Transfez Secures Seed Funding Led by East Ventures and BEENEXT

After announcing fundraising plan last year, the fintech platform Transfez that offers digital remittance services today (5/19) just finalized its seed round. This round was led by East Ventures and BEENEXT.

“We are very pleased to have two well-known investors supporting Transfez’s mission. Currently, cross-border payments are complex due to different terms and payment channels in each country. As a result, transactions are expensive and time-consuming. Our goal is to simplify the complex process,” Transfez’ CEO, Edo Windratno said.

The company plans to use the fresh money for product development and market penetration. Currently, Transfez serves the B2C sector offering money transfer services to 26 foreign currencies in more than 50 countries. In addition, Transfez will also expand its services to the B2B payment sector in the near future.

Was founded in early 2020, Transfez has processed a total of IDR1.5 trillion ($105 million) transactions. Apart from the Covid-19 pandemic, they also claim to have experienced a 30 times growth of transactions processed in the past year.

Transfez offers international money transfer services cost up to 10 times lower than conventional banks with an all-digital and real-time process. Customers can send and receive their money in minutes because Transfez has liquidity in every country where the company operates.

“We believe that the Transfez team has the ability to serve millions of Indonesians to send and receive money digitally around the world in a more cost-effective, seamless and secure way,” East Ventures’ Partner, Melisa Irene said.

The rise of remmittance players in Indonesia

Since 2015, there are many remittance services provided by foreign to local platforms in Indonesia. One of the main reasons is to cater for the large number of migrant workers abroad in terms of sending money to their families back home.

The Central Bureau of Statistics (BPS) reports that there are around 276,553 migrant workers abroad. Taiwan, Malaysia and Hong Kong are three most favorite harbor for our workers. Meanwhile, the number of Indonesian students studying in other countries is 20,225 people. Both students and the workforce are the foundation of the remittance business, but the market might continue to widen.

Aside from fintech platforms such as Transfree, Xendit, TransferWise, Wallex, Zendmoney, OY!, TrueMoney, RemitPro which try to offer similar services, banking services like BNI have started to actively develop their technology by establishing strategic collaborations with related parties to strengthen remittance services.

Meanwhile, BRI Ventures is involved in funding Nium, a remittance startup from Singapore.

Yusuf Rendy Manilet, an economist from the Center of Reform on Economics (CORE), said that the popularity of remittances this year cannot be separated from its huge potential. The opportunity remains as digital players are yet to reach all layers put remittances as the next most promising fintech service derivation.

One of the factors driving the large potential for remittances is the number of Indonesian workers and students abroad. Moreover, Yusuf said, Indonesia will experience a demographic bonus. The growth of the productive age will pick up – something he considers reassuring investors of the prospects for the remittance business.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Transfez Kantongi Pendanaan Tahap Awal Dipimpin East Ventures dan BEENEXT

Setelah tahun lalu sempat mengutarakan rencana penggalangan dana, platform fintech yang menawarkan layanan remitansi digital Transfez hari ini (19/5) mengumumkan baru menyelesaikan putaran tahap awal mereka. East Ventures dan BEENEXT terlibat memimpin pendanaan ini.

“Kami sangat senang memiliki dua investor ternama yang mendukung misi Transfez. Saat ini, pembayaran lintas negara rumit karena adanya persyaratan dan jalur pembayaran yang berbeda-beda di setiap negara. Akibatnya, transaksi menjadi mahal dan memakan waktu. Tujuan kami adalah menyederhanakan proses yang rumit tersebut,” kata CEO Transfez Edo Windratno.

Dana segar ini akan dimanfaatkan oleh perusahaan untuk pengembangan produk dan penetrasi pasar. Saat ini, Transfez melayani sektor B2C yang menawarkan layanan pengiriman uang ke 26 valuta asing di lebih dari 50 negara. Selain itu, Transfez juga akan memperluas layanannya ke sektor pembayaran B2B dalam waktu dekat.

Diluncurkan pada awal tahun 2020 lalu, saat ini Transfez telah memproses total transaksi senilai Rp 1,5 triliun ($105 juta). Terlepas dari pandemi Covid-19, mereka juga mengklaim telah mengalami pertumbuhan sebesar 30x lipat dalam jumlah transaksi yang diproses dalam satu tahun terakhir.

Transfez menawarkan layanan transfer uang internasional berbiaya hingga 10x lebih rendah dibanding bank konvensional dengan proses yang serba digital serta real-time. Pelanggan dapat mengirim dan menerima uang mereka dalam hitungan menit karena Transfez memiliki likuiditas di setiap negara tempat perusahaan beroperasi.

“Kami percaya bahwa tim Transfez memiliki kemampuan untuk melayani jutaan orang Indonesia untuk mengirim dan menerima uang secara digital di seluruh dunia dengan cara yang lebih hemat biaya, lancar, dan aman,” kata Partner East Ventures Melisa Irene.

Maraknya pemain remitansi di Indonesia

Sejak tahun 2015 lalu layanan remitansi sudah banyak dihadirkan oleh platform asing hingga lokal di Indonesia. Salah satu alasan utama adalah, untuk meng-cater banyaknya pekerja migran dan TKI di luar negeri dalam hal pengiriman uang kepada keluarga di tanah air.

Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan jumlah TKI di luar negeri berjumlah 276.553 orang. Taiwan, Malaysia, dan Hong Kong merupakan tiga tujuan favorit bagi pekerja kita. Sedangkan jumlah pelajar Indonesia yang menimba ilmu di negara lain 20.225 orang. Baik pelajar maupun tenaga kerja merupakan fondasi bisnis remitansi, namun pasar mereka berpotensi terus melebar.

Bukan hanya platform fintech seperti Transfree, Xendit, TransferWise, Wallex, Zendmoney, OY!, TrueMoney, RemitPro yang mencoba untuk menawarkan layanan serupa, layanan perbankan seperti BNI juga mulai aktif mengembangkan teknologi mereka dengan menjalin kolaborasi strategis dengan pihak terkait untuk memperkuat layanan remitansi.

Sementara BRI Ventures terlibat dalam pendanaan Nium, startup remitansi asal Singapura.

