Meski Sea Masih Catat Kerugian, Shopee Cetak Rekor Pendapatan Tertinggi di Q1 2024

Kabar baik datang dari Shopee, yang mencetak pendapatan kuartal tertinggi, yang sukses menarik perhatian dan pujian dari para investor. Walaupun, Sea sendiri mencatat kerugian bersih sebesar $23 juta untuk kuartal pertamanya.

Merujuk laporan keuangan yang dirilis, pendapatan Sea tumbuh sebesar 22,8% menjadi $3,7 miliar, dengan kontribusi sebesar $2,7 miliar berasal dari segmen e-commerce. Pencapaian ini mencerminkan kinerja yang melebihi ekspektasi analis, dengan EBITDA yang disesuaikan mencapai $401,1 juta, jauh di atas perkiraan analis sebesar $221,8 juta.

Keberhasilan Shopee dalam mengukir pendapatan rekor ini didukung oleh nilai GMV yang naik 36,3% mencapai $23,6 miliar. Menurut CEO Sea Forrest Li, pengembangan kapabilitas live streaming dan peningkatan layanan logistik SPX Express telah menjadi kunci utama pertumbuhan yang signifikan ini. SPX Express, yang menangani lebih dari setengah pesanan Shopee di Asia dan sekitar 70% di Brazil, kini dapat mengirimkan pesanan dalam waktu tiga hari.

Meskipun Shopee mencatat pertumbuhan pendapatan yang mengesankan, segmen ini masih mengalami kerugian EBITDA sebesar $21,7 juta, sebuah pembalikan dari laba EBITDA tahun lalu yang sebesar $207,7 juta. Peningkatan ini sebagian besar disebabkan oleh peningkatan biaya penjualan dan pemasaran yang hampir dua kali lipat menjadi $675,9 juta selama kuartal.

Sementara itu, segmen hiburan digital Sea, yang termasuk unit game Garena, mengalami penurunan pendapatan sebesar 15,1% menjadi $458,1 juta. Namun, Garena masih mencatat peningkatan jumlah pengguna berbayar sebesar 29,8% menjadi 48,9 juta. Li tetap optimis terhadap potensi Free Fire, salah satu game populer Garena, yang diharapkan dapat terus menjadi motor pertumbuhan perusahaan.

Sea juga melaporkan perkembangan positif dalam layanan keuangan digitalnya, dengan pendapatan yang meningkat 21% menjadi $499,4 juta dan EBITDA yang disesuaikan naik 50,3% menjadi $148,7 juta. Perkembangan ini didorong oleh pertumbuhan dalam pemberian pinjaman kepada konsumen dan UKM, dengan jumlah pinjaman yang mencapai $3,3 miliar per 31 Maret.

Dengan melalui masa sulit penuh tantangan ekonomi makro, Li menyatakan bahwa Sea kini berada pada jalur pertumbuhan yang stabil dan lebih efisien, yang akan memperkuat posisi perusahaan dalam jangka panjang.

Application Information Will Show Up Here
Disclosure: Artikel ini diproduksi dengan teknologi AI dan supervisi penulis konten

Lagi, Hampir 500 Karyawan Shopee Indonesia Kena PHK

Sebanyak hampir 500 karyawan platfrom marketplace Shopee Indonesia kena PHK, sebagian besar berasal dari customer service. Menurut laporan Bloomberg, perusahaan kini fokus lebih menggenjot profitabilitas dibandingkan pertumbuhan bisnis.

Karyawan terdampak akan menerima uang pesangon sesuai regulasi berlaku, termasuk bonus gaji satu bulan, dan akses ke asuransi kesehatan hingga tiga bulan setelah hari kerja terakhir. Karyawan yang merayakan Lebaran juga akan menerima Tunjangan Hari Raya (THR).

Sebelumnya pada September 2022, perkiraan sebanyak 180 orang karyawan Shopee Indonesia terkena PHK. Mereka yang terdampak di antaranya mulai dari staf junior hingga posisi head. Langkah efisiensi ini diambil sebagai antisipasi terhadap ketidakpastian ekonomi global.

Dalam laporan lain Bloomberg, Sea Ltd selaku induk usaha Shopee, terungkap telah memangkas sebanyak 7.000 orang atau sekitar 10% dari total seluruh karyawan grup perusahaan dalam enam bulan terakhir. Adapun, bulan Juni 2022 menjadi gelombang pertama PHK di Sea Group. Saat itu, karyawan dari divisi shopping dan food paling banyak terdampak PHK.

Kinerja keuangan Sea

Beberapa hari sebelumnya, raksasa internet dengan kode saham NYSE: SE) ini juga merilis laporan kinerja keuangan yang berakhir pada 31 Desember 2022. Sea Group membukukan total pendapatan sebesar $12,4 miliar, naik 25,1% dibandingkan 2021.

Selanjutnya, EBITDA disesuaikan tercatat minus $878,1 juta, membengkak dari sebelumnya $593,6 juta. Adapun, perusahaan juga merugi $1,7 miliar, tetapi membaik sekitar 18,9% dari tahun sebelumnya.

Jika dirinci berdasarkan kategori bisnis, e-commerce menyumbang pendapatan sebesar $7,3 miliar atau tumbuh 42,3% (YoY). Kemudian, GMV tercatat naik 17,6% menjadi $73,5 miliar. Meski minus $1,7 miliar, EBITDA disesuaikan membaik 33,8% dari minus $2,6 miliar di 2021.

