Qazwa Fokus Kembangkan Platform Pembiayaan Syariah

Mulai berkembangkan industri teknologi finansial di Indonesia tak hanya berdampak pada kepercayaan pengguna yang mulai naik tetapi juga banyaknya pemain baru yang bermunculan. Salah satunya adalah Qazwa, mereka hadir sebagai platform  pembiayaan peer to peer (P2P) berbasis syariah yang saat ini tengah fokus untuk mengembangkan platform yang lebih berkualitas dan juga menjangkau lebih banyak pengguna.

Sebagai platform pembiayaan, Qazwa mengemban misi menciptakan kemakmuran bersama dengan cara memfasilitasi pembiayaan ke pelaku usaha mikro yang sudah dipilih secara syariah.

Secara legal, perusahaan berada di bawah naungan PT Qazwa Mitra Hasanah. Mereka juga telah resmi terdaftar dan diawasi oleh dua otoritas penting di sektor teknologi finansial dan syariah, yakni OJK dan Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia.

“Seluruh kegiatan pembiayaan kami diawasi oleh OJK. Selain itu, sebagai platform pembiayaan syariah Qazwa juga sudha terdaftar dan diawasi oleh DSN-Majelis Ulama Indonesia. Oleh karena itu kami makin mantap untuk berkontribusi memajukan ekonomi pelaku usaha mikro di Indonesia dengan menjunjung tinggi integritas dan kepatuhan terhadap ketentuan hukum di Indonesia dengan memberikan pelayanan dan perlindungan terbaik,” terang Public Relation Officer Qazwa Nurul Khomarial kepada DailySocial.

Qazwa resmi berdiri pada Maret 2018. Startup yang berkantor di Jakarta ini sekarang berada di bawah kepemimpinan CEO Brithma Argandhi yang menjabat sebagai CEO dan COO Dikry Paren. Keduanya, bersama anggota tim Qazwa lainnya, mengembangkan sebuah platform yang mempertemukan pemilik modal degan pelaku usaha terpilih, seperti layaknya konsep martketplace pada umumnya.

UKM yang ingin masuk ke dalam sistem harus melalui proses seleksi, terutama yang berkaitan dengan credit scoring. Untuk memberikan pelayanan prima bagi pemodal dan UKM, pihak Qazwa menjanjikan komunikasi yang intens, lengkap dengan laporan perkembangan usaha yang diperbarui setiap bulan. Bagi hasil akan dibagikan setelah proyek selesai, karena begitu proyek selesai pelaku usaha menyerahkan dana bagi hasil ke pihak Qazwa dan selanjutnya diteruskan ke rekening pemodal atau pemberi dana.

Di Indonesia sendiri sudah ada beberapa penyedia layanan peminjaman atau pembiayaan yang mengusung konsep syariah, atau setidak memiliki produk berbasis syariah, seperti Investree, DanaCita, Alami, Ammana, dan lainnya.

Saat ini Qazwa masih aktif melakukan mempromosikan layanannya dan edukasi keuangan syariah baik secara offline maupun online. Pihak Qazwa menilai edukasi terkait keuangan syariah dan ekonomi Islam merupakan bagian penting dalam pengembangan produk keuanggan. Harapannya, masyarakat bisa memiliki wawasan yang baik terkait dengan produk keuangan syariah, sehingga kesadaran untuk menggunakan produk syariah semakin meningkat.

“Hingga saat ini tercatat sudah terdapat 35 pelaku usaha mikro yang dibantu oleh Qazwa. Qazwa terus berfokus mengembangkan platform pembiayaannya dengan inovasi teknologi dan kerja sama dengan berbagai pihak untuk memperluas jangkauan dan memberikan pelayanan optimal kepada pengguna,” tutup Nurul.

Strategi Monotaro dalam Menggarap B2B Commerce

Gaung pemain e-commerce B2B memang tidak sekencang B2C karena perbedaan cara pemasarannya dan berbagai strategi lainnya. Akan tetapi, potensi bisnis yang bisa digarap dari ranah B2B bukan main besarnya. Salah satu pemain e-commerce yang main di ranah ini adalah Monotaro, berasal dari Jepang.

