Startup SaaS Ledgerowl Kantongi Pendanaan, Siap Akselerasi Produk untuk UMKM

Startup pencatatan keuangan untuk UMKM Ledgerowl mengumumkan pendanaan putaran pendanaan pra-awal yang dipimpin Init-6 dan Investible. Tidak disebutkan nominal investasi yang diterima. Perusahaan akan memanfaatkan dana untuk mengembangkan produknya dan mempercepat pertumbuhan.

Ledgerowl adalah startup SaaS yang mengembangkan solusi untuk pemilik bisnis membuat laporan keuangan dengan mudah, cepat, dan murah. Platformnya ditenagai dengan AI dan memanfaatkan machine learning untuk mengautomasi banyak tugas yang terlibat dalam pembukuan, seperti pengumpulan data, entri data, rekonsiliasi, dan klasifikasi transaksi.

Dengan demikian, pebisnis tidak perlu merekrut tenaga tambahan terdedikasi untuk melakukan tugas tersebut, mengurangi biaya pembukuan, dan meningkatkan pengambilan keputusan keuangan mereka.

“Dengan panduan dan pendanaan, kini kami dapat mempercepat pertumbuhan dan mempercepat produk kami dipasarkan dengan lebih cepat. Kami senang dapat bekerja sama dengan investor baru kami dan berharap dapat membantu UMKM di seluruh Asia Tenggara untuk menambah efisiensi pada operasi back-office mereka,” ujar Co-founder & CTO Ledgerowl Adrian Yasin dalam keterangan resmi, kemarin (21/2).

Masing-masing investor menyampaikan pernyataannya terkait investasi ini.

Venture Partner Init6 Rexi Christopher menyampaikan, “Para pendiri Ledgerowl memiliki pengalaman yang solid dan memahami kebutuhan pasar dengan baik. Oleh karena itu, kami yakin mereka dapat memimpin perusahaan menuju pertumbuhan eksponensial dalam waktu dekat. Kami yakin Ledgerowl akan menjadi solusi yang harus dimiliki pemilik UMKM untuk mengelola pembukuan mereka. dan urusan akuntansi.”

Principal Investible Khairu Rejal menambahkan, “Adrian dan Rey telah membuktikan bahwa mereka memecahkan masalah yang cukup besar untuk pasar Indonesia, dengan potensi untuk berkembang secara strategis di wilayah yang lebih besar. Mereka telah menunjukkan ketabahan, kemampuan, dan dinamisme yang diperlukan untuk merebut pasar ini, dan kami sangat senang untuk mendukung mereka dalam fase pertumbuhan berikutnya.”

Ledgerowl

Ledgerowl awalnya lahir dari hasrat Rey Kamal (Co-founder dan CEO) yang mengelola pembukuan untuk bisnis kecil temannya sebagai pekerjaan sampingan. Ia harus begadang untuk menghitung dan menghasilkan laporan keuangan, yang ternyata dirinya menyadari bahwa sebagian besar prosesnya berulang dan dapat mengambil manfaat dari automasi.

Kemudian, ia mengajak Adrian Yasin dan berbagi visi untuk merampingkan manajemen keuangan. Bersama-sama, mereka berkolaborasi untuk mengembangkan konsep automasi nan inovatif yang akan mengubah proses pembukuan. Ledgerowl pun resmi hadir pada 2019.

Setahun kemudian, perusahaan menyambut mitra strategis pertamanya, Umawar Investment Group. Sebagai Venture Builder dari startup pemula, grup keluarga ini mendorong pertumbuhan Ledgerowl dengan memanfaatkan ekosistem, pengalaman, dan kontak bisnis mereka yang luas untuk membantu memvalidasi ide tersebut.

“Kami telah melihat bagaimana Ledgerowl dapat memberi nilai tambah bagi UMKM dan mengembangkan bisnis mereka dari awal yang sederhana di garasi. Kami berharap dapat melihat lebih banyak produk berbasis solusi mereka dan akan selalu memberikan dukungan penuh untuk mencapai tujuannya,” kata Presiden Direktur Grup Alwi Mulachela.

Rey mengungkapkan, sejak awal Ledgerowl melakukan bootstrapping dan menginvestasikan kembali seluruh keuntungan ke dalam perusahaan dan teknologi. Selama pandemi, jumlah pelanggan tumbuh secara signifikan karena permintaan akan akuntansi yang lebih fleksibel dan layanan jarak jauh melonjak.

“Sementara kami telah berhasil melakukan bootstrap sampai saat ini, kami menyadari bagaimana suntikan modal akan menambah bahan bakar untuk skala dan meraih pasar yang berkembang pesat ini,” kata Rey.

Saat ini tingkat pertumbuhan UMKM baru di Indonesia adalah salah satu yang tercepat di dunia. Namun, kesadaran akan pentingnya pembukuan masih perlu ditingkatkan. Secara tradisional, pembukuan di ranah UMKM merupakan proses yang intensif waktu dan seringkali manual. Proses akuntansi yang rumit, ditambah dengan perekrutan tim akuntansi internal yang terus meningkat, merupakan kombinasi yang menantang bagi pengusaha mana pun.

Secara terpisah saat dihubungi DailySocial.id, Rey menyadari bahwa Ledgerowl bukanlah barang baru di Indonesia. Namun, ia menekankan diferensiasi utama dengan pemain sejenisnya adalah pihaknya memberikan “outcome-based accounting” ketimbang “tools-only”. Artinya, pemilik usaha hanya harus memberikan data yang relevan untuk pembukuan bisnis nya, dan mereka bisa mendapatkan laporan yang dibutuhkan.

“Kami melihat di Indonesia, awareness akan pentingnya pembukuan mulai terlihat di generasi entrepreneur muda. Dari sisi eksternal, kantor pajak mulai terlihat aktif dalam melakukan penyuluhan kepada para pemilik usaha. Dari sisi internal, kami mencoba untuk bisa memberikan konten-konten edukasi melalui media sosial,” kata dia.

Timnya juga berkomitmen dalam hal perlindungan data. Ledgerowl mengembangkan enkripsi data dan menggunakan autentikasi agar mengurangi risiko untuk dapat diakses oleh orang yang tidak berwenang. “Secara pengguna, kami melatih para pengguna di dalam organisasi untuk dapat memahami pentingnya menjaga keamanan data.”

Untuk monetisasinya, Ledgerowl memanfaatkan biaya berlangganan yang diklaim yang jauh lebih murah untuk mendapatkan “outcome” ketimbang harus hiring internal. Perusahaan berkomitmen untuk terus menekan biaya tersebut dengan memfokuskan diri untuk men-deploy automation di dalam proses pengerjaan pembukuan dan admin.

“Tahun ini kami juga akan memastikan unit economics terjaga dengan menurunkan monthly subscription kepada pengguna,” tutupnya.