Ekonom dari Center of Reform on Economics (CORE) Yusuf Rendy Manilet menilai, popularitas remitansi di tahun ini tak lepas dari potensinya yang memang besar. Potensi besar yang relatif belum lama terjamah oleh pemain digital menempatkan remitansi sebagai derivasi layanan fintech berikutnya yang paling menjanjikan.

Salah satu faktor pendorong besarnya potensi remitansi adalah jumlah tenaga kerja dan pelajar Indonesia di luar negeri. Terlebih, menurut Yusuf, Indonesia akan mengalami bonus demografi. Pertumbuhan kelompok usia produktif masih akan meningkat — sesuatu yang ia anggap meyakinkan para investor akan prospek bisnis remitansi.

Application Information Will Show Up Here

BNI Gunakan Teknologi Blockchain J.P. Morgan untuk Remitansi

Bank Negara Indonesia (BNI) menerapkan teknologi blockchain milik J.P. Morgan untuk mempermudah proses validasi data dalam transaksi kiriman uang ke Indonesia dari luar negeri. Layanan ini dapat digunakan untuk pengirman uang dari Taiwan ke Indonesia.

Proses validasi ini menggunakan Confirm, aplikasi validasi akun global yang bagian jaringan Liink milik J.P. Morgan. Bank pengirim di luar negeri dapat meminta konfirmasi atas detail penerima kepada BNI, sebelum transaksi pengiriman uang dijalankan.

Setelah BNI memvalidasi rekening tersebut, perintah pembayaran dapat dikirimkan melalui jaringan PayDirect dari J.P. Morgan dan BNI menyalurkannya ke rekening penerima di bank tujuan.

Sesuai regulasi perbankan di Indonesia, nomor dan nama pemilik rekening yang tertera saat pengiriman dana harus sesuai dengan data yang ada di bank penerima. Lewat kerja sama ini, BNI ingin memastikan efisiensi dan meminimalisir kemungkinan transaksi diretur akibat adanya ketidaksesuaian data penerima.

Direktur Treasury dan International BNI Henry Panjaitan mengatakan, kemudahan transaksi adalah kunci utama untuk memperoleh kepuasan dan loyalitas konsumen. Menurutnya, kerja sama dengan J.P. Morgan dapat mendukung berjalannya transaksi perbankan yang efisien dan efektif bagi nasabah, terutama untuk mendukung pengiriman uang ke Indonesia dari pekerja migran di luar negeri.

“Ini adalah salah satu prioritas utama BNI, dan kami ingin memperluas ketersediaan solusi digital untuk mendukung kebutuhan nasabah dalam melakukan transaksi perbankan yang mudah dan aman. Baik dalam skala domestik maupun internasional,” terang Henry seperti dikutip dari Kontan.

Aplikasi Confirm yang dikembangkan di jaringan Liiink ini telah diperkenalkan sejak akhir tahun lalu. Aplikasi tersebut dikembangkan dengan memperhatikan masukan dari para anggota jaringan tersebut untuk memenuhi kebutuhan atas ekosistem pembayaran global.

Liink merupakan bagian dari Onyx, unit bisnis J.P. Morgan yang diluncurkan pada tahun 2017 yang sebelumnya dikenal dengan IIN. Kini Liink telah memiliki 400 peserta yang terdiri dari lembaga keuangan dan korporasi, termasuk 27 bank terbesar di dunia, meliputi 78 negara, dengan 100 yang sudah berjalan.

“Kami senang melihat aplikasi Confirm dapat membantu klien-klien seperti BNI untuk meningkatkan transaksi antar negaranya. Kami senantiasa mendengarkan klien kami dan akan terus menghadirkan berbagai produk dan layanan generasi selanjutnya bagi para peserta Liink di masa mendatang,” tambah Global Head Liink Onyx by J.P. Morgan Christine Moy.

Sebelumnya, tiga tahun lalu, BNI sudah mengungkapkan inisiasi mengimplementasikan teknologi blockchain melalui kajian bersama PT Adamobile Solutions Networks. Trade finance dan remitansi akan jadi unit bisnis BNI yang pertama yang akan menggunakan teknologi tersebut.

Pada saat itu, pejabat BNI menyampaikan, blockchain di bisnis remitansi bermanfaat untuk pertukaran data real time dan aman karena data telah terenkripsi ke seluruh anggota blockchain.


Gambar header: Depositphotos.com

Dapat Lisensi BI, Startup Remitansi Transfree Segera Resmikan Kehadiran di Q2 2021

Berawal dari pengalaman pribadi sebagai anak rantau di Inggris, Crisman Wise merasakan sulitnya menemukan solusi transfer antar negara yang sederhana dan tidak mahal. Dengan niat awal untuk membantu teman, pada bulan Juli 2018 ia membuat sebuah solusi untuk mempermudah transfer ke luar negeri serta menerima uang dalam mata uang lain tanpa biaya tambahan.

Kemudian layanan tersebut diberi nama Transfree (akronim dari transfer free). Dua tahun kemudian, setelah perjalanan berliku untuk mendapat izin dari Bank Indonesia, layanan ini berhasil meraih lisensi per Juli 2020.

“Kami melihat masalah transfer antar negara ini besar dan menjadi kebutuhan banyak orang. Dengan niat awal membantu teman, kita merasa ini adalah sesuatu yang bisa berkembang. Itulah awalnya kita membuat Transfree,” ungkap Founder & CEO Transfree Crisman Wise.

Crisman mengakui, hidup sebagai anak rantau mengharuskannya berurusan dengan transfer uang ke dan dari Indonesia. Untuk mencapai hal itu, ia harus merogoh kocek cukup besar akibat biaya transfer yang cukup tinggi dari platform transfer uang internasional.

Secara model bisnis, layanan yang ditawarkan Transfree tidak jauh berbeda dari kompetitor seperti Transfez, Zendmoney atau TransferWise. Mereka memungkinkan pelanggan mengirim uang ke luar negeri dan mendapatkan pembayaran dalam mata uang lain ke dalam rekening mereka atau rekening penerima. Bedanya, Transfree tidak mematok biaya tambahan untuk layanan ini. Perusahaan mengakui hanya mengambil keuntungan dari selisih kurs.

