Traveloka Umumkan Perolehan Pendanaan Baru 3,6 Triliun Rupiah

Hari ini (28/7) Traveloka mengumumkan perolehan pendanaan baru senilai US$250 juta atau setara 3,6 triliun Rupiah. Meski tidak disebutkan secara detail siapa saja yang berpartisipasi,  EV Growth adalah salah satu investor terdahulu yang dikonfirmasi terlibat di putaran kali ini. Fokus investasi adalah untuk memperkuat neraca keuangan perusahaan sembari memperkuat beberapa lini produk di tengah pandemi Covid-19 ini.

Perolehan ini sejalan dengan kabar yang diberitakan beberapa media sejak awal Juli 2020 lalu. Sebelumnya dirumorkan sejumlah investor, termasuk Siam Commercial Bank, FWD Group, GIC, dan East Ventures, disebutkan terlibat  negosiasi tahap akhir untuk pendanaan lanjutan Traveloka. Rumor terbaru dari sumber Reuters mengatakan Qatar Investment Authority (QIA) memimpin putaran pendanaan kali ini.

Untuk mendapatkan suntikan dana tersebut, valuasi Traveloka diestimasi turun menjadi $2,75 miliar (hampir 40 triliun Rupiah). Aksi down round ini diambil karena bisnis perusahaan yang terpukul akibat Covid-19 dan mengalami penurunan traksi layanan.

“Ini merupakan krisis besar di generasi saat ini, baik dari sisi keuangan maupun kemanusiaan. Situasi ini merupakan bentuk dari penyesuaian ulang yang memaksa para pelaku bisnis untuk memikirkan kembali rencana, strategi dan model bisnis mereka. Industri perjalanan juga mengalami masa sulit yang belum pernah terjadi sebelumnya, termasuk Traveloka. Tim manajemen telah melakukan berbagai upaya sulit namun harus dilakukan, termasuk restrukturisasi dan optimalisasi, untuk meminimalisir risiko keuangan yang timbul. Kami yakin bahwa Traveloka akan kembali bangkit dengan lebih kuat setelah melewati krisis ini,” ungkap Willson Cuaca, Managing Partner EV Growth yang tergabung dalam putaran pendanaan ini.

Akui kesulitan di tengah Covid-19

Covid-19 membuat bisnis OTA mengalami tantangan pelik. Operasional transportasi publik banyak yang dibekukan, berbagai destinasi diliburkan; jelas membuat transaksi terperosok. Bagi Traveloka dan banyak pemain lainnya, ini menjadi kondisi terburuk sepanjang sejarah mereka hidup.

Mitra Traveloka di sektor transportasi, akomodasi, aktivitas, dan restoran juga mengalami rintangan yang berat. Untuk transportasi, permintaan konsumen menurun drastis sementara permintaan pengembalian dana melonjak secara signifikan; hotel mengalami tingkat hunian terendah yang pernah ada; para mitra aktivitas lifestyle di domestik maupun regional dan mitra restoran harus menutup operasional bisnisnya untuk sementara waktu.

“Tidak dapat dipungkiri bahwa Traveloka sangat terpengaruh dengan pandemi Covid-19. Bisnis kami berada di titik terendah yang belum pernah terjadi sejak kami pertama kali berdiri. Namun, kami selalu percaya bahwa Traveloka akan bangkit kembali dengan adanya penyesuaian strategi bisnis secara cepat, bekerja sama dengan para mitra industri dan para pemangku kepentingan lainnya, serta terus menghadirkan produk-produk inovatif bagi para pengguna yang merupakan fokus utama kami,” ujar Co-founder dan CEO Traveloka, Ferry Unardi.

Merangkak stabilkan bisnis

Demi tetap bertahan, Traveloka menerapkan langkah-langkah yang dibutuhkan untuk optimalisasi bisnis guna melakukan penghematan serta kembali berfokus untuk menyiapkan strategi dalam menyambut era normal baru. Di Indonesia dan Vietnam misalnya, Traveloka melihat sektor domestik, perjalanan ataupun aktivitas hiburan jarak dekat telah mulai menggeliat dan bangkit kembali, seiring dengan tingginya kesadaran masyarakat akan pandemi dan penyesuaian gaya hidup dengan situasi saat ini.

Berbagai inisiatif diluncurkan untuk memenuhi perubahan kebutuhan konsumen, seperti layanan Covid-19 Test yang digabungkan dengan tiket pesawat, pemesanan voucher hotel dengan periode inap yang fleksibel melalui “Buy Now Stay Later”, program Online Xperience yang menampilkan host ternama, program live stream Traveloka LIVEstyle Flash Sale, serta kampanye Traveloka Clean yang memungkinkan pengguna untuk melakukan pemesanan melalui Traveloka dengan lebih tenang dan aman.