Di kategori digital entertainment, pendapatan dan EBITDA disesuaikan turun masing-masing menjadi $3,9 miliar dan $1,3 miliar. Sementara, kategori financial services mengantongi pertumbuhan pendapatan sebesar 160% menjadi $1,2 miliar di sepanjang 2022. EBITDA disesuaikan pada kategori ini membaik dari minus $616,9 juta menjadi $228,6 juta.

Dalam pernyataannya, Chairman and Group Chief Executive Officer Sea Forrest Li menyebut perusahaan memulai tahun 2023 dengan pijakan yang lebih kuat. Menurutnya, pencapaian laba bersih di kuartal IV 2022 sebesar $422,8 juta dari sebelumnya minus $616,3 juta, menunjukkan model bisnis yang resilien dengan kemampuan eksekusi perusahaan.

“Upaya pivot kami untuk fokus pada efisiensi dan profitabilitas sejak akhir tahun lalu telah mendorong peningkatan laba. Dengan melanjutkan transisi dan mempertahankan fokus ke pertumbuhan berkelanjutan, pendekatan kami adalah to do less, tetapi melakukannya dengan lebih baik untuk melayani pengguna di seluruh ekosistem digital kami.

Dengan melihat ketidakpastian makro dan manuver pivot Sea baru-baru ini, pihaknya akan terus memantau kondisi pasar sambil menyesuaikan kecepatan dan memperbaiki operasional perusahaan. “Meski mungkin ada fluktuasi jangka pendek pada kinerja keuangan, kami tetap yakin dengan potensi pertumbuhan jangka panjang pasar dan sepenuhnya fokus menangkap peluang tersebut.”

Application Information Will Show Up Here

Induk Shopee Beri Sinyal Masuk ke Insurtech, Dikabarkan Akuisisi Perusahaan Asuransi

Sea Group, induk Shopee, dikabarkan mengakuisisi perusahaan asuransi umum Asuransi Mega Pratama, menurut pemberitaan di Financial Times. Bila informasi ini akurat, bisa dipastikan Sea Group menjadi raksasa teknologi dengan solusi keuangan terlengkap di Asia Tenggara.

Dalam jajaran portofolio bisnis keuangannya sejauh ini, Sea Group memiliki anak usaha di bidang pembiayaan lewat CS Finance (ShopeePay Later), uang elektronik lewat ShopeePay, serta perbankan lewat SeaBank dan Bank Mayora. Sementara, kompetitornya, Grab dan GoTo belum mencapai level tersebut.

Asuransi Mega Pratama itu sendiri, sebelumnya adalah bagian dari Grup Bakrie, hingga akhirnya diakuisisi pada 2003 oleh perusahaan transportasi dan perkapalan PT Wahana Mandiri Sentosa Cemerlang. Kemudian pada awal tahun dibeli oleh sebuah entitas yang dimiliki oleh Andy Indigo, keponakan dari Martua Sitorus, pemilik Wilmar International.

Bisa dikatakan, masuknya ke ranah asuransi akan memberikan warna baru dalam rangkaian variasi produk di ekosistem di Sea Group. Misalnya, di bank dapat dikawinkan jadi produk bancassurance untuk menggenjot kontribusi fee-based income.

Adapun di Shopee sendiri, sejauh ini konsumen dapat membeli asuransi mikro untuk setiap transaksi di Shopee dengan harga dan proses klaim yang simpel. Perusahaan bekerja sama dengan insurtech seperti PasarPolis, Qoala, dan perusahaan asuransi umum lainnya.

Sebagai gambaran, potensi asuransi di Indonesia masih begitu besar. Penetrasinya masih mandeg di kisaran 3% sejak lima tahun belakangan. Dalam wawancara bersama DailySocial.id, Founder dan CEO PasarPolis Cleosent Randing menuturkan ada beberapa masalah mendasar di industri asuransi, seperti inovasi yang loyo, produk tidak terjangkau untuk masyarakat umum, dan proses bisnis yang masih manual.

Makanya, pendekatan yang tepat untuk pemain insurtech adalah membangun konsep embedded insurance, dengan menautkan produk asuransi sebagai bagian dari gaya hidup digital. Ibaratnya, layanan PasarPolis diintegrasikan dengan berbagai layanan digital melalui sambungan backend. Lalu meracik bersama perusahaan asuransi untuk menyuguhkan produk asuransi yang lebih terpersonalisasi.

Mengutip dari laporan “Insurtech Ecosystem in Indonesia 2021” yang dirilis DSInnovate, bisnis insurtech di dunia telah berkembang pesat, menawarkan berbagai model bisnis spesifik.

Di Indonesia sendiri, beberapa model paling populer adalah marketplace, digital brokers, digital carriers, dan micro insurers. Bahkan sebuah startup bisa sekaligus mengakomodasi beberapa model bisnis, seperti PasarPolis dalam hal ini sebagai marketplace, digital brokers, on-demand insurers, dan digital carriers.

Varian model bisnis asuransi berbasis teknologi
Application Information Will Show Up Here

Ekosistem Startup Indonesia dan Singapura Masih Jadi Perhatian Utama Monk’s Hill Ventures

Sebagai venture capital yang fokus di Asia Tenggara, Monk’s Hill Ventures hingga saat ini masih melihat Singapura, Indonesia, dan Vietnam sebagai negara yang memiliki potensi lebih terkait kinerja startup dan potensi berinvestasi. Namun melihat perkembangan yang saat ini terjadi di negara lain di Asia Tenggara seperti Thailand, Malaysia dan Filipina, menjadi tidak mungkin ke depannya tiga negara tersebut bakal dilirik oleh mereka.

