Impact Credit Solution Jembatani Perusahaan Teknologi dengan Lembaga Finansial

Besarnya kebutuhan pelaku UMKM untuk menambah modal usaha mereka, dipandang sebagai peluang bagi platform fintech, institusi finansial, dan perbankan untuk memenuhi permintaan tersebut. Salah satu layanan fintech yang ingin menghadirkan solusi terkait adalah Impact Credit Solution (ICS).

Didirikan oleh Reinier Musters (CEO) dan Mackenzie Tan (COO), startup asal singapura tersebut Singapura ingin menjembatani perbankan dan perusahaan teknologi finansial dan nonfinansial yang ingin memberikan akses pinjaman modal kepada pelanggan/mitra mereka. Indonesia dinilai menjadi pasar yang memiliki potensi besar bagi mereka untuk menghadirkan solusi tersebut.

Untuk memaksimalkan bisnisnya di Indonesia, mereka juga telah menunjuk Dewi Wiranti sebagai Country Head.

Reinier Musters, Mackenzie Tan dan Dewi Wiranti dari ICS / ICS

Kepada DailySocial.id, Mackenzie bercerita bahwa dengan memanfaatkan pelanggan atau merchant yang dimiliki perusahaan teknologi di masing-masing platform, ICS melalui Single API menghadirkan teknologi dan koneksi antara dua pihak pinjaman kepada pelanggan.

“ICS adalah perusahaan teknologi keuangan yang memungkinkan pinjaman UMKM di Asia Tenggara. Kami membangun embedded lending solution yang dapat digunakan oleh perusahaan teknologi, P2P, atau bank mana pun untuk membuat produk pinjaman.”

Secara khusus solusi ICS memungkinkan pembuatan produk, alur kerja, dan pengambilan keputusan yang seamless di seluruh proses peminjaman. Kemampuan ICS mencakup mesin analisis kredit yang dibangun di atas jutaan dataset UMKM.

Terintegrasi dengan penyedia layanan internal dan eksternal, memberikan klien dari ICS satu titik kontak untuk semuanya mulai dari onboarding hingga collection. Strategi monetisasi yang dilancarkan adalah, mengenakan biaya berlangganan berbasis SaaS kepada pelanggan berdasarkan volume pinjaman.

Salah satu kendala yang banyak ditemui oleh UMKM ketika ingin mengajukan proses pinjaman adalah proses persetujuan yang panjang. ICS ingin memangkas proses tersebut menjadi lebih cepat dan mudah. ICS juga telah menjalin kerja sama strategis dengan sejumlah bank ternama di Indonesia.

Untuk startup, mereka juga telah bermitra dengan platform ALAMI. Kerja sama tersebut bertujuan untuk menyediakan pembiayaan syariah untuk rumah sakit, klinik, apotek, dan pemain lain dalam rantai pasokan layanan kesehatan di Indonesia.

Terkait kegiatan penggalangan dana, ICS saat ini telah mengumpulkan pendanaan dari bank dan perusahaan modal ventura terkemuka termasuk BCA, Patamar Capital, 500 Startup, Mitra Integra, Mitra M Venture, dan lainnya.

“Kami juga telah menerima dukungan dari U.S. Development Finance Corporation, USAID, dan Departemen Luar Negeri dan Perdagangan Australia,” imbuh Mackenzie.

Mendukung perusahaan teknologi dan perbankan

Dalam prosesnya, konsumen akhir tidak akan terhubung langsung ke platform ICS, karena sifatnya di backend. Aplikasi melakukan pre-approved dan pre-scoring, kemudian ICS akan mengelola semua termasuk menghubungkan perusahaan-perusahaan P2P ke bank yang relevan. Dari pihak perbankan sendiri, hanya calon peminjam yang telah lolos kriteria yang kemudian layak untuk mendapatkan modal usaha.

“Sebagai embedded lender, kami tidak harus berinteraksi langsung dengan peminjam akhir. Klien kami memaksimalkan loyalitas pelanggan mereka karena pelanggan mereka hanya melihat brand dan platform. Mereka tidak melihat solusi ICS yang memungkinkan end-to-end lending process,” kata Mackenzie.

ICS berfungsi sebagai perusahaan fintech dan perbankan one-stop-solution untuk pinjaman. Single API ICS memungkinkan klien untuk membuat produk pinjaman dipesan lebih dahulu yang memenuhi kebutuhan spesifik pelanggan mereka, sambil memberi mereka akses ke modal bank berbiaya rendah untuk mendanai pinjaman.

Potensi pinjaman untuk UMKM

Dengan hampir 60 juta jumlah pelaku UMKM di Indonesia, potensi penyaluran kredit produktif memang menjadi layan dieksplorasi. Dari data yang dihimpun OJK, sejauh ini nominal pinjaman produktif yang diberikan platform fintech lending terus meningkat triliunan Rupiah. Tentu ini memberikan dampak baik, karena tidak semua pelaku UMKM bisa mengakses pinjaman dari institusi seperti bank.

Penyaluran pinjaman produktif oleh fintech lending sepanjang paruh pertama 2021 / OJK

Adanya upaya penyaluran melalui platform teknologi (dengan bekerja sama dengan perusahaan fintech) juga dapat dipandang sebagai angin segar peningkatan inklusi keuangan. Apalagi adanya platform berbasis open finance memungkinkan terjadinya kolaborasi antar institusi keuangan, termasuk dengan perbankan.

Ayoconnect Secures 143 Billion Rupiah Pre Series B Funding

The startup developer of the fintech API platform, Ayoconnect, today (01/9) announced to close a pre-series B funding round of $10 million or equivalent to 143 billion Rupiah. This news also confirms the information we previously received regarding Ayoconnect’s fundraising in early August.

A number of investors participated in this round, including Mandiri Capital Indonesia, Patamar Capital, and angel investors including Ilham Akbar Habibie, Paul Bernard, Jeff Lin, and several others. In addition, there are some previous investors, including BRI Ventures, AC Ventures, Kakaku, and Finch Capital.

The fresh funds will be focused on increasing company’s growth, recruitment, and product development. With this new investment, the company has raised $15 million in total. Furthermore, according to the sources, the estimated valuation of the company has reached around $34 million.

“Ayoconnect is now one of Indonesia’s few companies receiving investment from the two largest banks in Indonesia, Bank Mandiri and Bank BRI. Their presence as investors is a big support in our efforts to build an infrastructure layer that allows interoperability between various Indonesian companies providing financial services, such as financial institutions, fintech, and startups,” Ayoconnect’s Co-Founder & CEO, Jakob Rost said.

