Platform P2P Lending Crowdo Luncurkan Aplikasi Khusus Investor “Crowdo Connect”

Platform P2P Lending asal Singapura Crowdo meresmikan aplikasi khusus investor (pemberi pinjaman) dinamai Crowdo Connect. Aplikasi ini diharapkan dapat memudahkan investor dalam mengatur portofolio investasi dan informasi penting lainnya mengenai UKM yang akan mereka investasi mulai dari rating, bunga, tenor, hingga profil UKM itu sendiri.

Tak hanya itu, aplikasi ini juga menjadi visi Crowdo yang ingin menghubungkan UMK Indonesia dengan investor dari berbagai belahan negara. Dari segi jumlah investor, saat ini Crowdo sudah menghimpun lebih dari 30 ribu anggota yang tersebar di 70 negara. Untuk sementara, Crowdo Connect baru tersedia untuk pengguna Android.

“Alasan kami meluncurkan aplikasi ini karena permintaan tinggi dari para investor. Maka dari itu, kami men-desain aplikasi ini sesuai kebutuhan mereka, investor dapat langsung melakukan investasi dalam aplikasi dan mengatur portofolionya,” terang General Manager Crowdo Indonesia Cally Alexandra, Selasa (28/2).

Lewat peluncuran ini, Crowdo Indonesia menargetkan pertumbuhan bisnis yang lebih ambisius untuk tahun ini. Crowdo menargetkan total pinjaman tersalurkan bisa tembus di kisaran Rp200 miliar hingga Rp300 miliar. Target rerata pinjaman pun juga naik menjadi Rp1 miliar hingga Rp2 miliar.

Angka ini tumbuh lebih pesat dibandingkan pencapaian Crowdo Indonesia di tahun sebelumnya. Total pinjaman tersalurkan masih di bawah Rp200 miliar, dengan rincian total UKM yang berhasil didanai sekitar 1.200 UKM dan besaran rerata pinjaman per UKM sebesar Rp200 juta.

“Kami targetkan pada tahun ini bisa menyalurkan pinjaman sekitar Rp200 miliar hingga Rp300 miliar.”

Secara resmi, Crowdo pertama kali diluncurkan di Singapura sejak 2012. Mereka lalu berekspansi ke Malaysia tiga tahun kemudian dan akhirnya meresmikan bisnis di Indonesia tahun lalu.

Fokus model bisnis Crowdo di Indonesia berbeda dengan dua negara lainnya. Di Indonesia, Crowdo hanya fokus menjalankan bisnis P2P lending. Sementara di Malaysia dan Singapura, Crowdo memiliki dua fokus bisnis yakni P2P lending dan equity crowdfunding.

Saat ditanya mengenai kemungkinan Crowdo untuk mengembangkan bisnis equity crowdfunding di Indonesia, Cally hanya mengatakan bahwa saat ini pihaknya masih fokus untuk mengembangkan bisnis P2P lending, mengingat potensi UKM yang belum terjamah layanan bank masih sangat besar.

Model bisnis Crowdo di Indonesia

Untuk mengajukan pinjaman dana (atau berinvestasi) di platform, pengguna hanya membutuhkan tiga langkah proses. Untuk memastikan keamanan proses, Crowdo menerapkan pendekatan berdasarkan empat pilar sebagai credit scoring. Mulai dari traditional parameter, big data, social media data, dan psychometric test.

Teknologi ini membuat proses pembiayaan dan investasi secara end-to-end jadi lebih efisien, transparan, dan cerdas. Jenis agunan yang dibutuhkan untuk setiap proses pengajuan adalah emas, mobil, invoice, dan kontrak.

Maksimal pinjaman yang bisa diajukan peminjam adalah Rp2 miliar, adapun kisaran bunga yang ditawarkan mulai dari 10% hingga 40% per tahun. Sedangkan, besaran dana minimal yang bisa diinvestasikan oleh investor adalah Rp1 juta.

Crowdo hanya mengambil admin fee untuk setiap pengajuan pinjaman yang berhasil dipenuhi investor, besarnya adalah 3% dari total pinjaman.

“Kami hanya akan ambil admin fee dari setiap pinjaman yang berhasil dipenuhi investor, bila tidak kami tidak akan charge mereka,” pungkas Cally.

Application Information Will Show Up Here

Asosiasi Fintech Indonesia Desak Pembentukan Lembaga Pengawas P2P Lending

Asosiasi Fintech Indonesia mendorong Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk segera membentuk badan lembaga khusus yang mengawasi kegiatan layanan peminjaman uang bermedium digital (P2P Lending). Desakan tersebut sebagai langkah lebih lanjut setelah sebelumnya Desember lalu OJK telah merilis peraturan tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi (LPMUBTI), dan aturan turunan yang direncanakan rampung pada kuartal pertama tahun 2017 ini.