Dalam sesi media briefing yang digelar oleh Monk’s Hill Ventures (MHV) terungkap, beberapa fokus yang kemudian menjadi highlights sepanjang tahun 2020. Diungkapkan juga rencana investasi, peluang dan sektor yang dilirik oleh MHV untuk tahun 2021.

Indonesia dan Singapura investasi terbesar

Dalam presentasi yang disampaikan oleh Managing Partner Monk’s Hill Ventures Kuo-Yi Lim, investasi terbesar yang telah digelontorkan oleh MHV selama ini adalah negara Singapura dan Indonesia.

Tercatat sejak tahun 2017, investasi yang dilakukan lumayan rutin oleh MHV, meskipun perusahaan mengklaim idealnya hanya sekitar 4-5 investasi saja yang diberikan per tahunnya. Namun memasuki tahun 2020 ketika pandemi mulai menyebar secara global, mereka memutuskan untuk melakukan penundaan investasi dan lebih melihat tren dan pergerakan sektor yang kemudian mengalami pertumbuhan saat pandemi.

“Sepanjang tahun 2020 angka menunjukkan dinamika naik-turun, terlihat lebih berat dari tahun sebelumnya,” kata Kuo-Yi Lim

Ditambahkan olehnya, sebelumnya kondisi tersebut telah diprediksi, karena kebanyakan venture capital, menunda investasi saat pandemi dengan kondisi pasar yang tidak menentu. Namun setelah melihat dinamika sektor yang ada, ternyata tahun 2020 menjadi waktu yang tepat untuk berinvestasi.

Dalam pemaparan tersebut juga disampaikan 10 sektor yang kemudian dilirik oleh MHV. Di antaranya adalah Fintech (17%), IT (18%), Software (11%), layanan finansial (9%), marketplace (7%), logistik (5%), healthcare (5%), layanan e-commerce (9%), SaaS (9%) dan Internet (8%). Sektor tersebut yang kemudian merupakan deal yang banyak dilancarkan oleh MHV sepanjang tahun 2020.

“Dari catatan kami terlihat banyak sektor yang kami lirik adalah layanan fintech, IT terutama mereka yang menawarkan layanan infrastruktur seperti software untuk layanan e-commerce. Logistik juga menjadi pilihan investasi kami. Data ini mewakili sektor yang kami lirik sepanjang tahun 2020 dan tahun 2021.”

Tahun 2021 ini ternyata tidak mengalami perubahan yang berarti bagi MHV terkait dengan sektor mana yang akan menjadi fokus. Secara khusus menyesuaikan sektor yang telah dipilih sebelumnya, tidak melihat perubahan yang cukup besar pada tahun 2021.

“Hal tersebut dilihat dari jumlah pemain yang masuk dalam sektor ini cukup banyak jumlahnya. Bersamaan dengan besarnya permintaan dari industri. Misalnya healthcare dan financial services, semua tetap menjadi key player. kita akan melihat pengaruh dari sektor-sektor ini,” kata Kuo-Yi Lim.

Tips investasi saat ini

Pelajaran paling penting yang kemudian diambil oleh MHV ketika melakukan investasi saat pandemi dan memasuki realitas baru adalah, untuk bisa beradaptasi dengan lingkungan kerja secara remote. Namun di sisi lain perlu melakukan proses due diligence lebih kritis dan tentunya lebih ketat lagi. Venture capital juga harus bisa melakukan pengecekan yang relevan, dan selalu melakukan komunikasi dengan jaringan di industri terkait.

Hal penting lainnya yang kemudian menjadi perhatian oleh MHV adalah, fokus kepada kualitas pendiri, terutama bagi mereka yang memiliki kualitas paling tinggi dengan fundamental yang solid dan higher conviction dari sebelumnya. Dan yang terakhir kemudian menjadi perhatian dari MHV adalah, menjadi penting untuk bisa menciptakan relasi lokal yang baik. Dalam hal ini adalah 5 negara yang disasar di Asia Tenggara.

“Hal tersebut telah memungkin kami untuk membangun kepercayaan dan relasi jangka panjang, di saat yang sama juga menghilangkan keterbatasan yang terjadi karena aturan perjalanan (travel restriction),” kata Kuo-Yi Lim.

Gambar Header: Depositphotos.com

ShopeeFood Beri Sinyal Masuk Persaingan Layanan “Food Delivery”

ShopeeFood mulai hadir meramaikan pasar food delivery di Indonesia. Layanan tersebut bisa diakses melalui platform Shopee, baik di situs web maupun di aplikasi mobile. Belum seperti layanan pesan-antar kilat layaknya GrabFood atau GoFood, sebagian besar produk makanan/minuman yang disajikan sifatnya lebih tahan lama, seperti makanan beku, aneka kue, atau minuman kemasan. Sementara cakupannya sudah cukup luas, di berbagai provinsi di seluruh Indonesia.

