efisiensi produksi sampai harga jual ikan yang lebih terjangkau.

Agar mencapai target tersebut, eFishery berupaya untuk menambah talenta baru khususnya di bidang engineering sebagai backbone utama perusahaan. Proporsi talenta engineering di eFishery saat ini terbesar kedua setelah tim sales and expansion. Jumlah tim engineering akan dilipatgandakan, mengingat fokus perusahaan berikutnya adalah mempersiapkan para pembudidaya yang sudah tech savvy untuk menyelami lebih dalam produk digital.

Hal tersebut berkaitan dengan posisi perusahaan yang sudah mencapai inflection point. Menurut Gibran pada titik tersebut, perusahaan harus lebih sistematik dalam mengelola karyawannya dan konsumernya berbasis digital agar lebih efisien.

“Waktu memperkenalkan eFishery pertama kali, kami banyak rekrut tim lapangan karena perlu temu tatap muka. Kami ajari mereka kenal smartphone, pakai aplikasi sehari-hari hingga sampai akhirnya kami kenalkan aplikasi eFishery. Masuk ke inflection point, kami perlu lebih disiplin dan sistematik, makanya butuh banyak orang engineer.”

Disebutkan, saat ini eFishery, lewat teknologi di hilir eFeeder, mampu mempercepat siklus panen dan meningkatkan kapasitas produksi hingga 26%. Sementara lewat eFresh menurunkan biaya operasional dan meningkatkan pendapatan pembudidaya hingga 45%. Harga pembelian pakan yang disediakan perusahaan juga diklaim lebih murah 3%-5% daripada beli di agen distributor.

Terhitung saat ini ribuan smart feeder taleh digunakan dan melayani lebih dari 30 ribu pembudidaya. Sekitar 40% dari pembudidaya ini tersebar di sekitar Pulau Jawa dan Sumatera Selatan. Kondisi ini tercermin langsung mengingat 65% populasi pembudidaya ikan dan udang di Indonesia ada di lokasi tersebut.

“Kami berhasil membuktikan model bisnis yang berhasil ter-deliver dengan baik untuk para pembudidaya ikan dan udang. Apalagi dalam dua tahun terakhir makin kuat karena bangun value chain, sehingga value-nya bisa lebih intangible. Misalnya, petani dari awalnya punya satu kolam, jadi lebih dari satu, lalu ambisinya jauh lebih besar, misalnya ingin menyekolahkan anaknya ke bangku kuliah,” kata Gibran.

Segera hadir di Thailand

Dalam kesempatan tersebut juga membahas mengenai rencana perusahaan untuk ekspansi. Gibran menyebut akan segera hadir secara komersial di Thailand, setelah melakukan pilot pada beberapa waktu lalu bersama mitra lokal. Kemudian, menyasar India dan Tiongkok dalam lima tahun ke depan. “Tahun ini, kami eksplorasi terlebih dahulu pasar tersebut.”

Kedua negara tersebut memiliki potensi yang menjanjikan, baik dari sisi produksi maupun konsumsi. Dari segi tantangannya, pola budidayanya pun sama seperti Indonesia, sehingga Gibran meyakini solusi eFishery dapat direplikasi di sana. Ditambah lagi, belum ada startup yang fokus di akuakultur seperti perusahaan di skala global.

“Di sana pun belum ada [pemain seperti kami]. Adapun potensi ikan dan udang terbesar di dunia itu top 10-nya ada di APAC, kecuali Norwegia. Kami adalah pionir di segmen ini dan optimis bisa menguasainya.”

Kendati berencana melakukan ekspansi regional, ia tetap menempatkan Indonesia sebagai fokus utama perusahaan. Pasalnya, potensi pembudidaya masih begitu besar yang belum tergarap. Disebutkan ada 3,5 juta pembudidaya ikan dan udang, perusahaan menargetkan dapat menggaet 1 juta pembudidaya dalam tiga sampai lima tahun mendatang. Adapun pada tahun ini ditargetkan dapat membidik 200 ribu pembudidaya atua meningkat hingga empat kali lipat.

Northstar Group to Channel 8.3 Trillion Rupiah Funding for Southeast Asia’s Growth Stage Startups

The private equity firm founded and led by Patrick Walujo and Glenn Sugita, Northstar Group, announced its flagship fund with a value of $590 million or around 8.3 trillion Rupiah.

The Northstar Equity Partners V Limited (Northstar V) funds will be channeled to Southeast Asian growth companies focusing on the consumption, financial services, digital economy and recovery sectors from the COVID-19 pandemic.

In total, Northstar currently manages a portfolio of $2.5 billion (over 35 trillion Rupiah). Northstar’s supporting investors include sovereign wealth funds, insurance companies, institutional investors, family offices, and high net worth individuals.

During 2021, Northstar V funds have been channeled to FMCG company Greenfields Dairy, fintech startup Advance Intelligence Group, and SaaS startup for warung, Ula. Advance AI has reached the unicorn status, while Ula has reached soonicorn status with a valuation of over $100 million.

Northstar Group’s Co-Founder and Managing Partner, Patrick Walujo said, “Over the past two years, we have all seen unprecedented volatility, uncertainty and complexity. However, Southeast Asia, in particular, Indonesia continue to present long-term investment opportunities. As the market recovers from the COVID-19 pandemic, favorable demographic conditions, rising wealth and consumption, higher levels of education and continued digitalization will drive substantial growth in the region.”

“The successful fundraising of our fifth flagship fund that took place during today’s challenging times is a testmony to the strong team and our portfolio’s quality, as well as the returns we have provided investors. We look forward to building partnerships with more entrepreneurs in Southeast Asia to drive their business growth through our capital and expertise,” Northstar Group’s Co-Founder and Managing Partner, Glenn Sugita added.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Northstar Group Siapkan Dana 8,3 Triliun Rupiah untuk Berinvestasi di Perusahaan Matang Asia Tenggara

Perusahaan private equity Northstar Group, yang didirikan dan dipimpin Patrick Walujo dan Glenn Sugita, mengumumkan penutupan dana flagship dengan nilai komitmen $590 juta atau sekitar 8,3 triliun Rupiah.

Dana Northstar Equity Partners V Limited (Northstar V) ini akan disalurkan ke perusahaan-perusahaan matang berorientasi tumbuh (mature growth companies) Asia Tenggara dengan fokus di sektor sektor konsumsi, layanan keuangan, ekonomi digital, dan pemulihan dari pandemi COVID-19.