Pemain remitansi digital di Indonesia
Pemain remitansi digital di Indonesia

Target di 2021

Pada awalnya, Transfree memang ditujukan untuk membantu para pelajar asing, terutama di Inggris agar bisa lebih mudah dan murah dalam proses transfer antar negara. Seiring perjalanan, ternyata timnya menemukan bahwa masalah terbesar ada pada para PMI (Pekerja Migran Indonesia). Dalam proses mengirim hasil jerih payah yang mereka dapat di negara orang ke Indonesia mereka harus merogoh kocek yang tidak sedikit untuk biaya tambahan.

Data yang dihimpun dari Bank Indonesia menunjukkan bahwa remitansi atau kiriman devisa dari TKI yang mengadu nasib ke luar negeri sepanjang 2018 mencapai US$10,971 miliar atau setara Rp153,6 triliun. Dari jumlah remitansi yang masuk ini telah menciptakan potensi bisnis yang besar.

Dalam waktu kurang lebih dua tahun, startup ini telah melayani transaksi antara Indonesia, Eropa dan Australia. Sebagian besar pelanggan datang dari relasi, namun tidak sedikit juga yang melalui rekomendasi. Jumlah tersebut kemudian digunakan perusahaan untuk memvalidasi permintaan (demand).

Secara teknis, Transfree belum resmi meluncurkan layanan untuk PMI ini. Hal ini menjadi salah satu target mereka di Q2 2021. Target lainnya datang dari sisi pendanaan, saat ini Transfree masih berstatus bootstrapping. Timnya masih berupaya untuk mendapat tambahan modal demi mewujudkan visi perusahaan membuat proses transfer uang internasional terasa seperti transfer lokal.

“Saat ini kita sedang mengusahakan untuk bisa launching di Q2 tahun ini. Fokus layanan kita masih akan di Asia Tenggara. Untuk target customer dan volume transaksi kita masih belum bisa disclose. Tapi bisa dibilang traksinya cukup baik. Saat ini kita sedang lari kencang agar tidak ketinggalan momentum,” ujar Crisman.

Digiasia Bukukan “Debt Funding” 711 Miliar Rupiah, Perkuat Unit P2P Lending

Setelah mengantongi pendanaan Seri B awal tahun 2020 lalu, perusahaan fintech Digiasia Bios kembali merampungkan pendanaan melalui jalur debt funding senilai $50 juta atau setara 711,8 miliar Rupiah. Tidak diinfokan lebih detail mengenai institusi mana saja yang terlibat meminjamkan/menyalurkan dana tersebut.

Kepada DailySocial, Co-Founder & CEO Alexander Rusli mengungkapkan, dana segar tersebut nantinya akan dimanfaatkan untuk memperkuat kanal bisnis p2p lending.

“Saat ini channel tersebut sudah berjalan sejak 1,5 tahun terakhir, dengan pendanaan ini akan ramp up rencana kita. Kita telah memberikan pinjaman kepada sekitar 11 ribu warung,” kata Alex.

Modal tambahan tersebut juga akan dimanfaatkan untuk berinvestasi kepada mitra strategis. Untuk rencana ini Alex menegaskan masih dalam tahap pengembangan dan baru saja dirilis. Pihaknya masih dalam tahap monitoring dan pengamatan terlebih dulu.

Digiasia didirikan oleh mantan petinggi Indosat Ooredoo, yakni Alexander Rusli (mantan CEO) dan Prashant Gokarn (mantan Chief Digital & Service Officer) pada 2018 lalu.

Sejumlah kemitraan Digiasia

Dari sisi partnership, Digiasia telah bermitra dengan sejumlah perusahaan transportasi untuk menyediakan kemudahan bertransaksi, seperti kerja sama KasPro (unit usaha Digiasia) dengan Damri untuk rute tertentu di Bandung. Di sisi lain, penjualan produk B2B dari Metrodata difasilitasi KreditPro (unit usaha Digiasia).

Salah satu portofolio menarik dari Digiasia adalah layanan remitansi online. Sinergi strategis dengan Mastercard dapat menjadi penguatan layanan RemitPro atau chapter baru untuk menjadikan satu ekosistem dari seluruh produk existing Digiasia.

Menurut perusahaan, RemitPro sudah tersedia di 60 negara dengan dukungan 200 agen pembayaran. RemitPro juga bekerja sama dengan PT Eka Bakti Amerta Yoga sebagai mitra penyelenggara transfer dana remitansi, yang memungkinkan pencairan dana di 4.800 kantor pos dan 10.000 cabang BRI di Indonesia.

Berada di Bawah Naungan Xendit Group, Instamoney Sediakan Layanan API untuk Remitansi

Instamoney adalah penyedia layanan API (Application Programming Interface) untuk membantu suatu perusahaan menghadirkan layanan fintech berupa remitansi melalui Remittance API, pinjaman melalui Escrow API, dan investasi melalui RDL (Rekening Dana Lender) API. Secara bisnis, startup tersebut merupakan bagian dari pengembang platform payment gateway Xendit Group.

Saat ini layanan Instamoney telah menggenggam lisensi Bank Indonesia melalui PT Syaftraco. Diketahui, sebelumnya CV Syaftraco merupakan perusahaan transfer dana yang terdaftar di BI dengan nomor 11/5/DASP/2 tertanggal 4 Maret 2013. Kemudian di tahun 2018, perusahaan tersebut diakuisisi Instamoney dan berubah menjadi perseroan terbatas di bawah Xendit.

Resminya Instamoney terbentuk pada 7 Februari 2018 dengan Tessa Wijaya sebagai Founder & CEO. Diketahui saat ini ia juga menjabat sebagai COO Xendit sejak 2016. Sebelum bernaung di bisnis fintech, Tessa memiliki pengalaman karier di berbagai firma ekuitas swasta selama 7 tahun, di antaranya di QUVAT, Fairways, dan Mizuho.

“Xendit Group memahami bahwa agar bisnis dapat bertumbuh, mereka membutuhkan lebih dari sekadar platform untuk menerima pembayaran. Bertujuan untuk memberikan solusi pembayaran holistik, perusahaan-perusahaan dalam Xendit Group membangun produk berbasis teknologi dan menciptakan solusi satu atap untuk kebutuhan keuangan perusahaan,” ujar Tessa.

