Dua Tahun QRIS: Ragam Tantangan Adopsi pada Startup F&B

Beberapa waktu lalu, DailySocial menerbitkan artikel berseri berdasarkan mini survey dengan topik besar QRIS yang mengambil sudut pandang konsumen secara umum dan pengalaman bertransaksi melalui aplikasi keuangan digital. Keduanya telah kami publikasi dalam dua tulisan berbeda, yakni bagian pertama dan bagian kedua.

Melanjutkan seri tulisan sebelumnya, kali ini DailySocial mencoba memvalidasi sejumlah anggapan responden yang mengkaitkan merchant sebagai salah satu hambatan adopsi QRIS di Indonesia. Sekali lagi, mini survey yang kami lakukan beberapa waktu lalu hanya mewakili sebagian kecil fakta dan tantangan yang ada. Tulisan ini menjadi salah satu upaya kami menjembatani isu di lapangan kepada para pemangku kepentingan (stakeholder).

Kami memvalidasi hasil mini survey ini dengan mewawancarai beberapa startup F&B di Indonesia, antara lain Kopi Kenangan, Hangry, dan Livera, terkait pandangan mereka dalam mengadopsi QRIS pada gerai yang mereka miliki.

Customer dan Merchant Presented Mode

Sedikit penyegaran, dua tahun pasca-meluncur, nilai transaksi Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) telah mencapai sebesar Rp9 triliun di semester I 2021 atau tumbuh 214% secara tahunan (YoY). Bank Indonesia (BI) juga mencatat  sebanyak 8,2 juta merchant di Indonesia yang sudah mengadopsi QRIS. Jumlah tersebut telah bertambah sekitar 3 juta sejak akhir 2020.

Dengan pencapaian ini, BI berupaya untuk terus meningkatkan adopsi QRIS ke seluruh lapisan masyarakat di Indonesia. Terlebih melihat situasi pandemi Covid-19 yang belum berakhir, ekspektasi untuk bertransaksi secara nontunai (cashless) masih akan tetap ada.

Salah satu upaya BI adalah merilis fitur Customer Presented Mode untuk mempermudah penggunaan QRIS dalam waktu dekat. Customer Presented Mode memungkinkan kasir merchant untuk memindai (scan) QRIS milik pengguna ponsel. Merchant akan disediakan alat scanner dari penyedia pembayaran.

Sebaliknya, Merchant Presented Mode yang biasa kita gunakan untuk bertransaksi memampukan transaksi dengan memindai QRIS di merchant dan menyelesaikan transaksi lewat aplikasi pembayaran yang diinginkan. Sebelum QRIS meluncur, pengguna harus memasukkan nomor telepon pada masing-masing EDC milik penyedia jasa pembayaran.

“Dalam waktu dekat, kami juga akan segera meluncurkan fitur Customer Presented Mode karena sekarang kita baru ada Merchant Presented Mode. Kami juga sedang piloting transaksi QRIS untuk cross border, baik inbound maupun dan outbound,” ungkap Asisten Gubernur dan Kepala Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran Bank Indonesia Filianingsih Hendarta beberapa waktu lalu.

Memvalidasi isu adopsi QRIS pada merchant

Berdasarkan hasil mini survey QRIS, kami merangkum beberapa alasan utama responden yang belum bertransaksi dengan metode QRIS. Pertama, responden menilai merchant hanya menjadikan QRIS sebagai ‘pajangan’ saja alias kurang diutilisasi sebagaimana mestinya. Kedua, QRIS sudah tersedia, tetapi belum diaktifkan merchant.

Ketiga, petugas atau kasir kurang memahami cara memproses transaksi dengan QRIS. Keempat, QRIS terlalu banyak di-display di gerai karena setiap penyedia jasa pembayaran punya QRIS sendiri-sendiri. Terakhir, ketersediaan QRIS di merchant masih terbatas.

Kami telah mencoba memvalidasi hal-hal di atas dengan mengumpulkan perspektif lebih luas dari berbagai startup F&B. Namun, baru Kopi Kenangan, Hangry, dan Livera yang bersedia mengungkap perspektif dalam mengimplementasi QRIS. Tantangan yang mereka alami pun cukup berbeda mengingat Kopi Kenangan bertumpu pada gerai fisik, sedangkan Hangry dan Livera mengandalkan cloud kitchen.

Ilustrasi penggunaan QRIS pada platform pembayaran dompet digital / QRIS.id

Dalam pernyataannya kepada DailySocial, Manajemen Kopi Kenangan mengatakan sebanyak 500 gerai fisik miliknya sudah menerima metode pembayaran berbasis QRIS. Menurut catatannya, volume transaksi Kopi Kenangan dengan metode pembayaran QRIS meningkat 98% terhitung sejak Mei 2020 hingga Agustus 2021. Pertumbuhan ini sejalan dengan peningkatan awareness publik terhadap metode pembayaran QRIS.

Pihaknya menampik anggapan kasir kurang memahami penggunaan QRIS. Pasalnya, Kopi Kenangan menyebut selalu memberikan edukasi kepada staf terkait tata cara penggunaan QRIS. Biasanya, staf di gerai menanyakan pilihan metode pembayaran yang diinginkan oleh pelanggan dan promosinya.

“Sejauh ini tantangan utama yang kami rasakan adalah ketidakstabilan koneksi internet. Hal ini menyulitkan proses transaksi QRIS. Terkadang barcode tidak muncul, atau muncul tetapi tidak dapat di-scan,” ungkap Manajemen Kopi Kenangan.

Sementara itu, COO Hangry Andreas Resha mengaku belum menghadapi kendala krusial ketika staf merchant-nya memproses transaksi QRIS. Pasalnya, transaksi pemesanan di Hangry kebanyakan menggunakan metode delivery ketimbang take away.

“Kami tidak punya angka persis, tetapi kami memang melihat ada penurunan sejak pandemi, terlebih dengan semakin banyaknya masyarakat yang berkegiatan di rumah. Maka itu, metode delivery yang tidak menggunakan QRIS lebih banyak digunakan dibandingkan metode takeaway,” ujarnya.

Saat ini, Hangry telah mengimplementasi metode pembayaran QRIS di 49 outlet yang tersebar di daerah Jabodetabek dan Bandung. Andreas mengaku bahwa pihaknya kini tengah menyiapkan konsep restoran dine-in yang akan dibuka dalam waktu dekat dan akan menyertakan metode pembayaran QRIS juga.

Dari perspektif berbeda, Founder dan CEO Livera Marcello Judhandoyo menilai bahwa adopsi QRIS tampaknya kurang terutilisasi bagi pelaku bisnis F&B yang menggunakan cloud kitchen. Pasalnya, uang transaksi pembelian makanan/minuman lewat platform ride-hailing langsung otomatis masuk ke merchant. 

Sedikit informasi, cloud kitchen merupakan sebuah istilah yang dipakai pada restoran yang tidak menyediakan layanan makan di tempat (dine in), tetapi hanya memiliki opsi jasa pengiriman makanan (delivery) dan ambil di tempat (takeaway).

“Kalau bicara soal adopsi QRIS di bisnis F&B yang pakai cloud kitchen sebetulnya kurang optimal. Tapi kalau kasusnya pemesanan manual melalui WhatsApp, sebetulnya bisa. Livera menawarkan pembayaran via QRIS dengan mengirimkan barcode kepada konsumen. Sayangnya, dalam kasus ini, kebanyakan konsumen Livera lebih prefer metode transfer. Padahal, QRIS jauh lebih mudah lho, konsumen tidak perlu repot menanyakan bank rekening yang digunakan, apalagi harus mendaftarkannya satu-satu di aplikasi mobile banking,” paparnya.

Livera baru memulai bisnis di 2020 di mana operasionalnya baru menggunakan cloud kitchen. Adapun, pemesanan produknya baru dapat dilakukan via delivery di platform Gojek, Grab, dan Tokopedia maupun pemesanan secara manual melalui WhatsApp

Perluasan akses QRIS

Tidak ada yang menyangka dunia akan menghadapi pandemi Covid-19 di mana mobilitas menjadi sangat terbatas. Padahal, beberapa bulan sebelum kebijakan PSBB pertama kali, Pemerintah baru saja meluncurkan QRIS. Momentum ini sebetulnya dapat mendorong adopsi QRIS, bahkan jauh lebih signifikan dari pencapaiannya saat ini.