Secara total saat ini Northstar mengelola portofolio dengan nilai $2,5 miliar (lebih dari 35 triliun Rupiah). Termasuk investor pendukung Northstar adalah dana kekayaan negara, perusahaan asuransi, investor institusi, kantor keluarga, dan individu dengan high net worth.

Selama tahun 2021, dana Northstar V telah disalurkan ke perusahaan FMCG Greenfields Dairy, startup fintech Advance Intelligence Group, dan startup SaaS untuk warung Ula. Advance AI telah mencapai valuasi unicorn, sementara Ula telah menyandang status soonicorn dengan valuasi lebih dari $100 juta.

Patrick Walujo, Co-Founder dan Managing Partner Northstar Group, mengatakan, “Selama dua tahun terakhir, kita semua telah melihat volatilitas, ketidakpastian, dan kompleksitas yang belum pernah terjadi sebelumnya. Namun, Asia Tenggara dan, khususnya, Indonesia terus menghadirkan peluang investasi jangka menengah hingga panjang yang menarik. Seiring dengan pulihnya pasar dari pandemi COVID-19, kondisi demografi yang menguntungkan, peningkatan kekayaan dan konsumsi, tingkat pendidikan yang lebih tinggi, serta digitalisasi yang terus berlanjut akan mendorong pertumbuhan yang besar di kawasan.”

“Kesuksesan penggalangan dana dari flagship fund kelima kami yang berlangsung selama masa penuh tantangan saat ini merupakan bukti kekuatan tim dan kualitas perusahaan portofolio kami, serta return yang telah kami berikan kepada investor. Kami berharap dapat membangun kemitraan dengan lebih banyak pengusaha di Asia Tenggara untuk mendorong pertumbuhan bisnis mereka melalui kontribusi modal dan keahlian kami,” tambah Glenn Sugita, Co-Founder dan Managing Partner Northstar Group.

AdaKami Andalkan “Channeling” dengan Mitra Digital, Mulai Fokus Pinjaman Produktif

AdaKami merupakan salah satu pemain fintech lending yang telah beroperasi di Indonesia sejak 2018 dan kini masuk sebagai salah satu jajaran teratas untuk penyaluran pinjaman berdasarkan volume. Perusahaan akan kembali meneruskan pencapaian tersebut dengan bekerja sama dengan lebih banyak mitra digital dalam rangka meningkatkan utilitas plafon pinjaman dan masuk ke sektor produktif.

AdaKami percaya kalau setiap orang Indonesia pasti punya mimpi atau tujuan yang ingin diraih di setiap kehidupan mereka, di antaranya untuk bisa mencapai mimpi tersebut memang membutuhkan dukungan secara finansial,” ucap VP AdaKami William Guo kepada DailySocial.id.

AdaKami memiliki dua produk pinjaman, yakni, Pinjaman Harian dan Pinjaman Cicilan. Perbedaan antara keduanya ada di pilihan metode pembayaran. Untuk Pinjaman Harian, dengan metode pembayaran 21 hari atau 28 hari, sementara Pinjaman Cicilan metode pembayaran dicicil per bulan hingga tiga kali.

Perusahaan bekerja sama dengan berbagai mitra digital dalam rangka meningkatkan utilitas limit plafon. Salah satu yang sudah diumumkan adalah JD.id. Pengguna JD.id dapat menggunakan limit yang diterima dari AdaKami —setelah proses verifikasi, sebagai alternatif metode pembayaran saat belanja berbagai kebutuhan di platform JD.id.

Ke depannya, akan ada lebih banyak kerja sama yang akan diumumkan. Pasalnya, ia menyebut perusahaan ingin hadir di berbagai aspek kebutuhan pengguna yang perlu didukung oleh alternatif pembiayaan/pembayaran. “AdaKami ingin menjawab kebutuhan dan tren yang ada saat ini di mana kolaborasi dengan lebih banyak platform digital lainnya, seperti e-commerce, e-wallet, dan platform digital lainnya sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat.”

Secara akumulatif hingga Oktober 2021, AdaKami sudah menyalurkan hampir ke 3 juta orang peminjam dengan peminjam aktif di angka hampir 1 juta orang melalui aplikasi. Untuk nilai penyalurannya mencapai Rp5,5 triliun.

Adapun untuk lender, sejauh ini baru memanfaatkan lender institusi atau sering disebut super lender. William menyebut salah satu di antaranya adalah Bank Jago yang menaruh komitmen untuk menyalurkan dana sebesar Rp100 miliar sejak pertengahan 2021. “Hingga hari ini AdaKami juga tengah berdiskusi dengan beberapa pihak super lender yang harapannya bisa kami umumkan kolaborasi antara akhir 2021 atau awal 2022.”

Secara terpisah mengutip dari Bisnis.com, berawal dari pinjaman konsumtif, kini AdaKami mulai mendukung sektor produktif. Menurut survei internal yang dilakukan perusahaan, kendati dominasi penyaluran terbesar masih di sektor konsumtif, sekitar 23% pengguna memanfaatkan pinjaman untuk usaha mandiri. Sebanyak 47% pengguna di dalamnya menggunakan dana tersebut untuk pinjaman modal, dan kebanyakan pengguna berada di rentang usia 20-39 tahun.

CEO AdaKami Bernardino M. Vega mengatakan, perusahaan mematok target yang agresif pada tahun ini karena ditopang oleh strategi masuk ke sektor tersebut, terutama usaha mikro rumahan. “Jadi kalau kami perhatikan pada masa pandemi kemarin, tak jarang tipe borrower yang statusnya punya pekerjaan, dia mengajukan pinjaman multiguna dan menggunakan nama pribadi, bukan usaha. Nah, dia bukan menggunakan dana buat kebutuhan harian, justru menggunakannya untuk membuka usaha sampingan.”

Strategi yang akan dilakukan untuk mendukung rencana tersebut adalah memperbesar ticket size, membuat tingkat bunga yang semakin rendah dengan meningkatkan profil user, mengakomodasi tenor lebih panjang, dan memberikan kemudahan persetujuan.

