Microsoft Umumkan Layanan Streaming OS Windows 365 untuk Kalangan Bisnis

Microsoft baru saja mengumumkan Windows 365, layanan baru yang memungkinkan kalangan bisnis untuk mengakses PC berbasis Windows 10, atau kalau sudah tersedia nantinya, Windows 11, dari perangkat apapun yang dilengkapi browser modern.

Secara mendasar, layanan ini tak ubahnya sebuah layanan cloud gaming, namun yang di-stream adalah satu sistem operasi penuh ketimbang cuma suatu video game. Microsoft menyebutnya dengan istilah Cloud PC, dan tiap-tiap Cloud PC ini bakal memberikan pengalaman yang sama meski diakses lewat perangkat yang berbeda-beda.

Menariknya, sebelum ini Microsoft sebenarnya sudah punya layanan serupa bernama Azure Virtual Desktop. Yang berbeda dari Windows 365 adalah terkait kemudahan penggunaan sekaligus manajemennya. Microsoft pada dasarnya menargetkan Windows 365 untuk perusahaan atau organisasi yang selama ini enggan menjajal Azure Virtual Desktop maupun layanan virtualisasi lain karena alasan-alasan seputar biaya maupun kompleksitas.

Windows 365 akan tersedia mulai tanggal 2 Agustus 2021 dengan skema berlangganan, namun Microsoft sejauh ini belum mengungkapkan rincian tarifnya. Usai berlangganan, pemilik bisnis bisa langsung menciptakan Cloud PC dengan mudah untuk setiap karyawan, dengan spesifikasi yang disesuaikan terhadap kebutuhan masing-masing.

Berhubung semuanya mengandalkan infrastruktur cloud, ini sangat ideal untuk perusahaan yang tengah merekrut pekerja remote. Ketimbang mengirimkan unit fisik laptop buat mereka bekerja, tentunya bakal jauh lebih mudah mengirimkan Cloud PC kepada masing-masing pekerja remote.

Skenario serupa juga sangat cocok untuk perusahaan yang merekrut karyawan dengan sistem kontrak berdurasi pendek. Pemilik bisnis pun juga tidak perlu khawatir soal keamanan, sebab semua informasi dan data yang diolah oleh tiap-tiap Cloud PC akan selalu disimpan di cloud ketimbang di perangkat. Pada akhirnya, pekerjaan admin IT suatu perusahaan bakal dimudahkan dengan adanya Windows 365.

Apa yang Windows 365 hadirkan (virtualisasi dan remote access) sebenarnya sudah eksis sejak lama, hanya saja kini Microsoft mengemasnya secara lebih intuitif, dan timing peluncurannya pun dipaskan dengan tren hybrid working yang sedang mencuat akibat pandemi.

Sumber: Microsoft.

The Trade Desk Umumkan Kemitraan Strategis dengan RCTI+ dan IndiHome

The Trade Desk (TTD) mengumumkan kemitraan strategis dengan dua platform OTT lokal, yakni RCTI+ dan IndiHome. Melalui kemitraan ini, pihaknya berupaya untuk mendorong pengembangan ekosistem OTT lokal di Indonesia melalui layanan programmatic advertising.

Sekadar informasi, The Trade Desk merupakan perusahaan teknologi berbasis di Amerika Serika yang menawarkan layanan inventory iklan untuk berbagai situs web, aplikasi, podcast, dan platform streaming Over The Top (OTT). Selain menjangkau cakupan audiens lebih luas, layanan ini juga memungkinkan marketer untuk mendapatkan laporan dan insight dari campaign yang dilakukan.

Country Manager The Trade Desk Indonesia Florencia Eka mengatakan, saat ini belum banyak layanan yang menawarkan layanan serupa di Indonesia. Dapat dikatakan, The Trade Desk menjadi pionir dengan model ini. “Kami ingin mengedukasi pentingnya [pemasaran melalui] Connected TV (CTV) bagi marketer,” ujarnya dalam konferensi pers virtual.

Florence mengakui perkembangan teknologi telah mengubah cara masyarakat berperilaku digital. Perubahan ini juga berdampak pada cara masyarakat mengonsumsi konten dari offline ke online. Dengan terjadinya shifting ini, pihaknya melihat peluang bagi pengiklan untuk menjangkau audiens melalui perangkat dan terhubung dengan journey mereka di platform digital.

Menurutnya, pemasaran dengan model linear TV, dinilai memiliki kelemahan dalam menentukan target pasar yang presisi. Linear TV merupakan konsep tradisional beriklan di mana audiens menonton program TV terjadwal saat disiarkan dan disalurkan lewat channel aslinya.

Sementara, pemasaran melalui Connected TV (CTV) dapat menjangkau penonton berdasarkan preferensi konten, profil audiens, dan tidak hanya ketika acara disiarkan. Pemasaran via CTV dinilai lebih presisi karena ditunjang dengan kekuatan data.

Selain itu, ia juga menilai tren pemasaran global mulai mengarah ke OTT dan VTC di mana adopsinya tumbuh secara signifikan saat pandemi Covid-19. Mengadopsi model ini akan mempercepat akselerasi pemasaran dari TV tradisional ke TV internet.

