Asia Pasifik Jadi Pasar Penting Bagi Ekosistem Aplikasi di Google Play

Google Play menjadi salah satu pasar aplikasi terbesar di dunia berkat popularitas platform Andorid yang terus meningkat dalam lima tahun belakangan. Perusahaan analisis data AppAnnie mengeluarkan laporan khusus menyambut usia 10 tahun Google Play. Dalam laporannya disebutkan, Asia Pasifik saat ini memegang peran penting dalam pertumbuhan ekosistem aplikasi.

Mengamati pertumbuhan download dan consumer spend Google Play dari tahun 2012, AppAnnie mencatat terjadi pertumbuhan yang cukup signifikan, paling tinggi pada tahun 2015 dan 2017. Terjadi lonjakan hampir 2 kali lipat. Di akhir 2018 ini diprediksikan consumer spend di Google Play senilai $27 miliar. Konsisten naik dari tahun ke tahun.

Asia Pasifik menjadi regional paling penting bagi kenaikan ini. Total sejak tahun 2015 regional tersebut menyumbang 51% dari total consumer spend yang didapatkan Google. Di tahun 2017, Asia Pasifik menyumbang lebih dari $11 miliar dari total $22 miliar pendapatan Google Play, dengan perbandingan untuk kategori games $10,1 miliar dan $0,9 miliar untuk aplikasi.

Sementara untuk download, sepanjang Google Play beroperasi, India, Amerika Serikat, dan Brazil menjadi tiga teratas dengan jumlah unduhan masing-masing 36 miliar, 55,1 miliar, dan 25,2 miliar. Sementara Indonesia berada di urutan ke lima dengan total unduhan mencapai 14,6 miliar.

Laporan AppAnnie

Asia Pasifik juga berperan sebagai pengembang

Selain menjadi regional penyumbang terbesar untuk urusan download dan consumer spend, Asia Pasifik masuk dalam daftar pengembang aplikasi yang paling banyak digunakan. Seperti game Puzzle & Dragon (GungHo Online Entertainment) dan Monster Strike (mixi) dari Jepang yang menjadi game dengan consumer spend tertinggi sejauh ini.

Dalam jajaran 10 besar juga ada nama-nama seperti Fate/Grand Order (Sony / Japan), Lineage M (NCSOFT / Korea Selatan), Lineage 2 Revolution (Netmarble / Korea Selatan), dan Clash of Kings (Elex Techonology / Tiongkok).

Demikian juga untuk kategori aplikasi dengan consumer spend paling tinggi. Dari 10 besar ada 6 aplikasi berasal dari Asia Pasifik. Mereka adalah LINE (Jepang), LINE Manga (Jepang), KakaoTalk (Korea Selatan), LINE PLAY (Jepang), BIGO LIVE (Singapura), dan Pokecolo (Jepang).

AppsFlyer: Iklan Game di Indonesia Didominasi Kategori “Midcore & Strategy”

Baru baru ini perusahaan riset pemasaran AppsFlyer merilis sebuah laporan bertajuk “Status Pemasaran Aplikasi Game 2018”. Salah satu poin yang diungkapkan pada laporan tersebut mengenai persentase iklan game mobile di Indonesia yang didominasi oleh kategori midcore & strategy.

Kategori midcore & strategy meliputi jenis permainan petualangan, simulasi, aksi, permainan peran, strategi, arcade dan balap. Dalam laporan juga disebutkan kategori tersebut mendominasi iklan di Indonesia dengan persentase mencapai 62%.

Laporan AppsFlyer juga menyebutkan bahwa salah satu tantangan industri game di Indonesia adalah meningkatkan jumlah pendapatan. Dengan rata-rata konversi 1% pada hari ke-90 rilis, dinilai masih cukup rendah jika dibandingkan dengan game dari negara seperti Jepang dan Australia dengan persentase mencapai 3,5%.

Laporan juga mengungkap transaksi pembelian dalam permainan. Rata-rata pengguna Android di Indonesia rela merogoh kocek sebesar $0,25 (sekitar 4 ribu Rupiah), sedangkan perangkat iOS rela membayar $0,43 (sekitar 6 ribu Rupiah).

“Dengan ribuan pesaing di seluruh wilayah, kemampuan aplikasi game seluler Indonesia untuk mengusahakan adanya keterlibatan pemain dari waktu ke waktu terbilang sulit. Tanpa penggunaan berkelanjutan, aplikasi game tidak dapat mendorong pendapatan dengan layak, baik dari pembelian in-app maupun dari iklan in-app,” terang President & Managing Director APAC AppsFlyer Ronen Mense.

