Ambisi Otofrens Wujudkan Transparansi Pasar Jual-Beli Mobil Bekas di Indonesia

Pasar jual-beli mobil bekas disebut mengalami pertumbuhan signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Investasi yang dilakukan para pelaku industri untuk membangun jaringan diler juga mempengaruhi peningkatan kualitas dan reliabilitas mobil bekas yang kemudian mendorong minat konsumen. Selain itu, pandemi yang berdampak pada penurunan daya beli pelanggan untuk mobil baru disebut sebagai faktor meningkatnya volume penjualan mobil bekas.

Dalam bisnis jual beli mobil bekas, penjual mobil pribadi kerap dihadapkan pada dua pilihan, yaitu jual ke diler dan platform jual instan tanpa repot dengan harga lebih rendah, atau jual santai ke pemakai langsung tapi harus siap repot. Otofrens hadir untuk mendampingi segmen pasar yang ingin jual santai tanpa repot. Selain itu, perusahaan juga menawarkan garansi dan layanan selengkap diler, dengan transparansi dan harga kompetitif dari pemakai langsung.

Otofrens didirikan dua co-founder, yaitu David Alexander (CEO) dan Onie Sunoto (CTO). Sebelumnya, perusahaan mengaku sempat beroperasi dengan nama Prodiler yang awalnya dibuat sebagai platform SaaS untuk diler mobil bekas, lalu pivot menjadi platform titip jual mobil. PT Otofrens Teman Favorit resmi meluncur pada Agustus 2022.

Dalam operasionalnya, setiap mobil akan diinspeksi secara profesional, lalu dipasarkan dengan foto, video, dan iklan yang optimal. Penjual dapat memantau seluruh prosesnya secara online, hingga bertemu dengan calon pembeli serius untuk negosiasi final. Dengan demikian, penjual tidak perlu lagi melayani calon pembeli yang kurang serius, pedagang yang menawar dengan harga di bawah pasaran, ataupun modus penipuan.

Dari sisi pembeli, mereka akan mendapatkan laporan inspeksi yang komprehensif, sehingga sudah mempunyai ekspektasi yang tepat sebelum melihat mobilnya langsung, yang dapat dilakukan di lokasi penjual maupun layanan home test drive di lokasi pembeli.

Selain itu, pengguna juga ditawarkan keuntungan seperti garansi mesin & transmisi, jaminan bebas banjir & tabrakan, opsi kredit yang jujur & lengkap, reparasi, hingga pengurusan dokumen. Dengan berbagai nilai tambah tersebut, praktis mobil berkesempatan terjual dengan harga terbaik, walaupun masih lebih kompetitif dari harga jual diler.

Selama proses pemasaran, mobil tetap dapat digunakan oleh pemilik karena tidak perlu dititipkan. Komisi pun hanya dibayarkan apabila mobil sukses terjual melalui Otofrens.

“Sebagai pencinta otomotif, kami tidak puas dengan kondisi industri saat ini dan arahan yang diusung oleh para pemain besar. Maka itu kami memilih untuk berjuang melalui startup ini demi mewujudkan mimpi kami untuk industri. Hal ini hanya dapat terwujud dengan dukungan teman-teman pelaku dan pencinta otomotif sekalian,” ungkap David.

Perusahaan sendiri telah didukung oleh beberapa investor yang percaya pada visi misinya. Saat ini ada sekitar 3 angel investor yang memilih untuk tidak disebutkan namanya. Mereka merupakan bagian dari co-founding team (sebagai advisor) dengan latar belakang praktisi industri digital di Indonesia (e-commerce dan digital advertising).

Kedepankan efisiensi dan transparansi

David turut mengungkapkan masa-masa jatuh bangun dan kembali ke titik nol. Menurutnya, tantangan terbesar adalah membangun kepercayaan pengguna, baik seller maupun buyer. Hal ini disebabkan oleh minimnya transparansi di industri ini. Apalagi sebagai pemain baru, tidak mudah untuk membangun reputasi dalam waktu singkat.

Perusahaan memosisikan diri sebagai “biro jodoh” yang mempertemukan penjual dan pembeli mobil bekas yang pas. Mimpi besar Otofrens adalah transaksi antar pemakai langsung yang 100% transparan tanpa batas jarak & waktu, serta kesempatan bagi siapa pun untuk berkontribusi dan mencari rezeki. Atau singkatnya menjadi seperti ojol untuk industri mobil bekas.

David mengungkapkan, “Model bisnis kami yang berbeda dari diler konvensional membuat prosesnya lebih efisien dan transparan. Tanpa memegang stok sendiri, komisi yang kami terapkan jauh lebih rendah dari margin keuntungan diler. Kondisi mobil pun dapat dilihat dengan apa adanya, dan jika diperlukan pembeli dapat memilih opsi reparasi sesuai keperluan. Hasilnya adalah solusi yang win-win bagi penjual dan pembeli dari segmen yang sesuai.”

Selama menjalankan bisnis ini, David juga mengungkapkan bahwa timnya telah bekerja sama dengan beberapa perusahaan pembiayaan, baik konvensional maupun syariah, bengkel reparasi, biro jasa, dan yang terbaru dengan Warranty Smart Indonesia untuk penyediaan garansi mesin yang diberi nama “Otofrenshield”.

Hingga saat ini, David mengungkapkan bahwa perusahaan masih memiliki skala bisnis yang terbilang kecil. Namun, ia percaya bahwa timnya telah membangun fundamental yang semakin solid dengan pertumbuhan organik yang konsisten. Dari sisi pengguna, perusahaan bisa menangani sekitar 40-50 unit mobil setiap bulannya.

Target ke depan

Saat ini, lanskap industri tengah didominasi oleh dua kubu. Di satu sisi segelintir diler besar beserta beberapa platform raksasa yang tengah fokus pada layanan jual instan. Pada dasarnya, mereka mengadopsi model diler konvensional dengan modal yang jauh lebih besar dan dukungan teknologi. Di sisi lain, ada banyak sekali makelar dan pedagang rumahan yang masih bekerja secara tradisional dan sering kali kurang transparan dalam menjalankan bisnisnya.

Dikotomi ini persis seperti yang terjadi di industri transportasi beberapa tahun silam, hingga revolusi digital oleh ojek/taksi online berhasil membawa kebaikan bagi pelaku usaha dan konsumen. Tentu masih melekat di benak kita, bagaimana resistensi para pelaku usaha di fase awal, sebelum akhirnya mereka menyadari keuntungannya.