Menilik Peluang Digitalisasi Sektor Perdagangan Indonesia

Sektor perdagangan masih menjadi penopang pertumbuhan ekonomi Indonesia, menyumbang 13-14 % dari PDB negara. Presiden Jokowi dalam pidato pelantikannya di tahun 2019 juga menegaskan harapannya agar Indonesia bisa masuk dalam lima besar ekonomi terkuat dunia dengan tingkat kemiskinan mendekati 0 persen di 2045 mendatang.

Pertumbuhan sektor ini berpotensi memberikan dampak signifikan terhadap perekonomian negara dan UMKM. Selain itu, kehadiran banyak pemain teknologi yang mendorong transformasi digital semakin menopang pertumbuhan sektor ini. Indonesia perlu bebenah dan beradaptasi untuk bisa menjaga peluang dan mempercepat pertumbuhan.

Berdasarkan laporan Kearney bertajuk “Capturing the growth of Indonesia’s digital trade sector“, nilai barang dagangan bruto pasar perdagangan Indonesia mengalami pertumbuhan signifikan sebesar 3,4 persen CAGR—mencapai Rp2.357 triliun. Namun dibandingkan dengan negara sejenis, sektor ini dinilai bisa tumbuh hingga 7 persen.

Principal Kearney Ishan Nahar mengungkap empat permasalahan utama yang memengaruhi pertumbuhan sektor perdagangan di Indonesia, yaitu kurangnya akses pembiayaan, operasi bisnis yang tidak efektif, persaingan penjualan dan pemasaran yang ketat, serta adopsi transaksi nontunai yang masih terbilang rendah.

UMKM Indonesia disebut hanya menerima 18 persen dari total pinjaman bank dibandingkan dengan negara-negara panutan lainnya dengan rasio mencapai 40 hingga 60 persen. Hal ini menunjukkan bahwa usaha kecil di Indonesia masih mengalami kesulitan dalam mengakses pembiayaan.

Begitu pula dari sisi operasional bisnis, dari sekitar 60 juta UMKM di Indonesia, terdapat kurang dari 30 persen yang mengadopsi solusi digital untuk aktivitas bisnis mereka. Situasi ini menghalangi mereka untuk merasakan manfaat digitalisasi, seperti operasi bisnis yang lebih efektif, kemudian berdampak pada produktivitas yang kurang optimal.

Di luar persaingan serta operasional, satu hal yang juga jadi perhatian adalah adopsi pembayaran digital. Data menunjukkan bahwa rasio pembayaran nontunai saat ini berada di angka 47 persen, yang berarti kebanyakan transaksi ritel masih dilakukan dengan uang tunai. Situasi ini meningkatkan risiko operasi yang tidak efisien, seperti kesalahan pembukuan.

Isu-isu ini terkait dengan struktur sektor perdagangan Indonesia. Transformasi digital adalah jawaban yang jelas untuk membangun struktur tahan masa depan. Dengan transformasi digital, pelaku sektor perdagangan, khususnya UMKM, akan memiliki peluang untuk meningkatkan produktivitasnya dengan operasional bisnis yang lebih efektif.

Transformasi digital juga menciptakan manfaat bagi pelanggan dengan meningkatkan pengalaman berbelanja dan memberikan akses peritel tradisional ke pasar yang lebih besar sehingga mereka dapat memperluas operasinya.

Peluang percepatan transformasi digital

Sektor perdagangan Indonesia melibatkan ragam pemain, termasuk sekitar 70 persen UMKM. Peran UMKM sendiri sangat besar untuk pertumbuhan perekonomian Indonesia. Dengan jumlahnya yang mencapai 99% dari keseluruhan unit usaha, kontribusi UMKM terhadap PDB juga mencapai 60,5%.

Laporan dari Kearney ini membandingkan pertumbuhan sektor perdagangan Indonesia dengan beberapa negara terkemuka (Amerika Serikat, China dan Jepang) serta tiga rekan regionalnya (India, Singapura, dan Malaysia). Terdapat empat inisiatif yang dapat dilakukan untuk mempercepat pertumbuhan sektor perdagangan Indonesia secara digital.

Analisis terkait inisiatif digital untuk mempercepat pertumbuhan di sektor perdagangan Indonesia / Kearney

Pertama, mempercepat adopsi layanan digital yang mutakhir dalam operasional pemain sektor perdagangan utama. Hal ini dilakukan karena masih adanya gap yang cukup besar dari sisi adopsi digital di sektor perdagangan Indonesia.  Digitalisasi yang inklusif diprediksi akan menguntungkan bisnis ritel melalui efektivitas operasional dan peningkatan pengalaman berbelanja pelanggan.

Kedua, memperkuat fondasi industri digital dan meningkatkan kompetensi UMKM. Salah satunya dengan mengembangkan platform UMKM yang memiliki layanan beragam. Hal ini memungkinkan distribusi digitalisasi dan mendorong sinergi antar layanan yang dapat memperkuat fondasi digital UMKM. Fondasi yang kuat akan semakin melancarkan program peningkatan kompetensi digital.

Ketiga, memperluas jangkauan pasar pemain teknologi regional ke kota-kota tier-2 ke bawah. Perusahaan teknologi memiliki peluang besar untuk berekspansi ke kota-kota tier 2-4 untuk menawarkan akses ke pelanggan yang lebih luas dan menciptakan lebih banyak ruang untuk berkembang. Laporan Kearney bersama Alpha JWC juga mengungkap bahwa ekonomi digital di area tier 2 dan 3 diproyeksi tumbuh lima kali lipat dalam lima tahun ke depan.

Terakhir, peningkatan tata kelola, pendanaan dan penciptaan regulasi yang kondusif. Lingkungan pendanaan pemain teknologi yang kompleks mengharuskan pemerintah untuk melihat dari dua sudut pandang: bagaimana mempermudah akses pemain teknologi ke investasi dan bagaimana menciptakan pasar yang menarik untuk menarik perhatian investor.

Ishan menambahkan, “Untuk mencapai Visi Indonesia 2045, Indonesia harus mengimplementasikan inisiatif nasional yang tepat untuk menyempurnakan struktur sektor perdagangan, terutama dalam meningkatkan UMKM dan layanan pelanggan, memperluas ekosistem sektor perdagangan, serta memperkuat tata kelola, pendanaan, dan lingkungan regulasi.”

Sumber pendanaan dan investasi yang memadai sangat penting untuk memacu transformasi digital di sektor perdagangan Indonesia. Pada tahun 2020, investasi Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) di sektor perdagangan dibatasi sebesar Rp5 triliun, dan perkiraan tahun 2030 hanya sebesar Rp15 triliun – atau setara dengan 0,03 hingga 0,04 persen dari PDB.

Sementara itu, investasi TIK rata-rata di negara-negara tetangga regional dan negara-negara terkemuka dengan transformasi digital yang efektif – seperti Amerika Serikat, Tiongkok, dan Jepang – adalah 0,25 persen dari PDB. Dengan memperluas investasi TIK untuk sektor perdagangan ke tingkat negara pembanding, pasar e-commerce Indonesia diperkirakan dapat tumbuh sekitar 20 persen CAGR—mencapai Rp 3.729 triliun hingga Rp 4.148 triliun selama dekade berikutnya.