VP AdaKami William Guo / AdaKami

Perketat mitigasi risiko

William melanjutkan, belakangan citra industri fintech lending terus tercoreng karena aksi pemain ilegal. Menurutnya, dari sisi transparansi dan akuntabilitas, yang perlu diketahui adalah bahwa salah satu faktor yang membedakan antara fintech legal dan ilegal adalah keterbukaan informasi terkait biaya pinjaman.

Perusahaan selalu menampilkan seluruh rincian biaya pinjaman, sebelum pengguna mengajukan pinjaman, sehingga pengguna dapat mempertimbangkan total biaya yang harus mereka bayarkan. Sedangkan dari sisi keamanan data privasi dan teknologi informasi, AdaKami telah tersertifikasi ISO 27001:2013 terkait keamanan informasi digital.

“Maraknya terkait pinjol ilegal juga menjadi perhatian AdaKami, di mana kami secara aktif melalui platform resmi melakukan komunikasi edukasi dan menyediakan saran-saran praktis kepada pengguna dan publik secara luas mengenai penggunaan fintech lending yang aman dan bijak.”

AdaKami juga melakukan serangkaian langkah untuk mitigasi risiko demi mencegah risiko gagal bayar. William menjelaskan, dalam proses pendaftaran awal, AdaKami memanfaatkan teknologi AI untuk mempelajari dan mendeteksi kemungkinan penipuan berdasarkan data dan informasi yang disertakan pengguna.

“Hal ini juga didukung oleh big data, salah satunya PEFINDO dan juga kelengkapan sistem keamanan yang AdaKami gunakan dalam menentukan credit scoring.”

Penilaian kredit merupakan parameter kredit yang dapat merepresentasikan atau mencerminkan karakter, serta kemampuan calon peminjam untuk bertanggung jawab atas pengajuan pinjamannya. Tinggi atau rendahnya penilaian kredit juga dapat memberikan gambaran prediksi probabilitas keberhasilan bayar dari calon peminjam di masa depan.

“Posisi TKB kami saat ini tergolong baik dan sehat, seperti yang dapat diakses melalui halaman website kami, per September 2021 TKB90 ada di 99,7%.”

Per 5 November 2021 mendatang, biaya layanan AdaKami akan mengikuti aturan baru yang dikeluarkan oleh AFPI menjadi maksimal 0,4% per hari dari sebelumnya 0,8% untuk produk sekali bayar, dan 0,3% hingga 0,4% per hari untuk produk cicilan. Sementara untuk limit pinjaman yang diberikan maksimal Rp10 juta untuk setiap pengguna.

William enggan menyebut rencana penggalangan dana perusahaan untuk mendukung langkah ekspansi berikutnya. Sebagai catatan, AdaKami adalah perusahaan patungan dari FinVolution, perusahaan pembiayaan terbesar dari Tiongkok, dengan kepemilikan 80% saham dan PT Paraduta Satya Wahana, yang merupakan bagian dari Northstar.

Tren pembiayaan konsumtif menurun

Menurut data statistik OJK per Mei 2021, ada 118 penyelenggara fintech lending konvensional dan 9 penyelenggara syariah. Secara total, total aset yang dimiliki mencapai Rp4,1 triliun. Para platform juga berhasil mengakomodasi sekitar 8,7 juta rekening pemberi pinjam (p2p) menyalurkan dana Rp13,8 triliun.

Dominasi porsi pinjaman konsumtif masih mendominasi dari total portofolio penyaluran di industri. Bila melihat selama 2020 kemarin, penyaluran konsumtif memakan porsi sebanyak 62,04% dari total new loan Rp74,41 triliun. Akan tetapi trennya, perlahan turun karena dorongan OJK untuk pemain lending turun menggarap pembiayaan produktif di dalam portofolionya.

Menurut laporan DSResearch dan AFPI, rata-rata pinjaman konsumtif yang dicairkan oleh para platform adalah di bawah Rp2,5 juta (70,1%), lalu disusul Rp2,5 juta-Rp25 juta (20,8%), dan Rp25 juta-Rp100 juta (1,3%). Adapun dari total penyaluran pinjaman, tercatat ada 46,8% perusahaan yang menyalurkan pinjamannya hingga Rp50 miliar, lebih dari Rp1 triliun (23%). Selain itu, ada 5 pemain yang sudah menyalurkan lebih dari Rp3 Triliun kepada peminjamnya: Pendanaan.com, Asetku, UangMe, Kredivo dan Kredit Pintar.

Application Information Will Show Up Here

Zenius Announces Pre Series B Funding; Revenue Boost Supported by “Live Class”

Zenius edtech startup today (05/1) announced the pre-series B funding round with an undisclosed amount. Alpha JWC Ventures and Openspace Ventures joined the list of new investors, participated also in this round the previous investors, Northstar, Kinesys, and BeeNext.

The fund is to be focused on platform development, amidst increasing market demand. Previously, Zenius has announced series A funding worth $20 million in February 2020.

In addition, the online learning platform claimed strong growth throughout 2020. In fact, per second semester last year, income has increased by 70% compared to the same period in 2019. Zenius provided loads of free learning content during the first half of 2020, to support the learning from home initiative in the midst of the Covid-19 pandemic.

In June 2020, along with rebranding and app updates, Zenius started adopting a freemium business model. Nearly 50% of Zenius’ revenue comes from the Live Class feature. Since its launch in March 2020, user growth is said to increase by 10 times with a retention rate of 90%.

Currently, Zenius receive an average rating of 4.9 (out of 5) for its classes, with attendance reaching 400 students, and breaking records with 10,000 users in one 60-minute math session.

Based on SimilarWeb data, the Zenius.net site gets an average of 3-4 million visits every month. On the Android platform, the application has been downloaded by more than one million users.

“Recently, we launched the Automated Doubt-Solving feature through our application and WhatsApp. This feature will provide a solution to students using only the camera on their cell phone. The system will then recommend a video and practice questions to explain the process behind the solution and allow students to actively apply it in a given set of practice questions. This will create a more immersive learning experience that contributes to students’ critical thinking and the ability to solve difficult problems and future concepts,” Zenius’ CEO Rohan Monga said.

“For more than a decade, they have made a track record of demonstrating successful learning outcomes and reinventing their core business as new mediums emerge. We believe this track record will be a key differentiating factor in the rapidly evolving education landscape, and we expect that the new funding round will drive Zenius’ growth even further,” Openspace Ventures’ Director Ian Sikora said.