Ayoconnect was founded in 2016 by Jacob with his two colleagues Chiragh Kirpalani (Co-Founder and COO) and Adi Vora (Co-Founder and CTO) with a focus on building API-based solutions for bill payments and other digital products. The company currently provides API services for various needs, which they refer to as Full Stack APIs (including: Financial APIs, Bill APIs, Open Finance APIs, and Insights APIs).

To date, Ayoconnect claims to have more than 100 API clients, while connecting more than 1000 companies through its API network.

Fintech’s new era through open finance

Fintech services in the form of APIs are starting to develop, forming an open finance ecosystem for a more accessible financial system. Aside from Ayoconnect, there are several other players in Indonesia that offer similar solutions with a unique focus, from Brick, Brankas, Finantier, and others.

This model allows application developers to insert various financial technology capabilities more efficiently, instead of developing their own which would be time-consuming and expensive, not to mention having to ensure compliance with regulatory standards.

The business potential is getting interesting to observe, especially since Bank Indonesia has launched the national Open API standard. According to BI’s Governor, Perry Warjiyo, the existence of the Payment Open API standardization can create a healthy, competitive and innovative payment system industry, therefore, it can provide payment system services that are efficient, safe, and reliable to the public.

Bank Indonesia’s open API standard plan in Fintech Report 2020 / DSInnovate

With API solutions, these fintechs can reach various groups, ranging from digital companies to banking. The Autobilling API service from Ayoconnect, for example, has been used by Bank Mandiri to boost their credit card performance. Enables customers to make payments for various billing transactions automatically at more than 200 merchants from 8 product categories.

“Ayoconnect’s vision to democratize open finance in Indonesia has convinced us to take a role in this investment. We’ve formed our trust with Ayoconnect from its long experience in building APIs, the ability to collaborate with various leading companies, as well as its continuous efforts to enter the open banking business segment,” Mandiri Capital Indonesia’s CEO, Eddi Danusaputro said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Ayoconnect Umumkan Pendanaan Pra-Seri B Senilai 143 Miliar Rupiah

Startup pengembang platform fintech API, Ayoconnect, hari ini (01/9) mengumumkan telah menutup putaran pendanaan pra-seri B senilai $10 juta atau setara 143 miliar Rupiah. Kabar ini sekaligus mengonfirmasi informasi yang sebelumnya kami dapat, terkait penggalangan dana yang tengah dilakukan Ayoconnect pada awal Agustus kemarin.

Sejumlah investor bergabung dalam putaran ini, termasuk Mandiri Capital Indonesia, Patamar Capital, dan angel investor meliputi Ilham Akbar Habibie, Paul Bernard, Jeff Lin, dan beberapa lainnya. Selain itu turut bergabung juga investor sebelumnya meliputi BRI Ventures, AC Ventures, Kakaku, dan Finch Capital.

Disampaikan dana segar akan difokuskan untuk meningkatkan pertumbuhan perusahaan, perekrutan, dan pengembangan produk. Dengan investasi baru ini, secara total perusahaan berhasil mengumpulkan $15 juta dalam pendanaan. Lalu, menurut sumber yang kami dapat, estimasi valuasi perusahaan telah mencapai sekitar $34 juta.

“Ayoconnect kini menjadi satu dari sedikit perusahaan di Indonesia yang mendapat investasi dari dua bank terbesar di Indonesia, yaitu Bank Mandiri dan Bank BRI. Kehadiran mereka sebagai investor merupakan sokongan besar dalam upaya kami membangun lapisan infrastruktur yang memungkinkan interoperabilitas antara berbagai perusahaan Indonesia penyedia jasa keuangan, seperti institusi keuangan, fintech, dan startup,” ujar Co-Founder & CEO Ayoconnect Jakob Rost.

Ayoconnect didirikan sejak tahun 2016 oleh Jacob bersama dua rekannya Chiragh Kirpalani (Co-Founder dan COO) dan Adi Vora (Co-Founder dan CTO) dengan fokus membangun solusi berbasis API untuk pembayaran tagihan dan produk digital lainnya. Kini perusahaan menyediakan layanan API untuk berbagai kebutuhan, yang mereka sebut sebagai API Full Stack (meliputi: Financial APIs, Bill APIs, Open Finance APIs, dan Insights APIs).

Saat ini, Ayoconnect mengklaim telah memiliki lebih dari 100 klien API, sekaligus menghubungkan lebih dari 1000 perusahaan lewat jaringan API yang dimiliki.

Era baru fintech melalui open finance

Layanan fintech berbentuk API mulai berkembang dewasa ini, membentuk ekosistem open finance untuk sistem keuangan yang lebih mudah diakses. Selain Ayoconnect, ada beberapa pemain lain di Indonesia yang sajikan solusi serupa dengan fokus yang unik, mulai dari Brick, Brankas, Finantier, dan lain-lain.

Model ini memungkinkan pengembang aplikasi untuk menyisipkan berbagai kapabilitas teknologi finansial secara lebih efisien, alih-alih mengembangkan sendiri yang akan memakan waktu dan biaya besar, belum lagi harus memastikan sesuai standar regulator.

Potensi bisnis ini makin menarik diamati, terlebih Bank Indonesia telah meresmikan standar nasional Open API  beberapa waktu lalu. Adanya standardisasi Open API Pembayaran tersebut, menurut Gubernur BI Perry Warjiyo, dapat menciptakan industri sistem pembayaran yang sehat, kompetitif, dan inovatif, sehingga dapat menyediakan layanan sistem pembayaran kepada masyarakat yang efisien, aman, dan andal.

Rancangan standar open API Bank Indonesia yang dirangkum Fintech Report 2020 / DSInnovate

Dengan solusi API, para fintech tersebut dapat menjangkau berbagai kalangan, mulai dari perusahaan digital, bahkan sampai perbankan.  Layanan Autobilling API dari Ayoconnect misalnya, telah digunakan Bank mandiri untuk mendorong kinerja kartu kredit mereka. Memungkinkan nasabah melakukan pembayaran berbagai transaksi tagihan secara otomatis di lebih dari 200 merchant dari 8 kategori produk.

“Visi Ayoconnect untuk mendemokratisasi open finance di Indonesia telah memantapkan kami untuk mengambil peran dalam investasi ini. Kepercayaan kami terhadap Ayoconnect juga terbentuk dari  pengalaman panjang dalam membangun API, kemampuan mereka dalam menjalin kerja sama dengan berbagai perusahaan terkemuka, serta upaya berkesinambungan mereka dalam memasuki segmen bisnis open banking,” ucap CEO Mandiri Capital Indonesia Eddi Danusaputro.

