Startup “Micro Finance Enabler” Djoin Memperoleh Pendanaan Pra Awal

Startup micro finance enabler Djoin memperoleh pendanaan pra-awal (pre-seed) sebesar $1 juta atau sekitar 14,5 miliar Rupiah dari angel investor yang dirahasiakan namanya (undisclosed). Pendanaan ini akan digunakan untuk memperkuat ekosistem keuangan mikro dan memperluas pasar di Indonesia.

Djoin merupakan startup asal Bali yang menyediakan platform SaaS terdesentralisasi untuk segmen koperasi. Berdiri sejak 2020, Djoin memiliki misi untuk menghadirkan solusi keuangan mikro secara holistik mulai aplikasi, pelatihan SDM, penguatan manajemen risiko, serta peningkatan brand bagi lembaga keuangan mikro, khususnya koperasi simpan pinjam.

Founder Djoin I Wayan Indra Adhi Suputra mengatakan akan memperluas cakupan layanannya ke seluruh Indonesia. Ia membidik target kerja sama dengan 1.000 lembaga keuangan mikro, terutama koperasi simpan pinjam, hingga 2025.

Saat ini, Djoin mengklaim telah bermitra dengan puluhan koperasi dengan total aset mencapai Rp1 triliun di Bali, NTB, dan NTT. Pihaknya juga bersinergi dengan pemerintah daerah setempat untuk mengedukasi lembaga keuangan mikro, khususnya koperasi.

“Kami memiliki visi untuk memberikan dampak sosial dengan mengembangkan lembaga keuangan mikro, khususnya koperasi modern, yang akan menjadi motor penggerak pertumbuhan UMKM di Indonesia.”

Djoin menawarkan dua layanan digital, yakni (1) Djoin Koperasi Digital untuk layanan simpan pinjam dan penjualan barang/jasa, dan (2) Djoin Lembaga Perkreditan Desa (LPD) Digital. Perlu dicatat, aplikasi mobile bersifat white label sehingga memakai nama koperasi alih-alih brand Djoin. Adapun, aplikasinya sudah meluncur sejak 2020.

Sebelumnya ada Kodi, layanan serupa yang juga hendak membantu koperasi di daerah digitalkan layanan dan memberikan value-added kepada anggotanya lewat fitur berbasis teknologi.

Transformasi koperasi

Mengutip Katadata, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah koperasi di Indonesia pada 2020 mencapai 127.124 unit dengan mayoritas berada di Jawa Timur (17,6%), Jawa Barat (11,5%), dan Jawa tengah (9,5%).

Kontribusinya terhadap PDB baru mencapai 5% di periode tersebut. Adapun, Kementerian Koperasi dan UKM (KemenkopUKM) membidik kontribusi sektor koperasi menyentuh 5,5% terhadap PDB nasional pada 2024.

Dalam pernyataannya tahun lalu, Sekretaris KemenkopUKM Arif Rahman Hakim mengatakan, perkoperasional nasional dihadapkan pada tantangan untuk mengubah cara berbisnis dengan memanfaatkan teknologi dan inovasi produk.

Untuk menghadapi perkembangan teknologi yang cepat, ia menilai koperasi dan UKM perlu melakukan digitalisasi agar dapat mencapai efisiensi dan efektivitas layanan koperasi tanpa perlu mengubah nilai dasar.

“Modernisasi koperasi adalah upaya perubahan atau transformasi digital koperasi agar lebih maju dalam hal organisasi, tata kelola dengan teknologi, dan dapat mengikuti perkembangan zaman,” tuturnya.

Sejumlah Founder Startup Lokal Berpartisipasi dalam Debut Dana Kelolaan Forge Ventures

Perusahaan modal ventura Forge Ventures mengumumkan penutupan pertama dana kelolaan debut senilai $21,88 juta (lebih dari 313 miliar Rupiah). Dalam putaran ini, turut diisi oleh Alto Partners, salah satu multi-family offices sebagai LP (Limited Partner); serta sejumlah founder startup seperti Airbnb, Carousell, Fabelio, Facebook, Funding Societies, GajiGesa, Grab, Kopi Kenangan, Qoala, Stripe, dan lainnya.