Di saat yang sama, tren cloud kitchen tengah berkembang di kalangan pelaku usaha F&B untuk menyiasati biaya mencekik dan ketidakpastian bisnis di tengah pandemi. Masyarakat pun memilih untuk bertransaksi lebih cepat dan mudah tanpa perlu bertatap muka dan melakukan sentuhan fisik.

Layanan yang diharapkan mengadopsi QRIS / Sumber: Mini Survey QRIS 2021
Layanan yang diharapkan mengadopsi QRIS / Sumber: Mini Survey QRIS 2021

Langkah Pemerintah memperkenalkan Customer Presented Mode juga bisa  membantu akselerasi adopsi QRIS. Meskipun demikian, jauh lebih penting untuk memperluas implementasinya agar tidak bertumpu pada merchant ritel modern saja. Sebanyak 87,3% responden kami mengharapkan QRIS dapat digunakan pada pedagang kaki lima, pasar (81%), layanan pemerintah (76,2%), dan transportasi publik (68,3%). Ini yang sebetulnya paling dinantikan untuk mengakselerasi adopsi QRIS yang lebih masif.

On the Second Year of QRIS: Revealing the Transaction Experience through “Mobile Banking” and Digital Money

In the first two year, QRIS feature started to show an extraordinary growth in adoption as DailySocial described in the first part of the article. This is validated by Bank Indonesia (BI) data regarding the increase in transactions over the past year.

Aside from transactions, we also saw an increasing enthusiasm from users which highlighted various issues related to QRIS adoption in the field. This issue was revealed through a mini survey we conducted with 65 respondents. Although it does not represent the majority of digital payment service users in Indonesia, this survey is in line with the main spirit, which is to highlight issues to create room for improvement for stakeholders.

In the second part, DailySocial highlights more detailed issues from the user’s perspective, such as product categories that are often purchased to which payment platforms are preferred to make transactions using the QRIS method.

QRIS on the run

In a previous article, one of the challenges of adopting QRIS is the limitations of merchants that accept payments using this method. Unsurprisingly, most of the respondents admitted to make transactions more for food and beverage (95.2%). In other categories, QRIS transactions are also used to purchase basic needs (35.5%), donations (17.7%), and transportation services (11.3%).

Kategori produk yang dibeli dengan metode QRIS / DailySocial
Product categories bought using QRIS / DailySocial

Of the 93.8% of respondents who made transaction using the QR Code method, 33.3% of them spent IDR 50,000-IDR 300,001 for transactions. Moreover, by 22.7% of respondents spent more than Rp1 million, Rp. 500,001-Rp. 1,000,000 (21.2%), Rp300,001-Rp500,000 (18.2%), and under Rp50,000 (4.5%).

Frekuensi transaksi pembayaran dengan QRIS / DailySocial
QRIS-based payment transaction frequency / DailySocial

When QRIS transactions available for broader categories, such as diverse public transportation, street vendors, and markets, the adoption will certainly increase in a rapid way. In fact, many consumers in this segment still making transaction using cash rather than unfamiliar payment methods.

Mobile banking vs digital money

One of the interesting facts we collected from this survey is how users feel more comfortable in making transaction using QRIS method through mobile banking applications (58.1%) rather than digital money (e-money).

Categorized by platform, mobile banking applications (28.8%) still outperform e-money, such as OVO (27.1%), GoPay (25.4%), and ShopeePay (15.25%). And the reason is?

QRIS-based platform for transaction / DailySocial

Based on the elaboration result of a number of respondents, the mobile banking application is automatically connected to savings, therefore, they do not need to top up and incur administrative costs. There is no need to download each e-money applications, let alone top up to multiple platforms (if you use more than one).

What’s interesting is, digital bank is considered to provide a strong reason why QRIS transactions are more popular in mobile banking applications. Respondents stated, the pocket feature in the application makes it easier to allocate a budget that can be devoted to transactions, such as snacks or transportation, without disturbing other budgets.

Meanwhile, other respondents considered that QRIS transactions through e-money offered a value proposition that mobile banking might not have, including payments with points or rewards. For example, the OVO application. In terms of experience, digital wallets are considered superior due to faster login process than mobile banking.

“Another reason is that users are used to e-money. There are also lots of merchants receive QRIS from e-money. In addition, QRIS is more suitable for transactions with a nominal value of under IDR 500 thousand and e-money is considered appropriate for that need,” some respondents said.

Market education

The elaboration seems to be sufficient to answer why as many as 68.8% claimed to obtain information about QRIS from the payment platform they use daily. Meanwhile, 60.9% answered from the merchant where they made transactions. Payment platforms and merchants can be the main vehicle to educate QRIS adoption.

BCA Digital’s CEO, Lanny Budiati said one of the efforts to increase awareness to users is through attractive promos that can only be obtained when making transaction at merchants using the QRIS method. Company data records that around 10% of BCA Digital’s total customers have done transactions using QRIS with a total volume of Rp1 billion since the blu application was released on July 2, 2021.

“We continue to encourage customers to experience the QRIS adoption convenience. We also prepare educational content on various social media channels regarding how to use it and its benefits. Going forward, BCA Digital will continue to encourage the QRIS development based on the roadmap of Bank Indonesia and the Indonesian Payment System Association ( ASPI),” Lanny said to DailySocial.

Meanwhile, Bank Neo Commerce’s President Director, Tjandra Gunawan considered that all kinds of new technologies would take a long time in terms of adoption. He admitted the optimism that QRIS adoption will be absorbed quickly considering the trend of cashless payments has mushroomed in the past year. In addition, more merchants and financial applications are providing the QRIS feature.

“Neo Commerce Bank will be active in providing financial education to the public, not only familiarizing with the QRIS feature, but also a safe and comfortable digital lifestyle,” he told DailySocial.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Mark The Second Year of QRIS Adoption Amidst Indonesia’s Digital Financial Acceleration

Recently, Bank Indonesia (BI) announced the rapid increase of QRIS based payment transactions over the past year. The transaction value has reached Rp 9 trillion in the first semester of 2021 or increased by 214% compared to the same period last year. The increasing number also happened to merchants using QRIS  at 8.2 million. At least, there will be an increase of around 3 million from 6 million merchants at the end of 2020.

In a Digi X webinar held by Infobank, Bank Indonesia’s Assistant Governor and Head of the Payment System Policy Department, Filianingsih Hendarta, said that the Covid-19 pandemic has had a significant booster effect on the acceleration of Indonesia’s digital finance. Aside from the shifting consumer behavior to digital, this acceleration is backed by the players’ collaboration in the digital ecosystem of the banking and non-bank sectors.

“In the near future, we are to launch the Customer Presented Mode feature as we currently have Merchant Presented Mode. We are also piloting QRIS transactions for cross borders, both inbound and outbound,” said the woman familiarly called Fili.

With the unexpected achievement, how is the manifestation of QRIS implementation in the future during this situation, and what kind of efforts are needed to encourage its adoption?

About QRIS

QRIS or Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) is part of Bank Indonesia’s five major initiatives towards the Indonesian Payment System (SPI) 2025.

Towards the Indonesian Payment System (SPI) 2025 / Bank Indonesia

QRIS was developed by Bank Indonesia and the Indonesian Payment System Association (ASPI) to combine various QR codes from various Payment System Service Providers (PJSP) into one QR Code. As a digital payment system, QRIS is designed as a QR Code Standard for server-based electronic money applications, digital wallets, and mobile banking.

Technically, QRIS is available in two types. First, in a static format (print media/stickers, one QR Code for every transaction, QR Code does not have a nominal value, only manual input). Second, dynamic (QR Code through receipts printed by the EDC machine/appears on the monitor, different QR Code for each transaction, QR Code has a nominal payment).

People can make payment at merchants with one QR Code for all platforms. The scenario is, if you can’t buy drinks because the relevant merchant doesn’t accept your payment option, QRIS will enable the merchant to accept every payment from each platform. It will no longer require one EDC machine for one platform. QRIS provides space for the public to make payments regardless of the platform with one QR Code.

Therefore, why do we need QRIS? This technology can expand national non-cash payments acceptance in a more efficient way. Through the use of one standard QR Code, goods and services providers no longer require different types of QR Codes from different publishers.