Indonesia juga mendapatkan angka retensi rendah jika dibanding dengan negara-negara maju seperti Jepang, Jerman, Amerika Serikat, dan Inggris. Angka retensi pengguna di Indonesia bahkan dua kali lebih rendah dibanding negara tersebut.

“Meskipun secara keseluruhan angka retensi dibilang rendah, Indonesia memiliki sejumlah aplikasi [game] yang diprediksi akan sukses dengan porsi unduhan yang banyak. Jumlah ini dapat mengoptimalisasi target dari aplikasi yang berkompetisi,” imbuh Ronen.

Hal lain yang juga disoroti adalah soal kemajuan teknologi smartphone yang semakin canggih, membuat segmen game kategori midcore & strategy memiliki peluang yang cukup besar untuk dikembangkan lebih jauh lagi.

Laporan DailySocial: Fintech Report 2018

Di antara beberapa kategori industri digital lainnya, fintech banyak dikatakan yang paling pesat pertumbuhannya dalam beberapa tahun terakhir. Dengan pangsa pasar dan model bisnis yang beragam, perkembangan fintech menjadi menarik untuk diikuti.

Tahun ini DailySocial kembali merilis signature report bertajuk “Fintech Report 2018“. Melanjutkan publikasi tahun lalu, laporan ini mencoba menyajikan tren perkembangan industri fintech di Indonesia selama tahun 2018.

Terdapat empat pembahasan utama di laporan ini, yakni mengenai dinamika industri, pemain fintech terkini, perspektif konsumen terhadap layanan fintech, dan perspektif industri terhadap ekosistem fintech.


Banyak temuan menarik yang coba dirangkum dalam laporan ini, beberapa di antaranya sebagai berikut:

  1. Fintech lending menjadi yang paling dominan mewarnai industri tahun ini. Dari $182,3 juta total pendanaan yang diumumkan untuk startup fintech tahun ini, 57% terkait dengan sub-sektor lending –mencakup p2p lending dan payday loan.
  2. Masyarakat semakin aware dengan pentingnya regulasi fintech. Hal ini dibuktikan dalam survei konsumen yang dilakukan bersama Jakpat Mobile Survey Platform. Dari 1419 responden, 98.03% menyatakan sepakat bahwa fintech harus terdaftar dan diawasi Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan.
  3. Industri menilai saat ini pangsa pasar Indonesia cukup memadai untuk fintech. Separuh dari responden mengatakan literasi digital konsumen Indonesia sudah baik, namun sisanya menyatakan masih perlu edukasi lebih banyak.
  4. Dalam laporan juga disajikan layanan fintech populer berdasarkan kategorinya. Untuk e-money, Go-Pay (79,38%) masih berada di peringkat pertama, disusul OVO (58,42%) di posisi kedua.

Selain e-money, masih ada kategori lain yang dibahas dalam laporan, termasuk payday loan, p2p lending, insurtech, hingga credit loan. Dirangkum juga daftar pemain fintech yang ada saat ini, beserta regulasi baru yang diterbitkan oleh Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan. Selengkapnya unduh gratis Fintech Report 2018.

Catcha Group: Fintech dan Healthtech Diprediksi Jadi Unicorn Indonesia Selanjutnya

Awal tahun ini, Catcha Group merilis delapan prediksi untuk industri startup di Asia Tenggara. Kini Catcha Group kembali merilis tiga prediksi lanjutan terkait masa depan industri startup Indonesia di tahun 2020 mendatang.

Pertama, pendanaan ke startup Indonesia diprediksi melampaui Singapura. Hal ini diperkuat dengan target Indonesia menambah startup berstatus unicorn selanjutnya sebagaimana dikemukakan pula oleh Menkominfo Rudiantara.

Menurut Patrick Grove, Co-founder & Group CEO Catcha Group, dengan target punya lebih dari empat unicorn dalam beberapa tahun mendatang, Indonesia punya potensi untuk menggeser Singapura sebagai negara dengan alokasi pendanaan terbesar di Asia Tenggara saat ini.

Kemudian fakta lainnya adalah Indonesia memiliki pasar yang luas dengan populasi sebagai kekuatannya. Populasi digital Indonesia mencapai 131 juta, jauh lebih besar dibanding Singapura, yang hanya 5 juta. Saat ini total kapitalisasi startup besar di Indonesia mencapai $20 miliar, sedangkan Singapura $22 miliar.