Menurut wakil ketua Asosiasi, Adrian Gunadi, pembentukan lembaga tersebut penting untuk memastikan jalannya usaha P2P Lending di Indonesia sesuai koridor. Saat ini jumlah pengusaha/startup yang terjun dalam segmen bisnis tersebut terpantau terus bertambah, sejalan dengan potensi yang masih sangat besar. Salah satu faktor yang membuatnya populer karena P2P Lending menawarkan fleksibilitas, pemberi pinjaman dan peminjam diberikan keleluasaan secara transparan dalam bernegosiasi.

[Baca Juga: Hal-hal Pendukung Transformasi Industri P2P Lending]

Sekurangnya –menurut catatan Asosiasi Fintech Indonesia—saat ini terdapat 157 startup di bidang P2P Lending yang beroperasi di Indonesia. Riset Statista menyebutkan nilainya tahun ini akan mencapai $18,64 miliar, dengan sektor pinjaman dan pembiayaan personal mendominasi sebesar 25 persen. Sementara data OJK menunjukkan bahwa masih terdapat 49 juta UMKM yang belum bankable di Indonesia, mereka membutuhkan akses terhadap pinjaman. Mereka adalah salah satu pangsa pasar yang sangat mungkin digarap pemain P2P Lending di Indonesia.

Permasalahan di Indonesia terkait pemerataan akses dan ketersediaan layanan pembiayaan masih cukup signifikan, 60 persen masih terkonsentrasi di Jawa. P2P Lending diharapkan dapat memutuskan gap tersebut, dengan medium digital yang memungkinkan untuk dapat diakses di mana saja, sesuai dengan tingkatan kebutuhan masyarakat.

“Upaya yang dilakukan oleh perusahaan P2P Lending di Indonesia dalam memberikan solusi cepat bagi konsumen akan maksimal bila diimbangi dengan syarat dan ketentuan dari regulator untuk memastikan ekosistem yang sehat. Oleh karena itu, diperlukan kelembagaan yang kuat dan terkoordinasi untuk membina dan mengawasi industri ini sehingga P2P Lending di Indonesia dapat berkembang dengan baik,” ujar Ketua Bidang P2P Lending Asosiasi Fintech Reynold Wijaya.

[Baca Juga: Perjalanan Panjang Rancangan POJK tentang Fintech Lending]

Secara umum Asosiasi Fintech menegaskan bahwa peran pemerintah sangat besar dalam memastikan perkembangan bisnis finansial berbasis teknologi. Perlu diregulasi dan diawasi secara serius karena sangat riskan. Dalam Asosiasi sendiri saat ini sudah tergabung 70 perusahaan di berbagai sektor, 18 di antaranya telah dan tengah bersiap memproses izin sesuai dengan regulasi yang telah diterbitkan.

Pinjam Resmi Kantongi Izin Pergadaian dari OJK

Startup financial technology (fintech) Pinjam yang selama ini mengembangkan platform digital untuk membantu pelanggan mengatasi kebutuhan dana cepat, pertengahan bulan Februari 2017 lalu telah resmi mengantongi izin sebagai perusahaan pergadaian. Proses ini sendiri sebelumnya telah melalui pengecekan yang cukup ketat oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai regulator.

“Selama tiga bulan terakhir kami dari Pinjam telah memberikan semua keperluan kepada OJK agar bisa mendapatkan ijin untuk pergadaian. Dengan ijin tersebut diharapkan bisa mendorong kepercayaan masyarakat untuk memanfaatkan layanan melalui platform Pinjam,” kata Co-Founder Pinjam Indonesia Teguh B. Ariwibowo kepada DailySocial.

Tidak ada yang berubah dari layanan yang ditawarkan Pinjam dalam hal pergadaian. Sebagai startup yang menyasar industri layanan keuangan, izin tersebut merupakan hal krusial untuk melancarkan bisnis.

“Selain untuk memberikan kepercayaan kepada pengguna, izin tersebut juga diharapkan bisa berguna untuk stakeholder, pendanaan, serta instansi terkait yang berniat untuk melakukan kerja sama dengan Pinjam, dan semakin yakin dengan perizinan yang sudah kami miliki di bawah pengawasan OJK,” kata Teguh.

Layanan gadai di situs Pinjam saat ini sudah bisa dinikmati dengan tarif biaya pinjaman 0.1% per hari atau 0,7% per minggu. Meskipun layanan Gadai saat ini untuk berbagai kalangan, namun secara khusus Pinjam menawarkan kesempatan pelaku UKM yang membutuhkan modal cepat dengan maksimal tempo selambat-lambatnya 3 bulan.

Layanan P2P lending dan target Pinjam tahun 2017

Selain menghadirkan layanan Gadai, tahun ini Pinjam bakal meluncurkan layanan P2P lending. Untuk meloloskan rencana tersebut, Pinjam masih terus mengembangkan layanan yang rencananya akan diluncurkan pada kuartal kedua atau kuartal ketiga tahun 2017. Pinjam juga berencana untuk mendaftarkan layanan tersebut kepada OJK sebagai regulator.