Long before QRIS was launched, the government had implemented QR Code as a payment option since the middle of 2015. However, PJSP was using QR exclusively at that time. With the growth of smartphone penetration and the opportunity to help the unbanked and underbanked segments, BI decided to create the QR Code standardization.

Another reason is that BI discovers a high success rate in QR as a payment option in several countries, China through Alipay and WeChatPay, and India through PayTm and BharatQR.

Two years after its official launch, QRIS reaped positive achievements–mostly helped by the pandemic. Based on BI’s data, QRIS transaction volume rose 247% in the second quarter of 2021 to 83.85 million transactions. Meanwhile, the transaction value skyrocketed 336% to Rp5.59 trillion compared to the same period last year.

BI mencatat kenaikan transaksi QRIS di masa pandemi / Diolah kembali oleh DailySocial
BI recorded an increase in QRIS transaction in time of pandemic / rewritten by DailySocial

Similar to QRIS, other players and industries in the digital financial ecosystem are also experiencing positive growth due to the pandemic. As Fili said at the webinar, the growth of the digital financial ecosystem (EKD) this year is projected to continue to increase.

Proyeksi Ekosistem Keuangan Digital (EKD) 2021 / Bank Indonesia
Digital Finance Ecosystem (EKD) projection in 2021 / Bank Indonesia

Adoption and Challenges

Considering its premature stage, QRIS’s adoption progress has not been massive. Many consumers find it difficult to use it, especially with today’s society limitations. It is visible from a small survey, involving 65 respondents, conducted online by DailySocial in August 2021.

This survey may not be able to represent the major issues in the field, but respondents provide interesting perspectives as a room for improvement to the stakeholders involved.

First, the transaction challenges using QRIS. Based on respondents’ answers, as many as 65.6% admitted that many merchants are yet to provide QRIS option. Furthermore, around 55.7% said that internet connection may hamper the transactions, and 29.5% of respondents said that the QRIS has a relatively long scanning process.

An interesting fact is that several respondents highlighted how some merchants only used QRIS as a display. They said there are some merchants that provide QRIS, but the cashiers rarely offer it to consumers as they are not familiar with it.

Meanwhile, some respondents admitted that they are not interested in trying QRIS because of its limited availability (60.9%), consumers do not know how to use it (17.4%), the feature is yet to available on the device (13%), and cashiers rarely offer payments with QRIS (4.3%).

From business players perspective, BI has applied some relaxation to the policies to reduce burden on its implementation. Quoting Kontan, BI announced the transaction fee or merchant discount rate (MDR) borne by partners/merchants will be 0.7%. Using QR only costs IDR 35 thousand for one QR code at each merchant.

Merchant expansion

The Covid-19 pandemic has had a positive impact on Indonesia’s digital financial ecosystem. However, the government and stakeholders should ideally not make this a temporary golden moment. There should be bigger room for improvement, therefore, QRIS adoption can consistently increase until the post-Covid era. Moreover, some people are getting used to the digital payment transition,

The remaining information, many respondents expected the QRIS adoption could be expanded and not limited to food and beverage transactions. As many as 87.3% of respondents expect QRIS to be used on street stalls, 81% in markets, 76.2% for government services, and 68.3% for public transportation.

The government also needs to explore how to maximize the QRIS adoption and whether social restriction policy is to continue. With the social restriction in public places, such as shopping centers, how do people suppose to use QRIS while many merchants are not operating. Except for food delivery orders.

As reported by Bisnis, BCA experienced a decline in physical transactions, which affected services using the QRIS method. Meanwhile, based on our respondents’ answers, they began to use QRIS less frequently since the social restriction for the last few months. As many as 20% of respondents admitted that they only make transactions once in 3 months and 2-3 times per month. A total of 16.7% said that they use QRIS for transactions about 2-3 times per week.

DailySocial seeks for Bank Indonesia’s comment regarding the related issues, but no further statement has been made to this point. BI has actually updated the policy on using QRIS by increasing the transaction limit from Rp2 million to Rp5 million.

Soon, BI is to release a Customer Presented Mode feature where merchants perform scans. However, is this enough? The government should not waste the momentum with the current digital acceleration and changes in consumer behavior.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Dua Tahun QRIS: Adopsi di Tengah Akselerasi Keuangan Digital Indonesia

Beberapa waktu lalu, Bank Indonesia (BI) menyebutkan total transaksi pembayaran dengan metode QRIS meningkat pesat selama satu tahun terakhir. Nilai transaksi QRIS mencapai sebesar Rp9 triliun di semester I 2021 atau melesat 214% dibandingkan periode sama tahun lalu. Total merchant yang menggunakan QRIS juga naik menjadi 8,2 juta. Setidaknya, ada penambahan sekitar 3 juta dari 6 juta merchant di akhir 2020.

Dalam sebuah webinar Digi X yang digelar Infobank, Asisten Gubernur dan Kepala Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran Bank Indonesia Filianingsih Hendarta mengungkapkan, pandemi Covid-19 memberikan efek booster luar biasa terhadap percepatan keuangan digital di Indonesia. Selain faktor peralihan perilaku konsumen ke digital, akselerasi ini terbantu kolaborasi para pelaku di ekosistem digital di sektor bank dan non-bank yang semakin erat.

“Dalam waktu dekat, kami juga akan segera meluncurkan fitur Customer Presented Mode karena sekarang kita baru ada Merchant Presented Mode. Kami juga sedang piloting transaksi QRIS untuk cross border, baik inbound maupun dan outbound,” ungkap wanita yang karib disapa Fili ini.

Dengan pencapaian yang tidak terduga ini, bagaimana asa implementasi QRIS ke depan di situasi saat ini, dan apa saja upaya yang dapat dilakukan untuk mendorong adopsinya?

Tentang QRIS

QRIS atau Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) merupakan bagian dari lima inisiatif besar yang dicanangkan Bank Indonesia untuk menuju Sistem Pembayaran Indonesia (SPI) 2025.

Menuju Sistem Pembayaran Indonesia (SPI) 2025 / Bank Indonesia

QRIS dikembangkan Bank Indonesia dan Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia (ASPI) untuk menggabungkan berbagai macam QR dari berbagai Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran (PJSP) menjadi satu QR Code. Sebagai sistem pembayaran digital, QRIS dirancang sebagai Standar QR Code untuk aplikasi uang elektronik berbasis server, dompet digital, dan mobile banking.

Secara teknis, QRIS tersedia dalam dua jenis. Pertama, dalam format statis (media cetak/stiker, QR Code sama setiap transaksi, QR Code belum ada nominal sehingga input manual). Kedua, dinamis (QR Code lewat struk yang dicetak mesin EDC/tampil di monitor, QR Code selalu berbeda tiap transaksi, QR Code punya nominal pembayaran).

Masyarakat dapat membayar transaksi di merchant dengan satu QR Code untuk semua platform. Skenarionya begini, apabila Anda tidak bisa membeli minuman karena merchant terkait tidak menerima opsi pembayaran Anda, QRIS akan memampukan merchant untuk menerima setiap pembayaran dari setiap platform. Tidak perlu lagi satu mesin EDC untuk satu platform. QRIS memberikan ruang bagi masyarakat untuk melakukan pembayaran apapun platformnya dengan satu QR Code.

Lalu, mengapa kita memerlukan QRIS? Teknologi ini dapat memperluas akseptasi pembayaran nontunai nasional secara lebih efisien. Melalui penggunaan satu standar QR Code, penyedia barang dan jasa tidak perlu memiliki berbagai jenis QR Code dari penerbit yang berbeda.

Jauh sebelum QRIS diluncurkan, sebetulnya pemerintah sudah menerapkan QR Code sebagai alat pembayaran sejak paruh 2015. Namun, saat itu PJSP masih menggunakan QR secara eksklusif. Dengan pertumbuhan penetrasi smartphone dan peluang untuk membantu segmen unbanked dan underbanked, BI memutuskan melakukan standardisasi QR Code.

Alasan lainnya adalah BI melihat contoh keberhasilan tinggi pada QR sebagai alat pembayaran di beberapa negara, yaitu Tiongkok melalui Alipay dan WeChatPay, serta India lewat PayTm dan BharatQR.

Dua tahun berselang peluncuran resminya, QRIS menuai pencapaian positif–sebagian besar terbantu karena pandemi. Berdasarkan data BI, volume transaksi QRIS naik 247% di kuartal kedua 2021 menjadi 83,85 juta transaksi. Sementara, nilai transaksinya meroket 336% menjadi Rp5,59 triliun dibandingkan periode sama tahun lalu.