“Saya senang dapat menyampaikan bahwa dari sisi bisnis, kami melihat pemulihan secara bertahap di seluruh pasar utama kami. Bisnis Traveloka di Vietnam telah mulai stabil dan mendekati periode sebelum adanya Covid-19, sementara bisnis kami di Thailand kini hampir melampaui 50% dibandingkan situasi normal. Meskipun Indonesia dan Malaysia masih berada di tahap awal pemulihan, namun kedua pasar ini terus memperlihatkan momentum yang menjanjikan dengan kemajuan dari minggu ke minggu, terutama untuk lini bisnis akomodasi dengan kemunculan tren berlibur jarak dekat atau staycation,” tambah Ferry.

Application Information Will Show Up Here

Traveloka is Reportedly Secured Fresh Funding, Valuation Drops at $2,75 Billion

Traveloka is reportedly secured fresh funding. As quoted from Bloomberg, the company is in the final negotiation with some investors, including Siam Commercial Bank and FWD Group – also the previous investors, GIC and East Ventures.

The agreement is subject to change and secured funding is around $250 million (3.6 trillion Rupiah). DealStreetAsia mentioned a bigger number at $100 million (around 1.4 trillion Rupiah).

Along the process, Traveloka’s valuation is estimated to drop at $2.75 billion (nearly 40 trillion Rupiah). The down round was taken due to the Covid-19 pandemic’s impact on the company’s business.

Last year, some sources reported Traveloka’s valuation to reach $4.5 billion (nearly 65 trillion Rupiah). Still, they targeted to raise new funds worth of $500 million (7.2 trillion Rupiah).

All businesses in the OTA landscape experienced a great storm due to the pandemic. In addition, Expedia (a Traveloka investor), in Q1 2020 experienced a decrease in total orders of up to 39%. Traveloka’s affiliated company in the budget hotel sector, Airy, closed its business due to unbearable business operations.

Traveloka alone has performed layoffs for its employees, although the number is not clearly stated.

Aside from Traveloka, some Indonesian unicorn startups are looking for fresh funding. Gojek is finalizing its Series F funding, while Tokopedia is reportedly in the middle of discussing a follow-on round with Temasek and Google.

Traveloka was founded in 2012 by Ferry Unardi, Albert Zhang, and Derianto Kusuma. The latest one has “exited” since November 2018 and drop the CTO position. Traveloka services are already available in several countries in Southeast Asia and Australia.

Adapting Business

Investors’ only hope is the recovery of the post-pandemic travel business. In fact, new normal is indeed being pursued in many areas, but the fear of the new wave of Covid-19 has caused many people to discourage travel – in addition to various destinations, they are yet to open due to restrictions.

The company alone does not remain silent. They try to clean up. With its assets, Traveloka launches online activity through Xperience. They also try to optimize fintech services through several products, including Paylater, which is managed by its own financial company.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Traveloka Dikabarkan Finalisasi Pendanaan Baru, Valuasi Turun di Angka $2,75 Miliar

Traveloka dikabarkan kembali mendapatkan pendanaan baru. Menurut sumber yang dikutip Bloomberg, perusahaan dalam negosiasi tahap akhir dengan sejumlah investor, termasuk Siam Commercial Bank dan FWD Group — juga investor terdahulu, seperti GIC dan East Ventures.

Kendati kesepakatan masih bisa berubah, dana yang akan diamankan berada di kisaran $250 juta (3,6 triliun Rupiah). Lebih besar yang dikabarkan DealStreetAsia, yakni $100 juta (sekitar 1,4 triliun Rupiah).

Untuk mendapatkan dana itu, valuasi Traveloka diestimasi turun menjadi $2,75 miliar (hampir 40 triliun Rupiah). Aksi down round ini diambil karena bisnis perusahaan yang terpukul akibat Covid-19.

Tahun lalu, beberapa sumber laporan mengestimasi valuasi Traveloka menyentuh angka $4,5 miliar (hampir 65 triliun Rupiah). Tahun lalu juga mereka menargetkan mendapatkan dana baru di angka $500 juta (7,2 triliun Rupiah).

Semua bisnis di lanskap OTA mengalami gangguan besar akibat pandemi. Selain Traveloka, Expedia (salah satu investor Traveloka), di Q1 2020 mengalami penurunan total pesanan hingga 39%. Perusahaan afiliasi Traveloka di sektor hotel budget, Airy, bahkan menutup bisnisnya karena tidak sanggup lagi menanggung operasional bisnis.

Traveloka sendiri sudah santer melakukan layoff terhadap pegawainya, meskipun tidak diumumkan secara pasti berapa banyak pegawai yang terdampak.

Selain Traveloka, sejumlah startup unicorn Indonesia memang terus mencari pendanaan baru. Gojek sedang menggenapkan pendanaan Seri F-nya, sedangkan Tokopedia dikabarkan tengah membicarakan investasi lanjutan dengan Temasek dan Google.

Traveloka didirikan pada tahun 2012 oleh Ferry Unardi, Albert Zhang, dan Derianto Kusuma. Yang terakhir, sudah “exit” sejak November 2018 dan melepas jabatannya sebagai CTO. Layanan Traveloka sudah tersedia di beberapa negara di Asia Tenggara dan Australia.