Sebetulnya, Monotaro masuk ke Indonesia dengan mengambil mayoritas saham Sukamart (PT Sumisho E-Commerce Indonesia) sekitar tiga tahun lalu. Dari aksi ini, mereka mengubah badan hukum dan branding baru jadi Monotaro. Sukamart sendiri sudah beroperasi sejak 2012, merupakan anak usaha dari Grup Sumitomo.

Sejak saat itu, perusahaan mengklaim terjadi peningkatan bisnis yang signifikan secara keseluruhan. Kepada DailySocial, Presiden Direktur Monotaro.id Daisuke Maeda menjelaskan bahwa kategori produk di situs kini kian beragam, dari sekitar 10 ribu item produk di 2016 kini menjadi lebih dari 800 ribu produk.

Keseluruhan produk ini berasal dari kemitraan dengan lebih dari 3 ribu brand yang tersebar ke 12 kategori barang. Mulai dari MRO (maintenance, repair, and operation) untuk pabrik dan perakitan, alat keselamatan, perkakas tangan dan elektrik, alat laboratorium, konstruksi, otomotif, logistik, hingga ATK.

Perusahaan juga menyediakan lebih dari 20 ribu produk dari private label asal Jepang yang dianggap cukup unik dan punya kualitas baik untuk konsumen Indonesia.

Daisuke menjelaskan, posisi Monotaro dibandingkan pemain B2B commerce lainnya cukup berbeda. Pihaknya menempatkan diri sebagai online retailer, yang mana punya berbagai produk dari berbagai penyuplai yang sudah terkurasi.

“Semua produk dan seleksi kategori ini berasal dari data yang kita kumpulkan sejak era Sukamart dan dari preferensi, serta kebiasaan konsumen kami. Kita memiliki ribuan konsumen baru tiap bulannya, mereka puas dengan platform Monotaro dan menjadi pelanggan loyal,” terangnya.

Meski tidak merinci, dia mengklaim bisnis Monotaro tumbuh 300% per tahunnya, begitu pun untuk bulanannya. Pertumbuhan ini diprediksi akan tumbuh lebih besar, mengingat potensi bisnis B2B commerce di Indonesia yang belum tergarap secara maksimal.

Kondisi ini, menurutnya mirip dengan apa yang terjadi di Jepang pada 10 tahun lalu dan sama halnya apa yang dialami e-commerce B2C beberapa tahun lalu di Indonesia.

“Kami yakin kami masih berada di tahap paling awal di Indonesia. Tapi kami sangat percaya e-commerce B2B akan booming dalam waktu dekat mengikuti tren adopsi teknologi di Indonesia.”

Adapun konsumen Monotaro mayoritas datang dari pelaku manufaktur dan industri perakitan. Lainnya adalah industri konstruksi, perkebunan, otomotif, pertambangan, properti, keuangan, pendidikan, hingga industri kecil dari seluruh Indonesia.

Rencana pengembangan teknologi

Daisuke melanjutkan, perusahaan berencana untuk mengembangkan beberapa inisiasi baru di sisi teknologi agar tetap terdepan. Di antaranya fitur pencarian cerdas yang senantiasa harus selalu dikembangkan.

Pasalnya, fitur tersebut penting dalam merekam perilaku dan preferensi pelanggan yang telah terekam di Monotaro Jepang. Alhasil perusahaan dapat memberikan rekomendasi barang yang tepat.

“Fokus kami adalah menyediakan platform yang paling nyaman bagi pelanggan untuk melakukan pembelian yang mendukung operasi industri dan bisnis mereka. Oleh karena itu, kuncinya adalah membuat produk dapat dicari se-seamless mungkin.”

Teknologi lainnya yang disiapkan adalah optimasi manajemen pesanan oleh kecerdasan buatan (AI). Misalnya, untuk daerah mana, metode apa yang pas, dan kapan barang harus dikirim pelanggan. Terakhir pengembangan gudang pintar untuk pengiriman yang lebih cepat, namun juga efisien dari segi biaya.

“Misi kami adalah menyediakan platform pembelian yang paling nyaman dan efisien untuk konsumen bisnis dan visi kami adalah berinovasi dalam jaringan pengadaan untuk semua jenis pengguna bisnis di Indonesia,” pungkasnya.

Secara perusahaan, Daisuke menegaskan Monotaro didanai sepenuhnya oleh pemegang saham yang ada, serta didukung dengan teknologi dan jaringan rantai pasokan yang telah tersedia.

Startup Pertanian Eden Farm Dapatkan Pendanaan Awal 24,8 Miliar Rupiah

Eden Farm adalah startup agrotech yang coba menghadirkan layanan distribusi produk sayur segar di restoran dan cafe. Platform yang mereka bangun menghubungkan secara langsung petani dengan pemilik bisnis. Guna mengakselerasi bisnisnya, belum lama ini mereka membukukan pendanaan baru dari Global Founders Capital untuk meningkatkan seed round senilai $1,7 juta lebih (setara 24,8 miliar Rupiah).

Sebelumnya startup yang digawangi oleh David Gunawan ini juga telah mendapatkan partisipasi pendanaan dalam tahap yang sama melalui program Y Combinator, dengan keterlibatan Everhaus, Soma Capital, S7 Venture dan sejumlah angel investor. Saat ini The Duck King, Cruchchaus Salads, OldTown White Coffe, Crystal Jade hingga Gyu-Kaku jadi beberapa nama yang sudah menjadi pelanggan Eden Farm.

Selain sayuran –yang berasal dari kebun petani tradisional dan hidroponik—dan buah segar, mereka juga melayani pemesanan makanan kering dan bumbu dapur. Ke depan juga akan melayani pembelian daging dan ikan dari peternak. Melayani secara end-to-end, selain jaminan kualitas dan harga yang dinilai lebih stabil, Eden Farm turut sajikan jasa pengantaran.

Didirikan sejak 2017, saat ini sudah melayani gerai-gerai di seputaran Jabodetabek. Sudah ada sekitar 60 mitra petani yang menjadi pemasok barang dagangan. Eden Farm meyakini, bahwa dengan solusinya permasalahan pebisnis kuliner selama ini –pasokan, stabilitas dan volatilitas harga yang ekstrem—dapat disiasati.

Mengenai strategi untuk menjamin stabilitas harga, selain mengambil langsung barang dari petani, mereka juga mengaplikasikan pembelian produk secara grosir. Kontrol kualitas selalu diterapkan, sebelum dikirim tim akan memeriksa dan mencuci produk tersebut. Menariknya, Eden Farm siap menampung jika ada produk yang sudah diantar dan tidak bisa digunakan.

Ekspansi juga akan menjadi fokus setelah pendanaan ini. Rencananya mereka akan segera hadir di Bali, Bandung, Malang, Medan dan Surabaya; dengan target ambisius merangkul 25 ribu restoran –termasuk yang berskala UKM.

Application Information Will Show Up Here

Bensmart Ingin Bantu Siswa Temukan Guru Privat

Bensmart adalah startup yang berusaha memberikan layanan untuk menghubungkan siswa dengan guru les, baik les akademik maupun keterampilan nonakademik. Pengalaman para pendirikan dijadikan modal untuk menyadikan sebuah wadah yang bisa memudahkan para siswa, orang tua, sekaligus para pengajar.

Nama Bensmart dari perpaduan dua kata, “Ben”, dalam bahasa jawa artinya “supaya” atau “biar menjadi”, sedangkan “Smart” dari kata bahasa Inggris yang artinya pintar. Arti nama ini yang menjadi semangat untuk terus mengembangkan layanan yang bisa menjadikan penggunanya lebih pintar dan lebih terampil.

“Dari hasil testimoni para siswa, bahwa les privat mempunyai kelebihan dibandingkan belajar melalui video atau belajar secara online. Kelebihannya adalah siswa merasakan ada kedekatan dengan guru pengajar sehingga lebih terbuka dalam mengungkapkan bagian pelajaran mana yang belum bisa sehingga belajarnya lebih optimal, menyenangkan dan akhirnya prestasi siswa akan mudah diraih,” terang Co-Founder & CTO Bensmart Arif Dian M.

Arif memiliki pengalaman lebih dari 10 tahun bekerja di bimbingan belajar. Dalam mendirikan sartupnya, pemuda lulusan Universitas Negeri Yogyakarta ini bekerja sama dengan Yuri Arvian yang merupakan lulusan The George Washington University. Keduanya bersama dengan tim memulai Bensmart sejak Oktober 2018. Hampir satu tahun berjalan Bensmart sudah berhasil memiliki 200 guru privat terdaftar dengan berbagai macam materi/keahlian yang ditawarkan.

Beberapa materi/keahlian yang ditawarkan antara lain materi ujian tengah semester, ujian akhir sekolah, ujian nasional. Ada juga spesialis untuk SBMPTN, ujian masuk PTN, materi kursus bahasa asing, alat musik, melukis, programming, hingga senam dan yoga.

Sebagai bisnis yang memposisikan diri sebagai “marketplace” untuk guru les, Bensmart mengemas aplikasi sedemikian rupa untuk memberikan kemudahan bagi para penggunanya, hal-hal seperti proses pemesanan dan pemilihan jadwal dibuat lebih praktis. Proses presensi dan penilaian juga dikembangkan untuk memberikan laporan proses belajar.

Konsep yang mempertemukan mereka yang ahli dengan para murid saat ini juga dijalankan beberapa startup lainnya. Seperti Ruangguru yang sudah lebih dulu punya Ruangles dan juga PrivatQ yang awal tahun ini merilis aplikasi mobile barunya. Untuk niche yang sedikit berbeda ada juga UstadQ yang secara spesifik memudahkan penggunanya mencari guru ngaji.

Startup yang memiliki kantor di Jakarta, Yogyakarta, dan Tangerang ini sedang mengupayakan beberapa hal untuk mendongkrak bisnis mereka. Tahun ini mereka sedang melakukan sejumlah pendekatan untuk bisa menjangkau lebih banyak pengguna, seperti menjajaki kerja sama dengan pihak sekolah, menyelenggarakan seminar pendidikan dan meningkatkan iklan di berbagai kanal.

Application Information Will Show Up Here

Aplikasi Kaget! Diluncurkan, Mungkinkan Pengguna Pesan Video Ucapan dari Selebritas

Mengemban misi menyediakan layanan konten untuk perayaan momentum spesial (platform video-gift), aplikasi Kaget! diluncurkan. Secara sederhana, cara kerja aplikasi ini ialah menjembatani pengguna dengan figur publik pilihan, untuk memberikan ucapan dalam bentuk video singkat. Misalnya untuk memberikan ucapan selamat ulang tahun, kado pernikahan dan sebagainya; direkam oleh selebritas yang dipilih.

Beberapa nama artis yang sudah masuk dalam opsi ada Dira Suganti, Oka Antara, Artika Sari Devi, Dominique Diyose dan sebagainya. Aplikasi ini resmi dirilis oleh 15 Agustus 2019 lalu oleh startup di bawah nama legal PT Tri Lestari Abadi. Agni Pratistha Kuswardono atau dikenal sebagai Puteri Indonesia 2006 adalah salah satu founder-nya.

“Ini merupakan cara baru untuk memberikan kejutan kepada orang yang disayangi, saat ini orang Indonesia harus kreatif mengemas sesuatu yang tidak biasa. Jadi, dalam merayakan momen, harus perlu totalitas agar hal tersebut menjadi kenangan yang indah,” ujar Agni.

Video ucapan yang didapat dari aplikasi Kaget! nantinya dapat diunduh dan disebarkan melalui medium lain –baik media sosial maupun aplikasi pesan. Saat ini perusahaan juga masih terus menjangkau kemitraan dengan para selebriti untuk melengkapi opsi figur di aplikasi. Setiap pembuatan video ucapan akan dikenakan biaya tertentu.

Tampilan aplikasi Kaget!
Tampilan aplikasi Kaget! di platform Android

Sejauh ini memang belum ada aplikasi seperti itu di Indonesia. Harusnya Kaget! mendapatkan momentum di tengah peningkatan pengguna media sosial di Indonesia. Konten video singkat semacam itu memang tengah banyak diminati, khususnya di kalangan muda. Salah satunya berujung pada banyaknya platform media sosial populer merilis fitur Story di aplikasi.

Application Information Will Show Up Here

Miota Kembangkan Solusi IoT “Smart Metering”

PT Miota Internasional Teknologi (Miota) adalah salah satu perusahaan pengembang solusi berbasis Internet of Things (IoT). Mereka mengklaim telah membuat beragam solusi di berbagai bidang, seperti pertanian, telekomunikasi, kelistrikan dan lain-lain. Di tahun 2019 ini mereka mencoba fokus pada perbaikan budaya perusahaan dan melengkapi anggota tim dengan talenta-talenta berbakat.

Miota awalnya merupakan berusahaan bernama Magnar yang berkantor pusat di Depok, Jawa Barat. Setelah berhasil mendapatkan seed funding pada tahun 2018 silam mereka rebranding menjadi Miota dan pindah kantor ke kawasan Jakarta Selatan.

“Setelah mendapatkan seed funding di tahun 2018 akhirnya Magnar berpindah kantor ke Jakarta Selatan dan mengubah namanya menjadi Miota. Di tahun ini juga kami mengakusisi sebuah perusahaan product design bernama DTech Engineer di Salatiga dengan tujuan strategis,” terang CTO Miota Wawan Wiratno.

Pihak Miota cukup percaya diri menyebut dirinya sebagai penyedia layanan end to end IoT dengan tagline everything talks. Mereka mengembangkan solusi mulai dari desain dan manufakturing, konektivitas, manajemen data, analisis data, hingga machine learning.

Sejauh ini Miota telah mengerjakan beberapa solusi untuk beberapa klien perusahaan. Seperti IoT dashboard untuk weather station, Water Level Radar di Sungai Barito Kalimantan, Automation System untuk Telkomsel, Transformer Box untuk PLN Medan, Monitoring System untuk Dinas Lingkungan Hidup Jakarta, dan lain sebagainya.

Setelah pendanaan dan akuisisi, mereka berusaha mengembangkan produk IoT yang bisa langsung digunakan untuk end user atau masyarakat secara umum.

“Produk unggulan Miota saat ini adalah smart metering untuk pengguna rumahan untuk listrik, air dan gas. Memberikan solusi kepada masyarakat agar dapat memonitor penggunaan energi. Dengan menggunakan teknologi LoRa, produk riset dan MVP saat ini sedang dalam proses pengembangan bekerja sama dengan BUMD sebagai produk percontohan yang berlokasi di Kabupaten Musi Banyuasin, Palembang,” terang Wawan.

Wawan lebih jauh menjelaskan layanan yang sedang mereka kembangkan akan memungkinkan pengguna untuk dapat memonitor dan melakukan pembayaran penggunaan listrik, air dan gas masyarakat. Rencananya juga akan ada aplikasi yang tersedia di perangkat mobile.

Goola Receives 71 Billion Rupiah from Alpha JWC Ventures, to Implement “New Retail” Concept

Alpha JWC Ventures today (8/16) announced investment to Goola, a startup focused on traditional beverages. It was worth up to $5 million or equivalent to 71 billion Rupiah. They provide various beverages, such as doger ice, green bean ice, and many more. Targeting young adult, they’re using “grab-and-go” concept for serving and packaging.

Goola was founded in 2018 by two founders, Kevin Susanto and Gibran Rakabuming. Gibran is well-known as President Joko Widodo’s son and a businessman in the culinary industry. They are currently open five outlets in Jakarta, to develop 100 more after receiving funding until 2020 – in Indonesia also the neighbor cities.

“Goola was first established as a conventional culinary business, then we realize that this can grow bigger once we transformed and start using technology in daily operation,” Susanto said.

“New Retail” Implementation

In addition to the outlets, fresh money will be focused on the new retail implementation. It’ll be realized through the application – the developing process is currently internal.

Goola app design is to maximize online transaction experience no queue, loyalty program, and others. This app also helps to analyze consumer’s habit to constantly improve the services and products.

“The use of technology is one thing, for me, the most important is the ingredients. Our challenge is to take Goola and these local beverages into the global market,” he said.

Susanto added, “If there is any other competitor arise, it will be our market validation. Competitors are the motivation we need to realize Goola mission faster, for they will help us to educate the market on relevant products.”

Prior to the business, Alpha JWC Ventures had first invested on Kopi Kenangan. The key is similar, they are to develop a new retail concept in selling cups of coffee to young adults.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Goola Dapatkan Pendanaan 71 Miliar Rupiah dari Alpha JWC Ventures, Segera Terapkan Konsep “New Retail”

Alpha JWC Ventures hari ini (16/8) mengumumkan penggelontoran investasi kepada Goola, startup yang mengembangkan produk minuman tradisional. Nilainya mencapai $5 juta atau setara dengan 71 miliar Rupiah. Ada beragam produk minuman yang ditawarkan bisnis tersebut, mulai dari es doger, es kacang hijau dan aneka minuman lainnya. Menyasar kalangan muda, mereka mengusung konsep “grab-and-go” untuk pengemasan dan penyajian.

Goola didirikan pada tahun 2018 oleh dua orang founder, yakni Kevin Susanto dan Gibran Rakabuming. Gibran dikenal sebagai pengusaha kuliner yang juga putra pertama Presiden Joko Widodo. Saat ini mereka memiliki lima unit gerai di Jakarta, pasca pendanaan akan targetkan pengembangan 100 gerai hingga tahun 2020 – baik di Indonesia maupun di negara-negara tetangga.

“Goola tadinya didirikan sebagai bisnis kuliner konvensional, namun kami kemudian menyadari bahwa bisa melakukan sesuatu yang jauh lebih besar jika kami mengubah cara bisnis kami dan mulai menggunakan teknologi dalam operasional sehari-hari,” ujar Kevin.

Segera terapkan konsep “new retail”

Selain penambahan gerai, dana investasi yang didapatkan juga akan difokuskan Goola untuk mengimplementasikan pendekatan new retail. Realisasinya ialah dalam pengembangan aplikasi – saat ini proses pengembangannya tengah berjalan di internal.

Aplikasi Goola akan didesain memaksimalkan pengalaman transaksi pelanggan melalui jalur online tanpa antrean, program loyalitas, dan lain-lain. Aplikasi ini juga akan membantu pengelola menganalisis pola konsumsi para pelanggan sehingga dapat terus memperbaiki layanan serta produk yang ditawarkan.

“Penggunaan teknologi adalah satu hal, tapi bagi saya, faktor terpenting tetaplah pada racikan minuman kami. Tantangan kami selanjutnya adalah bagaimana membawa Goola dan minuman lokal ini ke pecinta kuliner internasional,” ujar Gibran.

Kevin melanjutkan, “Jika nantinya ada kompetitor yang muncul, ini akan menjadi bukti validasi pangsa pasar yang kami tuju. Munculnya kompetitor juga sebenarnya akan mendorong kami untuk merealisasikan visi Goola lebih cepat karena mereka akan membantu kami mengedukasi masyarakat mengenai produk sejenis.”

Untuk bisnis dengan konsep serupa, sebelumnya Alpha JWC Ventures juga berinvestasi pada Kopi Kenangan. Prinsipnya sama, mereka akan mengembangkan pendekatan new retail dalam menjual produk minuman kopi kepada kalangan muda.

Gamatechno Rilis Aplikasi Lacakin, “Sport Tracking” Berbasis Komunitas untuk Pengguna dan Penyelenggara Acara Olahraga

Beberapa waktu terakhir, antusias kegiatan “gowes” alias bersepeda meningkat di banyak wilayah, tak terkecuali di seputar Yogyakarta. Tren ini dimanfaatkan baik oleh pengembang layanan digital, salah satunya dengan meluncurkan aplikasi sport tracking. Tak mau kalah, perusahaan penyedia solusi teknologi Gamatechno turut meramaikan dengan meluncurkan Lacakin.

Berplatform Android, aplikasi Lacakin dihadirkan. Pada awalnya dibuat agar memungkinkan pengguna untuk menunjukkan rute dan keberadaannya kepada rekan-rekannya saat bersepeda secara berkelompok. Seiring minat yang meningkat, pembaruan versi 2.0 aplikasi dirilis tahun ini dengan banyak penambahan fitur.

Salah satunya fitur “Activity”, didesain agar pengguna aplikasi dapat membuat aktivitas sendiri secara berkelompok tanpa harus menunggu acara besar. Menurut pemaparan Sr. Business Development Gamatechno Muhammad Reza, ketika pengguna membuat aktivitas akan ada kode aktivitas yang bisa digunakan pengguna lain yang akan mengikuti acara bersama.

Tempat pertemuan, rute, dan posisi rekan-rekan ainnya dapat dilihat ketika aktivitas tersebut dimulai. Penambahan fitur Activity memiliki tujuan spesifik, yakni mengarahkan Lacakin untuk memberdayakan komunitas. Untuk itu, dalam promosinya tim juga banyak menggandeng komunitas pesepeda dan pelari di Yogyakarta.

Versi 2.0 dari aplikasi ini sudah diunduh lebih dari 3000 pengguna. Di versi sebelumnya Lacakin sempat digunakan lebih dari 13 ribu orang.

Sebenarnya, tidak spesifik pada kegiatan bersepeda dan lari saja, sistem Lacakin juga bisa digunakan untuk olahraga lainnya seperti touring komunitas mobil, komunitas motor, dan olahraga lain yang membutuhkan tracking rute.

Mainkan potensi ke ranah B2B

Kedua, aplikasi kini juga memiliki fitur “Back Office” yang dapat dimanfaatkan pengelola acara besar untuk mengakomodasi peserta. Reza menuturkan, inspirasi pembuatan fitur ini berangkat dari adanya selisih data antara peserta yang sudah mendaftar dan membayar. Selisih ini membuat panitia keteteran dan harus melakukan penghitungan manual kembali.

“Semua peserta harus menggunakan Lacakin, karena mulai dari registrasi event, pembayaran biaya race, konfirmasi pembayaran, pengambilan race pack, hingga pembelian merchandise bisa dilakukan di Lacakin,” tutur Reza.

Melalui dasbor yang dikembangkan, panitia dapat mengelola data peserta secara terintegrasi, sehingga panitia tak lagi bekerja dua kali untuk memantau ulang data pesertanya. Fitur ini juga mempermudah penyelenggara untuk men-tracking keberadaan pesertanya. Mereka bisa memantau pergerakan peserta dan melakukan tindakan preventif jikalau peserta sudah mulai keluar jalur race.

“Untuk kerja sama event, panitia harus konfirmasi ke developer untuk mendapatkan akses Back Office, mereka membutuhkan kapasitas dashboard yang besar untuk memantau peserta. Beda lagi dengan aktivitas biasa, mereka bisa memantau lewat smartphone saja,” kata Reza.

Lacakin sudah mendukung enam acara nasional seperti Audax, Jogja 150 Kilometers, hingga Gowes Moedik 2019 lalu.

Selain Lacakin, sebelumnya juga ada aplikasi Gerak yang menjadi versi lokal dari Strava untuk fasilitasi kegiatan olahraga lari. Termasuk menghubungkan pengguna dengan acara-acara besar yang dihelat di sekitarnya.

Application Information Will Show Up Here

Startup Fintech Asal Medan “Top Remit” Hadirkan Platform Online untuk Kirim Uang ke Luar Negeri

Top Remit merupakan startup berbasis di Medan yang mengembangkan layanan online untuk pengiriman uang ke luar negeri. Mereka telah mengantongi perizinan dari Bank Indonesia sebagai perusahaan “Penyelenggara Transfer Dana”.

Didirikan oleh Hermanto (CEO) dan Henry Wirawan (CTO), Top Remit sudah berdiri sejak tahun 2009, kala itu masih melayani konsumennya secara offline. Situs online baru diluncurkan pada bulan Agustus 2018 lalu, karena kebutuhan masyarakat yang semakin mengarah ke digital.

Top Remit adalah perusahaan pengiriman uang ke luar negeri berbasis online pertama di Indonesia. Kami memiliki misi untuk membantu masyarakat mengirimkan uang dengan efisien dalam hal menghemat waktu, transportasi dan biaya pengiriman,” ujar Hermanto kepada DailySocial.

Dengan sistem online, Top Remit menyajikan layanan pengiriman online tanpa dibatasi waktu dan dapat dilacak prosesnya secara real-time. Dalam prosedurnya, biaya dibebankan kepada pengirim, sehingga uang akan diterima penuh tanpa ada potongan apapun. Pengiriman dana dapat dimulai dari nominal terkecil 10 ribu Rupiah.

“Dengan Top Remit pengguna dapat menghemat hingga 80% biaya transfer, jika dibandingkan dengan transaksi melalui bank. Fee dan rate dijamin transparan, tanpa ada biaya-biaya tersembunyi. Jika transaksi gagal, sepenuhnya uang dikembalikan kepada pengirim,” jelas Hermanto.

Dalam melayani pengiriman uang, ada empat fitur utama yang juga disuguhkan Top Remit. Ada “Bank Transfer”, memungkinkan pengirim menambahkan pengaturan agar uang ditransfer langsung ke rekening bank penerima. Selain itu terdapat fitur “Cash Pickup”, penerima dapat mengambil uang melalui agen terdekat.

Fitur “Home Delivery” turut dihadirkan, untuk meminta bantuan khusus mengirimkan uang ke lokasi yang ditentukan. Top Remit juga menjembatani pengiriman yang ditujukan ke akun e-wallet milik pengguna di negara tujuan.

Latar belakang pengembangan sistem

Hermanto turut menuturkan, ada tiga hal yang membuatnya yakni bahwa layanan Top Remit memang dibutuhkan pasar. Pertama, sejauh ini biaya pengiriman uang yang dibebankan bank dinilai cukup mahal. Pada umumnya akan ada tiga biaya yang harus ditanggung ketika ingin mengirimkan uang ke luar negeri, yakni admin fee (sekitar Rp100.000), full amount fee (sekitar $25), dan receiver fee (sekitar $5).

“Kalau dihitung bisa mencapai Rp500.000 untuk sekali kirim. Isunya saat masyarakat ingin mengirimkan uang dalam jumlah kecil, biayanya jadi sangat terasa.”

Kedua, pelayanan manual yang kurang efektif. Khususnya pengalaman founder di Medan, ketika ingin mengirimkan uang melalui Kantor Pos cukup banyak berkas formulir yang harus diisi. Belum lagi jatah menunggu antrean yang bisa saja memakan waktu berjam-jam. Permasalahan ini yang membuat Top Remit menerapkan sistem pendaftaran, sehingga pengguna bisa bertransaksi berkali-kali tanpa harus mengisikan berkas terkait identitas secara berulang.

“Ketiga, ini yang paling nyesek. Seorang Ibu datang jauh dari luar kota ke kantor kami hanya untuk kirim uang senilai Rp500.000 untuk anaknya di Malaysia karena kebutuhan mendesak. Bayangkan saja waktu yang dihabiskan beberapa jam dan biaya transportasi yang habis dalam perjalanan sangat disayangkan. Dari kejadian ini, kami dan tim terdorong untuk membangun sebuah platform online yang bisa membantu orang kirim uang ke luar negeri tanpa harus keluar rumah,” kata Hermanto.

Saat ini sudah cukup banyak negara tujuan yang diakomodasi layanan Top Remit. Berikut daftar beserta flat rate-nya: Bangladesh (Rp75.000), China (Rp100.000), Filipina (Rp75.000), India (Rp75.000), Jepang (Rp170.000), Kamboja (Rp100.000), Malaysia (Rp45.000), Nepal (Rp75.000), Pakistan (Rp75.000), Singapura (Rp75.000), Thailand (Rp120.000), Sri Lanka (Rp100.000), dan Vietnam (Rp90.000).

“Target kami meluncurkan aplikasi di Q3 2019 dan ekspansi negara baru Korea Selatan, Amerika Serikat, Inggris, Kanada, Australia dan Eropa di akhir tahun 2019,” tutup Hermanto.

Memang sejauh ini belum ada platform lokal yang mengakomodasi penuh kegiatan pengiriman uang ke luar negeri –biasanya disebut dengan remitansi. Ada beberapa pemain yang sudah menginisiasi modal bisnis tersebut.

Misalnya LinkAja, mereka secara khusus bekerja sama dengan bank di Singapura untuk dapat saling berkirim dana melalui platformnya. Namun cakupannya baru satu negara. Ada juga RemitPro, namun jika mengamati di situsnya masih belum sepenuhnya optimal digital yang dapat diakses secara perorangan.

Potensi layanan remitansi yang besar turut membawa investor seperti MDI Venture berinvestasi pada startup di bidang tersebut. Akhir tahun 2018 lalu mereka memimpin pendanaan seri C $20 juta untuk Instarem, startup fintech remitansi asal Singapura.