Edtech in Indonesia

According to data summarized in the Edtech Report 2020 by DSResearch, there are currently some fast-growing education startup business models in Southeast Asia. Zenius alone is in the “Learner Support, Tutoring, & Test Preparation” category with several other players – including those from/already operating in Indonesia such as Ruangguru, Pahamify, and CoLearn.

Edtech in SEA

Since 2012, various types of edtech services have slowly but surely continued to emerge in Indonesia. Referring to the report above, there are dozens of local edtech startups that still running – in fact, each held a different value proposition. The market share is quite substantial, as for players like Zenius or Ruangguru that focused on K-12 students (elementary-high school level), there are more than 50 million students each year throughout Indonesia.

This opportunity has made several foreign players lining up to enter the Indonesian market. As of 2020, at least 6 foreign players have succeeded in planting a business in Indonesia – including having representative offices and local teams.

 

Foreign Edtech Players in Indonesia

The local edtech market continues to grow, not only serving students, various edtech startups are starting to target professionals and business customers. Recently, there as been some new models, one of which is related to fintech which focuses on education loans.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Zenius Umumkan Pendanaan Pra-Seri B; Pendapatan Naik Ditopang Layanan “Live Class”

Startup edtech Zenius hari ini (05/1) mengumumkan telah mendapatkan putaran pendanaan pra-seri B dengan nilai yang tidak diungkapkan. Alpha JWC Ventures dan Openspace Ventures masuk ke jajaran investor baru, investor sebelumnya yakni Northstar, Kinesys, dan BeeNext juga turut andil di putaran ini.

Dana akan difokuskan untuk pengembangan platform, di tengah permintaan pasar yang terus berkembang. Sebelumnya Zenius secara resmi mengumumkan pendanaan seri A pada Februari 2020 lalu senilai $20 juta.

Turut disampaikan, sepanjang 2020 platform pembelajaran online tersebut mengklaim pertumbuhan kuat. Bahkan, pendapatan per semester kedua tahun lalu naik 70% dibandingkan periode yang sama di 2019. Zenius sempat menggratiskan sebagian besar konten pembelajaran sepanjang paruh pertama 2020, guna mendukung inisiatif belajar dari rumah di tengah pandemi Covid-19.

Pada Juni 2020, bersamaan dengan rebranding dan pembaruan aplikasi, Zenius mulai mengadopsi model bisnis freemium. Hampir 50% sumber pendapatan Zenius berasal dari fitur Live Class. Sejak diluncurkan pada Maret 2020, jumlah pengguna diklaim telah naik 10 kali lipat dengan tingkat retensi mencapai 90%.

Saat ini, kelas-kelas di Zenius rata-rata menerima rating 4,9 (dari 5), dengan jumlah kehadiran mencapai 400 siswa, dan sempat memecahkan rekor dengan 10 ribu pengguna dalam satu sesi matematika selama 60 menit.

Berdasarkan data SimilarWeb, rata-rata situs Zenius.net mendapat 3-4 juta kunjungan setiap bulannya. Di platform Android, aplikasi sudah diunduh lebih dari satu juta pengguna.

“Baru-baru ini kami meluncurkan fitur Automated Doubt-Solving melalui aplikasi kami dan WhatsApp. Fitur ini akan memberikan solusi kepada siswa hanya dengan menggunakan kamera di ponsel mereka. Sistem kemudian akan merekomendasikan video dan pertanyaan latihan untuk menjelaskan proses di balik solusi tersebut dan memungkinkan siswa secara aktif menerapkannya dalam rangkaian pertanyaan latihan yang diberikan. Hal ini akan menciptakan pengalaman belajar lebih mendalam yang berkontribusi pada pemikiran kritis siswa dan kemampuan untuk memecahkan masalah yang sulit dan konsep masa depan”, kata CEO Zenius Rohan Monga.

“Selama lebih dari satu dekade, mereka telah menunjukkan rekam jejak dengan memperlihatkan hasil pembelajaran yang terbukti berhasil dan menciptakan kembali core business-nya seiring dengan munculnya medium-medium baru. Kami percaya rekam jejak tersebut akan menjadi faktor pembeda utama dalam lanskap pendidikan yang berkembang pesat, dan kami berharap putaran baru pendanaan ini akan mendorong pertumbuhan Zenius lebih jauh,” sambut Direktur Openspace Ventures Ian Sikora.

Edtech di Indonesia

Menurut data yang dirangkum dalam Edtech Report 2020 oleh DSResearch, saat ini ada beberapa model bisnis startup pendidikan yang berkembang pesat di Asia Tenggara. Zenius sendiri berada di kategori “Learner Support, Tutoring, & Test Preparation” bersama beberapa pemain lainnya – termasuk yang dari/telah beroperasi di Indonesia seperti Ruangguru, Pahamify, dan CoLearn.

Edtech in SEA

Sejak tahun 2012, perlahan tapi pasti, berbagai jenis layanan edtech terus bermunculan di Indonesia. Merujuk pada laporan di atas, saat ini ada puluhan startup edtech lokal yang masih beroperasi – tentu masing-masing memiliki value proposition berbeda. Pangsa pasarnya memang sangat besar, katakanlah untuk pemain seperti Zenius atau Ruangguru yang menyasar pelajar K-12 (setingkat SD-SMA), setiap tahunnya ada lebih dari 50 juta siswa/i yang tersebar di seluruh Indonesia.

Potensi tersebut membuat beberapa pemain asing pun berbondong-bondong melakukan ekspansi ke Indonesia. Per tahun 2020, setidaknya sudah ada 6 pemain luar yang berhasil membangun basis bisnis di Indonesia – termasuk memiliki kantor perwakilan dan tim lokal.

Foreign Edtech Players in Indonesia

Pasar edtech lokal pun terus berkembang, tidak hanya melayani pelajar, berbagai startup edtech juga mulai menyasar kalangan profesional dan pelanggan bisnis. Beberapa model baru juga dilahirkan beberapa tahun terakhir, salah satunya terkait fintech yang fokus pada pinjaman pendidikan.

Application Information Will Show Up Here

Northstar Mencari “Lumbung Permata” di Pasar Indonesia

Pada bulan April, perusahaan Private Equity yang berkantor pusat di Singapura, Northstar telah mengumumkan penutupan fund kelimanya. Sejak debutnya pada tahun 2003, Northstar telah aktif berinvestasi di pasar Indonesia. Salah satu portofolio mereka yang teranyar adalah raksasa ride hailing, Gojek.