Dalam wawancara secara terpisah dengan DailySocial.id, Co-founder & Partner Forge Ventures Kaspar Hidayat menjelaskan, pihaknya ingin membangun basis LP yang dapat memberikan dukungan dan bimbingan kepada para founder di dalam portofolionya. Menurutnya, perkembangan makin banyaknya founder startup terlibat sebagai LP atau angel investor menandakan bahwa ekosistem teknologi semakin matang dan para pendiri startup telah menghasilkan sesuatu yang bernilai.

“Kami sangat senang dengan perkembangan ini dan menyambutnya dengan baik. Kami sangat berterima kasih kepada para pendiri yang telah bekerja sama dan mendukung kami dengan peluncuran Forge Ventures” kata Kaspar.

Forge Ventures didirikan oleh Kaspar bersama Tiang Lim Foo, keduanya adalah veteran di ekosistem startup. Kaspar sebelumnya memegang peran investasi di 500 Startups, Venturra Capital, Koru Partners, dan Maloekoe Ventures, dengan berbagai portofolio startup, termasuk Grab, Bukalapak, Zilingo, Carsome dan Carro. Ia juga pernah menjabat sebagai VP Pomelo dengan tugas meluncurkan dan mengelola bisnis di Indonesia, serta mengawasi pemasaran dan intelijen bisnis secara regional.

Sementara, Foo memiliki pengalaman lebih dari satu dekade dalam membangun, mengoperasikan, dan berinvestasi di ekosistem startup. Dia adalah mitra ventura di Next Billion Ventures, dan menjabat sebagai mitra di dana investasi tahap awal berbasis di Singapura, SeedPlus. Portofolionya mencakup investasi awal di perusahaan di Asia Tenggara, termasuk Qoala, Rukita, Homage, dan CardUp.

Dalam keterangan resmi, Foo menyampaikan bahwa ekosistem startup di regional ini sedang berada pada titik perubahan dengan berlimpahnya modal, sehingga para founder menuntut lebih banyak dari investor awal mereka. “Kami adalah operator, sehingga kami tahu apa yang diperlukan untuk beralih dari nol ke satu. Inilah sebabnya kami dapat membangun keyakinan lebih awal dan menjadi modal institusional pertama yang mendukung sebuah startup,” tuturnya.

Melalui debut ini, Forge menargetkan akan membangun portofolio terkonsentrasi untuk 15 perusahaan selama tiga tahun mendatang dengan fokus di Singapura dan Indonesia. Tercatat, Forge telah berinvestasi ke tiga startup. Pertama, Vorge, platform SaaS pramutamu digital berbasis di Singapura untuk industri perhotelan. Kedua, Dropezy, startup online grocery dari Indonesia, dan Marathon, startup edtech bimbingan belajar K-12 dari Vietnam yang mendemokratisasikan akses ke tutor pilihan.

Kaspar menuturkan hipotesis Forge dalam berinvestasi tidak terikat pada satu sektor saja. Sektor fintech dan edtech menjadi pertimbangan yang akan disasar Forge karena pihaknya melihat banyak aktivitas yang tinggi di dalam industri tersebut. Besaran investasi yang disiapkan Forge berkisar dari $500 ribu hingga $1 juta (Rp7 miliar – Rp14 miliar) untuk memimpin pra-awal dan putaran awal.

Dia mengaku, saat berinvestasi pihaknya tidak melakukan metrik khusus dalam menilai startup, meski diketahui investasi di tahap awal cenderung risikonya lebih tinggi. “Terkadang kami menginvestasikan pra-produk, sehingga kami tidak perlu mendasarkan keputusan kami pada metriks. Setiap perusahaan itu unik, sehingga proses kami akan berbeda-beda.”

Co-founder & CEO Qoala Harshet Lunani menambahkan, Foo adalah salah satu investor awal di Qoala, bahkan sebelum produknya diluncurkan di pasar. Foo memegang peranan penting dalam hal GTM dan strategi dan sangat membantu dalam mendapatkan karyawan dan investor penting.

“Saya sangat senang dapat memiliki kesempatan untuk mendukung Tiang dan Kaspar dalam membangun Forge Ventures. Saya percaya pendekatan yang dipimpin oleh operator Forge Ventures akan mengubah permainan bagi para pendiri tahap awal,” kata Lunani.

Tren pendanaan tahap awal tahun lalu

Menurut catatan Startup Report 2020, terdapat 113 transaksi pendanaan yang diumumkan ke publik dengan total nilai $3,3 miliar. Nominal tersebut diperoleh dari 50 transaksi pendanaan yang diungkapkan kepada publik. Sebanyak $2,43 miliar di antaranya ditujukan untuk startup unicorn.

