Penguatan Jaringan Rantai Pasokan Jadi Strategi Pertumbuhan Bisnis Eden Farm

Pandemi yang telah mengubah pola konsumsi sayur dan buah masyarakat membawa angin segar bagi industri bisnis agritech. Penggunaan teknologi yang semakin lumrah juga menjadi salah satu penyebab kebiasaan membeli sayuran dan buah melalui aplikasi kini semakin masif terjadi.

Eden Farm adalah satu dari banyak pemain di industri agritech yang mengalami pertumbuhan signifikan. Mereka adalah pemasok bahan makanan segar, menggunakan teknologi untuk medium transaksinya. Klaim mereka, tahun ini ada 6 kali lipat pertumbuhan jika dibandingkan dengan tahun lalu.

Data internal mereka juga mencatat saat ini sudah melayani 20 ribu UKM, 2 ribu reseller, seribu restoran dan cafe, dan juga 25 startup partner di Jabodetabek dan Bandung. Eden Farm bahkan sudah mulai melebarkan sayap ke produk makanan beku untuk daging dan ikan.

“Kami juga memperkuat dua fondasi penting di sisi pasokan dan permintaan dengan membangun Eden Farm Sourcing Center (ESC) dan Eden Farm Distribution Network (EDN). ESC adalah program kerja sama langsung dengan petani untuk menentukan pola tanam, kepastian harga jual, dan kepastian jumlah hasil tani yang diambil setiap harinya. Sedangkan EDN adalah jaringan distribusi yang dibuat dengan memberdayakan masyarakat. EDN tersebar di berbagai lokasi serta berada dalam radius 5 km dari pelanggan sehingga pengiriman lebih cepat dan efisien,” terang Co-founder Eden Farm David Gunawan.

David lebih jauh menjelaskan bahwa kondisi bisnis mereka tetap baik di masa pandemi. Hubungan baik dengan petani melalui ESC membuat harga dan suplai tetap stabil. Faktor pelanggan yang berada di beragam industri juga menjadi hal lain yang membuat Eden Farm tidak terlalu banyak terpengaruh pandemi.

“Faktor berikutnya adalah karena customer Eden Farm yang tersebar di berbagai sektor. Sehingga ketika salah satu jenis customer terdampak oleh Pandemi, permintaan Eden Farm tidak serta merta anjlok karena masih ada jenis customer lain yang tetap stabil di masa pandemi ini. Harga kami yang bisa dikatakan paling murah di market juga membantu para customer kami untuk tetap menjalankan usaha kulinernya di waktu sulit ini,” imbuh David.

Sejatinya di industri agritech banyak pemain yang mengalami lonjakan. Bahkan sektor ini diramaikan dengan para pemain baru hasil dari pivot atau inovasi mereka yang berada di industri lain. Hal ini disebabkan karena fakta di lapangan bahwa kebutuhan akan buah dan sayuran segar memang tengah naik. Kini tantangannya adalah bagaimana membawa kestabilan kualitas dan stok, mengingat yang dicari tidak hanya buah dan sayuran, tetapi buah dan sayuran yang segar dan berkualitas.

Bagi startup yang tahun lalu mengantongi pendanaan dari  Y Combinator, Everhaus, Global Founders Capital, Soma Capital, S7 Venture dan sejumlah angel investor ini fokus pada peruasan ESC dan EDN adalah salah satu cara untuk tetap menjaga suplai dan kualitas produk mereka.

“Kami terus memperluas jaringan ESC dan EDN untuk memperkuat hubungan dan kualitas petani, infrastruktur permintaan serta membuat proses bisnis kami semakin efisien. Saat ini kami juga sedang mempersiapkan diri untuk melakukan ekspansi ke kota-kota lain di Indonesia. Target tahun 2021 adalah menjadi startup agritech B2B nomor 1 di Indonesia dari segi market share,” tutup David.

Application Information Will Show Up Here

Klaim Pertumbuhan Bisnis, Ula Perluas Kemitraan dan Adopsi Digital

Berdiri awal tahun 2020, Ula sebagai platform yang membantu wirausaha mikro di Indonesia memaparkan pertumbuhan bisnisnya. Meskipun pandemi, perusahaan mengalami pertumbuhan sebesar 30x lipat sejak pertama kali diluncurkan dan telah menjangkau lebih dari 7 ribu pengguna aktif yang menjadi mitra.

Ula yang mulai beroperasi di Surabaya awal tahun ini, telah memperluas jangkauan secara pesat di seluruh Jawa Timur dan baru-baru ini meluncurkan bisnisnya di Semarang, Jawa Tengah.

Setelah menjalankan bisnis selama 9 bulan, Ula mencatat beberapa pelanggan telah menikmati proses yang ditawarkan melalui aplikasi. Proses ini memudahkan akses mereka untuk membeli dalam jumlah besar dalam satu tempat untuk kemudian dikirimkan langsung ke warung mereka. Bersamaan dengan fulfillment service. Perusahaan juga menguji coba inisiatif lain yang akan meningkat engagement dan layanan kepada pelanggan.

“Fokus Ula adalah menawarkan variasi terbesar dengan harga terbaik untuk merchant. Ula bekerja sama dengan banyak penyedia layanan pihak ketiga, seperti agen penjualan lapangan dan penyedia logistik. Secara terpisah, kami juga bekerja sama dengan mitra yang memiliki visi dan misi yang sama. Kami sedang dalam pembicaraan dengan beberapa pihak tetapi karena diskusi bersifat pribadi, kami belum bisa menginformasikan secara detail,” kata Co-Founder CCO Ula Derry Sakti.

