Upaya Bindcover Efisienkan Proses Bisnis Asuransi untuk Perusahaan

Bindcover adalah platform insurtech yang mencoba memberikan kemudahan untuk pialang dan perusahaan asuransi untuk dapat saling terhubung.

Inspirasinya datang ketika Victor Roy selaku Founder & CEO Bindcover datang mengunjungi London tahun 2018. Di sana ada Lloyd’s, yakni sebuah market asuransi/risiko terbesar di dunia — konsepnya mirip bursa, hanya saja difokuskan untuk prospek asuransi. Di dalamnya mempertemukan broker/pialang asuransi dan perusahaan asuransi. Dari sana Lloyd’s mampu mengakomodasi berbagai kebutuhan asuransi yang unik, mulai dari asuransi kapal Titanic sampai produk kendaraan listrik masa kini seperti Tesla.

Namun ketika mendalami proses bisnisnya, Victor melihat ada potensi digitalisasi yang dapat memberikan efisiensi. Ketika perusahaan hendak melakukan placement, dokumen yang harus disiapkan dan dibawa sangat banyak — bertemu secara face to face. Proses tersebut masih dirasa manual, komputerisasi hanya dilakukan pada tahap pencatatan.

Founder & CEO Bindcover Victor Roy / Bindcover

Pada saat pulang ke Indonesia, tercetuslah ide untuk Lloyd’s versi digital untuk menjadi wadah bagi pialang dan perusahaan untuk menjalankan bisnisnya. Di pasar lokal pun, berdasarkan pengalaman Victor di industri asuransi sejak 2004, ia melihat bahwa ketika bisnis besar (terkenal dengan asuransi kebakaran) menginginkan produk asuransi prosesnya tidak bisa semudah mencari asuransi mobil atau jiwa. Misalnya untuk asuransi yang mampu meng-cover jaminan kecelakaan kebakaran di suatu pabrik — risiko tersebut unik dan perusahaan penyedia asuransi biasanya harus melakukan kalkulasi kustom untuk mengakomodasinya.

“Contohnya ada orang punya pabrik furnitur, ketika ingin mendapat produk asuransi kebakaran biasanya isu pertama yang dihadapi mereka bingung harus menghubungi siapa, ketika datang ke situs perusahaan asuransi pun kadang tidak bisa dihubungi untuk berdiskusi intens, bahkan tidak sedikit yang kesulitan mencari tahu perusahaan mana yang mau menyediakan produk asuransi tersebut karena kayu itu termasuk risiko tinggi. Ketika sudah dapat pun, kadang perhitungan harga juga tidak transparan — sulit mencari pembanding, karena risikonya unik,” jelas Victor.

Ia melanjutkan, “Begitu dapat pialang atau agen, biasanya dokumen yang harus disiapkan banyak sekali, mulai dari legalitas PT, ukuran bangunan, produksi dll. Dan ketika sudah selesai pemberkasannya, untuk dapat harga biasanya bisa memakan waktu berbulan-bulan. Itulah pain point-nya, entri datanya susah, cari datanya susah, negosiasinya kompleks, harganya tidak transparan, hingga kapasitasnya kurang.”

“Dan pain point paling penting sebenarnya saat proses klaim. Karena jika kita melihat di situs, produk asuransi berlomba menjadi yang paling murah, padahal yang terpenting adalah bagaimana mereka menangani klaim,” imbuhnya.

Solusi yang dihadirkan Bindcover

Saat ini Bindcover telah tercatat dalam Inovasi Keuangan Digital di OJK untuk klaster Insurance Broker Marketplace. Sesuai yang didefinisikan OJK, Insurance Broker Marketpalce adalah platform bersama yang bersifat tertutup dan diperuntukkan untuk komunitas badan usaha berizin asuransi; mulai dari pialang asuransi/reasuransi dan perusahaan asuransi/reasuransi.

Model bisnis insurance broker marketplace / OJK
Model bisnis insurance broker marketplace / OJK

Di dalam platform web Bindcover, terdapat banyak pialang dan perusahaan yang bisa mendaftar. Pialang dapat mengunggah berbagai prospek klien dengan risiko-risiko unik di dalamnya, kemudian perusahaan asuransi bisa melihat dan menimbang untuk memfasilitasi kebutuhan tersebut. Semua proses administrasi tercatat dan didokumentasikan di platform — baik dari sisi pialang yang mengunggah data klien ataupun perusahaan yang mengelola transaksi. Tujuan utamanya, Bindcover ingin menjadi layanan “satu pintu”.

Fitur lain yang turut disuguhkan memungkinkan antara pialang dan perusahaan asuransi melakukan negosiasi di platform. Hal ini dinilai Viktor menjadi aspek penting karena terkait kepatuhan — bisnis asuransi adalah salah satu yang diregulasi ketat. Komunikasi yang disajikan pun menyeluruh. Misalnya, seorang pialang yang mengunggah profil risiko di platform bisa mengetahui perusahaan mana saja yang mengunduh data tersebut dan kapan, sehingga dapat melakukan follow-up lebih lanjut. Biasanya kalau melalui email atau telepon menjadi kurang terstruktur pencatatannya.

Bindcover juga tengah mengembangkan teknologi berbasis AI untuk menyediakan data pendukung dalam proses penilaian risiko suatu bisnis. Misalnya dengan melakukan crawling data-data dari internet yang relevan terkait dengan bisnis tertentu yang akan menjadi klien asuransi. Namun untuk saat ini manajemen risiko memang masih manual, baik pencatatan data dan analisisnya — khususnya untuk risiko yang nilainya besar.

Sudah dapat pendanaan pre-seed

Saat ini model bisnis Bindcover adalah B2B. Lebih lanjut Victor menceritakan, mereka punya dua revenue stream yang dijalankan. Pertama, mengenakan biaya per polis dengan nilai yang bergantung dari premi yang berhasil di-underwriting. Untuk polis yang bernilai di bawah 2 juta, Bindcover tidak mengenakan biaya.

Sementara model kedua, ada sharing fee dari pialang yang mendapatkan inquiry klien dari Bindcover. Tidak dimungkiri, dengan adanya layanan digital beberapa perusahaan juga mencoba memesan kebutuhannya melalui Bindcover. Namun demikian, karena bukan pialang (tidak memiliki lisensi broker), yang biasa dilakukan ialah meneruskan inquiry tersebut ke mitra yang terdaftar di platformnya.

“PT kami berdiri akhir 2018. Setahun setelahnya kami masih terus mencari bentuk dan mengembangkan platform, hingga pada Februari 2020 mendapatkan izin IKD dari OJK. Sayangnya setelah siap beroperasi malah dihadapkan dengan pandemi. Namun demikian di Juli 2020 soft-launching tetap diadakan. Setelah satu tahun berjalan, angkanya tidak jelek, sampai akhir Juli 2021 ada 18 perusahaan pialang yang masuk ke Bindcover dari total 159 yang ada; lalu ada 22 perusahaan asuransi dari 70 general insurance company yang ada di Indonesia. Secara bisnis yoy juga peningkatannya sampai 100%, ” ujar Victor.

