Strategi Credibook dalam Bertahan dan Mengembangkan Bisnis

Perkembangan industri UMKM di Indonesia terbilang cukup signifikan. Berdasarkan data Kementerian Koperasi dan UKM, jumlah UMKM saat ini mencapai 64,19 juta dengan kontribusi terhadap PDB sebesar 61,97% atau senilai 8.573,89 triliun Rupiah. Tingginya jumlah UMKM di Indonesia tidak terlepas dari berbagai tantangan serta kondisi pandemi Covid-19 yang mendorong perubahan pada pola konsumsi barang dan jasa menjadi momentum untuk mengakselerasi transformasi digital.

DailySocial.id melalui sesi #SelasaStartup, mengundang salah satu sosok yang sudah berkecimpung lama dalam menghadirkan solusi digitalisasi UMKM di tanah air, Co-Founder & CEO Credibook Gabriel Frans. Patut diketahui, sebelum membangun Credibook, Gabriel juga terlibat dalam pengembangan produk GrabKios atau Kudo, yang juga menargetkan digitalisasi warung di Indonesia.

Secara garis besar, Gabriel memaparkan, dibandingkan tahun 2015-2016, pasar industri UMKM saat ini jauh lebih matang. Banyak pemain yang sudah melek teknologi serta memanfaatkan teknologi untuk operasional bisnisnya. Hal ini juga didorong oleh pandemi yang secara tidak langsung memaksa para stakeholder untuk beradaptasi dengan situasi terkini.

“Namun, dengan total lebih dari 60 juta UMKM yang ada di Indonesia, ini bukanlah tugas yang bisa diselesaikan sendiri,” ujarnya.

Dorong kolaborasi

Bicara tentang UMKM, ujar Gabriel, melibatkan pasar yang sangat luas. “Menurut kami di Credibook, kunci untuk bisa berhasil di industri ini adalah kolaborasi,” tambahnya. Credibook sendiri sudah banyak sekali melakukan kolaborasi baik dengan pemerintah, Kemenkop, Pemkab dan komunitas UMKM. Belum lama ini, perusahaan menjalin kemitraan strategis dengan Universitas Warmadewa Bali melalui penandatanganan nota kesepahaman untuk mendukung pengabdian masyarakat bagi pelaku UMKM.

“Kita juga bukan startup yang ingin menyelesaikan semua masalah, jadi kita butuh kolaborasi dengan startup lain di sektor terkait,” ujar Gabriel.

Tantangan yang sering ditemukan di lapangan termasuk literasi digital yang belum menyeluruh dan literasi keuangan yang tepat sasaran. Dalam rangka menanggulangi hal ini, Credibook bekerja sama dengan Kemenkop UKM Indonesia untuk menggencarkan literasi digitalisasi keuangan di Indonesia. Selain itu juga memberi edukasi untuk UMKM dalam membuat laporan keuangan yang baik dan benar agar bisa membuka jalan untuk kapital.

Disinggung mengenai biaya transformasi digital UMKM di Indonesia, Gabriel mengungkapkan bahwa untuk menjangkau daerah-daerah yang amsih belum terjangkau infrastruktur digital, akan membutuhkan modal yang tidak sedikit. Begitu pula sumber daya manusianya, membutuhkan edukasi yang inklusif dan usaha yang tidak sedikit, maka dari itu kita mendorong kolaborasi untuk bersama-sama menciptakan solusi dalam transformasi digital ini.

Pada bulan April tahun ini, Credibook berhasil menutup pendanaan seri A senilai 116 miliar Rupiah dipimpin oleh Monk’s Hill Ventures. Gabriel mengungkapkan bahwa dana ini akan difokuskan untuk ekspansi serta pengembangan CrediMart, layanan grosir digital mereka. Hingga saat ini, CrediMart sudah bekerja sama dengan lebih dari 50 toko grosir konvensional yang tersebar di 40 kota di Indoneesia, mencakup pulau Jawa, Bali dan Nusa Tenggara.

Perbaiki fundamental

Selain pengembangan bisnis melalui ekspansi layanan dan produk, Gabriel juga mengakui bahwa sebelum lebih jauh memikirkan investor, layaknya sebuah perusahaan lebih dulu membangun fundamental perusahaan. Ia juga mengungkapkan salah satu tantangan menjadi Founder dan membangun bisnis adalah ketika berusaha membangun kultur perusahaan yang kuat.

Di samping itu, proposisi nilai juga memiliki andil besar untuk bisa bertahan di tengah pasar yang semakin ramai. Credibook sendiri tengah fokus pada pemberdayaan usaha grosir konvensional dengan pendekatan teknologi rantai pasok. Kekuatan inilah yang menjadi landasan CrediMart untuk menjangkau lebih banyak pengusaha grosir dari lebih banyak sektor usaha.

Terkait pengembangan bisnis, Gabriel turut menambahkan, “Bisnis yang bagus itu adalah yang bisa memberi nilai tambah dan menghasilkan pendapatan atau membawa profit. Bangun terlebih dulu fundamental yang baik, setelah itu investor akan datang dengan sendirinya. Terkadang, menang dalam bisnis itu bukan hanya tentang persaingan, tetapi bagaimana bisa bertahan.”

3 Hal yang Perlu Diketahui tentang NFT pada Sepak Bola

Pemanfaatan NFT pada sektor olahraga bukan lagi hal baru. Di Amerika Serikat, NFT telah dimanfaatkan klub NBA untuk meluncurkan produk kolektibel. Sementara di Indonesia, NFT mulai dipakai untuk meningkatkan engagement penggemar pada klub sepak bola.

Bagaimana pemanfaatan NFT pada sepak bola dan apa saja potensi adopsi teknologi bagi sektor olahraga? Selengkapnya, simak rangkuman sesi #SelasaStartup oleh Co-founder Bolafy Joseph Bima.

NFT dan sepak bola

Joseph menilai sepak bola menjadi entry point yang tepat untuk memperkenalkan NFT kepada masyarakat. Hal ini demikian karena sepak bola adalah olahraga paling populer di Indonesia dengan hampir 170 juta penggemar. Karena hal ini juga, potensi ekonominya sangat besar. Di skala Asia, nilai pasarnya berkisar sebesar $16 juta dengan 800 juta penggemar sepak bola.

Untuk memperkenalkan NFT, ia menyebut ada dua hal yang menjadi poin utama, yakni produk kolektibel dan utility. Artinya, NFT tidak hanya tercermin dalam bentuk koleksi digital saja, tetapi dapat memberikan benefit bagi si pemegang (holder). Contoh, holder mendapat akses untuk menonton pertandingan secara VVIP maupun bertemu dengan pemain.

“Ini menjadi cara baru bagi fans atau penggemar dalam memberikan dukungan kepada klub sepak bola, yakni melalui koleksi digital, reward, dan Metaverse. Kami berupaya memaksimalkan experience dan engagement dari dua sisi, baik fans dan klub sepak bola. Fans dapat mengumpulkan poin untuk memperoleh reward, tanda tangan atau tiket gratis,” jelasnya.