Bulan Juni 2020 lalu, Ula mengumumkan perolehan pendanaan awal senilai US$10,5 juta atau setara 148 miliar Rupiah. Putaran investasi dipimpin Sequoia India dan Lightspeed India, dengan keterlibatan SMDV, Quona Capital, Saison Capital, dan Alter Global. Beberapa angel investor juga turut berpartisipasi, meliputi Patrick Walujo, Willy Arifin, Sujeet Kumar, Vaibhav Gupta, Amod Malviya, Rohan Monga, dan Rahul Mehta.

Perluas kemitraan, ekspansi, dan fully digital

Dalam ekskusi bisnisnya, Ula mencoba untuk memberikan pelatihan kepada pelanggan untuk bisa mengadopsi layanan digital. Tim penjualan bekerja sama dengan pemilik toko untuk melatih mereka menggunakan aplikasi. Ula mencoba mendorong pemilik warung dan toko melakukan pemesanan sendiri di aplikasi. Saat ini perusahaan sedang mengembangkan AI powered chat-bot, untuk memungkinkan mereka memesan melalui chat.

“Ide kami sederhana, teknologi memungkinkan mereka untuk memesan saat mereka membutuhkan barang, tidak hanya ketika tim sales melakukan kunjungan saja. Jika mereka dapat memesan hanya ketika mereka membutuhkan sesuatu, mereka akan memesan barang dalam jumlah kecil dan memesan lebih sering. Dengan begitu, mereka tidak perlu memprediksi permintaan 1 atau 2 minggu sebelumnya. Sehingga bisa meminimalisir kehabisan stok atau membeli terlalu banyak barang yang tidak laku,” kata Derry.

Tahun ini hingga tahun 2021 mendatang, masih banyak rencana dan target yang ingin dicapai oleh perusahaan. Mulai dari terus melakukan ekspansi, hingga memastikan perusahaan bisa menjangkau lebih banyak toko dan warung bergabung menjadi mitra. Perusahaan juga akan terus menambah kategori baru termasuk di dalamnya bahan pokok, produk segar dan lainnya yang relevan dengan mitra. Perusahaan juga akan menambahkan lebih banyak kategori di luar kebutuhan sehari-hari.

“Di tahun 2021, kami juga akan menambah berbagai layanan baru. Misalnya, layanan keuangan dalam kemitraan dengan pemberi pinjaman berlisensi, layanan data dan pemasaran untuk brand yang perlu mendidik pengecer tentang produk baru mereka, membantu brand baru dan yang akan datang menjangkau audiens yang lebih luas. Kami juga akan menyediakan produk teknologi yang dibutuhkan toko untuk mengelola dan mengembangkan bisnis mereka sendiri,” kata Derry.

Application Information Will Show Up Here

Gambar Header: Depositphotos.com

Gojek Introduces GoToko, to Help Small Shops Maintain Stock

In using a network of partners and merchants in the ecosystem, Gojek officially launched GoToko for shop owners or grocery stores to fulfill goods and product inventory. In accordance with the campaign launched, namely #MelajuBersamaGojek, it is hoped that GoToko can become a relevant platform for shop owners.

As prioritizing end-to-end services, Gojek strives to optimize the supply demand of goods by shop owners and grocery stores. Currently, GoToko is only available in South Tangerang. In the future, Gojek plans to gradually expand to other areas.

“The launch of GoToko strengthens Gojek’s mission to provide solutions faced by users and at the same time creates a social and economic impact for more stakeholders. In order to grow, these SMEs need to receive adequate service support, even though the location of the stalls is difficult to reach and small business-coverage,” GoToko’s CEO Gurnoor Singh Dhillon said.

GoToko is also equipped with features such as monitoring order history, tracking the delivery of ordered goods, inventory management, access to sales and financial data, and product recommendations according to market demands. Access to promotional and loyalty programs from product brands is increasingly open through the GoToko platform.

The concept that targets the B2B segment is not much different from that of Mitra Tokopedia and Mitra Bukalapak, which previously offered by the marketplace platform. Meanwhile, platforms such as IDmarco and Warung Pintar also offer similar services for shop owners and grocery stores in Indonesia.

Expand partnerships and optimize logistics

In addition to SME empowerment, GoToko is also open collaborations for consumer goods producers to jointly expand product reach, therefore the visibility of relevant products for grocery store consumers can increase. Next, those who join will get real-time market analysis access to the shop level that covers all product brands.

“GoToko’s services will support producers in increasing the effectiveness and efficiency of sales and marketing of newly launched products, opening up opportunities to utilize marketing channels and digital campaigns, becoming new market research channels; promotion and marketing in accordance with targets, and reduce costs and increase efficiency in the operation of the general trade channel. This end-to-end relationship is expected to increase industrial progress,” Gurnoor said.

GoToko offers various product categories, ranging from food, beverages, household needs, toiletries, beauty, and health, as well as baby needs from various manufacturers. With only a cellphone and minimum specifications as Android 6, grocery store entrepreneurs can access the GoToko application.

“Gojek’s reliable logistics services are here to ensure timely delivery. Through middle mile, warehousing, and last-mile solutions, the product will arrive at the grocery store a maximum of the next day with next day and same-day delivery services,” Gojek Group’s Head of Logistics Junaidi said .

Supported by the cash on delivery payment system from Gojek, shop owners can optimize operational costs. Not only saving costs, time, and complexity issues previously faced when shopping manually can be resolved through the GoToko platform.

Furthermore, GoToko will also enhance technological innovation to be able to increase the opportunities for additional income for shop owners and grocery stores by utilizing products, services, and other Gojek members.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Gojek Luncurkan Aplikasi GoToko, Bantu Warung Penuhi Kebutuhan Barang Dagangan

Memanfaatkan jaringan mitra dan merchant dalam ekosistem, Gojek secara resmi meluncurkan GoToko yang bisa dimanfaatkan oleh pemilik warung atau toko kelontong untuk memenuhi barang dan produk penjualan. Sesuai dengan kampanye yang dilancarkan yaitu #MelajuBersamaGojek, diharapkan GoToko bisa menjadi platform yang relevan untuk pemilik warung.