Adaptasi bisnis

Satu-satunya pengharapan investor adalah pulihnya kembali bisnis travel pasca pandemi. Nyatanya new normal memang sedang diupayakan di banyak wilayah, namun kekhawatiran hadirnya gelombang baru Covid-19 membuat banyak masyarakat mengurungkan niat bepergian – di samping berbagai destinasi juga belum membuka diri akibat pembatasan.

Perusahaan sendiri tidak tinggal diam. Mereka mencoba berbenah. Dengan aset yang dimiliki, Traveloka  meluncurkan opsi aktivitas online melalui Xperience. Mereka juga mencoba mengoptimasi layanan fintech melalui beberapa produk, termasuk Paylater yang dikelola perusahaan finansialnya sendiri.

Application Information Will Show Up Here

Travel Business Struggling through Pandemic, Traveloka to start Online Xperience

Yesterday (6/29) the local OTA unicorn, Traveloka introduced Online Xperience, a new product category focused on the lifestyle sector. There’s a creative side featured creative in the latest update with various titles from selected speakers. Some existing titles such as a coffee discussion with well-known baristas, cooking shows with professional cooks, learning to arrange flowers with famous florists, and a lifestyle session with nutritionists.

They try to present a special feature, there’s also a live session, users can have interactive discussions with the speakers. It is also accessible through the Traveloka app or site, in the Traveloka Xperience menu.

Each session is premium-based, users must pay subscription fees with a certain amount. Traveloka Experience CEO Christian Suwarna said, “Online Xperience is a manifestation of our commitment to adapt to changes in current user habits that may still be reluctant to move outside, but need to do productive things to fill their time.”

This new product’s launching is along with the government’s National Movement program #BanggaBuatanIndonesia, because this new alternative is expected to empower creative people. Christian added, “Online Xperience is also the beginning of our support for the national movement #BanggaBuatanIndonesia. We encourage talented individuals to continue to work and share inspiration, therefore, this initiative can be an alternative income.”

Similar product

The Traveloka’s product is not actually brand new, other players, especially in the global business, have already rolled the similar concept, such as Airbnb and TripAdvisor. In terms of Airbnb, through its Online Experience, it is not only a program to visit tourist attractions but also presents joint activities, for example cooking Balinese specialties, which can be virtually followed.

In terms of local, some players present virtual activities concept as well. For example, the Umrah marketplace platform Travalal launched a new service called “Virtual Reality Tourism”. That is a tour program packaged online, utilizing 360 ° video technology and live tours using video conferencing applications. There are a variety of tourist destinations on offer, both locally and abroad, including listing virtual Umrah religious tours.

Antourin also offers similar services in virtual tour packages for various tourist objects in Indonesia with relatively affordable rates. Like a real tour, a virtual tour is also equipped with a tour guide that is ready to explain and answer questions about the objects visited. Conference applications such as Zoom, Google Maps and Street View are used in the implementation.

Traveloka’s business

Petinggi Traveloka memprediksi bisnis fintech-nya segera menjadi bisnis $1 miliar tahun ini

The first and second quarters of 2020 are indeed a difficult time for the OTA industry, not only local players, but also international players. Some companies choose to reduce the team, some are eventually collapsed. In the core business, Traveloka also looks like a natural shock; they have quite rich features with the same goals, accommodating the travel needs of its users comprehensively.

Xperience, for example, the service was developed for people can easily order various events/performances at tourist attractions; or order other activity packages tp be found at the destination. Traveloka also briefly led the series B funding for the Singapore event management system developer, PouchNATION; again to be correlated, it is the same objective, (if integration does occur) it will support businesses related to user activities (directly).

Amid pandemic, Traveloka reportedly in the process of finalizing fundraising. A trusted source said, the company almost got an investment fund agreement of US$100 million equivalent to 1.4 trillion Rupiah from investors. There is no further detail whether this is part of the 7 trillion Rupiah target last year or the down-round option.

Fintech-based innovations are recently highlighted by Traveloka. In addition to building PayLater, they continue to present new financial products, for example launching a cobranding card with BRI. The company is also optimistic to win the unicorn title through its financial business unit.

Earlier this year, Traveloka reportedly acquired startup payment system based on the QR code Dimo ​​Pay Indonesia. A trusted source who did not want to be named to DailySocial revealed that the purchase process was performed through a shell company (special purpose vehicle / SPV).


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Bisnis Perjalanan Dijegal Pandemi, Traveloka Memulai “Online Xperience”

Kemarin (29/6) unicorn OTA lokal Traveloka memperkenalkan Online Xperience, kategori produk baru yang difokuskan untuk garap sektor gaya hidup. Di dalamnya menampilkan sesi kreatif dengan berbagai judul dari para pemateri pilihan. Beberapa judul yang sudah ada seperti pembahasan soal kopi dengan barista ternama, acara memasak dengan juru masak profesional, belajar merangkai bunga dengan florist terkenal, hingga pembahasan gaya hidup dengan ahli gizi.