Laman ShopeeFood yang diakses melalui situs web
Laman ShopeeFood yang diakses melalui situs web

Diperkenalkannya layanan tersebut tentu memicu banyak spekulasi di pasar. Yang jelas, layanan pesan-antar makanan memang tengah naik daun di tengah pembatasan sosial akibat Covid-19. Di Indonesia sendiri, menurut penelitian McKinsey (2020), ada peningkatan 34% untuk penggunaan jasa pesan antar makanan selama masa pandemi. Survei yang dilakukan DailySocial dan Populix juga mengemukakan fakta, selama periode karantina mandiri, 53% responden mengatakan bahwa aplikasi pesan-antar makanan menjadi yang banyak digunakan.

Berkompetisi dengan pendahulu

Sebagai raksasa digital di Asia Tenggara, Sea Limited (Sea), induk Shopee, tentu memiliki ambisi untuk masuk pada berbagai model bisnis potensial. Sebagai informasi, per hari ini (21/1) kapitalisasi pasar perusahaan mencapai $118,72 juta – jadi perusahaan teknologi paling bernilai di regional. Dan jika diamati lebih dalam, pendekatan yang dilakukan oleh berbagai unit perusahaannya juga cukup unik, seperti ‘tidak ada kata terlambat.’

Ambil contoh layanan online marketplace Shopee, mereka baru mulai masuk ke pasar Indonesia pada bulan Mei 2015. Kala itu segmen bisnis ini sudah cukup ramai, dengan dominasi pendahulunya seperti Lazada, Tokopedia, Bukalapak, elevenia, Blibli, Alfacart, dll. Namun dua tahun terakhir, ditinjau dari volume penjualan dan transaksi, Shopee justru mampu memimpin pasar.

Ada banyak faktor, salah satu yang paling kentara karena berhasil ‘bakar duit’ di waktu yang tepat. Mereka melakukan akuisisi pelanggan dengan sangat maksimal saat pasar sudah berhasil teredukasi oleh pemain sebelumnya. Jargon ‘gratis ongkir’ pun kini sangat melekat di platform yang khas dengan warna oranye tersebut.

Strategi sama bisa saja dilakukan, dengan kondisi pasar food delivery yang sudah semakin matang dan masif di Indonesia. PR-nya bagi Shopee tentu melakukan penguatan infrastruktur yang diperlukan – yang sudah dimiliki saat ini adalah platform pemesanan dan pembayaran (ShopeePay), sementara yang belum adalah logistik first-mile.

Di last-mile, mereka sudah memiliki Shopee Xpress (SPX) yang kini sudah melayani sebagian pengguna di online marketplace. Beberapa waktu terakhir tersiar kabar bahwa Shopee tengah merekrut mitra pengemudi untuk melayani pesanan ShopeeFood. Ditambah, tim pemasaran mereka mulai mempromosikan layanan ShopeeFood yang nantinya dapat digunakan untuk memesan makanan favorit seperti bakso, soto, martabak, dll (makanan cepat saji).

Kami sudah mencoba meminta konfirmasi terkait beberapa informasi secara langsung ke tim Shopee di Indonesia, namun sampai tulisan ini diterbitkan belum ada respons.

Proposisi nilai

Mengutip temuan survei GlobalWebIndex, ada beberapa alasan yang mendorong orang untuk memesan makanan melalui aplikasi food delivery, lima teratas meliputi: gratis ongkos kirim (51%), pengiriman cepat (48%), penawaran diskon (43%), ketersediaan dan kelengkapan item (36%), kemudahan proses pemesanan (30%). Kendari survei tersebut tidak dilakukan spesifik kepada pengguna di Indonesia, namun cukup representatif menggambarkan kondisi pangsa pasar.

Untuk memenangkan pasar, platform harus memiliki proposisi nilai yang kuat dalam mengakomodasi kebutuhan tersebut. Beberapa strategi mulai digulirkan beberapa pemain, misalnya melalui insiatif cloud kitchen. Konsep dapur bersama tersebut memungkinkan platform mengumpulkan beberapa merchant kuliner di satu tempat. Dari sisi konsumen, memudahkan mereka untuk mendapatkan opsi lebih banyak ketika ingin membeli makanan dengan 1x pemesanan dan pengantaran.

Dari sisi merchant, platform bisa menentukan (berdasarkan data) mengenai produk potensial di wilayah tertentu sehingga turut membantu mereka untuk memastikan bisnisnya mendapatkan pasar yang relevan. Selain itu tentu menghemat biaya modal dan ongkos operasional, karena hanya fokus melayani pesan-antar.

Detail seperti ini yang harus jeli dilihat oleh ShopeeFood sebagai penantang baru di lanskap bisnis ini. Tapi sebenarnya Shopee juga sudah melakukan beberapa aksi permulaan terkait pasar food delivery di Indonesia. Misalnya mereka mendukung Weyland Tech dalam peluncuran AtozGo di Jakarta — ShopeePay digunakan sebagai sistem pembayaran utama. Sehingga banyak kemungkinan sinergi yang dapat dilakukan ketika nantinya ShopeeFood benar-benar mulai dimaksimalkan.

Mendorong konsolidasi

Mitra GoFood saat membelikan pesanan / Gojek
Mitra GoFood saat membelikan pesanan / Gojek

Dengan kekuatan kapital dan jangkauan pasar yang dimiliki Sea, jelas ini bukan kabar menyenangkan untuk para kompetitornya. Di Indonesia, sejauh ini Gojek dan Grab jadi penyedia food delivery dengan jangkauan paling luas dan mitra terbanyak. Untuk menghadapi raksasa digital tersebut, bahkan sebelumnya dikabarkan keduanya hendak melakukan merger. Sayangnya kabar terakhir mengatakan, founder tidak mencapai titik sepakat soal pembagian saham.