Memperkenalkan kolektibel

Secara umum, para fans di Indonesia dinilai belum sepenuhnya memahami NFT dan tak sedikit yang punya sentimen tertentu pada produk kolektibel. Bagi Joseph, komunitas atau pemimpin klub supporter menjadi jalan masuk untuk memperkenalkan NFT. Menariknya, word of mouth di kalangan pecinta sepak bola dinilai sangat powerful dalam membantu proses edukasi.

“Kami gencar edukasi untuk memperkenalkan kolektibel, nilai, dan benefit-nya, bahwa [produk kolektibel] juga eligible untuk mendapatkan reward. Kami [di Bolafy] menyebutnya sebagai koleksi digital atau aset digital karena NFT hanya jargon untuk technical people,” ucapnya.

Joseph berujar, pihaknya belajar dari berbagai model bisnis di Amerika Serikat yang selama ini sudah lebih lama memanfaatkan NFT di sektor olahraga, contohnya NBA. Pembelajaran ini menjadi benchmark yang membantunya mengeksplorasi use case untuk pasar Indonesia.

Teknologi dalam olahraga

Menurut Joseph, secara umum pemanfaatan teknologi pada sektor olahraga di Indonesia belum optimal, tetapi sudah jauh lebih berkembang dibandingkan 2-3 tahun lalu. Contoh sederhana, pembelian tiket olahraga kini dapat dilakukan secara online, tidak perlu lagi ke outlet fisik.

Pada teknologi yang tengah berkembang, ia memberikan contoh use case yang potensial. Misalnya, Metaverse dapat merevolusi cara orang menonton pertandingan sepak bola dengan perangkat. Pada pemanfaatan analitik misalnya, teknologi ini dinilai dapat mendorong perkembangan sektor olahraga secara signifikan. Sementara, teknologi blockchain juga dapat memunculkan berbagai inovasi yang mendisrupsi industri.

Memang perkembangan Blockhain di Indonesia masih early. Namun, ini menjadi momentum tepat untuk memanfaatkannya mengingat persepsi orang terhadap Blockchain masih bagus, terutama bagi kalangan investor atau venture builder.

“Jadi, sangat disayangkan apabila teknologi, seperti Web3, Metaverse, atau NFT, tidak dapat dimanfaatkan untuk meng-enhance sebuah industri. Kami sangat menantikan inovasi di sport tech, terutama dengan Web3.” Tutupnya.

Strategi D-Laundry Gairahkan Bisnis On-Demand

Bisnis laundry merupakan industri yang sudah lama diperhitungkan di Indonesia karena potensi bisnisnya menjanjikan, banyak dicari oleh berbagai lapisan masyarakat. Persebarannya juga tidak melulu di area perumahan saja tapi juga indekos yang memiliki populasi mahasiswa.

Namun pada 2016, sebelum D-Laundry hadir, industri ini sepenuhnya masih berjalan secara konvensional. D-Laundry yang merupakan produk dari PT Drop Global Tech (DROP) ini berusaha mendigitalkan bisnis laundry dengan pendekatan on-demand.

Dari perjalanannya hingga kini, tentu tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Dalam sesi #SelasaStartup kali ini mengundang CEO DROP Ridhwan Basamalah sebagai pembicara. Ia banyak memberikan pandangannya tentang bisnis laundry on-demand, prospek, dan tantangannya terutama selama pandemi ini.

Industri on-demand dulu dan sekarang

Ridhwan menuturkan, dibandingkan saat D-Laundry baru dirintis dengan sekarang, kondisi saat ini jauh lebih kondusif. Saat itu, perkembangan ekonomi digital baru didorong oleh kehadiran pemain e-commerce, ditandai hadirnya Lazada, Tokopedia, dan Bukalapak, juga bisnis on-demand seperti Gojek, Grab, hingga Uber.

“Mereka mulai bertumbuh-tumbuhnya. Di satu sisi, perkembangan tersebut mempermudah startup lainnya untuk ikut tumbuh. On-demand itu sendiri industrinya mana kepikiran naik ojek bisa pesan pakai app. Ini bentuk kemajuan teknologi yang merupakan suatu keniscayaan,”

Dia melanjutkan, “Bertepatan dengan itu DROP lahir di Depok karena kami lihat di sana banyak mahasiswa dan jasa laundry belum tersentuh. Industri laundry ini besar tapi belum ada yang jadikan sebagai business on-demand.”

Sebagai bisnis konvensional, tentunya memperkenalkan konsep on-demand kepada para pengusaha laundry bukanlah hal mudah. Maka dari itu, langkah awal yang mereka lakukan adalah menyasar pengusaha laundry yang sudah memiliki jasa kurir. Lalu mengedukasi mereka dengan konsep on-demand yang mana permudah mereka mendapat order secara online.

“Konsepnya on-demand mau bisnis mana pun sama, setiap ada demand, di mana pun lokasinya akan diantar. Bedanya dengan kompetitor, kami buat app untuk konsumer untuk order, apa saja yang mau dicuci dan pilih rekanan laundry yang sesuai preferensi dan lokasi terdekat. Nanti kurir laundry yang dipilih akan dijemput ke titik penjemputan.”

Persebaran jasa laundry di Indonesia itu sendiri ada di kota lapis dua dan tiga, bukan di kota utama. Ridhwan bilang, industri ini unik karena jasa laundry punya segmentasi masing-masing, di kota yang punya banyak universitas pasti menjadi lahan empuk untuk para pengusaha karena di sana dihuni oleh mahasiswa yang hidup di indekos. “Kalau dilihat juga, pemain laundry konvensional terbesar di Indonesia yang sudah punya ratusan cabang itu, justru pertama kali hadirnya di Yogya.”

Kembangkan bisnis

Ridhwan melanjutkan, sejak 2016 beroperasi hingga akhirnya D-Laundry dapat pendanaan tahap awal di 2021, perusahaan sepenuhnya berjalan dengan dana sendiri (bootstrap). Satu tips yang paling penting dilakukan sejak awal adalah selalu memvalidasi bisnis apakah berjalan atau tidak.

Cara terdekat untuk melihatnya adalah apa yang masih menjadi masalah di lapangan. Di balik masalah ada kesempatan yang bisa digarap dan lebih mudah untuk penetrasi ke pasar. “Jadi masuk ke market-nya tidak susah karena solusi yang ditawarkan bisa menyelesaikan masalah.”

Berbekal dengan strategi di atas, lamban-laun D-Laundry berinovasi dari awalnya platform yang menghubungkan konsumen dengan penyedia jasa laundry terdekat. Lalu mulai fokus ke masalah di merchant dengan menyediakan aplikasi khusus dilengkapi dengan fitur manajemen laundry, di antaranya kasir POS, manajemen produksi, pencatatan keuangan, akuntansi, manajemen pegawai, insights, pembayaran digital, hingga nota digital.