Gambaran percepatan pertumbuhan perdagangan digital di Indonesia / Kearney

Ekosistem Digital di Indonesia

Di Indonesia sendiri, digitalisasi UMKM masih memiliki potensi yang sangat besar. Dari jumlah total UMKM yang mencapai 64 juta, baru sekitar 29 persen UMKM yang digitaly onboard. Masih ada sekitar 71 persen UMKM lainnya yang dapat digarap agar segera bisa memanfaatkan peluang-peluang yang ada di ruang digital.

Dari sisi pembiayaan, sudah banyak platform teknologi yang memungkinkan akses permodalan untuk segmen produktif seperti Akseleran, Modalku dan Koinworks. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat sampai Februari penyaluran ke sektor produktif mencapai Rp 8,43 triliun atau 61,21% dari akumulasi penyaluran pembiayaan secara total.

Di samping itu, sektor e-commerce Indonesia merupakan salah satu pasar dengan pertumbuhan terpesat di dunia. Ekonomi digitalnya bernilai sekitar $77 miliar pada tahun ini menurut laporan e-Conomy 2022, dan diprediksi mencapai $130 miliar pada 2025 dengan dominasi dari sektor e-commerce. 

Salah satu yang menopang industri ini adalah hadirnya konsep awal e-commerce enabler untuk memudahkan brand principal masuk ke ranah online. Beberapa perusahaan yang menawarkan layanan ini termasuk aCommerce, SIRCLO, dan JetCommerce

Alih-alih hanya sebagai kanal transaksi, e-commerce enabler telah menjadi solusi end-to-end sampai ke proses distribusi. Beberapa platform akhirnya meluncur dengan layanan yang lebih spesifik, misalnya manajemen kendaraan logistik truk atau kapal seperti Kargo Tech, Logisly, Andalin dan Waresix yang juga menawarkan layanan manajemen warehouse.

B Capital Ungkapkan Potensi B2B Commerce di Indonesia

B2B commerce merupakan salah satu bisnis turunan dari e-commerce, yang menargetkan pebisnis (UMKM ataupun korporasi) sebagai pangsa pasarnya. Berbeda dengan e-commerce yang umum digunakan konsumen akhir, model B2B memiliki kapabilitas yang unik, disesuaikan kebutuhan pelaku bisnis dalam melakukan pengadaan barang ataupun pembiayaan.

B Capital adalah salah satu pemodal ventura global yang juga memiliki porsi untuk startup Indonesia. Salah satu hipotesis investasinya ada di area B2B Commerce. Mereka menyebut, momentum digitalisasi UMKM menjadi titik kunci yang membuka potensi besar pengembangan B2B Commerce di Indonesia dan Asia Tenggara.

Selain itu, faktor lain yang juga disoroti adalah pentingnya pemanfaatan teknologi untuk meningkatkan relasi, memastikan kesesuaian antara produk dan pasar, serta future-proofing untuk memberikan pemain B2B visibilitas yang lebih luas di seluruh rantai nilai.

Untuk membicarakannya lebih detail, VP Strategy & Operation B Capital Karl Noronha, menyampaikan sejumlah strategi yang bisa diterapkan oleh startup di Indonesia yang ingin menyasar segmen B2B.

Unit ekonomi B2B commerce

Terkait hipotesis B Capital tentang potensi B2B commerce di Indonesia, Noronha menegaskan bahwa model bisnis tersebut telah menjadi salah satu vertikal utama firmanya. Ada beberapa alasan yang melandasi, di antaranya adalah pasar B2B yang terus tumbuh di kalangan menegah hingga meningkatnya adopsi digital di seluruh rantai pasokan (first mile/last mile, pergudangan, manajemen transaksi, dan pemasaran).

Sementara itu founder dan founding team yang kuat dengan pengetahuan industri yang mendalam dan pengalaman eksekusi terkait dengan lanskap B2B/ritel, juga menjadi alasan besarnya peluang B2B commerce saat ini di Indonesia.

Mereka juga melihat adanya pergeseran fokus di sektor B2B commerce, yang awalnya pengadaan untuk korporasi, sekarang kebanyakan bermain dalam rantai pasokan untuk UMKM. Menurut Noronha, secara unit ekonomi apakah langkah tersebut menjadi lebih profitable atau tidak, semua tergantung kepada margin value chain. Namun sebagai aturan umum, pemain B2B commerce dapat meningkatkan ekonomi unit mereka dan mencapai EBITDA+.

Hal itu bisa terjadi jika startup terkait mampu mengembangkan hubungan di sisi prinsipal/permintaan yang kuat. Kemudian memiliki kontrak penawaran eksklusif/jangka panjang. Juga membangun hubungan dengan toko/kontraktor ritel yang kurang terlayani yang bersedia membayar lebih untuk distribusi yang bisa diandalkan.

“Kami biasanya melihat pemain B2B commerce memulai dengan mendistribusikan produk komoditas dengan margin rendah, untuk mengembangkan jaringan distribusi/kontrak mereka. Seiring berjalannya waktu, mereka akan mencoba bertransisi untuk menjual barang bernilai lebih tinggi, membangun hubungan prinsipal langsung atau mengembangkan produk private label mereka sendiri untuk meningkatkan margin mereka dan menjadi mitra yang lebih bernilai bagi pengecer/pelanggan akhir.”

Perkembangan B2B commerce juga cukup signifikan, tren teranyar juga terjadi di ranah material/konstruksi. Melihat tren tersebut Noronha mengungkapkan, potensi sektor material/konstruksi B2B memiliki Serviceable Available Market (SAM) yang besar. Secara internal, B Capital memperkirakan mencapai $33 miliar. Namun demikian itu bisa sangat konservatif, mengingat pemerintah telah mengumumkan lebih dari $460 miliar proyek infrastruktur yang akan diselesaikan pada tahun 2026.

“Pasar konstruksi/material Indonesia sangat terfragmentasi dalam hal inovasi produk, pengadaan, dan digitalisasi. Perusahaan konstruksi skala kecil hingga menengah biasanya mengambil bahan dari basis pemasok UMKM yang tidak terorganisir yang memiliki rangkaian produk terbatas dan kontrol kualitas serta ketertelusuran sehubungan dengan pengiriman.”

Strategi mengakuisisi “warung”

Layanan B2B commcere juga mulai banyak yang memfokuskan untuk mengakomodasi kebutuhan pengadaan di warung. Bagi startup yang saat ini mengincar warung sebagai target pasar mereka, ada beberapa strategi yang dibagikan oleh Noronha untuk bisa bersaing secara positif, yaitu fokus kepada dua acquisition channel.