CEO & Founder Instamoney, Tessa Wijaya / Instamoney
CEO & Founder Instamoney, Tessa Wijaya / Instamoney

Value proposition

Di Indonesia sendiri sudah ada beberapa penyedia API fintech dengan berbagai spesialisasinya. Misalnya Ayoconnect, fokus menghadirkan berbagai modul transaksi pembayaran. Terbaru juga ada Finantier, menghadirkan modul pengelolaan identitas dan pembayaran. Sementara yang fokus menyediakan API untuk remitansi ada Wallex Technologies.

Disinggung soal keunikan yang coba dibawa, Tessa mengatakan bahwa API yang mereka hadirkan memiliki proses yang relatif real-time. Misalnya untuk remitansi, hanya di bawah 60 detik — sehingga memungkinkan implementator melakukan efisiensi operasional dan biaya. Mereka juga mengupayakan untuk menyesuaikan standardisasi global untuk sistem API mereka, kiblatnya ke Silicon Valley, diharapkan jadi lebih mudah dalam proses integrasi.

Layanan API Instamoney ditargetkan kepada tiga segmen. Pertama untuk perusahaan-perusahaan remitansi di Indonesia yang sudah memiliki izin dari BI dan menginginkan proses transfer dana melalui sentuhan digital. Kedua, perusahaan remitansi di luar negeri yang mencari mitra lokal. Dan yang ketiga, perusahaan pada umumnya yang memerlukan proses transfer dana dalam model bisnisnya.

Kerja sama dengan TransferWise

Belum lama ini platform remitansi asal London “TransferWise” meresmikan kehadirannya di Indonesia. Memungkinkan pengguna untuk mengirim/menerima dana dari/ke luar negeri dalam bentuk Rupiah. Dalam sistemnya, mereka mengaplikasikan API yang disediakan Instamoney, sekaligus menggandeng mereka sebagai mitra strategis lantaran TransferWise tidak memiliki lisensi dari BI.

“Instamoney bekerja sama dengan Transferwise untuk menyediakan layanan transfer dana melalui aplikasi digital yang cepat, aman dan mudah dengan biaya yang lebih terjangkau bagi masyarakat Indonesia. Sebagai perusahaan penyelenggara transfer dana yang berizin di Indonesia, Instamoney menyediakan API dan teknologi remitansi kelas dunia yang terhubung dengan partner bank agar proses transfer dana dapat berlangsung dengan lancar,” ujar Tessa.

Dalam operasionalnya Instamoney menggandeng bank lokal dan lembaga keuangan lainnya sebagai mitra strategis. Sehingga memungkinkan banyak transaksi dilakukan pada saat yang bersamaan, dilengkapi dengan sistem pencegahan/mitigasi risiko, dengan mengenal pola-pola saat melakukan transfer dana.

“Banyak sekali aktivitas remitansi dan transfer dana di Indonesia, tetapi sebagian besar masih dianggap konvensional. Kami ingin membantu mengubahnya dengan produk dan teknologi terkini kami,” imbuh Tessa.

Disampaikan, setiap bulannya Instamoney telah melayani ratusan ribu transaksi dari perusahaan-perusahaan finansial yang menjadi kliennya. Pun saat pandemi, dari data yang ada terlihat adanya peningkatan akibat adopsi digital yang makin masif.

“Dalam satu tahun ke depan, kami masih akan melakukan fokus untuk memahami lebih dalam akan kebutuhan transfer dana dan meningkatkan kualitas produk yang relevan bagi perusahaan-perusahaan di Indonesia. Kami juga ingin menjalin hubungan yang lebih baik lagi dengan regulator dan mendukung program-program dan kebijakan mereka untuk meningkatkan industri transfer dana di Indonesia,” tutup Tessa.

Gambar header: Depositphotos.com

Gandeng Instamoney, Platform Remitansi TransferWise Resmikan Kehadiran di Indonesia

Perusahaan digital pengembang layanan remitansi TransferWise hari ini (24/11) secara resmi mengumumkan perluasan layanan ke Indonesia. Ditandai dengan kapabilitas baru di platform, memungkinkan pengguna melakukan pengiriman uang dari Indonesia keluar negeri.

Kehadirannya di Indonesia menggandeng dengan fintech lokal, yakni Instamoney (PT Syaftraco). Kolaborasi ini didasari adanya aturan, setiap pemain remitansi yang menyelenggarakan layanan transfer dana di Indonesia harus terdaftar di Bank Indonesia. PT Syaftraco telah memperoleh izin BI sebagai penyelenggara transfer dana sejak Maret 2013.

“Kami punya ambisi yang sama untuk membangun standar baru di industri keuangan dan remitansi, untuk menghadirkan solusi finansial yang terbaik, dan harapannya bisa membawa dampak positif bagi masyarakat Indonesia”, ujar Co-founder & COO Instamoney Tessa Wijaya.

Instamoney sendiri fokus ke B2B, menjajakan layanan API untuk perusahaan finansial agar bisa memfasilitasi remitansi, pinjaman, dan investasi. Kebanyakan kliennya adalah layanan perbankan di Indonesia.

TransferWise saat ini sudah mengakomodasi pengiriman ke lebih dari 80 negara. Termasuk di dalamnya Australia, Malaysia, Singapura, Jepang, hingga ke Amerika Serikat dan Tiongkok (via Alipay). Pengguna bisa memanfaatkan layanan mereka lewat situs web maupun aplikasi di ponselnya.

Beberapa kelebihan turut disampaikan, mereka mengklaim memiliki biaya layanan lebih murah 2,5 kali lipat dibandingkan layanan serupa dari perbankan. Untuk dana biasanya tiba dalam hitungan detik atau maksimal satu jam.

Sebelumnya TransferWise telah terlebih dulu jalin kerja sama dengan beberapa platform digital wallet lokal, tepatnya sejak November 2019 lalu. Pengguna bisa mengirim uang dari luar negeri ke akun Dana, Gopay, dan Ovo.

Head of Indonesia Expansion TransferWise Elian Ciptono menjelaskan, menurut survei yang dilakukan di Indonesia, pengguna layanan remitansi didominasi oleh keluarga yang mengirim uang kerabatnya. “Survei juga menunjukkan bahwa 90% dari mereka merasa terbebani dengan tingginya biaya pengiriman. Bukan cuma mahal, jasa remitansi lain juga dianggap sulit dan lambat.”