“Kemitraan ini menawarkan akurasi dan presisi sehingga marketer bisa menghindari pemborosan budget. Layanan ini juga lebih efisien karena mereka tidak perlu menghubungi, melakukan negosiasi, atau mendapatkan invoice satu per satu. Marketer dapat melewatkan peluang baru jika hanya fokus pada model lama dan terpaku pada media sosial saja,” ujarnya.

Seperti diketahui, RCTI+ merupakan platform OTT milik MNC Group, yang memiliki jaringan televisi free-to-air MNC, RCTI, Global TV, dan iNews. Sementara, IndiHome merupakan penyedia IPTV milik operator telekomunikasi pelat merah, Telkom Group.

“Layanan kami dapat membantu pengiklan untuk menjangkau 3,6 juta pengguna IndiHome dan 14 juta pemirsa potensial di lebih dari 300 kota di Indonesia, serta lebih dari 30,5 juta pengguna aktif bulanan RCTI+.” Tambahnya.

Indonesia gemar streaming

Dalam kesempatan ini, The Trade Desk sekaligus memaparkan hasil riset yang dilakukan bersama Kantar. Laporan ini menyebutkan, masyarakat Indonesia streaming konten OTT hampir tiga miliar jam per bulan. Temuan ini menjadikan Indonesia sebagai negara terbanyak menonton OTT di kawasan Asia Tenggara.

Tak hanya itu, laporan ini mengungkap bahwa konsumen Indonesia paling toleran terhadap iklan. Sebanyak 95% responden pemirsa menonton iklan untuk dapat menikmati konten gratis, dan 66% mengaku mengingat merek, produk, dan iklan yang mereka lihat.

Hal ini juga turut diperkuat temuan Integral AD Science (IAS), pionir penyedia verifikasi iklan digital, yang mengungkap bahwa mayoritas konsumen Indonesia pengguna CTV menunjukkan perilaku baru, yaitu terbiasa menonton konten gratis diselingi iklan.

Ini menandakan adanya peluang besar pada OTT/CTV bagi marketer. Pasalnya, laporan ini mengungkap, peluang untuk menjangkau audiens secara lebih cepat justru terjadi di platform open internet (62%). Contoh platform open internet antara lain CTV/OTT (Viu, Vidio, Iflix), Video (dailymotion), Audio (Spotify, JOOX), Display (detiknetworl. KLY), Native (triplelift). Sedangkan, 38% dari platform sosial, seperti Facebook, YouTube, dan Instagram.

Apple Music Bayarkan Satu Sen Dolar per Stream Kepada Pemegang Hak Cipta

Dewasa ini, mendistribusikan musik jauh lebih dimudahkan berkat kehadiran banyak platform streaming. Namun yang sering menjadi pertanyaan adalah, seberapa menguntungkan layanan macam Spotify atau Apple Music bagi seorang musisi?

Kita tahu bahwa Spotify, Apple Music, dan penyedia layanan streaming lainnya membayar biaya lisensi ke pemegang hak cipta (publisher, label rekaman, distributor) demi menyajikan konten ke masing-masing pelanggannya, namun berapa persisnya uang yang pada akhirnya masuk ke kantong tiap-tiap musisi?

Jawabannya bisa berbeda-beda tergantung platform streaming-nya, dan sulit untuk menerka angka persisnya karena ada banyak faktor yang memengaruhi. Kalau untuk Apple Music, berdasarkan surat yang dikirimkan ke para musisi (yang dilaporkan oleh Wall Street Journal), rata-rata Apple membayar satu sen dolar per stream. Kedengarannya memang tidak banyak, akan tetapi tarif yang dipatok rupanya sekitar dua kali lebih tinggi daripada Spotify.

Spotify, kalau dirata-rata, membayar sekitar sepertiga sampai setengah sen dolar per stream. Pun demikian, kita juga tidak boleh lupa bahwa Spotify memiliki total pengguna yang jauh lebih banyak. Pada kuartal keempat tahun 2020, Spotify melaporkan jumlah penggunanya telah mencapai angka 345 juta, dan 155 juta di antaranya merupakan pelanggan berbayar. Di sisi lain, terakhir Apple melaporkan jumlah pelanggannya adalah di bulan Juni 2019, tepatnya ketika mereka menembus 60 juta pelanggan.

Alhasil, tidak heran apabila kontribusi finansial Spotify terhadap industri musik juga lebih besar. Tahun lalu saja, Spotify membayarkan sekitar 5 miliar euro kepada pemegang hak cipta. Tarif per stream-nya lebih rendah karena rata-rata pelanggan Spotify juga mendengarkan lebih banyak musik setiap bulannya ketimbang pelanggan layanan lain. Ditambah lagi, Spotify juga punya paket gratisan yang sepenuhnya mengandalkan pemasukan dari iklan (yang jelas lebih sedikit ketimbang pemasukan yang didapat dari paket berbayarnya).

Satu hal yang perlu dicatat adalah, tarif satu sen dolar atau setengah sen dolar per stream itu tidak langsung masuk ke kantong musisi begitu saja. Tarif tersebut dibayarkan oleh penyedia layanan streaming kepada pemegang hak cipta (publisher, label rekaman, distributor), yang kemudian membayar tarif royalti ke para musisi berdasarkan persetujuan masing-masing. Seperti yang saya bilang, sulit menerka angka persisnya karena ada banyak faktor, salah satunya perbedaan kontrak yang disepakati oleh tiap-tiap musisi.