SNAP Tandai Dimulainya Standardisasi “Open Banking” Indonesia

Indonesia mulai menyusul negara global lainnya untuk mulai mengimplementasikan standar nasional Open API. Bertepatan dengan HUT Kemerdekaan RI ke-76, Bank Indonesia meresmikan Standar Nasional Open API Pembayaran (SNAP). Sekaligus uji coba sandbox QRIS dengan Thailand (Thai QR Payment) yang disebut QRIS Antarnegara.

SNAP merupakan standar nasional yang ditetapkan BI atas seperangkat protokol dan instruksi yang memfasilitasi interkoneksi antaraplikasi secara terbuka dalam pemrosesan transaksi pembayaran. Oleh karenanya, SNAP menyatukan berbagai layanan transaksi di Indonesia ke dalam satu sistem.

Standardisasi Open API Pembayaran ini, menurut Gubernur BI Perry Warjiyo, dapat menciptakan industri sistem pembayaran yang sehat, kompetitif, dan inovatif, sehingga dapat menyediakan layanan sistem pembayaran kepada masyarakat yang efisien, aman, dan andal.

SNAP mencakup standar teknis keamanan, standar data, spesifikasi teknis, dan dokumen pedoman tata kelola sistem pembayaran nasional. Ada dua hal yang distandarkan oleh SNAP.

Pertama, dokumen standar teknis dan keamanan, standar data, dan spesifikasi teknis SNAP menstandarkan, antara lain: protokol komunikasi, tipe arsitektur API, struktur dan format data, metode autentikasi, metode otorisasi, metode enkripsi, persyaratan pengelolaan akses API, struktur data request, hingga struktur data response.

Kedua, dokumen pedoman tata kelola SNAP menstandarkan pedoman perlindungan konsumen, perlindungan data, persyaratan kehati-hatian bagi penyedia layanan dan pengguna layanan, serta kontak.

Pengimplementasian SNAP merupakan salah satu tahapan penting dalam rangka mengakselerasi open banking di area sistem pembayaran. Inisiatif ini adalah tindak lanjut dari visi Blueprint Sistem Pembayaran Indonesia (BSPI) 2025.

Menuju Sistem Pembayaran Indonesia (SPI) 2025 / Bank Indonesia

Penyusunan SNAP dilakukan bersama oleh Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia (ASPI) dengan membentuk Working Group (WG) Nasional. Sebelum WG nasional dibentuk, BI terlebih dulu menerbitkan Consultative Paper Standar Open API Pembayaran oleh Bank Indonesia pada kuartal I 2020.

Jauh sebelum bank sentral menetapkan standarisasi Open API ini, industri sudah ambil langkah terlebih dulu dengan membuat Open API versi masing-masing. Salah satunya adalah BCA yang meluncurkan API BCA pada 2017. Disebutkan volume transaksi API BCA tumbuh 4,8 kali dalam dua tahun terakhir. Transaksinya tembus lebih dari 1 miliar aktivitas transaksi dan telah digunakan oleh lebih dari 2.500 nasabah bisnis.

Pengembangan fiturnya telah mencapai ratusan untuk memenuhi berbagai kebutuhan bisnis, seperti informasi saldo, mutasi rekening, transfer, BCA Virtual Account, dan lainnya. Bagi nasabah bisnis, implementasi API BCA mempermudah mereka saat rekonsiliasi transaksi penerimaan pembayaran, automasi dan simplifikasi proses transaksi bisnis.

QRIS Antarnegara

Sementara itu, terkait QRIS Antarnegara yang masuk ke dalam bagian SNAP, sebagai permulaannya bekerja sama dengan Bank of Thailand (BOT). Bagi konsumen atau wisatawan yang berasal dari Indonesia dan Thailand bisa melakukan pembayaran dengan memindai kode QR di masing-masing negara.

Perry mengatakan, pengembangan QRIS Antarnegara dengan Thailand dapat menjadi tonggak baru dalam memfasilitasi aktivitas masyarakat antar kedua negara, khususnya bagi wisatawan.

Secara teknis, penyelesaian transaksi QRIS Antarnegara ini menggunakan mata uang lokal masing-masing negara atau local currency settlement (LCS) melalui bank yang sudah dipilih atau appointed cross currency dealers (ACCD).

Interkoneksi switching to switching dibangun antar switching kedua negara yaitu Rintis, Artajasa, Jalin dan Alto dari Indonesia dengan National ITMX (NITMX) dari Thailand. Adapun bank ACCD di Indonesia yang terpilih adalah BCA, BNI, dan BRI. Sementara, bank ACCD di Thailand ada Bangkok Bank (BBL), Bank of Ayudhya (Krungsri), dan CIMB Thai Bank (CIMBT).

Proyek ini juga turut melibatkan 13 provider QRIS. Mereka adalah Bank Sinarmas, Bank Mega, Bank Permata, Bank BSI, Telkom Indonesia, Maybank, ShopeePay, LinkAja, DANA, Bank Mandiri, CIMB Niaga, dan Otto Cash.

Fase komersial penuh dengan Thailand akan dilakukan pada kuartal I 2022. Setelah Thailand, bank sentral tengah menanti uji coba dengan Malaysia. “Setelah Thailand kita dengan Malaysia dan setelahnya sudah ada beberapa negara ASEAN lain yang berminat dan sudah menyetujui,” terang Asisten Gubernur Kepala Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran BI Filianingsih Hendarta mengutip dari Katadata.

Setelah skala ASEAN, pada fase berikutnya QRIS Antarnegara bakal disiapkan untuk lintas negara di luar ASEAN. Salah satunya, dengan Arab Saudi.

Open banking di Singapura

Sumber: The Edge Markets

Tentunya kehadiran SNAP mempermudah industri jasa keuangan untuk terhubung secara digital dengan pemain non-bank. Contoh terdekat yang bisa ditengok adalah Singapura yang menjadi salah satu kiblat negara maju di Asia.

Pada dasarnya, semangat open banking adalah memberi manfaat kepada konsumen melalui peningkatan pengalaman konsumen, akses ke produk yang mendukung perbankan terbuka, dan pengambilan keputusan keuangan yang lebih baik dengan menggabungkan informasi keuangan mereka dalam satu platform.