Rumor yang tengah beredar justru rencana merger antara Gojek dan Tokopedia. Platform online marketplace besutan William Tanuwijaya tersebut kini juga bersaing ketat dengan Shopee – dari berbagai riset dikatakan Tokopedia ada di peringkat kedua persis di bawah Shopee. Konsolidasi jelas membuka peluang kolaborasi di banyak elemen, tak terkecuali perluasan layanan food delivery menggabungkan mitra UKM kuliner yang dimiliki Tokopedia, sampai perluasan layanan GoPay untuk pembayaran di Tokopedia.

Kue pasar untuk food delivery di Asia Tenggara juga menggiurkan. Laporan tahunan e-Conomy SEA 2020 mengatakan, GMV yang tercatat dari jasa antar makanan pada tahun lalu mencapai $6 miliar, bahkan lebih besar dari transportasi on-demand yang nilainya $5 miliar (turun akibat pandemi).

Sementara di Indonesia sendiri sebenarnya juga ada beberapa pemain lainnya yang mencoba mengakomodasi urusan pesan makanan, di antaranya:

Platform Keterangan
Yummy Corp Terafiliasi dengan perusahaan kuliner Ismaya Group. Memiliki beberapa lini bisnis, salah satunya YummyBox layanan pemesanan katering lewat aplikasi.
Kulina, Wakuliner, Homade Layanan pemesanan katering berbasis aplikasi untuk konsumer ataupun bisnis, bekerja sama dengan merchant F&B.
Gorry Holdings Startup pengembang aplikasi wellness, miliki unit bisnis Gorry Gourmet untuk menyediakan jasa pemesanan makanan sehat secara online.

 

Application Information Will Show Up Here

Wing Vasiksiri dari iSeed: Startup Indonesia Bisa Mencetak Billion-Dollar Exit Tanpa Harus Ekspansi

Lima bulan setelah mengumumkan dana investasi pada startup tahap awal di India, iSeed telah membentuk fund terpisah yang didedikasikan untuk pasar Asia Tenggara, ungkap perusahaan investasi itu.

Dimulai oleh Utsav Somani, yang memimpin dana investasi India berbasis di Amerika, AngelList, dan koleganya Wing Vasiksiri, iSeed SEA adalah dana mikro VC yang akan berinvestasi di sekitar 35 perusahaan rintisan dalam dua tahun, dengan cek sebesar USD 100.000 hingga 200.000.

iSeed tidak mengatakan target pendanaan yang ingin dikumpulkan. Perusahaan ini didukung oleh investor dan pendiri veteran seperti Naval Ravikant, pendiri dan pemimpin AngelList; Kunal Bahl, pendiri dan CEO Snapdeal; Jonathan Swanson, pendiri dan pemimpin Thumbtack; dan lain-lain.

Sementara Somani mengelola investasi di India, Vasiksiri berbasis di Bangkok dan bertanggung jawab atas investasi di Asia Tenggara. Vasiksiri mengatakan kepada KrASIA bahwa ia menargetkan investasi pada startup yang berbasis di Indonesia, Singapura, Vietnam, dan Thailand.

Berikut adalah hasil interview yang berhasil dirangkum.

KrASIA (Kr): Bagaimana Anda berdua terhubung untuk memulai iSeed? Apa perbedaan iSeed dari perusahaan investasi lain?

Wing Vasiksiri (WV): Utsav dan saya sedang melakukan penelitian tentang pasar Asia Tenggara, mencoba mencari tahu peluang investasi, karena AngelList ingin memperluas cakupannya di sini. Saat kami berbicara dengan berbagai pendiri dan investor, kami menyadari ada celah di pasar untuk dana seed. Para pendiri membocorkan bahwa investor memakan waktu sangat lama untuk menandatangani kesepakatan, dan beberapa hal berjalan sangat lambat. Dari sisi investor, kami diberi tahu bahwa pendanaan seed mengering karena sebagian besar sudah tumbuh dan membutuhkan asupan yang lebih besar.

Kami dapat secara tegas membedakan jati diri kami dari fund lainnya, dalam artian, kami memiliki akses ke jaringan investor dan pendiri dengan ragam pengetahuan dan masukan yang tidak dimiliki fund lain. Sekelompok orang ini adalah pendiri dan investor yang telah sukses di Amerika dan India. Jadi, kami melihat diri kami sebagai jembatan antara Amerika, India, dan Asia Tenggara.

Kr: Apakah ada sektor spesifik yang menjadi target?

WV: Kami lebih kepada sektor agnostik yang berfokus pada pendiri. Kami terbuka untuk berinvestasi di perusahaan dalam produk konsumen, B2B, SaaS, bahkan hardware. Pada titik ini, kami terbuka untuk segalanya. Yang benar-benar kami pedulikan adalah mendukung para pendiri hebat di awal perjalanan mereka. Dengan keyakinan bahwa lebih baik memiliki pendekatan yang  berfokus pada individunya. Sangat sulit untuk menjadi investor yang digerakkan oleh pasar karena ilmu terkadang meleset.

Kr: Negara-negara di Asia Tenggara berada pada tahap pertumbuhan yang berbeda, apakah ada satu negara yang Anda targetkan secara khusus?

WV: Tidak juga. Pertama-tama, kami akan fokus pada empat pasar — Indonesia, Singapura, Vietnam, dan Thailand.