“Kami sedang mencari celah bukan hanya Gadai namun juga micro lending untuk bisa memberikan layanan terbaik kepada pasar. Dengan alasan itulah saat ini kami tengah mempersiapkan proses pendaftaran P2P lending kepada OJK,” kata Teguh.

Sebagai layanan fintech, Pinjam berharap bisa tetap konsisten dan eksis sebagai startup teknologi, sekaligus mentaati peraturan pemerintah dengan mengikuti prosedur dan ketentuan yang ada.

“Dengan terdaftarnya Pinjam dan diawasi oleh OJK, kami ingin menunjukkan bahwa Pinjam ingin memberikan layanan lebih baik kepada pengguna dan Pinjam bisa menjadi startup yang dipercaya, dan tentunya bisa mendorong bisnis atau industri secara keseluruhan,” tutup Teguh.

Hal-hal Pendukung Transformasi Industri “P2P Lending”

Salah satu sektor bisnis digital yang menarik perhatian di Indonesia adalah sektor teknologi finansial (fintech). Dengan teknologi dan isu yang coba dipecahkan sektor teknologi finansial membawa sejumlah daya tarik masing-masing. Tak hanya pelaku usaha, masyarakat dan pemerintah pun mulai melirik bisnis ini sebagai bisnis yang berpotensi dan perlu dukungan dalam bentuk regulasi. Salah satu yang ramai diperbincangkan dalam kurun waktu satu terakhir adalah sektor peer to peer lending.

Hadirnya layanan peer to peer lending di Indonesia dipercaya memudahkan masyarakat berinvestasi dan mendapatkan pinjaman dengan mudah. Berikut adalah beberapa hal yang akan membantu transformasi bisnis P2P lending.

Menawarkan beberapa produk pinjaman

Bisnis tergolong baru di Indonesia. Meski demikian pertumbuhan bisnis ini cukup subur, tercatat ada beberapa startup dengan konsep P2P lending ini bermunculan. Mulai dari Amartha, KoinWorks, Investree, dan lain sebagainya. Pertumbuhan ini mungkin bisa saja semakin cepat jika para penyedia layanan P2P lending ini sudah masuk tahap menambah produk baru. Misalnya pinjaman untuk mahasiswa, pinjaman untuk usaha kecil dan lain sebagainya. Banyaknya pilihan menjadi terobosan berarti bagi bisnis P2P lending.

Kerja sama dengan perbankan

Banyak yang beranggapan industri teknologi finansial akan mampu menjadi pelengkap industri perbankan dengan menyasar pasar yang belum tersentuh industri perbankan. Ada juga yang memiliki pandangan apa yang ditawarkan bisnis teknologi finansial bisa “mengganggu” industri perbankan.

Kasus peer to peer lending bekerja sama dengan pihak perbankan bisa menjadi sesuatu hal yang bisa menguntungkan, baik dalam bentuk teknologi atau pun layanan.

Dukungan dari pemerintah dan inisiatif kebijakan pribadi

Membahas teknologi finansial tak luput dari pembahasan regulasi. Finansial sebagai hal sensitif selain wajib dilindungi dengan teknologi yang aman juga wajib dilindungi dengan kebijakan-kebijakan. Dalam hal ini yang paling berperan dalam kebijakan adalah pemerintah.

Mau tidak mau, jika pemerintah ingin segera mengakselerasi industri teknologi finansial dibutuhkan kebijakan proaktif. Demikian juga dari penyedia layanan itu sendiri. Dengan mendorong pembuatan kebijakan yang sesuai dan bersifat “mengamankan” penggunanya, bisnis bisa meyakinkan dan menarik banyak pengguna.

Mekar dan Komida Bekerja Sama Perluas Sumber Pendanaan Usaha bagi Perempuan

Baru-baru ini platform P2P Lending milik Putera Sampoerna Foundation Mekar dan Koperasi Mitra Dhuafa (Komida) telah menandatangani perjanjian tentang pinjaman online. Lewat teken kerja sama ini, keduanya membuka peluang bagi pemodal untuk memberikan pinjaman kepada kaum perempuan yang berada di area pedesaan dalam memenuhi kebutuhannya terhadap likuiditas sebagai modal usaha.

Mekar (PT Sampoerna Wirausaha) adalah platform P2P Lending yang sahamnya dimiliki Putera Sampoerna Foundation, Michelle Sampoerna, Michael Sampoerna dan Putera Sampoerna. Mekar didirikan sejak 2010 silam, awalnya adalah situs donasi, namun pivot menjadi layanan P2P Lending.