BI mencatat kenaikan transaksi QRIS di masa pandemi / Diolah kembali oleh DailySocial
BI mencatat kenaikan transaksi QRIS di masa pandemi / Diolah kembali oleh DailySocial

Sama halnya seperti QRIS, pelaku dan industri di ekosistem keuangan digital lainnya juga mengalami pertumbuhan positif dikarenakan pandemi. Sebagaimana disampaikan Fili pada webinar tersebut, pertumbuhan ekosistem keuangan digital (EKD) di tahun ini diproyeksi terus meningkat.

Proyeksi Ekosistem Keuangan Digital (EKD) 2021 / Bank Indonesia
Proyeksi Ekosistem Keuangan Digital (EKD) 2021 / Bank Indonesia

Adopsi dan tantangan

Mengingat QRIS masih seumur jagung, progress adopsinya pun belum masif. Konsumen banyak menemui kesulitan dalam penggunaannya, terlebih dengan batasan ruang gerak masyarakat saat ini. Hal ini diketahui dari survei kecil, yang melibatkan 65 responden, yang dilakukan DailySocial di bulan Agustus 2021 secara online.

Survei ini mungkin memang belum dapat mewakili mayoritas isu yang ada di lapangan, namun responden memberikan perspektif menarik yang sebetulnya dapat menjadi ruang perbaikan bagi pemangku kepentingan yang terlibat.

Pertama, tantangan ketika bertransaksi dengan QRIS. Menurut responden, sebanyak 65,6% responden mengaku banyak merchant belum mengadopsi QRIS. Kemudian, sekitar 55,7% menilai koneksi internet mempersulit transaksi, dan 29,5% responden menyebut proses scan QRIS relatif lama.

Yang cukup menarik adalah beberapa responden menyoroti bagaimana merchant yang mereka temui hanya menjadikan QRIS sebagai pajangan. Mereka menilai, ada merchant yang telah mengaktifkan QRIS, tetapi kasir jarang menawarkan kepada konsumen karena tidak tahu cara menggunakannya.

Sementara itu, sebagian responden mengaku belum berminat menjajal QRIS karena ketersediaan QRIS di merchant terbatas (60,9%), konsumen tidak tahu cara menggunakannya (17,4%), fitur belum tersedia di perangkat (13%), dan kasir jarang menawarkan pembayaran dengan QRIS (4,3%).

Dari sudut pandang pelaku usaha, sebetulnya BI sudah melonggarkan kebijakan agar tidak memberatkan impelementasinya. Mengutip Kontan, BI menetapkan biaya transaksi atau merchant discount rate (MDR) yang ditanggung oleh mitra/merchant hanya 0,7%. Menggunakan QR hanya mengeluarkan biaya Rp35 ribu untuk satu kode QR di setiap merchant.

Perluasan merchant

Pandemi Covid-19 membawa dampak positif terhadap ekosistem keuangan digital Indonesia. Akan tetapi, pemerintah dan para pemangku kepentingan idealnya jangan menjadikan ini sebagai momentum emas sementara. Perlu ada ruang perbaikan lebih agar adopsi QRIS dapat meningkat secara konsisten hingga sampai era pasca-Covid nanti. Apalagi, mumpung sebagian masyarakat sudah mulai terbiasa dengan transisi pembayaran digital,

Masih dari survei yang kami lakukan, banyak responden berharap adopsi QRIS dapat diperluas penggunaannya dan tidak terbatas pada transaksi makanan dan minuman saja. Sebanyak 87,3% responden mengharapkan QRIS dapat digunakan pada pedagang kaki lima, 81% di pasar, 76,2% layanan pemerintah, dan 68,3% untuk transportasi publik.

Pemerintah juga perlu memikirkan bagaimana memaksimalkan adopsi QRIS apabila pembatasan sosial masih akan terus berlanjut. Dengan pengetatan aktivitas di tempat publik, seperti pusat perbelanjaan, bagaimana memberlakukan QRIS apabila merchant saja sudah banyak yang tidak beroperasi. Kecuali untuk pemesanan food delivery.

Sebagaimana diberitakan Bisnis, BCA sempat mengalami penurunan transaksi fisik sehingga memengaruhi layanan dengan metode QRIS. Sementara, menurut responden kami, mereka mulai jarang menggunakan QRIS dengan pengetatan aktivitas beberapa bulan terakhir. Sebanyak 20% responden mengaku masing-masing hanya bertransaksi 1 kali dalam 3 bulan ke atas dan 2-3 kali per bulan. Sebanyak 16,7% menyebut bertransaksi QRIS sekitar 2-3 kali per minggu.

DailySocial sempat mencoba meminta tanggapan Bank Indonesia terkait isu-isu di atas, tetapi belum ada pernyataan lebih lanjut. BI sebetulnya sudah memperbarui kebijakan penggunaan QRIS dengan menaikkan limit transaksi dari Rp2 juta menjadi Rp5 juta.

Dalam waktu dekat, BI juga akan merilis fitur Customer Presented Mode di mana merchant yang melakukan scan. Namun apakah ini sudah cukup? Pemerintah diharapkan tidak sampai kehilangan momentum dengan gejolak akselerasi digital dan perubahan perilaku konsumen saat ini.

Masuki Tahun Ke-2, LinkAja Pertajam Solusi Keuangan untuk UMKM

LinkAja bakal menggencarkan lebih banyak solusi keuangan untuk merchant UMKM agar dapat naik kelas memasuki usianya yang ke-2. Salah satu inisiatif yang segera dilakukan adalah menyalurkan kredit modal kerja melalui iGrow, startup fintech lending yang telah diakuisisi perusahaan pada April kemarin.

CEO LinkAja Haryati Lawidjaja menuturkan, UMKM adalah sektor yang paling terdampak selama pandemi, padahal sektor ini adalah tulang punggung negara. Oleh karenanya mereka butuh bantuan modal kerja agar mereka tetap dapat bertahan. Tidak hanya bersama iGrow, LinkAja juga menggaet para pemegang sahamnya yang bergerak di industri keuangan untuk masuk menyalurkan kredit.

Terhitung saat ini LinkAja bekerja sama dengan lebih dari 1,1 juta UMKM atau naik 104% dibandingkan tahun sebelumnya. UMKM tersebut mayoritas bergerak di pasar super ultra mikro di kota lapis dua dan tiga, sesuai dengan area fokus perusahaan. Mereka juga bermitra dengan lebih dari 100 industri keuangan yang menyediakan berbagai solusi finansial digital baik untuk konsumen dan bisnis.

“Saat ini kami masih sediakan produk pembayaran, ke depan kami sasar pembiayaan,” ucapnya dalam konferensi pers virtual (30/6).

Dalam kesempatan yang sama, LinkAja juga mengungkapkan pengguna terdaftar di platformnya mencapai 71 juta orang atau naik 43%. Sementara Layanan Syariah LinkAja telah memiliki lebih dari 3,5 juta orang. Sebanyak 74% dari total pengguna berasal dari kota lapis dua dan tiga.

Sebagai aplikasi pembayaran yang bermain di jenis transaksi esensial dan produktif, LinkAja hadir di berbagai titik. Untuk keperluan belanja online, mereka telah bermitra dengan lebih dari 7.500 online marketplace, 400 ribu merchant nasional, dan 750 pasar tradisional. Kemudian, menyediakan lebih dari 1 juta akses cash in dan cash out kepada masyarakat, baik berupa kanal bank, ritel modern, hingga layanan keuangan digital.

Di bidang transportasi, LinkAja dapat digunakan di lebih dari 240 moda transportasi, seperti KRL, Taxi Bluebird, Grab, Gojek, hingga transportasi lokal di berbagai daerah. Baik Grab dan Gojek telah resmi menjadi pemegang saham LinkAja, sehingga untuk pembayaran transportasi dan memesan makanan dapat menggunakan saldo LinkAja.

Perusahaan juga mengungkap telah memproses 1,4 miliar transaksi sepanjang satu tahun terakhir. Sayangnya tidak disebutkan lebih lanjut kontribusinya datang dari jenis pembayaran di sektor mana. Perusahaan justru memakai hasil survei yang dilakukan Kadence International pada Mei 2021 mengenai fitur-fitur apa saja yang paling banyak digunakan UMKM.