Indonesia jelas merupakan pasar terbesar dan paling menarik sejauh ini, karena jumlah populasinya. Kami yakin startup yang tumbuh di Indonesia, bahkan tanpa harus berekspansi ke pasar lain, bisa mencetak miliaran dolar. Hal ini tidak terpikir untuk terjadi di area lain. Misalnya, startup di Thailand harus berekspansi ke pasar lain di beberapa titik untuk mewujudkan potensi mereka yang sebenarnya.

Kr: Berapa rata-rata angka investasi dari iSeed SEA?

VW: Investasi kami berkisar antara USD 100.000 hingga 200.000. Kami ingin masuk secepat mungkin. Dalam beberapa kasus, bahkan dengan senang hati masuk ke tahap pra-produk. Kami ingin mengenal para pengusaha sejak hari pertama. Inti dari fund tersebut adalah seed, tetapi bisa saja beberapa diantaranya tahap lanjut.

Sejauh ini, kami telah melakukan dua investasi dan berkomitmen untuk dua lainnya. Investasi pertama yang kami lakukan adalah sebesar USD 400.000 di sebuah perusahaan Indonesia, memang sedikit lebih besar dari yang biasanya kami lakukan. Investasi kedua ada di Singapura, sekitar USD 100.000. Dua kesepakatan yang akan menyusul ada di Thailand dan Singapura.

Wing Vasiksiri. Dokumentasi iSeed

Kr: Bagaimana dengan angka dana kelolaan?

WV: Kami masih aktif mengumpulkan uang untuk fund tersebut, jadi kami belum bisa berbicara banyak tentang targetnya. Yang dapat saya bagikan adalah dananya mungkin tidak masif. Kami ingin memastikan bahwa debut fund kami berjalan dengan baik. Lebih mudah untuk memetakan prosesnya jika dana yang tersedia tidak banyak, dan kami tidak ingin bersaing dengan investor besar. Jika kita menulis cek senilai USD 100.000–200.000, kita bisa berkolaborasi daripada memperebutkan alokasi.

Kr: Bagaimana konsep micro venture fund ini?

WV: Konsep ini sudah sejak lama dimulai di Amerika oleh Sequoia. Ada begitu banyak persaingan di Amerika sehingga, untuk membedakan dirinya, mereka meluncurkan program penyuluhan di mana mereka akan memberikan uang penyuluhan untuk diinvestasikan atas nama Sequoia. Seiring waktu, mereka tidak hanya ingin menjadi bagian dari Sequoia, tetapi ingin membangun merek sendiri dan melakukan investasi sendiri, jadi mereka mulai mengumpulkan dana kecil dari LP dan dana ventura.

Salah satu alasan debutnya adalah karena dana mikro ini menghasilkan keputusan yang sangat cepat. Hanya ada satu atau dua pembuat keputusan. Kami melihat tren ini muncul di Amerika dan ingin membawa model ini ke Asia Tenggara dan India.

Kr: Apakah sudah ada banyak VC mikro di Southeast Asia?

WV: Kami yakin bahwa ada ruang terbuka untuk dana seed dan mikro VC. Ada beberapa orang yang telah kami ajak bicara dan mereka orang-orang hebat. Namun tidak ada jumlah pasti yang cukup untuk seluruh wilayah, mengingat startup baru yang terus bermunculan. Lebih banyak modal jelas lebih baik untuk ekosistem; begitu itu terjadi, akan ada lebih banyak eksperimen yang terjadi di Asia Tenggara.

Satu hal yang unik bagi kami adalah kami telah membawa dana dari Amerika dalam putaran pendanaan ini. Bisa jadi, dana ini belum terlihat dalam transaksi di Asia Tenggara, tetapi mereka mempercayai kami. Kami hanya mendatangkan investor yang menurut kami cocok untuk startup. Hal ini turut membawa modal tambahan dariAmerika, yang belum tentu akan tersedia bagi para pendiri di Asia Tenggara.

Selain itu, kami memiliki sesuatu yang disebut “dewan pengetahuan,” yang pada dasarnya adalah sekelompok wirausahawan yang telah berhasil dengan sangat baik di Amerika dan siap untuk berbagi ilmu dengan perusahaan portofolio kami, dan menyelenggarakan lokakarya serta sesi pribadi tentang topik tertentu. Dewan tersebut termasuk Sriram Krishnan, mantan pimpinan produk di Twitter; Prasanna Sankar, salah satu pendiri Rippling; Sahil Lavingia, pendiri Gumroad; dan Anne Dwane, pendiri Village Global; serta lainnya. Mereka berkomitmen untuk bekerja dengan pendiri portofolio kami untuk menghadirkan praktik terbaik dari AS ke India dan Asia Tenggara.


Artikel ini pertama kali dirilis oleh KrASIA. Kembali dirilis sebagai bagian dari kerja sama dengan DailySocial

ATM Capital Plans to Pour $200 Million for Startup Investment in Southeast Asia

ATM Capital, a Venture Capital from Beijing, China kicks off the year by closing an investment worth of $200 million. It is to be used for Southeast Asia startups, including the ones in Indonesia. Some investors involved in ATM Capital are include Alibaba eWTP Technology Innovation Fund, 58 Group, Wang Xiaochuan, and several Chinese businessman.