Sementara itu, Komida adalah koperasi pendana terbesar di Indonesia dari usaha kecil yang dijalankan oleh kelompok ibu rumah tangga, telah beroperasi sejak 2004. Anggotanya mencapai 375 ribu orang dengan jaringan 150 kantor di seluruh Indonesia. Secara historis, tingkat pengembalian anggota Komida sangat baik, lebih dari 99% di antara mereka membayar tepat waktu.

“Selama ini Komida telah terbukti memiliki program yang fantastis untuk membiayai kaum perempuan di area pedesaan yang memiliki usaha kecil. Lebih dari 99% anggota membayar tepat waktu,” ujar CEO Mekar Thierry Sanders dalam keterangan resmi yang diterima DailySocial.

Dalam lingkup kerjanya, Komida akan lakukan seleksi, melakukan pembinaan dan pelatihan, serta memberi pendanaan (atau pinjaman) bagi kaum perempuan. Pinjaman ini akan ditampilkan secara online di platform Mekar. Pemodal dengan akses internet dan memiliki rekening bank atau tabungan dapat mengakses Mekar untuk memilih dan mendanai usaha kecil, sekaligus berinvestasi.

Ketua Komida Slamet Riyadi dan CEO Mekar Thierry Sanders / Mekar
Ketua Komida Slamet Riyadi dan CEO Mekar Thierry Sanders / Mekar

Adapun imbal hasil yang ditawarkan rata-rata adalah 10% per tahun, hampir dua kali lipat bila dibandingkan dengan bunga deposito di bank. Mekar berkomitmen akan terus menambahkan sekitar 100 pinjaman usaha kecil baru di platformnya setiap minggu untuk pemodal investasikan.

Komida dan Mekar memiliki cadangan untuk menjamin pinjaman yang diinvestasikan oleh pemodal. Pinjaman yang tersedia berkisar antara Rp3 juta hingga Rp25 juta. Sejauh ini dengan mengadopsi sistem Grameen Bank, Komida telah memberi pinjaman lebih dari Rp2,5 triliun kepada anggotanya.

“Kemitraan dengan Mekar akhirnya akan menyatukan kaum perempuan di kelas menengah yang benar-benar membutuhkan pembiayaan untuk mengembangkan usaha mereka sehingga dapat menyokong keluarganya masing-masing,” kata Ketua Komida Slamet Riyadi.

Kemitraan dengan Mekar, juga memungkinkan Komida untuk meningkatkan pendanaan sekaligus mengurangi biaya pendanaan, yang (umumnya) didapatkan dari sumber dana lainnya atau bank.

Bagi Mekar, kemitraan ini jadi langkah perusahaan untuk memasuki jaringan yang lebih besar untuk merangkul lebih banyak UKM Indonesia. Pasalnya, UKM yang dimiliki dan dijalankan oleh kaum perempuan adalah pergerakan yang kuat di Indonesia.

Unit pembiayaan Bank Dunia, International Finance Corporation (IFC) dalam laporannya di 2016 menyebut bahwa sebanyak 51% UKM Indonesia dimiliki dan digerakkan oleh perempuan.

Selain itu, lebih banyak pengusaha perempuan sekitar 44% dari total pengusaha di Indonesia yang membutuhkan pendanaan dengan cara meminjam dana tunai untuk bisnis mereka.

Ke depannya, Mekar akan melakukan kemitraan dengan lembaga keuangan lainnya, sehingga pemodal akan memiliki sektor bisnis yang beragam untuk dibiayai.

OJK Siapkan Aturan Turunan POJK P2P Lending “Off Balance Sheet”

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) saat ini tengah menyiapkan aturan turunan dari POJK No.77/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi (LPMUBTI), ditargetkan aturan ini bisa segera diterbitkan dalam kurun waktu kuartal I 2017.

Aturan tersebut nantinya akan berbentuk surat edaran (SE). Ada beberapa aturan yang bakal diterbitkan, diantaranya tentang pemberian pinjaman, perubahan batas maksimal pinjaman, kerja sama fintech, tata kelola teknologi informasi, tanda tangan elektronik, dan lainnya.

[Baca juga: OJK Segera Terbitkan Aturan untuk P2P Lending “On Balance Sheet”]

“Berbagai rancangan aturan turunan masih dalam tahap finalisasi, kami usahakan terbit pada kuartal pertama tahun ini,” kata Deputi Komisioner Pengawas IKNB OJK Dumoly F Pardede.

Aturan mengenai batas maksimal pinjaman, sebelumnya telah diatur dalam POJK Nomor 77/2016 Pasal 6. Di sana disebutkan ketentuan batas maksimum total pemberian pinjaman dana kepada setiap penerima pinjaman adalah Rp 2 miliar.

Masih di pasal yang sama, di ayat 3 menyebutkan OJK dapat melakukan peninjauan kembali atas batas maksimum total pemberian pinjaman.

Mengenai hal tersebut, dihubungi terpisah Founder dan CEO Modalku Reynold Wijaya memberikan usulannya. Menurut dia, untuk aturan besaran pemberian pinjaman sebaiknya tidak diberikan limit, tujuannya agar pertumbuhan industri bisa lari lebih cepat.