“Kami percaya suatu hari orang dari Sumatra bisa beli mobil dari Jawa tanpa perlu datang. Kami percaya suatu hari banyak orang awam yang bisa ikut mencari nafkah secara jujur melalui Otofrens,” ungkap Onie Sunoto selaku co-founder & CTO Otofrens.

Dengan mengusung konsep sharing economy, layanan Otofrens dilakukan oleh ‘Teman Jual Beli Mobil’, layaknya pengemudi ojol yang terbuka untuk semua kalangan. Bahkan ke depannya konsep Teman ini juga akan diterapkan ke UMKM pendukung ekosistem seperti bengkel, biro jasa, dll. Sama seperti ojol yang turut membawa dampak positif bagi warung makan dan UMKM lainnya.

“Keberadaan kami bukan bertujuan menggantikan atau mematikan makelar dan pedagang rumahan. Justru sebaliknya kami ingin merangkul mereka untuk bekerja lebih efektif dengan dukungan teknologi,” jelas Onie.

David turut menegaskan bahwa di tahun ini, timnya tengah fokus memperkuat fundamental perusahaan. “Dengan fondasi yang kuat, kami yakin bisa lepas landas di tahun depan. Targetnya, dalam 2 tahun ke depan, kami bisa menangani total 1000 mobil per bulan, yang akan dikelola oleh 100 mitra (Teman Jual Beli Mobil).”

Mendalami Peluang dan Tantangan Menjalankan Konsep “Sharing Economy”

Kehadiran Airbnb dan Uber yang membawa konsep sharing economy mampu menginspirasi banyak orang di dunia untuk mereduplikasinya ke industri yang lain. Begitu pula di Indonesia, startup yang kini sudah menyandang status unicorn mayoritas menjalankan konsep ini sebagai basis bisnisnya.

Seperti apa peluang dan tantangannya bagi startup baru yang tertarik dengan ke konsep ini? Dalam menjawab pertanyaan ini, #SelasaStartup edisi kali ini mengundang Co-Founder dan CEO Titipku Henri Suhardja. Titipku adalah startup asal Yogyakarta yang menyediakan jasa personal shopper yang bisa membelanjakan kebutuhan konsumen di area mereka.

Model bisnis Titipku

Henri menjelaskan, konsep bisnis Titipku cukup sederhana. Konsumen dihubungkan dengan personal shopper untuk membelanjakan kebutuhan sehari-hari dari toko sekitar konsumen. Konsep ini berbeda dengan situs marketplace yang di dalamnya juga menyediakan penjual yang menjajakan produk tersier.

“Bahkan kami lebih spesifik. Di Indonesia ada puluhan juta UKM konvensional yang belum gabung ke online karena mereka sulit untuk proses registrasi, menggunakan aplikasinya, dan sebagainya.”

Karena Titipku hanya bermain di produk kebutuhan sehari-hari, kelebihan inilah yang menjadi pembeda antara perusahaan dengan unicorn seperti Grab atau Gojek. Kendati permodalan Titipku tidak sebesar kedua perusahaan tersebut, tapi perusahaan mampu terus ekspansi dari 2017 hingga sekarang.

Ekspansi Titipku terbilang lebih sistematis dan tidak asal tembak. Perusahaan menargetkan dalam satu minggu dapat masuk ke satu kecamatan. Sebelum memilih lokasi tersebut, perusahaan membandingkan tingkat penawaran dan permintaan masing-masing kabupaten di dalam satu kota.

“Kami menjalankan ekspansi dengan cara beda dengan unicorn karena kami harus lebih bijak. Di satu kabupaten, kami riset titik mana yang paling potensial yang kami masuki.”

Model bisnis ini sebenarnya tidak langsung muncul begitu saja. Lewat proses pembelajaran, akhirnya menemukan product market fit tepat pada awal tahun kemarin sebelum pandemi. Awalnya Titipku masih memakai validasi dengan konsep nasional, seperti marketplace pada umumnya.

Tapi ketika awal tahun kemarin, menerapkan konsep hyperlocal untuk menjangkau usaha mikro yang menjual produk sehari-hari karena ingin menyasar warga sekitar. Ia mengaku sangat beruntung dengan keputusan tersebut karena Titipku menjadi startup yang meraup berkah dari pandemi. Pasalnya, dengan konsep ini secara psikologis, konsumen tentu lebih suka belanja di toko di sekitarnya karena sudah mengenalnya. “Bila ini [model bisnis] belum diganti, pasti kita akan kesulitan [berkembang].”

Diklaim pendapatan perusahaan mampu menutupi variable cost-nya, dikembangkan kembali untuk mendukung perkembangan perusahaan. Sepanjang tahun lalu, Titipku mampu menambah 31 ribu pedagang yang masuk ke Titipku. Hal ini tercapai berkat kinerja dari sekitar 7 ribu ‘penjelajah’ (istilah untuk pengguna aplikasi yang mengunggah informasi UKM yang ditemui).

Titipku juga telah membentuk 47 pasar digital yang berisi 1219 pedagang di dalamnya. Ke-47 pasar digital tersebut adalah pasar tradisional yang tersebar di Jabodetabek, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, dan Bali. Selain itu, perusahaan mencatat pertumbuhan omzet lebih dari 700% yang didukung peningkatan transaksi per bulan rata-rata mencapai 80%.

Ambil pendekatan sesuai budaya

Titipku sejauh ini baru beroperasi di dua lokasi, Yogyakarta, dan sebagian Jakarta (Jakarta Barat dan Jakarta Utara). Menariknya, cerita di balik ekspansi ke Jakarta terjadi karena ketidaksengajaan. Henri menceritakan, ia berada di Jakarta Barat ketika pemerintah memutuskan PSBB pada pertama kali di Maret 2020.

“Rekan saya, Ong Tek Tjan kebetulan tinggal di Kelapa Gading. Jadi kami berdiskusi lagi untuk masuk ke pasar. Saya sendiri yang menjelajah Pasar Tomang Barat, padahal awalnya tidak tahu daerah sama sekali. Akhirnya, Juni 2020 mulai growing dan satu per satu rekrut tim lapangan, akhirnya buka kantor cabang di sini.”