Monetary Authority of Singapore (MAS) adalah pendorong utama perkembangan open banking yang masif di Singapura. Salah satu inisiatif utama yang mereka ambil adalah memperkenalkan API Exchange (APIX), sebuah platform kolaborasi yang menjadi dasar kuat bagi pertumbuhan open banking.

APIX adalah platform arsitektur terbuka lintas batas pertama di dunia dan bertujuan untuk mendukung inovasi dan inklusi keuangan di ASEAN dan di seluruh dunia. Platform yang diluncurkan pada November 2018 ini menjadi tempat lembaga keuangan dan perusahaan fintech dapat terhubung dengan mudah dan berkolaborasi dalam pengalaman desain melalui API.

Menurut Founder & CEO MatchMove Shailesh Naik, dia telah melihat kemajuan dalam kolaborasi antara bank dan perusahaan fintech di bidang ini selama dua tahun terakhir. Bank sekarang lebih bersedia untuk bekerja sama dan mulai menjangkau untuk tetap kompetitif karena proses di perusahaan fintech menjadi lebih menarik dan hemat biaya untuk sektor keuangan konvensional.

Tonggak penting lainnya lewat MAS adalah inisiatif Financial Planning Digital Services, yang bertujuan untuk memfasilitasi portabilitas data dengan kerangka kerja API yang aman. Pada 7 Desember 2020, MAS meluncurkan Singapore Financial Data Exchange (SGFinDex), yang melibatkan konsolidasi data keuangan dari bank dan lembaga pemerintah di satu tempat, bukan di beberapa lokasi.

Hal ini difasilitasi melalui identitas digital nasional Singapura, Singapore Personal Access (SingPass), yang merupakan layanan single sign-on yang digunakan oleh warga Singapura untuk bertransaksi dengan lebih dari 60 instansi pemerintah secara online. Konsumen memiliki pilihan untuk memberikan akses ke lembaga keuangan yang mereka pilih untuk berbagi informasi mereka.

Infrastruktur ini dikembangkan oleh sektor publik bekerja sama dengan ABS dan tujuh bank yang berpartisipasi, menjadikan SGFinDex menjadi infrastruktur digital publik pertama di dunia yang menggunakan identitas digital nasional dan sistem persetujuan online yang dikelola secara terpusat.

Managing Director MAS Ravi Menon menyampaikan pentingnya penguatan kepercayaan di sektor keuangan. Nilai lebih yang ditawarkan open banking harus diimbangi dengan risiko yang ditimbulkan oleh berbagi data nasabah antara berbagai pihak.

Dalam Global Financial Services Consumer Study 2019 yang diterbitkan Accenture, sebanyak 75% konsumen menyatakan bahwa mereka sangat berhati-hati tentang privasi data mereka, pelanggaran keamanan data menjadi perhatian terbesar kedua bagi konsumen. Oleh karena itu, agar open banking Singapura benar-benar dapat diterima, pelanggan harus sepenuhnya yakin bahwa data mereka aman.

Meskipun data perbankan di Singapura diatur oleh Undang-Undang Perbankan dan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi yang disempurnakan, bank juga harus memainkan peran mereka dan terus waspada dalam melindungi data pelanggan mereka untuk menguntungkan konsumen dan industri, dan memastikan keberhasilan open banking di Singapura.

Berkaitan dengan itu, penanganan kebocoran data harus ditangani dengan benar-benar serius oleh pemerintah dan instansi terkait. Direktur CELIOS (Center of Economic and Law Studies) Bhima Yudhistira menyampaikan isu ini belakangan semakin sensitif, di tengah geliatnya perkembangan ekonomi digital.

“Apabila isu ini terus terjadi, tentunya akan mengganggu pertumbuhan bank digital atau yang berkaitan dengannya. Sebab konsumen akan sulit untuk percaya datanya aman terproteksi,” ujar dia dalam suatu diskusi panel yang diadakan Infobank.

Kurangnya rasa percaya dari masyarakat terhadap layanan keuangan digital, tercermin dari survei yang diadakan  Digital 2021 Report. Disebutkan penetrasi aplikasi banking and financial services d Indonesia masih rendah hanya 39,2% dari responden. Angka ini lebih rendah dari Thailand 68,1%, Malaysia 55,7%, dan Filipina 42,1%.

Sementara, mobile payment juga rendah yakni 29,2% dibanding rata-rata dunia, yakni 30,9%. jauh dibanding Thailand, Filipina, dan Vietnam. Adapun, untuk penggunaan kode QR code di Indonesia baru sebesar 42% dari penduduk dewasa. Kalah dari Malaysia 77% dan Singapura 79%.

Ayoconnect Finalisasi Pendanaan Lanjutan Tahun Ini

Startup fintech penyedia layanan API Ayoconnect tengah merampungkan pendanaan lanjutan. Sejumlah venture capital turut andil di dalamnya. Beberapa nama angel investor ternama juga berpartisipasi di putaran ini.

Menurut data yang kami terima, sebuah impact investor dan sebuah CVC BUMN terlibat di dalam putaran pendanaan kali ini. Selain itu, beberapa angel investor, termasuk anak mantan Presiden, juga berpartisipasi. Yang bersangkutan saat ini menjadi Penasihat perusahaan.

Pihak Ayoconnect mengonfirmasi, putaran investasi ini masih dalam tahap finalisasi. Disebutkan belum ada keputusan final mengenai keterlibatan nama-nama tersebut dan jumlah investasinya. Hal senada disampaikan salah satu investor yang kabarnya terlibat dalam putaran tersebut.

Sebelumnya pendanaan Pra-Seri B diumumkan pada pertengahan tahun 2020 lalu, bersamaan dengan rebranding perusahaan dari Ayopop menjadi Ayoconnect. BRI Ventures memimpin pendanaan tersebut dengan keterlibatan Kakaku.com, Brama One Ventures, dan investor sebelumnya, yakni Finch Capital, Amand Ventures, Strive, dan AC Ventures.

Berbasis API, ekosistem produk open finance yang disediakan Autoconnect cukup beragam. Satu yang paling populer adalah Digital Products API, memungkinkan pengembang aplikasi untuk mengintegrasikan pembayaran ke lebih dari 3000 layanan digital (bill payment). Selain itu mereka menyediakan API untuk berbagai kebutuhan lainnya, seperti auto-billing, payment points, bulk-transaction, pembayaran pendidikan, hingga properti.

Tidak hanya mengelola proses transaksi, Ayoconnect juga menawarkan platform skoring kredit alternatif melalui fitur Insight.