“Terlebih saya melihat bila tidak dikasih limit, sebenarnya tidak ada efek negatifnya. Saya pribadi lebih setuju bila tidak ada limit pinjaman,” kata Reynold.

Pemain didorong penuhi batas kepemilikan asing

Tak hanya itu, OJK juga akan mendorong pemain P2P Lending “off balance sheet” untuk memenuhi sesuai ketentuan terkait batas maksimal kepemilikan asing. Dorongan ini nantinya juga akan direalisasikan dalam bentuk SE.

Aturan ini termuat dalam Pasal 3, menyatakan kepemilikan saham penyelenggara oleh warga negara asing atau badan hukum asing secara langsung maupun tidak paling banyak adalah 85%.

Dumoly menyatakan, mengenai hal ini regulator masih dalam tahap melakukan klasifikasi dan identifikasi 157 perusahaan fintech yang sudah tercatat di OJK untuk mengetahui jenis usaha yang dijalankan, besaran modal, serta kepemilikan perusahaan.

“Ketika mendaftar pemain fintech masih menggunakan nama perusahaan, jadi belum terungkap. Akan tetapi, kami perkirakan sekitar 50% perusahaan fintech masih 100% dikuasai asing,” katanya.

Nantinya setelah proses identifikasi selesai dilakukan, apabila OJK menemukan perusahaan fintech dengan ketentuan di ambang batas, maka regulator akan mendorong pemain untuk segera melakukan penyesuaian.

Hanya saja, regulator akan memberikan tenggat waktu untuk melakukan penyesuaian selama satu hingga dua tahun. Hal ini dilakukan agar pertumbuhan industri tetap terjaga.

“Tidak bisa kita minta langsung turunkan [kepemilikan sahamnya], nanti tidak baik untuk industri. Rencananya kami akan terbitkan surat edarannya berkaitan dengan hal tersebut,” pungkas Dumoly.

OJK Segera Terbitkan Aturan untuk P2P Lending “On Balance Sheet”

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) saat ini sedang menggodok aturan baru untuk subsektor fintech lainnya. Setelah pada akhir tahun lalu menerbitkan POJK Nomor 77/POJK.01/2016 untuk mengatur bisnis fintech peer to peer lending (P2P lending) yang bergerak di off balance sheet, kini OJK bakal menerbitkan aturan serupa untuk yang bergerak di on balance sheet.

Kepala Eksekutif Pengawasan IKNB OJK Firdaus Djaelani menjelaskan, regulator mempertimbangkan penerbitan aturan ini bertujuan agar perusahaan fintech P2P lending yang bergerak di on balance sheet tidak bertabrakan dengan industri perbankan dan pembiayaan.

Pasalnya, ketiganya memiliki kemiripan bisnis dan tujuan yang sama yakni meningkatkan likuiditas di masyarakat, hanya saja cara yang dilakukan berbeda. Nantinya, dalam aturan tersebut akan mengatur ketentuan gearing ratio, syarat permodalan, model bisnis, dan lainnya.

Gearing ratio adalah jumlah pinjaman dibandingkan modal sendiri perusahaan. Aturan ini dipakai dalam industri pembiayaan dan diatur dalam PMK No.84/2006, ketentuannya gearing ratio dibatasi maksimal 10 kali.

Sebagai ilustrasi, perusahaan bermodal Rp 100 miliar dapat memperoleh pinjaman atau utang sebagai sumber pendanaan untuk menyalurkan pembiayaan maksimal 10 kali dari modal, yakni Rp1 triliun.

“Mereka itu [P2P lending on balance sheet] seperti multifinance dengan skala kecil. Nanti dalam aturannya, tidak akan kami buat seketat multifinance ataupun perbankan karena mereka itu bukan deposit taking (ambil dana dari masyarakat). Tapi harus tetap ada aturan gearing ratio-nya,” terang dia, Selasa (14/2).

Firdaus menganjurkan, sebelum aturan ini terbit, sebaiknya para perusahaan fintech P2P lending on balance sheet yang sudah beroperasi untuk tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian demi perlindungan konsumen.

Tak hanya itu, regulator pun nantinya akan mengidentifikasi identitas perusahaan P2P lending itu sendiri, jangan sampai mereka bergerak di ranah deposit taking. Sebab, ranah tersebut hanya ada di perbankan saja.

“OJK akan diskusi lebih dalam berbicara dengan perbankan dan pembiayaan, mereka [P2P lending on balance sheet] itu sebenarnya ada di segmen mana. Jangan sampai ada segmentasi, sebab dikhawatirkan terjadi persaingan yang tidak sehat,” tambah Deputi Komisioner Pengawas IKNB II OJK Dumoly F. Pardede.