Keunggulan yang coba dihadirkan, selain ini adalah sesi live, pengguna juga dapat berdiskusi interaktif dengan pengisi acara. Penggunaannya sendiri bisa melalui situs atau aplikasi Traveloka, di bagian menu Traveloka Xperience.

Setiap sesi adalah premium, pengguna harus membayarkan sejumlah biaya dengan nominal beragam. Kepada media, CEO Traveloka Experience Christian Suwarna mengatakan, “Online Xperience menjadi manifestasi dari komitmen kami dalam beradaptasi dengan perubahan kebiasaan pengguna saat ini yang mungkin masih enggan untuk beraktivitas di luar, namun perlu melakukan hal produktif untuk mengisi waktunya.”

Peluncuran produk baru ini juga dibarengkan dengan program pemerintah Gerakan Nasional #BanggaBuatanIndonesia, karena alternatif bisnis baru ini diharapkan juga dapat memberdayakan insan kreatif. Christian menambahkan, “Online Xperience juga menjadi awal dari dukungan kami terhadap gerakan nasional #BanggaBuatanIndonesia. Kami mendorong para individu berbakat untuk terus berkarya dan berbagi inspirasi, sehingga inisiatif ini dapat menjadi alternatif pendapatan.”

Sudah ada produk serupa

Produk yang dirilis Traveloka tersebut sebenarnya bukan hal yang baru, pemain lain khususnya di kancah global sudah terlebih dulu menggulirkan, seperti Airbnb dan TripAdvisor. Untuk Airbnb, melalui Online Experience-nya, tidak hanya program mengunjungi tempat wisata saja, namun menyajikan kegiatan bersama, misalnya memasak makanan khas Bali, yang dapat diikuti secara virtual.

Untuk lokal, beberapa pemain sajikan konsep aktivitas virtual juga. Misalnya yang dilakukan platform marketplace umrah Travalal meluncurkan layanan baru berjuluk “Virtual Reality Tourism”. Yakni program tur yang dikemas secara online, memanfaatkan teknologi video 360° dan live tour menggunakan aplikasi video conference. Ada berbagai destinasi wisata yang ditawarkan, baik lokal maupun luar negeri, termasuk mencantumkan wisata religi umrah virtual .

Antourin juga tawarkan layanan serupa dalam paket-paket tur virtual berbagai objek wisata di Indonesia dengan tarif yang relatif terjangkau. Layaknya wisata betulan, tur virtual juga dilengkapi dengan pemadu wisata yang siap menerangkan dan menjawab pertanyaan soal objek-objek yang dikunjungi. Aplikasi konferensi seperti Zoom, Google Maps, dan Street View digunakan dalam pelaksanaannya.

Bisnis Traveloka

Petinggi Traveloka memprediksi bisnis fintech-nya segera menjadi bisnis $1 miliar tahun ini

Kuartal pertama dan kedua tahun 2020 memang jadi masa sulit untuk industri OTA, tidak hanya pemain lokal, juga pemain internasional. Beberapa perusahaan memilih untuk merampingkan tim, ada juga yang akhirnya kolaps. Secara core business, Traveloka juga terlihat alami goncangan serupa; mereka miliki fitur yang cukup kaya, namun semua memiliki tujuan yang sama, mengakomodasi secara komprehensif kebutuhan perjalanan penggunanya.

Sebut saja Xperience, layanan tersebut dikembangkan agar orang dapat dengan mudah memesan berbagai acara/pertunjukan di tempat-tempat wisata; atau memesan paket aktivitas lain yang dapat ditemui di destinasi yang dituju. Traveloka juga sempat pimpin pendanaan seri B startup pengembang sistem manajemen acara asal Singapura, PouchNATION; lagi-lagi jika dikorelasikan maka tujuannya masih sama, (kalaupun terjadi integrasi) akan mendukung bisnis yang berkaitan dengan aktivitas pengguna (yang dilakukan secara langsung).

Di tengah pandemi ini, Traveloka dikabarkan sedang rampungkan fundraising. Sumber mengatakan, perusahaan hampir mendapatkan kesepakatan dana investasi US$100 juta setara 1,4 triliun Rupiah dari investor. Belum diketahui detail apakah ini bagian dari target 7 triliun Rupiah yang digalang sejak tahun lalu atau opsi down-round.

Inovasi berbasis fintech juga yang layak disorot dari Traveloka untuk beberapa waktu terakhir. Selain memelopori PayLater, mereka terus hadirkan produk-produk finansial baru, misalnya meluncurkan kartu cobranding bersama BRI. Perusahaan juga cukup optimis bisa menggaet gelar unicorn melalui unit bisnis finansialnya.

Awal tahun ini Traveloka dikabarkan telah mengakuisisi startup sistem pembayaran berbasis kode QR Dimo Pay Indonesia. Sumber terpercaya yang tak mau disebutkan namanya kepada DailySocial mengungkapkan, proses pembelian dilakukan melalui perusahaan cangkang (special purpose vehicle / SPV).