Penetrasi internet di Yogyakarta dengan Jakarta cukup berbeda. Pedagang di Jakarta sudah familiar dengan aplikasi di smartphone dan cara transfer, sehingga tidak perlu edukasi yang masif. Sementara, di Yogyakarta tidak demikian, namun keingintahuan masyarakatnya sangat tinggi terhadap sesuatu yang baru.

Dari sini, perusahaan belajar untuk menyesuaikan strategi pemasarannya. Di Jakarta, perusahaan memilih untuk pemasaran dengan kanal digital untuk menciptakan transaksi baru. Sementara, di Yogyakarta masih ada proses turun ke lapangan untuk menemui langsung konsumen.

Apalagi, saat perusahaan berusaha mendapatkan 100 pengguna awalnya, tidak langsung membuat aplikasi. Melainkan mendatangi langsung pedagang dan konsumen untuk mencari tahu titik masalahnya, ketimbang ujug-ujug langsung membuat aplikasi.

“Kita lakukan semuanya bertahap, mulai pakai brosur, hanya pakai media sosial, kontak WhatsApp, dan telepon. Setelah dapat 100 konsumen, kita jadi tahu profile konsumen seperti apa agar strategi berikutnya dapat tepat sasaran.”

Application Information Will Show Up Here

Initiatives from “Sharing Economy” Platforms to Support Partners Amid Pandemic

In 2015, the concept of sharing economy has not become part of the daily life of the Indonesian people. In a survey involving 1008 people, 85% of respondents said they had heard this concept, but still less than 40% had tried it. In 2020, such services have become a necessity and part of a lifestyle.

According to data at the end of the first quarter of 2020, Gojek, Indonesia’s largest local economic sharing platform, has operated in 214 cities and five Southeast Asian countries with more than 2 million driver-partners. The application is claimed to have been downloaded more than 170 million times by consumers in the region. According to App Annie’s report titled “2020 State of Mobile Report”, Gojek has become the most widely used on-demand application for Indonesians throughout 2019.

The sharing economy has now become many people’s sources of income in the ecosystem, including driver-partners, restaurant business owners, and various service providers (cleaning, massage, health, etc.).

The current outbreak of Covid-19 in Indonesia directly affects the use of services and the welfare of these ecosystem partners. According to INDEF (Institute for Development of Economics and Finance) Researcher, Nailul Huda, the impact is a bit burdensome for the business industry with the concept of sharing economy.

“The demand will automatically decrease. There will be less people ordering motorcycle taxi services online or lodging based on sharing economy. This is quite hard for some partners that their services will lose a significant income,” Huda said.

Gojek’s initiative to support partners and merchants

With no further explanation on the percentage decrease in the number of uses in the ecosystem, Gojek’s Chief of Corporate Affairs Nila Marita told DailySocial that there are many changes during this pandemic. Nevertheless, Gojek claims to build a strategic and sustainable business that does not only rely on one service.

“Although the large-scale restrictions (PSBB) has affected online transportation services, we finally see a shift in people’s behavior from transacting offline to online, because most people have to do most activities from home to avoid the risk of spreading the virus,” Marita said.

She also added the shift in offline to online transactions is quite a thing, especially in food delivery services, groceries, and shipping goods. People’s habit of eating on the spot (dine-in) and buying their groceries in stores or supermarkets, is now shifting to online purchases.

Gojek moves quickly to adjust, such as expanding GoFood services from only food delivery orders to groceries, daily necessities and ready-to-cook food.

“We also help our SME partners to be able to conduct their business online so that they do not lose the opportunity to maintain revenue and business turnover. The ability to adapt quickly to this situation is one of our competitive advantages to be able to continue to maintain business sustainability amid pandemic,” She added.

Gojek also provides financial support to partners. The funding comes from three sources. Gojek’s co-CEO and senior management will donate 25% of their annual salary over the next 12 months, the annual salary increase of all Gojek employees will be diverted to aid funds, and also creating a foundation to help others make donations, including Gojek’s corporate partners.

In a joint statement, Gojek’s Co-CEO Andre Soelistyo and Kevin Aluwi said, “This fund will support the driver-partners as part of our core business and have become a vital part of people’s lives who are currently experiencing limited mobility. The thing is that every company has the responsibility to provide as much support as possible and this is something we can do to help our partners through this hard season.”

Furthermore, Gojek and Bank BRI launched a mild interest loan facility for GoRide partners, GoCar, and GoFood merchants. Gojek partners who register and fulfill BRI requirements have the potential to obtain a loan facility of Rp.5-20 million.

Seekmi’s new innovation

Meanwhile, Seekmi platform is trying to expand services to accommodate the needs of its consumers. According to the CEO, Clarissa Leung, most businesses in Indonesia and throughout the world have experienced a slowdown due to the crisis. The best thing about Seekmi is the flexibility of the business changes.

“For example, we have been able to reuse cleaning workers and utilize their existing expertise, with some additional training, to provide disinfection cleaning services. We’re also able to provide jobs for our engineers to help build and assemble furniture, a developed area as a result of Work From Home implementation. Our technology platform is very powerful that it can manage all types of ‘blue-collar’ workforce and easily adapt to different situations,” Leung said.

After the pandemic, Clarissa can see that the services provided by her company would experience technology adoption faster than before. In fact, households and businesses can no longer function in the same way.

“We are also exploring partnerships with lending companies to provide loans to our technicians and cleaners,” she said.

Grab Indonesia’s campaign #KitaVSCorona

With a policy to remain at home in order to reduce the spread of the Covid-19 virus, many SMEs are feeling the impact on their livelihoods. Digitalization can help them. The move was chosen by Grab to help small and traditional businesses to adapt to this new trend. The company tried to help them maintain revenue, even with various restrictions.

Grab claims, during the pandemic, delivery business services have increased, including GrabFood, GrabExpress, GrabMart, GrabFresh by HappyFresh, and the latest concierge on-demand access, GrabAssistant.

“As a super-app, Grab believes in technology for good (tech for good) to create positive social impacts both for each of our partners, such as driver-partners, merchant partners, delivery partners, and also our customers. Therefore, Grab always strives “to create large-scale economic opportunities, financial inclusion for the underserved, and easy access to safer and higher-quality daily services,” Grab Indonesia’s Managing Director Neneng Goenadi told DailySocial.