Dumoly memperkirakan agar perusahaan P2P lending on balance sheet tidak bertabrakan dengan perbankan ataupun pembiayaan, mereka harus bergerak ke segmen medium ke bawah sehingga batasan pinjamannya pun bakal dibatasi.

Sebagai gambaran, beberapa pemain P2P lending on balance sheet yang mulai dikenal masyarakat diantaranya adalah UangTeman. Perusahaan ini telah menyalurkan pinjaman sebesar Rp 35 miliar pada tahun lalu. Tahun ini UangTeman menargetkan penyaluran pinjaman sebesar Rp 100 miliar, caranya dengan ekspansi ke daerah baru, misalnya Bali.

Ada 600 layanan fintech beroperasi di seluruh Indonesia

OJK mencatat sampai saat ini terdapat 600 perusahaan fintech (dalam artian luas) yang beroperasi di Indonesia. Dari jumlah tersebut, baru 157 perusahaan yang melaporkan kegiatannya ke OJK. Dari 157 perusahaan, diperkirakan hanya 120 perusahaan fintech yang lolos sesuai dengan persyaratan dalam POJK Nomor 77/POJK.01/2016.

“Dari jumlah tersebut, baru 157 fintech yang mendaftar ke OJK. Mereka belum diberikan pengesahan izin pendaftaran karena kami masih identifikasi mana yang masuk POJK Nomor 77 mana yang tidak,” kata Dumoly.

Dumoly bilang, proses klasifikasi sudah dilakukan sejak tahun lalu. Dari proses tersebut, diketahui hampir separuh dari pemegang saham perusahaan fintech dikuasai oleh pemilik asing.

Padahal, dalam POJK Nomor 77, aturan kepemilikan saham asing hanya boleh menguasai maksimal 85%. Menanggapi hal tersebut, menurut Domoly, nantinya regulator akan memberi waktu selama satu tahun untuk memenuhi sesuai ketentuan.

Investree dan Bank Woori Saudara Resmikan Kemitraan

Dalam rangka memberdayakan industri UKM lebih luas, platform P2P lending PT Investre Radhika Jaya (Investree) dan PT Bank Woori Saudara Indonesia 1906 Tbk menjalin kemitraan bisnis. Kolaborasi ini akan memudahkan nasabah Bank Woori Saudara (BWS) yang belum terjangkau dalam kategori layak kredit, baik karyawan maupun badan usaha yang membutuhkan dana cepat ataupun yang belum memenuhi syarat perbankan, akan diarahkan ke platform Investree sebagai alternatif mendapatkan pinjaman. Kerja sama ini akan dilakukan pada Februari 2017 mendatang dengan memilih kota Jakarta dan Bandung sebagai pilot project-nya.

Tak hanya itu, nasabah prioritas dan deposan BWS juga akan ditawarkan menjadi pihak peminjam (lender) untuk menginvestasikan uangnya di Investree.

Bentuk kerja sama seperti ini memungkinkan, pasalnya sudah diterangkan dalam POJK Nomor 77/POJK.01/2016 tentang layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi. Dalam aturan tersebut, disebutkan maksimal pinjaman yang bisa diberikan dari peminjam sebesar Rp 2 miliar.

Dalam catatan Investree, imbal hasil (return) yang diperoleh peminjam sepanjang tahun lalu rata-rata sebesar 17,4%. Angka ini jauh lebih besar dibandingkan rata-rata suku bunga deposito di kisaran 6%.

“Bank tidak bisa jadi lender di Investree karena ini kan model bisnisnya P2P. Jadinya yang paling memungkinkan adalah menjangkau nasabah prioritas dan deposan BWS untuk berinvestasi di Investree sebagai alternatif,” terang Direktur Bisnis UKM & Konsumer BWS Denny Novisar Mahmuradi, Selasa (24/1).

Kolaborasi yang diklaim pertama kali di Indonesia ini, menjadi peluang bagi kedua belah pihak untuk saling berkontribusi memperluas jangkauan nasabah serta meningkatkan inklusi keuangan di Tanah Air. Baik Investree dan BWS sama-sama memiliki fokus bisnis yang sama, yakni UKM dan ritel.

Dalam portofolio pinjaman Investree sepanjang tahun lalu, hampir 95% dari total pinjaman berasal dari UKM. Begitupun BWS, dari total penyaluran kredit porsi dari ritel mencapai 60% dan sisanya dari kredit korporasi 40%.

“Karena kesamaan fokus ini, jadi menimbulkan sinergi yang positif, sekaligus percepatan bisnis bagi kedua belah pihak. BWS sebagai bank swasta multinasional sangat membantu kami menyebarluaskan kemudahan berinvestasi dan mendapatkan pinjaman lewat fintech maupun P2P yang dapat diakses di mana saja,” tutur Co-Founder dan CEO Investree Adrian A Gunadi.