Sebelumnya Ayoconnect juga telah menjalin kemitraan secara khusus dengan Bank Mandiri (induk MCI) untuk integrasi layanan Autobilling API ke Mandiri Power Bill. Solusi ini memungkinkan pengguna kartu kredit Mandiri untuk melakukan pembayaran berbagai transaksi tagihan secara otomatis di lebih dari 200 merchant dari 8 kategori produk.

Dorongan penetrasi e-wallet

Layanan bill payment ini didesain untuk memudahkan berbagai jenis aplikasi untuk menyediakan layanan pembayaran seperti PPOB atau langganan, integrasinya termasuk di e-commerce, fintech, sampai aplikasi produktivitas bagi UMKM. Bagi pelaku bisnis, ini menjadi salah satu kanal yang cukup baik untuk meningkatkan perputaran transaksi dalam aplikasi dan meningkatkan retensi. Kemudian bagi konsumen, adanya opsi pembayaran kebutuhan pokok (seperti listrik, telepon dll.) di aplikasi favoritnya tentu akan memudahkan.

Tingginya penetrasi e-wallet disinyalir menjadi faktor kunci peningkatan adopsi dan penggunaan layanan bill payment ke depannya. Di sisi pengalaman pengguna, metode pembayaran dengan e-wallet tergolong paling memudahkan saat ini, terlebih terintegrasi langsung kepada aplikasi tertentu.

Menurut hasil penelitian yang diterbitkan BCG pada pertengahan tahun lalu, penetrasi e-wallet di Indonesia sendiri telah mendekati tingkat kematangan.

Penetrasi layanan e-wallet di Indonesia mendekati tahap matang / BCG

Pihak Ayoconnect sendiri mengatakan bahwa hingga Desember 2021 mereka menargetkan pertumbuhan hingga 10x lipat dibandingkan tahun sebelumnya. Berbagai upaya dilakukan untuk meningkatkan traksi, termasuk dengan menyajikan bill payment aggregator. Per H1 2021, total transaksi dari jaringan API mereka diklaim meningkat 600% dari 80 mitra integrasi.

Cermati Rambah Produk BaaS, Garap Segmen “Unbanked” di Indonesia

Cermati Fintech Group (CFG) mulai menggarap produk Banking-as-a-Service (BaaS), ditandai dengan kemitraan strategis dengan BCA Digital dan Blibli. CFG melihat potensi unbanked dan underbanked yang masih begitu besar di Indonesia dapat diselesaikan melalui teknologi tersebut.

Kepada DailySocial, Co-Founder & CEO CFG Andhy Koesnandar menyampaikan BaaS memungkinkan pihaknya memperluas penawaran produk keuangan, mulai dari pembukaan rekening, paylater, asuransi, dan lainnya di semua jenis platform secara virtual kepada pihak ketiga, sehingga dapat memiliki kemampuan perbankan dalam platformnya yang non-bank.

“BaaS adalah penawaran produk teknologi terbaru dari Cermati Fintech Group, di mana kami menyediakan technology stack untuk menghubungkan bank dengan platform digital,” ucapnya.

Dalam hal ini, Cermati mengembangkan strategi embedded finance, membuka layanan perbankan dapat tertanam dalam ekosistem aplikasi yang memungkinkan kemampuan aplikasi super melalui kemampuan Open API dan BaaS. Penawaran BaaS dari Cermati memungkinkan ekosistem online dan offline untuk menanamkan layanan perbankan, selain asuransi dan paylater yang digunakan sebagai model layanan dalam ekosistem mereka.

Kehadiran produk finansial dapat meningkatkan pengguna fintech, mengurangi user friction, dan meningkatkan loyalitas. Sementara bagi perbankan, teknologi BaaS menawarkan cara baru untuk bermitra dengan ekosistem dengan menyediakan layanan perbankan yang disesuaikan dengan pelanggan tersebut.

Andhy menuturkan, BaaS dan embedded finance secara umum memiliki potensi yang sangat besar. Dari data yang ia kutip, sebanyak 66% dari 275 juta penduduk Indonesia yang masih dalam kelompok unbanked dan underbanked.

Kelompok tersebut belum memiliki akses ke layanan keuangan, yang mana solusi tersebut dapat dengan memperkenalkan produk keuangan melalui platform yang sudah digunakan masyarakat Indonesia sehari-hari. “Proses onboarding ini sepenuhnya secara digital, tanpa mereka harus pergi ke cabang fisik bank atau institusi keuangan lainnya.”

Dengan integrasi Blu BCA Digital dalam Blibli, pengguna Blibli dapat menikmati rangkaian lengkap layanan perbankan Blu. Mulai dari pembukaan rekening, transfer dana, pembayaran dalam aplikasi, dan lainnya tanpa perlu mengunduh atau beralih ke aplikasi lain.

Ilustrasi BaaS dalam aplikasi blu X Blibli / CFG

Andhy melanjutkan, pihaknya tetap mengedepankan unsur keamanan sebagai aspek yang sangat krusial dalam membangun kemitraan dengan lembaga keuangan. Untuk itu, perusahaan selalu meninjau dan memperkuat sistem agar sekelas keamanan di perbankan. “Awal tahun ini kami disertifikasi untuk ISO 27001, standari internasional untuk keamanan informasi.”

Setelah BCA Digital dan Blibli, Andhy menuturkan akan ada kemitraan berikutnya yang bakal diumumkan pada akhir tahun ini. Meski demikian, ia masih menutup rapat-rapat terkait hal tersebut.

Kesempatan layanan BaaS

Cara kerja BaaS / Business Insider

BaaS kini telah menjadi salah satu strategi kunci dalam konsep open banking. Modelnya memungkinkan bank digital dan pihak ketiga untuk terhubung dengan sistem bank secara langsung melalui API. Dengan begitu, kedua belah pihak dapat membangun layanan di atas infrastruktur penyedia sekaligus membuka peluang mengembangkan produk open banking lainnya.

Model ini juga mulai banyak diterapkan bank-bank di dunia karena dinilai lebih efisien. Dalam sekop global, mengutip laporan firma riset Oliver Wyman, pengimplementasian BaaS dapat menjangkau lebih banyak pengguna baru dan menekan biaya akuisisi pelanggan dari kisaran $100-$200 per pelanggan menjadi $5-$35.

Di Indonesia sendiri, pemain BaaS selain Cermati ada nexus yang diperkenalkan oleh Standard Chartered Bank. Dalam waktu dekat solusi perbankan dari nexus bakal hadir di aplikasi Bukalapak.