Dengan jumlah populasi anak muda dan basis konsumen yang terus berkembang menggerakkan roda perekonomian negara, Indonesia tetap menjadi pasar terbesar bagi investor di Asia Tenggara. Hal tersebut diungkapkan secara jelas oleh Co-Chief Investment Northstar, Sunata Tjiterosampurno, dalam sesi wawancara eksklusif dengan DailySocial. Setiap kali investor mencari peluang di Asia Tenggara, Indonesia harus ada di peta.

Selama membahas lanskap investasi di Indonesia dan negara-negara lain di Asia Tenggara, ia menekankan untuk tidak menggeneralisasi lanskap VC dan PE. Di skema PE, lanjutnya, Indonesia dikatakan sebagai pasar yang cukup menarik karena banyaknya kesepakatan pasar menengah ($50-100 juta).

Singapura, di sisi lain, memiliki pasar sendiri. Lanskap ini relatif mirip dengan Thailand, Vietnam, dan Filipina. Ia juga menyoroti fakta bahwa tidak banyak potensi sumber daya alam atau sektor terkait masyarakat di Singapura. Selain itu, terdapat basis manufaktur di Thailand, dibandingkan dengan Indonesia yang kebanyakan melayani jenis transaksi pasar massal konsumen.

Secara historis dan ke depannya, memberi eksposur terhadap pertumbuhan konsumsi di Indonesia (yang didasari pertumbuhan kelas menengah) menjadi tema penting di Northstar. Apalagi di era digital ini, di mana segala sesuatu mulai bergeser ke cara non-konvensional.

“Digital telah menjadi komponen ekonomi yang lebih besar dan menyerbu pasar massal konsumen dan layanan keuangan dengan cara yang berbeda. Evolusi model bisnis yang memanfaatkan pasar tersebut telah menghasilkan investasi dalam bisnis yang lebih berorientasi digital atau menggabungkan bisnis online-offline,” imbuhnya.

skyscraper-3184798_1280

Fokus pada market yang besar

Dalam hal investasi, Northstar memiliki tiga area fokus, pasar massal konsumen, layanan keuangan, dan digital. Strategi ini telah diterapkan pada fund IV dan akan terus diadopsi dalam fund V. Dipastikan bahwa pasar terbesar perusahaan sejauh ini adalah Indonesia. Dari perspektif geografis, Indonesia akan mencaplok 60% – 70% dari total, sementara pasar lain mendapat bagian hingga 30% – 40%. Di pasar regional, Northstar telah mengambil peluang di Filipina, Thailand, Singapura, dan Vietnam.

Berinvestasi bukanlah tugas yang mudah. Ada beberapa kualitas utama untuk diperhatikan atau menjadi fokus. Bagi Northstar, yang pertama dan terpenting adalah pengusaha itu sendiri. Sampai pada akhirnya mereka bertemu dengan tim manajemen, para pendiri memang orang paling penting yang dapat menggerakkan bisnis ini dan menjadikannya besar.

Selanjutnya, seberapa besar ukuran pasar yang mereka kejar? Ada banyak perusahaan rintisan digital, tetapi jika mereka mencari pasar kecil maka inilah saatnya untuk mempertimbangkan kembali. Sebagai perusahaan yang berkomitmen untuk berinvestasi pada perusahaan yang sedang berkembang, adalah alami untuk menargetkan pasar yang besar.

Ketiga, model bisnis yang dapat dipertahankan, artinya mereka memiliki cara yang menarik untuk menghasilkan uang. Selain itu, mereka dapat membuat mode pertahanan untuk mengelola persaingan saat semakin ketat.

DailySocial turut menyinggung perjalanan Northstar dalam menemukan dan berinvestasi pada salah satu harta karun Indonesia, Gojek. Singkat cerita, sebagai pendiri Northstar, Patrick Walujo menjadi salah satu yang pertama kali terlibat di masa-masa awal Gojek. Perusahaan modal ventura afiliasinya, NSI, yang kini berganti nama menjadi Openspace Ventures, berinvestasi di putaran Seri A pada tahun 2014. Saat itu, Gojek sama sekali belum digital.

Saat Openspace berinvestasi ke Gojek, tujuannya adalah membawa perusahaan tersebut online dan membuat aplikasi. Dalam enam bulan, perusahaan berhasil meluncurkan aplikasi dan mendapatkan daya tarik yang luar biasa. Dengan sejumlah koneksi ke perusahaan, sebuah privilege ketika Openspace menjadi salah satu yang pertama dihubungi terkait pendanaan. Namun, dengan fokus investasi tahap lanjut, sudah sewajarnya bagi Northstar untuk berinvestasi di Seri B. Dengan ukuran tiket rata-rata antara $50 – $60 juta, perusahaan berinvestasi secara progresif hingga mencapai $60 juta.

Sunata juga menyebutkan bahwa Northstar mengamati pertumbuhan global Uber yang pesat mulai tahun 2014 dan mengantisipasi tren ini akan datang ke Indonesia. Northstar melihat peluang di segmen ride hailing dan transportasi. Mereka mendukung Nadiem saat ia memulai Gojek sebagai versi lokal Uber.

Bekerja sama dengan tim manajemen

scrabble-4958237_1280

Pandemi telah menjadi bencana pada beberapa bisnis yang memiliki komponen offline yang besar, tetapi untuk bisnis digital native atau bisnis digital besar, sebenarnya mengalami banyak pertumbuhan, karena orang-orang yang bekerja di rumah mencoba mendapatkan akses ke hal-hal yang mereka lakukan sebelumnya melalui mobile. Tahun lalu, Northstar berinvestasi di perusahaan edtech bernama Zenius, dan telah menunjukkan pertumbuhan yang sangat kuat selama setahun terakhir. Terutama di saat pandemi, lebih banyak orang yang mencari untuk belajar di rumah karena tidak bisa bersekolah.