Dengan isu yang sama, beberapa startup Indonesia juga hadir memberikan solusi layanan serupa. Di antaranya Transfez, Topremit, Wallex Technologies, Zendmoney hingga Oy! Indonesia. Kebutuhan transaksi antarnegara (cross-border) yang murah dan efisien secara proses berhasil membuat para pemain di sektor ini mencuri perhatian konsumen.

DailySocial sempat berbincang dengan dua pemain remitansi, Transfez dan Topremit. Pihak Transfez mengatakan, sejak pandemi Covid-19 di bulan Maret 2020, jumlah pengguna Transfez telah meningkat lebih dari 400%. Pun demikian buat TopRemit, mereka mengklaim berhasil memproses lebih dari 280 miliar Rupiah dengan 16 ribu pengguna yang mendaftar dan dalam 6 bulan pertama 2020.

Wallex Technologies menjadi pemain di teknologi remitansi lokal yang tahun ini mendapatkan pendanaan tahun ini. Selama periode pandemi, mereka mengklaim rata-rata dapatkan peningkatan bisnis sekitar 20% setiap bulan.

Application Information Will Show Up Here

Gambar Header: Depositphotos.com

Fintech Business in the First Half of 2020

Financial technology (fintech) is a well-developed business landscape in Indonesia. The growth lies on both sides, from businessmen and consumers. It is recognized by the increasing categories of fintech services in Indonesia with an increasing user base. Annually, DSResearch is to release “Fintech Report”, an integrated report discussing the trends and dynamics of the related industry.

Earlier this year, in the latest published report, presented some interesting data. One of which is related to the distribution of funds by p2p lending startups. Last year, the value was up to IDR 60.4 trillion, increased by almost 3 times from the previous year. Borrower accounts registered with the OJK also increased to 14.3 million, 3 times exceeding from a total number in 2018 at 4.3 million accounts.

In conclusion, there is always an increase in business from year to year, with the most popular sub-businesses related to loans and digital wallets. Unlike this year, Covid-19 has “disrupted” various business arrangements, including fintech, therefore, many business agendas must be readjusted. However, has this pandemic really caused significant disruption to fintech in Indonesia?

This article intends to present analysis and comparison data, referring to business activities that have taken place during the first half of 2020.

Startup funding

Amid business objectives to accelerate growth, funding is an important business aspect that the founder continues to strive for. In the first half of 2020 (H1 2020), there were 8 funding involving fintech startups operating in Indonesia. Regarding transactions, the number decreased compared to H1 2019, last year there were 12 transactions. However, in terms of nominal (published), the value is much greater in H1 2020.

There are no publications of fintech funding throughout the first quarter of this year, all the news starting to be announced in April 2020. Here’s the full list:

Stage Month Startup Value
Debt Funding April KoinWorks $20 million
May KoinWorks $10 million
Pre-Series A May Pintek Undisclosed
Series A April Qoala $13.5 million
June Wallex Technologies Undisclosed
Series B March Digiasia Bios Undisclosed
Series C April Investree $23.5 million
April Modalku Undisclosed

If last year most of the funding was in the early stages, this year more funding was disbursed for further funding. Some analysts have predicted that the crisis caused by this pandemic will make investors more selective in disbursing their funds. Most chose to increase the spin in established businesses and get good traction, also in this Covid-19 period.

In addition, Cashlez made a successful IPO on the Indonesia Stock Exchange earlier this year. The company released 250 million new shares at Rp350 per share. This amount of capital includes approximately 17.5 percent of the paid-up and issued capital. Successfully booked Rp 87.5 billion from the event.

P2P lending amid pandemic

The Indonesian Joint Funding Fintech Association (AFPI) in early June 2020 published its research. It is disclosed that during the pandemic period, loans that were successfully facilitated and approved by lenders reached IDR 237 billion from 674 thousand accounts/transactions. The survey was held on 9-14 May 2020 with 143 p2p lending organizers as respondents.

In terms of consumer, the return rate is quite stable. A total of 90 platforms claim that TKB90 is stable, 34 platforms claim that TKB90 has increased, and 6 platforms claim that TKB90 has increased. TKB90 is a credit quality level on a platform. The higher and closer to level 100, the better. Based on OJK’s data as of March 2020, the TKB90 for the p2p lending industry was recorded at the level of 95.78%.

As of April 2020, the accumulated lending in the p2p lending industry was IDR 106.06 trillion, increased by 186.54% YoY. Java Island dominates the total loans of up to Rp 90.88 trillion, the remaining Rp 15.18 trillion comes from outside Java. The number of registered lenders was 647,993 and borrowers reached 24.77 million.

Product consolidation and innovation

Several new product initiatives are being rolled out by local fintech players. Last June, KoinWorks announced that they are serious about working on the investment business, they are collaborating with MMI to release a mutual fund feature through its application. Regarding investment, Indodax and Tanamduit have also expanded their business to accommodate these demands, by presenting a digital gold sell-and-buy feature.

Another collaboration formed between Dana and YesDok, for a telemedicine feature on the Dana app – previously Gojek-Halodoc and Grab-Ping An had released similar services. In the meantime, LinkAja launched a sharia feature to work on new market segments. Several business platforms outside the fintech industry also expand their business lines in the financial sector. As an effort of helping SME partners in their ecosystem, Moka and eFishery have launched the capital-loan feature this year.

This year, the banking sector also increased its penetration to present technology products. Expecting good fortune in the digital wallet ecosystem, Bank OCBC NISP has started to seriously work on ONe Wallet. Jenius also strengthened the features in the application, last May they introduced Moneytory to help users with personal financial planning. Meanwhile, Bank Mandiri also released a special application to accommodate MSME loans this year.

Remittance should be a highlight

Layanan remitansi mulai banyak diminati di tengah kebutuhan solusi transfer dana antar negara yang lebih efisien / Freepik - pch.vector
Remittance service is gaining popularity amid the demand for an efficient cross-country money transfer / Freepik – pch.vector

In the first half of 2020, two remittance-related innovations were introduced. First, Zendmoney attempts to bridge migrant workers, then the OY! Indonesia, which released a new feature entitled remittances. The demand for cheap and efficient cross-country transactions has succeeded in making players in this sub-sector capture the consumers’attention.