Co-Founder dan CEO Finantier Diego Rojas berpendapat bahwa BaaS berbeda dengan konsep API lain karena menyediakan infrastruktur berlisensi dan teregulasi untuk layanan inti perbankan. Secara out of the box, hampir semua perusahaan kini dapat menjadi perusahaan fintech tanpa harus melalui proses panjang tersebut berkat kehadiran perusahaan open finance seperti Finantier.

Finantier adalah startup yang menyediakan ekosistem open finance untuk mendukung kolaborasi antara berbagai jenis perusahaan dalam menyediakan produk finansial yang didesain khusus untuk konsumennya.

CVC Milik BCA Berpartisipasi dalam Pendanaan Startup “Open Banking” Railsbank

Central Capital Ventura (CCV), perusahaan investasi (corporate venture capital — CVC) dari Bank Central Asia (BCA) terlibat dalam pendanaan $70 juta platform fintech API asal London, Railsbank. Dalam putaran seri B tersebut sejumlah investor turut terlibat termasuk Anthos Capital (memimpin), Outrun Ventures, dan angel investor.

Railsbank menghadirkan layanan open banking menyeluruh, termasuk di dalamnya banking as a service, cards as a service, dan credit as a service. Memungkinkan penyedia platform digital menyediakan layanan pembuatan kartu kredit [Visa dan Mastercard], pembayaran berlangganan untuk SaaS, dan hal-hal lain terkait transaksi finansial.

Dana segar juga akan digunakan oleh perusahaan untuk menggencarkan ekspansi, termasuk menjelajahi pasar di Asia Pasifik. Menyasar perusahaan fintech, telekomunikasi, hingga ritel untuk mengelola transaksi finansial mereka secara lebih solid.

“CCV percaya pada pendiri Railsbank. Mereka telah berhasil membuktikan model mereka di Eropa dan sekarang berekspansi ke SEA dan Amerika Serikat. BaaS relatif baru di pasar Indonesia dan Asia Tenggara, dan kami yakin Railsbank akan membawa model bisnis mereka yang sukses ke kawasan ini. Di CCV, kami juga percaya bahwa open banking masih dalam tahap awal dan potensi pertumbuhannya sangat besar,” ujar Anthony Adiputra, salah satu tim investasi di CCV.

Ia juga mengatakan, bahwa CCV percaya koneksi berbasis API akan memiliki masa depan cerah karena memungkinkan sebuah platform melakukan integrasi secara sederhana dengan pihak ketiga. Pihaknya juga melihat dorongan dari regulator bagi institusi finansial untuk menciptakan inisiatif perbankan yang lebih terbuka.

Layanan open finance [open banking adalah salah satu turunan layanan dari open finance] berbasis API memang tengah menjadi sorotan menarik di ekosistem fintech, baik di kancah global maupun nasional. Berdasarkan laporan Bain Capital, nilai pasar platform tersebut diproyeksikan mencapai $7,2 triliun pada 2030 mendatang.

Selain di Railsbank, CCV juga telah berinvestasi ke layanan fintech API lainnya, termasuk Oy! Indonesia, Bambu, dan Wallex. Bagi para startup, CCV dapat menjadi mitra strategis mengingat mereka di bawah naungan salah satu perbankan terbesar di Asia Tenggara.

Di sisi lain, regulator dalam hal ini Bank Indonesia (BI), juga tengah mematangkan beleid terkait standar Open API. Salah satu misinya untuk mendorong kolaborasi antara perbankan dan perusahaan teknologi finansial demi terciptanya ekosistem layanan yang inklusif.

Dengan spesialisasinya masing-masing, peta pemain open finance di Indonesia mulai ramai terisi. Daftar pemainnya meliputi Brankas, Brick, Finatier, Ayoconnect, Xendit/Instamoney, Oy!, dan lain-lain. Di antara beberapa pemain tersebut, Bricks yang lebih mendekati Railsbank — untuk memaksimalkan layanannya saat ini Brankas telah bekerja sama dengan 14 bank lokal, termasuk BCA.

Finantier Dapatkan Pendanaan Awal Dipimpin Global Founders Capital dan East Ventures, Fokus Perluas Akses “Open Finance”

Startup pengembang platform open finance Finantier mengumumkan telah menutup pendanaan awal (seed funding) yang dipimpin Global Founders Capital dan East Ventures. Tidak disebutkan spesifik nominal yang berhasil dibukukan, disampaikan dana 7-digit yang didapat melebihi target perusahaan dan diperoleh pada valuasi post-money 20x dibanding saat pre-seed di bulan November 2020 lalu.

Beberapa investor baru di putaran ini meliputi Future Shape, Partech Partners, Saison Capital, dan GMO VenturePartners. Sementara investor terdahulu seperti AC Ventures, Y Combinator, Genesia Ventures, Two Culture Capital, dan sejumlah angel investor turut berpartisipasi di putaran teranyar ini.

Pendanaan tersebut akan digunakan perusahaan untuk meningkatkan dan memperbesar penawaran produk, melakukan ekspansi di Indonesia dan sekitarnya, serta menggandakan jumlah karyawan. Disampaikan sejak awal tahun, perusahaan telah menambah timnya menjadi 50 karyawan dan memperbanyak klien serta kemitraan hingga lebih dari 50% per bulannya. Mereka juga telah bekerja sama dengan lebih dari 150 perusahaan dan memberikan akses ke beragam set data.

Selain itu, Finantier merekrut Co-Founder & CEO Truelayer Francesco Simoneschi untuk bergabung dalam jajaran kelompok penasihatnya.

Potensi open finance

Produk open finance yang ditawarkan Finantier berbentuk infrastruktur teknologi berbasis API yang dapat dimanfaatkan fintech untuk menghadirkan layanan keuangan inklusif. Contohnya produk “Finantier Score“, yakni platform credit scoring teregulasi yang dapat dimanfaatkan institusi keuangan digital dalam menunjang layanan pinjaman dengan memastikan kelayakan calon nasabah.

Open finance adalah perpanjangan dari open banking, memungkinkan pertukaran data finansial nonperbankan termasuk kredit dan hipotek secara aman. Selain itu open finance juga memfasilitasi pertukaran terbuka data konsumen sehingga perusahaan dapat memanfaatkannya untuk menjangkau lebih banyak pelanggan sekaligus menciptakan layanan yang lebih dipersonalisasi,” jelas Co-Founder & CEO Finantier Diego Rojas.