Bindcover juga sudah mendapatkan pendanaan pre-seed pada Juli 2021 lalu dari Loyal Ventures yang berbasis di Kanada. Awal tahun 2022 ini perusahaan juga mulai melakukan penggalangan dana untuk mengakselerasi bisnis yang tengah dikerjakan.

“Selain itu tahun ini kami mau memastikan ke regulator bentuk yang lebih firm dari model bisnis ini, agar memiliki standpoint yang lebih jelas. Karena 2022 ini kami berencana ekspansi partnership ke B2B2C, salah satunya dengan masuk ke ekosistem finansial menggandeng perbankan. Selain itu, kami juga akan berkolaborasi dengan startup yang memiliki basis pengguna UMKM,” imbuh Victor.

Mantap bermain di segmen bisnis

Di saat insrutech lain berlomba memenangkan pasar konsumer dengan menghadirkan produk asuransi mikro atau digitalisasi keagenan, Bindcover memilih fokus ke segmen bisnis. Victor punya alasan kuat terkait hal ini.

“Saat ini GDP rata-rata kita $4000 per tahun, dari penghasilan yang ada belum ada kebutuhan untuk memiliki asuransi. Jarang ada orang yang nilai membeli asuransi tanpa di paksa. Selain dari sisi income, literasi finansial berkaitan dengan asuransi masih sangat rendah, kalau tidak salah di kisaran 14%. Bagi saya ini sulit, apalagi jika ingin masuk ke pasar yang lebih mikro di daerah. Mungkin momentumnya di beberapa tahun lagi. Sementara untuk segmen bisnis, secara mendasar kebutuhan proteksi bakalan ada; dengan daya beli yang stabil juga,” ujarnya.

Victor juga mencoba melihat dari kebutuhan pasar di global, platform ini berpotensi untuk dibawa ke kancah regional. Pasalnya kondisinya saat ini baru ada 70an perusahaan asuransi dan 5 perusahaan reasuransi di Indonesia. Saat kapasitasnya kurang, maka pemain dari luar dapat masuk ke Indonesia. Ini akan menjadi fokus berikutnya dari Bindcover, mengembangkan reasuransi — saat ini juga masih mengeksplorasi perizinannya. Menarinya ke beberapa negara aksesnya juga sudah terbuka, misalnya Jepang, Australia, dan Amerika Serikat yang akan memudahkan saat melakukan ekspansi bisnis.

VCGamers Secures 37.3 Billion Rupiah Funding, Introducing Social Commerce and NFT for Games

VCGamers is a social commerce platform for gamers. The company recently announced to reach a $20 million valuation or equivalent to 287.4 billion Rupiah. Previously, in mid-2021, VCGamers has secured a $2.6 million seed funding or equivalent to 37.3 billion Rupiah, led by BEENEXT and Rans Ventures – the venture capital unit owned by celebrities Raffi Ahmad and Nagita Slavina.

A number of angel investors participated in the funding, including Ari Fadyl (Google APAC’s executive) and Jerry Soer (VP of Collab Asia).

“VCGamers aims  to become an all-in-one home and platform for gamers, and to provide economic empowerment for small businesses and entrepreneurs in the gaming ecosystem. We are fully committed to building a platform that can serve the needs of all gamers in Indonesia and the region,” the Co-Founder & CEO, Isya Sony Subrata said .

Isya founded VCGamers along with Hartanto, Ibnu Anggara, and Wafa Taftazani. Wafa recently announced his new startup Upbanx has received $5.2 million and currently participating in the Y Combinator program. He was previously known as the founder of Modal Rakyat and also an angel investor for several startups.

After the funding, VCGamers will accelerate product development, grow the business, and plan to expand into Southeast Asia. VCGamers is currently under PT Sotta Teknologi, with its headquarter in Bekasi, West Java.

Currently they offer services through a web platform. The game players can buy and sell various items/assets/currencies used in a gaming ecosystem. Developed as a hub, VCGamers  allows users to connect with each other, including hosting events such as tournaments or creating an esports team.

Entering the NFT ecosystem

Furthermore, VCGamers will enter the Web3 game. Today (07/1) they will conduct a debut offering for the VCG token which will later become one of the transaction support assets in the social commerce. In addition, VCG is designed to revive the NFT gaming ecosystem, including for trading game items and assets. Its total supply reaches 100 million, operating on top of the Binance platform.

A social commerce-based approach is considered relevant to animate transactions in the gaming business.It is due to many items are obtained by individuals – and can be traded to other users. VCG can provide support for a better transaction process, especially if it succeed in penetrating the regional market – especially for cross-border transactions which is more affordable.

In the area of asset and gaming item marketplace, VCGamers is not a solo player. There is also itemku which is also Bukalapak’s subsidiary. The market value of the gaming industry in Indonesia is projected to reach 24.4 trillion Rupiah last year. It is projected to continuously increase as more mature business models are applied to the business ecosystem — particularly driven by the development of esports businesses.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Komitmen Arutala Percepat Implementasi Teknologi Imersif untuk Bidang Edukasi

Sebelum istilah metaverse ramai dibicarakan, banyak pihak yang skeptis dengan pemanfaatan teknologi imersif di kehidupan sehari-hari. Selain karena butuh riset yang lama, dulu industri ini butuh perangkat yang harganya tidak murah. Faktor-faktor tersebut menyebabkan minimnya use case di lapangan.

Meskipun begitu, pesona di balik cabang teknologi yang fokusnya mendekatkan manusia dengan benda digital ini, berhasil menangkap perhatian Indra Haryadi dan Ambar Setyawan untuk merintis Arutala pada 2019 di Yogyakarta. Sebagai catatan, teknologi ini memungkinkan manusia untuk beraktivitas dan bereaksi di dalam dunia digital. Virtual Reality (VR), Augmented Reality (AR), Mix Reality (MR), PC Simulator, hingga 360° Video adalah bagian dari teknologi imersif ini.

“Saya bertemu Ambar saat testing produk Oculus Quest yang saya dapat saat mengunjungi F8 di 2019. Ia punya background yang cukup kuat di dunia imersif. Singkat cerita, akhirnya kami sepakat untuk mendirikan PT Arutala Digital Inovasi. Kami banyak traction dan use case hingga sekarang,” terang Co-Founder & CEO Arutala Indra Haryadi saat dihubungi DailySocial.id.

Salah satu nilai yang ingin dikembangkan Arutala adalah teknologi imersif ini dapat memberikan solusi di berbagai lini kehidupan, salah satunya pelatihan yang bersifat high risk dan high cost. Setelah melakukan riset dan mengamati pola kebutuhan klien, disimpulkan bahwa pelatihan yang paling relevan dengan tantangan tersebut adalah bidang medis dan engineering base.

“Dengan menciptakan ruang baru melalui teknologi VR dan AR, kita dapat menekan angka risiko dan biaya di pelatihan pada kedua sektor tersebut untuk mencapai hasil yang optimal. Sektor kesehatan sendiri berisiko tinggi bagi pelatihan tenaga kesehatan sejak pandemi Covid-19.”