Tak hanya itu, Grove juga mengungkap deal pendanaan seri C tengah naik di Indonesia meski pertumbuhannya lambat. Singapura justru sebaliknya.

“Posisi Indonesia dengan pasar 26 kali lebih besar dari Singapura memberikan ruang untuk tumbuh signifikan sebagaimana terlihat dari total pendanaan yang disuntik ke startup Indonesia” papar Grove.

Prediksi kedua, Indonesia bakal memegang porsi terbanyak sebagai penghasil “Next Indonesia unicorn” atau Nexicorn (startup) bernilai $100 juta. Pertumbuhan pengguna internet, perkembangan ekonomi, tingginya peluang suntikan investasi, hingga market size akan mendorong Indonesia untuk mencapai hal itu.

Fintech dan healthcare mulai diburu investor

Sejalan dengan hal di atas, Catcha Group memprediksi ada dua unicorn selanjutnya di Indonesia, dan masing-masing datang dari sektor fintech dan healthcare. Kedua sektor ini dinilai tengah mendominasi pertumbuhan startup di Tanah Air.

Pasar healthcare Indonesia diprediksi mencapai $363 miliar di 2025, naik 18 kali lebih besar dari $20 miliar di 2010. Besarnya nilai tersebut turut didorong oleh tingginya permintaan terhadap layanan kesehatan.

Sebagaimana disampaikan VP Products Halodoc Alfonsius P Timboel, industri kesehatan indonesia mengalami banyak tantangan, seperti kurangnya tenaga medis. Saat ini hanya 160 ribu dokter di Indonesia yang melayani 250 juta populasi Indonesia.

Ada dua startup yang mengisi pasar layanan healthcare berbasis digital di Indonesia, yakni Halodoc dengan valuasi $13 juta dan Alodokter dengan $12,1 juta.

Beralih ke fintech, ada banyak sekali pemain yang masuk ke pasar Indonesia. Wajar mengingat setiap startup berusaha mengambil kue pasar yang sangat besar ini. Laporan mengungkap bahwa 64 persen orang Indonesia berusia 25 tahun tidak memiliki rekening bank (unbanked). Ini merepresentasikan potensi kuat bagi startup fintech.

Bicara market size, nilainya di Indonesia pada 2017 mencapai $22 miliar, estimasinya akan meroket ke $54 miliar di tahun 2025. Adapun peneterasi layanan fintech di Indonesia sudah mencapai 46 persen terhadap 133 juta pengguna internet.

Karena hal ini, investor lokal dan luar punya alasan kuat untuk menyuntik dananya di luar sektor e-commerce karena gencarnya upaya perusahaan lokal masuk ke pasar dan pemerintah yang mulai memberikan dukungan terhadap sektor ini.

Sebagai gambaran, deal pendanaan untuk startup fintech di Indonesia terus naik dari hanya tiga di 2014, meningkat ke 11 (2015), 21 (2016), dan 53 di 2017.

Laporan Bain & Company: Indonesia dan Vietnam Makin Diminati Investor Startup

Dalam laporan yang dirilis Bain & Company tercatat pertumbuhan investasi startup di Asia Tenggara yang cukup masif. Di tahun 2017, investasi yang digelontorkan kepada startup sebanyak 524 transaksi. Sementara itu di tahun yang sama private equity (dana ekuitas swasta) nilainya mengalami peningkatan 75% hingga $15 miliar.

Salah satu alasan mengapa banyak investor asing dan lokal yang mulai aktif memberikan dana segar kepada startup di Asia Tenggara adalah stabilitas dan kelancaran dari venture capital dan private equity.

Banyak investor baru yang tertarik dengan fundamental ekonomi makro yang kuat. Selain itu mulai banyak kesempatan untuk berinvestasi di negara-negara berkembang dan pendalaman pasar sekunder untuk transaksi di semua ukuran bisnis.

Laporan riset juga mengemukakan bahwa ekosistem investasi di Asia Tenggara telah melewati masa kritis dan memasuki fase pertumbuhan. Diprediksikan nilai transaksi selama lima tahun ke depan akan mencapai $70 miliar, dua kali lipat dari lima tahun sebelumnya. Diharapkan bisa menghasilkan sedikitnya 10 unicorn baru pada tahun 2024.

Perusahaan teknologi hingga layanan kesehatan

Perusahaan rintisan yang berbasis teknologi memiliki daya tarik tersendiri bagi venture capital asing dan lokal. Jumlah investasi meningkat banyak sekitar 40% di tahun 2017, dibandingkan tahun 2014 yang hanya sekitar 20% saja. Asia Tenggara juga menjadi kawasan yang mampu melahirkan startup unicorn, yang telah menghasilkan valuasi startup hingga $1 miliar atau lebih.