Similar to Gojek, Grab Indonesia and Bank BRI collaborated to launch a mild interest loan facility for Grab driver-partners, GrabFood merchant partners, and GrabKios partners. This loan aims to ease the financial burden of the affected driver-partners. In addition, the distribution of People’s Business Credit (KUR) is expected to help GrabFood merchants and GrabKios partners to get the financial assistance they need to overcome challenges during this pandemic.

“We are conducting socialization for driver-partners who have the opportunity to get this loan facility. Driver-partners who can get this loan are productive and active partners and have been Grab’s driver-partners for several years. In addition, the partners concerned must have good performance including certain average income amounts,” Goenadi said.

The future of sharing economy

The new normal term seems to affect the sharing economy platforms such as Gojek, Seekmi, and Grab. Not only in terms of the approach to target customers but also the company’s approach to driver and merchant partners. The use of non-cash payments is becoming more common and the application of technology is expected to provide a more efficient and faster implementation of new situations.

After the pandemic, the community will be more concerned with health and hygiene factors. Digital industry services based on sharing economy will also be more selective in choosing partners.

“Their business will soon arise following the good record,” Huda said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Upaya Platform “Sharing Economy” Membantu Mitra di Tengah Pandemi

Di tahun 2015, konsep sharing economy belum menjadi bagian dari keseharian masyarakat Indonesia. Dalam sebuah survei kepada 1008 orang, 85% responden menyatakan pernah mendengar konsep ini, tapi masih kurang dari 40% yang pernah mencobanya. Di tahun 2020, layanan seperti ini telah menjadi kebutuhan dan bagian dari gaya hidup.

Menurut data per akhir kuartal pertama 2020, Gojek, platform sharing economy lokal terbesar di Indonesia, telah beroperasi di 214 kota dan lima negara Asia Tenggara dengan lebih dari 2 juta mitra pengemudi. Aplikasi Gojek diklaim telah diunduh lebih dari 170 juta kali oleh konsumen di kawasan ini. Menurut laporan App Annie yang berjudul “2020 State of Mobile Report”, Gojek menjadi aplikasi on-demand paling banyak digunakan masyarakat Indonesia sepanjang 2019.

Sharing economy kini menjadi tumpuan penghasilan bagi banyak pihak di dalam ekosistem, termasuk mitra pengemudi, pemilik usaha restoran, dan pemberi berbagai jasa (kebersihan, pemijatan, kesehatan, dan lain-lain).

Penyebaran Covid-19 yang sedang terjadi di Indonesia secara langsung mempengaruhi penggunaan layanan dan kesejahteraan mitra ekosistem ini. Menurut Peneliti INDEF (Institute for Development of Economics and Finance) Nailul Huda, dampaknya sedikit memberatkan industri bisnis yang berkonsep sharing economy.

“Permintaan layanan jasa mereka otomatis akan menurun. Akan sangat berkurang orang yang memesan layanan ojek online ataupun penginapan berbasiskan sharing economy. Dampaknya tentu saja mitra yang menyewakan jasanya akan kehilangan pendapatan yang cukup signifikan,” kata Huda.

Upaya Gojek membantu mitra dan merchant

Meskipun tidak dijelaskan lebih lanjut berapa persen penurunan jumlah penggunaan di ekosistem, Chief of Corporate Affairs Gojek Nila Marita, kepada kepada DailySocial menjelaskan, di masa pandemi ini berlangsung banyak perubahan yang terjadi. Meskipun demikian Gojek mengklaim membangun bisnis secara strategis dan berkelanjutan yang tidak hanya bertumpu pada satu layanan.

“Walau pembatasan berskala besar berpengaruh terhadap layanan transportasi online, kami melihat terdapat pergeseran perilaku masyarakat dari bertransaksi offline menjadi ke online, karena sebagian besar masyarakat harus beraktivitas dari rumah untuk menghindari risiko penyebaran virus,” kata Nila.

Ditambahkan Nila, pergeseran transaksi offline ke online ini banyak dirasakan terutama di layanan food delivery, groceries, dan pengiriman barang. Kebiasaan masyarakat untuk makan di tempat (dine-in) dan membeli kebutuhan pokok sehari-hari di toko atau supermarket, saat ini bergeser menjadi menjadi pembelian secara online.

Gojek bergerak cepat menyesuaikan diri, seperti memperluas layanan GoFood dari sebelumnya pesan antar makanan menjadi juga melayani pembelian bahan pokok, kebutuhan sehari-hari, dan makanan siap masak.

“Kami juga membantu mitra UKM kami untuk dapat melakukan bisnisnya secara online, sehingga mereka tidak kehilangan peluang untuk menjaga pendapatan dan omzet usaha. Kemampuan untuk beradaptasi cepat dengan situasi inilah yang menjadi salah satu competitive advantage kami untuk dapat terus memelihara keberlangsungan bisnis di masa pandemi,” ujar Nila.

Dukungan finansial juga dilancarkan Gojek ke mitra. Pendanaan tersebut berasal dari tiga sumber. Co-CEO dan jajaran manajemen senior Gojek akan mendonasikan 25% dari gaji tahunan mereka selama 12 bulan ke depan, anggaran kenaikan gaji tahunan seluruh karyawan Gojek akan dialihkan untuk dana bantuan, dan pembentukan yayasan untuk membantu pihak lain memberikan donasi, termasuk mitra korporat Gojek.

Dalam pernyataan bersamanya, Co-CEO Gojek Andre Soelistyo dan Kevin Aluwi mengatakan, “Dana ini akan mendukung mitra pengemudi yang merupakan urat nadi bisnis kami dan telah menjadi bagian vital dari kehidupan masyarakat yang saat ini mengalami keterbatasan ruang gerak. Yang jelas adalah bahwa setiap perusahaan punya tanggung jawab untuk memberikan dukungan sebisa mungkin dan ini adalah sesuatu yang bisa kami lakukan untuk membantu mitra kami melalui periode sulit ini.”

Lebih lanjut, Gojek dan Bank BRI meluncurkan fasilitas pinjaman bunga ringan bagi mitra GoRide, GoCar, dan merchant GoFood. Mitra Gojek yang mendaftar dan memenuhi persyaratan BRI berpotensi mendapatkan fasilitas pinjaman Rp5-20 juta.

Inovasi baru layanan Seekmi

Sementara itu, platform Seekmi mencoba memperluas layanan yang demi mengakomodir kebutuhan konsumennya. Menurut CEO Seekmi Clarissa Leung, sebagian besar bisnis di Indonesia dan seluruh dunia telah mengalami pelambatan akibat krisis. Hal terbaik dari bisnis Seekmi adalah dapat dengan mudah mengubah posisi.

“Sebagai contoh, kami telah dapat menggunakan kembali tenaga pembersih dan memanfaatkan keahlian mereka yang sudah ada, dengan beberapa pelatihan tambahan, untuk menyediakan layanan pembersihan desinfeksi. Kami juga mampu menyediakan pekerjaan bagi teknisi kami untuk membantu membangun dan merakit furnitur, area yang berkembang sebagai efek dari aturan Kerja Dari Rumah. Platform teknologi kami sangat kuat sehingga dapat mengelola segala jenis tenaga kerja ‘kerah biru’ dan mudah beradaptasi dengan situasi yang berbeda,” kata Clarissa.

Pasca pandemi, Clarissa melihat layanan yang dihadirkan perusahaannya akan mengalami adopsi teknologi lebih cepat dari sebelumnya. Kenyataanya rumah tangga dan bisnis tidak lagi dapat berfungsi dengan cara yang sama seperti sebelumnya.

“Kami juga menjajaki kemitraan dengan perusahaan pemberi pinjaman untuk memberikan pinjaman kepada teknisi dan petugas kebersihan kami,” kata Clarissa.

Kampanye #KitaVScorona Grab Indonesia

Dengan kebijakan untuk tetap berada di rumah dalam rangka mengurangi penyebaran virus Covid-19, banyak UKM yang merasakan dampak terhadap mata pencaharian mereka. Digitalisasi dapat membantu mereka. Langkah tersebut dipilih Grab untuk membantu bisnis kecil dan tradisional untuk beradaptasi ke tren baru ini, Perusahaan mencoba membantu mereka mempertahankan pendapatan, bahkan dengan berbagai pembatasan.

Grab mengklaim, selama pandemi, layanan bisnis pengantaran memiliki peningkatan, termasuk layanan pengantaran makanan GrabFood, layanan pengantaran GrabExpress, layanan pembelian barang GrabMart, layanan GrabFresh yang didukung HappyFresh, dan layanan concierge on-demand access terbaru GrabAssistant.

“Sebagai aplikasi serba bisa, Grab percaya pada teknologi untuk kebaikan (tech for good) untuk menciptakan dampak sosial positif baik bagi setiap mitra kami, seperti mitra pengemudi, mitra merchant, mitra pengantaran, dan juga pelanggan kami. Oleh karena itu, Grab selalu berusaha untuk menciptakan peluang ekonomi dalam skala besar, menciptakan inklusi keuangan bagi yang kurang terlayani, serta memungkinkan akses ke layanan sehari-hari yang lebih aman dan berkualitas tinggi,” kata Managing Director Grab Indonesia Neneng Goenadi kepada DailySocial.

Serupa dengan Gojek, Grab Indonesia dan Bank BRI berkolaborasi meluncurkan fasilitas pinjaman bunga ringan untuk mitra pengemudi Grab, mitra merchant GrabFood, dan mitra GrabKios. Pinjaman ini bertujuan meringankan beban finansial mitra pengemudi yang terkena dampak. Selain itu, penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR) diharapkan membantu merchant GrabFood dan mitra GrabKios untuk mendapatkan bantuan finansial yang mereka butuhkan untuk mengatasi tantangan selama pandemi ini.

“Saat ini kami sedang melakukan sosialisasi bagi mitra pengemudi yang berkesempatan mendapatkan fasilitas pinjaman ini. Mitra pengemudi yang bisa mendapatkan pinjaman ini adalah mitra yang produktif dan aktif serta telah menjadi mitra pengemudi Grab selama beberapa tahun. Selain itu mitra yang bersangkutan harus memiliki performa yang baik termasuk jumlah pendapatan rata-rata tertentu,” kata Neneng.

Masa depan layanan sharing economy

Istilah new normal nampaknya bakal berpengaruh ke platform sharing economy seperti Gojek, Seekmi, dan Grab. Tidak hanya dalam hal pendekatan ke target pelanggan, tetapi juga pendekatan perusahaan ke mitra pengemudi dan merchant. Penggunaan pembayaran nontunai menjadi lebih umum dan penerapan teknologi diharapkan bisa memberikan implementasi situasi baru yang lebih efisien dan cepat.

Usai pandemi, masyarakat akan lebih mementingkan faktor kesehatan dan kebersihan. Pelayanan industri digital berbasiskan sharing economy juga akan lebih selektif lagi memilih mitra.

“Bisnis mereka akan kembali menggeliat dengan catatan tersebut,” kata Huda.

Mengenal Flokq dan Optimismenya sebagai Startup Operator Co-Living

Peminat hunian indekos di Indonesia tergolong tinggi, namun belum banyak tersentuh dengan teknologi dan solusi yang dibutuhkan penggunanya. Flokq sebagai pemain baru di industri ini hadir tidak hanya menawarkan solusi indekos, tapi juga co-living yang tersegmentasi untuk kalangan professional.

Flokq didirikan oleh Anand Janardhanan dan Harmeet Singh pada Agustus 2019. Startup tersebut telah mengelola ratusan unit kamar tersebar di berbagai lokasi di pusat bisnis Jakarta, seperti Mega Kuningan, Senayan, Rasuna Said, Sudirman, Semanggi, dan lainnya.

Dalam wawancara bersama sejumlah media pada pekan lalu, Co-Founder & CEO Flokq Anand Janardhanan menjelaskan Flokq memberikan solusi untuk mereka yang ingin upgrade hunian indekos dari sebelumnya atau mencari apartemen dengan harga lebih terjangkau.

Perusahaan secara khusus mengincar kalangan professional sebagai pengguna, kebetulan penghuni terbanyaknya adalah ekspatriat dan pengusaha muda yang tetap ingin bangun jaringan dan terhubung dengan penghuni co-living lainnya di tempat yang mereka huni dalam suatu komunitas.

“Kekuatan utama dari Flokq adalah komunitas, kami ada aplikasi yang dikhususkan untuk menghubungkan antar penghuni yang punya kesamaan ketertarikan pada hobi atau spesialisasi tertentu,” terangnya.

Dalam satu gedung apartemen, biasanya Flokq mengelola sejumlah kamar di beberapa lantainya dari pihak manajemen, kisarannya antara lima sampai 20 unit. Tiap satu unit apartemen yang disewakan idealnya terdiri dari tiga kamar tidur privat untuk tiap tenant yang sudah lengkap dengan furniturnya dan ruang tengah yang dapat digunakan secara bersama.