Implementasi teknologi imersif

Meski fokus pada pelatihan, perusahaan tetap membuka peluang untuk mengembangkan di sektor lainnya. Beberapa teknologi pengembangan tersebut, di antaranya adalah drone passenger VR untuk Frogs Indonesia, virtual store VR untuk Ecodoe, automotive virtual web, Gamelan VR, hingga Artda, yakni lagu dan tarian nasional anak-anak dalam bentuk AR hasil kolaborasi dengan Lab Sarisworo yang didukung oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).

Saat ini, Arutala bermitra dengan tujuh institusi pendidikan dari tingkat SMK hingga perguruan tinggi dan lebih dari 25 pengembangan produk. Salah satu pengguna B2B Arutala adalah Universitas Gadjah Mada (UGM) untuk Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK). Dalam praktikum memandikan pasien untuk perawat, itu memerlukan SOP yang panjang.

Saat mengembangkan kebutuhan tersebut di tahun lalu, Arutala mendesainnya menyerupai konsep metaverse yang diusung Facebook. Yang mana, ruangan praktikum dibuat persis sama dengan realita dan para peserta dapat berinteraksi satu sama lain di dunia digital, melalui perangkat Oculus.

Sebagai catatan, Arutala resmi bergabung dalam program Oculus Independent Software Vendor (ISV) pada 2020. Oculus merupakan anak perusahaan dari Meta yang membuat dan mengembangkan produk alat VR seperti Oculus Quest, Oculus Rift, dan Oculus Go. Melalui kerja sama ini, Arutala memiliki peluang untuk berkolaborasi langsung dengan tim dari Oculus dan membantu adopsi VR di Indonesia maupun kawasan Asia Pasifik.

“Tahun lalu para perawat sudah menggunakannya untuk pengajaran dan terus kami lakukan pengembangan. Kami cukup senang dengan ini karena kami ingin menciptakan dampak dari apa yang kami lakukan.”

Selain UGM, klien Arutala lainnya adalah perusahaan prinsipal alat berat dari Myanmar, startup yang ingin terjun ke pengembangan produk berbasis AR, dan lainnya. Ia pun optimis bahwa ke depannya akan semakin banyak perusahaan yang berani untuk terjun ke dunia imersif, didukung oleh pandemi yang mengakselerasi penggunaan teknologi digital.

Dalam monetisasinya, di tengah era early adopter, yang mana membuat industrinya masih dalam tahap eksplorasi, maka salah satu model bisnis di Arutala adalah custom development. Jadi, baik Arutala maupun klien B2B, sama-sama mencari tahu solusi yang efektif dari masalah yang dihadapi klien. Begitu industri sudah lebih siap dan banyak use case yang bisa diteliti, maka akan membuka lebih besar kemungkinan bagi Arutala untuk menggali lebih banyak strategi monetisasi lainnya.

Ke depannya, untuk memasarkan lebih banyak use case dengan menggunakan teknologi imersif, Indra akan terus mengedepankan aspek riset sebagai bagian utama dari Arutala, perbanyak use case di berbagai industri, dan edukasi pasar. “Kita akan meneruskan riset dari sebelumnya orang belum kenal metaverse, tapi kita sudah buat. Berani investasi lebih banyak untuk riset adalah kunci untuk bersaing dengan negara lain. Dengan semangat itu, kami ingin Indonesia tidak ketinggalan,” tutupnya.

Dengan semangat riset, Indra pun membuka kesempatan bagi pihak-pihak yang berani dan tertarik dengan teknologi imersif pada masa depan. Arutala merupakan salah satu portofolio dari venture builder UMG Idealab sejak 2020. Mereka menyuntik dana tahap awal untuk Arutala dengan nominal dirahasiakan.

VCGamers Dapat Pendanaan 37,3 Miliar Rupiah, Hadirkan Platform Social Commerce dan NFT untuk Game

VCGamers merupakan sebuah platform social commerce untuk pemain game. Baru-baru ini mereka mengumumkan telah mencapai valuasi $20 juta atau setara 287,4 miliar Rupiah. Sebelumnya pada pertengahan tahun 2021 lalu, VCGamers membukukan pendanaan awal senilai $2,6 juta atau setara 37,3 miliar Rupiah yang dipimpin oleh BEENEXT dan Rans Ventures — unit usaha modal ventura milik selebriti Raffi Ahmad dan Nagita Slavina.

Sejumlah angel investor turut berpartisipasi dalam pendanaan tersebut, di antaranya Ari Fadyl (eksekutif Google APAC) dan Jerry Soer (VP Collab Asia).

“Tujuan VCGamers adalah menjadi rumah dan platform all-in-one bagi para gamer, dan untuk memberikan pemberdayaan ekonomi bagi usaha kecil dan pengusaha di ekosistem game. Kami berkomitmen penuh untuk membangun platform yang dapat melayani kebutuhan semua gamer di Indonesia dan regional,” ujar Co-Founder & CEO Isya Sony Subrata.

Selain Isya, VCGamers turut didirikan Hartanto, Ibnu Anggara, dan Wafa Taftazani. Wafa sendiri baru-baru ini juga mengumumkan startup barunya Upbanx yang telah mendapatkan pendanaan investor $5,2 juta bebarengan dengan keikutsertaannya ke dalam program Y Combinator. Ia juga sebelumnya dikenal sebagai pendiri Modal Rakyat dan menjadi angel investor di sejumlah startup.

Pascapendanaan ini, VCGamers akan mengakselerasi pengembangan produk, menumbuhkan bisnis, dan merencanakan ekspansi ke Asia Tenggara. VCGamers sendiri bernaung di bawah PT Sotta Teknologi, memiliki markas pusat di Bekasi, Jawa Barat.

Saat ini mereka menjajakan layanannya melalui platform web. Di sana para pemain game dapat membeli dan menjual berbagai item/aset/mata uang yang digunakan dalam sebuah ekosistem permainan game. Dikembangkan menjadi sebuah hub, VCGamers juga memungkinkan antarpengguna untuk saling terhubung, termasuk untuk mengadakan sebuah acara seperti turnamen atau membuat tim esports.

Masuki ekosistem NFT

Rencana berikutnya yang akan segera dimatangkan, VCGamers akan masuk ke permainan Web3. Hari ini (07/1) mereka akan melakukan penawaran perdana untuk token VCG yang nantinya akan menjadi salah satu aset penunjang transaksi di social commerce milik mereka. Selain itu VCG juga didesain untuk menghidupkan ekosistem NFT game di dalamnya, termasuk untuk memperjual-belikan item dan aset game. Total suplainya mencapai 100 juta, berdiri di atas platform Binance.

Pendekatan berbasis social commerce juga dinilai relevan untuk menghidupkan transaksi dalam bisnis game. Pasalnya item-item game memang banyak didapat oleh individu –dan dapat diperjual-belikan kepada pengguna lain. VCG dapat memberikan dukungan untuk proses transaksi yang lebih baik, apalagi jika nantinya VCGamers berhasil menembus pasar regional – khususnya untuk transaksi cross-border yang lebih terjangkau.