Berbeda dengan POS untuk industri F&B kebanyakan, di bisnis laundry punya keunikan. Misalnya, tempo pembayaran yang bisa di awal layanan dan juga di akhir, menyesuaikan keinginan pelanggan untuk pencatatan dan pembukuan. “Ini tantangan kami saat develop fitur pencatatan. Sekarang semua mitra kami bisa pakai fitur POS di aplikasi merchant.”

Saat pandemi, perusahaan memutuskan untuk membuat pusat inovasi dan pengembangan (R&D) berbentuk usaha laundry yang dikembangkan sendiri. Namanya, Swash Clean yang berlokasi di Tebet, Jakarta. Inisiasi awalnya adalah pihaknya ingin mengetahui lebih mendalam bisnis laundry dengan langsung terjun langsung ke bisnisnya dan mengembangkan solusi yang tepat guna agar dapat disebarluaskan.

Namun langkah tersebut membuat munculnya para pengusaha baru yang tertarik untuk terjun tapi belum ada keahlian. D-Laundry perluas solusi sebagai konsultan, memberikan rekomendasi terbaik, termasuk install peralatan hingga pelatihan. “Kemudian di 2022 ini kondisi ekonomi berangsur pulih, yang awalnya hanya konsultan sekarang jual all-in, kita tawarkan paket laundry Swash Clean dengan model franchise untuk dorong orang mau jadi laundry-preneur.”

Tak berhenti di situ perusahaan berencana untuk mengembangkan teknologi IoT ke dalam sistem mereka, mengingat saat ini sudah banyak peralatan rumah tangga yang dapat terhubung dengan jaringan internet. Baru mulai tahun ini perusahaan mulai ekspansi ke area non-Jabodetabek.

Application Information Will Show Up Here

Menyimak Potensi Platform Social Commerce di Indonesia

Dalam laporan yang dirilis oleh DailySocial.id membahas perkembangan ekosistem social commerce di Indonesia, terungkap selama satu dekade terakhir e-commerce telah berhasil menjadi lokomotif industri yang mendorong berbagai inovasi digital di berbagai sektor. Namun demikian masih ada gap yang belum terselesaikan, khususnya terkait pemerataan jangkauan layanan.

Gap tersebut dilandasi berbagai faktor, misalnya terkait distribusi layanan di kota tier 3 atau 4. Sampai dengan literasi digital masyarakat rural yang belum maksimal. Dari kondisi tersebut kemudian muncul inovasi baru berjuluk “Social Commerce”.

Dalam sesi #Selasastartup kali ini, CEO Dagangan Ryan Manafe mengungkapkan tantangan dan peranan Dagangan untuk bisa merangkul lebih banyak mitra dari kalangan perusahaan multinasional, agar bisa memberikan layanan terpadu kepada masyarakat Indonesia.

Pendekatan teknologi yang relevan

Tidak dapat dimungkiri, teknologi memiliki peranan penting untuk bisa membantu mempercepat layanan dan pengiriman barang kepada mereka yang tinggal di daerah tertentu hingga pedesaan. Namun demikian dalam penerapannya, idealnya tidak disamakan pemahaman teknologi mereka yang tinggal di pedesaan atau daerah tertentu hingga pedesaan, dengan mereka yang tinggal di kota-kota besar.

Jika memang dibutuhkan, bisa ditawarkan penggunaan aplikasi, microsite, hingga pemesanan melalui WhatsApp. Namun untuk membantu proses lebih mudah lagi, perlu memberikan juga penjelasan yang lebih akurat dan langsung oleh tim di lapagan.

“Dalam hal ini Dagangan menawarkan tim penyuluh di masing-masing daerah untuk membantu mereka melakukan pemesanan, mengelola, dan mengumpulkan pemesanan hingga akhirnya dapat disalurkan kepada masing-masing pembeli,” kata Ryan.

Untuk mempercepat pengiriman dan menekan biaya ongkos kirim yang kebanyakan cukup tinggi di daerah tertentu, Dagangan melakukan kerja sama strategis dengan logistik pihak ketiga. Mereka juga menerapkan model Hub and Spoke untuk mempercepat proses distribusi barang.

Seperti yang disebutkan dalam laporan sebelumnya, konsep yang ditawarkan oleh platform social commerce saat ini lebih menekankan kepada memberdayakan komunitas sebagai perwakilan setiap transaksi yang ada. Selain konsumen yang merupakan target dari semua platform social commerce, komunitas dalam hal ini berfungsi sebagai mitra strategis dari social commerce.

Saat ini selain Dagangan sudah banyak platform social commerce di Indonesia. Di antaranya adalah Super, Evermos, Mapan, RateS, Woobiz dan lainnya.

Tantangan platform social commerce

Salah satu tantangan yang masih ditemui oleh platform social commerce saat ini adalah, bagaimana mereka bisa meyakinkan produsen dan principal untuk bisa bersama memberikan layanan kepada kota-kota di lapis 2 dan 3.

“Masih menerapkan kearifan lokal, sekarang saya bawa ke level berbeda yaitu meyakinkan principal yang merupakan multinasional company yang sudah memiliki pengalaman untuk bisa bermitra dengan Dagangan,” kata Ryan.

Minat dari investor lokal hingga asing untuk memberikan pendanaan kepada platform social commerce juga terlihat semakin meningkat. Meskipun tidak selalu fokus kepada pengembangan teknologi atau berbasis teknologi, namun jika platform social commerce memiliki visi yang baik yaitu menjangkau lebih banyak area di kota tier 2 dan 3, ternyata mampu menarik perhatian dari investor untuk memberikan kepercayaan.

Dalam laporan juga disebutkan, GMV (Gross Merchandise Value) untuk industri e-commerce di Indonesia diprediksi mencapai $104 miliar pada tahun 2025. Terlepas dari platform e-commerce yang sudah banyak digunakan oleh pengguna, masih ada potensi pasar yang besar dari masyarakat terfragmentasi di media sosial.

Bagi platform social commerce yang saat ini perlu diperhatikan adalah, bagaimana model bisnis yang berkelanjutan, unit ekonomi dan visi yang mereka tawarkan bisa membantu masyarakat untuk mendapatkan barang dengan cepat dan harga terjangkau lebih baik lagi.

Pintarnya Bicara Validasi Masalah dan Tantangan Pengembangan “Job Marketplace” Pekerja Kerah Biru

Pekerja kerah biru (blue collar) termasuk golongan yang cukup terdampak karena Covid-19. Karena memiliki keterbatasan akses untuk mendapat peluang pekerjaan, terutama berjangka panjang, mereka menjadi terpinggirkan secara ekonomi. Padahal, jumlah pekerja kerah biru di Indonesia berkisar lebih dari 60 juta, di mana sekitar 20% menyumbangkan PDB.