Sejak tahun 2012, 10 unicorn termasuk Grab, Go-Jek, dan Traveloka telah menciptakan nilai pasar gabungan sebesar $34 miliar, peringkat Asia Tenggara saat ini berada di posisi ketiga di kawasan Asia-Pasifik, setelah Tiongkok dan India.

Salah satu kategori yang saat ini mulai marak hadir dan telah menjadi favorit adalah layanan kesehatan berbasis teknologi (healthtech). Fullerton Health, misalnya, sekarang telah mengoperasikan lebih dari 500 klinik di delapan negara Asia-Pasifik, setelah didirikan pada tahun 2011 dengan mengakuisisi dua perusahaan penyedia layanan kesehatan di Singapura.

BookDoc, anak perusahaan Malaysia berumur tiga tahun dengan pendanaan venture capital, menghubungkan pasien dengan penyedia layanan kesehatan dan telah membangun platform online yang mencakup di lima negara. Kelompok rumah sakit Indonesia, Siloam, adalah salah satu mitra strategisnya.

Kebangkitan startup Indonesia

Meskipun Singapura tetap menjadi pusat investasi di Asia Tenggara, ekosistem startup yang dinamis mulai bermunculan di seluruh wilayah. Jumlah perusahaan di Indonesia yang meningkatkan pendanaan tahap pertama pada tahun 2017 meningkat lebih dari 300% dari tahun 2012.

Indonesia dan Vietnam telah menghasilkan 20% dari nilai kesepakatan private equity dalam waktu lima tahun terakhir dan persentase tersebut kemungkinan akan mengalami pertumbuhan. Laporan juga mencatat, hampir 90% dari investor menyebutkan pasar Asia Tenggara menjadi yang ‘terpanas’ di luar Singapura. Dan di tahun 2019 mendatang, Indonesia dan Vietnam akan menjadi pilihan.

Meskipun saat ini Investasi di Asia Tenggara mulai menunjukkan peningkatan, di sisi lain tantangan baru mewajibkan para investor untuk melakukan navigasi dan melancarkan strategi dengan cerdas. Bagi bisnis regional, mengamankan talenta terbaik, meningkatkan keunggulan komersial, dan memanfaatkan teknologi digital akan menjadi strategi terbaik untuk menghasilkan keuntungan yang solid yang ingin dicapai.

Riset Google-Temasek: Indonesia Kuasai Pangsa Pasar Ekonomi Internet di Asia Tenggara

Kawasan Asia Tenggara (SEA) digadang-gadang sebagai wilayah dengan pertumbuhan ekonomi internet paling pesat. Dalam satu dekade terakhir, dinamika bisnis digital di berbagai lanskap memang cukup terasa — berupa kemunculan bisnis baru atau penguatan bisnis yang sudah ada dalam investasi besar-besaran. Untuk melihat kondisi terkini, Google dan Temasek kembali merilis laporan riset bertajuk e-Conomy SEA 2018.

e-Conomy mencakup kegiatan ekonomi yang disokong oleh internet dan pendekatan digital. Beberapa sektor yang diteliti termasuk online travel, online media, ride hailing dan e-commerce; karena dinilai sudah mencapai tahap matang di kawasan SEA. Sementara periset beranggapan sektor lain seperti pendidikan, finansial, kesehatan dan sosial masih berada di tahap awal. Riset ini  menjangkau Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand dan Vietnam.

Di SEA, ekonomi internet diprediksikan akan mencapai $240 miliar pada tahun 2025 mendatang, tahun ini sudah mencapai $72 miliar. Untuk mendukung pertumbuhan, bisnis akan membutuhkan investasi sampai $50 miliar. Saat ini riset turut memperkirakan konsumen internet di kawasan SEA sudah mencapai lebih dari 350 juta orang. Rata-rata mereka terhubung dengan pendekatan mobile, melalui perangkat ponsel pintar yang dimiliki.

Indonesia negara dengan pertumbuhan tercepat dan terbesar

Pada sektor yang diteliti, pasar paling besar dikuasai oleh bisnis online travel. Namun di tahun 2025, e-commerce akan menjadi yang terbesar. Nilai bisnis online travel tahun 2018 mencapai $30 miliar, e-commerce di angka $23 miliar. Kendati Grab dan Go-Jek menunjukkan putaran investasi besar tahun ini, ukuran pasar mereka masih di angka $8 miliar, bahkan di bawah online media yang nilainya berada di angka $11 miliar.