Responden mengatakan LinkAja paling banyak mereka gunakan untuk membeli pulsa dan kuota internet (masing-masing persentasenya 82%), transfer saldo ke rekening bank (76%), tarik saldo ke rekening bank (57%), dan pembayaran PLN (34%).

“Ini memperlihatkan fungsi LinkAja yang tepat sebagai aplikasi untuk pembayaran kebutuhan esensial dalam keseharian pengguna.”

Haryati melanjutkan, LinkAja tidak hanya fokus dengan aplikasi konsumer dan UMKM untuk solusi keuangan digital saja, namun juga bermain di ranah enterprise untuk berbagai solusi.

Seperti, cash collection (cash handling risk, real-time reporting, dan pembayaran non tunai); incentive disbursement (pencairan real-time, pelaporan terintegrasi, dan flexible use case); dan cross sell & advertisement (memaksimalkan jangkauan produk menggunakan platform yang sesuai). Mitra enterprise yang sudah memanfaatkan solusi dari LinkAja adalah Gudang Garam, SRC (Sampoerna Retail Community), dan Kospin Jasa.

Application Information Will Show Up Here

Perluas Cakupan Pasar, Xendit Gencarkan Pengembangan Fitur Baru

Pergeseran perilaku masyarakat ke arah digital mendorong Xendit, startup fintech yang menyediakan infrastruktur pembayaran asal Indonesia, untuk menambah saluran pembayaran digital menggandeng ShopeePay.

Integrasi ini diharapkan bisa menjangkau lebih banyak merchant rekanan Xendit dari berbagai lini bisnis serta para pelanggan setianya untuk mengakselerasi adopsi pembayaran digital.

“Dengan bertambahnya saluran pembayaran yang bisa kami sediakan untuk merchant saat ini. Kami harap ini bisa melengkapi ekosistem pembayaran serta membantu ShopeePay berkembang, juga mitra merchant kami ke depannya,” ujar Mikiko Steven Head of Customer Solutions Xendit.

Di masa pandemi ini, tren belanja masyarakat sudah mulai beradaptasi dengan marketplace daring serta pembayaran secara digital. Dari data Xendit sendiri mencatat kenaikan signifikan pada jumlah transaksi secara digital di bulan April-September 2020 sekitar 3x lipat.

Survei MarkPlus memperlihatkan ShopeePay sebagai aplikasi uang elektronik yang paling populer di Indonesia selama pandemi. Lebih jauh dipaparkan, ShopeePay unggul dengan pangsa pasar sebesar 26% dari total volume transaksi uang elektronik di Indonesia. Kemudian disusul Ovo (24%), Gopay (23%), Dana (19%), dan LinkAja (8%).

Head of Strategic Merchant Acquisition ShopeePay Eka Nilam Dari turut menyampaikan, “Dengan adanya kolaborasi strategis antara ShopeePay dan Xendit, kami berharap bisa membuka peluang yang lebih besar lagi baik untuk kedua belah pihak, juga para mitra usaha untuk semakin mendorong inklusi keuangan melalui pembayaran digital.”

Para pelaku digital yang saat ini berada di bawah naungan Xendit memiliki kesempatan untuk menjangkau lebih luas lagi para pengguna ShopeePay di tengah situasi yang sulit. Saat ini, lebih dari 100 merchant Xendit sudah mulai terintegrasi dengan kanal ShopeePay dan menambah use case baru ke dalam ShopeePay termasuk IT, Saas, Travel & Hotel Booking Platform, Education, Beauty, NPO dan Donation platform.

Kembangkan inisiatif baru

Belum lama ini, Xendit juga telah meresmikan kehadirannya di pasar Filipina. Peluncuran yang dilakukan secara virtual pada tanggal 4 Desember 2020 tersebut diharapkan bisa mendorong peningkatan transaksi digital bisnis di Filipina melalui pembangunan infrastruktur digital, juga mengukuhkan Xendit sebagai payment gateway terbaik di Asia Tenggara.

Sejak beroperasi di tahun 2017, Xendit telah memproses US$1,5M transaksi, setara dengan 20 triliun per tahunnya. Selain fitur pembayaran utama, Xendit turut mengembangkan layanan tambahan untuk pemenuhan pajak serta penyediaan modal tambahan bagi merchant melalui XenTax dan XenCapital.

XenTax merupakan produk yang dibuat oleh Xendit untuk menyederhanakan proses klien dalam mengelola pajak, sehingga mereka dapat fokus pada bisnis mereka dan mendorong pertumbuhan. Untuk menyediakan layanan ini, Xendit terkoneksi dengan salah satu Bank Persepsi dan PJAP (Penyedia Jasa Aplikasi Perpajakan) yang telah berizin dan resmi bermitra dengan DJP.

Untuk XenCapital, Xendit bekerja secara eksklusif dengan mitra yang memiliki lisensi dari OJK di MultiFinance untuk menyediakan modal bagi produk pinjamannya. Limit untuk setiap merchant yang mengajukan produk ini akan berbeda tergantung pada review penilaian kredit dari tim evaluasi. Semua produk Xendit tersedia untuk merchant yang sudah terdaftar dan terintegrasi.

“Rangkaian layanan Xendit dirancang untuk membuat pembayaran menjadi sederhana, aman, dan mudah bagi pelanggan sekaligus memungkinkan bisnis tumbuh secara eksponensial. Sebagai platform yang berakar kuat di Asia Tenggara, kami terus mendengarkan untuk lebih mengenali kebutuhan dan keinginan spesifik dari setiap bisnis di pasar,” ujar Moses Lo, CEO & Founder Xendit Group pada kesempatan berbeda.

Saat ini Xendit sudah memiliki total tim lebih dari 300 orang yang berkantor pusat di kawasan Senopati, Jakarta Selatan. “Tujuan kami adalah untuk lebih agresif dalam menemukan solusi serta apa yang dapat kami bantu sementara sebagian besar dunia berpikir untuk menyerah,” tambahnya.

Mengulik Medium Pembayaran: Menuju Babak baru Sektor Fintech di Indonesia

Dua dompet digital besar di Indonesia, Ovo dan Dana, dilaporkan tengah dalam proses finalisasi merger, yang telah berlangsung sejak September 2019 dan mungkin memberi mereka kesempatan untuk bersaing dengan kompetitor utama Ovo, GoPay oleh Gojek.

Konsolidasi ini masuk akal. Mengingat Ovo, yang didukung oleh Lippo Group dan Grab, telah bersaing ketat dengan GoPay. Berbagai laporan menunjukkan bahwa kedua platform ini mendominasi lanskap pembayaran digital Indonesia dalam hal jumlah pengguna, sementara Dana dan LinkAja milik BUMN masing-masing menempati peringkat ketiga dan keempat. Maka, ketika Ovo dan Dana menggabungkan basis pengguna mereka, bisa jadi entitas baru ini akan membentuk pangsa pasar yang jauh lebih besar.

Michael Hijanto, analis riset senior dari perusahaan konsultan M2Insights yang berbasis di Singapura, percaya bahwa melalui merger, Ovo dan Dana dapat mengarahkan sumber daya mereka dan mengembangkan strategi bisnis bersama untuk bersaing dengan GoPay. “Dalam hal pangsa pasar, Ovo adalah e-wallet pilihan Grab dan Tokopedia, dan Dana adalah e-wallet pilihan Lazada dan Bukalapak. Baik Ovo dan Dana memiliki basis konsumen yang signifikan yang tidak mungkin untuk segera beralih ke GoPay atau Shopee Pay,“ katanya kepada KrASIA.

Tentang Ovo

Ovo didirikan pada tahun 2017 oleh konglomerat Indonesia Lippo Group, yang bisnisnya meliputi pengembangan real estat, media dan komunikasi, perawatan kesehatan, dan pendidikan. Sebagai bagian dari Lippo Group, Ovo memiliki keunggulan akses langsung ke bisnis ritel yang berafiliasi dengan Lippo, yang kemudian menghasilkan traksi instan di tahun pertama operasinya. Pada rapor tahun 2018, Ovo mengklaim telah melakukan 1 miliar transaksi.