Berbagai pelaku startup berupaya mengatasi masalah keterbatasan akses melalui produk digital. Pintarnya adalah salah satunya yang punya misi untuk mendemokratisasi perekrutan pekerja kerah biru melalui job marketplace. Pada #SelasaStartup kali ini, Co-founder dan CEO Nelly Nurmalasari memaparkan sejumlah catatan menarik di balik dapur pengembangan Pintarnya.

Pain point pekerja kerah biru

Validasi masalah merupakan hal paling utama dilakukan pelaku startup sebelum terjun ke pengembangan produk. Bagi Nelly, menunggu pengembangan produk sampai jadi akan memakan waktu lama. Alih-alih demikian, ia pun melakukan eksperimen tahap awal di Telegram untuk mengetahui apakah produknya worth solving.

Dari eksperimen ini, ia mendapat sejumlah pembelajaran penting berdasarkan pengalaman para pencari pekerja. Pertama, isu penemuan (discoverability). Menurutnya, sebanyak apa pun lowongan kerja yang ditampilkan, pencari kerja akan tetap bertanya. Dari sini, ia melihat bahwa yang mereka butuhkan adalah simplicity untuk melamar dan mengakses lowongan yang mereka cari.

Kemudian, aspek keamanan. Beberapa orang yang disurvei mengaku pernah mengalami penipuan saat melamar kerja atau mendapat lowongan bodong. Misalnya, meminta bayaran atau tawaran gaji yang tidak wajar. “Ini semua menjadi learning dan landasan kami untuk membuat MVP beberapa bulan lalu,” tutur Nelly.

Pain point pemberi kerja

Tak hanya dari sudut pandang pencari kerja, keamanan juga menjadi aspek penting bagi para pemberi kerja (employer). Hal ini untuk memastikan bahwa pelamar sudah terverifikasi dan punya pengalaman yang real.

“Ini penting karena prinsipal ingin merasa aman untuk hire sehingga tidak mendapat pegawai salah. Bisa saja pelamar punya rekam jejak kredit macet. Ini akan mengganggu di bagian HR dan berpengaruh ke pekerjaan. Contoh lain, mempekerjakan driver tapi tidak bisa bertanggung jawab dengan mobil yang dikendarai,” ungkapnya.

Tak kalah penting, ia menilai efisiensi pada screening sangat dibutuhkan oleh employer. Sejumlah HR yang diwawancara mengaku sulit untuk melakukan seleksi pelamar tanpa perlu mengecek aplikasi satu per satu. Speed to hire menjadi penting karena mereka harus tetap menjalankan bisnis.

Semua pain point ini tercermin dari produk/fitur yang dikembangkan. Misalnya, tidak perlu buat CV, track status lamaran, hingga label verifikasi. Platform lain mungkin saja menawarkan hal yang sama, tetapi ‘how to‘ harus berbeda.

Tantangan selanjutnya

Product-market fit tentu menjadi metrik utama untuk memastikan produk worth solving. Kendati demikian, Nelly menilai bahwa saat sini solusi digital yang sesungguhnya belum ada mengingat konsep job marketplace di Indonesia masih berkembang.

Apabila dibandingkan dengan marketplace/e-commerce secara umum, tentu akan berbeda. Saat ini e-commerce memang sudah berada di fase matang. Namun, sektor ini dulu sempat mendapat keraguan di pasar karena orang belum terbiasa belanja online. Penetrasi digital juga belum seperti sekarang.

Nelly juga menyoroti bahwa pengembangan job marketplace harus sejalan dengan upaya monetisasi. Misalnya, menghubungkan layanan pencarian kerja dengan layanan keuangan.

“Nah kita di fase sama. Kita perlu lihat natural pathway dari pekerja kerah biru. Bagaimana mereka mencari kerja? Apakah experience-nya akan sama atau berbeda dengan [pengguna] e-commerce? Tantangan terbesar adalah mengetahui the right formula. Tim kami masih kecil makanya kami selalu eksperimen dengan cepat untuk mencari tahu,” jelasnya.

Leadership

Nelly juga menyampaikan catatan penting untuk mendorong female leader/founder lain di industri startup. Menurutnya, jangan terpaku pada standar tertentu untuk menuju kesuksesan. Apalagi, ada anggapan bahwa mereka tidak dapat menunjukkan kekuatannya karena posisinya sebagai female leader.

“Ada perspektif yang tidak pas karena mungkin melihat perempuan punya more emotional maturity dan motherly instinct. Justru jangan shy away, jangan melihat template menjadi leader harus begini. Kita bisa create lebih banyak dan menemukan kesuksesan kita sendiri.” Tutupnya.

Strategi Rekosistem Menjadi Startup Berdampak yang Berkelanjutan

Perusahaan rintisan berbasis impact kian banyak ditemui di tengah masyarakat. Salah satunya adalah Rekosistem, startup cleantech yang menawarkan jasa pengelolaan sampah, termasuk di dalamnya pengumpulan, pemilahan, serta daur ulang.

Dimulai sebagai UMKM hingga akhirnya mendirikan badan hukum dan merek perusahaan sendiri, startup yang didirikan oleh Ernest Layman dan Joshua Valentino pada 2019 ini menyediakan produk dan jasa inovatif untuk mengatasi masalah pengelolaan sampah di Indonesia.

Sesuai dengan tema diskusi #SelasaStartup pekan lalu, terkait bisnis berdampak yang berkelanjutan, Ernest mengungkapkan bahwa model bisnis yang sustainable menurutnya tidak hanya memikirkan profit, melainkan juga people dan planet.

Rekosistem sendiri tidak hanya bertujuan menjadi perusahaan yang berkelanjutan tetapi juga membantu perusahaan lain untuk bisa menerapkan model bisnis yang berkelanjutan.

Dalam menjalankan model bisnis berdampak, ada banyak peluang yang bisa dimanfaatkan selain sampah, misalnya misi terkait keanekaragaman hayati, perubahan iklim, energi terbarukan dan lainnya. Dalam hal ini, Rekosistem memilih untuk memosisikan diri sebagai perusahaan teknologi yang ingin membantu menjembatani setiap aktivitas dari pemangku kepentingan yang ada dalam ekosistem pengolahan sampah di Indonesia.

Beroperasi untuk layanan B2B sekaligus B2C, Rekosistem menawarkan jasa jemput dan setor sampah sesuai kebutuhan. Layanan ini memiliki tiga produk utama yaitu Repickup Service, Repickup Rumah, dan Redrop (Setor Sampah). Misi utama Rekosistem adalah untuk berkontribusi dalam meningkatkan penyerapan sampah daur ulang sekaligus memperkenalkan tren pola hidup ramah lingkungan di Indonesia.

CEO Rekosistem Ernest Layman mengungkapkan, “Zero waste itu bukan tentang tidak menciptakan sampah atau menghilangkan sampah. Namun, keadaan itu akan tercipta ketika kita bisa bertanggung jawab dengan sampah yang kita ciptakan sehingga tidak menimbun masalah.”