Di ranah marketplace aset dan item game sendiri VCGamers tidak sendiri, sejumlah pemain telah masuk di kawasan ini. Salah satunya itemku yang saat ini menjadi anak perusahaan dari Bukalapak. Nilai pasar industri game di Indonesia diproyeksikan telah mencapai 24,4 triliun Rupiah pada tahun lalu. Diproyeksikan akan terus meningkat seiring dengan model bisnis yang makin matang diaplikasikan pada ekosistem bisnis tersebut — khususnya didorong perkembangan pebisnis esports.

Atur Toko Bantu UMKM Kelola Usaha di Marketplace, Sediakan Teknologi dan Layanan Menyeluruh

Bertujuan untuk meminimalisir biaya saat memasarkan dan menjual produk mereka, platform e-commerce enabler Atur Toko, hadir menawarkan teknologi dan layanan kepada UMKM. Kepada DailySocial.id, Co-Founder & CEO Atur Toko Bagus Dewantara mengungkapkan, berawal dari sebuah proyek lalu muncul ide untuk kemudian mengembangkan teknologi yang relevan kepada UMKM guna memperluas kanal penjualan mereka.

Berangkat dari hipotesis tersebut bersama dengan pendiri lainnya yaitu Christiono Hendrawan, Asfar, dan Ricky Erri Thoiffur dibuat software sendiri agar bisa digunakan untuk merchant lebih banyak lagi.

Atur Toko resmi meluncur tahun 2019 lalu. Saat ini mereka telah memiliki sekitar 5 ribu merchant dan 200 brand yang tersebar di seluruh Indonesia. Secara khusus Atur Toko membantu optimalisasi penjualan brand dengan Team Brand Manager dari platform untuk mengelola strategi penjualan produk di marketplace.

Selain menyediakan teknologi Atur Toko juga menyediakan layanan pendukung. Di antaranya adalah tim fulfillment, store management, hingga gudang yang dikelola sendiri.

“Bisa dibilang platform kami sangat komprehensif secara end-to-end membantu mereka yang baru mulai berjualan hingga brand besar untuk mendorong pertumbuhan bisnis,” kata Bagus.

Produk unggulan Atur Toko

Saat ini teknologi Atur Toko telah terintegrasi dengan enam marketplace besar di Indonesia. Sistem yang terintegrasi memungkinkan UMKM untuk memonitor tokonya di berbagai platform marketplace hanya dengan satu dashboard; termasuk mendapatkan data penjualan, stok produk, layanan branding, pinjaman modal, hingga chatboard.

Terdapat tiga produk unggulan yang bisa dipilih oleh pengguna. Di antaranya adalah AturToko+, omnipos dan Buat Toko+. Masing-masing memiliki layanan yang bisa dimanfaatkan oleh penjual baru hingga brand besar.

Untuk saat ini produk yang paling banyak dipilih oleh pengguna adalah AturToko+. Salah satu alasan mengapa makin banyak pengguna memilih produk yang bisa membantu pengguna memasarkan produk mereka dengan bantuan dari tim Atur Toko adalah, agar mereka bisa lebih fokus kepada produksi dan memastikan barang berkualitas.

“Selain itu kami melihat makin banyak di antara mereka yang ingin memiliki kanal penjualan lebih luas lagi dengan biaya yang rendah. Sementara saat ini kebanyakan di marketplace biayanya cukup tinggi dengan besarnya potongan yang dibebankan kepada mereka. Jika ada kanal penjualan lain dengan biaya yang rendah tentunya akan lebih membantu mereka,” kata Bagus.

Bagi mereka penjual baru yang belum memiliki produk bisa bergabung bersama dengan Atur Toko menjadi Drop Ship. Hanya dengan memasarkan semua katalog yang berasal dari brand UMKM yang bergabung dengan Atur Toko, mereka bisa mendapatkan penghasilan tambahan sebagai penjual.

Untuk memudahkan pengguna melakukan pembayaran disediakan pilihan yang bisa dikustomisasi. Meskipun sebagai platform Atur Toko mengedepankan komputasi awan (cloud) namun disediakan pilihan lain untuk mempermudah mereka mengelola bisnis. Ke depannya Atur Toko juga akan mengenakan biaya tahunan untuk pengguna.

“Saya melihat layanan ini bukan one model fit for all ada beberapa variasi model yang kami hadirkan meskipun hanya sedikit pilihannya. Fokus utama kami ke depannya adalah komputasi awan,” kata Bagus.

Gudang e-commerce dan rencana penggalangan dana

Tim dan manajemen Atur Toko / Atur Toko

Bekerja sama dengan pemerintah daerah, Atur Toko mendirikan gudang e-commerce untuk pengembangan UMKM. Gudang e-commerce memungkinkan pelaku UMKM untuk berfokus pada produksi saja sementara Atur Toko akan mengelola keseluruhan proses dan meningkatkan penjualan UMKM. Mulai dari foto produk, manajemen media sosial, kebijakan harga, media pengemasan produk, hingga proses pengiriman kepada pembeli.

Sepanjang tahun 2021, Atur Toko telah berhasil melakukan inisiasi dengan beberapa Pemda untuk menggagas kerja sama pendirian gudang e-commerce bagi UMKM Binaan Pemda. Di antaranya di daerah Garut, Gorontalo, Bekasi, Kalimantan Barat, dan Mojokerto. Di tahun 2022, Atur Toko menargetkan untuk melakukan penetrasi ke 20 Pemerintahan Daerah.

“Selain dapat menyimpan semua produk dari UMKM, Gudang E-commerce Atur Toko juga berfungsi sebagai tempat pelatihan bagi pelaku UMKM yang ingin mengembangkan bisnis. Harapannya kami bisa mengawal usaha mereka, setelah mereka selesai melakukan pelatihan dengan Atur Toko,” kata Bagus.

Setelah menjalankan bisnis secara bootstrap, saat ini Atur Toko telah mengantongi pendanaan awal yang diperoleh dari angel investor. Rencananya pada kuartal pertama tahun 2022 ini, perusahaan akan melakukan penggalangan dana tahapan lanjutan.

Sebelumnya perusahaan mengklaim sempat dilirik oleh dua perusahaan teknologi Indonesia untuk kemudian diakuisisi. Namun demikian karena tidak adanya kesepakatan di antara kedua belah pihak, proses akuisisi tersebut tidak dilanjutkan.

“Tujuan kami sejak awal adalah bisa menciptakan supply chain dengan biaya yang rendah untuk supplier. Yang menarik dari social commerce adalah, semua biaya bisa sangat rendah karena memanfaatkan kanal seperti media sosial untuk berjualan, sehingga mereka bisa fokus kepada penyediaan produk yang bagus dan dari sisi logistik bisa memuaskan untuk pelanggan,” tutup Bagus.

Mengenal Aplikasi Spotgue, Bantu Transformasi Mal dengan Teknologi

Akhir tahun menjadi momen yang tepat untuk bisa bepergian bersama keluarga. Salah satu tempat yang bisa digunakan untuk menghabiskan waktu bersama dengan banyak pilihan kegiatan adalah pusat perbelanjaan atau mal. Pengunjung memiliki banyak pilihan aktivitas mulai dari outlet belanja, restoran, supermarket, gym, dan lainnya. Namun, padatnya pengunjung di mal menyisakan permasalahan, seperti lahan parkir yang terbatas atau tempat makan yang full booked.