Ovo tidak pernah blak-blakan mengenai pendanaan. Satu-satunya putaran pendanaan yang dibagikan kepada publik adalah investasi 116 juta dolar AS dari Tokyo Century Corporation pada Desember 2017, ketika investor Jepang mengakuisisi 20% saham. Pada bulan November berikutnya, super-app Asia Tenggara, Grab, dilaporkan berinvestasi di Ovo serta membuka jalan menuju babak baru fintech yang tengah berkembang di Indonesia.

Awalnya, Grab berencana untuk membawa GrabPay ke Indonesia, tetapi mereka gagal mendapatkan lisensi dari bank sentral, Bank Indonesia. Kemitraan antara Ovo dan Grab ini merupakan jalan keluar bagi perusahaan yang berbasis di Singapura ini untuk mengatasi hambatan itu, dengan menunjuk mantan kepala GrabPay, Jason Thompson, sebagai CEO Ovo pada bulan April 2018. Sebelum memulai peran ini, tugas utama Thompson di GrabPay adalah untuk “Mengawasi perkembangan teknologi pembayaran baru dan meningkatkan akses ke layanan pembayaran seluler di seluruh wilayah.”

Berkolaborasi dengan Ovo juga menjadi solusi untuk platform besar lainnya. Ketika TokoCash, e-wallet dari platform e-commerce terbesar di Indonesia Tokopedia, ditangguhkan oleh Bank Indonesia pada tahun 2017, Tokopedia tidak memiliki pilihan selain mencari kemitraan dengan penyedia pembayaran eksternal. Perusahaan ini dilaporkan melakukan investasi yang dirahasiakan di Ovo pada Maret 2019, lalu kedua perusahaan mengumumkan kemitraan resmi beberapa bulan kemudian.

Berhasil menyandang gelar unicorn tahun lalu, Ovo menunjukkan pertumbuhan yang cepat dan perkembangan positif dalam dua tahun beroperasi. Dalam sebuah wawancara dengan KrASIA, CEO Ovo Jason Thompson mengatakan pengguna aktif bulanan perusahaan tumbuh 400% per tahun pada tahun 2019.

Namun, ada tanda-tanda bahwa tidak semuanya berjalan lancar di Ovo. Pada bulan November, pendiri Lippo Group Mochtar Riady mengatakan perusahaannya menjual 70% sahamnya di Ovo karena pengeluaran yang cukup besar.

Bakar uang menjadi strategi yang umum bagi startup teknologi untuk memperoleh sebanyak mungkin pelanggan. Dalam beberapa kasus, hal ini bahkan diperlukan. Namun, jika rapor perusahaan tetap merah, strategi ini bisa menjadi beban berat bagi investor. Tech in Asia melaporkan bahwa Lippo Group menghabiskan USD 50 juta setiap bulan untuk mempertahankan Ovo, meskipun klaim itu kemudian dibantah oleh perusahaan.

Menurut data perusahaan yang diperoleh M2Insights pada bulan Desember 2019, Grab memegang saham terbanyak di Ovo, diikuti oleh Tokopedia, Tokyo Century Corporation, dan kemudian Lippo Group. Sementara itu, Dana didukung oleh unit investasi Alibaba, Ant Financial, dan konglomerat Indonesia Emtek. Ovo dan Dana telah lama berbagi DNA; Alibaba juga berinvestasi di Tokopedia, sementara Grab, Tokopedia, serta Alibaba didukung oleh SoftBank.

Designed by Shermin Shu

Laporan Bloomberg mengatakan syarat dan waktu merger antara Ovo dan Dana mungkin berubah, dan kesepakatan bisa saja gagal. Hal ini adalah konsekuensi dari kerumitan konsolidasi.

”Ovo saat ini memiliki pangsa pasar yang lebih besar daripada Dana di Indonesia, tetapi sulit untuk mengatakan siapa yang akan menjadi pemegang saham mayoritas. Pemegang saham mayoritas yang baru mungkin juga bergantung pada siapa yang akan menginvestasikan lebih banyak uang ke dalam entitas gabungan. Kami percaya bahwa merger antara kedua e-wallet ini tidak akan sederhana,” pungkas Hijanto dari M2Insights.

Karena kedua perusahaan memproses pembayaran untuk raksasa e-commerce negara, merger ini akan berdampak pada mitra mereka. Sementara Ovo memiliki hubungan dekat dengan Tokopedia, Dana adalah e-wallet yang terintegrasi ke dalam sistem Bukalapak dan Lazada, dan sebagian besar nilai transaksi bruto Dana berasal dari dua platform ini.

“Kami tidak tahu apakah Bukalapak dan Lazada akan merasa nyaman bekerja dengan Ovo-Dana yang baru digabung jika pesaing terbesar mereka, Tokopedia, adalah pemegang saham utama dari e-wallet,” kata Hijanto.

Bisnis e-commerce kini telah, dan mungkin akan terus menyumbang, sebagian besar dari ekonomi digital Indonesia. Oleh karena itu, masuk akal untuk berharap bahwa baik Ovo dan Dana ingin mempertahankan kemitraan erat di arena ini.

Babak panjang

Indonesia memiliki populasi lebih dari 270 juta, tetapi lebih dari separuh penduduk negara ini tidak memiliki rekening bank. Sementara itu, ada sekitar 175,4 juta pengguna internet di Indonesia per Januari 2020, yang menunjukkan 64% penetrasi internet, menurut sebuah laporan oleh perusahaan pemasaran media sosial global, We Are Social and Hootsuite. Meskipun orang Indonesia suka menghabiskan waktu online, laporan itu menunjukkan bahwa hanya 3,1% dari populasi negara itu menggunakan dompet digital, yang berarti ada potensi pertumbuhan besar-besaran di segmen ini.

Sumber: laporan Digital in 2020 oleh We Are Social dan Hootsuite

Mudah untuk menyarankan Ovo dan Dana untuk bergabung dan menantang GoPay, tetapi melihat dompet digital yang masih memiliki jejak terbatas di Indonesia, industri ini masih punya banyak ruang untuk pemain baru. Namun, pasar ini cukup sulit untuk ditembus; semua bergantung pada kemitraan yang tepat dan mengembangkan model bisnis berkelanjutan.

Mantan menteri IT Rudiantara mengamini pandangan itu. Dia percaya bahwa merger adalah langkah yang tepat, mengingat bagaimana platform pembayaran fintech perlu memiliki “skala ekonomi” untuk mengimbangi pasar konsumen negara.

“Pesaing [Ovo dan Dana] tidak hanya platform pembayaran lokal, tetapi juga platform pesan singkat dengan adopsi massal seperti WhatsApp yang memiliki basis pengguna yang sangat besar di sini,” katanya kepada KrASIA. WhatsApp telah meluncurkan fitur pembayaran di India dan Brasil. Rumor mengatakan bahwa raksasa teknologi juga akan membawa fitur ke Indonesia segera. “Jumlah pengguna WhatsApp di Indonesia jauh lebih besar dari jumlah pengguna dompet seluler yang digabungkan. WhatsApp Pay bisa menjadi ancaman bagi platform pembayaran digital lokal, terutama karena pengguna WhatsApp dapat memilih untuk membayar menggunakan aplikasi pesan untuk kenyamanan,” tambah Rudiantara.

Tampilan aplikasi Ovo dari website

Untuk berkembang, platform pembayaran harus memberikan layanan yang komprehensif, memberi pelanggan lebih banyak alasan untuk menghabiskan waktu di aplikasi. Itu berarti dompet digital perlu melakukan lebih dari sekadar memfasilitasi transaksi, dan Ovo sepenuhnya menyadari hal itu. Sejak awal 2019, perusahaan telah membawa layanan keuangan tambahan ke aplikasinya.

Pada bulan Maret tahun lalu, platform meluncurkan fitur investasi reksa dana bekerja sama dengan Bareksa, pelopor dalam sektornya di Indonesia. Kemudian, Ovo memperkenalkan fitur paylater di bulan Mei, dijalankan oleh kredit online dan layanan pinjaman Taralite, yang diakuisisi Ovo di awal tahun. Menurut Fintech Report 2019 yang dirilis DailySocial, pay-later adalah produk fintech paling populer ketiga di Indonesia, dan Ovo adalah aplikasi yang paling banyak digunakan untuk layanan pay-later.

Belum lama, Ovo meluncurkan asuransi kecelakaan kematian dan COVID-19 bersama Prudential. Perusahaan akan terus fokus pada pinjaman, investasi elektronik, dan produk asuransi digital tahun ini, CEO Ovo mengatakan dalam sebuah wawancara beberapa waktu lalu.