Menyederhanakan proses

Ernest juga mengaku bahwa di masa awalnya sangat sulit untuk bisa meyakinkan orang bahwa pengelolaan sampah yang baik dan benar itu esensial dalam kehidupan. Mengurus sampah bukan hanya tentang mengumpulkan dan membuang sampah ke tempatnya. Lebih dari itu, mengurus sampah artinya bertanggungjawab akan sampah kita.

Sampah kita tidak semuanya harus berhenti di tempat pembuangan akhir. Ada sampah yang masih bisa dikelola untuk kembali digunakan dan dikelola untuk didaur ulang. Dari sini, pihaknya berinisiatif membuat produk yang tepat guna sesuai dengan kondisi yang ada saat ini.

Dalam proses pengelolaan itu sendiri, ada banyak hal yang sering kali membuat orang menjadi urung untuk memilah sampahnya. Rekosistem ingin menyederhanakan proses baik dari sisi penghasil sampah, pengelola sampah, hingga pada hasil akhirnya. Pada 21 Februari 2021, Rekosistem meluncurkan aplikasi yang berguna untuk menukarkan sampah dengan reward point bagi pengguna.

Manfaatnya sendiri bisa dirasakan oleh masing-masing stakeholder. Ada nilai ekonomis yang bisa dirasakan oleh para pengguna layanan baik supplier atau pendaur ulang. Selain itu, para pekerja di lapangan juga dimudahkan dengan rute atau jadwal pengambilan sampah yang lebih tertata. Selain itu, untuk supplier/perusahaan daur ulang juga dimudahkan dengan mendapat pasokan sampah yang sudah terpilah.

Sebagai perusahaan teknologi, Rekosistem mengaku tidak berusaha untuk memonopoli pasar. Perusahaan memosisikan diri sebagai jembatan yang bisa menghubungkan semua stakeholder. “Kita berharap bisa meningkatkan produktivitas setiap layanan turunan dari pengelolaan sampah ini,” tambah Ernest.

Mengedepankan kolaborasi

Dalam menjalankan misinya, Rekosistem mengaku tidak berusaha untuk menggantikan ekosistem pengelolaan sampah yang sudah ada. Melainkan, pihaknya ingin menjembatani para pemangku kepentingan yang terlibat di sektor ini dengan dibantu oleh teknologi. Perusahaan menjalankan model bisnis yang mengedepankan kolaborasi.

Salah satu alasannya adalah efisiensi dari sisi operasional. Sebagai perusahaan teknologi yang menjalankan platform di tengah masyarakat, kolaborasi bisa memperluas jaringan perusahaan. Selain itu, edukasi terkait pengelolaan sampah yang baik dan benar juga tidak bisa berjalan sendiri, harus diiringi dengan pemeliharaan yang baik.

“Kita sebagai startup posisinya eksekutor untuk solusi. Perannya jadi penting untuk bisa mengakselerasi target-target yang dibuat secara global maupun lokal. Untuk produk akhir, kita punya mitra. Kita sebagai platform teknologi. Sebenarnya saat ini kita akhirnya bisa berkolaborasi adalah kita bukan mengganti, karena kita empower masing-masing stakeholder-nya,” ungkap Ernest

Rekosistem menjalin kerja sama dengan semua pihak yang memiliki visi dan misi yang sejalan untuk pengelolaan sampah yang lebih baik. Selama beroperasi, Rekosistem sudah menjalin kerja sama dengan beberapa institusi dengan tujuan menciptakan ekosistem pengelolaan sampah yang lebih baik. Bersama PT Pupuk Indonesia (Persero), perusahaan berkomitmen mengurangi peningkatan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) melalui program pengelolaan sampah.

Sebelumnya, perusahaan juga sudah menjalin kerja sama dengan Lion Parcel (PT Lion Express), sebagai komitmen untuk terus menerapkan praktik bisnis yang lebih berkelanjutan. Melalui kerja sama ini, Rekosistem akan membantu Lion Parcel dalam proses pengelolaan sampah di industri logistik secara end-to-end, mulai dari pengumpulan sampah, pemilahan, hingga proses daur ulangnya.

“Kalau sudah memutuskan untuk membangun bisnis yang sustainable,  sudah pasti harus berbanding lurus dengan dampak sosial dan lingkungan. Tinggal memikirkan nilai ekonominya saja,” ujar Ernest.

Salah satu kunci keberlangsungan bisnis berdampak adalah ketika pertumbuhan bisnis bisa selaras dengan dampak yang diciptakan. Dalam wawancara bersama Dondi Hananto, Partner dari Patamar Capital, perusahaan modal ventura global yang fokus mendanai startup berbasis impact, ia mengungkapkan bahwa dalam menjalankan model finansial berdampak, tidak disarankan untuk menciptakan dampak yang cost-structured, di mana dampak menciptakan cost baru di dalam bisnis.

Optimisme Desty Gairahkan “Social Commerce” sebagai Bisnis Berkelanjutan

Tidak dimungkiri, social commerce adalah salah satu vertikal bisnis di startup yang diuntungkan semenjak pandemi. Pembatasan interaksi sosial secara otomatis mendorong semangat para pelaku industri untuk mencari pendapatan tanpa harus melangkah ke luar rumah. Hal ini tak lepas dari fitur-fitur di media sosial, seperti “Instagram Story” yang turut membantu penjual dalam memasarkan produknya.

Terlebih itu, konsep social commerce melekat erat dengan ranah e-commerce. Mengutip dari laporan Econsultancy, pada 2025 mendatang, pasar e-commerce diproyeksikan akan melebihi $100 miliar per tahunnya. Hal ini turut mendongkrak popularitas social commerce.

Desty adalah salah satu pemain social commerce yang hadir sejak Oktober 2020, alias saat pandemi berlangsung. Dalam waktu singkat, Desty mampu meyakinkan pasar bahwa model bisnis yang diusung adalah the next big thing yang akan tumbuh bersama industri e-commerce — yang diproyeksikan akan menjadi penyokong ekonomi digital di Indonesia.

Untuk membahas lebih dalam, DailySocial.id mengundang Shintia Xu selaku Head Marketing Desty untuk membagikan pandangan dan optimismenya di industri ini dalam sesi #SelasaStartup yang digelar di pekan ketiga Juni 2022.

Kue bisnis social commerce

Berbagai riset menyebutkan bahwa kue bisnis social commerce ini sejalan dengan penggunaan internet yang terhubung dengan perangkat smartphone. Misalnya, mengutip dari laporan Econsultancy bersama Magento dan Hootsuite pada bulan Oktober 2019 berjudul “The State of Social Commerce in Southeast Asia”, industri social commerce diproyeksikan akan bertumbuh signifikan. Asia Tenggara memiliki lebih dari 350 juta pengguna internet dan 90% dari mereka sudah terhubung dengan smartphone.

Ukuran pasar social commerce di Indonesia sendiri cukup besar. Menurut laporan Research and Markets, pada 2022, nilai pasarnya mencapai $8,6 miliar dan akan meningkat sampai $86,7 miliar di 2028 mendatang.