Starting from the expertise in China’s internet industry, ATM Capital considers that Southeast Asia has similar characteristic. It was proven from the Chinese investors involvement in supporting unicorn in Southeast Asia, such as Gojek, Grab, Lazada, and others. ATM Capital, to ensure the smooth maneuver, has acquired local partners in Southeast Asia – a related source said some are based in Jakarta.

To date, ATM Capital has invested in several companies in Indonesia, Gojek and ReWork are in the portfolio. In Indonesia, they’re focus to invest in logistics, retail, and insurtech. This venture capital, supported by Qu Tian, has a vision to develop strategic local partners and create long-term vision, including to connect it with resources through its network in China.

His debut in Indonesia has been started since last year. In September 2018, Tsinghua University and ATM Capital successfully held the “Southeast Asia Unicorn Growth Program” in Jakarta. It was expected to improve communication among potential startups to find opportunities for collaboration with partners from Southeast Asia and China


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

ATM Capital Siapkan $200 Juta untuk Investasi Startup di Asia Tenggara

ATM Capital pemodal ventura asal Beijing, Tiongkok mengawali tahun dengan mengumumkan penutupan pertama dana investasi senilai $200 juta. Dana tersebut akan difokuskan ke startup Asia Tenggara, tak terkecuali di Indonesia. Beberapa jajaran investor yang tergabung di ATM Capital termasuk Alibaba eWTP Technology Innovation Fund, 58 Group, Wang Xiaochuan dan beberapa pengusaha Tiongkok lainnya.

Kendati berangkat dari keahlian industri internet di Tiongkok, ATM Capital menilai bahwa Asia Tenggara memiliki karakteristik serupa. Hal tersebut dibuktikan dari keterlibatan investor Tiongkok dalam mendukung unicorn di Asia Tenggara, seperti Gojek, Grab, Lazada dan lainnya. Untuk memastikan manuvernya mulus, ATM Capital kini telah memiliki mitra lokal di Asia Tenggara — dari sumber terkait mengatakan ada yang berbasis di Jakarta.

Sejauh ini ATM Capital telah berinvestasi di beberapa perusahaan di Indonesia, Gojek dan ReWork masuk ke dalam jajaran portofolionya. Di Indonesia, ATM Capital fokus berinvestasi di perusahaan di bidang logistik, ritel, dan insurtech. Modal ventura dengan dana dari Qu Tian ini memiliki visi untuk membangun mitra lokal strategis dan membentuk visi jangka panjang, termasuk menghubungkan dengan sumber daya melalui jaringannya di Tiongkok.

Debutnya di Indonesia juga sudah dimulai sejak tahun lalu. Pada bulan September 2018, Tsinghua University dan ATM Capital sukses mengadakan acara bertajuk “Southeast Asia Unicorn Growth Program” di Jakarta. Acara tersebut diharapkan dapat meningkatkan komunikasi startup berpotensi untuk menemukan peluang kolaborasi dengan mitra di Asia Tenggara dan Tiongkok.

Dengan Biaya Besar, Shopee Puncaki Sejumlah Statistik E-commerce di Indonesia

Shopee tergolong baru di industri e-commerce Indonesia (dan Asia Tenggara secara umum) jika dibandingkan dengan Tokopedia, Lazada, atau Bukalapak. Diluncurkan pada tahun 2015, saat ini Shopee beroperasi di Malaysia, Thailand, Taiwan, Indonesia, Vietnam, dan Filipina.

Kehadirannya yang sedikit lebih lambat membuat mereka harus berusaha ekstra mendapatkan perhatian masyarakat. Dengan beragam strategi pemasaran, kini Shopee menjadi salah satu yang teratas.

Di luar promo bebas ongkos kirim (free ongkir) yang secara reguler dipertahankan, tahun ini banyak kampanye pemasaran “ikonik” yang dilakukan Shopee yang dipimpin Chris Feng ini. Menurut catatan kami, dari bulan Juli 2018 hingga November 2018 ada sejumlah pagelaran belanja besar yang diadakan Shopee, mulai dari 9.9 Super Shopping Day, Super Brand Day, Festival Diskon 10.10, acara ulang tahun ketiga yang mengundang BlackPink, hingga Shopee 11.11 Big Sale.

Acara khusus seperti itu identik dengan penawaran diskon dan subsidi besar-besaran. Misalnya untuk acara 9.9 Super Shopping Day, Shopee Indonesia menawarkan diskon hingga 99% untuk produk-produk tertentu dalam flash sale.

Cukup efektif jika melihat hasil perolehannya, karena dalam laporan yang dirilis Shopee mengklaim mampu mencatatkan lebih dari 5,8 juta transaksi dalam 24 jam.

“Indonesia adalah pasar terbesar Shopee, total pesanan untuk kuartal ketiga mencapai 63,7 juta pesanan atau rata-rata per hari mencapai 0,7 juta pesanan. Kami menginginkan Shopee menjadi platform e-commerce terbesar di Indonesia,” tulis Shopee dalam publikasinya.

Di Indonesia Shopee berhasil berada di “puncak klasemen” jika merujuk pada beberapa statistik, misalnya peringkat Google Play dan beberapa survei pasar teranyar.

Strategi pemasaran di berbagai media

Menjelang akhir November, Sea Group (sebelumnya Garena) merilis capaian mereka selama Q3 2018. Di laporan tersebut Shopee menjadi sorotan, karena menangguk GMV sebesar $2,7 miliar (hampir 40 triliun Rupiah) secara total di kawasan Asia Tenggara, naik  152% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.