Sementara itu, Dana baru saja meresmikan kemitraan dengan startup Polri insurtech Pasar Polis untuk menawarkan layanan asuransi mikro melalui e-wallet. Tahun lalu, Dana juga dikabarkan sedang mengerjakan produk paylater bekerja sama dengan Akulaku, walaupun fitur tersebut belum resmi beroperasi. Semua mengacu pada saat Ovo dan Dana akhirnya bergabung, entitas yang baru akan dapat memperluas penawaran mereka dan menyediakan paket beragam produk keuangan. Ini akan memberikan kesempatan yang lebih baik untuk terus maju sebagai dompet digital pilihan dalam jangka panjang.

Seperti Ovo, GoPay juga memiliki daftar mitra dan investor yang tak kalah menjulang, meliputi Google, JD.com, Djarum, Facebook, dan PayPal. Dengan investasi dari Djarum dan JD, GoPay terintegrasi dengan Blibli dan JD.id, yang merupakan platform e-commerce paling populer kelima dan keenam di Indonesia pada kuartal pertama tahun 2020, menurut data yang dikumpulkan oleh iPrice.

Kemitraan dengan Facebook dan PayPal akan memungkinkan Gojek dan GoPay untuk memasuki basis pengguna perusahaan-perusahaan Amerika di Indonesia bersama dengan jaringan pedagang mereka. Namun, para analis meragukan bahwa GoPay akan menjadi mitra eksklusif untuk Facebook di Indonesia, karena jejaring sosial tersebut dilaporkan dalam pembicaraan dengan tiga perusahaan fintech lokal untuk persetujuan pembayaran mobile di negara ini. Reuters melaporkan bahwa perusahaan yang dimaksud adalah GoPay, Ovo, dan LinkAja, meskipun belum ada konfirmasi resmi.

“Memang benar bahwa Gojek telah mendapatkan dana dari Facebook dan PayPal, yang akan menambah amunisi GoPay. Namun, pada dasarnya, sebagian besar dari nilai transaksi bruto Ovo berasal dari Grab dan Tokopedia, yang keduanya tidak mungkin menerima GoPay sebagai opsi pembayaran,” bantah Hijanto.

Pemain lainnya

Ovo, Dana, dan GoPay adalah perusahaan terkemuka pada sektornya, tetapi ada platform lain yang juga mengumpulkan pengikut, seperti LinkAja dan ShopeePay.

LinkAja berafiliasi dengan setidaknya sepuluh perusahaan milik pemerintah, termasuk operator terbesar Telkomsel di negara itu, pemberi pinjaman Bank Mandiri, BRI, BNI, serta perusahaan minyak dan gas Pertamina. Kemitraan ini memberi LinkAja banyak pelanggan potensial.

LinkAja mengklaim memiliki setidaknya 40 juta pengguna terdaftar pada tahun 2019, dan platform ini telah mengembangkan kolaborasi baru dengan berbagai perusahaan. Secara khusus, ini adalah penyedia dompet ponsel besar pertama yang menawarkan layanan yang sesuai dengan syariah. Sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, fintech syariah memiliki daya tarik tersendiri di Indonesia selama dua tahun terakhir, ditandai dengan munculnya pemain baru di segmen ini, seperti pemberi pinjaman P2P Alami Shariah dan Investree. Sejauh ini, hal tersebut menjadi keunggulan tersendiri bagi LinkAja, terutama jika pihaknya mwmutuskan untuk menawarkan pinjaman, fitur paylater, atau produk investasi yang dirancang khusus untuk pengguna Muslim.

Dibandingkan dengan operator besar lainnya, LinkAja memiliki pendekatan asimetris untuk beroperasi di fintech. Alih-alih bersaing secara langsung dengan pemain seperti Ovo dan GoPay, LinkAja telah bernegosiasi untuk menjadi bagian dari kedua ekosistem mereka melalui Grab dan Gojek. November lalu, LinkAja menjadi opsi pembayaran untuk Gojek dan Grab. Dan itu adalah satu-satunya dompet digital yang dapat digunakan di Tokopedia dan Bukalapak.

Aplikasi LinkAja Sharia / LinkAja

Dalam sebuah wawancara dengan KrASIA tahun lalu, CEO LinkAja saat itu Danu Wicaksana mengatakan platform tersebut memiliki target pasar yang biasanya tidak diperhitungkan oleh platform fintech. Tidak hanya menargetkan kelas menengah; namun juga melayani kelompok berpenghasilan menengah ke bawah yang belum menikmati layanan keuangan digital. Perusahaan melakukan ini dengan menghubungkan bank-bank dan perusahaan-perusahaan milik negara. Pengguna LinkAja dapat menarik uang dari ATM BTN, BNI, BRI, dan Mandiri, dan memiliki basis pengguna yang cukup besar di kota-kota tingkat ketiga. Ini juga bekerja dengan transportasi umum dan operator jalan tol. Selain itu, pekerja Indonesia di Singapura dapat mengirimkan uang ke akun LinkAja di negara asal mereka hanya dengan SGD 2,50 dari Singtel Dash. Dengan ceruk pasarnya, akan lebih baik bagi Ovo dan GoPay untuk mempertahankan hubungan dekat dengan LinkAja milik negara daripada bersaing melawannya.

Sementara itu, sebagai pemain yang lebih baru, ShopeePay telah mengejar ketinggalan setelah mendapatkan lisensi BI pada November 2018. Awalnya, layanan ini hanya bisa digunakan pada platform e-commerce Shopee, yang telah berhasil melampaui Tokopedia sebagai platform e-commerce dengan sebagian besar orang Indonesia. pengguna bulanan aktif pada kuartal pertama 2020.

Menurut laporan triwulan Sea Group, Shopee Indonesia mendaftarkan lebih dari 185 juta pesanan dalam tiga bulan pertama tahun ini, atau rata-rata harian lebih dari 2 juta pesanan, dan lebih dari 40% pesanan kotor Shopee di Indonesia dibayar melalui ShopeePay . Itu berarti ShopeePay telah mendapatkan traksi tinggi melalui transaksi e-commerce saja.

Namun, seperti semua platform lainnya, ShopeePay juga bertujuan untuk memperluas rangkaian kasus penggunaan dan kemitraan pihak ketiga secara online dan offline. Hari ini, Anda dapat dengan mudah menemukan spanduk promosi ShopeePay di pusat perbelanjaan di seluruh Jakarta, berdampingan dengan bahan GoPay dan Ovo sendiri. Baru-baru ini juga dipasangkan dengan platform fintech “merchant-centric” yang disebut Youtap. ShopeePay mengatakan Youtap telah melipatgandakan transaksinya dengan memberinya akses ke jaringan mitra dagang yang luas, termasuk McDonalds.

Hijanto dari M2Insights percaya bahwa ShopeePay akan terus tumbuh, terutama dengan QRIS (standar kode QR Indonesia), yang dirancang untuk meningkatkan konektivitas dalam sistem pembayaran dengan menerbitkan kode tunggal ke pedagang untuk semua platform e-wallet. ShopeePay sekarang dapat digunakan untuk membayar pedagang batu bata dan mortir yang sebelumnya hanya menggunakan Ovo atau GoPay. ShopeePay juga memiliki layanan paylater yang telah terdaftar dalam tiga produk paling populer dari jenisnya pada tahun 2019, menurut Fintech Report 2019 dari DailySocial.

Masa depan fintech pembayaran di Indonesia

Pandemi COVID-19 berperan penting dalam mendorong adopsi pembayaran tanpa uang tunai tahun ini. Ovo melihat jumlah pengguna barunya tumbuh 267% setelah PSBB berlaku. Sementara itu, Gojek dan GoPay telah mengamati pertumbuhan dua digit dalam transaksi digital, termasuk untuk fitur pay-later mereka, hanya dalam sebulan setelah dimulainya wabah. Pandemi telah menjadi anugerah tak disengaja bagi startup fintech Indonesia, terutama yang memfasilitasi pembayaran mobile.

Layanan pembayaran Facebook juga dapat mengguncang lanskap bisnis fintech di Indonesia dan menjadi game-changer bagi konsumen Indonesia. Lantaran Facebook memiliki 136 juta pengguna di negara ini, sementara WhatsApp ada di lebih dari 180 juta ponsel, produk pembayaran mereka akan memacu perdagangan sosial dan penetrasi pembayaran digital.