Pada umumnya, platform enabler seperti Desty memberikan layanan untuk memudahkan pengelolaan barang dan sistem transaksi. Sebagian juga membantu di sisi pemasaran sampai dengan pembayaran. Selain Desty, beberapa platform yang berusaha membantu pelaku social commerce adalah AturToko, Avana, Minin, Tokotalk, dan beberapa lainnya.

“Kami punya empat produk yang semuanya mengonsolidasi semua pain points yang belum diberikan pemain social commerce yang ada sejauh ini, makanya Desty hadir,” ucap Shintia.

Desty menyediakan empat jenis layanan solusi digital, yakni Desty Menu, menyediakan kemudahan bagi restoran dalam membuat menu digital. Menu yang didesain khusus untuk industri hospitality dan F&B ini terintegrasi dengan fitur pembayaran dan kode QR sehingga memudahkan transaksi.

Berikutnya, Desty Omni, platform untuk mengelola stok barang dan pesanan toko yang sangat membantu bagi aktivitas jualan online; Desty Store, yang merupakan platform pembuatan situs bagi toko online; dan Desty Page, layanan penyedia landing page yang dioptimasi untuk tautan di akun media sosial, khususnya Instagram — konsepnya mirip Linktree atau Oneblink yang dikembangkan MTARGET.

“Saat pertama kali baru hadir, banyak yang belum tahu produk Desty. Akhirnya para social seller mulai coba-coba dan akhirnya kami mulai dipercaya. Ini masalah kebiasaan baru saja, pelan-pelan mereka akan terbiasa dengan cara baru yang sebenarnya memudahkan mereka. Adaptasi ini sangat terbantu semenjak adanya pandemi.”

Buat bisnis online jadi berkelanjutan

Secara konsep, sambung Shintia, Desty mengonsolidasikan seluruh produknya, mulai dari front-end hingga back-end dipermudah untuk dioperasikan oleh para penjual online. Bahkan, untuk mengoperasikan Desty Page misalnya, tidak perlu orang yang harus paham teknologi, ibu-ibu yang awam sekalipun dapat menggunakannya.

Salah satu contoh sukses yang berhasil dibuktikan oleh Desty adalah pengusaha baru, seorang ibu rumah tangga di Medan yang mulai berjualan toko perlengkapan bayi dengan cara konvensional. Setelah terjadi pandemi, ia mulai geser bisnisnya ke platform media sosial dan mulai mempelajari cara berjualan online dengan Desty.

“Ibu ini mengikuti seluruh arahan kita, untuk rajin buat konten, memanfaatkan semua fitur di Desty, sampai akhirnya omzet penjualannya naik 300%. Penjualan di platform media sosialnya ini bahkan melebihi penjualan di toko marketplace yang ia buat.”

Shintia mengklaim, selama ini solusi yang dihadirkan oleh pemain social commerce sebelum Desty hadir masih tercecer, masih dibutuhkan proses manual, dan belum terkonsolidasi penuh. Padahal, bagi para penjual, channel penjualan yang datang dari mana saja itu adalah masalah keseharian.

“Selalu ada kepusingan tentang undersell dan oversell. Desty membuat fitur-fitur yang membuat operasional mereka jadi lebih efisien, tidak butuh banyak SDM, sehingga mereka bisa tetap fokus mengembangkan bisnisnya.”

Selain didukung fitur yang menyeluruh, model bisnis Desty juga disebutkan oleh Shintia mendukung bisnis online dapat tumbuh bersama. Perusahaan tidak membebankan biaya berlangganan untuk para pengguna, alias seluruh fitur dapat digunakan secara gratis. Perusahaan hanya mengenakan biaya jasa untuk transaksi yang berhasil.

“Kami percaya empowering SME itu bukan dengan membebankan biaya bulanan. Prinsip kami, kami dapat uang kalau kamu [penjual online] dapat uang. Konsep kami diterima hingga kini kami punya lebih dari satu juta merchant online,” tutupnya.

Menyimak Strategi Bisnis Mangkokku Bertahan Saat Pandemi

Meskipun sempat terhambat pertumbuhannya saat pandemi,  keberadaan cloud dan ghost kitchen di Indonesia mampu menjadi format alternatif bagi pemilik bisnis kuliner di Indonesia untuk bisa bertahan di tengah krisis. Hal ini untuk beradaptasi dengan perubahan kebiasaan konsumen yang mulai melakukan pembelian secara online, konsep dapur tadi menjadi pilihan yang ideal karena bisa menjadikan proses produksi jadi lebih efisien.

Namun pada akhirnya untuk bisa mengembangkan bisnis dan mendapatkan profit, banyak dari pemilik bisnis kuliner yang berharap kegiatan dine-in di restoran kembali normal. Hal ini juga yang dirasakan Mangkokku.

Mangkokku yang menyediakan makanan dengan konsep rice bowl (nasi dalam mangkuk) bercita rasa nusantara. Startup ini didirikan oleh Randy Kartadinata, Arnold Poernomo, Gibran Rakabuming, dan Kaesang Pangarep.

Dalam sesi #SelasaStartup, CEO Mangkokku Randy Kartadinat, mengungkapkan tantangan dan potensi bisnis saat ini dan ke depannya.

Strategi bisnis saat pandemi

Salah satu strategi yang sukses dilancarkan oleh Mangkokku saat pandemi adalah mulai membangun beberapa outlet di kawasan perumahan. Dengan demikian saat  banyak orang yang enggan datang ke restoran, tetap bisa menikmati pilihan menu khas nusantara dari outlet Mangkokku dengan jarak yang lebih dekat. Meskipun masih mengandalkan mitra online delivery seperti GoFood, GrabFood, dan lainnya, namun cara tersebut diklaim cukup ampuh untuk meningkatkan penjualan mereka.

Strategi kedua yang juga dilancarkan adalah mengeluarkan pilihan menu dengan harga yang terjangkau. Randy menegaskan, di Mangkokku memang tidak mengeluarkan pilihan menu yang banyak. Dengan 15 opsi menu unggulan, cukup mampu untuk menciptakan engagement dan relasi yang baik kepada pelanggan setia.

Sebagai platform, Mangkokku juga melakukan proses quality control yang sangat ketat kepada pemasok mereka. Hal tersebut sengaja dilakukan untuk bisa menjaga kualitas dari produk yang mereka hadirkan.

Disinggung seberapa besar fokus perusahaan untuk mengembangkan teknologi, Randy menegaskan, produk yang baik adalah produk yang disukai oleh masyarakat. Selanjutnya pengembangan teknologi dan dukungan lainnya akan lebih mudah untuk dikembangkan.

“Sejak awal kami hadir secara offline, namun pandemi telah mengubah semua itu mengharuskan kami untuk bisa mengadopsi layanan secara online. Mulai dari mengembangkan cloud kitchen hingga memanfaatkan teknologi untuk pemesanan hingga pengantaran,” kata Randy.