Melihat permasalahan ini, Founder & CEO Gerry Hasang Spotgue bersama dengan beberapa teman alumni Universitas Tarumanagara berinisiatif mengembangkan sebuah solusi dengan kombinasi teknologi dan gaya hidup mal untuk menghasilkan pengalaman unik. Spotgue memungkinkan pengunjung, tenant, dan pihak mal berinteraksi secara real time dan terintegrasi atau yang disebut sebagai “Mall 4.0 Experience“.

“Sistem reservasi berbasis teknologi menjadi solusi di kondisi ramai di mana pengunjung bisa melakukan reservasi atau waiting list secara aplikasi dan melihat status antreannya dan ketika dipanggil mendapatkan notifikasi di HPnya,” ujar Gerry.

Aplikasi Spotgue akan membantu pengunjung mal untuk melihat ketersediaan area parkir mobil, menandai posisi parkir, mendapatkan rekomendasi dari virtual assistant, melakukan reservasi/waiting list restoran dan layanan favorit. Selain itu, pengguna juga bisa melakukan pemesanan makanan di resto (dine in) secara contactless, menemukan berbagai informasi terkait kupon dan diskon, serta berinteraksi langsung dengan pihak mal maupun tenant.

Dari sisi model bisnis, Spotgue menyediakan berbagai fitur basic yang dapat digunakan 15 mal pertama secara gratis dan bisa digunakan oleh seluruh tenant. Selain itu, platform ini juga menawarkan fitur premium berbayar yang menyediakan laporan analisis terkait perilaku dan preferensi pengunjung atau konsumen sebagai bahan evaluasi mal.

Gerry juga mengungkapkan, “Adapun kami sangat menghargai privasi pengunjung, sehingga semua data analytic sifatnya aggregate dan tidak ada data pribadi yang diberikan. Misalnya, komposisi pengunjung mal A terdiri dari pria dan wanita, rentang usia, domisili, preferensi toko, dll.”

Penawaran gratis diberikan mengingat kondisi pandemi yang sempat memukul industri ritel. Harapannya, solusi ini dapat membantu bisnis ritel kembali pulih. “Itulah mengapa kami memberikan kuota 15 mal pertama di setiap wilayah. Jabodetabek memiliki kuota sebanyak 8 mal, sementara Bandung, Surabaya, Jateng/Jogja, Bali, Medan, dan 2 kota lainnya yang mempelopori masing-masing mendapat kuota 1 mal,” tambah Gerry.

Spotgue menargetkan mal-mal berukuran medium-high beserta seluruh tenant dan pengunjung reguler yang ada di dalamnya. Kesepakatan ini bersifat official partnership, sehingga ketika mal sudah memutuskan bekerja sama, semua tenant akan langsung bisa mendapatkan manfaatnya.

Saat ini, strategi akuisisi yang digunakan Spotgue adalah dengan menawarkan ke mal dan grup perusahaan, mengingat sejumlah grup besar yang memiliki mal di berbagai daerah. Contohnya, Living World ada di Alam Sutera, juga ada di Pekan Baru, serta Living Plaza yang sudah hadir di berbagai wilayah.

Soft launching

Pada bulan November lalu, Spotgue telah mengadakan soft launching di Mal Artha Gading dan Living World Alam Sutera. Ini adalah hasil dari kesamaan visi perusahaan dan mal bahwa ke depannya, pengunjung mal harus bisa merasakan pengalaman yang sedemikian rupa. Timnya juga sudah mencoba menggandeng beberapa mal lainnya.

Pada public preview ini, pengunjung bisa mengakses berbagai fitur yang ada di aplikasi Spotgue, mulai dari informasi produk dan promosi tenant, kegiatan atau acara yang sedang berlangsung, informasi semua fasilitas yang tersedia untuk pengunjung hingga fitur untuk melihat ketersediaan parkir. “Tujuannya adalah untuk kemudahan dan kenyamanan pengunjung dalam mendapatkan semua informasi terkait Living world Alam Sutera.” jelas Adrian Pranata, General Manager Living World Alam Sutera.

Terkait proses verifikasi dan integrasi, semua merchant sudah tercakup dalam aplikasi Spotgue berdasarkan data yang disusun oleh Mal. Namun, informasi dasar seperti lokasi, jenis, atau nama biasanya tidak cukup untuk pengunjung yang menginginkan lebih, seperti info promo, produk terbaru, diskon, acara dan lain sebagainya. Hal ini harus dikelola secara dinamis.

Spotgue memiliki 3 jenis aplikasi: Spotgue Visitor, Spotgue Tenant, dan Spotgue Building (untuk pengelola mal). Melalui fungsi dari masing-masing aplikasi, proses pengkinian informasi dari tenant tidak lagi tersentralisasi ke pihak mal, namun dapat dilakukan secara mandiri dan terdistribusi oleh masing-masing tenant.

Spotgue juga mendukung sistem grouping of tenant, sehingga tenant atau penjual dari group yg sama dapat melakukan mirror content dari salah satu outlet di group tersebut dan pengunjung akan melihat informasi yang sama di semua outlet lainnya. Dalam upaya mencapai hal ini, tim Spotgue harus melakukan sosialisasi, training, membantu proses setup di lebih dari 700 tenant dari mal-mal tersebut.

Transformasi mal 4.0

Industri ritel modern merupakan salah satu sektor yang cukup terpukul akibat pandemi Covid-19. Banyak dari para pemain nasional yang menorehkan penyusutan kinerja di sepanjang tahun 2020. Termasuk di dalamnya para pemain ritel lokal yang cakupan gerainya masih di beberapa daerah saja. Bahkan tak sedikit dari peritel modern lokal yang terpaksa menutup sebagian bahkan seluruh gerainya dikarenakan kondisi ekonomi yang tidak mendukung.

Gerry mengungkapkan bahwa salah satu tujuan dikembangkan platform ini adalah untuk mendukung visi Presiden dalam transformasi industri ritel. Pihaknya juga tengah mencoba untuk membangun kolaborasi dengan APPBI (Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia) dan HIPPINDO (Himpunan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia) untuk bisa berkontribusi dan mendukung transformasi lebih banyak mal lagi.

Salah satu hal yang cukup menarik dibahas terkait transformasi mal 4.0 ini adalah fitur virtual assistant yang ditawarkan oleh Spotgue. Fitur ini diberi nama Ask Alice, yang membangun sistem rekomendasi baik untuk kado, makanan atau pakaian. Sebagai virtual assistant, Ask Alice dikembangkan secara internal oleh tim Spotgue yang terdiri dari mahasiswa-mahasiswi terbaik di jurusan Teknologi Informasi Universitas Tarumanagara.

“Namun, di tahap awal ini, Alice belum mengenal preferensi dan perilaku spesifik dari pengguna. Setelah ia punya cukup banyak data, maka kita bisa ajarkan untuk menghasilkan rekomendasi yang semakin personal dan relevan,” sebut Gerry.