Application Information Will Show Up Here

Bobobox Secures Series A Funding Worth 170 Billion Rupiah

Bobobox, known as a startup of capsule hotel accommodation service, recently announced Series A funding worth of US$ 11.5 million or equivalent to 170 billion Rupiah. This round was led by Horizons Ventures with the previous investor, Alpha JWC Ventures. It is with participation of some investors, including Cocoa Investments, Sequoia Surge, and Mallorca Investment.

Prior to this, Bobobox’s pre series A began in March 2019, it was involving Alpha JWC Ventures, Genesia Ventures, and three other investors. Later, in May 2019, the Bandung based startup returned to get funding from Sequoia Capital India (Surge), Agaeti Ventures, Everhaus, Alpha JWC Ventures, and Ganesia Ventures.

With this additional capital fund, the company will focus on developing features to improve the experience of using pods (call for lodging capsules). In addition, they also plan to strengthen teams in manufacturing and operations, plus expansion to several other countries in Southeast Asia after the Covid-19 pandemic ends.

This round becomes quite unique, as the Covid-19 outbreak happened, many players in the accommodation and tourism industries have collapsed, some are shutting down the business. Bobobox’s Co-Founder & CEO Indra Gunawan said, “We are grateful and proud to still be able to obtain funding from global investors amid the crisis due to the Covid-19 outbreak. I believe this is part of the result from our discipline in maintaining our unit economics in all branches.”

In the past year, Bobobox has established six new locations in three cities: Bandung, Jakarta, and Semarang. To date, they operate eight locations with a total of 572 pods and occupancy rates of 80-90% before the pandemic. After the pandemic it is significantly dropped to 50-60%.

“In my opinion, another factor behind investor’s trust in Bobobox is the unique selling proposition that allows us to be prepared for the crisis and behavioral changes that arise from this pandemic, even before we know this will happen. It will benefit us later when technology-based accommodation becomes an industry demand,” he added.

Alternative lodging during pandemic

Launching pods for medical staff of Covid-19 hospital partners / Bobobox
Launching pods for medical staff of Covid-19 hospital partners / Bobobox

It is stated in the release, the Covid-19 pandemic also opened up new opportunities. As the tourism industry slows down, local residents become new customers of the Bobobox pods. In order to meet consumer demand and maintain the safety of its staff and customers, Bobobox implements preventive measures, including limiting the number of entrants and closing public gathering spaces.

“With additional preventive measures, many local residents have chosen to relocate to our pods to support their work-from-home needs. Some of them choose the closest Bobobox from their office to avoid long travel and the crowds, all to reduce the risk of exposure to Covid-19,” Bobobox’s Co-Founder & President, Antonius Bong explained.

Previously, in collaboration with the Li Ka Shing Foundation, Bobobox also donated 100 sleeping pods to Covid-19 referral hospitals in DKI Jakarta and West Java. It is to be used as a resting place for medical staff during their breaks.

“The crisis shows the true state of the company and how strong their business and revenue framework is. The crisis finally shows which companies are really solid. With satisfactory performance and growth since we first invested in Bobobox in 2018, we believe Bobobox will not only be able to overcome the current shocks but will be a leading player in the regional tourism industry,” Alpha JWC Ventures’ Managing Partner, Chandra Tjan said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Bobobox Dapatkan Pendanaan Seri A 170 Miliar Rupiah

Bobobox, yang dikenal sebagai startup penyedia layanan akomodasi hotel kapsul, baru-baru ini mengumumkan perolehan pendanaan seri A senilai US$11,5 juta atau setara 170 miliar Rupiah. Putaran investasi ini dipimpin Horizons Ventures dan investor sebelumnya Alpha JWC Ventures. Beberapa pemodal yang turut terlibat termasuk Kakao Investments, Sequoia Surge dan Mallorca Investment.

Sebelumnya pendanaan pra-seri A Bobobox sudah dimulai sejak Maret 2019, waktu itu melibatkan Alpha JWC Ventures, Genesia Ventures, dan tiga investor lainnya. Kemudian pada Mei 2019, startup asal Bandung tersebut kembali dapatkan pendanaan dari Sequoia Capital India (Surge), Agaeti Ventures, Everhaus, Aplha JWC Ventures, dan Ganesia Ventures.

Dengan dana modal tambahan ini, perusahaan akan fokus pada pengembangan fitur demi meningkatkan pengalaman penggunaan pods (sebutan untuk kapsul penginapan). Selain itu, mereka juga rencanakan penguatan tim di bidang manufaktur dan operasional, plus ekspansi ke beberapa negara lain di Asia Tenggara setelah pandemi Covid-19 berakhir.

Pendanaan ini menjadi menarik, pasalnya di tengah terpaan Covid-19, banyak pemain di industri akomodasi dan pariwisata terpuruk, bahkan sampai ada yang memutuskan menghentikan bisnisnya. Co-Founder & CEO Bobobox Indra Gunawan mengatakan, “Kami bersyukur dan bangga masih dapat meraih pendanaan dari investor global di sela-sela guncangan yang ditimbulkan Covid-19. Saya percaya hal ini tak terlepas dari disiplin kami dalam menjaga unit economics yang sehat di semua cabang.”