DailySocial had a chance to talk with two remittance players, Transfez and Topremit. Transfez’ representative said, since the Covid-19 pandemic in March 2020, the number of Transfez users has increased by more than 400%. Moreover, TopRemit claims to have successfully processed more than 280 billion Rupiah with 16 thousand users registering and within the first 6 months of 2020.

Wallex Technologies is a player in local remittance technology which is getting funding this year. During the pandemic period, they claim on average a 20% increase in business every month.

In May 2020, BRI Ventures also announced to involve in Nium funding, a Singapore-based remittance startup. Visa also participates in this round. Before changing its name, Nium has secured an investment from MDI Ventures in 2014. Then, MDI Ventures was still directed by Nicko Widjaja, who now leads BRI Ventures. In the first quarter of 2020, Nium achieved a transaction value of $2 billion.

Fintech’s future development

Unfortunately, the pandemic impact is yet to end. Even in various cities, PSBB is still running to prevent virus transmission, which indeed has an impact on the economy in the local area. Basically, fintech startups work to “accommodate” the economic (monetary) process of society, as simple as: digital wallets will only be filled when the user has money/income. Therefore, the ongoing economic slowdown can also have a negative impact related to traction.

On the other hand, people are still pursuing many opportunities. There are more activities at home, many have started to try their luck with entrepreneurship – starting food, crafts, or other services. At a time when banks are increasingly selective in applying for credit, p2p lending can be an alternative solution for capital. Nevertheless, the challenge for the platforms is an increase in risk analysis – some credit scoring players are starting to emerge to accommodate these needs.

Beyond remittances and the popular fintech business model, there are still some business opportunities with potential development. There are two, we projected to be significant are the insurtech and equity crowdfunding. Supported by a quite low insurance penetration that continues to increase, and the culture of mutual cooperation that is unique to Indonesian society.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Bisnis Fintech di Paruh Pertama 2020

Financial technology (fintech) menjadi lanskap bisnis yang berkembang baik di Indonesia hingga saat ini. Pertumbuhannya di dua sisi, dari pebisnis maupun konsumen. Hal tersebut ditunjukkan dengan makin bervariasinya layanan fintech yang ada di Indonesia, dan memiliki basis pengguna yang besar. Setiap tahun, DSResearch rutin merilis “Fintech Report”, sebuah laporan terpadu membahas tren dan dinamika industri terkait.

Dalam laporan terbaru yang diluncurkan awal tahun ini, dikemukakan beberapa data menarik. Salah satunya terkait penyaluran dana oleh startup p2p lending, tahun lalu nilainya sampai Rp60,4 triliun Rupiah, naik hampir 3x lipat dari tahun sebelumnya. Akun peminjam yang tercatat di OJK juga naik menjadi 14,3 juta, meningkat 3x lipat lebih dari tahun 2018 yang hanya 4,3 akun.

Kesimpulannya, terpantau selalu ada peningkatan bisnis dari tahun ke tahun, dengan sub-bisnis yang paling populer terkait pinjaman dan dompet digital. Sayangnya tahun ini Covid-19 telah “mengganggu” berbagai tatanan bisnis, tak terkecuali fintech, sehingga banyak agenda bisnis yang harus disesuaikan ulang. Namun apakah pandemi tersebut benar-benar memberikan gangguan yang berarti kepada fintech di Indonesia?

Artikel ini akan mencoba menyajikan data ulasan dan perbandingannya, mengacu pada aktivitas bisnis yang telah berlangsung selama paruh pertama tahun 2020.

Pendanaan startup

Di tengah kebutuhan bisnis untuk mengakselerasi growth, pendanaan menjadi aspek bisnis penting yang terus diupayakan oleh founder. Di paruh pertama 2020 (H1 2020), tercatat 8 pendanaan yang melibatkan startup fintech yang beroperasi di Indonesia. Terkait transaksi, jumlahnya turun dibanding H1 2019, tahun lalu ada 12 transaksi. Namun terkait nominal (yang dipublikasikan), nilainya jauh lebih besar H1 2020.

Tidak ada publikasi pendanaan fintech sepanjang kuartal pertama tahun ini, semua pendanaan baru diumumkan mulai April 2020. Berikut daftar selengkapnya:

Tahapan Bulan Startup Nilai
Debt Funding April KoinWorks $20 juta
Mei KoinWorks $10 juta
Pre-Series A Mei Pintek Tidak dipublikasi
Series A April Qoala $13.5 juta
Juni Wallex Technologies Tidak dipublikasi
Series B Maret Digiasia Bios Tidak dipublikasi
Series C April Investree $23.5 juta
April Modalku Tidak dipublikasi

Jika tahun lalu kebanyakan adalah pendanaan di tahap awal, tahun ini pendanaan lebih banyak dikucurkan untuk pendanaan lanjutan. Beberapa analis sudah memprediksi, krisis akibat pandemi ini membuat investor menjadi lebih selektif dalam mengucurkan dananya. Sebagian besar memilih meningkatkan putaran di bisnis yang sudah mapan dan mendapatkan traksi baik, juga pada periode Covid-19 ini.

Selain itu, awal tahun ini Cashlez berhasil melakukan IPO di Bursa Efek Indonesia. Perusahaan melepas 250 juta saham baru dengan harga Rp350 per lembar. Jumlah modal ini meliputi sekitar 17,5 persen dari modal disetor dan ditempatkan. Berhasil membukukan Rp87,5 miliar dari hajatan tersebut.

P2P lending selama pandemi

Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) pada awal Juni 2020 lalu mengumumkan hasil risetnya. Dipaparkan, selama periode pandemi pinjaman yang berhasil difasilitasi dan disetujui lender mencapai Rp237 miliar dari 674 ribu akun/transaksi. Survei tersebut diselenggarakan pada 9-14 Mei 2020 dan diikuti oleh 143 platform penyelenggara p2p lending sebagai responden.

Dari sisi konsumen, tingkat pengembaliannya cukup stabil. Sebanyak 90 platform menyatakan TKB90 stabil, 34 platform penurunan TKB90, dan 6 platform mengaku TKB90 naik. TKB90 adalah level kualitas kredit dalam suatu platform. Semakin tinggi dan mendekati level 100, maka semakin baik. Berdasarkan data OJK per Maret 2020, TKB90 industri p2p lending tercatat di level 95,78%.