Tingginya persentase masyarakat yang belum tersentuh layanan perbankan di Asia Tenggara, khususnya Indonesia, dinilai menghadirkan kesempatan baik bagi pemain open finance. Berbeda dengan open banking yang memfokuskan layanan yang terpusat di sekitar rekening bank, cakupan open finance lebih luas dan tidak terbatas di institusi keuangan berbasis bank.

“Finantier memudahkan akses ke layanan keuangan bagi jutaan orang yang tidak memiliki rekening bank, mulai dari warung-warung pinggir jalan (UKM), hingga pekerja gig economy, memperoleh keuntungan dari jejak data digital mereka. Dengan adanya akses ke layanan keuangan, kami dapat membantu mereka dan orang yang mereka cintai untuk memiliki kehidupan yang lebih baik,” imbuh Co-Founder & COO Finantier Edwin Kusuma.

Data Bank Indonesia mengatakan ada sekitar 90 juta orang dewasa di Indonesia yang tidak memiliki akses produk perbankan.

“Meningkatkan inklusi keuangan di Indonesia sangatlah penting mengingat banyaknya orang yang belum memiliki akses ke lembaga keuangan. Dengan akses yang lebih baik ke layanan keuangan, mereka bisa hidup dengan lebih baik dan dapat ikut meningkatkan perkembangan ekonomi Indonesia. Kami punya harapan untuk Finantier sejak awal dan yakin bahwa mereka berperan penting dalam mewujudkan harapan tersebut dengan menghubungkan mereka yang tidak memiliki akses keuangan ke fintech dan institusi keuangan di berbagai negara,” kata Co-Founder & Managing Partner East Ventures Willson Cuaca.

Open finance di Indonesia

Layanan open finance di Indonesia cukup berkembang, hal ini ditengarai maraknya pemain fintech dan penerimaan masyarakat luas terhadap produk yang dihadirkan. Dengan bentuk yang berbeda, selain Finantier ada beberapa pemain lain yang juga menjajakan platform serupa. Misalnya Ayoconnecet untuk API bill-payment, Brankas untuk API BaaS, Instamoney untuk API remitansi, dan sebagainya.

Dari sisi pengembang, jelas ini menyajikan kemudahan yang sangat berarti. Dan yang terpenting adalah makna “open” dari istilah yang digunakan, menandakan adanya keterbukaan –dalam kaitannya dengan pengelolaan data– yang bisa menjadikan ekosistem keuangan digital tersebut jauh lebih sehat. Berbagai inisiatif serupa nyatanya juga terus digencarkan para pemain fintech di Indonesia, misalnya yang diinisiasi AFPI untuk membangun pusat data bersama.

Brankas Bermitra dengan 2C2P, Kuatkan Platform “Open Banking” di Indonesia

Brankas, penyedia teknologi open finance, mengumumkan telah menjalin kerja sama strategis dengan pengembang platform pembayaran 2C2P untuk meluncurkan solusi open banking di Indonesia. Melalui integrasi kedua layanan, konsumen dari gerai-gerai yang memanfaatkan 2C2P akan langsung terhubung dengan berbagai bank besar di Indonesia, termasuk BCA, Bank Mandiri, BNI, dan BRI — total ada 14 bank yang saat ini bekerja sama dengan Brankas.

Berdasarkan prinsip-prinsip open banking, kemitraan ini membantu para pelaku usaha di Indonesia untuk menawarkan opsi penggunaan kartu debit secara langsung oleh konsumen. Dengan demikian, ketika konsumen ingin menyelesaikan pembayaran, mereka bisa memakai akun bank pribadinya. Karena pembayaran diautentikasi secara langsung antara konsumen dan bank, pihak gerai bisa menghindari biaya transaksi yang lebih mahal, dan biaya penggantian uang akibat aksi penipuan atau kesulitan menerima dana.

“Brankas dan 2C2P memiliki sebuah visi untuk mempermudah teknologi pembayaran, serta menghadirkan pengalaman digital terbaru untuk gerai-gerai dan konsumen di Asia Tenggara. Secara bersama-sama, kami mempercepat terwujudnya open banking, memperluas akses, dan membantu pebisnis generasi baru di Asia Tenggara,” ujar Founder & CEO Brankas Todd Schweitzer.

Potensi open finance di Indonesia

Dalam wawancara terpisah tim Brankas mengatakan, open finance di Indonesia saat ini mengalami pertumbuhan eksplosif. Salah satu faktornya karena pertumbuhan belanja online 30% per tahun — platform tersebut mendukung di sisi pembayaran dan kredit. Akibat pandemi ada jutaan pelaku UKM yang beralih ke saluran online mengharapkan solusi yang lebih mudah terkait transaksi keuangan mulai dari pengumpulan, pencairan, rekonsiliasi, dan kredit.

Di sisi lain, banyak institusi keuangan yang menyadari potensi pendapatan dan pelanggan tambahan yang diperoleh dari produk API. Brankas sebagai salah satu pemain yang berperan untuk mengoptimalkan potensi tersebut. Baru-baru ini mereka juga mengumumkan kemitraan dengan tim produk digital Visa melalui keikutsertaannya dalam program akselerator yang diadakan. Dalam waktu dekat Brankas akan meluncurkan API Visa pertama mereka.

Tim Brankas cukup yakin kalau statistik penggunaannya masih akan terus bertumbuh. Mereka menunjukkan statistik, saat ini ada lebih dari 50% orang Indonesia yang tidak memiliki rekening bank, penetrasi kartu kredit masih di bawah 5%. Open finance berpotensi mengubah model bisnis layanan keuangan secara fundamental. Di sisi lain regulator juga sudah mulai mengambil langkah proaktif dan memasukkan open finance ke dalam peta jalannya untuk tahun 2025.

“Dengan bermitra dengan fintech dan mengelola API alih-alih cabang, lembaga keuangan dapat lebih cepat membuat produk, menjangkau pelanggan yang tidak dapat mereka jangkau sebelumnya (terlalu mahal atau terlalu jauh), dan memberikan pengalaman pelanggan yang lebih baik secara keseluruhan,” imbuhnya.

Layanan open finance di Indonesia

Adanya potensi tersebut membuat ekosistem open finance/banking di Indonesia terus bertumbuh. Setidaknya dalam beberapa tahun terakhir beberapa pemain terus bermunculan. Terbaru yang mendapatkan pendanaan ada Brick dan Finantier. Di sisi lain, perbankan juga terus terdorong untuk lebih terbuka dengan inovasi digital dengan melahirkan layanan API yang dapat diakses oleh pihak ketiga.