Berbicara kepada media lokal Katadata, CEO BRI Ventures, Nicko Widjaja percaya bahwa ekosistem fintech Indonesia memiliki potensi untuk meniru lanskap pembayaran fintech di China, yang dipimpin oleh dua pemain, WeChat Pay dan Alipay. Perusahaan yang memiliki pangsa pasar yang lebih kecil akan memilih untuk bekerja dengan mitra khusus atau bergabung dengan platform yang lebih besar. Konsolidasi dua pemain kuat adalah cara yang baik untuk memperkuat ekosistem fintech dan mempercepat pertumbuhan inklusi keuangan.

Salah satu contoh yang baik adalah platform mPOS Moka, yang baru saja diakuisisi oleh Gojek. Akuisisi ini mengintegrasikan 40.000 mitra bisnis Moka dan 500.000 pedagang Gojek. Kesepakatan ini diharapkan dapat mempercepat digitalisasi usaha kecil di Indonesia.

Dompet elektronik menghasilkan uang dalam beberapa cara — komisi dari transaksi, biaya dari pedagang dan penyedia layanan, serta biaya pengguna. Tetapi dengan tingkat adopsi yang relatif sederhana, platform dompet ponsel masih berusaha meningkatkan sebelum berfokus pada profitabilitas. Itu berarti merayu pelanggan dengan menawarkan cash back dan promosi lainnya, serta berintegrasi dengan platform e-commerce dan ride-hailing yang paling banyak.

Platform ini juga perlu memastikan pelanggan tetap setia. Mereka melakukan ini dengan membangun kemitraan yang relevan bagi pengguna mereka, atau mengakuisisi perusahaan fintech lainnya secara langsung untuk menambahkan layanan baru seperti pinjaman modal dan kendaraan investasi. Kolaborasi dengan bank konvensional dan perusahaan besar juga sangat penting, terutama di kota dan daerah non-metro.

Bank Indonesia telah mengeluarkan lisensi pembayaran kepada 50 operator e-money pada Mei 2020. Mengingat banyaknya pemegang lisensi e-money dan semakin ketatnya persaingan di antara mereka, kemungkinan kita akan melihat lebih banyak lagi dompet digital yang muncul menjadi penantang.


Artikel ini pertama kali dirilis oleh KrASIA. Kembali dirilis sebagai bagian dari kerja sama dengan DailySocial

Gandeng Alipay, Bank Mandiri Ajukan Izin “Cross Border E-Wallet” ke Bank Indonesia

Bank Mandiri diketahui sedang mengajukan izin sebagai penyelenggara dompet elektronik lintas negara (cross border e-wallet) ke Bank Indonesia. Pihaknya menggandeng Alipay yang disebut raksasa finansial digital Tiongkok Ant Financial.

“Untuk Alipay saat ini masih pembicaraan, nanti kami akan menjadi acquirer, sedangkan Alipay akan jadi issuer. Saat ini kami juga sedang mengajukan izin cross border e-wallet ke Bank Indonesia,” ucap SEVP Consumer and Transaction Bank Mandiri Jasmin seperti dikutip dari Kontan.

Menurut Jasmin, kerja sama dengan Alipay ini adalah wujud implementasi Peraturan Anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia Nomor 21/18/PADG/2019 tentang Implementasi Standar Nasional Quick Response Indonesia Standard (QRIS).

Di samping itu, kerja sama ini sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia tentang Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran yang mewajibkan setiap prinsipal menggandeng Bank Umum Kegiatan Usaha (BUKU) 4 atau bank dengan modal inti minimal Rp30 triliun.

Dalam aturan ini, BI mewajibkan prinsipal asing menempatkan dana float minimal 30 persen berbentuk kas atau giro di BUKU 4 dan maksimal 70 persen dana floating pada instrumen keuangan yang diterbitkan pemerintah.

Besarnya arus kedatangan turis asal Tiongkok jadi penyebab getolnya Alipay dan WeChat Pay menghadirkan layanannya di Indonesia. Pada akhir 2018, kunjungan pelancong asal Tirai Bambu ke Indonesia tercatat sudah naik 275 persen dalam lima tahun terakhir. Tak heran jika Menteri Pariwisata Arief Yahya menargetkan tahun ini dapat menarik 3,5 juta turis Tiongkok. Pihak Bank Mandiri membenarkan kerja sama ini bertujuan mempermudah transaksi turis tersebut.

“Benar, salah satunya untuk turis,” ucap Corporate Secretary Mandiri Rohan Hafas kepada Dailysocial.

Raksasa fintech asal Tiongkok, Alipay dan WeChat Pay, diketahui sudah mengincar kerja sama dengan bank-bank besar di Indonesia sejak akhir tahun lalu. CIMB Niaga sendiri diketahui juga telah mengajukan izin bermitra dengan Alipay pada awal tahun ini.

Boku Partners with GoPay as a Payment Option at Global Services in Indonesia

Boku mobile payment platform partners with GoPay. The agreement creates an opportunity for its global partners in Indonesia to use GoPay as the digital payment option.

The company based in London, England, plays the role as a payment solution that connects 170 operators worldwide to its global partners, such as Apple, Facebook, Google, Microsoft, Netflix, Spotify, and Paypal.

“Our mission is to create seamless transactions and partnering with GoPay is a big step to achieve the goal,” Boku’s CEO, Jon Prideaux said.

GoPay is one of the leading players in the digital payment in Indonesia. Google, one of Gojek’s investors, has put GoPay as one of its payment options in late July 2019.

Aside from its own app, GoPay (with Dana) will be available through Samsung Pay.

“With Boku’s global merchants network, we can help Indonesian traditional consumers to participate in the digital economy worldwide,” Gopay’s SVP Digital Product, Timothius Martin said.

This maneuver makes sense due to Indonesia’s e-wallet market has been rapidly growing. Redseer‘s report projected the market to grow up to US$25 billion or Rp354 trillion by 2025, multiple times over US$1.5 billion equivalent to Rp21.2 trillion in 2018.

“We aim to continue the collaboration with GoPay to introduce non-cash payment to more users and more acquisitions of Indonesia’s global partner users,” he added.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Boku Gandeng GoPay untuk Opsi Pembayaran Layanan Global di Indonesia

Platform pembayaran mobile Boku menggandeng GoPay dalam sebuah kesepakatan kerja sama. Kesepakatan ini membuka pintu bagi mitra global Boku di Indonesia menggunakan GoPay sebagai opsi pembayaran digital.

Boku adalah perusahaan asal London, Inggris, yang bergerak sebagai solusi pembayaran yang menghubungkan 170 operator seluler di seluruh dunia dengan mitra global seperti Apple, Facebook, Google, Microsoft, Netflix, Spotify, hingga Paypal.

“Misi Boku adalah menciptakan transaksi lebih sederhana dan kemitraan dengan GoPay ini merupakan langkah besar mewujudkan misi itu,” ujar CEO Boku Jon Prideaux.

GoPay sendiri adalah salah satu pembayaran digital paling populer di Indonesia. Sebelumnya di akhir Juli 2019, Google, salah satu investor Gojek, telah memasukkan GoPay sebagai salah satu metode pembayaran yang didukungnya.

Tak cukup melalui aplikasinya sendiri, GoPay (bersama Dana) akan dapat digunakan melalui Samsung Pay.

“Dengan jaringan merchant global dari Boku, kami dapat segera membantu konsumen tradisional Indonesia berpartisipasi dalam ekonomi digital dunia,” ucap SVP Digital Product GoPay Timothius Martin.

Manuver Boku ini dapat dipahami karena pasar dompet elektronik di Indonesia tumbuh dengan cepat. Laporan Redseer memperkirakan pasar itu akan tumbuh hingga US$25 miliar atau Rp354 triliun pada 2025 nanti, naik berkali-kali lipat dari US$1,5 miliar atau Rp21,2 triliun pada 2018.

“Kami berharap melanjutkan kolaborasi dengan GoPay untuk menghadirkan pembayaran nontunai ke lebih banyak pengguna dan menambah akuisisi pengguna bisnis global yang beroperasi di Indonesia,” tutup Prideaux.

Application Information Will Show Up Here