Bagi Investree, kerja sama ini dapat mendorong target penyaluran pinjaman lebih tinggi dari tahun sebelumnya. Tahun lalu, Investree telah menyalurkan pinjaman Rp 53,7 miliar, dengan pinjaman lunas terbayarkan sebesar Rp 45 miliar. Bila dirinci, rata-rata pinjaman UKM sekitar Rp300 juta sementara pinjaman karyawan sekitar Rp10 juta.

Adrian menargetkan dengan adanya tambahan kerja sama ini, diharapkan sampai pertengahan 2017 jumlah pinjaman bisa menembus angka Rp100 miliar dan dapat menutup tahun ini di angka Rp200 miliar. Adapun salah satu strateginya yakni dengan menggandeng bank lainnya, aset manajemen, supply chain, dan e-commerce.

“Kami menganut open platform, jadinya memungkinkan berbagai kerja sama bisa terjalin. Terlebih POJK P2P lending sudah terbit, menjadikan landasan hukum kami bisa lebih jelas dan kuat.”

Tambah kerja dengan P2P lending lainnya

Tahun ini menjadi momentum bagi BWS untuk memulai kolaborasi bisnis dengan perusahaan fintech P2P lending. Selain Investree, BWS berencana akan menambah dua perusahaan P2P lending lainnya sepanjang tahun ini.

Hal ini menjadi salah satu bentuk upaya perusahaan dalam meningkatkan pendapatan non bunga (fee based income) dapat tumbuh 25% dibandingkan perolehan di tahun lalu sekitar Rp160 miliar. Menurut Denny, kontribusi fee based income tahun lalu dikontribusikan oleh trade finance, kemudian diikuti bank garansi, dan bancassurance.

“Biasanya untuk fee yang kami terima dari kerja sama bancassurance sekitar 2%-3% per transaksi, kalau untuk fintech kemungkinan bisa di bawah 1%. Secara persentase memang kecil, tapi volume akan sangat banyak,” terang Denny.

Selain itu, BWS juga akan berhenti ekspansi pembukaan kantor cabang untuk mendukung fokus perusahaan yang akan mengarah ke digitalisasi. Saat ini BWS telah memiliki 140 kantor cabang yang tersebar dari Palembang hingga Denpasar.

“Seiring terjadinya tren penurunan kunjungan nasabah ke kantor cabang akibat pergeseran gaya hidup ke digital. Kami memutuskan untuk berhenti ekspansi kantor cabang, investasinya cukup besar dan bakal terjadi biaya overhead,” pungkasnya.

Layanan P2P Lending Crowdo Luncurkan Fasilitas Pembelian Mobil untuk Perorangan dan Perusahaan

Startup asal Singapura penyedia layanan pinjaman peer-to-peer (P2P), Crowdo sejak akhir November 2016 lalu telah meluncurkan layanan terbaru untuk masyarakat Indonesia, yaitu pembelian mobil dengan pinjaman P2P. Layanan terbaru yang secara khusus menargetkan kalangan millennial ini, merupakan pilihan baru yang ditawarkan oleh Crowdo sebagai layanan finansial ‘one stop service‘ di tanah air.

“Targetnya adalah masyarakat Indonesia usia produktif itulah yang kemudian kami incar untuk menjadi debitur Crowdo yang ingin memiliki aset dalam hal ini adalah mobil,” kata Senior Business Development Lead Crowdo Cally Alexandra kepada DailySocial.

“Kami membuka kesempatan untuk kalangan perorangan atau perusahaan yang ingin memiliki aset dalam hal ini mobil operasional perusahaan,” lanjutnya.

Lancarkan akuisisi kreditur dan debitur

Jelang akhir tahun 2016 Crowdo mengklaim telah memiliki 1200 debitur di seluruh indonesia dan 20 ribu kreditur secara global. Untuk kreditur lokal, Crowdo mencatat telah memiliki sekitar 5 ribuan kreditur di Crowdo.

“Hingga kini kami masih aktif melakukan pertemuan dengan calon debitur dan calon kreditur agar bisa mengakuisisi lebih banyak lagi investor dan peminjam yang potensial di Crowdo,” kata Cally.

Di Indonesia, Crowdo terdaftar dengan nama PT Mediator Komunitas Indonesia. Terkait rencana pemerintah yang segera merilis Rancangan POJK tentang Fintech Lending, Crowdo dalam hal ini menyambut baik regulasi tersebut. Alasan utama adalah untuk meyakinkan kepada kreditur bahwa Crowdo adalah perusahaan finansial yang valid dan terpercaya menuruti peraturan yang ditetapkan oleh regulator, dalam hal ini OJK.

“Diharapkan tahun depan OJK sudah bisa mengeluarkan peraturan tersebut. Dalam hal ini Crowdo butuh peraturan dari OJK untuk mendukung bisnis kami sekaligus meyakinkan calon kreditur dan debitur,” kata Cally.