Terbukanya persaingan membuat masing-masing pemain perlu menghadirkan pendekatan unik sebagai value proposition-nya. Brankas sendiri menyampaikan empat poin terkait hal yang menjadi pembeda dengan para kompetitornya.

Pertama, mereka lebih fokus pada “sisi pasokan” dari open finance, yakni membantu lembaga keuangan untuk menjadi “API-ready“. Solusi yang dihadirkan membantu bank untuk menghadirkan produk API komersial dalam jangka 6 minggu atau kurang. Kedua, Brankas berupaya untuk membantu pemerintah menciptakan ekonomi open finance yang kompetitif dan diregulasi dengan baik, sehingga memilih terlibat aktif dan mengetuai asosiasi terkait untuk urun rembuk.

Ketiga, jalinan kemitraan strategis regional yang terus dibangun menghadirkan teknologi dan solusi baru ke Indonesia; termasuk bersama Visa, APIX, dan Proxtera. Dan yang terakhir, Brankas ingin selalu memastikan agregasi API yang dihadirkan selalu dapat diandalkan secara performa dan keamanan.

Berdasarkan informasi yang kami himpun, terakhir Brankas berhasil membukukan pendanaan seri A atas keikutsertaannya dalam program akselerator Plug and Play batch pertama di Indonesia. Terkait penggalangan dana yang dilakukan saat ini, tim Brankas hanya mengatakan, “Nantikan beberapa info penggalangan dana besar tidak lama lagi.”

Gambar Header: Depositphotos.com

Brick Umumkan Pendanaan Awal, Hadirkan Layanan API Fintech untuk Identifikasi Kesehatan Finansial

Brick adalah startup pengembang layanan pengelolaan data kesehatan finansial berbasis API (Application Programming Interface), kapabilitasnya memungkinkan pelaku fintech atau perusahaan teknologi untuk mendapatkan insight lebih dalam terkait kesehatan keuangan para penggunanya.  Tujuannya untuk membawa aplikasi finansial yang lebih personal dan inklusif.

Hari ini (17/3), Brick mengumumkan telah mendapatkan pendanaan awal dari sejumlah investor, meliputi pemodal ventura dan angel. Dari kalangan pemodal ventura ada Better Tomorrow Ventures, Prasetia Dwidharma, 1982 Ventures, Antler, dan Rally Cap Ventures. Sementara angel investor yang terlibat meliputi Shefali Roy (TrueLayer), Kunal Shah (Cred), Reynold Wijaya (Modalku), Quek Siu Rui (Carousell), dan pendiri Nium, Xfers, Aspire, BukuWarung, ZenRooms, CareemPay.

Startup ini didirikan oleh Gavin Tan (CEO) dan Deepak Malhotra (CTO) pada awal 2020. Keduanya memiliki pengalaman mengembangkan startup teknologi dan keuangan. Dalam keterangannya Gavin menjelaskan, “Kami melihat langsung kurangnya infrastruktur modern yang dibutuhkan untuk memberikan pengalaman fintech yang diminta pelanggan. Karena itu, kami memulai Brick untuk memberdayakan perusahaan fintech generasi berikutnya dengan infrastruktur yang mudah diterapkan, hemat biaya, dan inklusif.”

Lebih lanjut dijelaskan, Brick mengklaim telah kompatibel dengan lebih dari 90% rekening bank besar yang ada di Indonesia dan bekerja dengan lebih dari 250 pengembang, 35 perusahaan teknologi dan klien perusahaan fintech di Indonesia. Saat ini Brick juga tengah mengikuti program akselerasi Sembrani Wira yang digelar oleh BRI Ventures.

Dari gambaran yang diberikan kurang lebih proses implementasinya seperti ini. API disematkan pada aplikasi fintech yang dikembangkan mitra bisnis, untuk menjembatani layanan tersebut dengan sistem pembayaran yang digunakan dalam aplikasi. Data didapat dari proses agregasi sistem pembayaran yang digunakan pengguna akhir (bank, digital wallet, e-commerce dll). Beberapa data yang digunakan seperti identitas, akun, transaksi, saldo, pendapatan, aset finansial, hingga pembayaran kredit.

Gambaran cara kerja layanan API fintech Brick / Brick
Gambaran cara kerja layanan API fintech Brick / Brick

Mengawali debutnya di Indonesia, Brick berambisi untuk membawa layanan ini di Asia Tenggara dan akan menggunakan dana yang terkumpul untuk meningkatkan skala platform, meningkatkan cakupan, dan memperluas ke pasar berikutnya. Akhir tahun ini, mereka juga akan meluncurkan API baru untuk perusahaan telekomunikasi, dompet seluler, platform e-commerce, dan produk keuangan inovatif lainnya.

Layanan fintech API terus bermunculan

Layanan fintech berbasis API memang terus bermunculan di Indonesia, ini sejalan dengan regulasi standar API yang sudah mulai disosialisasikan Bank Indonesia sejak tahun lalu. Regulator menginginkan adanya ekosistem finansial yang lebih terbuka, memungkinkan masing-masing pemain (digital dan konvensional) untuk dapat saling mendukung dalam peningkatan literasi finansial masyarakat di Indonesia.

Misi dari hampir seluruh startup fintech yang ada di Indonesia memang mengentaskan kesenjangan di tengah masih banyaknya kalangan undeserved dan unbankable. Setidaknya saat ini ada lebih dari 400 perusahaan fintech di Indonesia — dan jumlah terus bertambah dari waktu-waktu. Dan salah satu strategi yang harus mereka lakukan untuk memenangkan pasar adalah dengan menghadirkan sistem teknologi yang lebih komprehensif.

Tujuan layanan fintech berbasis API membantu mereka (termasuk perusahaan digital yang ingin menghadirkan fitur finansial) meningkatkan kapabilitas teknologi secara lebih sederhana. Alih-alih mengembangkan dari nol dan membutuhkan waktu dan sumber daya relatif lebih besar, dengan menggunakan sistem API prosesnya akan jauh lebih singkat. Terlebih untuk memastikan kepatuhan terhadap regulasi dan opsi pilihan kanal pembayaran yang hendak disuguhkan kepada pengguna.

Adapun startup yang bermain dengan konsep tersebut sudah ada beberapa, seperti Ayoconnect, Finantier, Xendit, Midtrans, Brankas, dan lain sebagainya. Masing-masing mencoba menyuguhkan proposisi unik dengan kapabilitas tertentu.