Per April 2020, akumulasi penyaluran pinjaman di industri p2p lending sebanyak Rp106,06 triliun, naik 186,54% secara yoy. Pulau Jawa mendominasi total pinjaman hingga Rp90,88 triliun, sisanya sebanyak Rp15,18 triliun datang dari luar Pulau Jawa. Jumlah lender yang tercatat ada 647.993 dan borrower mencapai 24,77 juta.

Konsolidasi dan inovasi produk

Beberapa inisiatif produk baru terus digulirkan oleh pemain fintech lokal. Juni lalu KoinWorks umumkan mulai serius menggarap bisnis investasi, mereka menggandeng MMI untuk rilis fitur reksa dana melalui aplikasinya. Soal investasi, Indodax dan Tanamduit juga melebarkan sayapnya untuk mengakomodasi kebutuhan tersebut, dengan menghadirkan fitur jual-beli emas secara digital.

Kolaborasi lain juga dijalin antara Dana dengan YesDok, menambahkan fitur telemedicine di aplikasi Dana — sebelumnya Gojek-Halodoc dan Grab-Ping An juga telah rilis layanan serupa. Di periode yang sama, LinkAja resmikan fitur syariah untuk menggarap segmen pasar baru. Beberapa platform bisnis di luar fintech juga terus upayakan perluasan lini bisnis di bidang finansial. Berdalih untuk membantu mitra UKM di dalam ekosistemnya, Moka dan eFishery tahun ini resmikan fitur permodalan.

Di sektor perbankan, tahun ini juga meningkatkan eksistensinya untuk menghadirkan produk teknologi. Mengharapkan peruntungan di ekosistem dompet digital, Bank OCBC NISP mulai serius garap ONe Wallet. Jenius pun perkuat fitur di aplikasinya, Mei lalu mereka hadirkan Moneytory untuk membantu pengguna melakukan perencanaan keuangan pribadi. Sementara Bank Mandiri tahun ini juga merilis aplikasi khusus untuk mengakomodasi kredit UMKM.

Remitansi layak menjadi perhatian

Layanan remitansi mulai banyak diminati di tengah kebutuhan solusi transfer dana antar negara yang lebih efisien / Freepik - pch.vector
Layanan remitansi mulai banyak diminati di tengah kebutuhan solusi transfer dana antar negara yang lebih efisien / Freepik – pch.vector

Paruh pertama 2020, ada dua inovasi terkait remitansi dihadirkan. Pertama kehadiran Zendmoney yang ingin membantu menjembatani pekerja migran, kemudian yang kedua aplikasi OY! Indonesia yang merilis fitur baru bertajuk remitansi. Kebutuhan transaksi antarnegara (cross-border) yang murah dan efisien secara proses berhasil membuat para pemain di sub-sektor ini mencuri perhatian konsumen.

DailySocial sempat berbincang dengan dua pemain remitansi, Transfez dan Topremit. Pihak Transfez mengatakan, sejak pandemi Covid-19 di bulan Maret 2020, jumlah pengguna Transfez telah meningkat lebih dari 400%. Pun demikian buat TopRemit, mereka mengklaim berhasil memproses lebih dari 280 miliar Rupiah dengan 16 ribu pengguna yang mendaftar dan dalam 6 bulan pertama 2020.

Wallex Technologies menjadi pemain di teknologi remitansi lokal yang tahun ini mendapatkan pendanaan. Selama periode pandemi, mereka mengklaim rata-rata dapatkan peningkatan bisnis sekitar 20% setiap bulan.

BRI Ventures pada Mei 2020 lalu juga mengumumkan turut terlibat dalam pendanaan Nium, startup Remitansi asal Singapura. Visa turut berpartisipasi pada putaran ini. Sebelum berganti nama, Nium pernah mendapat suntikan dana dari MDI Ventures di 2014. Saat itu MDI Ventures masih dipimpin oleh Nicko Widjaja yang kini telah memimpin BRI Ventures. Pada kuartal pertama 2020, Nium telah mengantongi nilai transaksi sebesar $2 miliar.

Perkembangan fintech selanjutnya

Sayangnya dampak pandemi belum berakhir sampai saat ini. Bahkan di berbagai kota masih dilakukan PSBB untuk mencegah penularan virus, yang tentu berdampak pada perekonomian di wilayah setempat. Pada dasarnya startup fintech bekerja “menampung” proses ekonomi (moneter) dari masyarakat, sesederhana: dompet digital baru akan terisi kalau penggunanya memiliki uang/penghasilan. Sehingga perlambatan ekonomi yang terus menjadi-jadi ini bisa juga memberikan dampak buruk terkait dengan traksi.

Di sisi lain, banyak peluang yang diburu oleh masyarakat. Lebih banyak aktivitas di rumah, banyak yang mulai mencoba peruntungan dengan berwirausaha – membuka jasa pesan makanan, kerajinan atau jasa lainnya. Di saat perbankan makin selektif terhadap pengajuan kredit, p2p lending bisa menjadi solusi alternatif untuk permodalan. Maka tantangannya untuk para platform adalah peningkatan analisis risiko – beberapa pemain credit scoring mulai bermunculan untuk akomodasi keperluan tersebut.

Di luar remitansi dan model bisnis fintech populer, masih ada beberapa peluang bisnis yang berpotensi dikembangkan. Dua di antaranya yang menurut kami akan menjadi sesuatu yang signifikan adalah insurtech dan equity crowdfunding. Didukung penetrasi asuransi yang masih minim dan terus meningkat; dan kultur gotong-royong yang khas di masyarakat Indonesia.

Pandemi Tidak Halangi Sinar Bisnis Remitansi di Indonesia

Wabah Covid-19 menjadi alasan utama banyak sektor ekonomi melesu di seluruh dunia. Momen-momen seperti ini selalu memunculkan suatu sektor atau pemain industri yang justru bersinar. Bisnis remitansi adalah salah satunya. Pandemi ternyata tidak menghalangi sinar potensi pasar pengiriman uang khususnya di Indonesia.

Selama masa pandemi ini, kami mencatat ada sejumlah sinyal positif dari pasar yang menunjukkan performa bisnis remitansi tetap kinclong. Kemunculan pemain baru, kabar pendanaan, hingga ekspansi pasar menjadi catatan-catatan menggembirakan dari bisnis ini.