“Menurut saya, faktor lain di balik kepercayaan investor pada Bobobox adalah unique selling proposition yang memungkinkan kami siap menghadapi krisis dan perubahan perilaku yang muncul dari pandemi ini, bahkan sebelum kita tahu hal ini akan terjadi. Hal ini juga memberikan keuntungan bagi kami nantinya saat akomodasi berbasis teknologi menjadi kebutuhan industri,” imbuhnya.

Dalam satu tahun terakhir, Bobobox telah mendirikan enam lokasi baru di tiga kota: Bandung, Jakarta, dan Semarang. Saat ini, mereka mengoperasikan delapan lokasi dengan total 572 pods dan tingkat okupansi 80-90% sebelum pandemi. Setelah pandemi turun menjadi 50-60%.

Selama pandemi digunakan jadi alternatif menginap

Peluncuran pods yang ditujukan untuk tenaga medis RS mitra Covid-19 / Bobobox
Peluncuran pods yang ditujukan untuk tenaga medis RS mitra Covid-19 / Bobobox

Dalam rilisnya perusahaan menguraikan, masa pandemi Covid-19 turut membuka peluang baru. Di saat industri pariwisata melambat, penduduk lokal menjadi pelanggan baru pods Bobobox. Untuk memenuhi permintaan konsumen dan tetap menjaga keselamatan staf dan pelanggannya, Bobobox menerapkan langkah-langkah preventif, termasuk membatasi jumlah penginap dan menutup ruang berkumpul umum.

“Dengan adanya langkah-langkah preventif tambahan, banyak penduduk lokal memilih relokasi ke pods kami demi menunjang kebutuhan work-from-home mereka. Tidak sedikit yang memilih Bobobox terdekat dari kantor mereka agar tidak perlu melakukan perjalanan jauh demi menghindari keramaian dan mengurangi risiko terpapar Covid-19,” jelas Co-Founder & President Bobobox Antonius Bong.

Sebelumnya, bekerja sama dengan Li Ka Shing Foundation, Bobobox juga mendonasikan 100 sleeping pods ke rumah sakit rujukan Covid-19 di DKI Jakarta dan Jawa Barat. Difungsikan sebagai tempat istirahat tenaga medis di sela-sela tugasnya.

“Krisis memperlihatkan keadaan perusahaan yang sesungguhnya serta seberapa kuat bisnis dan kerangka pemasukan mereka. Krisis juga akhirnya menunjukkan mana perusahaan yang benar-benar solid. Dengan kinerja dan pertumbuhan yang memuaskan sejak pertama kali kami berinvestasi di Bobobox pada 2018, kami percaya Bobobox tak hanya dapat melewati guncangan krisis saat ini, tapi juga akan menjadi pemain unggulan industri pariwisata regional,” ujar Managing Partner Alpha JWC Ventures Chandra Tjan.

Application Information Will Show Up Here

Beberapa Startup Inisiasi Produk Tur Virtual, Coba Gairahkan Kembali Bisnis Pariwisata

Hari ini (20/5) marketplace digital agen umrah dan tur religi Travalal meluncurkan layanan baru. Disebut dengan “Virtual Reality Tourism“, merupakan program tur yang dikemas secara online, memanfaatkan teknologi video 360° dan live tour menggunakan aplikasi video conference. Ada berbagai destinasi wisata yang ditawarkan, baik lokal maupun luar negeri, termasuk mencantumkan wisata religi umrah virtual .

Founder & CEO Travalal Joyo Diharjo mengungkapkan, inisiatif ini dikembangkan sebagai langkah bertahan perusahaan di tengah pandemi. Seperti diketahui, terpaan Covid-19 berdampak cukup signifikan bagi industri perjalanan dan pariwisata di seluruh dunia.

“Kami berharap dengan virtual tourism ini, para pelaku industri pariwisata dapat memiliki potensi pekerjaan dan penghasilan baru sebagai penyelenggara wisata virtual. Kami tidak ingin berdiam diri tanpa solusi. Kami siap memberikan pelatihan bagi mereka. Nantinya, setelah terlatih, Travalal akan ikut membantu memasarkan jasa mereka,” imbuh Joyo.

Antourin juga tawarkan layanan serupa di tengah pembatasan sosial-fisik yang diberlakukan di banyak wilayah. Platform yang menawarkan perencanaan perjalanan liburan tersebut suguhkan berbagai paket tur virtual berbagai objek wisata di Indonesia dengan tarif yang relatif terjangkau.

Layaknya wisata betulan, tur virtual juga dilengkapi dengan pemadu wisata yang siap menerangkan dan menjawab pertanyaan soal objek-objek yang dikunjungi. Aplikasi konferensi seperti Zoom, Google Maps, dan Street View digunakan dalam pelaksanaannya.

Pemain global seperti Airbnb, TripAdvisor dan beberapa lainnya juga usung inisiatif serupa. Untuk Airbnb, melalui Online Experience-nya, tidak hanya program mengunjungi tempat wisata saja, namun menyajikan kegiatan bersama, misalnya memasak makanan khas Bali, yang dapat diikuti secara virtual.