Dari sisi pendanaan, saat ini Spotgue masih menggunakan skema bootstrap dari shareholder awal. Nantinya, untuk mendukung ekspansi ke berbagai kota dan jumlah mal yang lebih besar, timnya akan mencari partner investor dan venture capital yang bisa mendukung visi tersebut.

“Kami punya mimpi besar, untuk bisa memperluas cakupan layanan ke seluruh Indonesia, Asia, bahkan dunia. Target kami saat ini adalah untuk mendukung transformasi setidaknya 25-50 mal dalam 1 hingga 2 tahun ke depan,” ungkap Gerry.

Application Information Will Show Up Here

JaPang Provides Grocery Supply Chain Innovation to Focus on Outside Java

The huge opportunity to disrupt the system of providing rice, chicken and eggs as staple food for the community has inspired Jaringan Pangan (JaPang) to present a breakthrough in the distribution system empowered by technology. In particular, JaPang serves lots of customers outside Java for its product and technology services. This startup officially launched in April 2021, targeting the B2B segment.

Jaringan Pangan Indonesia’s Founder & CEO, Benny Tjong said to DailySocial that the reason they focus on rice, chicken and eggs is because the products has a large volume. For rice alone, the market opportunity is recorded at around $22 billion per year.

“Aside from volume basis, these products are not easily rotten. Rice is guaranteed as a lifetime product, while we sold frozen chicken, it can stay longer. Likewise for eggs, which mostly have at least 30 days shelf life from its laying,” Benny said.

Partnership with local farmers

In order to provide these products, JaPang has established partnerships with local farmers. It is expected to give them direct access to the target market, which is still difficult. At least 350 rice farmers have joined, 100 chicken farmers and 20 chicken egg farmers. JaPang also has 45 B2B clients in various cities.

“We also sell complimentary products such as cooking oil and sugar. We developed our private label for all of these products. These products are also complementary to basic food products,” Benny added.

Focusing on cities outside Java, JaPang claims to have covered most cities in Kalimantan. They also target Sulawesi, Maluku and Papua. In particular, JaPang has several revenue streams, B2B for distributors and agents, as well as B2B2C specifically for retail and their flagship initiative, “Jawara” (JApang WARung RAkyat).

Jawara for B2B2C

In addition to bridging the distributors and agents needs, JaPang helps them distribute and sell all products. Apart from having partners in various areas and even in several cities that are included in the primary city category, JaPang will open its own depot, all of which are managed by the JaPang team. This is related to the company’s next step to develop the B2B2C segment, Jawara.

“We present Jawara for SMEs by creating a social impact for those novice entrepreneurs who want to star a business. In terms of capital, we will provide capital in the form of stock by selling rice, eggs and chicken,” Benny said.

He added that they also partnered with several financial institutions to provide capital. It is expected that more partners from other financial institutions will join JaPang to help the Jawaras.

This latest initiative is still concentrated in the Greater Jakarta area. However, JaPang targets to expand throughout Indonesia in the future. In the first quarter of 2022, they target to reach around 10 thousand Jawaras.

In order to simplify the process, JaPang will be managing the launched depots. In the future, the it can be functioned as a dark store (that only serves online transactions) and will adopt an omnichannel strategy for pick up or delivery. Currently, JaPang has 5 depots in Jabodetabek and 5 others outside Java.

“Currently, we have reached more than 100 Jawaras in Jabodetabek and it is estimated to reach 500 this month. In January 2022, Jawara is to expand to Surabaya, followed by other big cities,” Benny said.

Fundraising plan

To date, JaPang has secured seed funding with a total value of $500 thousand or equivalent to 7.1 billion Rupiah. This amount is a combination of the founders’ investment and fresh funds from several angel investors. In order to accelerate business growth and expansion plans, JaPang is currently in the process of finalizing the pre-series A fundraising. If it goes well, JaPang will announce the news at the end of January 2022.

In addition to fundraising, JaPang is currently developing an app. It has been launched for B2B clients, but since it is still difficult to adopt them online, this app is currently available for internal. In the future, JaPang will develop an app for all partners to buy products, as well as for Jawara and the end consumers.

“It’s not exclusive for Jawara, buyers will be able to find out where the nearest Jawara is. Everything is currently under development forthe app,” Benny added.

In 2022, JaPang will focus on introducing Jawara to the wider market. This includes acquiring more Jawaras, especially those who are affected by the pandemic and want to earn additional income by joining Jawara. The logistics development alone is part of the company’s roadmap. They are currently utilizing third party logistics.

“Our focus remains on B2B and Jawara clients, as well as how we can have food security and help SMEs have economic resilience,” Benny said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

JaPang Hadirkan Inovasi “Supply Chain” Produk Bahan Pangan, Fokus di Luar Jawa

Besarnya peluang untuk mendisrupsi sistem penyediaan beras, ayam, dan telur sebagai bahan pangan pokok masyarakat, dimanfaatkan oleh Jaring Pangan (JaPang) untuk berinovasi menghadirkan terobosan sistem distribusi yang diberdayakan teknologi. Secara khusus JaPang banyak melayani pelanggan di luar Jawa untuk layanan produk dan teknologi mereka. Menyasar segmen B2B, startup ini resmi meluncur bulan April 2021 lalu.

Kepada DailySocial.id, Founder & CEO Jaring Pangan Indonesia Benny Tjong mengungkapkan, alasan mereka untuk fokus kepada beras, ayam, dan telur adalah karena memiliki volume yang sangat besar. Untuk beras sendiri tercatat dalam peluang pasar bisa mencapai sekitar $22 miliar per tahunnya.

“Selain basis volume,  kami melihat produk tersebut memiliki ketahanan dalam waktu yang cukup lama. Untuk beras sudah terjamin sebagai lifetime product, sementara untuk ayam karena kami menjual dalam bentuk beku bisa memiliki daya tahan yang lama. Demikian juga untuk telur, yang kebanyakan memiliki daya tahan selama 30 hari semenjak bertelur,” kata Benny.

Jalin kemitraan dengan petani lokal

Untuk menyediakan produk tersebut, saat ini JaPang telah menjalin kemitraan dengan petani lokal. Harapannya bisa memberikan akses langsung mereka kepada target pasar, yang selama ini masih sulit untuk dilakukan. Sedikitnya sudah ada 350 petani padi yang bergabung, 100 peternak ayam, dan 20 peternak telur ayam. JaPang juga telah memiliki 45 klien B2B di berbagai kota.

“Kami juga menjual complimentary product seperti minyak goreng dan gula. Semua produk tersebut kami buat sendiri mereknya melalui private label. Produk tersebut turut melengkapi menjadi produk sembako,” kata Benny.

Fokus kepada kota-kota di luar pulau Jawa, saat ini JaPang mengklaim telah menjangkau sebagian besar kota di pulau Kalimantan. Pulau lain yang juga disasar di antaranya adalah Sulawesi, Maluku, hingga Papua. Secara khusus JaPang memiliki beberapa revenue stream, yaitu B2B untuk distributor dan agen, juga B2B2C khusus untuk ritel dan inisiatif unggulan mereka, “Jawara” (JApang WArung RAkyat).