Yang pertama adalah dengan melancarkan pendekatan secara langsung. Idealnya memiliki tenaga penjualan khusus yang bertanggung jawab untuk orientasi pelanggan, membantu memenuhi pesanan, mendorong kampanye penjualan dan pemasaran (untuk pemasok) dan memberikan dukungan pelanggan secara umum.

“Dengan memiliki agen yang langsung turun ke lapangan, bisa membangun hubungan dengan masyarakat dan pemilik warung. Ke depannya, tim penjualan tersebut dapat melatih pemilik/operator warung untuk memesan ulang dan mengelola dukungan pelanggan langsung melalui aplikasi mereka.”

Strategi lainnya yang juga bisa diterapkan adalah fokus kepada pendekatan digital. Apakah itu melalui media sosial seperti Facebook atau lainnya, beberapa perusahaan B2B telah mengadopsi pendekatan digital untuk mengakuisisi warung. Pendekatan ini telah berhasil dilakukan di antara penjual komunitas (seperti Teman Ula) yang paham digital dan melakukan agregasi permintaan melalui WhatsApp dan melakukan pemesanan gabungan pada aplikasi seperti Ula.

Adopsi “Sharing Economy”, Upaya Wahyoo Ciptakan Dampak Lebih Luas

Tidak bisa dimungkiri potensi yang bisa digarap untuk digitalisasi UMKM di Indonesia begitu besar. Ada banyak aspek yang bisa diperbaiki agar operasional para pebisnis di sektor ini dapat lebih efisien dan secara bersamaan tumbuh eksponensial lewat pemanfaatan teknologi digital. Namun di balik itu semua tersimpan tantangan yang tak kalah menantang.

Wahyoo sebagai salah satu startup yang bermain di ranah ini pun menyadari, tak hanya sekadar fokus pada angka saja, seharusnya para pengusaha harus fokus juga pada menciptakan dampak. Proses dalam menciptakan dampak tersebutlah yang kini disoroti oleh Wahyoo.

Dalam membahas topik tersebut lebih mendalam, #SelasaStartup pada pekan pertama November ini mengundang Co-Founder & COO Wahyoo Daniel Cahyadi sebagai narasumber.

Terus mencari product-market fit

Seperti bisnis pada umumnya yang harus memiliki product-market fit, Wahyoo terus-menerus mencari tahu apa yang menjadi isu di lapangan. Solusi pertama yang dihadirkan adalah menyediakan suplai bahan baku untuk mitra rumah makan. Dengan kemudahan belanja, pengusaha tidak perlu meninggalkan kedainya untuk keluar belanja dan tetap bisa melayani konsumen.

Seiring perjalanan waktu, menurut Daniel, setelah diriset lebih dalam ternyata bagi sebagian besar pengusaha kecil belanja ke pasar itu adalah sesuatu yang menyenangkan. Pengalamannya lebih kaya karena mereka bisa memilih langsung produk yang ingin dibeli.

“Padahal dulu kita lumayan yakin solusi ini bisa kurangi beban mereka. Jadi intinya produk yang looks good, tapi enggak fit di market, harus dicari lagi dengan riset mendalam. Eleminasi bias dan harus benar-benar tepat market multification-nya apa,” ucap Daniel.

Keunggulan yang ditawarkan pada solusi tersebut adalah harga yang kompetitif dan pencatatan digital. Poin terakhir ini penting karena penyebab utama bisnis UMKM gagal adalah kebocoran saat belanja bahan baku. Misal pegawai didelegasi untuk belanja, tapi karena pencatatan dengan tulis tangan maka potensi kebocorannya semakin tak terhindar.

“Kami menawarkan digitalisasi jadi semuanya transparan, enggak ada peluang kebocoran. Selain itu juga tawarkan convenience, pengusaha bisa fokus melayani konsumen, mengembangkan produk, seluruh waste activity dilimpahkan ke kita. Tapi enggak semua pebisnis bisa appreciate those convenience, jadi tergantung pada UMKM itu sendiri.”

Wahyoo Kitchen Partner

Perusahaan pun menyadari, di segmen UMKM ini menciptakan dampak sosial juga tak kalah penting, selain fokus pada bagaimana memindahkan mereka terbiasa dengan platform digital. Didukung dengan tren pesan-antar makanan secara online, Wahyoo akhirnya membuat solusi terbaru dinamai Wahyoo Kitchen Partner.

Bisa dikatakan ini adalah virtual cloud kitchen versi Wahyoo yang memanfaatkan dapur di restoran yang kurang terutilisasi untuk bantu mendistribusikan produk-produk makanan eksklusif milik Wahyoo. Melalui bisnis unit Bikin Tajir Group, Wahyoo menyediakan produk label privat, seperti Ayam Paduka, Bebek Goreng Bikin Tajir, dan Bakso Bikin Tajir.

Yang membedakan dengan operator cloud kitchen dan label privat lainnya adalah Wahyoo bermitra dengan UMKM kuliner untuk suplai produk dan potensial dapat didistribusikan lebih jauh ke jaringan dapur Wahyoo.

“Kami berkolaborasi dengan industri F&B UMKM, ada sate lilit yang kami serap produknya dan jual ke jaringan kami. Dulunya mereka hanya mampu produksi 100 pack, sekarang bisa 1000 pack. Kami ingin berdayakan mereka.”

Menurut Daniel, dengan mengadopsi sharing economy seperti virtual cloud kitchen ini memberikan dampak yang lebih besar buat UMKM. Pun dari segi prospek bisnis jauh lebih cepat cetak untung daripada segmen bisnis lainnya. Terhitung, perusahaan telah bermitra dengan pemilik dapur restoran di ratusan lokasi. Untuk brand Bebek Goreng Bikin Tajir diklaim telah tersedia di 120 lokasi, Ayam Paduka di lebih dari 40 lokasi.

“Mitra kami kini ada yang bisa bangun rumah, kami ingin punya lebih banyak cerita bagus lagi ke depannya. Semoga kami bisa beri impact lebih besar lagi di luar Jabodetabek,” pungkasnya.

Titipku Masuk ke Segmen B2B, Mantapkan Strategi Menuju Profitabilitas

Di tengah gejolak jatuh-bangun online grocery, Titipku memantapkan strategi “path to profitability” dengan memperluas bisnisnya ke segmen B2B. Ekspansi akan dimulai pada kuartal keempat tahun ini dengan target beroperasi secara bertahap pada 2023.

Berdiri di 2017, Titipku merupakan lulusan Y Combinator batch S21. Titipku didirikan oleh Ong Tek Tjan dan Henri Suhardja dengan misi utama mendigitalkan pasar tradisional yang menjajakan kebutuhan pangan segar, seperti sayur, ayam, daging, dan ikan.

Awalnya, Titipku dirancang untuk mendigitalkan UMKM dengan target skala nasional. Ada 1.000 mitra UMKM yang berhasil digandeng saat itu. Namun, pihaknya mengaku kesulitan untuk mengelola karena mitranya datang dari berbagai kategori. Dalam perjalanan selama 2-3 tahun, Titipku mulai mengubah model bisnis ke hyperlocal, fokus pada digitalisasi pedagang pasar.