Laman Online Experiences milik Airbnb
Laman Online Experiences milik Airbnb

Sejauh ini belum ada data komprehensif yang berhasil memvalidasi efektivitas dari kegiatan tur virtual, khususnya untuk pangsa pasar di Indonesia. Terlebih untuk menjawab “apakah mereka mau membayar untuk melakukan tur virtual?” Kendati secara konsep dasar sebenarnya mirip dengan konversi kegiatan belajar di kelas dengan kegiatan belajar virtual — yang mulai tervalidasi penerimaannya di kalangan pengguna. Bisnis yang terdampak pandemi memang tengah dipaksa untuk berinovasi menghadirkan “the new normal”-nya.

Ada yang tidak berhasil bertahan

Terjegal pandemi, bulan ini Airy memilih untuk menutup operasionalnya. Sejak awal tahun, saat pandemi Covid-19 mulai menghantui kawasan Asia Tenggara, terjadi penurunan yang cukup tajam untuk pengguna layanan Airy. Diperburuk dengan insiatif lockdown dan physical distancing di hampir semua negara yang menjadikan kegiatan bepergian (ke luar kota atau luar negeri) nyaris tidak dilakukan oleh orang-orang.

Mengamati kondisi yang terjadi saat ini, kepada DailySocial ekonom dari Center of Reform on Economics (CORE) Yusuf Rendy Manilet yakin pelaku OTA di Indonesia pasti terpukul akibat Covid-19. Akan tetapi Yusuf melihat mereka bukan tanpa harapan dalam situasi genting seperti sekarang.

“Menurut saya mereka bisa memanfaatkan potensi wisatawan domestik tapi yang sifatnya lebih lokal, seperti wisata kuliner,” ucap Yusuf.

Upaya Mendigitalkan UKM di Bidang Jasa dan Pariwisata ala Gomodo

Sektor jasa dan pariwisata adalah salah satu yang paling terpukul selama wabah Covid-19 berlangsung. Ketika banyak bisnis pariwisata berhadapan dengan paceklik tersebut, setidaknya ada satu startup anyar bernama Gomodo yang menghimpun tenaga sebagai platform teknologi di sektor jasa dan pariwisata.

Gomodo adalah satu dari 15 startup yang terpilih mengikuti final pitch program akselerasi GK-Plug and Play angkatan keenam. Gomodo merupakan platform software-as-a-service (SaaS) yang memungkinkan UKM di sektor jasa dan pariwisata memiliki situs web untuk menerima pesanan online, pembayaran nontunai, hingga solusi distribusi.

Menjamah yang belum tergapai

Founder & CEO Gomodo Lius Widjaja menjelaskan kepada DailySocial, ide startup ini bermula dari keresahannya yang berkecimpung di industri pariwisata. Selama berkarier di industri ini, Lius menilai biro perjalanan kerap kesulitan memperoleh inventaris produk atau paket wisata dalam bentuk digital.

Perkara itu tak lain karena kebanyakan operator penyedia jasa wisata dan supplier belum memanfaatkan layanan digital. Maklum, kata Lius, platform digital yang dipakai di sektor jasa dan pariwisata ini terbilang rumit dan sulit yang mana lebih ditujukan kepada entitas perusahaan besar alih-alih UKM.

“Sebenarnya ada banyak pengalaman unik yang dapat dinikmati wisatawan di Indonesia, contohnya jungle trekking, wisata observasi Orang Utan, exotic bird watching, bahkan sampai wisata berburu babi hutan? Tetapi pengalaman-pengalaman tersebut hampir tidak tersedia di katalog Online Travel Agent sekelas unicorn sekalipun,” tutur Lius.

Permasalahan ini berlanjut ketika pusat-pusat pariwisata Indonesia masih belum banyak memiliki perangkat yang mendukung pembayaran nontunai. Survei internal Gomodo menyebut 95% UKM di sektor pariwisata yang tak menerima pembayaran via kartu kredit.

Segmentasi dan monetisasi

Seperti diutarakan sebelumnya, Gomodo berfokus pada UKM yang bergerak di bidang jasa dan pariwisata. Operator tur, pemandu wisata, biro perjalanan, perusahaan rental kendaraan, penginapan, hingga konsultan pajak, dan penyedia jasa akuntan pun termasuk.

Fokus terhadap UKM ini yang membedakan Gomodo dengan penyedia sistem distribusi global (GDS) seperti Galileo atau Sabre yang produknya umum digunakan para pelaku industri jasa pariwisata. Jika Gomodo membidik jenis aktivitas wisata dan inventaris paket wisata, Galileo dan Sabre menyasar pasar enterprise yang umumnya adalah inventaris maskapai penerbangan, hotel, tiket taman hiburan, hingga transportasi.