Kembangkan Jawara untuk B2B2C

Selain menjembatani kebutuhan distributor dan agen, JaPang juga turut membantu mereka mendistribusikan dan menjual semua produk. Selain sudah memiliki mitra di berbagai area dan bahkan sudah ada di beberapa kota yang masuk dalam kategori primary city, JaPang akan membuka depo sendiri yang semuanya dikelola sendiri oleh tim JaPang. Hal tersebut diklaim ada kaitannya dengan beberapa strategi ke depan perusahaan untuk mengembangkan segmen B2B2C yaitu Jawara.

“Jawara kami hadirkan untuk pelaku UKM dengan menciptakan suatu social impact untuk mereka yang ingin memiliki usaha tapi tidak mengetahui bagaimana cara memulainya. Bagi mereka yang tidak memiliki modal akan kita berikan modalnya dalam bentuk stok dengan berjualan beras, telur dan ayam,” kata Benny.

Ditambahkan olehnya, untuk pembiayaan modal selain disediakan oleh JaPang sendiri, mereka juga bermitra dengan institusi finansial untuk menyediakan pilihan tersebut. Harapannya akan lebih banyak lagi mitra institusi finansial lainnya yang bergabung dengan JaPang membantu para Jawara.

Inisiatif baru ini masih terkonsentrasi di wilayah Jabodetabek. Namun ke depannya JaPang menargetkan akan memperluas hingga ke seluruh Indonesia. Harapannya pada kuartal 1 tahun 2022 mendatang bisa merangkul sekitar 10 ribu Jawara.

Untuk mempermudah proses, nantinya JaPang akan mengelola depo-depo yang akan di buka sebelumnya. Depo tersebut ke depannya juga akan berfungsi sebagai dark store (konsep toko ritel yang hanya melayani transaksi secara online) dan akan mengadopsi strategi omnichannel yang bisa diambil langsung atau diantar. Saat ini JaPang telah memiliki 5 depo di Jabodetabek dan 5 lainnya di luar pulau Jawa.

“Saat ini jumlah Jawara di Jabodetabek sudah mencapai 100 lebih jumlahnya dan diperkirakan akan mencapai 500 Jawara bulan ini. Bulan Januari 2022 mendatang rencananya Jawara akan merambah Surabaya, dilanjutkan dengan kota-kota besar lainnya,” kata Benny

Rencana penggalangan dana

Saat ini JaPang telah mengantongi pendanaan awal dengan total nilai $500 ribu atau setara 7,1 miliar Rupiah. Jumlah tersebut merupakan gabungan investasi para pendiri dan dana segar dari beberapa angel investor. Untuk mempercepat pertumbuhan bisnis dan memperluas rencana ekspansi, JaPang saat ini tengah dalam proses finalisasi penggalangan dana pra-seri A. Jika sesuai dengan rencana, dana segar tersebut bisa dikantongi oleh JaPang akhir bulan Januari 2022.

Selain penggalangan dana, JaPang juga masih mengembangkan aplikasi. Untuk saat ini aplikasi klien B2B sudah diluncurkan, namun karena masih sulitnya untuk mengadopsi mereka secara online, aplikasi tersebut masih digunakan secara internal. Ke depannya JaPang akan mengembangkan aplikasi yang bisa digunakan semua mitra untuk membeli produk, demikian pula untuk Jawara dan end consumer.

“Bukan hanya untuk para Jawara namun juga pembeli nantinya bisa mengetahui lokasi terdekat Jawara ada di mana. Semua masih dalam proses pengembangan untuk aplikasi,” kata Benny.

Tahun 2022 mendatang fokus JaPang masih ingin memperkenalkan Jawara lebih luas lagi. Termasuk di dalamnya menambah jumlah Jawara, terutama bagi mereka yang terdampak pandemi dan ingin mendapatkan penghasilan tambahan dengan bergabung menjadi Jawara. Pengembangan logistik sendiri juga menjadi bagian dari roadmap perusahaan. Saat ini mereka masih memanfaatkan logistik pihak ketiga.

“Fokus kita tetap kepada klien B2B dan Jawara, serta bagaimana kita bisa memiliki ketahanan pangan dan membantu UKM memiliki ketahanan ekonomi,” kata Benny.

Otozilla Hadir sebagai Platform “Social Commerce” Produk Otomotif

Bertujuan untuk memperluas edukasi dan kesadaran masyarakat umum akan pentingnya perawatan kendaraan pribadi yang digunakan sehari-hari, platform social commerce yang fokus kepada otomotif Otozilla diluncurkan. Salah satu fokusnya ialah mefasilitasi komunitas.

Kepada DailySocial.id, Co-Founder & CEO Otozilla Kenny Joseph mengungkapkan, Indonesia saat ini menjadi negara terbesar yang memiliki komunitas pecinta otomotif di Asia Tenggara. Membuktikan peluang untuk mengakomodasi layanan dan kebutuhan mereka.

“Kebanyakan mereka yang tergabung dalam komunitas bukan hanya tertarik dengan satu brand kendaraan saja, namun juga ingin memperluas networking. Harapannya bisa didapatkan lebih banyak informasi hingga rekomendasi bengkel dan keperluan perawatan kendaraan mobil dan motor lainnya,” kata Kenny.

Selain komunitas, Otozilla juga berfungsi sebagai marketplace yang menawarkan kesempatan kepada merchant untuk menjual mobil dan motor hingga produk dan jenis perawatan kendaraan lainnya dalam satu platform. Masing-masing penjual diharuskan membayar biaya keanggotaan premium, bisa memanfaatkan platform yang berfungsi sebagai media sosial, pengelolaan anggota hingga aktivasi acara untuk berbagai komunitas otomotif.

Meskipun belum memiliki mitra bengkel dan merchant yang banyak jumlahnya, namun Otozilla mengklaim memiliki produk yang sudah tervalidasi dan terjamin kualitasnya.

“Untuk komunitas saat ini kami tidak mengenakan biaya, sehingga mereka bebas untuk membuat halaman khusus untuk masing-masing anggota di komunitas. Kita juga menyediakan Organizational Management System yang bisa digunakan oleh mereka yang ingin mengelola anggota dan menggelar kegiatan otomotif di Otozilla,” kata Kenny.

Berbeda dengan platform seperti Carsome hingga OLX Autos, Otozilla ingin menjadi platform social commerce yang menyediakan satu wadah untuk semua kegiatan komunitas otomotif di tanah air. Pemain serupa yang sebelumnya telah menawarkan konsep serupa adalah Modifikasi.com. Saat ini Otozilla telah mendapatkan pendanaan pre-seed dari beberapa angel investor.

“Kami cukup beruntung mendapatkan angel investor yang memiliki latar belakang selama 20 tahun di dunia otomotif. Dengan demikian bisa membantu kami untuk menambah wawasan dan memperluas jaringan di dunia otomotif,” kata Kenny.