Dengan mengedepankan layanan hulu ke hilir, Gojek berupaya untuk memaksimalkan persediaan barang yang dibutuhkan oleh pemilik warung dan toko kelontong. Saat ini GoToko baru tersedia di kawasan Tangerang Selatan saja. Ke depannya Gojek berencana untuk memperluas daerah lainnya secara bertahap.

“Peluncuran GoToko memperkuat misi Gojek untuk memberikan solusi atas masalah yang dihadapi pengguna dan di saat yang sama menciptakan dampak sosial dan ekonomi bagi lebih banyak pemangku kepentingan. Agar dapat berkembang, para pelaku UKM ini perlu mendapat dukungan layanan yang memadai, meskipun lokasi warung sulit dijangkau dan cakupan usaha kecil,” kata CEO GoToko Gurnoor Singh Dhillon.

GoToko juga dilengkapi dengan fitur-fitur seperti pemantauan riwayat pesanan, pelacakan pengiriman barang pesanan, inventory management, akses data penjualan dan keuangan, serta rekomendasi produk yang sesuai dengan permintaan pasar. Akses ke program promosi dan loyalty dari merek produk pun semakin terbuka melalui platform GoToko.

Konsep yang menyasar segmen B2B tidak jauh berbeda dengan Mitra Tokopedia dan Mitra Bukalapak, yang sebelumnya sudah ditawarkan oleh platform marketplace tersebut. Sementara platform seperti IDmarco dan Warung Pintar juga menawarkan layanan serupa untuk pemilik warung dan toko kelontong di tanah air.

Perluasan kemitraan dan maksimalkan logistik

Selain mendukung pertumbuhan pelaku UKM, GoToko juga bakal membuka kolaborasi para produsen barang konsumsi untuk bersama-sama memperluas jangkauan produk agar visibilitas produk yang relevan bagi konsumen warung kelontong dapat semakin meningkat. Nantinya produsen yang bergabung akan memperoleh akses analis pasar secara real time hingga ke tingkat warung yang mencakup seluruh merek produk.

“Layanan GoToko akan mendukung para produsen dalam meningkatkan efektivitas dan efisiensi penjualan dan pemasaran produk yang baru diluncurkan, membuka peluang dalam memanfaatkan saluran pemasaran dan kampanye digital, menjadi saluran riset pasar baru; promosi dan pemasaran yang sesuai dengan sasaran, dan mengurangi biaya dan meningkatkan efisiensi dalam pengoperasian saluran general trade. Hubungan hulu ke hilir ini diharapkan dapat meningkatkan kemajuan industri,” kata Gurnoor.

GoToko menawarkan berbagai macam kategori produk, mulai dari makanan, minuman, kebutuhan rumah tangga, perlengkapan mandi, kecantikan dan kesehatan, serta kebutuhan bayi dari berbagai produsen. Hanya menggunakan ponsel dengan spesifikasi minimum seperti Android 6, pelaku usaha warung kelontong dapat mengakses aplikasi GoToko.

“Layanan logistik Gojek yang andal hadir untuk memastikan pengiriman secara tepat waktu. Melalui solusi middle mile, pergudangan, dan last mile, produk akan sampai di warung kelontong maksimal satu hari berikutnya dengan layanan pengiriman next day dan same day,” kata Head of Logistics Gojek Group Junaidi.

Didukung oleh sistem pembayaran cash on delivery dari Gojek, pelaku usaha warung dapat mengoptimalkan biaya operasional. Bukan hanya menghemat biaya, persoalan waktu dan kerumitan yang sebelumnya dihadapi saat berbelanja secara manual bisa teratasi melalui platform GoToko.

Ke depannya, GoToko juga akan menyempurnakan inovasi teknologi untuk dapat meningkatkan peluang pendapatan tambahan pemilik warung dan toko kelontong dengan memanfaatkan produk, layanan, dan anggota Gojek lainnya.

Application Information Will Show Up Here

Chilibeli Introduces Chilimart, to Start Exploring B2B Model

Chilibeli introduces a special B2B platform called Chilimart targeting micro-entrepreneurs. Chilibeli was previously known as a community-based social commerce platform.

Chilibeli’s B2B Sales Manager Novel Leonardo explained that Chilimart has actually been operating since December last year. Chilimart was first designed to reach SMEs.

“The point is, we want to help MSMEs with Chilimart in terms of supply chain process and availability,” Novel said in a virtual press conference (26/8).

Based on the data collected by Chilibeli , there are nearly 65 million SMEs existed in Indonesia. Of this number, 63 million of those are called micro-enterprises. In other words, this micro-business has a central role in the domestic economy.

Entering the B2B segment

Through Chilimart, they are targeting micro-businesses such as vegetable shops, food stalls, grocery stores as their markets. They claim the products sold on the platform are very affordable because they go through a more efficient process including getting first hand supplies.

“Chilimart can directly take from the first hand, with the farmers or the main supplier so that we can get cheaper prices,” added Novel.

Chilibeli’s entrance into the B2B platform means to stir up the fierce battle in the online grocery vertical. Several other players have already implemented this model, including TaniHub and Kedai Sayur.

Novel explained the differentiation of Chilimart from its competitors is that its products are multi-segmented. That means Chilimart does not only provide food such as vegetables and meat but also fruits, instant food and drinks, spices, staples, to health and hygiene products.

In addition, Novel guarantees that their platform can deliver early in the morning as long as confirmation of orders can be made before three in the afternoon. “We invest in our logistics team, therefore, we can run at such hours,” he explained.

Side to side operation

Chilibeli claims Chilimart currently has 10,000 users from all of their operational areas, from Jabodetabek, Surabaya, Gresik, Sidoarjo, and Bandung. Especially in Jabodetabek, users are claimed to be around 6,000 users.

Nevertheless, Novel highlighted the fact that Chilimart complements the Chilibeli ecosystem. It means, they still maintain the concept of community-based social commerce.

“We are still social commerce after all. You could say we are still going both ways. There is a special team dedicated to the two businesses,” concluded Novel.

In addition, Chilibeli also collaborates with Lazada. It has been ongoing since last June. Through this collaboration, Chilibeli can distribute their food ingredients on the Lazada platform. The available food ingredients include vegetables, fruits, meat, eggs, and salted fish.

“Chilibeli is collaborating with Lazada to provide easier access for our customers. Since joining Lazada, Chilibeli has served hundreds of new customers with an increase of more than 1,500 orders in the last 3 months,” Chilibeli’s B2C Commercial Manager, Fintia said in a written statement.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Perkenalkan Chilimart, Chilibeli Kini Selami Model B2B [UPDATED]

Chilibeli memperkenalkan platform khusus B2B bernama Chilimart. Chilimart ini memilih pengusaha mikro sebagai target pasar mereka. Chilibeli sebelumnya lebih dulu dikenal sebagai platform social commerce berbasis komunitas.

Sales Manager B2B Chilibeli Novel Leonardo menjelaskan bahwa Chilimart sejatinya sudah mulai digulirkan sejak Desember tahun lalu. Chilimart didesain dari awal untuk menjangkau UKM.

“Intinya dengan Chilimart ini kita ingin membantu UMKM dalam segi supply chain process dan ketersediaannya,” ucap Novel dalam konferensi pers virtual (26/8).

Berdasarkan data yang Chilibeli kumpulkan, UKM di Indonesia berjumlah hampir 65 juta unit. Dari angka tersebut, 63 juta di antaranya mereka sebut merupakan usaha mikro. Dengan kata lain usaha mikro ini punya peran sentral terhadap perputaran ekonomi di dalam negeri.

Merambah B2B

Melalui Chilimart, mereka mengincar usaha mikro seperti toko sayur, warung makan, toko kelontong sebagai pasar mereka. Mereka mengklaim produk yang dijual di platform lebih terjangkau karena melalui proses yang lebih efisien termasuk memperoleh pasokan dari tangan pertama.

“Chilimart bisa langsung mengambil dari tangan pertama yakni petani atau supplier utama sehingga kita bisa mendapatkan harga lebih murah,” imbuh Novel.

Masuknya Chilibeli ke platform B2B berarti menambah sengit pertarungan di vertikal online grocery. Beberapa pemain lain yang sudah lebih dulu bermain dengan model ini di antaranya adalah TaniHub dan Kedai Sayur.

Novel menjelaskan yang membedakan Chilimart dengan kompetitor adalah produk mereka multi-segmen. Itu artinya Chilimart tidak hanya sekadar menyediakan pangan seperti sayur mayur dan daging, tapi juga buah-buahan, makanan dan minuman instan, bumbu, bahan pokok, hingga produk kesehatan dan kebersihan.

Di samping itu Novel menjamin bahwa platform mereka dapat melakukan pengantaran pada pagi dini hari asal konfirmasi pesanan dapat dibuat sebelum pukul tiga sore. “Kami investasi di tim logistik kami agar bisa masuk di jam-jam seperti itu,” terangnya.

Berjalan beriringan

Chilibeli mengklaim Chilimart saat ini sudah memiliki 10 ribu pengguna dari semua wilayah operasional mereka yakni Jabodetabek, Surabaya, Gresik, Sidoarjo, dan Bandung. Khusus di Jabodetabek, penggunanya diklaim sekitar 6.000 pengguna.

Kendati demikian, Novel menekankan bahwa Chilimart ini melengkapi ekosistem Chilibeli. Itu artinya, mereka tetap mempertahankan konsep social commerce berdasarkan komunitas.

“Kita tetap social commerce. Bisa dibilang kita tetap jalan dua-duanya. Ada tim khusus yang didedikasikan ke dua bisnis tersebut,” pungkas Novel.

Di samping memperkenalkan platform Chilimart, Chilibeli juga menjalin kerja sama dengan Lazada. Kerja sama keduanya sudah terwujud sejak Juni kemarin. Melalui kolaborasi ini, Chilibeli dapat menyalurkan bahan pangan mereka di platform Lazada. Adapun bahan pangan yang tersedia meliputi sayur-mayur, buah-buahan, daging, telur, hingga ikan asin.

“Chilibeli bergabung dengan Lazada untuk memberikan akses lebih mudah bagi pelanggan kami. Sejak bergabung dengan Lazada, Chilibeli telah melayani ratusan konsumen baru dengan peningkatan hingga lebih dari 1,500 order dalam 3 bulan terakhir,” ucap Commercial Manager B2C Chilibeli Fintia lewat pernyataan tertulis.

 

*Update: Kami menambahkan informasi kerja sama Chilibeli dengan Lazada.

Application Information Will Show Up Here

Tambah Layanan “Cold Storage”, Crewdible Berambisi Jadi Penyedia Jaringan Gudang Mikro Terbesar

Startup penyedia jaringan pergudangan mikro Crewdible mengumumkan perluasan bisnis ke gudang pendingin (cold storage) untuk melayani pelaku bisnis makanan beku (frozen food) membutuhkan fasilitas pendingin khusus. Inisiasi tersebut adalah langkah perusahaan mengantisipasi melonjaknya konsumsi makanan beku sejak pandemi.

Corporate Marketing Manager Crewdible Gunawan Lee menerangkan, cold storage memiliki fasilitas khusus seperti chest freezer, chiller, hingga cold storage room. Kebutuhan ini disiapkan untuk beragam produk, terutama yang cepat rusak (perishable) butuh kondisi suhu tertentu agar dapat mempertahankan kesegarannya.

“Pencapaian ini merupakan bagian dari usaha kami dalam memberikan kemudahan bagi pelaku usaha frozen food yang membutuhkan fasilitas penyimpanan khusus untuk membantu mengembangkan usahanya,” ucap Gunawan kepada DailySocial.

Alasan pihaknya masuk ke segmen ini dipicu karena berubahnya kebiasaan konsumsi masyarakat. Terbatasnya ruang gerak dan pilihan dalam membeli makanan membuat masyarakat mencari alternatif, salah satunya mempertimbangkan opsi makanan beku.

Dari sisi lain, teknologi pengolahan makanan beku turut mengalami peningkatan dalam hal kualitas dan keamanan bahan makanan. Pengguna jasa makanan beku pun meluas, seperti rumah sakit, hotel, maskapai penerbangan, hingga militer.

Kendati begitu, sambungnya, dari sisi pelaku bisnis ada beberapa tantangan saat mempertimbangkan penggunaan micro cold storage. Di antaranya adalah mencari ketersediaan lokasi yang sesuai dengan kebutuhan, besarnya biaya pengelolaan fasilitas yang harus disiapkan, serta kebutuhan manpower dan investasi fasilitas pendingin yang jumlahnya bisa mencapai ratusan juta Rupiah.

“Penggunaan micro cold storage melalui aplikasi Crewdible mampu memangkan berbagai kendala yang dihadapi tersebut. Dengan jaringan mitra, para pelaku bisnis tidak hanya mendapat referensi lokasi gudang yang strategis, namun juga berkesempatan untuk membuka potensi area distribusi baru guna mengembangkan jaringan usahanya.”

Dia melanjutkan, ada sejumlah ketentuan untuk mitra cold storage yang ingin bergabung. Bisa dimulai dari rumah dengan ruangan khusus berukuran 50 meter persegi. Adapun untuk keperluan B2C atau seller dari e-commerce, lebih diprioritaskan ruko/rukan sebagai mitra gudang karena kapasitas lebih besar.

“Kami juga memprioritaskan mitra yang berlokasi di tempat strategis, seperti di pusat kota, atau mitra yang pernah handle usaha frozen food, baik yang pernah berjualan atau pernah jadi stockist. Terakhir, memprioritaskan mitra yang sudah punya fasilitas micro cold storage, seperti chest freezer dan chiller.”

“Namun demikian, kami juga akan tetap membantu penyediaan fasilitas bagi mitra gudang yang berencana menjadi cold storage, tetapi belum memiliki perangkat yang dibutuhkan,” sambung dia.

Gunawan menargetkan sampai akhir tahun ini diharapkan total mitra gudang pendingin dapat mencapai angka 200 unit di seluruh Indonesia. Mereka juga tengah menyiapkan ekosistem distribusi dari para pengguna mitra cold storage Crewdible agar alur suplai (supply chain) jadi lebih efektif dan efisien.

Selain itu, perusahaan akan membantu pengguna mitra cold storage Crewdible untuk memasarkan produknya melalui e-commerce channel seperti situs marketplace, social media commerce, serta kanal lainnya.

Salah satu mitra cold storage dari Crewdible / Crewdible
Salah satu mitra cold storage dari Crewdible / Crewdible

Meski Crewdible hanya bertindak sebagai penyedia jaringan gudang mikro, proses pengadaan (fulfillment) sepenuhnya dikerjakan oleh mitra gedung. Akan tetapi, Gunawan mengaku kalau ada lima gudang yang dioperasikan langsung oleh tim Crewdible di Jabodetabek.

Mekanisme penggunaan Crewdible sepenuhnya melalui aplikasi dan dan mendaftarkan diri sebagai seller. Seller dapat mencari referensi gudang dan langsung mengirimkan produknya untuk di simpan di sana. Aplikasi juga dapat digunakan untuk memantau aktivitas pergudangan, termasuk jenis produk dan jumlah stok barang yang disimpan.

Apabila ada pesanan, seller cukup memasukkan pesanan ke dalam order management system (OMS) Crewdible untuk disiapkan menuju proses fulfillment oleh pihak gudang. Tim Crewdible akan mengemas produk untuk dijemput oleh pihak logistik, sesuai dengan pesanan pembeli.

Disebutkan, jumlah pengguna gudang Crewdible telah tembus dari 16 ribu pebisnis sejak perusahaan pertama kali beroperasi. Mayoritas dari seller ini menjual produknya lewat platform e-commerce dengan kategori fesyen, peralatan rumah (home living), dan makanan.

Adapun total mitra gudang angkanya lebih dari 100 gudang tersebar di seluruh Indonesia. Perusahaan juga telah memisahkan penggunaan gudang berdasarkan kategori produk halal dengan non-halal tidak dalam satu fasilitas yang sama.

Kompetisi dengan TokoCabang

Gunawan mengaku kalau konsep fulfillment yang diterapkan Crewdible mirip dengan apa yang Tokopedia terapkan di TokoCabang. Namun ia menekankan ada sejumlah perbedaan, di antaranya perusahaan mengusung konsep desentralisasi, baik micro storage maupun non-micro storage. Lalu, tidak mengenakan biaya penyimpanan (storage fee) kepada pengguna sejak awal.

“Crewdible dapat mengubah fixed cost yang selalu membebani seller menjadi variable cost berbasis commission. Bagi siapa pun yang tertarik mencoba layanan kami, dipastikan kami tidak membebani seller dengan storage fee di awal.”

Pembeda lainnya, Crewdible bersifat multi-channel yang dapat menghilangkan batas-batas antar-marketplace. Alias, pengguna dapat memanfaatkan gudang untuk semua bisnisnya di berbagai platform.

“Kami akan tetap terbuka dengan marketplace lain yang ingin menggunakan fasilitas dan infrastruktur dari Crewdible.”

Meski belum bersedia mendetailkan, Gunawan mengungkapkan pihaknya sedang dalam proses penjajakan kerja sama untuk menjadi official fulfillment center untuk salah satu pemain marketplace terbesar di Indonesia.

Application Information Will Show Up Here

Ula dan Sejumlah Startup Upayakan Disrupsi Rantai Pasokan FMCG

Pendanaan tahap awal $10 juta yang diterima Ula cukup ramai diperbincangkan beberapa waktu lalu. Nilainya bisa dibilang sangat besar untuk sebuah startup yang baru diinisiasi sejak awal tahun ini dan produknya sedang dalam fase Minimum Viable Product (MVP). Yang jelas, kapasitas dan latar belakang founder menjadi salah satu faktor yang membuat para investor percaya; namun di lain sisi prospek bisnis pasti turut menjadi salah satu variabel dalam kalkulasi dan hipotesis investasi mereka.

Solusi yang ditawarkan Ula adalah mendisrupsi rantai pasokan bisnis FMCG (Fast-moving Consumer Goods). Mereka mengembangkan aplikasi yang memungkinkan pelaku UKM (khususnya pemilik warung) untuk mendapat beragam produk dagangan secara efisien dengan harga yang diklaim lebih terjangkau, karena memungkinkan terhubung langsung dengan brand. Sehingga mereka mengakomodasi beberapa proses sekaligus: pemesanan, logistik, pembayaran, dan pembiayaan.

Tidak hanya Ula

Jauh sebelum ini, di tahun 2014, Kudo (kini bernama GrabKios by Kudo) debut dengan layanan yang memungkinkan warung tradisional melakukan lebih banyak hal, seperti melakukan berbagai pembayaran, transfer dana, hingga menjembatani masyarakat untuk membeli produk di layanan e-commerce. Startup yang telah diakuisisi Grab tersebut sudah merangkul 2,8 juta mitra di 505 kota dan kabupaten di Indonesia. Menghasilkan nilai transaksi hingga 2,7 triliun Rupiah.

Warung menjadi aspek penting dalam perekonomian di Indonesia. Keberhasilan Kudo menjadi legitimasi yang memvalidasi bahwa “pendekatan warung” sangat relevan untuk menjangkau pangsa pasar di kancah nasional – khususnya di kalangan menengah ke bawah. Konsep tersebut akhirnya direplikasi oleh beberapa pemain digital, tak terkecuali para unicorn di sektor e-commerce, seperti program Mitra Tokopedia, Mitra Bukalapak, hingga yang terbaru Mitra Shoppe.

Tahun 2018 GudangAda diluncurkan, menjadi marketplace B2B khusus produk FMCG. Fokusnya memberdayakan seluruh rantai pasokan, sehingga memudahkan bisnis mengakses berbagai produk secara efisien. Awal tahun ini mereka mendapatkan pendanaan awal dari sejumlah investor untuk akselerasi bisnis. Sasaran mereka adalah ritel tradisional, termasuk warung atau toko kelontong di berbagai daerah.

Potensi yang ada

Solusi layanan tersebut menyelesaikan isu yang sangat fundamental. Berdasarkan hasil riset bertajuk The Future of Southeast Asia’s Digital Financial Services, sekurangnya 92 juta penduduk berusia dewasa di Indonesia belum tersentuh layanan finansial perbankan (unbankable) – sehingga sulit bagi mereka untuk mengakses layanan digital transaksional secara langsung. Jumlah tersebut sangat besar, bahkan lebih besar dari total penduduk negara-negara di Asia Tenggara kecuali Filipina.

Warung adalah sistem bisnis yang paling menjangkau mereka – tempat ekonomi mikro di berbagai penjuru Indonesia berputar. Menurut data Sensus Ekonomi 2016 yang dirilis BPS, dari 26,4 juta unit Usaha Mikro Kecil (UMK) & Usaha Menengah Besar (UMB), sebanyak 46,38% masuk dalam kategori “Perdagangan Besar dan Eceran, Reparasi dan Perawatan Mobil dan Sepeda Motor” – warung masuk di sana. Jumlah ini sekaligus menjadi yang paling besar di antara jenis usaha lain yang ada di Indonesia.

Dalam wawancara dengan DailySocial, Co-Founder Ula Nipun Mehra menjelaskan analisisnya mengapa startupnya mantap merambah sektor ini. Menurutnya, ritel tradisional seperti warung adalah pilar utama ekonomi Indonesia. “Ini adalah backbone dari ekonomi konsumsi, sekaligus mempekerjakan jutaan orang. Peritel tradisional tergolong cost-effective dan memiliki pengetahuan mendalam mengenai pasar lokal. Namun, sektor ini adalah bagian paling rentan dari value chain, karena mereka biasanya bekerja secara individual dengan skala kecil.”

Diversifikasi yang coba dihadirkan adalah efisiensi sumber daya dan permodalan dengan menghadirkan sistem doorstep (pengiriman produk secara langsung) yang hemat biaya. Selain menghubungkan peritel dengan penyedia stok produk FMCG, mereka juga akan memperluas cakupan produk di kategori busana. Semua upaya peningkatan pengalaman peritel yang dilakukan Ula sepenuhnya mengutamakan pemanfaatan teknologi. “Kami menjaga pengalaman pengguna tetap sesederhana mungkin dan teknologi dihadirkan untuk menghilangkan kerumitan yang ada.”

Nipun menambahkan, “Pengiriman tepat waktu adalah salah satu alasan terkuat mengapa para mitra memilih melakukan transaksi di Ula. Kami dapat melakukan itu karena semua pemrosesan otomatis dan didorong oleh data.”

Di tahap awal ini Ula melakukan pilot project untuk MVP-nya di area Jawa Timur.

Co-Founder & CEO GudangAda Stevensang kepada DailySocial mengungkapkan, di era digital ini semakin banyak tantangan yang harus dialami oleh pemilik toko tradisional, seperti semakin sulitnya mendapatkan salesman, meningkatnya risiko bisnis, ancaman dari e-commerce besar yang langsung menghubungkan principal dengan retailers, generasi berikutnya dari pemilik toko yang enggan meneruskan bisnis keluarga yang masih konvensional, dan lain-lain; yang akan menyebabkan penurunan bisnis dan laba di kemudian hari.

“GudangAda didirikan karena adanya keprihatinan terhadap kelangsungan bisnis toko tradisional di era digital. Konsep bisnis GudangAda adalah untuk memberdayakan semua pihak yang terlibat dalam ekosistem sehingga bisa mendapatkan manfaat yang optimal dari platform. Dengan ikut dalam platform GudangAda, toko bisa berperan sebagai penjual dan/atau pembeli.”

Model bisnis

Membahas startup yang mencoba menghadirkan platform “new retail” untuk bisnis tradisional, ada satu pertanyaan yang muncul: alih-alih membuat layanan e-commerce untuk pemenuhan stok warung, kenapa tidak memilih pendekatan direct-to-consumer dengan menjual produk tersebut langsung ke konsumen akhir?

Menanggapi ini, Nipun mengatakan, “Warung sangat hemat biaya. Mereka adalah wirausaha mikro yang menjalankan toko mereka di sekitar rumah. Kebanyakan mempekerjakan keluarga dan sebagian besar bebas pajak. Mereka melayani cash-flow sensitive market. Rata-rata orang Indonesia masih lebih suka berbelanja offline. Mereka membeli dalam jumlah kecil dan dengan frekuensi tinggi.”

“Model e-commerce B2C tidak dapat mengakomodasi pesanan dengan nilai keranjang kecil karena biaya pengiriman sangat tinggi. Hal ini memungkinkan hanya produk tertentu saja yang dapat bertahan di toko offline. Misalnya, sampo sachet sangat sulit dijual di platform B2C tetapi berfungsi baik di toko offline. Karena itu, tidak mengherankan, bahwa setelah miliaran dolar produk masuk ke e-commerce B2C, pangsa pasar yang dirangkul tetap di bawah 10%.”

new retail

Banyak aspek bisnis yang bisa diakomodasi. Pemain yang ada setidaknya bisa dipetakan jadi lima komponen di atas. Misalnya Kudo, mereka menghadirkan poin pembayaran, pembiayaan, dan produk digital. Beda lagi dengan GudangAda yang banyak fokus di rantai pasokan. Sementara Ula debut dengan sistem yang mengakomodasi rantai pasokan dan pembiayaan. Masing-masing punya masalah spesifik yang hendak diselesaikan.

Ambil contoh soal pembiayaan. Ada budaya “utang” di kalangan pelanggan warung. Karena sifatnya lebih personal, kadang tidak ada model penagihan khusus yang mengakibatkan arus kas pemilik warung terganggu. Sstem pembiayaan memungkinkan warung untuk mendapatkan stok produk terlebih dulu dan membayarnya kemudian saat jualan sudah laku.

“Ya, saat ini Ula bermitra dengan beberapa lembaga penyedia pinjaman. Tugas kami memastikan pembiayaan sampai kepada pemilik toko. Kami senang memainkan peran sebagai mitra bagi perusahaan fintech yang dapat memanfaatkan data dan platform Ula untuk mengucurkan kredit modal kerja,” pungkas Nipun.

Ula Receives 148 Billion Rupiah Seed Funding, Offering Supply Chain Platform and Capital Support

Ula, a startup working on supply-chain solutions for small shops and SMEs, today (10/6) announced seed funding worth of US $10.5 million or equivalent to 148 billion Rupiah. The investment round was led by Sequoia India and Lightspeed India, with the participation of SMDV, Quona Capital, Saison Capital, and Alter Global. Several angel investors also participated, including Patrick Walujo, Willy Arifin, Sujeet Kumar, Vaibhav Gupta, Amod Malviya, Rohan Monga, and Rahul Mehta.

The new platform was launched in January 2020 and has a head office in Jakarta. The business concept relies on e-commerce-based applications consists of a wide selection of wholesale merchandise with high demand by stall owners or other SMEs, specifically related to daily needs (FMCG). A unique thing about this service unique is that it allows users to use the pay later feature in the application. This flexible payment is considered to solve capital problems that often blocked small stalls to grow.

Currently Ula is still testing the beta version of its product in the East Java region. Moreover, it is targeted to immediately cover all potential users in Java and expand the product categories to electronics and fashion. The founders were quite optimistic, especially during the Covid-19 pandemic, online fulfillment services continued to increase.

Despite its business focus in Indonesia, Ula’s development team is not only in Jakarta, but also in India and Singapore. Ula was founded by four founders with working experience in global companies including Derry Sakti, Riky Tenggara, Nipun Mehra, and Alan Wong.

Together support the SME industry

In Indonesia, there are some startups trying their luck in similar business verticals. One of which is Klikdaily, their services also make it easier for shop owners to get supply chain. In May 2020, they announced series A funding led by Global Founders Capital. In addition, there also TokoPandai, Limakilo, Kudo, and so on.

Some other technology platforms have started supply chain models in various forms. For example, what Moka’s point of sales developer did with Moka Fresh products. Integrating the fulfillment of small businesses’ basic commodities through one door. In addition, a partnership program initiated by e-commerce giants, such as Mitra Bukalapak, Tokopedia, to Shopee – which also targets fulfillment segment in traditional stalls.

The market potential is quite large, according to Ula’s data, traditional retailers contribute almost 80% of the overall market share value in developing countries like Indonesia. The business model also empowers millions of people in various parts of the region; in terms of business, they are considered to be the most understanding of consumers’ characteristics around them, thus ensuring its products always on target.

However, there are problems that usually blocked business people to grow big, mostly related to working capital and lack of human resources, therefore, business development becomes stagnant. Ula is trying to solve both issues through a one-stop-fulfillment platform, along with credit services based on data analysis with intelligent systems.

“For us, the scale of Ula’s success is measured by how much customers can improve their business and lives. Our vision is to revolutionize the SME trade with technology, help improve their efficiency, and provide tools (technology) to facilitate business,” Riky Tenggara said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Ula Dapatkan Dana Awal 148 Miliar Rupiah, Tawarkan Platform “Supply Chain” Dilengkapi Bantuan Modal

Ula, startup yang menggarap solusi supply-chain untuk warung dan UKM, hari ini (10/6) mengumumkan perolehan pendanaan awal senilai US$10,5 juta atau setara 148 miliar Rupiah. Putaran investasi dipimpin Sequoia India dan Lightspeed India, dengan keterlibatan SMDV, Quona Capital, Saison Capital, dan Alter Global. Beberapa angel investor juga turut berpartisipasi, meliputi Patrick Walujo, Willy Arifin, Sujeet Kumar, Vaibhav Gupta, Amod Malviya, Rohan Monga, dan Rahul Mehta.

Platform ini baru diluncurkan pada Januari 2020 dan memiliki kantor pusat di Jakarta. Konsep bisnisnya mengandalkan aplikasi berbasis e-commerce yang berisi berbagai pilihan barang dagangan grosir yang biasa diburu oleh pemilik warung atau pelaku UKM lainnya, khususnya terkait kebutuhan sehari-hari (FMCG). Satu hal yang membuat layanan ini unik, memungkinkan penggunanya untuk memanfaatkan fitur paylater yang tertanam di aplikasi. Pembayaran yang fleksibel ini dinilai dapat menyelesaikan masalah permodalan yang kerap dihadapi warung kecil untuk bertumbuh.

Saat ini Ula masih menguji versi awal produknya dalam private beta di wilayah Jawa Timur. Setelah itu ditargetkan segera merangkul seluruh calon pengguna di Jawa dan memperluas kategori produk ke elektronik dan fesyen. Para founder cukup optimis, terlebih dengan adanya pandemi Covid-19, layanan pemenuhan kebutuhan secara online terus meningkat.

Kendati fokus bisnisnya di Indonesia, tim pengembang Ula tidak hanya berbasis di sini, namun juga ada yang di India dan Singapura. Ula didirikan oleh empat orang founders yang memiliki pengalaman bekerja di perusahaan global meliputi Derry Sakti, Riky Tenggara, Nipun Mehra, dan Alan Wong.

Ramai-ramai sokong bisnis UKM

Di Indonesia sejatinya sudah ada beberapa startup yang coba peruntungan di vertikal bisnis serupa. Sebut saja Klikdaily, layanan mereka turut mudahkan pemilik warung dapatkan stok produk. Pada Mei 2020 lalu baru bukukan pendanaan seri A yang dipimpin Global Founders Capital. Selain itu masih ada TokoPandai, Limakilo, Kudo dan sebagainya.

Beberapa platform teknologi lain juga telah memulai model supply chain dengan berbagai bentuk. Misalnya yang dilakukan pengembang point of sales Moka dengan produk Moka Fresh. Mengintegrasikan sistem pemenuhan bahan pokok pengusaha kecil lewat satu pintu. Atau program kemitraan yang diinisiasi raksasa e-commerce, seperti Mitra Bukalapak, Tokopedia, hingga Shopee — yang juga menyasar pemenuhan kebutuhan di warung-warung tradisional.

Potensi pasarnya memang besar, menurut data yang disampaikan Ula, di negara berkembang seperti Indonesia ritel tradisional hampir berkontribusi 80% dari nilai pangsa pasar keseluruhan. Model bisnisnya turut memberdayakan jutaan orang di berbagai pelosok wilayah; dari sisi bisnis pun mereka dianggap yang paling mengerti tentang karakteristik konsumen di sekitarnya, sehingga memastikan produk yang selalu tepat sasaran.

Namun ada permasalahan yang mengganjal para pelaku bisnis tadi untuk bertumbuh besar, paling umum terkait modal kerja yang kurang optimal dan SDM yang kurang cakap, sehingga perkembangan bisnis jadi stagnan. Dua hal ini yang coba diselesaikan Ula melalui platform pemenuhan kebutuhan di satu pintu, dilengkapi layanan kredit yang didasarkan pada analisis data dengan sistem cerdas.

“Bagi kami, ukuran kesuksesan Ula diukur dengan seberapa besar para pelanggan dapat meningkatkan bisnis dan kehidupannya. Visi kami adalah merevolusi perdagangan UKM dengan teknologi, membantu meningkatkan efisiensi mereka, dan menghadirkan alat (teknologi) yang memperlancar bisnis,” ujar Riky Tenggara.

Application Information Will Show Up Here