Karena Covid-19, adopsi digital meningkat. Oleh karena itu, beberapa bisnis mengalami pertumbuhan eksponensial seperti e-commerce dan banyak sektor berbeda mendapat manfaat dari peningkatan perilaku digital. Pada saat yang sama, kondisi makro secara keseluruhan sedang sulit di Indonesia, sehingga menyulitkan bisnis dengan komponen offline yang besar. Perusahaan menyadari bahwa sangat sulit bagi mereka untuk menumbuhkan skala yang sama selama pandemi.

Grup Northstar dipastikan menjadi investor aktif di semua portofolio bisnis. Mereka menduduki kursi dewan di Dewan Komisaris dan bekerja sangat erat dengan tim manajemen, terutama selama krisis. Beberapa bisnisnya telah dilanda pandemi parah. Seperti yang sudah sering kita dengar, industri perjalanan dan pariwisata telah menurun secara signifikan, dan secara global.

“Mengingat pandemi COVID-19, dalam beberapa kasus, kami harus membuat beberapa keputusan strategis di perusahaan portofolio kami untuk memfokuskan kembali strategi bisnis pada area pertumbuhan potensial. Kami bekerja sangat erat dengan tim manajemen dalam perubahan ini,” sebut perwakilan Northstar.

Untuk para pendiri yang bisnisnya cukup terpukul, berikut beberapa insight terkait masalah terkini. Banyak investor asing merasa sulit untuk berinvestasi tanpa melibatkan orang di lapangan. Dengan cara lain, sangat tepat untuk berasumsi bahwa akan sulit bagi perusahaan Indonesia untuk mendapat modal asing sampai pandemi selesai.

“Salah satu hal terpenting bagi para pendiri adalah memastikan bahwa mereka dapat mendanai bisnis selama mungkin tanpa memerlukan modal eksternal. Dalam hal model bisnis, bagaimana Anda terus berinovasi, beradaptasi, dan berkembang sesuai dengan kebutuhan konsumen yang berubah dengan cepat. Untuk kebanyakan bisnis, hal ini tentang beradaptasi dengan iklim yang berbeda dan belajar bagaimana bisa tetap bersinar dalam era new normal,” lanjutnya.

Flavor of the year

Mengenai strategi jangka panjang, sebagian besar private equity atau dana modal ventura sudah memiliki alokasi aset, fokus area, dan geografisnya sendiri. Juga jenis usaha yang akan diinvestasikan sambil menggalang dana. Dalam hal implementasi, Northstar akan tetap menggunakan strategi jangka panjang, tetapi mengkalibrasi tergantung pada siklus bisnis. Oleh karena itu, yang akan berubah sebenarnya dari segi valuasi, sektor tertentu, tetapi fokus tingkat tinggi tetap sama.

“Yang saya maksudkan adalah bahwa strategi investasi kami di bidang jasa keuangan, digital dan konsumen tetap sama, apakah ada pandemi atau tidak, menurut kami ini tetap menjadi sektor yang menarik dan akan terus fokus pada hal ini,” tambah Sunata.

wine-glasses-2300713_1280

Ia juga menyebutkan bahwa strategi jangka panjang berbeda dengan flavor of the year. Di tahun 2020 ini adalah Covid-19. Oleh karena itu, private equity perlu lebih optimis dan berhati-hati dalam hal penggelaran modalnya, banyak fokus pada optimalisasi perusahaan portofolio yang ada. Setiap tahun memiliki taste yang berbeda. Situasinya dinamis dan perusahaan akan terus mencari peluang yang sesuai dengan keadaan.

“Kami tetap aktif dalam mencari kesepakatan dan semua berbasis pada kasus, tergantung valuasi, performa bisnis. Namun, secara umum kami sangat aktif mencari peluang bagus,” ujar Sunata.

Hingga saat ini, The Northstar Group telah menginvestasikan lebih dari US $3,3 miliar di kawasan Asia Tenggara. Dana tersebut disalurkan melalui lebih dari 35 perusahaan di sektor perbankan, asuransi, konsumen/ritel, manufaktur, minyak dan gas, batubara dan pertambangan, teknologi, telekomunikasi, dan agribisnis. Belum lama ini perusahaan mengucurkan dana untuk eFishery, perusahaan intelijen akuakultur terkemuka di Indonesia.


Artikel asli terbit dalam Bahasa Inggris, diterjemahkan oleh Kristin Siagian

Northstar Seeks Hefty Gem in the Indonesian Market

Last April, Singapore headquartered Private Equity firm Northstar had announced the closure of its fifth flagship fund. Since its debut in 2003,  Northstar has been actively investing in the Indonesian market. One of their notable portfolios is the ride-hailing giant, Gojek.

With the number of young population and growing consumer base powering the country’s economy, Indonesia remains the largest market for investors in Southeast Asia. This is clearly stated by Northstar’s Co-Chief Investment, Sunata Tjiterosampurno, in an exclusive interview session with DailySocial. Therefore, whenever some investors look for opportunities in Southeast Asia, Indonesia has to be on the map.

As we continue discussing the investment landscape in Indonesia and other countries in Southeast Asia, he suggests to not generalized the VC and PE landscape. On the PE landscape, he continued, Indonesia is said to be quite an interesting market due to lots of mid-market deals ($50-100 million).

Singapore, on the other hand, is a market on its own. It’s a relatively similar landscape to Thailand, Vietnam, and the Philippines. He also highlighted the fact that there are not many natural resources or community-related sectors in Singapore. Also, there are more manufacturing-based deals in Thailand, compared to Indonesia which serves mostly consumer mass-market types of deals.

In terms of private equity firms, historically and still going forward, getting exposure to the growing consumption in Indonesia because the middle class is growing is an important theme in Northstar. Especially in this digital age, where everything starts to shift into non-conventional ways.

“Digital has become a big component of the economy and it is impacting consumer mass-market and financial services businesses in various ways. The transformation of business models in such segments has resulted in investment in a more digital-oriented business often leading to an online-offline business mode,” he added.

skyscraper-3184798_1280

Focusing on the big market

In terms of investment, Northstar has three focus areas, consumer mass-market, financial services, and digital. This strategy has been implemented in fund IV and to be continuously adopted by fund V.  It is confirmed that the firm’s largest market by far is Indonesia. From a geographic perspective, Indonesia is to take 60% – 70% of the plate, while other markets will take up to 30% – 40%. In the region, Northstar has been arranging deals in the Philippines, Thailand, Singapore, and Vietnam.