Pertumbuhan bisnis positif

Saat ini Mangkokku mengklaim telah mengalami pertumbuhan bisnis hingga 6x setelah mendapatkan pendanaan tahap awal dari Alpha JWC Ventures sebesar $2 juta atau sekitar 29 miliar Rupiah di 2020. Tahun ini Mangkokku kembali mengantonggi pendanaan seri A sebesar $7 juta atau sekitar 101 miliar Rupiah yang dipimpin oleh Alpha JWC Ventures dan EMTEK, serta partisipasi dari Cakra Ventures.

Ada beberapa rencana yang ingin dilancarkan oleh perusahaan setelah merampungkan pendanaan ini Di antaranya adalah melakukan ekspansi hingga renovasi perlengkapan dapur. Dana segar tersebut juga akan dimanfaatkan untuk melakukan pelatihan untuk pengembangan talenta, sekaligus melakukan perekrutan talenta baru.

“Saya percaya jika perusahaan ingin berkembang perlunya merekrut tim yang tepat untuk mendukung pertumbuhan perusahaan,” kata Randy.

Untuk meningkatkan pengalaman dan kenyamanan berbelanja, Mangkokku akan meluncurkan aplikasinya pada akhir tahun ini. Aplikasi ini nantinya akan menyediakan layanan pesan antar, ambil sendiri, program loyalitas, serta promosi khusus.

Selain itu, Mangkokku juga menargetkan untuk membuka outlet ke-100nya tahun ini serta 100 gerai lagi di 2023. Mangkokku juga memiliki rencana untuk bisa membawa kuliner khas nusantara tampil lebih popular secara global.

“Saat pandemi cloud kitchen menjadi format yang paling tepat untuk bertahan. Namun dari sisi merchant harapannya saat kondisi normal bisnis dining akan kembali pulih dan gross margin yang lebih sehat,” kata Randy.

Investasi Semakin Ketat, Ekosistem Startup di Indonesia Tetap Pesat

DSInnovate belum lama ini menerbitkan hasil riset terbarunya bertajuk “Startup Report 2021-2022Q1“, merangkum dinamika industri dan ekosistem startup digital Indonesia. Laporan ini berisi data, perspektif pendiri, dan konsumen mengenai perkembangan bisnis teknologi. Topik baru yang menjadi sorotan tahun ini adalah impact, baik dari sudut pandang investasi maupun startup.

Dalam sesi Mini-Conference, Editor in Chief DailySocial.id sekaligus Direktur DSInnovate Amir Karimuddin memaparkan beberapa poin dalam laporan tersebut.

Setelah sepanjang tahun 2020 Indonesia mengalami masa-masa suram, kala itu beberapa startup tidak bisa melanjutkan bisnis karena satu dan lain hal, tahun 2021 disebut sebagai titik balik bagi ekosistem bisnis digital di Indonesia. Data yang terjadi membuktikan bahwa benar adanya, industri teknologi tanah air tengah memasuki babak baru.

Restrukturisasi sebagai strategi bisnis

Belakangan ini santer terdengar kabar tentang startup yang melakukan layoff. Faktanya, kabar ini datang bukan dari startup di tahap awal atau yang baru merintis, namun beberapa perusahaan yang namanya sudah cukup dikenal. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar, apa yang sebenarnya tengah terjadi dalam industri startup di Indonesia?

Restrukturisasi bukanlah hal yang baru dalam sebuah organisasi atau perusahaan. Namun ketika hal ini terjadi secara signifikan, itu akan menimbulkan banyak pertanyaan. Untuk menjawab asumsi-asumsi yang muncul ketika berita seperti ini mencuat di media, Amir, merepresentasikan DSInnovate mencoba menjabarkan apa yang mungkin menjadi dibalik panggung restrukturisasi startup teknologi tanah air.

Salah satunya terkait dengan investor yang semakin berhati-hati dalam menggelontorkan dana. Selain isu pandemi, saat ini industri teknologi Amerika Serikat disebut tengah mengalami “Tech Winter” yang dapat diartikan sebagai periode penurunan minat dan investasi dalam teknologi. Mengingat banyak investor yang juga bermarkas di negeri Paman Sam, hal ini tentunya berdampak pada angka investasi dalam negeri.

Dengan pendanaan yang semakin selektif, ada banyak penyesuaian yang harus dilakukan oleh perusahaan. Untuk perusahaan dengan skala yang besar, tentunya membutuhkan biaya operasional yang tidak sedikit. Hal ini kemudian berdampak pada cashflow. Agar runway tetap terjaga, harus ada upaya penyesuaian bisnis. Salah satunya adalah restrukturisasi atau efisiensi operasional bisnis.

Investor lebih selektif

Turut hadir dalam di sesi Mini-Conference, Deandra Fidelia Marbun selaku Investment Analyst di Central Capital Ventura (CCV) sebagai kendaraan investasi dari  grup BCA. Ia mengungkapkan pandangannya terkait lika-liku pendanaan yang tengah terjadi di tengah industri teknologi tanah air. Mulai dari aspek lokal hingga global.

Di skala lokal, penurunan jumlah pasien Covid-19 memiliki dampak positif. Ekonomi yang kembali tumbuh berpengaruh pada demand masyarakat yang semakin meningkat, lalu berdampak pada inflasi. Di ranah global, lockdown di China, perang Rusia-Ukraina, serta “Tech Winter” yang sebelumnya dibahas turut menjadi bahan pertimbangan. Penyesuaian tidak hanya terjadi pada startup namun juga investor yang menyebabkan investasi semakin ketat.

Ia juga mengungkapkan bahwa saat ini tengah terjadi koreksi pasar. Hal ini sebenarnya sudah diprediksi oleh bisnis atau modal ventura, setelah melihat kemunculan beberapa startup yang overvalued. Dinamika yang terjadi disebut sebagai sebuah ujian dan startup yang bisa bertahan bisa dibilang berkelanjutan (sustainable).

Sebagai sebuah VC, CCV dibentuk dari awal dengan tujuan investasi yang mengarah ke sinergi. Mengingat infrastruktur dan pengalaman yang sudah dimiliki, CCV memiliki fokus pada sektor fintech beserta turunannya seperti embedded finance. Hingga saat ini perusahaan sudah mengelola puluhan portofolio termasuk OY!, Akseleran, wagely, dan Qoala.

Terkait penyesuaian, Deandra menyebutkan bahwa hipotesis perusahaan dalam menyalurkan investasi sudah ditujuakan untuk dinamika startup yang cepat dan volatile, sehingga tidak banyak penyesuaian yang dilakukan. “Namun kami tetap lebih berhati-hati. Lebih baik sustainable growth daripada hyper growth tetapi ketika tersandung langsung jatuh,” tambahnya.