Ekonomi Digital Asia Tenggara
Ekonomi digital di SEA saat ini dan proyeksinya di tahun mendatang / Google-Temasek

Indonesia menjadi negara dengan pertumbuhan paling cepat dan ukuran pasar paling besar di SEA. Tahun 2018 angkanya mencapai $27 miliar, akan menyumbangkan $100 miliar di tahun 2025 mendatang. Pertumbuhannya ekonomi digital di Indonesia sangat pesat, pasalnya pada tahun 2015 lalu angkanya baru mencapai $8 miliar, artinya tahun ini berhasil tumbuh lebih dari 4x lipat. Untuk tahun ini, Thailand menjadi terbesar kedua di angka $12 miliar.

Ekonomi Digital Asia Tenggara
Indonesia memimpin pangsa pasar dengan putaran nilai bisnis tertinggi / Google-Temasek

Melihat lebih dekat masing-masing sektor

Sektor e-commerce menjadi yang paling dinamis dalam tiga tahun ke belakang. Dinamika tersebut disebabkan karena proses adaptasi yang dilakukan masif di kalangan konsumen. Tahun ini sektor e-commerce berhasil menyumbangkan nilai putaran bisnis mencapai $23 miliar, diprediksikan tahun 2025 mencapai $100 miliar. Para unicorn di SEA seperti Lazada, Shopee, dan Tokopedia dinilai Google dan Temasek akan berperan kritis dalam menumbuhkan bisnis ini.

Di sektor e-commerce, Indonesia tetap menjadi pemimpin pasar dengan nilai bisnis mencapai $12 miliar di tahun 2018. Sementara negara lain seperti Thailand dan Vietnam baru mencapai kurang lebih $3 miliar tahun ini.

Online travel jadi yang terbesar tahun ini. Dalam riset disebutkan bahwa lanskap ini mencakup tiga sub-sektor utama, yakni online vacation rental, online hotel, dan online flight. Bisnis penjualan tiket pesawat masih mendominasi tahun ini dengan perolehan mencapai $18,4 miliar, disusul reservasi hotel $10,7 miliar, dan sewa kendaraan $0,6 miliar. Total nilai yang mencapai hampir $30 miliar tersebut akan mencapai $78 miliar tahun 2015 mendatang, dengan porsi penjualan tiket pesawat mendominasi $40 miliar.

Tidak berbeda dengan e-commerce, di sektor online travel Indonesia juga memegang nilai pangsa pasar terbesar. Tahun ini Indonesia menyumbang $8,6 miliar, akan mencapai $25 miliar pada tahun 2025 mendatang. Indonesia juga memimpin pangsa pasar di sektor ini. Tahun ini angkanya $2,7 miliar, diproyeksikan akan bertumbuh 3x lipat di tahun 2025 mencapai $8 miliar.

Ekonomi Digital Asia Tenggara
Online travel tahun ini memiliki pangsa pasar terbesar, segera disusul e-commerce / Google-Temasek

Selanjutnya ada sektor online media, yang dibagi dalam tiga jenis layanan, mencakup subscription music and video, online gaming, dan online advertising. Tahun ini angkanya mencapai $11,4 miliar didominasi sub-sektor periklanan online $7,2 miliar. Sementara online gaming menyumbang $3,8 miliar tahun ini, dan layanan musik/video on-demand $0,4 miliar. Tahun 2025 diprediksikan sektor ini akan menyumbangkan angka $32 miliar di SEA, dengan persentase sub-sektor yang tidak jauh berbeda dengan kondisi tahun ini.

Sektor terakhir yang diteliti oleh Google dan Temasek adalah ride hailing. Terdiri dari dua sub-sektor, yakni online food delivery dan online transport. Tahun 2018 angkanya mencapai $7,7 miliar, dengan pembagian $5,7 miliar didapat dari online transportation dan $2,0 miliar dari online food delivery. Tahun 2025 mendatang angkanya diprediksikan menjadi $28 miliar, dengan kepeimpinan sub-sektor online travel mencapai $20 miliar.

Indonesia tetap menjadi pangsa pasar terbesar dengan nilai tahun ini mencapai $3,7 miliar. Diproyeksikan tahun 2025 mendatang akan menyentuh angka $14 miliar. Turut disoroti juga pemain kunci di SEA untuk sektor ini, yakni Grab dan Go-Jek. Selain transportasi dan jasa antar makanan, keduanya terus mengembangkan solusi pembayaran digital dalam pengembangan bisnisnya.