Investing is not an easy task. There are a few key qualities to look at or focus on. For Northstar, first and foremost is the entrepreneurs. As they further meet the rest of the management team, the founders are indeed the most important person who can drive this business and make it big.

Next, how big is the market size that they’re going after? There are lots of digital startups, but if they’re going for the small market then it’s time to reconsider. As the company committed to investing in growth companies, it is obvious to target a big market.

Third, the business model should be defensible, meaning that they have attractive ways to make money. Also, they can create a mode to manage the competition when it gets tight.

As the firm started to open up, DailySocial allegedly asked about Northstar’s journey in finding and investing in one of Indonesia’s treasure, Gojek. Long story short, as the founder of Northstar, Patrick Walujo was first involved in the early days of Gojek, its affiliated venture capital fund NSI, which is now rebranding into Openspace Ventures ended up investing in 2014 in series A. Gojek was barely digital.

As Openspace invested, the goal is to take the company online and to create an app. In six months, the company managed to launch an app and got tremendous traction. With a number of connections to the company, it’s a privilege to pick up the investing call on such short notice. However, as a later stage investment, it’s only natural for Northstar to invest in series B. With an average ticket size between $50 – $60 million, the company invested progressively to the extend of $60 million.

Sunata also mentioned that Northstar observed the rapid global growth of Uber starting back in 2014 and anticipated that it would come to Indonesia. Northstar saw the opportunities in the ride-hailing and transport segment, and backed Nadiem as he was starting Gojek as a local version of Uber.

Work closely with the management team

scrabble-4958237_1280

The pandemic has been very tough on some businesses that had large offline components, but for digital-native businesses or large digital businesses, it’s actually experienced a lot of growth, because people are at home working, trying to get access to things they’re doing previously through their phone. Last year, Northstar is reportedly invested in an edtech company named Zenius, and it has shown very strong growth for the past year. Especially in times of the pandemic, a lot more people are looking to learn at home because they can’t go to school.

Due to Covid-19, digital adoption has increased. Therefore, some businesses are having exponential growth such as e-commerce and a lot of different spaces benefit from digital behavior increase. At the same time, the overall macro condition is tough in Indonesia right now, resulting in difficulty for businesses with large offline components. The company is aware that it’s very hard for them to grow the same scale during the pandemic.

The Northstar Group is confirmed to be an active investor in all of the business portfolios. They occupied board seats in the Boards of Commissioners and work very closely with the management team, especially during the crisis. Some of its businesses have been badly hit by the pandemic. It’s as we’ve often heard that the travel and tourism industry has declined significantly, and globally.

“Given the COVID-19 pandemic, in some cases, we have had to make some strategic decisions at our portfolio companies to refocus the strategy of the business on potential growth areas. We work very closely with the management teams on these changes,” said the Northstar representative.

For those founders whose businesses were badly hit, here are some insights. A lot of foreign investors are finding it hard to invest without having people on the ground. In another way, it’s right to assume that it’ll be hard for Indonesian companies to tracks foreign capital until the pandemic is over.

“One of the most important things for founders is to make sure that they can fund their business for as long as possible without needing external capital. In terms of business models, how you constantly innovate, adapt, and evolve given rapidly changing consumer needs. For a lot of business, it is about adapting to the different climate we are in and learning how to prosper in the new normal,” he continued.

The flavor of the year

Regarding the long-term strategy, most private equity or venture capital fund already has its own asset allocations, focus areas, and geographic, also types of business to invest while raising the fund. In terms of implementation,  Northstar is to stick with the long term strategy, but calibrate depending on the business cycle. Therefore, what will change is actually in terms of valuations, specific sectors, but the high-level focus remains the same.

“What I am saying is that our strategy of investing in financial services, digital and consumers, would remain the same, whether there was a pandemic or not. We think these remain attractive sectors and we will continue to focus on them,” Sunata added.

wine-glasses-2300713_1280

He also mentioned that the long term strategy is different from the flavor of the year. In 2020, it’s actually Covid-19. Therefore, private equity needs to be more cautiously optimistic in terms of deploying its capital, focus lots on optimizing the existing portfolio companies. Every year there will be a different flavor of the year. The situation is dynamic and the company will continue to look for an opportunity that fits the circumstances.

“We are actively looking for deals, but each opportunity is case by case-based, depending on valuation, management team, business performance, and prospects. In general, we are actively looking for good opportunities in our focus sectors,” Sunata said.

To date, The Northstar Group has invested over US$3.3 billion with its co-investors in the Southeast Asian region. The fund channeled through more than 35 companies across the banking, insurance, consumer/retail, manufacturing, oil and gas, coal and mining services, technology, telecom, and agribusiness sectors. The recent one is for eFishery, Indonesia’s leading aquaculture intelligence company.

eFishery Announces Series B Funding Led by Go-Ventures and Northstar

Today (12/8), the aquatech startup eFishery announced a series B funding with an undisclosed amount. This round was led by Go-Ventures and Northstar Group with the participation of Aqua-spark and Wavemaker Partners. The business run by Gibran Huzaifah is to use investment funds for product development, to strengthen business positions, and expand teams.

“Through the introduction of new technology to fish and shrimp farmers in Indonesia, we have the goal of increasing crop yields, lowering operational costs, and increasing their productivity. We hope that product development from eFishery can support the aquaculture ecosystem as a whole, from the cultivation process to distribution,” Gibran Huzaifah said.

He added, “The fresh money helps us to grow the company, open up access to launch our products throughout Indonesia, and achieve our vision to become the leading aquaculture intelligence company in Indonesia. We are excited to welcome the strategic collaboration with Gojek and the Northstar Group that we believe. will be an added value on our platform.”

To date, eFishery has four main products. First is the eFisheryFeeder, which is an automatic feeding device. The second is eFisheryFeed, helping fish and shrimp farmers get feed products at competitive prices. Next, there is eFisheryFund, a loan program for cultivators. And the fourth is eFisheryFresh, an online grocery platform to help farmers sell their crops.

“We are deeply inspired by the positive impact that eFishery has on the aquaculture sector supply chain. The company’s ability to provide farmers with new smart devices integrated with cloud-based mobile analytics has transformed the very traditional way of doing business in Indonesia,” Northstar Group’s Co-founder Patrick Walujo said.