Meluncurkan software DASH

Untuk memberikan informasi yang lengkap seputar kondisi kendaraan pengemudi, Otozilla meluncurkan DASH. Harapannya bisa memberikan solusi untuk membantu pengemudi lebih paham dan juga terbantu dalam pemeliharaan mobil dan keselamatan dalam berkendara.

Dengan menggunakan perangkat (hardware) yang bisa dibeli di berbagai layanan e-commerce, nantinya bisa didapatkan informasi yang akurat seputar kondisi kendaraan pribadi. Semua bisa dilakukan dengan menyematkan software yang dikembangkan sendiri oleh Otozilla di masing-masing kendaraan.

“Indonesia termasuk negara yang cukup tertinggal dengan teknologi ini dibandingkan negara lainnya. Ke depannya kita ingin mengembangkan teknologi ini melalui integrasi dengan layanan lainnya yang dikembangkan sendiri maupun melalui kemitraan dengan pihak terkait,” kata Kenny.

Biaya berlangganan yang ditawarkan untuk DASH sekitar Rp200 ribu (lifetime) untuk versi awal. Untuk versi berikutnya Otozilla akan mengenakan biaya berlangganan selama 6 hingga 12 bulan untuk pelanggan. Mereka menargetkan bisa menjual DASH sebanyak 2,5 juta unit di tahun 2022 mendatang.

Otozilla juga memiliki rencana untuk meluncurkan fitur emergency berupa tombol khusus yang bisa diakses oleh pengemudi. Rencananya fitur tersebut akan diluncurkan pada kuartal ketiga tahun depan.

“Kami ingin ke depannya lebih banyak lagi masyarakat umum yang mengerti dan memahami kondisi mobil dan motor mereka. Bukan hanya pecinta otomotif saja, namun masyarakat umum yang tidak terlalu menyukai otomotif namun kerap menggunakan kendaraan mereka untuk memberikan kenyamanan saat berkendara,” tutup Kenny.

Application Information Will Show Up Here

Terampil Jembatani Trainer Profesional dan Pengguna dalam Satu Platform

Baru melakukan rebranding bulan Agustus 2021, platform pelatihan online Terampil mengklaim mengalami pertumbuhan bisnis yang positif. Kepada DailySocial.id, Founder & CEO Terampil Amrullah Azmy mengungkapkan, startupnya ingin membantu pengguna mendapatkan kelas pelatihan secara terpadu, baik dari sisi materi hingga komunikasi dengan trainer dan pengguna lainnya.

“Pada umumnya platform yang menawarkan teknologi dan layanan serupa dengan Terampil lebih fokus kepada speech, namun di Terampil kami melakukan role play dan memiliki materi yang diperagakan langsung oleh para trainer.”

Terampil menyediakan tujuh kategori pelatihan. Di antaranya adalah Personal Foundation, Business Foundation, Marketing & Branding, Sales, Operation & Technology, Finance & Accounting, dan Human Capital.

Untuk pengguna yang baru mulai memasuki dunia kerja atau profesional muda yang ingin mengetahui aspek apa yang harus dikembangkan untuk peningkatan kriernya dan ingin mengetahui profil diri secara singkat maka dapat mengambil short assessment secara gratis di Terampil. Tercatat saat ini sudah ada sekitar 124 modul di dalam platform.

“Bukan hanya soft skill dan hard skill, Terampil juga menawarkan technical skill untuk pengguna. Sebelumnya kita menetapkan dulu kurikulum yang sudah ada menyesuaikan kebutuhan pasar, namun kita juga menerima permintaan dari pengguna sebelum akhirnya kita meluncurkan kurikulum tersebut,” kata Amrullah.

Strategi monetitasi

Untuk strategi monetisasi, selain memberikan pilihan gratis mengakses video untuk pengguna baru, disediakan pula kuota yang bisa dipilih oleh mereka. Di antaranya adalah paket bronze, silver, dan gold. Harga yang ditawarkan mulai dari Rp95 ribu hingga Rp495 ribu. Untuk pilihan pembayaran juga menyediakan semua pilihan pembayaran yang tersedia dengan mitra strategis mereka yaitu Midtrans. Tersedia juga pilihan pembayaran menggunakan DANA.

“Sejak awal kita fokus kepada segmen B2C. Namun satu bulan terakhir kami mulai menggarap segmen B2B. Kebanyakan pengguna kita ada di Jabodetabek. Namun Terampil juga sudah tersebar di Semarang, Jogjakarta, Surabaya, Medan dan Palembang,” kata Amrullah.

Platform serupa yang menawarkan layanan seperti Terampil di antaranya adalah Rolmo dan ProSpark.

Metode hybrid learning

Selain memiliki trainer yang berasal dari perusahaan nasional dan multinasional di Indonesia, Terampil juga memiliki trainer dari kalangan umum yang memiliki skill dan pengalaman yang baik. Namun untuk memastikan trainer tersebut masuk dalam kriteria, proses kurasi yang ketat dilakukan oleh tim. Tercatat saat ini ada sekitar 98 trainer yang bergabung.

Untuk memberikan solusi dan layanan yang lebih terpadu, Terampil yang menerapkan metode hybrid learning, menggabungkan antara pembelajaran Intra-Active dan Inter-Active. Metode Intra-Active ini dirancang untuk mendorong pembelajar untuk lebih aktif dalam meningkatkan kapasitas dirinya, sedangkan Inter-Active adalah metode yang memungkinkan untuk berperan secara aktif berinteraksi langsung dengan sesama pengguna lainnya dan trainer di dalam Forum Diskusi dan Live Q&A.

Forum diskusi berbentuk teks ini terdapat di setiap modul pelatihan sehingga diskusi yang terjadi khusus untuk membahas materi pada modul tersebut. Sedangkan Live Q&A adalah layanan yang memungkinkan pengguna untuk berinteraksi langsung dengan trainer secara audio. Tahun 2022 mendatang Terampil juga memiliki rencana untuk meluncurkan fitur serupa dengan aplikasi Club House.

“Sejak rebranding fokus kita lebih kepada pengembangan teknologi. Di kuartal pertama tahun depan fitur ini bisa digunakan oleh pengguna dan trainer kita,” kata Amrullah.

Untuk meningkatkan layanan pelanggan Terampil juga kerap melakukan komunikasi langsung dengan pengguna demi mendapatkan feedback. Dengan demikian bisa memaksimalkan video dan materi lainnya yang sudah menjadi pilihan pengguna hingga saat ini.

Masih menjalankan bisnis secara bootstrap, Terampil belum memiliki rencana untuk melakukan penggalangan dana dalam waktu dekat. Namun demikian tahun 2022 mendatang rencananya perusahaan akan melakukan kegiatan penggalangan dana di kuartal ketiga.

“Kami ingin Terampil bukan sekadar menjadi platform pelatihan online pilihan utama dari masyarakat, namun lebih dari itu kami ingin menjadi selayaknya seorang guru dan orang tua yang bangga apabila anak didik kami sukses meraih cita-citanya dan mendapatkan masa depan yang cerah. Sedangkan di sisi bisnis, kami bermimpi Terampil menjadi salah satu edutech unicorn yang membanggakan Indonesia,” tutup Amrullah.

Application Information Will Show Up Here