Banyak area-area kecil yang belum tergarap aksesnya. Padahal, keberadaan pasar bertempat di lokasi strategis. Dari data yang kami peroleh, tahun 2020 Titipku mencatat omzet 700%, serta merangkul lebih dari 31.000 UMKM dan 7.000 penjelajah. Sekarang Titipku, sudah bekerja sama dengan hampir 10.000 pedagang di 150 pasar.

Memperkuat posisi

Dalam wawancara terpisah dengan DailySocial.id, Co-founder dan CEO Titipku Henri Suhardja meyakini bahwa bisnis online grocery masih punya peluang besar di Indonesia. Ada banyak pasar yang dapat digarap, tak hanya sebatas menguntungkan konsumen akhir.

Berdasarkan data di “Online Grocery Report 2022” yang diterbitkan Titipku, perilaku konsumen dalam berbelanja sudah terbentuk secara stabil selama masa pandemi Covid-19. Bahkan, Titipku mencatat ada kenaikan transaksi online grocery sebanyak 4-5 kali sebelum pandemi.

Untuk mendorong efisiensi dan menjaga pertumbuhan di segmen B2C, Titipku melakukan sejumlah strategi. Misalnya, memaksimalkan channel marketing dan melakukan perbaikan aplikasi untuk meningkatkan kenyamanan pengguna. Strategi ini diyakini dapat mendorong awareness terhadap efektivitas layanan online grocery, terutama bagi kaum ibu-ibu.

Titipku juga memperluas segmen pasarnya pada akhir tahun ini. Berkat keuntungan yang diklaim telah diperoleh dari segmen B2C, pihaknya mantap untuk masuk ke bisnis B2B. Modelnya, sales Titipku akan menjual pasokan produk ke pedagang pasar, dan pesanan akan diantar sesuai kesepakatan jam pengiriman. Value proposition yang ditawarkan tetap sama, yakni pasokan produk segar dengan harga terjangkau. Dengan harga dan kualitas ini, pedagang dapat menghindari potensi fraud.

Ke depannya, Titipku berkomitmen untuk memfasilitasi pemberian modal usaha, tidak hanya membantu pada suplai produk saja. Tujuannya untuk membangun ekosistem UMKM dan pedagang pasar di Jabodetabek.

“Sejak awal, kami berkomitmen untuk tumbuh bersama pedagang pasar. Kami tidak memiliki warehouse untuk produk yang akan dijual. Kalau Titipku punya, ini akan mengerdilkan peran pasar dan justru bertolak belakang dengan visi dan misi kami. Pasar rekanan Titipku adalah warehouse terbaik yang dimiliki. Semua produk diambil langsung dari pedagang,” ujarnya.

Di sisi lain, Titipku juga mengungkap rencananya untuk melakukan fundraising dalam waktu dekat. Namun, Henri enggan mengelaborasi lebih lanjut.

Masuk ke B2B

Untuk dapat menjalankan bisnis online grocery secara berkelanjutan, Henri menilai penting untuk fokus terhadap kualitas produk dan layanan, serta unit economic. Menurutnya, yang terjadi di industri saat ini, banyak yang terlalu terpaku pada promo, bukan ketiga hal tersebut.

“Kami fokus untuk menjadi sustainable business, memastikan path to profitability. Maka itu, kami mulai masuk ke B2B pada akhir tahun. Ini bukan pivot, tetapi menjadi B2B2C secara keseluruhan,” tuturnya pada kesempatan terpisah beberapa waktu lalu.

Disampaikan Henri pada acara Titipku 6th Anniversary, operasional B2B akan dimulai pada kuartal I 2023 dengan memasok ke 27 pasar untuk tahap awal. Pihaknya akan masuk ke pasar sentral untuk melayani 60 pasar sekunder di kawasan Jadetabek pada kuartal II.

Masih di kawasan sama, jumlah tersebut akan ditambah menjadi 80 pasar di kuartal III, dan naik menjadi 100 pasar pada kuartal IV. Titipku juga akan ekspansi ke Bandung dan Surabaya.

Founder Titipku Ong Tek Tjan menambahkan, pihaknya tak menutup kemungkinan di masa depan untuk memasok produk dari para petani. Menurutnya, pasar tradisional masih dipersepsikan sebagai kaum marjinal, posisinya dinilai kalah dengan pasar modern. Pasar tradisional juga sulit mendapat pasokan berkualitas.

Titipku akan meningkatkan perannya dengan memfasilitasi pemberian akses modal usaha dari mitra lembaga keuangan. Langkah ini dapat membantu pedagang untuk mengelola rantai pasok dengan baik.

Pihaknya juga mengaku optimistis terlepas dari situasi perlambatan ekonomi saat ini. “Orang-orang akan mengalihkan pengeluaran kepada kebutuhan pokok sehingga mereka akan belanja. Ketika ini terjadi, kami ingin mitra Titipku dapat memilih pasokan barang dengan kualitas barang sehingga tak kalah dengan pasar modern.” tambahnya.

Gejolak online grocery

Bisnis online grocery, termasuk quick commerce, tak hanya terguncang di skala global saja. Sejumlah startup menutup layanannya karena tak mampu lagi menjadi bisnis berkelanjutan, khususnya di segmen B2C.

Salah satu pemain terbesar, HappyFresh kesulitan keuangan sehingga harus meracik kembali strategi bisnisnya. Brambang terpaksa menutup layanan online grocery dan langsung pivot menjadi marketplace untuk produk elektronik bekas. Sementara, kegagalan menemukan unit ekonomi yang cocok memaksa Bananas untuk melakukan hal serupa dan pivot ke bisnis lain.

Padahal, online grocery termasuk salah satu primadona layanan digital yang mengantongi akselerasi luar biasa ketika masa awal pandemi. Namun, tren ini diprediksi melandai sejalan dengan melonggarnya pembatasan sosial menuju transisi pasca-pandemi. Masyarakat sudah mulai beraktivitas keluar dan berbelanja langsung di toko sejak setahun terakhir.

Di samping itu, segmen B2C pada online grocery juga dinilai sulit untuk menjadi bisnis berkelanjutan mengingat perlu modal besar untuk infrastruktur logistik dan subsidi pada promo diskon.

Dalam analisis DailySocial.id terdahulu, potensi online grocery belum maksimal mengingat penetrasinya masih berputar di kota-kota besar, seperti Jabodetabek. Terlebih, masyarakat masih terbiasa berbelanja kebutuhan sehari-hari langsung di toko fisik. Berdasarkan laporan “The Institute of Grocery Distribution (IGD) Asia” nilai pasar online grocery akan bertumbuh 198% dari $99 miliar di 2019 jadi $295 miliar di 2023.

Application Information Will Show Up Here

Wahyoo Dikabarkan Galang Pendanaan Seri B

Platform digitalisasi warung “Wahyoo” dikabarkan tengah menggalang pendanaan seri B. Dari data yang sudah dimasukkan ke regulator, saat ini putaran tersebut telah membukukan sekitar $6 juta atau setara 92 miliar Rupiah.