Riset Appier: Indonesia Menempati Peringkat Pertama Adopsi AI di Asia Pasifik

Dalam studi bertajuk “Artificial Intelligence Is Critical To Accelerate Digital Transformation In Asia Pacific” yang dirilis Appier bekerja sama dengan Forrester mengemukakan Indonesia (65%) menempati peringkat pertama dalam hal adopsi kecerdasan buatan dalam bisnis. Tiongkok (63%) dan India (62%) menempati posisi di bawahnya dengan persentase yang tidak jauh berbeda.

Penelitian yang melibatkan responden pimpinan divisi teknologi dari 260 perusahaan di delapan negara tersebut mencoba untuk menjelaskan tren adopsi kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) di Asia Pasifik. Temuan lain mengungkapkan sekitar 53% dari responden menyatakan tantangan terbesar untuk mengimplementasikan AI adalah proses pengumpulan dan integrasi data (big data).

Menariknya konsep big data sendiri sebenarnya sudah cukup lama digaungkan, termasuk di Indonesia. Trennya hadir bebarengan dengan adopsi masif komputasi awan dalam bisnis. Hanya saja soal pengelolaan big data secara menyeluruh, industri masih menemukan banyak kesulitan. Padahal data menjadi bahan bakar utama untuk membangun pondasi kecerdasan buatan.

Implementasi AI di Asia Pasifik / Appier
Implementasi AI di Asia Pasifik / Appier

Terkait ranking, setelah India di peringkat keempat ada Korea Selatan (57%), disusul Singapura (50%), Jepang (47%), dan Taiwan (44%). Sebenarnya jika melihat secara kasat mata, penerapan AI di sektor industri di Indonesia juga belum masif di berbagai bidang. AI menjadi tren, khususnya diterapkan melalui aplikasi berbasis chatbot atau sistem rekomendasi.

Dari pemaparan responden, umumnya AI diaplikasikan dengan tujuan untuk memberikan efisiensi pada kegiatan operasional dan meningkatkan pengalaman pelanggan. Dampak operasional yang diharapkan termasuk proses bisnis yang lebih sederhana dan prediksi risiko bisnis yang lebih baik. Sedangkan pengalaman pengguna diharapkan meningkatkan keterlibatan pelanggan, termasuk mengambil wawasan pengguna sebagai bekal inovasi produk.

Terkait big data yang dinilai responden kurang siap, jika didalami ada isu-isu spesifik yang banyak dikeluhkan. Termasuk kesulitan dalam membangun tim lintas divisi untuk mengimbangi kelincahan data (51%), mengidentifikasi platform manajemen dan analisis data (52%), mengelola sumber data dari berbagai saluran (49%), dan mengidentifikasi teknologi atau mitra layanan yang tepat untuk bisnis (43%).

Laporan DailySocial: Penggunaan Layanan Podcast 2018

Sejak iPod diperkenalkan Steve Jobs di tahun 2001, muncul sebuah tren baru untuk konten audio. Kala itu diberi nama “iPod Broadcasting”, diakronimkan menjadi Podcast. Berbeda dengan radio yang sebelumnya sudah akrab di masyarakat, podcast tidak menyiarkan konten secara linier, namun on-demand.

Seiring berjalannya waktu, konten podcast makin diminati. Selain kategori konten yang makin beragam, platform pengusungnya juga mulai banyak. Kendati demikian, jika melihat secara kasat mata, dibanding konten on-demand lainnya seperti musik atau video, popularitas podcast di Indonesi memang kalah jauh.

Untuk mendapatkan detail soal ketertarikan masyarakat dengan podcast, DailySocial bekerja sama dengan JakPat Mobile Survey Platform melakukan survei terhadap 2023 pengguna ponsel pintar, menanyakan tanggapan masyarakat Indonesia terhadap podcast.

Dari survei tersebut, ditemukan beberapa fakta menarik, di antaranya:

  • Konten (65,00%) dan fleksibilitas akses (62,69%) menjadi faktor yang dianggap menarik bagi responden, sehingga mereka memilih podcast.
  • Spotify (52,02%) adalah layanan paling populer yang digunakan untuk mendengarkan konten podcast oleh responden.

Selain itu, masih ada beberapa tren lain yang berhasil ditangkap dalam survei, termasuk tema yang digemari, narasumber yang dipilih, hingga durasi konten yang dianggap ideal. Selengkapnya silakan unduh gratis laporan “Podcast User Research in Indonesia 2018”.