Babak baru industri startup Indonesia

Amir melanjutkan pemaparannya. Melihat perkembangan industri startup Indonesia, pada mulanya adalah e-commerce hadir menjadi lokomotif industri digital, kemudian merambah ke fintech, lalu semakin besar menyasar sektor lain. Setelah masyarakat mulai paham dengan penggunaan fitur finansial secara digital, hal ini akan turut mengakselerasi sektor lainnya.

Penetrasi teknologi di sektor edukasi dan pendidikan secara besar-besaran di masa pandemi juga menciptakan kemajuan yang besar di tahun 2022 ini.

Selain itu, ada tiga sektor yang juga diprediksi akan semakin berkembang di tahun ini; (1) Direct-to-Consumer yang memungkinkan brand untuk mengembangkan target pasarnya; (2) embedded finance, yang menawarkan solusi fintech untuk bisa diimplementasikan atau di-embed di berbagai macam platform; serta (3) Web3, evolusi dari industri internet yang berpotensi menjadi mainstream dalam jangka panjang.

Selain itu, salah satu tren yang juga diangkat dalam “Startup Report” adalah The Rise of Impact Investment. Investor kini tidak hanya tertarik pada sektor mainstream tetapi juga yang punya dampak langsung ke sosial ekonomi masyarakat seperti social commerce, renewable energy, agrikultur, dan lainnya. Tentunya impact investment memiliki mandat lebih berat, karena akan ada metrik tambahan untuk mendampingi metrik-metrik umum.

Deandra juga menambahkan, bahwa investasi berdampak merupakan salah satu yang menjadi value yang dimiliki CCV. Namun, mengingat fokus utama perusahaan adalah sektor fintech, impact yang dimaksud lebih ke ranah sosial yang mengutamakan inklusi finansial. Layaknya fokus investasi CCV yang akan berkaitan dengan fintech atau fintech related.

“Saat ini kita percaya bahwa pada akhirnya, semua jenis startup akan menjadi perusahaan fintech. Hal ini sudah terbukti dengan para startup global, seperti Uber dengan Uber Visa, begitu pula untuk sektor lain juga akan ada fintech angle-nya. Maka dari itu kita punya target investasi tahun ini ke embedded finance,” tambah Deandra.

Mengenai prediksi pertumbuhan startup ke depannya, Amir mengungkapkan bahwa akan ada reality check untuk memastikan bahwa strategi yang digunakan tetap relevan dengan kondisi saat ini, bukan lagi semata-mata growth at all cost.Cashflow positif akan jadi gold standard yang baru. Balancing antara cashflow dan growth akan jadi norma baru bagi startup di Indonesia. Tentunya dengan catatan tetap bisa memenuhi pertumbuhan bisnis sesuai kesepakatan dengan investor,” tutupnya.

Peran Penting Riset, Pengetahuan, dan Teknologi dalam Meningkatkan Produktivitas Budidaya

Berawal dari tambak udang yang dimilikinya sejak 2016, Co-founder DELOS Guntur Mallarangeng punya cita-cita untuk membawa kejayaan Indonesia sebagai produsen budidaya udang terbesar di dunia.

Saat ini ia menilai ekspor hasil sumber daya laut, terutama udang, di Indonesia belum optimal. Ini cukup disayangkan, mengingat Indonesia merupakan negara maritim dengan kepulauan terbesar di dunia. Nilai ekspornya memang fantastis, yakni sekitar $47 miliar per tahun untuk seafood. Namun, hanya $2,5 miliar saja yang disumbang dari udang. 

Pada sesi #SelasaStartup kali ini, Guntur membagikan beberapa catatan menarik yang berkaitan erat dengan pengalamannya mendorong industri budidaya udang lewat riset, science, dan teknologi.

Riset, pengetahuan, dan teknologi

Menurut catatan Guntur, Indonesia hanya memproduksi sepertiga atau setengah dari produksi udang yang dihasilkan negara-negara, seperti India dan Ekuador. Padahal, Indonesia punya lebih dari 50.000 km garis pantai, sedangkan India hanya ribuan km.

Mengapa Indonesia bisa tertinggal jauh? Ada beberapa faktor, utamanya karena produktivitas pada garis pantai yang dimanfaatkan masih rendah. “Hal ini justru menjadi peluang untuk mendorong industri budidaya secara berkelanjutan, scalable, dan menjadi yang terbesar di dunia,” ucap Guntur.

Untuk meningkatkan produktivitas budidaya, ia menyebut riset, pengetahuan, dan teknologi menjadi kekuatan budidaya tambak. Mengingat budidaya berkaitan dengan pemeliharaan makhluk hidup, riset dan pengetahuan berperan penting untuk memahami seluk-beluk industri ini.

Skill set apa yang dibutuhkan untuk memecahkan masalah ini? Kemampuan operasional, teknologi dan pengetahuan, serta dukungan modal yang bagus mengingat industri ini punya risiko gagal usaha yang tinggi. Di DELOS, kami menempatkan orang untuk science dan research sehingga penemuannya di industri budidaya dapat kami manfaatkan untuk mengatasi tantangan ini,” tambahnya.

Akses modal usaha

Menurut Guntur, sebesar 70% tantangan budidaya terjadi pada proses pengelolaan hingga infrastruktur yang membutuhkan modal besar. Ini merupakan kendala usang yang kerap dialami pelaku budidaya sehingga tak sedikit dari mereka terpaksa merogoh kocek sendiri. Karena hal ini pula, mereka sulit untuk meningkatkan skala bisnis dan mengatur target jangka panjang karena lebih fokus untuk mendapat pemasukan.

“Usaha tambak kurang dilirik investor maupun industri keuangan karena sejumlah faktor, seperti risiko gagal tinggi dan kurangnya pemahaman tentang model bisnis. Investor biasanya mau berinvestasi di usaha yang punya aset besar. Industri budidaya yang berjalan saat ini cukup fragmented dan kebanyakan pengusaha budidaya mendanai sendiri atau berkelompok,” paparnya.

Dalam hal ini, platform memiliki peran untuk menjembatani investor dengan pemilik usaha sehingga mereka dapat meningkatkan produktivitas sembari melakukan transfer knowledge ke orang lain.

Science dan data-driven

Guntur berujar pengetahuan dan teknologi menjadi aset penting dalam mengembangkan industri budidaya. Pengembangan teknologi dan riset dapat dimanfaatkan untuk membuat keputusan berbasis data.

Dalam konteks pemberian akses modal usaha, aset-aset tersebut dapat membantu platform aquatech untuk melihat sejumlah indikator dari pengusaha budidaya, misalnya risiko gagal budidaya, kinerja operasional, maupun produktivitas. Aset ini yang mungkin tidak dimiliki oleh bank atau institusi keuangan sehingga mereka kurang memahami industrinya.

“Kami ingin mengubah cara pengusaha budidaya untuk mengambil keputusan yang biasanya cenderung berdasarkan ‘gut feeling‘ menjadi science dan data-driven. Ini membantu untuk menerjemahkannya ke dalam bentuk teknologi yang dibutuhkan.” Tutupnya.