Sejumlah investor berpartisipasi di pendanaan ini, seperti Eugene Investment, Intudo Ventures, Asia Horizon, PT Trinity Optima, East Ventures, Indogen Capital, dan sejumlah lainnya.

Terakhir, Wahyoo secara resmi mengumumkan pendanaan dalam putaran seri A senilai 73 miliar Rupiah dipimpin Intudo Ventures pada Agustus 2020 lalu. Founder & CEO Wahyoo Peter Shearer mengungkapkan, strategi bisnis dan rencana startupnya adalah memberikan dampak sosial kepada pelaku UMKM di Indonesia, khususnya pemilik warung makan.

Melansir data di situsnya, sejak didirikan tahun 2017 saat ini sudah ada lebih dari 27 ribu usaha F&B dengan sekala mikro s/d menengah yang telah dilayani Wahyoo. Salah satu layanan yang kini digenjot adalah e-commerce pemenuhan bahan baku, menyediakan lebih dari 2000 bahan segar — dengan area cakupan baru di seputar Jabodetabek dan Karawang.

Selain itu, Wahyoo telah mengembangkan unit bisnis “Bikin Tajir Group” untuk memanfaatkan aset dapur mitra UMKM kuliner guna mengoperasikan usaha cloud kitchen. Beberapa brand yang telah berjalan seperti Bebek Goreng Bikin Tajir dan Bakso Bikin Tajir yang dapat dioperasikan oleh mitra UMKM kuliner Wahyoo.

Untuk menambah potensi bisnis, Wahyoo juga telah lakukan sejumlah aksi penting. Salah satunya pada awal tahun 2022 mereka mengakuisisi Alamat.com — sebuah startup yang telah membantu 35 ribu pemilik bisnis offline mengadopsi teknologi online. Kolaborasi kedua startup dinilai dapat meningkatkan kehadiran warung dan pemilik usaha F&B naik kelas lewat platform digital yang dikembangkan bersama.

Di tengah pandemi, Wahyoo juga sempat menghadirkan platform online grocery B2C Langganan.co.id. Namun demikian, platform tersebut ditutup tahun lalu dengan dalih fokus Wahyoo ingin menggarap segmen B2B.

Dalam sebuah wawancara bersama DailySocial.id, Peter pernah mengatakan, “Memang warung makan tradisional terlihat kecil, tapi ternyata banyak sekali permasalahan yang perlu dibenahi dan mereka perlu dibantu. Kami percaya ketika mereka terbantu, efek ekonomi, efek lingkungan, efek sosial budaya yang lebih baik akan secara otomatis membuat Indonesia lebih baik.”

“Saat ini kami menargetkan [membantu] seluruh UMKM Kuliner, tidak hanya warung makan tapi juga mungkin tempat makan dan rumah makan yang skalanya kecil dan menengah. Dengan adanya infrastruktur yang sudah terbangun selama 4 tahun, dengan pengalaman dan kemampuan yang kami miliki, kami ingin dampak yang lebih luas lagi,” kata Peter.

Application Information Will Show Up Here

Strategi Credibook dalam Bertahan dan Mengembangkan Bisnis

Perkembangan industri UMKM di Indonesia terbilang cukup signifikan. Berdasarkan data Kementerian Koperasi dan UKM, jumlah UMKM saat ini mencapai 64,19 juta dengan kontribusi terhadap PDB sebesar 61,97% atau senilai 8.573,89 triliun Rupiah. Tingginya jumlah UMKM di Indonesia tidak terlepas dari berbagai tantangan serta kondisi pandemi Covid-19 yang mendorong perubahan pada pola konsumsi barang dan jasa menjadi momentum untuk mengakselerasi transformasi digital.

DailySocial.id melalui sesi #SelasaStartup, mengundang salah satu sosok yang sudah berkecimpung lama dalam menghadirkan solusi digitalisasi UMKM di tanah air, Co-Founder & CEO Credibook Gabriel Frans. Patut diketahui, sebelum membangun Credibook, Gabriel juga terlibat dalam pengembangan produk GrabKios atau Kudo, yang juga menargetkan digitalisasi warung di Indonesia.

Secara garis besar, Gabriel memaparkan, dibandingkan tahun 2015-2016, pasar industri UMKM saat ini jauh lebih matang. Banyak pemain yang sudah melek teknologi serta memanfaatkan teknologi untuk operasional bisnisnya. Hal ini juga didorong oleh pandemi yang secara tidak langsung memaksa para stakeholder untuk beradaptasi dengan situasi terkini.

“Namun, dengan total lebih dari 60 juta UMKM yang ada di Indonesia, ini bukanlah tugas yang bisa diselesaikan sendiri,” ujarnya.

Dorong kolaborasi

Bicara tentang UMKM, ujar Gabriel, melibatkan pasar yang sangat luas. “Menurut kami di Credibook, kunci untuk bisa berhasil di industri ini adalah kolaborasi,” tambahnya. Credibook sendiri sudah banyak sekali melakukan kolaborasi baik dengan pemerintah, Kemenkop, Pemkab dan komunitas UMKM. Belum lama ini, perusahaan menjalin kemitraan strategis dengan Universitas Warmadewa Bali melalui penandatanganan nota kesepahaman untuk mendukung pengabdian masyarakat bagi pelaku UMKM.

“Kita juga bukan startup yang ingin menyelesaikan semua masalah, jadi kita butuh kolaborasi dengan startup lain di sektor terkait,” ujar Gabriel.

Tantangan yang sering ditemukan di lapangan termasuk literasi digital yang belum menyeluruh dan literasi keuangan yang tepat sasaran. Dalam rangka menanggulangi hal ini, Credibook bekerja sama dengan Kemenkop UKM Indonesia untuk menggencarkan literasi digitalisasi keuangan di Indonesia. Selain itu juga memberi edukasi untuk UMKM dalam membuat laporan keuangan yang baik dan benar agar bisa membuka jalan untuk kapital.

Disinggung mengenai biaya transformasi digital UMKM di Indonesia, Gabriel mengungkapkan bahwa untuk menjangkau daerah-daerah yang amsih belum terjangkau infrastruktur digital, akan membutuhkan modal yang tidak sedikit. Begitu pula sumber daya manusianya, membutuhkan edukasi yang inklusif dan usaha yang tidak sedikit, maka dari itu kita mendorong kolaborasi untuk bersama-sama menciptakan solusi dalam transformasi digital ini.

Pada bulan April tahun ini, Credibook berhasil menutup pendanaan seri A senilai 116 miliar Rupiah dipimpin oleh Monk’s Hill Ventures. Gabriel mengungkapkan bahwa dana ini akan difokuskan untuk ekspansi serta pengembangan CrediMart, layanan grosir digital mereka. Hingga saat ini, CrediMart sudah bekerja sama dengan lebih dari 50 toko grosir konvensional yang tersebar di 40 kota di Indoneesia, mencakup pulau Jawa, Bali dan Nusa Tenggara.