Mendulang momen di kala pandemi

Kami berbicara dengan dua pemain lokal remitansi untuk melihat catatan positif vertikal ini, Transfez dan Topremit. Transfez, yang awal tahun ini telah menjangkau 37 negara, kini jejaknya sudah ada di 47 negara di 5 benua berbeda. Hal ini menunjukkan komitmen mereka menjangkau total 80 negara tahun ini tidak goyah.

Di aspek kecepatan pun, Transfez berhasil meningkatkan kualitas layanannya. Beberapa negara tujuan populer, seperti Singapura, bahkan hanya butuh beberapa detik untuk memperoleh kiriman uang dari pengguna di Indonesia. Negara lain yang punya kecepatan serupa adalah Inggris, Australia, Hong Kong, Filipina, Vietnam, India, Nigeria, Meksiko, hingga Ghana.

“Penambahan negara jangkauan serta peningkatan kecepatan pengiriman tersebut berkontribusi terhadap penambahan jumlah pengguna Transfez. Sejak pandemi COVID-19 di bulan Maret 2020, jumlah pengguna Transfez telah meningkat lebih dari 400%,” terang Head of Marketing & Communication Transfez Diandra Bernadin.

Performa baik juga dialami Topremit. Startup asal Medan ini memperluas jangkauan pasarnya selama pandemi menjadi 55 negara tujuan. Korea Selatan, Turki, dan negara-negara Eropa menjadi tambahan tujuan baru bagi pengguna mereka.

Kecepatan memang jadi faktor penting kualitas layanan remitansi. Topremit mengamini aspek tersebut. Hal ini terlihat dari durasi pengiriman uang dari pengguna di Indonesia ke Korea Selatan, Singapura, dan Inggris Raya yang hanya membutuhkan hitungan menit.

“Kemarin di akhir 2019, kami berhasil memproses lebih dari 280 miliar Rupiah dengan 16.000 user yang mendaftar dan dalam 6 bulan terakhir ini. Transaksi [saat ini] sudah mencapai lebih dari Rp612 miliar dengan 35.000 user,” tukas CEO & Co-Founder Topremit Hermanto Wie.

Faktor pendorong pertumbuhan

Cerahnya perkembangan bisnis remitansi tidak hanya terjadi di Transfez dan Topremit. Beberapa kabar positif datang dari pemain lain. Misalnya pendanaan yang berhasil diperoleh Wallex Technologies awal bulan ini. Wallex, yang mengantongi izin transfer dana dari Bank Indonesia sejak 2018, sukses menggaet pendanaan Seri A dari BAce Capital, SMDV, dan Skystar Capital.

Suntikan dana juga diperoleh Nium, pemain remitansi asal Singapura yang beroperasi di Indonesia. BRI Ventures dan VISA menjadi dua nama yang berpartisipasi memberi pendanaan kepada Nium. Hingga kuartal pertama 2020, Nium dilaporkan sudah mengantongi nilai transaksi sebesar $2 miliar.

Pemain baru yang ikut menjajaki peruntungan bisnis remitansi adalah OY! Indonesia. OY! Indonesia, yang notabene adalah platform wallet aggregator, meluncurkan layanan remitansi pada awal Maret. Saat ini layanan anyar mereka sudah menjangkau Singapura, Malaysia, India, Korea Selatan, dan Tiongkok.

Transfez menjelaskan, situasi pandemi yang menuntut segala hal serba praktis dan beraktivitas dari rumah saja justru mempertebal posisi pemain remitansi digital seperti mereka. Selama ini pasar remitansi Indonesia didominasi bank dan pemain konvensional yang memerlukan kehadiran fisik di kantor cabang atau agen terdekat untuk mengirim uang.

“Bagi kami, krisis menyimpan kesempatan. Dan ini adalah waktu dan kesempatan yang tepat bagi kami untuk memperkenalkan Transfez secara luas,” jelas Edo Windratno, CEO & Co-Founder Transfez.

Sementara Hermanto menjelaskan, kondisi wabah memang mewajibkan pemain remitansi untuk lebih cepat dan lebih luas memberikan layanannya. Situasi karantina wilayah di banyak negara banyak membuat pengguna jasa remitansi berpaling ke platform online seperti mereka.

“Selama pandemi ini, banyak sekali orang yang ingin mengirimkan uang kepada keluarga tercinta di luar negeri karena situasi yang prihatin saat ini. User dan transaksi kami justru meningkat karena tidak nyaman bagi mereka untuk keluar rumah dan melakukan transaksi offline seperti sebelumnya,” imbuh Hermanto.

Ekonom dari Center of Reform on Economics (CORE) Yusuf Rendy Manilet menilai, popularitas remitansi di tahun ini tak lepas dari potensinya yang memang besar. Potensi besar yang relatif belum lama terjamah oleh pemain digital menempatkan remitansi sebagai derivasi layanan fintech berikutnya yang paling menjanjikan.

Salah satu faktor pendorong besarnya potensi remitansi adalah jumlah tenaga kerja dan pelajar Indonesia di luar negeri. Terlebih, menurut Yusuf, Indonesia akan mengalami bonus demografi. Pertumbuhan kelompok usia produktif masih akan meningkat — sesuatu yang ia anggap meyakinkan para investor akan prospek bisnis remitansi.

“Dengan fakta itu menurut saya jadi dorongan bagi para pemberi dana untuk menyuntikkan dana ke pemain remitansi,” jelas Yusuf.

Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan jumlah TKI di luar negeri berjumlah 276.553 orang. Taiwan, Malaysia, dan Hong Kong merupakan tiga tujuan favorit bagi pekerja kita. Sedangkan jumlah pelajar Indonesia yang menimba ilmu di negara lain 20.225 orang. Baik pelajar maupun tenaga kerja merupakan pondasi bisnis remitansi, namun pasar mereka berpotensi terus melebar.

Meskipun demikian, pemain remitansi lokal masih punya pekerjaan rumah besar, yakni memfasilitasi pengiriman uang dari luar negeri ke dalam negeri. Sesuatu yang belum bisa dilakukan pemain lokal hingga saat ini. Seperti yang dicatat World Bank (2018), uang remitansi yang masuk ke Indonesia mencapai $11 miliar atau sekitar Rp150 triliun, sedangkan remitansi keluar berkisar US$5 miliar atau Rp68,5 triliun.