Meski begitu, tidak sedikit musisi yang menganggap tarif per stream ini sebagai indikator pemasukan mereka di era serba streaming seperti sekarang. Transparansi semacam ini tentu sangatlah relevan terutama di masa-masa pandemi seperti sekarang, di mana musisi terpaksa kehilangan salah satu sumber pemasukan utama mereka: konser.

Sumber: WSJ via Engadget. Gambar header: Depositphotos.com.

Lesunya Twitch di Indonesia: Harga Paket Data Tentukan Segalanya

Sekarang, bermain game tidak lagi menjadi hobi bagi segelintir orang. Faktanya, orang-orang tak hanya suka bermain game, tapi juga menonton orang lain bermain game. Karena itulah, industri esports dan game streaming bisa tumbuh pesat. Hal ini menarik banyak perusahaan untuk masuk ke industri game streaming. Namun, pasar game streaming tetap dikuasai beberapa pemain besar, seperti Twitch, YouTube, dan Facebook.

Di level global, Twitch masih menjadi platform game streaming nomor satu. Hanya saja, platform game streaming milik Amazon itu justru tidak terlalu dikenal di Indonesia. Riset dari DSResearch pada akhir 2019 menunjukkan, Twitch justru menjadi platform game streaming paling tidak populer di Tanah Air. Di Indonesia, YouTube merupakan platform game streaming terpopuler, diikuti oleh Facebook dan NimoTV.

Lalu, kenapa Twitch tidak populer di Indonesia?

 

Keadaan Industri Game Streaming 

Selama pandemi, industri game menjadi salah satu industri yang justru mengalami pertumbuhan. Pasalnya, orang-orang yang tidak bisa pergi keluar rumah menghabiskan banyak waktunya bermain game atau menonton konten game. Pada 2020, jumlah penonton live streaming konten game naik dua kali lipat jia dibandingkan dengan pada 2019. Sepanjang 2020, total hours watched dari konten game adalah 12 miliar, sementara total hours streamed mencapai 916 juta jam, menurut data StreamLab.

Total hours watched dari Twitch, Facebook Gaming, dan YouTube Gaming. | Sumber: StreamLab
Total hours watched dari Twitch, Facebook Gaming, dan YouTube Gaming. | Sumber: StreamLab

Pada Q2 2020, Twitch memecahkan rekor total hours watched. Untuk pertama kalinya, total hours watched mereka mencapai 5 miliar juta jam. Pada Q4 2020, mereka kembali memecahkan rekor ini. Di kuartal akhir 2020, total hours watched Twitch mencapai 5,44 miliar jam. Hal ini berarti, Twitch memberikan kontribusi 65,8% dari total hours watched di industri game streaming. Sebagai perbandingan, YouTube menyumbangkan 23,3% atau sekitar 1,9 miliar jam dan Facebook memberikan 901,1 juta jam atau sekitar 10,9%.

Selain total hours watched, Twitch juga unggul dari segi hours streamed (total durasi konten yang disiarkan oleh para streamers). Pada Q4 2020, semua streamers di Twitch menyiarkan 230,5 juta jam konten. Sementara di Facebook, angka ini hanya mencapai 14,5 juta jam dan di YouTube Gaming, hanya 10,4 juta jam. Hal ini tidak aneh, mengingat fungsi utama Twitch memang sebagai platform game streaming. Sementara Facebook merupakan media sosial yang juga menawarkan fitur game streaming dan YouTube lebih fokus pada konten yang tidak live.

Jumlah streamers di Twitch dari 2018 sampai 2021. | Sumber: Statista
Jumlah streamers di Twitch dari 2018 sampai 2021. | Sumber: Statista

Pada tahun lalu, jumlah streamers di Twitch juga naik drastis, seperti yang bisa Anda lihat pada gambar di atas. Pada puncaknya, jumlah streamers di Twitch mencapai 9,89 juta orang, menurut data dari Statista. Namun, pada Februari 2021, jumlah streamers di Twitch sempat turun menjadi 9,52 juta orang. Kabar baiknya, data dari Twitch Tracker menunjukkan bahwa jumlah streamers di Twitch kembali naik pada Maret 2021, menjadi 9,6 juta orang. Dalam seminggu terakhir, Just Chatting masih menjadi kategori paling populer. Posisi kedua diduduki oleh Grand Theft Auto V, diikuti oleh League of Legends, Fortnite, dan Call of Duty: Warzone.

Sebagai perbandingan, YouTube mengungkap bahwa pada 2020, jumlah active gaming channels di platform mereka mencapai 40 juta channels. Sementara total hours watched dari konten game di YouTube mencapai 100 miliar jam dan total hours watched dari live streaming konten game naik menjadi 10 miliar jam. Menariknya, game-game yang populer di YouTube agak berbeda dari game yang populer di Twitch.

Berikut daftar 5 game yang populer di YouTube:

  • Minecraft – 201 miliar views
  • Roblox – 75 miliar views
  • Free Fire – 72 miliar views
  • Grand Theft Auto V – 70 miliar views
  • Fortnite – 67 miliar views

Apa Kata Para Streamers?

Untuk mengetahui pendapat para streamers/kreator konten akan Twitch dan industri game streaming secara umum, Hybrid mewawancara beberapa orang. Salah satunya adalah Cindy “Cimon” Monika, yang mulai melakukan streaming karena tugasnya sebagai brand ambassador. Perempuan yang akrab dipanggil Cimon ini memilih YouTube sebagai platform utamanya. Dia menjelaskan, alasannya memilih YouTube adalah karena dia merasa, YouTube memang platform yang dibuat sebagai wadah konten video, termasuk konten gaming. Selain itu, dia percaya, audiens game streaming di YouTube lebih besar dari platform streaming lainnya.

“Dan YouTube sudah umum, Anda tidak perlu download aplikasi atau pergi ke link tertentu untuk menonton,” ujar Cimon saat dihubungi oleh Hybrid melalui pesan singkat. “Karena biasanya, orang cukup malas ya untuk download aplikasi baru untuk menonton.” Dia bercerita, dia sempat menggunakan Twitch, walau tidak lama. Dia merasa, Twitch adalah platform yang cocok untuk digunakan bagi streamers yang memang menargetkan penonton dari negara-negara Barat. “Twitch juga punya ‘hiasan’, yang membuat streamer layaknya sebuah ‘profesi’, seperti overlay dan lain-lain,” ujarnya. Meskipun begitu, saat ini, fitur seperti overlay juga sudah bisa ditemukan di platform streaming lain, termasuk YouTube.

Lain halnya dengan Clara Vauxhall alias Iris, yang lebih memilih untuk melakukan streaming di Twitch. Dia bahkan sudah masuk ke dalam program Twitch Affiliate. Pada dasarnya, seseorang yang sudah menjadi Twitch Affiliate dapat memonetisasi channel-nya dengan menawarkan langganan, Bits, dan penjualan game atau item dalam game. Ketika dihubungi oleh Hybrid, Clara mengungkap, alasannya untuk melakukan streaming di Twitch adalah karena dia memang menargetkan audiens di luar Indonesia.

“Saya memilih Twitch karena penontonnya lebih didominasi oleh orang luar negeri, yang membuat saya lebih nyaman dibandingkan dengan penonton dalam negeri,” ujar Clara. “Viewers YouTube biasanya didominasi oleh orang dalam negeri, sering lebih keras kepala dan kurang lenient jika dibandingkan dengan penonton Twitch.”

Selain itu, Clara memutuskan untuk tidak mengincar audiens lokal karena tidak ingin terlibat konflik internal dalam komunitas, yang bisa memicu drama. Meskipun begitu, hal itu bukan berarti dia mengacuhkan audiens lokal sama sekali. “Kalau saya prbadi, saya mencoba untuk menyeimbangkan penonton dari dalam dan luar negeri, meski penonton yang dari dalam negeri lebih sedikit jika dibandingkan dengan yang luar negeri,” katanya.

Clara bercerita, alasan lain dia memilih Twitch adalah karena desain tampilannya yang sesuai dengan seleranya. Dia juga cukup senang dengan keberadaan sistem Channel Points, yang mendorong audiens untuk menonton lebih lama. Pada dasarnya, dengan sistem Channel Points, seorang penonton akan mendapatkan poin berdasarkan pada durasi dia menonton. Poin ini bisa digunakan oleh penonton untuk meminta sang streamer melakukan sesuatu, seperti menyanyi. “Tapi, permintaan yang bisa diminta oleh penonton juga tergantung masing-masing streamer. Para streamers sendiri yang menentukan apa saja yang bisa di-redeem,” ujarnya. “Menurutku, hal ini bisa mendorong interaksi audiens dengan sang streamer.”

Contoh sistem Channel Points di Twitch.
Contoh sistem Channel Points di Twitch.

Tentu saja, selama melakukan streaming di Twitch, Clara juga menemui masalah. Salah satunya adalah Terms of Service yang lebih ketat. “Kata-kata yang sebenarnya tidak mengandung SARA, seperti simp dan virgin, tidak boleh digunakan di Twitch,” katanya. Masalah lain yang kerap dia hadapi adalah ping yang besar ketika dia berkolaborasi dengan streamer lain dari luar Indonesia. “Ketika hendak melakukan kolaborasi dengan streamer lain, karena target audiensnya luar negeri, ada beberapa masalah vital, seperti latensi ping, zona waktu, dan lain sebagainya,” ungkapnya. “Dalam hal ini, memiliki audiens dalam negeri lebih menguntungkan.”

Platform game streaming tidak hanya digunakan oleh para individu yang ingin beken di kalangan para gamers, tapi juga perusahaan yang berkutat di bidang game dan esports. Salah satunya adalah RevivalTV. Sama seperti Cimon, YouTube menjadi platform pilihan RevivalTV. Hanya saja, mereka juga aktif di Nimo TV, merek di bawah HUYA, platform game streaming asal Tiongkok. Chief Growth Officer, RevivalTV, Irliansyah Wijanarko Saputra menjelaskan alasan utama mengapa RevivalTV memilih kedua platform ini adalah karena komunitas gaming dan esports memang sudah tumbuh besar di kedua platform tersebut.

The community is there and we’re part of it,” ujar Irli sambil tersenyum. Dia menyebutkan, dua game yang komunitasnya besar di YouTube dan Nimo TV adalah Mobile Legends dan PUBG Mobile. Dia mengungkap, YouTube dan Nimo TV merupakan tempat berkumpul bagi komunitas game dan esports, petinggi perusahaan esports, serta Key Opinion Leaders (KOL). Hal ini menjadi salah satu kelebihan dari kedua platform tersebut

Ketika ditanya tentang faktor yang menentukan sukses atau tidaknya sebuah platform streaming game di Indonesia, dia menjawab, “Tongkrongan/komunitas/main sama siapa. Benefits ke streamer-nya apa dan kedekatan dengan streamer mereka.” Lebih lanjut, dia menjelaskan kenapa Nimo TV lebih diterima daripada Twitch.

“Twitch itu produk barat dan Nimo produk timur. Approach orang-orang di belakang Twitch dan Nimo juga berbeda jauh,” ujar Irli. “Twitch pasif. Mereka tidak berikan benefit lain selain fakta bahwa platform mereka memang sudah bagus. Produk timur, termasuk Nimo, mereka turun ke grassroot, growing bareng komunitasnya. Selain itu, Twitch juga terlambat untuk beradaptasi. Pada 2016-2017, mereka tidak punya saingan, tapi mereka tidak buka server di SEA, sehingga nge-lag. Their loss.”

 

Biaya Menonton Twitch vs YouTube Secara Live

Lag menjadi salah satu kekhawatiran netizen Indonesia saat hendak menonton Twitch. Untuk mengetahui apakah kekhawatiran ini nyata, saya mencatat kecepatan data downstream saat menonton Twitch di laptop. Setelah itu, saya membandingkannya dengan kecepatan downstream saat menonton YouTube. Ketika saya menonton video 720p secara live di Twitch, kecepatan download ada di kisaran 1,1 Mbps sampai 3,2 Mbps, dengan kecepatan rata-rata 2,5 Mbps.

Jika dibandingkan, keceptan downstream saat saya menonton video dengan resolusi yang sama di YouTube jauh lebih fluktuatif. Kecepatan terendah ada di 8 kbps sementara kecepatan tertinggi mencapai di 16,4 Mbps. Sementara kecepatan data downstream rata-rata adalah 3,4 Mbps. Hal ini menunjukkan, Anda tidak memerlukan koneksi yang lebih cepat untuk bisa menonton Twitch.

Selain di laptop, saya juga melakukan pengujian yang sama di smartphone. Saat menonton video 720p di Twitch, kecepatan terendah ada di 360 kbps dan kecepatan tertinggi pada 1,1 Mbps. Sementara kecepatan data downstream rata-rata adalah 790 kbps. Sebagai perbandingan, saat saya menonton YouTube, kecepatan terendah ada di 133 kbps dan kecepatan tertinggi 367 kbps, dengan kecepatan download rata-rata 307 kbps. Artinya, di mobile, YouTube memerlukan kecepatan yang lebih rendah daripada Twitch.

Masing-masing operator biasanya punya paket khusus untuk media sosial dan YouTube.
Masing-masing operator biasanya punya paket khusus untuk media sosial dan YouTube.

Saat membahas soal sumber pemasukan streamers, saya juga pernah bertanya pada Fandra “Octoramonth” Octo alasan mengapa Twitch tidak populer di Indonesia. Menurutnya, tidak adanya paket khusus untuk menonton Twitch menjadi salah satu alasannya mengapa Twitch kurang populer di Indonesia. Dan memang, saat saya memeriksa daftar paket internet yang ditawarkan oleh Telkomsel, saya menemukan “paket ketengan” untuk YouTube, Facebook, dan bahkan Instagram, tapi tidak ada paket khusus untuk Twitch.

Pertanyaannya, apa ketiadaan paket khusus untuk Twitch memberikan dampak besar? Mari kita menghitung berapa banyak uang yang harus Anda keluarkan untuk menonton konten di YouTube menggunakan paket khusus dan di Twitch tanpa paket apapun.

Untuk menonton video 720p selama 1 jam, Anda membutuhkan sekitar 1,6GB data. Mengingat Twitch tidak punya paket data khusus, saya akan menggunakan harga paket data biasa dari Telkomsel. Salah satu paket yang Telkomsel sediakan adalah paket OMG. Dengan paket ini, Anda bisa mendapatkan 27GB selama sebulan dengan harga Rp152 ribu. Hal itu berarti, 1GB dihargai Rp4,7 ribu. Dan jika Anda menonton video 720p selama 1 jam, berarti Anda akan mengeluarkan biaya sekitar Rp7,5 ribu.

Sekarang, mari beralih ke biaya yang diperlukan untuk menonton YouTube dengan paket khusus. Telkomsel menyediakan “paket ketengan YouTube”. Anda bisa menonton YouTube sepuasnya selama seminggu hanya dengan Rp15,2 ribu. Dengan asumsi Anda harus bekerja atau mengerjakan tugas sekolah kuliah, Anda hanya bisa menyisihkan waktu sekitar 4 jam setiap hari untuk menonton YouTube — yang berarti Anda bisa menonton 28 jam konten selama seminggu. Jadi, biaya yang harus Anda keluarkan untuk menonton video YouTube selama 1 jam adalah Rp15,2 ribu dibagi 28 jam, yaitu Rp542.

Jika Anda adalah orang yang sibuk dan hanya bisa menonton video di YouTube selama 2 jam setiap hari, berarti uang yang harus Anda keluarkan untuk menonton 1 jam konten adalah Rp1,1 ribu. Ilustrasi di atas membuktikan, tanpa paket khusus, biaya untuk menonton Twitch memang jauh lebih mahal jika dibandingkan dengan biaya untuk menonton YouTube.

 

Kesimpulan

Sekilas, Twitch, YouTube Gaming, dan Facebook Gaming menawarkan hal yang sama, yaitu platform streaming untuk para kreator konten game. Meskipun begitu, ketiganya sebenarnya punya produk utama yang berbeda-beda. Pada awalnya, YouTube dibuat sebagai wadah untuk mengunggah video yang sudah direkam. Sementara Facebook sejatinya merupakan media sosial. Dan Twitch, sejak awal, platform ini memang dibuat sebagai platform game streaming.

Sebagai salah satu pioneer di ranah game streaming, tidak heran jika Twitch mendominasi. Sampai saat ini, Twitch juga masih menjadi platform game streaming nomor satu secara global. Salah satu keunggulan Twitch adalah ia kaya akan fitur. Contohnya, fitur Channel Points. Selain itu, Twitch juga mendukung fitur khusus untuk game-game populer, seperti Live Tracker untuk League of Legends. Sayangnya, fitur khusus tersebut biasanya hanya tersedia untuk game PC. Sementara di Indonesia dan Asia Tenggara, mobile game justru jadi populer. Jadi, tidak heran jika tidak banyak streamers Indonesia yang tertarik untuk menggunakan Twitch.

Alasan lain mengapa Twitch kurang populer adalah karena mereka cenderung pasif. Sejauh ini, mereka tidak menjalin kerja sama apapun dengan operator telekomunikasi. Jadi, tidak ada paket khusus untuk menonton Twitch, yang bisa menekan biaya data yang digunakan para penonton. Di Tanah Air Tercinta, yang orang-orangnya masih sering berbagi berita tanpa membaca isinya karena keterbatasan kuota, saya rasa, besar kuota yang diperlukan untuk menonton sebuah konten adalah masalah penting.

Netflix Tembus 200 Juta Pelanggan, Makin Banyak Saingan di Tahun 2021

Menonton menjadi salah satu hiburan favorit kala jenuh disaat work from home. Saya sendiri biasanya menonton film atau serial di aplikasi Netlix menjelang akhir pekan, karena begitu memulai judul baru maka harus menghabiskannya.

Bicara Netflix, platfrom video on demand tersebut memang salah satu yang justru diuntungkan oleh pandemi covid-19. Jumlah pelanggan Netflix naik drastis dan kini tembus di angka 203,6 juta pelanggan di seluruh dunia.

Sebanyak 8,5 juta pelanggan berbayar baru terdaftar pada kuartal keempat tahun 2020. Pencapaian ini juga berkat konten baru seperti The Queen’s Gambit, Emily in Paris, The Crown, dan lainnya. Secara kolektif, pada tahun 2020 Netflix berhasil mencapai rekor baru dengan menggaet 37 juta pelanggan.

Menurut laporan perusahaan, pendapatan Netflix di 2020 menyentuh angka US$25 miliar atau sekitar Rp351 triliun. Sehingga Netflix tidak lagi perlu mengumpulkan pembiayaan eksternal untuk operasi sehari-hari dan tidak perlu lagi meminjam uang tunai dalam jumlah besar.

Sementara, untuk kuartal pertama di tahun 2021 ini Netflix memproyeksikan akan memiliki 6 juta pelanggan baru. Pada kuartal pertama tahun 2020, tercatat Netflix meraih 15,77 juta pelanggan baru karena dimulainya kebijakan lockdown dan pembatasan sosial berskala besar.

Meski begitu, tahun ini Netflix akan mendapatkan persaingan yang cukup sengit dari layanan streaming baru termasuk Disney+ dengan sejumlah film yang layak ditunggu-tunggu seperti Winter Soldier, Loki, Ms. Marvel, dan Hawkeye. HBO Max dari Warner Bros juga akan merilis semua film bioskop terbarunya.

Salah satu kelebihan Netflix ialah mereka memiliki banyak konten original dan dikatakan masih banyak lagi yang akan datang. Termasuk season baru The Witcher, Umbrella Academy, Money Heist, serial baru Shadow and Bone, dan sebagainya. Meski konsumsi konten meningkat, proses pembuatan film baru di kondisi pandemi juga punya banyak tantangan.

Sumber: TheVerge

 

Jumlah Pelanggan Disney+ Tembus 73,7 Juta dalam Setahun Pertama

Seperti yang kita tahu, pandemi memukul hampir seluruh industri terkecuali industri streaming. Semakin banyak orang yang berdiam diri di rumah merupakan kabar gembira bagi Netflix dan penyedia layanan streaming lainnya, termasuk halnya Disney.

Langkah berani mereka meluncurkan layanan streaming filmnya sendiri (Disney+) tepat satu tahun yang lalu (12 November 2019) rupanya tidak sia-sia. Per 3 Oktober kemarin, Disney+ tercatat memiliki jumlah pelanggan sebanyak 73,7 juta orang. Memang kecil jika dibandingkan Netflix yang mempunyai lebih dari 195 juta pelanggan, tapi tetap impresif kalau melihat umur Disney+ yang baru satu tahun.

Pertumbuhannya pun juga sangat pesat kalau dibandingkan dengan layanan streaming lain yang juga diluncurkan di tahun 2019 macam Apple TV+ atau HBO Max. Pada kenyataannya, pencapaian Disney+ ini bisa dibilang berhasil melampaui prediksi mereka sendiri. Awalnya, Disney menargetkan bahwa Disney+ bakal menggaet antara 60 sampai 90 juta pelanggan dalam lima tahun pertamanya.

Kalau belum setahun saja sudah 73,7 juta, saya kira tahun depan pun Disney+ sudah bisa memenuhi target tersebut. Dari 73,7 juta pelanggan Disney+ tersebut, sekitar 19 juta sendiri datang dari India dan Indonesia. Seperti yang kita tahu, Disney+ resmi meluncur di Indonesia pada bulan September lalu dengan branding Disney+ Hotstar. Pelanggan-pelanggan baru Disney+ Hotstar ini adalah kontributor terbesar terhadap pertumbuhan Disney+ pada pada kuartal terakhir.

Katalog dan tarif kompetitif jadi daya tarik

Disney+ Hotstar

Seperti halnya Netflix, daya tarik Disney+ juga berasal dari koleksi konten orisinalnya. Yang paling populer tentu saja adalah The Mandalorian, terutama di kalangan penggemar franchise Star Wars. Selain Star Wars, pastinya Disney+ juga memikat bagi para penggemar film dan serial besutan Marvel Studios.

Lalu buat para penggemar The Simpsons, Disney+ juga punya lengkap dari season 1 sampai season 32 yang sedang berjalan saat ini. Bukan hanya konten luar, konten lokal juga cukup berlimpah di Disney+, bahkan beberapa film lama Warkop DKI pun juga tersedia sekaligus dapat ditonton dalam resolusi HD. Tentu saja berhubung ini properti Disney, koleksi kartun Mickey Mouse dan kawan-kawannya pun juga lengkap.

Selain itu, tarif berlangganan yang sangat-sangat kompetitif menurut saya juga menjadi resep keberhasilan utama Disney+, setidaknya di Indonesia. Layanan ini mematok biaya berlangganan Rp39.000 per bulan, atau Rp199.000 per tahun, sangat terjangkau jika dibandingkan dengan tarif yang dipatok Netflix.

Satu kekurangannya sejauh ini kalau buat saya adalah terkait dukungan aplikasi. Aplikasi Disney+ Hotstar memang sudah tersedia di Android, iOS, Android TV dan Apple TV, tapi belum untuk platform seperti Samsung Tizen atau LG webOS, sehingga sejumlah pelanggan masih harus mengandalkan metode mirroring dari smartphone ke TV. Namun semestinya problem ini dapat diatasi seiring berjalannya waktu.

Sumber: CNET. Gambar header: Mika Baumeister via Unsplash.

Tak Harus Ingat Judul, Mencari Lagu di Spotify Kini Jauh Lebih Mudah

Saya yakin sebagian besar dari kita pasti pernah mengalami hal ini: ingin mencari suatu lagu di Spotify, tapi lupa judulnya dan hanya ingat sepotong liriknya saja. Langkah paling logis yang selanjutnya kita lakukan adalah meminta bantuan Google dengan mencantumkan potongan liriknya tersebut, barulah setelahnya kita bisa menemukan lagunya di Spotify.

Mulai sekarang, kita semestinya sudah tidak perlu bergantung pada Google lagi soal ini, sebab Spotify belum lama ini kedatangan fitur baru yang sangat berguna, yang memungkinkan pengguna untuk mencari lagu dengan potongan lirik sebagai kata kuncinya.

Apple Music sudah punya fitur ini sejak iOS 12 diluncurkan dua tahun lalu, tapi seperti yang orang bijak katakan, lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali.

Ketika saya coba, fitur ini benar-benar bekerja sesuai harapan. Bukan cuma untuk lagu-lagu barat saja, tapi juga untuk lagu-lagu Indonesia. Seperti yang bisa Anda lihat pada gambar di bawah, bahkan lagu lawas seperti “Hatimu Hatiku” maupun soundtrack serial TV “Pendekar Pemanah Rajawali” yang dinyanyikan oleh Yuni Shara pun bisa ditemukan dengan mencantumkan potongan liriknya.

Lucunya, untuk lagu yang dinyanyikan Mbak Yuni itu, saya sempat mencoba dua kali; satu dengan kata “mengubah”, satu lagi dengan “merubah”. Kalau menurut KBBI revisi terkini, kita tahu bahwa yang benar adalah “mengubah”, tapi lirik aslinya yang dinyanyikan kala itu adalah “merubah”, dan ternyata Spotify berhasil menampilkan hasil yang tepat untuk keduanya.

Jujur saya sangat suka dengan fitur ini, terutama untuk mencari lagu-lagu yang memang judulnya tidak tercantum pada lirik sama sekali, seperti misalnya “A Day in the Life” gubahan The Beatles, atau “Black Dog” ciptaan Led Zeppelin – atau satu lusin lebih lagu Led Zeppelin lain yang memang judulnya tidak pernah dinyanyikan sama sekali.

Kalau boleh menebak, fitur ini semestinya bisa mencari seluruh lagu yang memang ada liriknya di Spotify, yang hampir semuanya berasal dari database milik Musixmatch. Selain di aplikasi smartphone, saya juga sempat menjajal fitur ini di aplikasi desktop Spotify, dan hasilnya pun identik, hanya saja tidak ada keterangan “Lyrics match” seperti di smartphone.

Via: 9to5Mac. Gambar header: Depositphotos.com.

Netflix Gratiskan 10 Film, Bisa Ditonton Langsung Tanpa Mendaftar Dulu

Free trial untuk sebuah layanan berlangganan hampir selalu menjadi penawaran yang menggiurkan bagi para konsumen. Daripada sekadar meninjau fasilitas yang diberikan suatu langganan, konsumen bisa langsung mencobanya tanpa perlu membayar terlebih dulu berkat program free trial.

Yang terkadang membuat malas adalah, sebelum bisa menikmati free trial, kita harus mendaftarkan akun terlebih dulu. Ibaratnya kalau lagi jalan-jalan di mall, lalu ada pegawai sebuah restoran yang menawarkan sampel menu makanannya, kita wajib mengisi buku biodata pembeli terlebih dulu sebelum melahapnya. Pasti jadi malas, bukan?

Itulah mengapa penawaran terbaru Netflix berikut terkesan jauh lebih menarik ketimbang free trial. Mereka baru saja merilis 10 film untuk ditonton secara cuma-cuma di semua negara tempat Netflix tersedia. Tidak ada akun yang perlu didaftarkan terlebih dulu. Cukup buka netflix.com/watch-free di browser komputer/laptop/perangkat Android, maka 10 filmnya bisa langsung ditonton sampai habis.

Netflix free movies and shows

Selain film-film tenar seperti “Birdbox” dan “The Two Popes”, juga ada episode pertama dari serial-serial populer macam “Stranger Things”, “When They See Us”, maupun “The Boss Baby: Back in Business”. Saya sudah mencobanya sendiri; di awal ada iklan singkat yang bisa di-skip, dan di akhir kita akan diarahkan untuk mendaftar sebagai pelanggan.

Kalau boleh jujur, ini merupakan pertama kalinya saya menonton Stranger Things mengingat layanan internet yang saya gunakan memang baru bisa mengakses Netflix belum lama ini (tanpa perlu sebut merek saya yakin Anda sudah tahu namanya). Sesuai dugaan, tema sci-fi dan setting tahun 80-an langsung membuat saya kecantol, dan Netflix pun sukses menggaet pelanggan baru meski jumlahnya memang sudah naik drastis dalam beberapa bulan terakhir.

Ini memang bukan pertama kalinya Netflix menggratiskan sejumlah kontennya, tapi ini pertama kali jumlahnya sampai sebanyak ini, dan dalam skala global. Sebelumnya, Netflix juga sempat merilis serial dokumenter “Our Planet” secara cuma-cuma di YouTube demi membantu memudahkan pembelajaran selama pandemi.

Sumber: TechCrunch. Gambar header: Samet Özer via Unsplash.

TSM Rekrut Grandmaster Catur AS, Hikaru Nakamura

Organisasi esports Team SoloMid (TSM) baru saja merekrut anggota baru. Menariknya, anggota terbaru TSM bukanlah seorang atlet esports, tapi pemain catur profesional. Ialah Hikaru Nakamura, yang mendapatkan gelar grandmaster ketika dia berumur 15 tahun, menjadikannya sebagai grandmaster asal Amerika Serikat termuda. Tak hanya itu, dia juga pernah memenangkan kejuaraan catur nasional AS sebanyak lima kali.

Nakamura, yang kini berumur 32 tahun, juga cukup populer di media sosial. Dia memiliki lebih dari 170 ribu pengikut di Twitter. Dia juga punya channel Twitch. Di sana, dia biasanya melakukan streaming untuk menunjukkan saat dia bermain catur. Dia juga sering menjelaskan strategi yang dia gunakan pada para penontonnya. Saat kontrak dengan TSM diumumkan, channel Twitch Nakamura memiliki lebih dari 500 ribu pengikut. Sementara siaran langsungnya biasa ditonton oleh lebih dari 18 ribu orang.

Memang, Nakamura dianggap sebagai salah satu sosok penting dalam mengembangkan komunitas catur di Twitch. Dia aktif melatih para pemain catur profesional dan membantu penyelenggaraan turnamen di Twitch. Tak heran, mengingat salah satu sponsor utamanya, Chess.com, menjalin kerja sama dengan Twitch pada 2017, lapor The Verge.

Namun, TSM tak hanya merekrut Nakamura sebagai kreator konten. Dia juga akan bertanding membawa nama TSM. “Saya hanya ingin membawa pulang gelar juara, membawa pulang trofi,” kata Nakamura, seperti dikutip dari Win.gg. “TSM memberikan kesempatan terbaik bagi saya untuk melakukan itu.”

Nakamura mulai bermain catur sejak dia berumur tujuh tahun. Dia menjadi master termuda di Amerika Serikat saat dia berumur 10 tahun. Menjadi grandmaster catur saat dia berumur 15 tahun, Nakamura mengalahkan rekor Bobby Fisher dan menjadi grandmaster termuda. Saat ini, dia juga merupakan pemain Blitz Chess nomor satu di dunia.

Sebagai organisasi esports, TSM punya roster di berbagai game, seperti Apex Legends, League of Legends, Valorant, dan lain sebagainya. Keputusan TSM untuk merekrut Nakamura mungkin terdengar aneh, mengingat catur bukanlah permainan yang dimainkan menggunakan PC atau smartphone. Namun, catur adalah salah satu permainan kompetitif tertua di dunia. Tak hanya itu, komunitas catur dunia juga cukup besar. Di Twitch, catur juga menjadi cukup populer di komunitas gamer.