Perbaiki fundamental

Selain pengembangan bisnis melalui ekspansi layanan dan produk, Gabriel juga mengakui bahwa sebelum lebih jauh memikirkan investor, layaknya sebuah perusahaan lebih dulu membangun fundamental perusahaan. Ia juga mengungkapkan salah satu tantangan menjadi Founder dan membangun bisnis adalah ketika berusaha membangun kultur perusahaan yang kuat.

Di samping itu, proposisi nilai juga memiliki andil besar untuk bisa bertahan di tengah pasar yang semakin ramai. Credibook sendiri tengah fokus pada pemberdayaan usaha grosir konvensional dengan pendekatan teknologi rantai pasok. Kekuatan inilah yang menjadi landasan CrediMart untuk menjangkau lebih banyak pengusaha grosir dari lebih banyak sektor usaha.

Terkait pengembangan bisnis, Gabriel turut menambahkan, “Bisnis yang bagus itu adalah yang bisa memberi nilai tambah dan menghasilkan pendapatan atau membawa profit. Bangun terlebih dulu fundamental yang baik, setelah itu investor akan datang dengan sendirinya. Terkadang, menang dalam bisnis itu bukan hanya tentang persaingan, tetapi bagaimana bisa bertahan.”

majoo Rampungkan Pendanaan Seri A Senilai 149 Miliar Rupiah

Setelah merampungkan pendanaan pra-seri A senilai 130 miliar Rupiah awal tahun 2022 lalu, majoo kembali mengantongi dana segar melalui putaran pendanaan seri A senilai $10 juta atau sekitar 149 miliar Rupiah.

Tanpa menyebut namanya, putaran ini dipimpin investor ekuitas asal London yang berfokus pada fintech. Investor lain yang terlibat dalam pendanaan di antaranya BRI Ventures, AC Ventures, Quona Capital, dan Xendit.

Founder & CEO majoo Indonesia Adi Wahyu Rahadi mengatakan, “Dengan pendanaan ini, majoo akan terus memperluas pasar di Indonesia dengan menawarkan solusi komprehensif untuk UMKM dalam menjalankan operasional bisnis dan membantu menumbuhkan bisnis mereka”.

Lebih lanjut disampaikan, fokus utama majoo setelah pendanaan seri A adalah berinvestasi pada produk dan talenta demi bisa menghadirkan solusi terdepan untuk UMKM Indonesia. Mereka juga berkomitmen memperkuat posisi di pasar dengan memperkaya ekosistem melalui kerja sama dengan berbagai sektor industri strategis, seperti penyelenggara jasa keuangan, e-commerce, dan lainnya.

“Sebagai thesis-driven investor, tim pendiri majoo, product-market fit yang jelas, dan metrik pertumbuhan yang melonjak selama masa pergolakan pasar membuat kami bangga menjadi investor institusi pertama mereka. Kami sangat senang bergabung dengan majoo karena majoo terus memberdayakan 64 juta UMKM di negara ini,” jelas Founder & Managing Partner AC Ventures Adrian Li.

Sementara itu menurut CEO BRI Ventures Nicko Widjaja, ia percaya bahwa nilai sinergi majoo dan BRI sebagai institusi finansial untuk UMKM terbesar di Indonesia akan membantu digitalisasi di sektor tersebut. “Hal ini sejalan dengan komitmen BRI Ventures untuk terus mendorong inklusi keuangan di Indonesia di era digital ini dan menciptakan pemberdayaan UMKM yang berkelanjutan.”

majoo didirikan oleh tiga founder, meliputi Adi W. Rahadi (CEO), Audia R. Harahap (COO), dan Bayu Indriarko (VP Engineering). Sebelumnya ketiga pendiri tersebut merupakan pelaku bisnis ritel yang juga melayani pelanggan UMKM, sehingga mereka cukup memahami berbagai kesulitan yang ditemui di lapangan.

Pertumbuhan positif saat pandemi

Perusahaan juga mencatat selama pandemi pertumbuhan mencapai 800%. Hingga Juli 2022, aplikasi wirausaha majoo telah berhasil merangkul 35 ribu pelaku usaha dari seluruh Indonesia, 96% di antaranya pengguna aktif dengan retensi 12 bulan. Sejak peluncurannya, majoo mencatatkan 166 juta transaksi untuk UMKM atau setara dengan $940 juta.

Layanan “Wirausaha majoo” terdiri dari aplikasi kasir online, aplikasi inventori, aplikasi keuangan dan akunting, aplikasi absensi dan karyawan, aplikasi CRM, serta aplikasi analisa bisnis. Sementara produk lainnya, yakni “E-commerce Omnichannel majoo” memungkinkan pengguna mengelola penjualan dari beragam jenis toko online, memproses pesanan, inventori, dan laporan keuangan dalam satu dasbor terpusat.

SaaS untuk UMKM memang menjadi salah satu sektor industri digital yang banyak dilirik oleh founder, mengingat potensi besar dari UMKM di Indonesia. Untuk solusi serupa yang ditawarkan majoo, sejumlah startup juga menjajakan layanan serupa, seperti Midtrans, Sirclo, Qasir, YouTap, dan sebagainya.

Menurut laporan Boston Consulting Group, ukuran pasar layanan SaaS di Indonesia telah mencapai $100 juta di tahun 2018 dan akan bertumbuh sampai $400 juta di tahun 2023 mendatang.

Application Information Will Show Up Here

Runchise Tawarkan Platform SaaS untuk Pengelolaan Bisnis Waralaba dan Kuliner

Nama Daniel Witono sudah tidak asing di komunitas penggiat startup Indonesia. Setelah sukses membangun Jurnal tahun 2015 lalu, sampai akhirnya diakuisisi oleh Mekari, kini ia tengah disibukkan dengan kegiatan barunya yaitu mengembangkan platform outlet management solution bernama Runchise.

Kepada DailySocial.id, Daniel mengungkapkan, alasan didirikannya Runchise berawal dari pengalamannya dulu saat mengembangkan Jurnal. Banyak klien mereka yang bertanya jika ada solusi atau teknologi yang bisa digunakan untuk melancarkan bisnis franchise (waralaba) mereka.

Persoalan tentang pengelolaan hingga pembinaan franchise ternyata masih menjadi tantangan yang kerap dirasakan oleh pemilik restoran hingga pemilik brand. Mulai dari kurangnya transparansi dari penerima waralaba, hingga penggunaan bahan baku yang tidak sesuai. Hal ini lalu memberikan inspirasi bagi Daniel untuk menghadirkan platform end-to-end kepada pemilik franchise.

“Saat bersama Mekari konsep ini tidak bisa saya kembangkan karena fokus perusahaan adalah hanya kepada akunting dan personalia saja. Karena itu setelah saya keluar, saya mulai mengembangkan Runchise untuk membantu sektor F&B di Indonesia yang sangat luas potensinya,” kata Daniel.