Anand menerangkan Flokq menyewakan tiap unit kamarnya mulai dari Rp2,7 juta sampai Rp20 juta per bulan, dengan kontrak sewa minimal tiga bulan tanpa skema uang muka. Penentuan harga ini akan bergantung pada lokasi. Biaya sewa bulanan sudah termasuk listrik, jasa kebersihan, laundry, WiFi, dan fasilitas lainnya seperti area gym, kolam renang, layanan 24 jam, dan bebas parkir.

Dampak pandemi terhadap bisnis

Dia mengklaim pemberlakuan PSBB dan pengetatan lainnya untuk mengurangi penyebaran pandemi, tidak begitu memberikan dampak penurunan bisnis buat Flokq. Tercatat ada 26 penghuninya yang berkewarganegaraan luar Indonesia yang menyewa kamar melalui Flokq.

Dalam rangka mengurangi penyebaran pandemi, tim Flokq membuat sejumlah aturan yang diberlakukan di tiap huniannya. Beberapa di antaranya adalah frekuensi jasa kebersihan jadi seminggu sekali, dilarang berkunjung ke unit lain, dan peniadaan acara mingguan.

“Jadi situasinya tidak banyak berubah untuk okupansinya, meski ada yang keluar tapi ada yang masuk. Akan tetapi kami membuat aturan baru dalam rangka pencegahan ini, ada sistem yang memantau untuk memastikan setiap tenant ada di unitnya masing-masing.”

Di sisi lain, perusahaan jadi berbangga diri bahwa konsep co-living seperti ini ke depannya akan jauh lebih cerah karena tingkat permintaan yang lebih tinggi daripada co-working space pasca pandemi berlalu.

Flokq Advisor Akash Mulani menerangkan konsep co-living pada masa mendatang akan sangat berkaitan dengan kondisi masyarakat dan ekonomi yang terdampak pada Covid-19. Kegiatan isolasi mandiri yang dilakukan oleh banyak orang, berarti akan mengurangi interaksi manusia dan menurunkan kualitas kesehatan mental.

“Dengan co-living, orang-orang mendapat kesempatan untuk menjaganya tetap stabil sambil tinggal di dalam rumah. Kebijakan WFH yang menjadi umum, masyarakat butuh ruang untuk dirinya bekerja, teman yang dapat diandalkan karena persamaan minat dan latar belakang, atau tentunya ruang dengan biaya sewa ringan,” tuturnya.

Atas optimisme tersebut, pihaknya sedang menggodok konsep penggabungan co-living dan co-working dalam gedung yang sama. “Ini adalah konsep baru yang sedang kami jajaki dalam beberapa tahun ini. Kami berencana meluncurkannya dalam 12 atau 24 bulan ke depan.”

Rencana Flokq berikutnya

Anand menerangkan pada tahun depan perusahaan masih akan fokus mengelola apartemen di Jakarta. Ditargetkan angkanya bisa mencapai 3 ribu unit kamar yang bisa menampung 10 ribu penghuni. Berikutnya, perusahaan baru ekspansi ke kota potensial lainnya seperti Surabaya, Bandung, dan Medan.

Untuk bantu ekspansi, perusahaan sudah mengantongi pendanaan pra seri A pada awal tahun ini. Hanya saja terkait nominal dan investor yang dirahasiakan. “Investornya dari keluarga pengusaha real estate. Kemungkinan akhir tahun ini akan ada funding tambahan.”

Monetisasi perusahaan, sambungnya, diambil dari komisi yang dibayarkan tenant. Persentasenya sekitar 8%-10% tergantung kesepakatan dengan manajemen gedung. Adapun untuk tim Flokq saat ini ada 35 orang.

Untuk penyewaan kamar, Flokq belum menyediakan aplikasinya. Seluruh pemesanan diproses melalui situs sebagai gerbang utamanya, lalu WhatsApp untuk diskusi dengan admin untuk diskusi lebih lanjut.

Pemain lainnya di ranah co-living yang beroperasi di Indonesia ada Coliving Space by CoHive, YukStay, Wellspaces, Rukita, RedDoorz, Cocohub, dan lainnya.

Application Information Will Show Up Here

Triprockets Hadirkan Marketplace Kegiatan Wisata di Indonesia dan Mancanegara

Tren dan popularitas marketplace di Indonesia hingga saat ini masih belum menunjukkan penurunan, dari sisi penyedia hingga pelanggan. Mulai dari produk elektronik, busana, jasa hingga pembayaran, saat ini semua pilihan tersebut bisa dinikmati oleh pengguna. Salah satu layanan marketplace yang mencoba untuk menghadirkan marketplace aktivitas, kegiatan, dan tempat wisata yang unik adalah Triprockets.

Startup yang didirikan Raymond Iskandar selaku CMO ini menerapkan cara yang sama dilakukan oleh Airbnb, yaitu sharing economy atau ekonomi berbagi antar pengguna. Triprockets disebutkan didirikan demi memberikan alternatif pilihan kegiatan wisata yang unik baik di Indonesia maupun negara lainnya.

“Konsep usaha kami sangatlah sederhana yaitu sebuah jenis platform perjalanan baru berbasis online yang menjembatani jarak antara travelers dengan penduduk lokal, yang juga merupakan bagian dari ekonomi bersama yang sedang berkembang pesat.”

Konsep peer-to-peer community marketplace yang mempertemukan travelers dari seluruh dunia dengan penduduk lokal daerah yang dikunjungi, memungkinkan pengguna berkeliling kota dengan orang-orang yang benar-benar tinggal dan hidup di kota yang dikunjungi.

“Intinya Triprockets memberikan kesempatan unik untuk mengalami dan menikmati kota langsung melalui mata penduduk lokal setempat, belajar tentang budaya lokal, berbagi ide dan menemukan teman baru setiap hari,” kata Raymond.

Menjaring host (tuan rumah) dan pengguna

Saat ini Triprockets baru bisa diakses via situs namun rencananya akan dirilis aplikasi Android dan iOS untuk memudahkan pengguna. Untuk menambah pilihan aktivitas dan kegiatan wisata, Triprockets masih terus melakukan perekrutan host sekaligus pengguna.

“Konsep usaha yang kami tawarkan adalah sebuah konsep usaha yang baru terutama di Indonesia, di mana konsep usaha jenis ini kurang populer dibandingkan membuat marketplace seperti Bukalapak atau Tokopedia. Jadi seperti halnya Go-Jek waktu pertama beroperasi, kami akan terus berusaha untuk mendapatkan banyak host terutama di Indonesia,” kata Raymond

Kebanyakan host atau pemandu lokal yang telah bergabung berasal dari Australia, Belanda dan Jepang. Untuk memperbanyak jumlah host Indonesia, Tripcrockets sedang menjalankan program “We’re on the Hunt for 10,000 travel-entrepreneur” di Indonesia dan di Singapura melalui media sosial.

“Target kami pada saat peluncuran bulan Agustus nanti, kami memiliki lebih dari 100 aktivitas dari seluruh Indonesia, diluar dari aktivitas yang ditawarkan host dari negara lain.”

Strategi monetisasi dan pilihan pembayaran

Proses pendaftaran yang diterapkan oleh Triprockets terbilang mudah, sementara itu untuk pilihan pembayaran yang dikenakan kepada pengguna saat ini hanya melalui PayPal dan kartu kredit. Selanjutnya Triprockets juga akan menambah integrasi pembayaran melalui bank transfer dan dengan pihak ketiga.

Untuk strategi monetisasi yang dilancarkan, Triprockets mengambil 10% komisi atas setiap pemesanan yang dilakukan oleh pengguna dan akan dipotong langsung dari host.

“Sebagai contoh, jika sebuah aktivitas harganya Rp 100 ribu, kami akan mengambil Rp 10 ribu komisi dan akan kami potong langsung dari host, sehingga pada hari pembayaran host hanya menerima Rp 90 ribu. Selanjutnya kami akan membuat program kerja sama whitelabel atau API integration ke agen travel, untuk menjadi distribusi channel alternatif kami lainnya,” kata Raymond.

Target Triprockets tahun 2017

Bertujuan untuk membantu meningkatkan wirausaha lokal di kota-kota melalui kesempatan untuk menjadi tuan rumah dan membantu menggulirkan industri pariwisata lokal setempat, Triprockets masih memiliki beberapa rencana dan target sepanjang tahun 2017. Masih menjalankan bisnis secara bootstrap, selanjutnya Triprockets berencana untuk melakukan fundraising.

“Target kami di tahun 2017 adalah melakukan launching di pertengahan bulan Agustus dan dua bulan kemudian meluncurkan aplikasi Android dan iOS. Selain itu kami juga sedang berusaha untuk mendapatkan seed round investor untuk menambah promosi dan infrastruktur teknologi kami,” tutup Raymond.

AirBnB Mulai “Ganggu” Bisnis Perhotelan di Bali

Startup kebanyakan membawa model bisnis yang bisa mengganggu tatanan bisnis di beberapa sektor konvensional. Di Indonesia hal ini bisa dilihat bagaimana Go-Jek, Uber, Grab, dan startup-startup lainnya. Terutama bisnis yang mengandalkan kekuatan sharing seperti Go-Jek, Uber, Grab dan AirBnb. Tiga nama pertama bergerak di sektor transportasi mengandalkan mitra mereka sedangkan AirBnB menjalani bisnis di sektor penyewaan hunian atau tempat tinggal sementara. Semuanya terbukti mengganggu bisnis konvensional di Indonesia.

Mengenai mengganggu tatanan bisnis konvensional, Go-Jek, Uber dan layanan serupa bisa dilihat dari demo besar-besaran yang dilakukan pelaku bisnis taksi konvensional. Mereka dinilai menyalahi aturan dengan tidak melengkapi persyaratan seperti yang perusahaan taksi penuhi. Akhirnya pemerintah merespons demo tersebut dengan mengeluarkan regulasi yang ada.

Untuk AirBnB, disebutkan Bali menjadi salah satu daerah dengan dampak terbesar yang terganggu dengan bisnis persewaan kamar ini. AirBnB yang menjadi “musuh” besar industri perhotelan di Amerika Serikat tampaknya juga akan menjadi “musuh” untuk industri perhotelan Indonesia.

Di sampaikan Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Hariyadi Sukamdani permintaan sewa hotel menurun hingga 35 persen. Indikasi utamanya banyak vila yang dimiliki individual dan disewakan melalui AirBnB

“Demand turun hingga 35%. Mungkin banyak vila yang dimiliki individual dan disewakan melalui AirBnB. Sejak tahun 2010, terjadi penurunan yang signifikan di Bali. Angkanya belum jelas karena kamar hotel juga terus bertambah,” ujar Hariyadi.

Haryadi juga menjelaskan bahwa fenomena sharing economy juga akan mengganggu bisnis perhotelan dan diminta untuk bersiap menghadapi fenomena ini. Dengan harga yang lebih murah dan kemudahan menggunakan aplikasi AirBnB menjanjikan potensi mengganggu yang besar.

Salah satu langkah antisipatif yang dilakukan adalah dengan lebih gencar melakukan promosi baik di dalam dan di luar negeri. Dengan potensi sektor wisata yang diproyeksikan tumbuh 10% dibanding tahun lalu, sektor perhotelan berharap dapat meningkatkan permintaan.

Hariyadi dalam pemberitaan SWA juga mengungkapkan pihaknya akan mengusulkan untuk menertibkan pelaku sharing economy, dalam hal ini AirBnB. Soal pajak dan tanggung jawab kepada negara.

“Kami harus mengusulkan penertiban para pelaku sharing economy ini. Mereka menyewakan hotel atau vila namun tidak membayar pajak. Ini jelas tidak adil. Mereka juga punya tanggung jawab kepada negara. Kami yang punya usaha hotel, aturannya ketat sekali,” kata Hariyadi.

Selain mengusulkan penertiban Haryadi juga menjelaskan para pengusaha hotel juga tengah menyiapkan inovasi berbasis teknologi seperti Agoda, Booking dan juga bisnis boling yang dimiliki pihak lokal. Selain itu para pemilik usaha perhotelan juga akan membuat platform e-commerce yang bersifat B2B antara pengusaha hotel dengan vendor.

Nantinya para vendor akan dikonsolidasikan sehingga pembeli dan penjual bisa bertemu secara langsung. Dampaknya volume akan lebih besar dan harganya murah.