Meanwhile, Go-Ventures’ VP of Investments Aditya Kumar said, “The eFishery solution, which directly supports local farmers, also addresses broader problems, including strengthening the food supply chain, reducing global food shortages, and helping to improve the fishing industry and Indonesian economy in a sustainable manner. Overall. We look forward to seeing these benefits grow exponentially as eFishery expands domestically now and regionally in the future.”

eFishery was founded in 2013 in Bandung, becoming one of the pioneering startups that develop the internet of things-based products. Currently, their products have reached almost all regions of Indonesia. Previously they secured pre-series A funding in 2015, followed by the closing of series A in 2018. The company claims, since the last two years the business has achieved profitability, after experiencing significant growth over the past four years.

Further plans

Some specific plans for new investment funds have been announced. The company wants to build robust data and algorithm capabilities for eFisheryFeeder, as well as to make the automated feed device more compatible with a wide range of pool types and sizes. In order to support business processes, eFisheryPoint was recently launched, to make it easier for farmers to get equipment products, sell their crops, and participate in other activities. Currently, there are 30 points and will be developed to 100 locations by the end of the year.

Currently, eFishery has around 250 employees and plans to add more to achieve business growth. This year is to focus on strengthening the product & engineer team and selling & customer experience.

“Although we have started several trials in Bangladesh, Thailand, and Vietnam, our main focus for 2020 is to strengthen our position in Indonesia by enhancing our products and creating more strategic collaborations. Once we have built a strong and replicable model across Indonesia. , we are ready to explore possibilities for regional expansion, “Gibran said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

eFishery Umumkan Pendanaan Seri B, Dipimpin Go-Ventures dan Northstar

Hari ini (12/8), startup aquatech eFishery mengumumkan pendanaan seri B dengan nilai yang tidak disebutkan. Putaran pendanaan dipimpin Go-Ventures dan Northstar Group dengan keterlibatan Aqua-spark dan Wavemaker Partners. Bisnis yang dinakhodai Gibran Huzaifah tersebut akan menggunakan dana investasi untuk mengembangkan produk, menguatkan posisi bisnis, dan mengembangkan tim.

“Melalui pengenalan teknologi baru kepada pembudidaya ikan dan udang di Indonesia, kami memiliki tujuan meningkatkan hasil panen, menurunkan biaya operasional, dan meningkatkan produktivitas mereka. Kami berharap pengembangan produk dari eFishery dapat mendukung ekosistem akuakultur secara menyeluruh, mulai dari proses budidaya hingga distribusi,” ujar Gibran Huzaifah.

Ia menambahkan, “Pendanaan baru ini membantu kami untuk menumbuhkan perusahaan, membuka akses untuk meluncurkan produk kami di seluruh Indonesia, dan mencapai visi kami untuk menjadi perusahaan aquaculture intelligence terkemuka di  Indonesia. Kami sangat antusias menyambut kolaborasi strategis dengan Gojek dan Northstar Group yang kami yakini akan menjadi nilai tambah pada platform kami.”

Sejauh ini eFishery memiliki empat produk utama. Pertama adalah eFisheryFeeder, yakni perangkat pemberi pakan otomatis. Kedua adalah eFisheryFeed, membantu petani ikan dan udang mendapatkan produk pakan dengan harga kompetitif. Kemudian ada eFisheryFund, merupakan program pinjaman untuk pembudidaya. Dan yang keempat ada eFisheryFresh, platform online grocery untuk bantu petani jual hasil panen mereka.

“Kami amat terinspirasi oleh dampak positif yang diberikan oleh eFishery terhadap rantai pasok sektor akuakultur. Kemampuan perusahaan untuk menyajikan perangkat pintar terbaru yang terintegrasi dengan analisis seluler berbasis cloud kepada para pembudidaya telah mentransformasi cara berbisnis yang amat tradisional di Indonesia,” ujar Co-founder Northstar Group Patrick Walujo.

Sementara itu VP of Investments Go-Ventures Aditya Kumar mengatakan, “Solusi eFishery, yang secara langsung mendukung pembudidaya lokal, juga mengatasi permasalahan yang lebih luas, termasuk memperkuat rantai pasokan makanan, mengurangi kekurangan pangan global, dan membantu meningkatkan industri perikanan dan ekonomi Indonesia secara keseluruhan. Kami berharap dapat melihat manfaat-manfaat tersebut tumbuh secara eksponensial ketika eFishery berkembang secara domestik saat ini dan secara regional di kemudian hari.”

eFishery berdiri tahun 2013 di Bandung, menjadi salah satu startup pionir yang mengembangkan produk berbasis internet of things. Saat ini produk mereka telah menjangkau di hampir seluruh wilayah Indonesia. Sebelumnya mereka mendapatkan pendanaan pra-seri A di tahun 2015, dilanjutkan penutupan seri A di tahun 2018. Perusahaan mengklaim, sejak dua tahun terakhir bisnis sudah capai profitabilitas, setelah mengalami pertumbuhan signifikan selama empat tahun belakang.

Rencana berikutnya

Beberapa rencana spesifik alokasi dana investasi baru sudah disampaikan. Perusahaan ingin membangun kapabilitas data dan algoritma yang lebih kuat untuk eFisheryFeeder, juga membuat perangkat pakan otomatis itu lebih kompatibel dengan berbagai tipe dan ukuran kolam. Guna mendukung proses bisnis, baru-baru ini eFisheryPoint juga dilunjurkan, untuk memudahkan pembudidaya mendapatkan produk perangkat, menjual hasil panen, dan berpartisipasi dalam kegiatan lainnya. Saat ini sudah ada di 30 titik dan akan dikembangkan hingga 100 lokasi sampai akhir tahun.

Saat ini eFishery memiliki sekitar 250 karyawan dan berencana akan ditambah untuk mencapai pertumbuhan bisnis yang ditargetkan. Tahun ini fokusnya pada penguatan tim  product & engineer dan selling & customer experience.

“Walaupun kami telah memulai beberapa uji coba di Bangladesh, Thailand, dan Vietnam, fokus utama kami untuk tahun 2020 adalah memperkuat posisi di Indonesia dengan meningkatkan produk kami dan menciptakan kolaborasi yang lebih strategis. Setelah kami membangun model yang kuat dan dapat direplikasi di seluruh Indonesia, kami siap untuk mengeksplorasi kemungkinan untuk ekspansi regional,” ujar Gibran.

Application Information Will Show Up Here