Masih dalam tahap pengembangan, saat ini Runchise menjalankan bisnis secara bootstrap. Rencananya dalam waktu 1 hingga 2 bulan mendatang, platform SaaS akan segera diluncurkan kepada target pasar.

Sebelumnya untuk SaaS khusus bisnis kuliner sudah ada Esensi Solusi Buana yang telah didukung sejumlah investor termasuk Alpha JWC Ventures. Solusi yang ditawarkan termasuk ERP, POS, dan manajemen layanan food delivery. Selain itu juga ada beberapa lainnyas seperti DigiResto yang dikembangkan MCAS.

Model bisnis dan strategi monetisasi

Secara umum saat ini ada dua model bisnis franchise, di antaranya adalah brand royalty dan penyediaan bahan baku. Untuk bisa menjaga kualitas dari produk yang dimiliki oleh pemilik franchise kepada penerima waralaba, dibutuhkan solusi terpadu yang bisa mengatur proses, integrasi sistem, hingga pengelolaan bahan baku dan pengiriman kepada pelanggan. Hingga saat ini Daniel melihat belum ada platform yang menawarkan solusi tersebut.

“Dengan ketatnya persaingan di kalangan franchise, mengharuskan mereka untuk bisa mengembangkan bisnis secara stabil dan profitable. Selain kurangnya integrasi sistem, persoalan seperti kecurangan seputar pemilihan bahan baku yang tidak sesuai hingga kurang transparannya laporan penjualan dari penerima waralaba, menjadikan bisnis franchise tidak bisa bertahan. Dengan teknologi yang ditawarkan oleh Runchise, diharapkan bisa mengatasi kendala tersebut,” kata Daniel.

Franchise hingga restoran yang disasar oleh Runchise adalah dari bisnis skala kecil hingga besar. Banyak di antara pemilik restoran dan franchise tersebut berpusat di pulau Jawa, namun karena besarnya skala layanan mereka, banyak juga di antara restoran tersebut yang saat ini sudah mulai melayani kota tier 2 dan tier 3. Melalui Runchise nantinya pemilik restoran bisa menjaga kualitas dan konsistensi dari brand di berbagai lokasi.

Selain pengelolaan supply chain, Runchise juga menawarkan solusi multi outlet management dan franchise solution. Untuk produk dan layanan yang mereka hadirkan di antaranya adalah, outlet management, point of sales, dan online ordering.

“Fokus kita saat ini adalah kepada sistem dan proses integrasi. Untuk online delivery kami juga menawarkan kepada pemilik restoran dan franchise untuk bisa memiliki channel tambahan di luar marketplace saat ini,” kata Daniel

Runchise juga menjalin kemitraan dengan logistik pihak ketiga untuk menghadirkan layanan pengantaran internal kepada restoran. Sementara itu untuk strategi monetisasi, selain mengenakan subscription plan, mereka juga mengenakan MDR (Merchant Discount Rate) untuk online order.

Selain memberikan layanan kepada franchise dan restoran, ke depannya Runchise juga ingin menghadirkan layanan terpadu ke restoran secara internal. Mulai dari mengembangkan bisnis mereka hingga mengembangkan kegiatan marketing mereka seperti loyalty program dan lainnya.

“Saya melihat hingga saat ini belum ada platform yang menghadirkan layanan seperti Runchise. Harapannya Runchise bisa menjadi end-to-end solution bagi sektor F&B di Indonesia,” kata Daniel.

Mekari Umumkan Pendanaan 720 Miliar Rupiah, Siap Merambah ke Bisnis Fintech

Startup pengembang SaaS untuk bisnis Mekari mengumumkan telah mendapatkan pendanaan lanjutan senilai $50 juta atau setara 720 miliar Rupiah. Putaran ini dipimpin Money Forward Inc, yang merupakan perusahaan penyedia SaaS aplikasi perencanaan keuangan dan akuntansi terbesar asal Jepang. Sejumlah investor terdahulu turut terlibat, kendati tidak dirinci detailnya.

Sebelumnya Mekari telah membukukan putaran pendanaan dari beberapa investor, di antaranya East Ventures, Beenext, Mandiri Capital, Alto Partners, dan Prasetia.

Co-Founder & CEO Mekari Suwandi Soh mengatakan, pihaknya akan mengalokasikan kucuran dana ini untuk berekspansi ke layanan fintech agar dapat mendukung proses transformasi digital para kliennya, terutama di skala UMKM. Belum lama ini Mekari sebenarnya juga sudah mulai masuk ke layanan fintech B2B melalui produk Mekari Flex, yakni dengan meluncurkan platform EWA untuk pencairan gaji lebih awal bagi para pegawai kantoran.

Sejalan dengan itu, Mekari juga ingin meningkatkan kapasitas dan kapabilitas SDM, terutama tim produk dan engineering, yang akan menjadi ujung tombak dari perancangan dan pembuatan solusi-solusi inovatif bagi penggunanya.

“Saat pasar sedang memasuki tahap pemulihan ekonomi, transformasi digital sangat penting karena memberikan perusahaan, terutama UMKM, agility yang mereka butuhkan untuk berkembang. Oleh karena itu, fokus utama Mekari adalah untuk mendukung klien kami dalam perjalanan transformasi mereka dengan terus memberikan solusi teknologi yang andal dan inovatif yang disesuaikan dengan kebutuhan mereka,” ungkap Suwandi.

Potensi SaaS bisnis di Indonesia

Sektor bisnis SaaS sedang berkembang pesat di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Menurut riset dari Boston Consulting Group, nilai pasar SaaS di diperkirakan akan meningkat sebesar 25% CAGR dan mencapai $800 juta pada tahun 2023. Sejalan dengan perkembangan ini, Mekari juga telah mencatat pertumbuhan sebesar 11 kali lipat selama 4 tahun terakhir.

Saat ini, Mekari memiliki lebih dari 35 ribu klien dan lebih dari 800 ribu pengguna aktif dengan mayoritas pengguna UMKM. Beberapa brand yang berada di bawah naungan Mekari adalah Talenta, Jurnal, Qontak, Klikpajak, dan Flex; menyediakan solusi teknologi bisnis seperti tools untuk pengelolaan Sumber Daya Manusia (SDM) dan penggajian, billing dan akuntansi, Customer Relationship Management (CRM), hingga perpajakan.

“Kami juga fokus mengembangkan berbagai layanan finansial kontekstual untuk membantu perusahaan menyelesaikan berbagai kebutuhan dan tantangan finansial yang unik. Layanan keuangan merupakan faktor pendukung utama dalam meningkatkan akses finansial bagi seluruh pengguna dalam ekosistem Mekari. Langkah pertama yang akan dilakukan adalah perluasan akses terhadap layanan keuangan yang terjangkau dan praktis bagi pelanggan kami,” tambah Suwandi.

Application Information Will Show Up Here