Saat ini Crowdo hanya bisa diakses melalui web, namun rencananya awal tahun 2017 aplikasi mobile di platform Android dan iOS akan segera dirilis untuk memudahkan kreditur memilih portofolio calon debitur yang tepat dan memudahkan debitur mengajukan pinjaman.

“Tentunya di tahun 2017 Crowdo berharap bisa menambah jumlah kreditur sekaligus debitur yang berkualitas agar bisa membantu kalangan pengusaha yang baru merintis usaha dan juga pelaku usaha yang berencana untuk mengembangkan usahanya melalui pinjaman peer-to-peer Crowdo,” tutup Cally.

KoinWorks Berharap Peroleh Pendanaan Lanjutan dan Perluas Wilayah Layanan Tahun Depan

Menjelang akhir tahun 2016 layanan peer-to-peer lending KoinWorks mengklaim telah mengalami peningkatan dari jumlah lender dan borrower. Startup yang didirikan bulan Maret 2016 ini telah memiliki sekitar 3000 lender dan 80 borrower yang telah melalui proses penyaringan hingga bulan Desember 2016.

“Jumlah borrower yang mendaftarkan sudah cukup banyak jumlahnya sekitar 7 ribu, namun kami ingin memastikan borrower sesuai dengan kategori dan tentunya standar dari KoinWorks,” kata Co-Founder KoinWorks Benedicto Haryono kepada DailySocial.

Sepanjang tahun 2016 Koinworks fokus mencari borrower dari mitra yang kebanyakan adalah merchant layanan e-commerce. Potensi layanan peer-to-peer lending tidak hanya dimanfaatkan pelaku UKM, tetapi juga kalangan individu yang membutuhkan dana untuk edukasi dan kebutuhan lainnya.

“Selama menjalankan usaha kami banyak menerima borrower yang membutuhkan dana untuk kuliah atau melanjutkan studi. Ke depannya kami akan terus menerima kategori borrower tersebut,” kata Benedicto.

Uji coba perluasan wilayah layanan

Sepanjang tahun 2016 ini KoinWorks masih memasuki tahap promosi dan awareness kepada calon lender dan borrower. Dari proses perkenalan tersebut KoinWorks telah mendapatkan gambaran, produk, dan fitur apa yang ideal untuk masyarakat di Indonesia.

“Kami cukup surprise ternyata sejak Agustus, ketika KoinWorks mulai dipromosikan kepada publik, mendapatkan sambutan baik dari lender dan borrower, terutama di kawasan Jabodetabek,” kata Benedicto.

Hingga kini Koinworks masih enggan untuk melakukan ekspansi di luar pulau Jawa, meskipun sudah banyak menerima banyak permintaan dari masyarakat Indonesia yang tinggal di luar Pulau Jawa.

Terkait merchant dari mitra yang berasal dari Surabaya, Malang, Purwokerto hingga Kediri, KoinWorks masih melakukan uji coba untuk kemudian menentukan apakah pinjaman bisa diberikan atau tidak.

“Kita saat ini masih melakukan kontrol untuk wilayah di luar pulau Jawa dan keuntungan kami bermitra dengan layanan e-commerce besar, seperti Lazada, sudah bisa dipastikan merchant atau calon lender tersebut sudah divalidasi,” kata Benedicto.

Sejak awal Koinworks mengklaim model bisnis yang diterapkan adalah sepenuhnya mengandalkan kemitraan dengan pihak terkait yang terbilang sudah memiliki nama dan kredibilitas yang baik terutama dari kalangan pemain e-commerce.

Rencana KoinWorks tahun depan dan pendanaan Pra-Seri A di Q1 2017

Tahun 2017 mendatang KoinWorks ingin memasuki ke tahap scaling up, terutama dalam hal penambahan lender dan proses penyaringan yang ketat dengan calon borrower. Sedikitnya 3 borrower telah berhasil melunasi pinjaman dengan lender di KoinWorks. Semua kisah sukses proses peminjaman di Koinworks kemudian dikumpulkan menjadi Borrower Story oleh Koinworks.

“Kami ingin memastikan pinjaman yang telah didapatkan oleh borrower memiliki impact yang positif untuk para borrower kami dan bukan sifatnya finansial saja. Jadi bukan hanya meminjam uang saja namun tidak membuahkan hasil yang positif,” kata Benedicto.

KoinWorks juga berencana menggalang dana segar untuk tahap pendanaan Pra-Seri A dan Seri A dari investor lokal. Masih dalam tahap perbincangan dan negosiasi,  jika sesuai dengan rencana dana segar akan didapatkan kuartal pertama tahun 2017 hingga akhir tahun 2017 mendatang.

“Saat ini kita sudah pre-seed round dan sekarang sedang diskusi untuk second seed round jadi Pre-Series A. Nantinya dana tersebut akan kita gunakan untuk pengembangan produk dan akuisisi lender serta borrower,” kata Benedicto.