Laporan DailySocial: Lanskap B2B E-commerce di Indonesia

E-commerce menjadi salah satu segmen bisnis digital yang telah terbukti tumbuh subur di Indonesia. Model bisnis yang populer diterapkan ialah B2C (Business-to-Consumer) dan C2C (Consumer-to-Consumer). Sesungguhnya ada potensi lain yang dapat digarap dengan platform e-commerce, yakni B2B (Business-to-Business), menyasar korporasi, UKM, dan pelaku usaha lainnya. Untuk menjangkau pangsa pasar bisnis, dibutuhkan banyak improvisasi di sisi layanan, salah satunya menerapkan e-procurement. Sejauh ini sudah ada beberapa pemain B2B commerce yang mencoba menggarap pasar Indonesia. Mereka beradu tangkas memperebutkan potensi pasar B2B yang masih tergolong “hijau”.

Untuk melihat sejauh mana pangsa pasar B2B commerce di Indonesia dan menelusuri pemahaman masyarakat tentang ketersediaan platform tersebut, DailySocial mencoba melakukan riset untuk topik terkait. Riset ini fokus mendalami kondisi pasar yang ada dan karakteristik platform B2B commerce yang sudah beroperasi di Indonesia.

Dalam laporan ini, DailySocial jmenyertakan hasil survei yang digagas bersama Jakpat Mobile Survey Platform, mengobservasi pemahaman responden tentang platform B2B commerce.

Beberapa poin yang dibahas dalam laporan ini:

  1. Potensi pangsa pasar B2B di Indonesia, melihat tren pertumbuhan global.
  2. Pemahaman masyarakat tentang B2B commerce.
  3. Karakteristik dan ragam fitur B2B commerce yang telah beroperasi.

Untuk pemaparan yang lebih detail, silakan unduh laporan riset bertajuk “A Study of B2B Commerce Services in Indonesia 2018″ secara gratis di sini.

Mendalami Masalah Utama Inklusi Finansial di Indonesia

Penetrasi layanan keuangan di Indonesia, terutama layanan perbankan, dinilai masih cukup rendah, jika dibandingkan dengan rasio penduduk Indonesia. Merujuk pada hasil riset OJK di tahun 2016 tentang literasi finansial, di Indonesia angkanya mencapai 29,6%. Sementara itu untuk indeks inklusi finansial mencapai 67,8% di tahun 2016. Pemerintah sendiri menargetkan minimal 79% di tahun 2019 mendatang.

Menurut Bank Dunia, inklusi finansial didefinisikan sebagai individu atau bisnis yang memiliki akses ke produk layanan keuangan untuk kebutuhan mereka, meliputi: transaksi, pembayaran, tabungan, kredit, dan asuransi yang disampaikan dengan cara bertanggung jawab dan berkelanjutan.

Secara umum banyak yang mengatakan bahwa kurang optimalnya persebaran layanan finansial di Indonesia disebabkan karena akses yang belum menjangkau secara penuh. Hal ini yang dianggap sebagai kesempatan banyak pemain fintech untuk menghadirkan layanan non-bank yang mengakomodasi kebutuhan transaksi masyarakat unbankable –seperti di desa-desa atau di wilayah pelosok. Namun pertanyaannya: apakah sepenuhnya karena akses saja?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, CXGO Consulting melakukan sebuah riset terpadu dan mempublikasikannya dalam laporan “Financial Inclusion: Is it truly about access?”.

Masalah akses

Berdasarkan data yang didapat OJK, mereka menyimpulkan bahwa ada dua hambatan inklusi finansial di Indonesia. Pertama ialah pada akses ke layanan atau produk finansial. Kemudian yang kedua pada produk finansial itu sendiri, belum mampu menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat (yang saat ini unbankable).

Beberapa program terus digencarkan untuk meningkatkan ketertarikan masyarakat pada layanan finansial. Bank Indonesia dan OJK memprioritaskan pada tiga aspek utama dalam programnya: keagenan, digitalisasi KYC (Know Your Customer — mengetahui apa yang sebenarnya dibutuhkan), dan melakukan penyesuaian produk perbankan.

Selain oleh institusi perbankan, menariknya tiga aspek tersebut ditangkap baik oleh para inovator teknologi. Startup fintech yang bermunculan mencoba memberikan layanan yang lebih fit dengan kebutuhan masyarakat unbankable. Saat ini ada tiga wilayah utama yang banyak disasar pemain fintech, yakni e-money & digital wallet, p2p lending, dan non-productive loan.