Berdasarkan tahapannya, pendanaan tahap awal mendominasi transaksi dengan total 47 transaksi, dengan rincian 11 pendanaan untuk startup SaaS, masing-masing lima pendanaan untuk startup e-commerce dan edtech, dan empat pendanaan masing-masing untuk startup new retail dan online media.

Adapun untuk VC yang paling aktif berinvestasi di tahap awal adalah East Ventures dengan 14 investasi, mayoritas ditujukan untuk putaran perdana bagi startup.

Hadirkan Teknologi dalam “Urban Farming”, Tunas Farm Dapat Pendanaan Awal dari Gayo Capital

Kesadaran masyarakat akan hidup sehat terus meningkat. Terlebih di kondisi pandemi, tubuh memerlukan nutrisi terbaik agar tercipta daya tahan yang prima. Melihat hal tersebut, Widya Surya Prayoga, Rudwiky Okta Putra, dan Topaz Kumoro menginisiasi Tunas Farm dengan visi mengintegrasikan solusi urban farming dengan teknologi.

Tunas Farm sudah memulainya dengan membangun ruang produksi tanaman indoor farming di kawasan Gading Serpong. Salah satu metode tanam yang diaplikasikan adalah hidroponik. Konsep bisnis yang disajikan berupa B2C, yakni menawarkan farm to table untuk memungkinkan konsumen dapat menikmati sayuran yang baru saja dipetik. Didukung dengan same day delivery oleh tim logistik Tunas Farm sendiri.

Baru-baru ini, untuk mengakselerasi bisnisnya, Tunas Farm menerima pendanaan pre-seed funding dari Gayo Capital. Tidak disebutkan detail nominal yang diterima. Hanya saya dikatakan, dana yang diperoleh akan difokuskan untuk peningkatan sistem hidroponik berbasis teknologi memanfaatkan IoT.

Saat ini Surya dan tim Tunas Farm sedang menyelesaikan persiapan fasilitas di Gading Serpong sebagai tempat produksi sekaligus display indoor vertical farming yang akan selesai dalam waktu dekat. Mereka juga berencana membangun fasilitas serupa di area lain dan akan memberikan pelatihan langsung tentang bagaimana cara bertani di rumah sendiri menggunakan sistem hidroponik.

Ia juga mengatakan, bahwa ke depannya Tunas Farm akan mengeluarkan produk hidroponik kit dengan sistem IoT yang bisa dimiliki oleh masyarakat untuk bertani di rumah sendiri dengan mudah.

Startup teknologi pertanian

Kendati bisnis agritech banyak dikatakan memiliki potensi besar di Indonesia, sejauh ini belum banyak solusi teknologi yang hadir mendemonstrasi proses bercocok tanam secara signifikan. Sementara banyak sekali potensi teknologi yang bisa dimanfaatkan, mulai dari IoT, big data, machine learning, computer vision, dan lain-lain. Tidak dimungkiri, isu di sektor pertanian masih sangat banyak, dari hulu ke hilir.

Salah satu yang mulai banyak diselesaikan terkait rantai pasokan (supply chain); memungkinkan konsumen –baik bisnis maupun konsumer—mengakses produk pertanian langsung dari para petani atau melalui medium yang lebih sederhana. Dampaknya, petani mendapatkan harga jual yang lebih baik kendati dari sisi konsumen pun juga lebih hemat. Selain itu, solusi lain yang mulai banyak adalah seputar pembiayaan produktif untuk mitra petani.

Beberapa startup mulai menghadirkan produk teknologi untuk menunjang pertanian – sebagian masih proses riset (banyak ditemui dalam kegiatan inkubator, kompetisi, maupun hackthon), lainnya sudah mulai diproduksi. Selain Tunas Farm, ada juga Mertani, Tanibox, dan Neurafarm. Mertani hadirkan solusi IoT dan big data untuk memantau petani memantau kondisi lahan perkebunannya dengan skala yang besar.

Adapun Neurafarm menghadirkan aplikasi berbasis kecerdasan buatan bernama “Dr. Tania”, berfungsi membantu petani mengidentifikasi penyakit tanaman melalui analisis dari foto yang diunggah. Di skala yang lebih kecil, Tanibox menghadirkan perangkat berbasis sensor untuk membantu masyarakat bercocok tanam di dalam rumah.