“Pariwisata itu kuncinya ada di atraksi. Kalau tidak ada itu, tidak ada nilainya. Sasaran inilah yang kami galakkan di seluruh Indonesia secara terintegrasi dengan calender of event,” katanya.

Regulasi tampaknya akan menjadi momok besar bagi startup yang mengusung sharing economy. Go-Jek, Uber, Grab, AirBnB dan layanan sharing economy lainnya. Setidaknya untuk sekarang pemerintah memiliki regulasi untuk sharing economy transportasi armada mobil. Untuk perhotelan mungkin tidak akan lama lagi akan diterbitkan regulasi serupa, menunggu seberapa terganggu para pengusaha hotel dan sebesar seberapa besar desakan mereka terhadap pemerintah.

Go-Jek Mulai Himpun Ekosistem Pengemudi untuk Layanan Go-Car

Setelah 19 April 2016 lalu resmi ditanggarkan di aplikasi Go-Jek, layanan Go-Car kini terlihat sedang giat untuk membentuk ekosistem pengemudinya. Terlihat promosi di kota-kota tujuan yang kian gencar, seperti di Jakarta, Yogyakarta, Bandung, Makassar dan sebagainya.

Sesuai yang tertera di laman resmi Go-Car, pengemudi akan mendapatkan penghasilan Rp 4.000/km dengan minimum pemesanan Rp 20.000 per pesanan. Di fase awal perekrutan ini bahkan Go-Jek juga memberikan insentif yang cukup menggiurkan, yakni pada order perdana pengemudi akan langsung mendapatkan Rp 100.000 dan bonus harian Rp 200.000.

Go-Jek juga tidak mewajibkan pendaftar pengemudi untuk memiliki mobil sendiri, karena pihak Go-Jek akan mencarikan kendaraan yang bisa digunakan ketika si pengemudi sudah lulus proses registrasi dan pelatihan. Keterangan ini tertera di bagian formulir pendaftaran yang saat ini disebarkan.

Promosi perekrutan pengemudi Go-Car di media sosial
Promosi perekrutan pengemudi Go-Car di media sosial

Apa kabar kerja sama dengan perusahaan taksi?

Sebelum resmi diluncurkan bersama pembaruan aplikasi, Go-Jek sudah dikabarkan sedang berdiskusi serius dengan Dinas Perhubungan dan Transportasi DKI Jakarta untuk jalinan kerja sama seputar penyediaan aplikasi untuk layanan taksi konvensional. Informasi ini kala itu langsung dipaparkan Kadishubtrans DKI Jakarta Andri Yansyah usai menjalin pertemuan dengan dengan CEO Go-Jek Nadiem Makarim dan tim.

Pemerintah dan Organda menyambut baik, bahkan mengapresiasi rencana pembentukan model Business to Business (B2B) ini. Terlebih beberapa waktu lalu Go-Jek dan BlueBird malah sudah meresmikan kerja samanya, yang mencakup pemenuhan aspek teknologi, sistem pembayaran dan promosi. Menarik untuk dilihat ke depannya, ketika Go-Jek tetap mempertahankan model sharing economy Business to Consumer (B2C) namun tetap menjalin kemitraan B2B dengan perusahaan taksi, untuk layanan yang sama bernama Go-Car.

Pernyataan Resmi Uber Menanggapi Demonstrasi Layanan Ridesharing

Kejadian demonstrasi besar-besaran oleh para pengemudi taksi dan angkutan umum lainnya di Jakarta, menolak keberadaan layanan transportasi berbasis aplikasi menjadi salah satu gejolak besar dalam tatanan industri teknologi tanah air. Begitu pun dirasakan oleh tim Uber di Indonesia. Melalui pernyataan resminya tim Uber telah memberikan pernyataan resminya terkait tanggapan aksi tersebut.

Dalam rilis yang kami terima, tim Uber menuliskan:

“Minggu ini kami sangat sedih dengan terjadinya peristiwa kekerasan dan perusakan yang terjadi di Indonesia dan kami juga bersimpati terhadap dengan keluarga yang terkena dampak dari peristiwa tersebut. Pengguna dan mitra pengemudi kami telah bersama-sama memberikan dukungan kepada kota Jakarta. Kami bekerja sama dengan Bapak M. Iqbal, Kabid Humas dan Bapak Mamat Surahmat, Direktur Intelijen dan Keamanan, dari Polda Metro Jaya agar menyampaikan pengumuman untuk menenangkan seluruh mitra pengemudi, dan kami juga telah menonaktifkan harga ramai (surge) untuk membantu masyarakat bisa tetap menuju ke lokasi tujuan mereka secara aman, dapat diandalkan dan terjangkau.”

Tim Uber juga kini tengah melanjutkan negosiasi bersama Menteri Perhubungan Ignasius Jonan, Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara dan Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Luhut Panjahitan untuk memastikan kepatuhan pada peraturan di Indonesia.

Hingga saat ini Uber mengaku telah melakukan pemenuhan persyaratan regulasi sebagai layanan berbasis aplikasi, berupa:

  • Membangun kerja sama dengan perusahaan rental resmi atau koperasi.
  • Memastikan semua kendaraan telah lolos Uji Kelayakan Kendaraan (KIR) dan mendapatkan sertifikat KIR.
  • Memastikan semua pengemudi memiliki Surat Izin Mengemudi (SIM A Umum).

“Kami tetap berkomitmen untuk bekerja sama dengan Pemerintah guna memastikan manfaat penuh dari ridesharing baik bagi para pengguna maupun pengemudi yang tersedia untuk siapa pun dan di mana pun,” pungkas tim Uber.

Dari demo sebelumnya tuntutan para pengemudi taksi adalah seputar argo yang diterapkan jauh lebih rendah (dikarenakan lolosnya Uber dan layanan sejenis dari administrasi sebagai kendaraan umum), batasan trayek, serta perizinan KIR. Regulasi pasar terkait dengan sharing economy memang masih menjadi masalah pelik, tak cuma di Indonesia, tetapi juga di negara lain.

Uber, Airbnb, Tokopedia, and Conventional Players’ Irrelevance

Tech-based businesses currently “disrupt” conventional business doers. The disruption happens so fast, while conventional entrepreneurs move too slow. This is the new battle to win an essential market; the future. So far, it’s clear that the battle has been narrowed down to transportation, retail, and hotel sector. Continue reading Uber, Airbnb, Tokopedia, and Conventional Players’ Irrelevance