Di balik tingginya angka GMV tersebut, terdapat biaya pemasaran yang sangat besar. Menurut laporan tersebut, Shopee secara regional menggelontorkan dana $152,9 juta (lebih dari 2,2 triliun Rupiah) hanya dalam tiga bulan Q3 2018.

Jor-joran iklan di televisi merupakan salah satu cara Shopee mendapatkan pasar dengan cepat. Menurut laporan Adstensity, dana yang digelontorkan Shopee untuk pemasaran di televisi Indonesia per 16 Desember 2018 mencapai Rp765 miliar. Tertinggi kedua setelah Bukalapak yang mencapai Rp814 miliar.

Intensitas promosi juga tak kalah tinggi dilakukan di media sosial. Meltwater baru-baru ini merilis sebuah hasil penelitian tentang bagaimana brand e-commerce mengoptimalkan media sosial untuk meningkatkan keterlibatan konsumen di momen belanja akhir tahun.

Di Indonesia tercatat bahwa Shopee (40%) menjadi yang paling banyak diperbincangkan, disusul Tokopedia (26%) dan Lazada (21%). Informasi promo, diskon, hingga acara-acara yang melibatkan pengguna dibagikan melalui kanal media sosial.

Berkat usaha-usaha tersebut memang Shopee berhasil mencapai puncak. Pertanyaannya sampai kapan dana pemasaran tersebut bisa terus dikeluarkan untuk mempertahankan posisi ini? Kita tunggu bagaimana strategi Shopee di tahun 2019.

Application Information Will Show Up Here

Startup di Singapura dan Indonesia Dominasi Pendanaan di Asia Tenggara

Pesatnya pertumbuhan bisnis digital di Asia Tenggara tidak lepas dari putaran investasi yang banyak dikucurkan kepada startup digital. Selain memberikan sorotan terhadap pertumbuhan pangsa pasar, laporan Google dan Temasek bertajuk e-Conomy SEA 2018 turut mencatat pertumbuhan investasi di kawasan regional tersebut. Sepanjang paruh pertama tahun 2018 (H1), angkanya sudah mencapai $9,1 miliar, meningkat hampir tiga kali lipat dibandingkan periode yang sama di tahun lalu yang hanya menghasilkan putaran investasi sebesar $3,6 miliar.

Tren investasi tidak hanya dikucurkan dari kantong venture capital, karena private equity dan corporate investors mulai banyak tertarik menanam modal di SEA. Para investor termasuk hadir dari perusahaan global dari Amerika Serikat dan Tiongkok. Dari capaian tersebut, riset memproyeksikan pertumbuhan investasi akan mencapai $40 – $50 miliar di tahun 2025 mendatang.

Startup unicorn seperti Go-Jek, Tokopedia, Grab, Bukalapak, Lazada, Sea, VNG, Razer, dan Traveloka menjadi unit bisnis yang memegang persentase mayoritas nilai investasi. Jika digabungkan, pada H1 2018, startup unicorn di SEA berhasil membukukan hingga $6,5 miliar dalam putaran pendanaan. Pendanaan Grab turut membawanya sebagai decacorn pertama di SEA.

Pendanaan Startup di Asia Tenggara
Pendanaan startup di SEA didominasi oleh sektor ride hailing / Google-Temasek

Dari empat sektor industri internet yang disoroti dalam laporan, yakni Online Media, Online Travel, E-commerce, dan Ride Hailing; gabungan keempatnya menguasai mayoritas pendanaan — dari $9,1 miliar, empat sektor itu mendapat $7,8 miliar. Kendati secara pangsa pasar nilainya masih kalah besar dibanding dengan sektor lain, Ride Hailing menjadi yang terbesar mendapatkan pendanaan di periode H1 2018, totalnya mencapai $4,5 miliar. Namun demikian, Grab dan Go-Jek dikatakan sebagai dua pemain utama yang mendominasi.

Sementara sisa $1,3 miliar tersebar di berbagai lanskap startup digital lain. Sebanyak $0,5 miliar berhasil dibukukan oleh startup fintech, sisanya $0,8 miliar tersebar di berbagai bidang startup — pendidikan, kesehatan, dan sebagainya.

Singapura menempati peringkat tertinggi, disusul Indonesia

Mengenai sebaran pendanaan di SEA, sebanyak $6,8 miliar didapat oleh startup dari Singapura. Sementara Indonesia berada di peringkat selanjutnya dengan selisih yang cukup besar, yakni hanya mendapat hingga $1,8 miliar. Sisanya $0,5 miliar tersebar di negara lainnya. Namun bisa jadi persentase tersebut berubah, mengingat pada H2 2018 pendanaan startup di Indonesia terus mendapatkan kucuran investasi. Terakhir Tokopedia yang dikabarkan baru mendapatkan pendanaan hingga $1 miliar dari Softbank dan sejumlah investor.

Selama H1 2018, sebanyak 286 transaksi pendanaan terjadi di wilayah Singapura. Di Indonesia ada sekitar 154 kesepakatan, sisanya 264 tersebar di wilayah lain meliputi Malaysia, Filipina, Thailand, dan Vietnam. Mayoritas pendanaan yang dikucurkan dalam putaran seri A (580 transaksi), disusul seri B dan C (61 transaksi), dan seri D-E+ (7 transaksi). Sisanya tidak menyebutkan detail tahapan pendanaan.