“Dengan lain kata, dalam konteks distribusi, Gomodo dan GDS lainnya berfungsi serupa, hanya kami lebih fokus kepada digitalisasi dan pengumpulan inventaris paket dan aktivitas wisata UKM yang tidak dimiliki banyak pihak GDS dan agent,” imbuh Lius.

Gomodo memang tak memungut biaya bagi para UKM untuk menggunakan platform mereka. Sebagai gantinya, Gomodo memberlakukan sistem bagi untung. Artinya, setiap ada transaksi yang sukses di platformnya, Gomodo akan mendapat bayaran dari mitra mereka tersebut. Lius tak membuka berapa besaran fee yang mereka peroleh dari setiap transaksi.

Target setelah pandemi

Gomodo meluncur ke publik pada Februari 2019. Sejak itu mereka telah mengantongi 1000 klien UKM di seluruh Indonesia. Gomodo juga telah ditunjuk oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan  sebagai mitra kerja program Perhutanan Sosial 4.0. Program ini memungkinkan mereka mendapatkan akses ke ribuan penyedia ekowisata kelas UKM se-Indonesia untuk diberdayakan secara digital.

Saat ini sejatinya Gomodo sudah menggandeng Koinworks untuk menyediakan fitur dana pinjaman kepada UKM yang membutuhkan. Namun fitur ini baru akan diluncurkan secara utuh setelah pandemi berakhir. Berbarengan dengan itu, Lius juga memperkirakan juga meluncurkan fitur investasi di mana para investor atau pemberi pinjaman leluasa menanamkan modalnya ke berbagai usaha di daerah-daerah tujuan wisata.

Terkait status pendanaan, Gomodo telah mengamankan dua babak pendanaan yakni angel round pada akhir 2018 dan pre-seed di akhir tahun lalu. Pada putaran pre-seed tercatat nama-nama investor yang berpartisipasi mulai dari Amand Ventures, Brama One Ventures, dan Plug and Play Indonesia.

Sementara ini Gomodo hanya aktif di Indonesia. Namun Lius tak menutup kemungkinan dalam dua tahun ke depan pihaknya akan ekspansi ke luar negeri seperti Vietnam yang dianggap memiliki karakter serupa Indonesia.

Lius membenarkan bahwa bisnis pariwisata sedang terpuruk. Namun ia optimis ini adalah momen yang tepat untuk mendorong solusi online booking dan pembayaran nontunai mereka ke pelaku bisnis jasa dan pariwisata. Menurutnya hal itu diperlukan untuk bersiap menyambut rebound sektor ini ketika pandemi berakhir.

“Dengan menggunakan platform Gomodo, sebuah UKM di sektor jasa dan wisata dapat Go Digital secepat 10-15 menit, dan set-up atau pengaturan semudah mengisi formulir atau survei,” pungkas Lius.

Saat ini layanan Gomodo masih hanya bisa diakses melalui situs web. Lius memastikan layanan mereka baru bisa diakses di Android dan iOS pada kuartal tiga nanti.

Dimo is Reportedly Acquired by Traveloka Group Last Year

Traveloka is reported to have acquired the payment system startup based on the QR code Dimo ​​Pay Indonesia (Dimo) early last year. A trusted source who avoid being published told DailySocial said the acquisition process was through a shell company (special purpose vehicle / SPV).

It is the same method when Traveloka acquired Pegipegi and two other OTA startups under the auspices of Recruit Holdings in early 2018. Unlike Gojek, Traveloka chose not to include its branding for each company acquired.

We absorbed the information from SEAcosystem.com – a collaborative worksheet that was initiated by a number of Southeast Asia’s venture capitalists to help related layoffs this year. All data included on the site is voluntary.

There are some of Dimo ​​employees affected by layoff linked their company name with the Traveloka Group. We also tried to contact Dimo, unfortunately, there is no feedback until the news release.

Dimo was founded in 2016 under the Sinar Mas Group, specifically SMDV. Currently, Dimo ​​is led by Grégory Soetrisnardi, while CTO Christoforus Yoga Haryanto comes from Traveloka.

In addition to Dimo, under the company’s legal entity there are two other operating products, Uangku and Cashbac. All products are engaged in fintech with different segments.

The acquisition by Traveloka answers the question of Uangku as an electronic money payment option in its application. However, we are yet to receive confirmation whether Cashbac has also been acquired by Traveloka.

Dimo runs payment services based on QR code system using Pay by QR jargon. They move agnostically aka QR codes contained in merchants can receive various sources of funds from affiliated electronic money applications.

The relationship between Traveloka and Sinarmas’ subsidiary also applied for PayLater services with Danamas. Danamas confirmed the affiliation between the two companies was limited to a business agreement. There is no stock investment by Traveloka.

In the Traveloka application, there is a QR code scan that is used at Traveloka Eats merchant partner locations, Traveloka booths at airports and shopping centers, and events held by Traveloka. There is also a privilege to enter tourist attractions without having to print physical tickets.

The pandemic has hit the tourism sector with the sharpest decline compared to other sectors. In addition to Dimo’s layoff scheme, Airy, which is often associated with Traveloka, has announced a business termination as of the end of May.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian