Rekosistem Hadirkan Solusi Pengelolaan Sampah untuk Bisnis dan Rumah Tangga

Sampah adalah produk dari hasil konsumsi, sehingga tidak bisa dieliminasi dari proses kehidupan masyarakat, akan bertumbuh sesuai dengan kemampuan daya beli dan jumlah populasi. Sebagai negara dengan populasi terbanyak ke-4 di dunia, pengelolaan sampah di negara ini dinilai masih jauh dari kata ‘optimal’.

Rekosistem didirikan pada tahun 2018 oleh Ernest Layman dan Joshua Valentino atas dasar kekhawatiran akan masalah pengelolaan sampah di Indonesia. Berawal dari usaha kecil berbentuk UMKM bernama “Kahiji (Khazanah Hijau Indonesia)”, layanan ini berkembang menjadi startup teknologi pengelolaan sampah yang inovatif.

Sesuai dengan namanya, Rekosistem diambil dari dua kata yaitu re-, mengacu pada aktivitas yang mendukung keberlanjutan (sustainability) seperti reuse, reduce, recycle, renewable, serta segala prinsip keberlanjutan lainnya yang diimplementasikan pada produk mereka. Lalu ekosistem, sebagai tujuan dari solusi untuk mendorong perubahan pola hidup menjadi ramah lingkungan dalam menciptakan lingkungan yang lebih baik.

Produk utama yang ditawarkan Rekosistem meliputi Jemput Sampah (Repickup Service) dan Setor Sampah ke Waste Station (Redrop Service). Repickup Service mencakup layanan pengambilan dan penjemputan sampah untuk rumah tangga atau perumahan, bisnis, perkantoran, sekolah, sarana umum, sarana olahraga, dan tempat komersial.

Sedangkan Setor Sampah ke Waste Station adalah inovasi yang diluncurkan sebagai bentuk standar baru fasilitas pengumpulan sampah daur ulang. Rekosistem Waste Station dengan dimensi yang cukup besar dapat menampung sampah daur ulang dalam jumlah banyak dan mendorong masyarakat untuk memulai kebiasaan daur ulang sampah dengan memberikan reward point.

Beroperasi untuk layanan B2B sekaligus B2C, Rekosistem menawarkan jasa jemput dan setor sampah sesuai kebutuhan. Layanan ini berfokus pada penggunaan teknologi dalam aplikasinya, baik melalui web untuk pengambilan sampah secara berkala dari area pemukiman dan tempat komersial; maupun  lewat mobile app untuk pengguna individu yang menyetorkan sampah secara mandiri ke station Rekosistem yang tersedia.

Hingga saat ini, total sampah yang telah didaur ulang sudah melebihi 1.000 ton, berasal dari sekitar 50 korporasi dan 11 ribu rumah tangga. Untuk beberapa layanan Rekosistem masih tersedia terbatas di Jakarta dan Surabaya. Targetnya, tahun ini bisa ekspansi ke 5 kota dan memproses 10x lipat lebih banyak sampah di Indonesia.

Perusahaan memperkenalkan sistem reward point yang diberlakukan untuk per kilogram sampah yang disetorkan. Sampah-sampah dari berbagai titik pengangkutan dan pengumpulan Rekosistem akan dikirim ke Rekosistem Waste Hub (Material Recovery Facility) untuk dipilah menjadi lebih dari 50 kategori. Setiap pilahan sampah akan didistribusikan ke mitra daur ulang Rekosistem untuk diolah lebih lanjut sesuai dengan jenis masing-masing.

Co-Founder & CEO Rekosistem Ernest Layman mengungkapkan bahwa ada tiga hal yang membedakan Rekosistem dengan pemain cleantech lainnya. Pertama, dari sisi proses, perusahaan bekerja sama dengan pemain dari berbagai lini dalam lingkaran pengelolaan sampah yang ada. Lalu, sampah yang diterima juga tidak hanya yang bernilai, namun juga yang tercampur. Terakhir, Ia bersama tim menerapkan langkah edukasi yang sederhana agar bisa masuk ke semua kelas masyarakat.

Ernest yang dulu sempat menjadi pekerja profesional di perusahaan multinasional dan kini alih profesi menjadi wirusahawan sosial ini mengungkapkan, “Misi kami tidak hanya berfokus pada meningkatkan penyerapan sampah daur ulang di Indonesia, namun juga senantiasa memperkenalkan tren pola hidup ramah lingkungan kepada masyarakat.”

Investasi untuk startup berdampak

Seiring banyaknya perusahaan yang mulai bergerak ke arah impact, begitu pula investasi di ranah ini kian meningkat.  Belum lama ini, Rekosistem juga mengumumkan perolehan seed round dari Bali Investment Club serta penandatanganan kerja sama strategis dengan perusahaan asal Jepang, Marubeni, untuk meningkatkan kualitas pengelolaan sampah.

Selain Rekosistem, ada juga Duitin, pengembang layanan digital yang memfasilitasi daur ulang di Indonesia. Startup ini juga masuk sebagai salah satu lulusan Google for Startup Accelerator, program akselerator Google pertama yang diadakan di Indonesia.

Selain itu, Google sendiri juga memiliki inisiatif investasi untuk perusahaan yang bergerak di ranah impact. Melalui lengan nonprofit Google.org, mengumumkan dana kelolaan baru “Sustainability Seed Fund” yang difokuskan pada pendanaan hibah untuk startup impact di kawasan Asia Pasifik.

Perlahan tapi pasti, investasi berdampak  kian tumbuh di Indonesia. Tidak hanya Google, IIF yang dikelola oleh Mandiri Capital Indonesia, merupakan dana kelolaan social impact swasta pertama di Indonesia yang berbasis pada nilai ESG (Environmental, Social, and Governance) dengan tujuan menciptakan kerja sama antar sektor publik dan swasta di dalam industri modal ventura.

Application Information Will Show Up Here

Startup Edtech “Tentorin” Mudahkan Siswa SMA Belajar Bersama Secara Daring

Pendidikan adalah fenomena atau asasi dalam kehidupan manusia, sebab di mana ada kehidupan manusia, bagaimanapun juga ada pendidikan. Ibarat kata, pendidikan adalah hak asasi. Sama seperti hak untuk hidup, hak untuk berpendapat, hak untuk berorganisasi.

Semenjak pandemi, adopsi digital terhadap layanan edtech kian kencang. Proses belajar tidak lagi harus tatap muka secara langsung, tapi mediumnya beralih ke daring. Di tengah nilai lebih dan kurangnya, semangat pemain edtech untuk terus mendemokratisasikan pendidikan tidak kunjung pudar. “Tentorin” hadir menawarkan solusi note-sharing platform untuk siswa SMA, khususnya mereka yang sedang dalam persiapan ujian masuk universitas.

Startup ini dirintis oleh Rafsi Albar (CEO) dan Syahriza Ilmi (CTO) yang memiliki minat mendalam di dunia edukasi. Keduanya bertemu dua tahun lalu di Akademis, startup edtech yang berfokus pada persiapan masuk universitas, saat bekerja sebagai consumer researcher. Saat itu, Rafsi fokus di divisi keuangan, sementara Syahriza di produk digital.

Baik Rafsi maupun Syahriza punya berbagai pengalaman yang saling mendukung satu sama lain. Rafsi pernah bekerja sebagai Investment Analyst di Kejora Capital, Boston Consulting Group, dan Kinobi. Sedangkan Syahriza punya pengalaman sebagai Digital Finance & Business Analyst di Mitsubishi Fuso, Kalibrr, dan ASA Digital. Selain mereka berdua, Tentorin kini memiliki lima karyawan inti lainnya yang memiliki pengalaman beragam, termasuk membangun organisasi dan startup.

“Setelah kami merasa memiliki dasar yang cukup, kami membentuk tim kembali di akhir 2021 untuk berkomitmen lebih dengan membangun startup di bidang edukasi,” ujar Rafsi kepada DailySocial.id.

Sebelum menawarkan solusi note-sharing platform, sebenarnya Tentorin punya ide awal yang berbeda, tapi masih tetap dalam ranah edukasi. Namun keyakinan semakin bulat untuk pivot, setelah beberapa bulan melakukan riset pasar dan testing produk. Ia dan tim ternyata menemukan masalah yang lebih besar, yaitu kesulitan yang dihadapi para pelajar dalam mendapatkan materi pembelajaran yang cocok buat mereka.

“Sebagai contoh, banyak siswa yang merasa bahwa penjelasan dari guru saja kadang kurang untuk dapat mengerti keseluruhan materi. Setelah meriset lebih jauh, ternyata behaviour siswa Indonesia itu gemar berbagi dan belajar bersama teman karena adanya perbedaan penyampaian materi oleh guru dan teman sebayanya.”

Sumber: Tentorin

Solusi Tentorin

Sejatinya, Tentorin baru dirilis pada Maret 2022 atau sekitar tiga bulan lalu dengan produk utama berupa note-sharing platform yang dapat diakses melalui situsnya. Di sana, pelajar dapat mengakses lebih dari 500 catatan pelajar Indonesia yang mencakup materi SMA, khususnya mata pelajaran yang diujikan dalam seleksi masuk universitas, yakni UTBK-SBMPTN dan ujian mandiri.

Sejauh ini, sambungnya, platform Tentorin masih gratis untuk diakses oleh pelajar dari mana pun. Akan tetapi, untuk strategi monetisasi ke depannya, pihaknya sedang menyiapkan fitur live class, pelajar dapat membuat kelas berbayar yang difasilitasi oleh Tentorin. “Untuk mem-posting kelas di platform Tentorin, difasilitasi dari segi pembayaran, dan hal teknis lainnya, tentor (sebutan untuk siswa yang mengajar) diberikan charge.”

Proposisi tersebut menjadi diferensiasi yang paling mencolok antara Tentorin dengan pemain sejenisnya di Indonesia. Pasalnya, Tentorin tidak langsung menyediakan tenaga pengajar in-house. Justru, membangun ekosistem yang berfokus pada pelajar sebagai sumber belajar siswa antara satu sama lain.

Sumber: Tentorin

Dia kembali mencontohkan, di platform Tentorin, terdapat biodata pembuat catatan, seperti akun media sosialnya. Harapannya, Tentorin tidak hanya menyampaikan materi kepada pelajar, tapi juga melibatkan mereka secara aktif dengan memberikan apresiasi terhadap hasil karya mereka. Terlebih itu,  platform tersebut juga memungkinkan untuk mengumpulkan berbagai sumber untuk setiap materinya dengan memberikan lebih banyak opsi kepada pengguna.

“Tentorin juga memiliki Discord yang diisi oleh hampir 1.000 pelajar, setiap harinya kami mengadakan engagement dalam bentuk diskusi yang berhubungan dengan seleksi masuk universitas.”

Konsep peer-to-peer seperti Tentorin ini sebenarnya sudah diterapkan oleh startup edtech skala global, seperti Course Hero, Quizlet, dan Chegg. Masing-masing memiliki nilai lebih dan kurang. Course Hero dan Quizlet adalah platform note-sharing terbesar di dunia, mereka juga memiliki layanan seperti bantuan tugas. Sayangnya, platform tersebut tidak menjangkau pelajar di Indonesia dengan baik.

“Kami melihat ada kebutuhan besar yang tidak terpenuhi. Tentorin mengambil best practice dari para pemain global tersebut dan menyesuaikannya pada konteks dan karakteristik pelajar di Indonesia.”

Rencana berikutnya

Rafsi mengklaim, setelah dua bulan dirilis, Tentorin telah membantu lebih dari 3.500 pelajar yang bersiap menuju universitas. Tak hanya itu, tengah dalam tahap pre-revenue karena fokus mengembangkan pustaka dan basis komunitas pelajar, agar Tentorin mampu menjaring lebih banyak pelajar ke depannya.

Inovasi yang dapat mengakomodasi pembelajaran peer-to-peer berikutnya akan tetap menjadi fokus perusahaan. Pada April kemarin, perusahaan baru merilis fitur pendukung, yaitu fitur koleksi. Fitur ini memungkinkan pengguna untuk menyimpan catatan yang ia suka dalam satu ‘binder’ di sistem Tentorin. Dengan demikian, pelajar dimudahkan mengakses catatan kapan pun mereka butuhkan.

Berikutnya, fitur live class yang sebenarnya sudah mulai diujicobakan sejak Mei kemarin. Untuk target pengguna, Tentorin akan tetap menyasar pelajar SMA. Setelahnya, berencana masuk ke pendidikan formal lainnya. “Jika semua berjalan sesuai rencana, Tentorin akan siap menyambut tahun ajaran baru 2022/2023 dengan memperkenalkan satu atau dua gebrakan baru.”

Untuk status pendanaan, sejauh ini masih berjalan secara bootstrap dengan dana tambahan yang diterima Tentorin berupa hadiah atau hibah. Hibah tersebut diterima saat menerima penghargaan sebagai runner up di Gotcha Competition yang diselenggarakan OCBC NISP Ventura dan Upturn Scale Program.

“Saat ini kami sedang menggalang pendanaan tahap awal dan berencana akan gunakan dana tersebut untuk percepat proses pembuatan produk dan mengembangkan komunitas pengguna Tentorin,” tutup Rafsi.

Ringkas Raih Pendanaan 33 Miliar Rupiah, Digitalkan Proses Kredit Kepemilikan Rumah

Platform kredit hunian digital Ringkas hari ini (31/5) mengumumkan pendanaan tahap pra-awal senilai $2,3 juta atau lebih dari 33 miliar Rupiah. Investor yang berpartisipasi dalam putaran pendanaan ini antara lain 500 Global, Iterative Capital, Creative Gorilla Capital, Teja Ventures, Init-6, serta beberapa founder perusahaan unicorn.

Setelah memutuskan untuk memulai inisiatif baru di tahun 2021, Ilya Kravtsov, yang sebelumnya juga dikenal sebagai founder PouchNATION mencoba mencari solusi yang bisa menyelesaikan masalah besar di Indonesia. Saat itu Ia menemukan bahwa kepemilikan rumah cukup menjadi isu yang banyak dihadapi masyarakat di negeri ini.

Lalu ia bertemu dengan kedua rekannya saat ini, Leroy Pinto dan Yoko Simon yang memiliki latar belakang cukup kuat di dunia teknologi. Leroy pernah bekerja di Google dan Amazon; sementara Yoko sudah berpengalaman 16 tahun di Dell. Ketiganya lalu mengembangkan platform Ringkas dengan tujuan untuk menyederhanakan proses kredit kepemilikan rumah (KPR) untuk ratusan juta rakyat Indonesia.

Ringkas menemukan fakta bahwa penetrasi kredit hunian di Indonesia adalah salah satu yang terendah di dunia dengan total pinjaman perbankan yang setara dengan 3,25% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Selain itu, backlog perumahan Indonesia terus bertumbuh hingga saat ini di angka 11,4 juta unit. Penyebab dari situasi yang menantang ini disinyalir karena 55% tenaga kerja negara lokal di Indonesia terdiri dari pengusaha kecil dan menengah, pekerja lepas, hingga individu tanpa kontrak yang pasti.

“Saat ini, lebih dari 70 juta orang di Indonesia berjuang untuk membuktikan kepada sistem perbankan bahwa mereka saat ini telah memiliki sumber daya keuangan dan layak untuk bisa mendapat hunian, atau lebih dikenal dengan Kredit Pemilikan Rumah (KPR),” ujar Co-Founder Ringkas Leroy Pinto.

Dengan misi untuk bisa memecahkan masalah kepemilikan rumah ini, Ringkas mencoba mendigitalkan keseluruhan proses rantai nilai hingga menciptakan platform cerdas yang mampu menyederhanakan proses kredit hunian dengan menyesuaikan profil pelanggan secara lebih efisien, dan
menargetkan aset yang sesuai standar risiko dari lembaga keuangan.

“Tempat tinggal merupakan sebuah kebutuhan fisiologis dasar yang harus dimiliki oleh siapa pun, kami pun merasa bangga untuk bisa mendukung Ringkas sebagai sebuah tim yang ingin membuka peluang yang luas untuk membantu proses kepemilikan rumah bagi seluruh masyarakat Indonesia dengan memungkinkan akses yang lebih setara pada proses pembiayaannya melalui kemajuan teknologi,”  ungkap Managing Partner 500 Global Khailee Ng.

Dalam waktu 6 hingga 12 bulan mendatang, Ringkas berkomitmen untuk fokus mengembangkan platformnya dan melayani puluhan ribu penggunanya sekaligus meluncurkan platform untuk berbagai inisiatif yang bisa memberikan dampak besar lainnya di wilayah Jakarta dan sekitarnya. Platform ini juga menargetkan ekspansi ke wilayah yang lebih besar seperti Asia Tenggara.

Meskipun begitu, Ringkas menegaskan bahwa platformnya tidak memberikan pinjaman secara langsung. Dalam menyediakan layanan ini, Ringkas berkolaborasi dengan institusi finansial yang menyediakan pinjaman, lalu menerima fee dari setiap transaksi yang berhasil terjadi dalam platform. Namun Ilya juga menambahkan bahwa tidak menutup kemungkinan untuk di kemudian hari bisa menyediakan fasilitas ini secara langsung.

Digitalisasi di sektor properti

Sebelum eksistensi proptech di Indonesia terlihat, ada anggapan bahwa proses pembelian rumah adalah hal yang sulit dan memakan waktu, dan umumnya orang memiliki persepsi bahwa properti harus dapat dilihat secara fisik proses pembangunannya. Namun, seiring perkembangan dunia digital dan para perusahaan teknologi yang memfasilitasi digitalisasi, anggapan ini perlahan pudar.

Menurut laporan Tren Pasar Pasar Properti Lamudi Indonesia pada semester I-2021, tingkat penjualan properti mengalami peningkatan secara tahunan sebesar 36,8 persen dibandingkan tahun sebelumnya meski terimbas oleh pandemi Covid-19. Hal ini menunjukkan bahwa mayoritas pencari properti yakni 36,7 persen berada di dalam kisaran umum 18-35 tahun, dan sektor proptech dapat menstimulasi penjualan properti dengan memikat para pembeli baru.

Terkait pemanfaatan teknologi di sektor properti, Ilya juga mengungkapkan bahwa terdapat jutaan pencari rumah dan lebih dari 12.000 developers di Indonesia. Sementara di sisi lainnya, ada lebih dari 1.200 bank dan lembaga keuangan yang tersedia saat ini. Timnya melihat bahwa salah satu cara rahasia untuk membuka peluang ini adalah dengan memanfaatkan teknologi yang menghubungkan seluruh pemain di industri ini dengan cara yang sangat sederhana, cepat, dan terfokus pada pelanggan.

Beberapa pemain proptech yang ada di Indonesia termasuk Rumah123, 99.co, Rukita, juga Beliruma. Selain itu juga ada Pinhome yang belum lama ini menelurkan program #CicilDiPinhome untuk memfasilitasi masyarakat berpenghasilan rendah dan masyarakat berpenghasilan tidak tetap (Non-fixed Income/NFI) untuk memiliki rumah impian mereka.

Lalu platform fintech pembiayaan properti hunian juga ada Gradana, yang mencoba memudahkan masyarakat dalam mencicil DP atau pembelian rumah.

Pintarnya Ingin Demokratisasi Proses Perekrutan Pekerja Kerah Biru

Pekan lalu, startup pengembang layanan job marketplace Pintarnya mengumumkan pendanaan awal $6,3 juta atau setara 93 miliar Rupiah. Angka yang relatif besar untuk sebuah pendanaan awal, terlebih bisnis yang baru meluncur Mei 2022 tersebut juga bermain di area yang sudah riuh dengan pemain lainnya — baik dari dalam atau luar negeri.

Namun demikian, Nelly Nurmalasari (Co-Founder & CEO) punya hipotesis yang cukup kuat, menegaskan bahwa potensi pasar platform pencari kerja di Indonesia masih besar. Banyak sekali permasalahan yang belum bisa terselesaikan dari inovasi yang ada sebelumnya, terlebih yang menyasar pekerja kerah biru (blue collar).

“Dengan nama Pintarnya, kami ingin mengkomunikasikan komitmen kami untuk selalu memberikan cara yang lebih pintar dalam membantu pengguna melalui solusi digital yang kami tawarkan. Selain itu, ‘Pintarnya’ adalah umbrella brand yang versatile untuk beragam solusi yang akan kami luncurkan sebagai super app untuk pekerja kerah biru,” cerita Nelly saat wawancara bersama DailySocial.id.

Permasalahan yang ingin diselesaikan

Nelly bersama dua co-founder lainnya, yakni Ghirish Pokardas dan Henry Hendrawan, sejak awal memang tertarik untuk mendalami permasalahan perekrutan ini. Kendati demikian, dalam memvalidasi idenya, ketika mereka menceritakan visi dan misi Pintarnya, terdapat beberapa rekanan yang berpendapat ruang lingkup masalah yang dipilih terlalu rumit untuk ditangani. Namun demikian, mereka percaya bahwa lebih penting memilih ruang lingkup permasalahan yang valid dan luas, karena mengindikasikan lebih banyak peluang isu untuk dieksplorasi dan ditangani.

“Maka itu, akhir tahun lalu kami memutuskan untuk mulai bereksperimen ringan (tanpa produk digital, layanan kami tawarkan via Telegram). Setelah menjaring sekitar 14 ribu pengguna dan memvalidasi pain points mereka, kami yakin bahwa Pintarnya memilih isu yang real dan penting bagi kebanyakan pekerja di Indonesia,” imbuh Nelly.

Lebih jelas dijabarkan, pain points bagi perekrut atau pemberi kerja kerah biru cukup konsisten dirasakan berbagai perusahaan termasuk Traveloka yang menjadi tempat berkarier Nelly dan Henry kala itu; ketika tim mereka butuh merekrut tim operasional. Namun, Nelly sendiri merasa lebih dekat mengalami hal ini dalam bisnis sampingan salon rumahan yang dimiliki – ketika menginginkan pegawai baru, maka harus ia memasang iklan pekerjaan, melakukan penyaringan, dan perekrutan pegawai secara langsung sebagai pemilik bisnis.

“Permasalahan ini ada di dua sisi, baik pencari kerja maupun pemberi kerja. Proses supply-demand matching untuk pekerja kerah biru masih belum berlangsung secara efektif,” jelas Nelly.

Di sudut pandang pencari kerja, proses mencari lowongan kerja tidak mudah dan sangat fragmented — banyak dari mereka mencari lewat media sosial maupun terbatas pada rekomendasi dari kenalan mereka. Para pencari kerja juga banyak yang tertipu ketika melamar pada loker palsu yang dipasang online (di situs job marketplace yang tidak memiliki mekanisme kurasi ketat). Selain itu, mereka sering merasa ‘di-ghosting’ oleh HRD atau tim yang merekrut. Setelah melamar, tidak mendengar kabar apa pun, bagaimana status lamarannya.

Sementara itu bagi pemberi kerja, terdapat perbedaan antara usaha yang baru dirintis dengan yang sudah lebih besar, terlebih terkenal. Untuk usaha yang sudah lebih mature, mendapatkan volume lamaran bukan suatu masalah. Setelah memasarkan lowongan kerja di beberapa tempat, biasanya mereka mendapatkan banyak lamaran.

Namun, tidak mudah menyaring pelamar yang sebenarnya memenuhi kualifikasi yang diminta; terlebih mengurutkan mereka. Perekrut juga hanya dapat mengandalkan kejujuran pelamar dalam mengevaluasi mereka, tidak ada cara memverifikasi secara mudah. Lalu, ini semua dilakukan lintas berbagai platform – tidak mudah bagi perekrut. Bahkan, sering kali pencari kerja mencurigai perekrut yang menghubungi langsung lewat Whatsapp/telepon sebagai penipuan karena calon pekerja ini tidak mengingat semua lamaran yang dikirimkan.

Cara kerja platform Pintarnya

Pintarnya menjajakan layanannya melalui aplikasi dan situs web mobile

Pada fase awalnya, Pintarnya mulai dengan memberikan layanan job marketplace. Tujuannya membantu pekerja kerah biru untuk mencari kerja dengan mengumpulkan berbagai penawaran yang lengkap dari berbagai jenis usaha. Untuk memastikan platform tersebut memiliki cakupan yang luas, Pintarnya juga terus meningkatkan kemitraan dengan berbagai perusahaan di Indonesia. Seperti bisnis marketplace lainnya, potensi revenue di model bisnis ini terdapat pada kedua belah pihak: pencari dan pemberi kerja — kendati tidak Nelly ceritakan secara detail.

Terkait cara kerja platformnya, di sisi pengguna Pintarnya menawarkan pelayanan pencarian kerja dari ujung ke ujung. Pengguna terdaftar dapat menggunakan layanan pembuatan CV di platform Pintarnya, kemudian akan mendapatkan rekomendasi atau mencari berbagai lowongan kerja yang sesuai dengan preferensi yang mereka pilih ketika registrasi.

Lowongan kerja yang aman dan terverifikasi di beri tanda dengan perisai hijau. Setelah pengguna mengajukan lamaran pekerjaan, mereka dapat memantau status lamaran mereka sehingga tidak lagi di-ghosting perekrut.

“Selain proses inti pelamaran kerja, kami juga menawarkan berbagai macam Layanan Pintarnya seperti cek gaji, persiapan tes tertulis seperti psikotes dan bahasa Inggris, persiapan wawancara, maupun kalkulator gaji bersih,” tambah Nelly.

Dari sisi perekrut/pemberi kerja, Paintarnya terlebih dulu memverifikasi usaha yang didaftarkan sebelum menayangkan loker di Pintarnya. Mereka juga melakukan kurasi tes penyaringan kandidat sesuai persyaratan minimum lamaran kerja, sehingga dapat memberikan daftar kandidat yang tersaring, bahkan dengan urutan rekomendasi. Pintarnya juga memfasilitasi penjadwalan wawancara untuk kandidat terpilih dari perekrut.

“Selain ini, kami juga tengah mengeksplorasi berbagai layanan lain yang dibutuhkan perekrut bukan hanya ketika mencari pekerja tetapi juga pada tahap akhir pemilihan karyawan maupun onboarding pekerja.”

Menjembatani inklusi keuangan

Tidak dimungkiri, layanan job marketplace saat ini memang banyak ditemui di pasaran. Pun demikian yang melayani pekerja kerah biru. Dari startup lokal sendiri ada beberapa, seperti Lumina, Sampingan, MyRobin, AdaKerja, dan lain sebagainya. Untuk itu penting bagi pemain baru memiliki proposisi nilai yang kuat, sehingga layanannya mampu dilirik oleh pangsa pasar.

Value proposition kami bagi pekerja kerah biru adalah cari kerja dengan lebih mudah, aman, dan cepat. Sedangkan, bagi perekrut adalah cari pekerja dengan lebih mudah, aman, dan cepat,” tegas Nelly.

Ia mengatakan, Pintarnya akan terus mengembangkan inovasi berbagai fitur dengan tema tersebut. Contohnya, pencari kerja di situs dan aplikasi bisa langsung dibuatkan Kartu CV (CV versi sederhana) ketika registrasi sehingga mereka dapat langsung melamar kerja tanpa repot dan secara aman dari berbagai pilihan lowongan pekerjaan yang

Perekrut juga tidak hanya lebih mudah untuk memasarkan lowongan kerja, melainkan mudah dalam menyaring dan mengevaluasi kecocokan kandidat dari spesifikasi kebutuhan yang dipasarkan. Sehingga, perekrut bisa mengisi lowongan dengan lebih cepat. Pintarnya juga akan memberikan beberapa layanan lanjutan seperti verifikasi kandidat, sehingga perekrut juga merasa aman mempekerjakan pegawainya.

Selain itu, Pintarnya juga hendak menginisiasi produk fintech yang terhubung dengan platformnya. Kendati secara roadmap produk belum bisa dibeberkan, namun nantinya unit layanan ini akan ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan hidup pekerja kerah biru, khususnya dalam kaitannya dengan manajemen finansial.

“Topik finansial bisa menjadi permasalahan yang menjerumuskan pekerja dalam hal yang kurang baik, namun juga dapat menjadi motivasi yang efektif dalam peningkatan kinerja mereka. Maka itu, kami berkomitmen sebagai salah satu misi kami untuk memberikan akses produk finansial yang lebih baik bagi pengguna kami.  Untuk roadmap lini fintech, kami belum bisa menceritakan lebih banyak pada saat ini. Namun ini adalah misi yang sangat penting, sehingga kami berencana untuk segera mengeksekusinya,” jelas Nelly.

Untuk realisasi produk fintech tersebut, Pintarnya akan bermitra dengan penyelenggara layanan keuangan digital tertentu. Hal tersebut dimaksudkan untuk efisiensi dalam memberikan pelayanan kepada target pengguna dengan lebih cepat.

“Misi kami yang kedua adalah membantu pengguna kami agar lebih dapat dipekerjakan. Cakupan misi ini cukup luas, namun awal perjalanan kami akan fokus pada pembangunan fitur-fitur yang membantu pekerja kerah biru dalam meng-highlight profil, kualifikasi dan keahlian dirinya sehingga lebih menarik bagi perekrut untuk dipekerjakan. Berikutnya, kami juga tertarik untuk mengeksplorasi beberapa layanan untuk meningkatkan kualifikasi pekerja melalui program kemitraan dengan pemain edutech di Indonesia,” tutup Nelly menceritakan rencana panjang selanjutnya.

Application Information Will Show Up Here

Startup Edtech MySkill Umumkan Pendanaan Awal dari East Ventures

Startup edtech MySkill mengumumkan telah mendapatkan pendanaan awal dari East Ventures dengan nilai dirahasiakan. Didirikan sejak pertengahan 2021, platform yang dikembangkan ingin membantu kaum muda dalam mempersiapkan diri ke jenjang karier melalui produk pembelajaran independen, interaktif, dan privat.

Diklaim saat ini MySkill telah memiliki sekitar 700 ribu pengguna. Adapun untuk layanan yang dijajakan meliputi Mentoring Privat, Bootcamp Interaktif, dan Video E-Learning On-Demand. Konten yang dihadirkan juga beragam, mulai dari pembuatan teknis persiapan karier, pemasaran digital, manajemen produk, sampai dengan pemrograman.

“Pendanaan ini akan mempercepat misi kami dalam mendukung para pencari kerja di Indonesia untuk menggapai karier impian mereka. MySkill hadir dengan solusi inovatif yang memastikan hasil pembelajaran yang lebih baik, di mana akan menciptakan efek domino dalam menghasilkan dampak sosial dan ekonomi yang lebih baik di Indonesia,” kata Co-Founder & CEO MySkill Angga Fauzan.

Selain Angga, startup ini turut didirikan oleh Erahmat (Co-Founder & Chief Business Officer). Kedua co-founder ini menyadari akan kesenjangan keterampilan yang sangat besar antara dunia akademik dan keterampilan yang dibutuhkan di dunia kerja, yang berujung pada banyak orang kesulitan dalam mendapatkan pekerjaan yang layak.

Di Indonesia sendiri sudah ada beberapa layanan serupa, misalnya yang disediakan Binar Academy, ToMu by ProSpark, Kuncie, Skill Academy, Terampil, dan sebagainya. Bahkan pemain seperti Binar atau Hacktiv8 memiliki kemitraan khusus dengan perusahaan untuk menjembatani lulusannya agar memiliki kesempatan lebih besar dalam mendapatkan pekerjaan.

Permasalahan penyerapan tenaga kerja

Penyerapan tenaga kerja memang masih isu fundamental di Indonesia. Di sisi supply, jumlah tenaga kerja yang ada sangat melimpah karena setiap tahunnya ada ribuan sampai jutaan lulusan yang dihasilkan sekolah kejuruan atau perguruan tinggi. Pun demikian dengan demand dari industri, jumlahnya cukup besar setiap tahun. Namun faktanya, banyak pelaku industri yang merasakan kesulitan untuk menemukan talenta yang berkualifikasi.

Studi J.P. Morgan dan Singapore Management University menemukan bahwa salah satu penyebab rendahnya jumlah tenaga kerja berkualitas di Indonesia dikarenakan kesenjangan antara dunia akademik dan industri. Situasi tersebut diperparah oleh pandemi yang akibatnya dirasakan oleh lebih dari 29 juta pekerja di Indonesia, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS).

Dari permasalahan tersebut, banyak pihak mengupayakan adanya match-making antara lulusan universitas dengan kebutuhan industri. Salah satunya seperti yang dilakukan startup edtech seperti MySkill dengan menyelenggarakan pelatihan dengan kurikulum dan mentor yang dihadirkan langsung dari perspektif industri.

“Melihat kesenjangan besar yang dihadapi ketenagakerjaan Indonesia saat ini, kami percaya MySkill dapat membawa lebih banyak pertumbuhan serta dampak ke industri tenaga kerja di Indonesia,” kata Principal East Ventures Devina Halim.

ToMu Kembangkan Platform Marketplace Pelatihan dan Pengembangan Talenta untuk Perusahaan

Dalam sebuah perusahaan, kualitas sumber daya manusia menjadi salah satu aspek yang sangat menentukan kemajuan bisnis. Maka dari itu, banyak perusahaan yang tidak enggan merogoh kocek untuk misi mengembangkan talenta para pekerjanya. Namun, tidak semua perusahaan bisa mengelola dengan baik kebutuhan akan para talenta ini.

Ada banyak sekali platform yang menawarkan pelatihan mandiri, coaching, atau program pengembangan dengan subyek tertentu, sementara sebuah perusahaan memiliki karyawan yang membutuhkan pelatihan di bidang yang lebih bervariasi. ToMu (Toko Ilmu) menawarkan solusi satu untuk semua kebutuhan Learning & Development dalam organisasi untuk meningkatkan kinerja dan produktivitas karyawan guna mempercepat pengembangan organisasi.

Platform one-stop learning & development

ToMu didirikan oleh Alfa Bumhira, yang juga dikenal sebagai Co-Founder & CEO ProSpark, sebuah Learning Management System (LMS) untuk B2B yang memungkinkan perusahaan untuk melatih, melakukan sertifikasi, transfer pengetahuan, dan berkolaborasi. Ia mendirikan ToMu pada awal tahun ini sebagai sebuah marketplace yang menawarkan layanan pembelajaran dan pengembangan baik training, coaching, nurturing dan well-being bersama mentor berpengalaman.

Meskipun solusi marketplace yang ditawarkan lebih menyasar ranah B2C, ToMu memilih fokus ke B2B, mereka juga menawarkan solusi untuk perusahaan bisa memiliki satu platform yang bisa mengelola semua kegiatan terkait L&D. Menargetkan startup, perusahaan ingin menjadi sebuah platform one-stop learning & development (L&D) yang menyediakan layanan seperti learning marketplace, course delivery, sentralisasi manajemen, hingga proses administrasi, dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas data & menjadikannya tolok ukur yang bermanfaat.

Alfa juga menilai bahwa salah satu isu besar yang ada di industri ini adalah banyaknya pelatih atau mentor menghabiskan waktu mereka untuk mengurus hal-hal minor daripada benar-benar melaksanakan pelatihan. ToMu berharap bisa menjadi solusi untuk menghubungkan mentor dengan lebih banyak kesempatan. Hingga saat ini, sudah ada lebih dari 300 mentor yang terdaftar di ToMu yang juga terafiliasi dengan pengembang platform learning management system (LMS), ProSpark.

Platform ini telah berhasil menghubungkan sekitar 20 perusahaan yang membutuhkan layanan training, mentoring, coaching, hingga wellbeing dengan mentor-mentor yang memiliki kapasitas dalam bidangnya.

Solusi yang ditawarkan ToMu saat ini tidak dikenakan biaya apa pun. Perusahaan hanya perlu mendaftar dan memasukkan data karyawannya. Setelah itu mereka bisa menikmati program L&D yang dipersonalisasi untuk tujuan tertentu. Dari situ, perusahaan akan mendapat data real-time yang bisa dikonversi menjadi wawasan baru untuk ditindaklanjuti menggunakan fitur OKR. ToMu juga menawarkan fitur ROI untuk dapat melacak setiap investasi yang telah dilakukan perusahaan.

Rencana ke depan

Untuk saat ini, ToMu fokus untuk mengembangkan solusi marketplace dengan melengkapi dari sisi supply dan demand. Lalu, ke depannya ToMu memiliki misi untuk masuk ke ranah pengelolaan talenta yang lebih serius. “Seiring kami membangun marketplace ini, kami juga berharap bisa membantu perusahaan dalam hal seleksi serta pengelolaan talentanya,” ujar Alfa.

ToMu juga akan segera terintegrasi dengan sistem manajemen pembelajaran ProSpark dan sistem pengelolaan HR perusahaan. Selain itu juga akan mengembangkan layanan ke talent placement dan assessment tools.

Alfa menilai bahwa konsep L&D masih terbilang baru di Indonesia dan peluangnya masih sangat besar. Dalam perhitungannya, pasar L&D di Indonesia bisa mencapai $1,5 miliar per tahunnya. Di Indonesia sendiri, terdapat lebih dari 2500 startup, kebanyakan tidak memiliki divisi L&D.

“Di sinilah peran ToMu akan menjadi penting, untuk bisa mendampingi perusahaan dalam mengembangkan kemampuan terbaik talentanya demi pertumbuhan bisnis yang lebih baik,” tambah Alfa.

Sebagai sebuah marketplace, ToMu bersaing head-to-head dengan Kuncie, diversifikasi lini bisnis operator telekomunikasi, Telkomsel, di ranah edtech. Kuncie memungkinkan penggunanya untuk upskill dan re-skill lewat konten pembelajaran dan melakukan sesi mentoring berbasis on demand melalui aplikasi.

Mimin Hadirkan Aplikasi Manajemen Pesanan, Fokus Menyasar Penjual Segmen Informal

Ketika pandemi mulai melanda di bulan Maret 2020, banyak bisnis yang geliatnya mulai menurun. Namun di masa awal itu, ada banyak juga yang mengambil kesempatan untuk mulai berjualan online lewat media sosial dengan sistem yang lebih informal, alih-alih bergabung di marketplace yang menggunakan sistem lebih formal.

Salah satunya adalah istri dari Joseph Simbar, yang memulai bisnis baru di bantu oleh suaminya sebagai admin. Selama kurang lebih satu tahun membantu mengelola proses pemesanan bisnis istrinya, Joseph menemukan tantangan yang ternyata juga dialami seorang teman bernama Bayu. Hal tersebut adalah proses yang masih manual sehingga ketika volume pesanan meningkat rentan terjadi kesalahan atau miss dalam pengelolaan pesanan.

Berangkat dari isu ini, Joseph dan Bayu pun memutuskan untuk mengembangkan solusi admin pintar yang disebut “Mimin” untuk bisa membantu para seller yang bergerak di segmen informal atau di luar platform marketplace. Menurut Joseph sendiri, peluang di segmen ini masih besar, karena ada banyak penjual yang masih nyaman menggunakan pendekatan conversational untuk menjamah konsumen.

Joseph turut menambahkan, hampir setengah transaksi e-commerce di Indonesia terjadi melalui chat. Riset yang dilakukan Facebook dan Boston Consulting Group pada 1112 responden yang tersebar di Indonesia, menunjukkan 91% masyarakat Indonesia yang disurvei berminat belanja online atau meningkatkan transaksi belanjanya setelah melakukan chat atau percakapan dagang lewat WhatsApp Business atau situs webnya sendiri.

Alasannya, menurut Joseph ada dua hal. Pertama, masalah kepercayaan. Orang Indonesia memiliki preferensi untuk melakukan interaksi terlebih dulu sebelum menentukan reliabilitas. Selain itu, salah satu kebiasaan yang ia temukan di masyarakat adalah ketika sudah berinteraksi di satu platform, enggan untuk berpindah ke platform lain. Sementara dari sisi seller, mungkin selama di marketplace trafik mereka terjaga, namun di sisi lain kompetisi harga sangat ketat.

Mimin sendiri memosisikan diri sebagai aplikasi manajemen pesanan yang fokus menargetkan UMKM, khususnya di segmen informal. Mereka adalah orang yang memiliki bisnis online namun tidak hadir di marketplace seperti Tokopedia, Shopee, Gojek, dan lainnya; serta membutuhkan layanan admin pintar atau smart admin.

Ekosistem Mimin saat ini mencakup proses pengolahan data, manajemen inventaris, pemesanan, pembayaran, dan pelaporan menggunakan kecerdasan buatan (AI) dan otomatisasi, semuanya dalam satu aplikasi. Proses pengolahan data Mimin dapat memproses pesan-pesan dari pembeli menjadi data-data yang relevan untuk digunakan di ekosistem Mimin.

Untuk menggunakan aplikasi ini, para penjual hanya perlu menyalin pesan order via chat lalu teknologi AI Mimin akan secara otomatis membaca dan mengelola pesanan. Lalu penjual akan menerima pembayaran online langsung dan bisa memeriksa harga ongkos kirim serta pesan pengiriman. Selain itu, pengguna juga bisa mendapatkan laporan dan analitik bisnis yang dijalankan.

Untuk proses pengiriman, Mimin juga sudah menyediakan menu pick-up dan delivery dalam aplikasinya. Saat ini sudah bekerja sama dengan sekitar 20 perusahaan logistik, termasuk Gojek, Grab, dan Ninja Xpress. Untuk pembayaran, layanan ini sudah bermitra dengan Xendit, dan masih akan memperluas opsi pembayaran elektronik selain OVO.

Terkait monetisasi, saat ini Mimin tidak menerapkan biaya apa pun alias gratis untuk para UMKM yang ingin mencoba aplikasinya. Namun, di bulan Maret lalu, perusahaan baru saja meluncurkan Mimin Pro yang diperuntukkan untuk usaha menengah yang bisnisnya sudah lebih stabil dengan jumlah pesanan yang lebih banyak. Untuk layanan ini, Mimin menerapkan fee per transaksi yang terjadi dalam aplikasi.

Kolaborasi dengan Bank BJB

Sebagai bagian dari strategi penguatan ekosistem yang fokus menjangkau UMKM di segmen informal, Mimin telah menjalin kerja sama dengan Bank BJB, bank BUMD milik Provinsi Jawa Barat dan Banten. Kerja sama ini memungkinkan pengguna Mimin untuk menerima pembayaran melalui DigiCash, uang elektronik milik Bank BJB, pada aplikasi. Selain itu juga berbagai keuntungan lain yang ditawarkan dalam ekosistem pembayaran melalui BJB seperti penarikan dana real-time.

Joseph juga mengungkapkan bahwa alasan dibalik kerja sama dengan bank BJB, selain sebagai bank regional terbesar, adalah karena fokus nasabahnya yang juga di UMKM. “Secara misi dan target pasar kita sudah sejalan. Selain memungkinkan pengguna menggunakan DigiCash sebagai opsi pembayaran, kerja sama ini juga memungkinkan Mimin untuk menjangkau para nasabah yang membutuhkan solusi smart admin.”

Ia juga mengungkapkan bahwa perusahaan tengah mendekati beberapa bank regional lainnya untuk bisa mereplikasi konsep kerja sama strategis ini. Secara sederhana, perusahaan bisa menawarkan proposisi nilai untuk membantu nasabah sekaligus mengembangkan bisnis mereka. Ia sendiri melihat peluang di sektor ini masih sangat besar, bahwa ada beberapa hal yang memang tidak bisa sepenuhnya bergerak secara daring.

Dari sisi pendanaan, Joseph mengaku bahwa saat ini sudah didukung oleh angel investor. Perusahaan juga sedang dalam proses fundraising. “Harapannya, bisa selesai di akhir tahun ini,” ujarnya.

Mulai beroperasi di bulan September 2021, layanan ini kini sudah tersedia di 124 kota dengan jumlah pengguna yang terdaftar mencapai 30 ribu UMKM. “Target kita saat ini adalah untuk menambah pengguna hingga 100-150 ribu hingga akhir tahun ini. Kita cukup optimis mengingat dalam waktu 6 bulan bisa menggaet 30 ribu pengguna,” tutupnya.

Application Information Will Show Up Here

Aigis Kantongi Pendanaan dari Y Combinator, Init-6, dan Sejumlah Investor Lain

Platform penyedia tunjangan kesehatan pegawai untuk perusahaan Aigis telah mengantongi pendanaan dalam initial round dari sejumlah investor senilai $1 juta atau setara 14,5 miliar Rupiah. Dua investor yang turut terlibat adalah Y Combinator dan Init-6.

Adapun lain yang ikut berpartisipasi dalam putaran pendanaan kali ini adalah Goodwater Capital dan beberapa investor individu seperti Siu Rui (Co-Founder Carousell), JJ Chai (Co-Founder Rainforest), Robin Tan (Co-Founder Hangry), dan Greysia Polii (atlet Indonesia).

Masuknya YC dalam putaran pendanaan tersebut lantaran Aigis berhasil masuk program akselerator global tersebut di cohort W22 (YC W22) ini.

Kepada DailySocial.id, Co-Founder & CEO Aigis Reinhart Hermanus menyebutkan, investasi ini merupakan gabungan beberapa initial round. Tidak ada lead investor untuk putaran kali ini, karena semua deals dilakukan secara mandiri. Demikian juga dengan waktu dan terms yang ada. Namun dirinya menyebutkan Y Combinator dan Init-6 merupakan investor yang memberikan kontribusi paling besar untuk putaran pendanaan kali ini.

Masih fokus kepada wilayah Jabodetabek, rencananya dana segar tersebut akan digunakan oleh perusahaan untuk membangun versi awal produk dan mengakuisisi pelanggan. Fokus perusahaan saat ini lebih kepada eksekusi, belum ada rencana khusus untuk menggalang dana lanjutan dalam waktu dekat.

Menurut Venture Partner init-6 Rexi Christopher, Aigis dapat menjadi quick win solution untuk mendukung perusahaan memberikan manfaat kesehatan terbaik bagi pegawai dengan cara yang lebih sederhana dan lebih terjangkau. Mereka percaya bahwa solusi yang ditawarkan oleh Aigis dapat membantu perusahaan untuk meningkatkan keterlibatan dan retensi pegawai, serta mengurangi biaya.

“Terlepas dari ukuran sektornya, asuransi dan tunjangan pekerjaan secara umum masih sangat sulit untuk dilakukan dengan baik. Kami percaya Aigis dapat memberikan pengalaman yang jauh lebih baik bagi perusahaan dan pegawai,” kata Partner Init-6 Nugroho Herucahyono.

Fokus kepada UMKM dan startup

Aigis didirikan oleh Reinhart Hermanus, Philip Moniaga, dan Sebastian Yaphy. Mereka melihat akses ke layanan kesehatan adalah kebutuhan dasar setiap orang, dan mereka masih melihat bahwa pengalaman asuransi kesehatan di Indonesia masih jauh dari ideal.

“Asuransi kesehatan bagi perusahaan adalah wajib di Indonesia, dan dengan fakta bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia mendapatkan manfaat kesehatan dari tempat bekerja (melalui BPJS, asuransi swasta, atau manfaat kesehatan yang didanai sendiri), kami memulai perjalanan kami dengan membantu perusahaan memberikan kesehatan terbaik manfaat bagi karyawan mereka,” kata Reinhart.

Perusahaan-perusahaan Indonesia masih kurang terlayani oleh startup insurtech yang ada, dan sebagian besar fokus mereka lebih kepada menjual asuransi umum kepada individu. Aigis kemudian mencoba mengambil pendekatan yang berbeda, di mana lebih fokus pada penyediaan layanan kesehatan lengkap untuk perusahaan daripada berfokus pada distribusi atau menjadi pasar asuransi.

“Kami menyediakan program kesehatan dengan tim dokter yang berdedikasi (dokter umum, konselor mental, ahli gizi, pelatih kebugaran, dan banyak lagi) yang dapat diakses dengan mudah oleh anggota kami. Kami juga membantu klaim asuransi dan memberikan manajemen penggantian untuk membuat proses lebih sederhana dan lebih cepat.”

Application Information Will Show Up Here

Platform Pencarian Kerja “Atma” Segera Debut, Kantongi Pendanaan Awal 73 Miliar Rupiah

Platform pencarian kerja Atma mengantongi pendanaan tahap awal (pre-seed) sebesar $5 juta atau sekitar 73 miliar Rupiah. Pendanaan ini dipimpin oleh AC Ventures serta didukung oleh Global Founders Capital (GFC).

Selain itu, sejumlah pendiri turut berpartisipasi sebagai angel investor strategis, di antaranya dari GoTo Group, Advance Intelligence Group, Ula, Lummo, Kopi Kenangan, Sampoerna Strategic, MMS Group, dan Xiaomi.

Sebagai informasi, Atma didirikan di 2022 oleh sejumlah eks petinggi perusahaan teknologi, yaitu Edy Tan (eks Chief of Driver Gojek), Chris Gunawan (eks Co-founder RestoDepot dan Product Executive Vara), Susan Suhargo (eks Strategic Initiatives Tencent dan Regional Marketing Gojek), Tim Young (eks investor Atlas Asset Management dan Fixed Income Trader HSBC), dan Monica Oudang (Ketua YABB-GoTo Foundation dan eks CHRO Gojek yang menjabat sebagai penasihat).

Atma merupakan platform pencarian kerja berbasis komunitas yang membidik para pencari kerja berpenghasilan menengah ke bawah (kurang dari Rp10 juta per bulan), terutama segmen usia produktif di Indonesia. Atma berupaya membangun ekosistem secara end-to-end yang mencakup pasar kerja, lembaga peningkatan keterampilan, dan sistem dukungan berbasis komunitas.

Saat ini layanan Atma masih belum dirilis ke publik. Kendati di situs resminya mereka sudah menjaring calon pengguna tahap awalnya.

Terinspirasi pengalaman bekerja bersama driver

Co-founder & CEO Atma Edy Tan mengaku terinspirasi mendirikan startup baru ini dari pengalamannya bekerja sebagai eksekutif Gojek yang menangani komunitas driver. Ia melihat dampak sosial dari layanan Gojek yang mampu menciptakan lapangan pekerjaan di sektor informal ke 2,5 juta driver di Indonesia.

Dengan misi serupa, Edy ingin menjangkau populasi yang lebih luas dan mencakup sektor formal. Untuk itu, pendanaan ini akan digunakan untuk mendukung pengembangan kualitas produk dan layanan, menjalankan strategi go-to-market, dan memperluas jumlah tim mereka hingga akhir tahun ini.

Sementara itu, Founder dan Managing Partner AC Ventures Michael Soerijadji mengungkap ada lebih dari 100 juta pekerja aktif yang berpenghasilan menengah ke bawah menghadapi inefisiensi signifikan dalam mencari pekerjaan yang tepat dan sesuai keahlian dan preferensi mereka.

“Atma dapat membantu pemberi kerja melakukan seleksi pelamar dengan kualifikasi lebih relevan serta memberi peluang pengembangan karier lewat sertifikasi atau pelatihan tambahan. Atma akan mendefinisikan kembali pengalaman mencari kerja,” tutur Michael.

Selain Atma, saat ini ada sejumlah platform job marketplace lain yang juga beroperasi. Salah satunya Lumina yang baru mendapatkan pendanaan awal dari Y Combinator dan Alpha JWC Ventures awal Januari 2022 lalu. Selain tu ada juga Sampingan, MyRobin, Glints, dan lain sebagainya.

Inefisiensi proses pencarian kerja

Lebih lanjut, Edy menilai ada sejumlah masalah yang kerap dialami oleh para pencari kerja di segmen berpenghasilan menengah ke bawah. Padahal, digitalisasi telah berkembang secara masif di Indonesia.

Pada kegiatan rekrutmen, misalnya, ada inefisiensi yang signifikan di mana prosesnya memakan waktu panjang, dimulai dari pembukaan lowongan pekerjaan, seleksi kandidat, wawancara, hingga penerimaan kandidat. Situasi ini tak jarang membuat calon pekerja merasa terabaikan dalam waktu yang lama.

Bahkan ia menilai kemunculan internet sekalipun belum mampu menghadirkan inovasi yang dapat menjadi solusi menyeluruh terhadap permasalahan ini. “Para pencari kerja di segmen ini menggambarkan pengalaman mencari kerja sebagai sesuatu yang membawa trauma emosional. Sementara perusahaan mendeskripsikan pengalaman mencari kandidat sebagai proses random walk,” ungkapnya.  

Dari pain point tersebut, Atma ingin menghadirkan solusi produk berskala besar untuk mendefinisikan kembali proses pencarian kerja. Atma membangun produk untuk mengubah pengalaman pencari dan pemberi kerja secara keseluruhan dengan menggunakan elemen inti berbasis kemudahan, interaktivitas, sociability, personalisasi, dan gamifikasi.

“Kita sedang memasuki era teknologi berbasis komunitas di mana segala sesuatu yang kita lakukan terpengaruh oleh individu ataupun sekelompok orang. Komunitas memberikan identitas, rasa memiliki, koneksi, dukungan dan pertumbuhan bagi para pencari kerja,” tutup Edy.

Mengenal “LoveCare”, Platform Marketplace Jasa Profesional Kesehatan

Layanan home care atau pelayanan kesehatan di rumah mengalami peningkatan yang cukup pesat belakangan ini. Home care dinilai memberikan lebih banyak kemudahan bagi pengidap suatu kondisi medis tertentu untuk mendapatkan perawatan kesehatan tanpa perlu pergi ke rumah sakit. Layanan ini dinilai dapat membantu meningkatkan kesehatan masyarakat yang mempunyai keterbatasan ekonomi untuk biaya rawat inap di rumah sakit.

Kebutuhan akan tenaga perawat selalu ada, namun pada kenyataannya tidak mudah mendapatkan tenaga perawat yang sesuai dan memiliki kapasitas yang tepat. Hal ini menjadi ide awal dikembangkannya LoveCare, sebuah marketplace yang menyediakan jasa profesional kesehatan, seperti perawat, caregiver, dan babysitter.

Platform ini lahir dari pengalaman pribadi para founder, serta keinginan untuk melayani dan membuat perubahan di sektor layanan kesehatan.

“Saya mendapat inspirasi ketika saya pertama kali mengenal kata paliatif, yaitu pelayanan kualitas hidup pada pasien terminal yang tidak hanya memerlukan medical treatment tetapi mereka membutuhkan pelayanan holistik yang memakai hati” ujar Veronica Tan, salah satu Founder LoveCare.

Menangkan UN Women Care Accelerator

Didirikan pada tahun 2019, aplikasi ini telah menjadi wadah yang memberikan dampak nyata bagi para keluarga Indonesia dengan menghubungkan dan mencocokkan penyedia jasa medis maupun nonmedis dengan pengguna jasa berdasarkan kebutuhan, lokasi, dan preferensi secara aman, cepat, dan nyaman. LoveCare juga berhasil memenangkan UN Women Care Accelerator pada tahun 2021.

“Saya dan tim di Lovecare ingin membuat usaha yang tidak hanya menyelesaikan problem, mendapatkan laba, namun juga usaha ini harus bisa memberikan kontribusi kepada masyarakat. Berupa membuka lapangan pekerjaan dengan tenaga kerja serta sumber daya manusia yang mentalnya terdidik dan terlatih dengan baik,” tambah Veronica.

Dalam menjalankan layanan ini, LoveCare juga memiliki beberapa tantangan seperti kurasi menyeluruh untuk bisa menyediakan tenaga perawat yang cocok mengingat mereka akan mengemban tugas yang vital dalam upaya mengelola kualitas hidup keluarga. Selain itu, masing-masing pelanggan memiliki kebutuhan dan preferensi yang berbeda-beda, mulai dari medis dan nonmedis, juga durasi.

“Ada juga yang mau pekerja (perawat) menguasai kompetensi tertentu, termasuk juga preferensi gender, usia dan budget tertentu. Di sisi lain, setiap mitra petugas pun unik, memiliki kompetensi, preferensi bekerja dan latar belakang yang berbeda-beda. Dulu kami harus satu-persatu cek dan tanya mitra dan bolak balik konfirmasi dengan customer. Hal itu sangat  tidak efisien,” tambah CEO & CTO LoveCare Susan.

Untuk bisa melewati tantangan ini, LoveCare menggabungkan konsep standarisasi dan personalisasi untuk menyediakan penawaran yang tepat. Terdapat standarisasi proses rekrutmen untuk para mitra terkait kompetensi mereka, preferensi lokasi dan jangka waktu, serta level dan fee-nya. Para pengguna layanan ini akan otomatis mendapat rekomendasi sesuai kebutuhannya pada saat pemesanan melalui aplikasi.

Dari segi kurasi, ada tiga faktor penting yang wajib dimiliki mitra LoveCare, yaitu Kompetensi, Mental, dan Hati (KOMET). Terdapat ribuan tenaga pelayanan medis ataupun nonmedis dari berbagai wilayah Indonesia yang mendaftar menjadi mitra LoveCare, namun yang lolos tes hanya 20%. Saat ini ada 200 mitra yang tersebar di lebih dari 50 kota dan kabupaten Indonesia yang terdiri dari, caregiver sekitar 40%,  perawat 30%, babysitter 7%, dan selebihnya dokter, bidan, dan terapis.

Platform ini juga menyediakan program training tambahan untuk mitra caregiver yang ingin meningkatkan kompetensi mereka. Selain kompetensi dasar dalam merawat klien, pengetahuan lain seperti hospitality, service excellence, dan komunikasi juga menjadi materi dari program ini.

Melalui visi dan misinya, LoveCare ingin terus berkembang menjadi marketplace yang terpercaya bagi keluarga Indonesia untuk terhubung dengan perawat, caregiver, dokter, dan babysitter lokal melalui aplikasi. LoveCare berkomitmen untuk memberikan kesempatan sukses yang sama kepada semua karyawan dan mitra, tanpa memandang jenis kelamin mereka dan membantu mereka belajar dan berkembang secara profesional.

Industri homecare di Indonesia

Layanan home care sendiri sebetulnya bukan hanya menawarkan solusi untuk mereka yang membutuhkan pelayanan kesehatan tetapi juga bagi para tenaga kesehatan yang membutuhkan pekerjaan dan pemasukan tambahan. Hal ini terkait masih rendahnya apresiasi dan standar gaji yang diterima perawat di Indonesia saat ini. Selain itu, besarnya lulusan perawat saat ini dinilai tidak sebanding dengan peluang kerja dan kesejahteraannya.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, jumlah perawat di Indonesia mencapai 511.191 orang pada tahun 2021. Jumlah ini disebut meningkat 16,65% dari tahun sebelumnya yang sebesar 438.234 orang. Sebaran perawat yang masih belum merata juga memungkinkan terjadinya ketimpangan layanan kesehatan di sejumlah daerah di tanah air.

Di Indonesia sendiri, sudah ada beberapa perusahaan yang menawarkan solusi serupa  seperti Homecare24, MHomecare, juga Perawatku yang fokus jembatani kebutuhan tenaga perawat.

Application Information Will Show Up Here