E-money dan digital wallet menghadirkan pada masyarakat proses transaksi non-tunai, umumnya secara digital dengan sistem yang didesain untuk meningkatkan kepercayaan konsumen. Pendekatan yang saat ini juga banyak dijadikan produk ialah Payment Point Online Banking (PPOB), dinilai sebagai aspek terdekat kebutuhan masyarakat. PPOB meliputi layanan pengisian pulsa, pembayaran listrik, layanan kesehatan dan lain-lain.

P2P (Peer-to-Peer) lending menghadirkan efek positif dengan sistem yang menyederhanakan proses pengajuan pinjaman. Sistem ini melibatkan dua pihak dari kalangan masyarakat, yakni peminjam dan pemberi pinjaman. Platform menjembatani dan memberikan prosedur. Salah satu manfaat yang saat ini sudah dirasakan ialah pinjaman yang dapat diberikan kepada peminjam dengan tingkat risiko yang lebih tinggi, termasuk dari kalangan pelaku UMKM.

Gambaran masyarakat unbankable di Indonesia

Survei CXGO Consulting menanyakan langsung kepada masyarakat dan menemukan beberapa realitas tentang tanggapan penggunaan layanan keuangan perbankan. Seperti salah satunya diungkapkan oleh Daenuri (25) yang bekerja sebagai petugas keamanan. Alasan utama ia membuka rekening bank ialah untuk menampung gaji bulanan. Secara personal, ia tidak pernah dan tidak nyaman menggunakan layanan perbankan. Bahkan jika diperbolehkan ia akan memilih mendapatkan pembayaran gaji secara tunai.

Dua responden lain yang diwawancara secara langsung, Lila (24) dari Ciledug dan Rofiq (28) dari Jakarta Timur, mengungkapkan tidak pernah menggunakan layanan perbankan karena tidak membutuhkan. Keduanya juga lebih memprioritaskan penuntasan kebutuhan secara tunai. Hal menarik yang diungkapkan justru pada kekhawatiran soal biaya layanan perbankan itu sendiri, yang harus memotong saldo yang ada secara bulanan.

Secara umum wawancara langsung terhadap masyarakat yang masuk dalam kategori unbankable menghasilkan pola berikut ini:

Gambar 1

Terhadap layanan perbankan, persepsi dan pemahaman mereka khususnya tentang layanan pinjaman terganjal pada beberapa hal, meliputi isu kepercayaan, biaya operasional, dan proses adopsi. Solusinya mereka membutuhkan beberapa hal:

  • Informasi yang lebih jelas tentang biaya bulanan dan minimal tabungan yang harus ada dalam rekening.
  • Dapat diperiksa kapan saja dan dari mana saja.
  • Dapat menyimpan dan mengambil uang dengan jumlah kecil, di bawah 50 ribu Rupiah.
  • Proses pendaftaran yang mudah dengan biaya bulanan yang kecil.

Kemudian untuk layanan peminjaman persepsi negatif mereka terdapat pada beberapa hal, yakni isu relevansi, tenor dan sistem pembayaran, dan proses penagihan. Mereka merasa tidak memenuhi kriteria untuk mengajukan peminjaman di bank, selain beranggapan bahwa bunga yang dibebankan terlalu besar. Persepsi lain soal debt-collector, yang dianggap akan selalu menghantui dan melakukan penagihan secara paksa. Beberapa solusi yang dibutuhkan meliputi:

  • Pinjaman dengan jumlah, tenor, dan sistem pembayaran yang bisa disesuaikan.
  • Proses yang mudah dan cepat.
  • Jaminan fleksibel (atau tanpa jaminan). Garansi dan verifikasi berdasarkan pengakuan sosial dan masyarakat.

Pendekatan yang dapat dilakukan

Berdasarkan temuan yang ada, terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan. Pertama harus dipahami, kendati mereka tidak akrab dengan layanan perbankan, tidak semata-mata buta dengan kemajuan digital. Penggunaan ponsel pintar sudah sangat erat di masyarakat, sehingga produk finansial sebenarnya bisa mengoptimalkan kultur tersebut untuk menciptakan layanan yang lebih sederhana dan praktis. Dengan transparansi, isu kepercayaan harusnya dapat diselesaikan. Pengguna sebenarnya hanya membutuhkan detail yang sederhana tentang informasi uang yang disimpan.

Dengan rendahnya aspek literasi di kalangan unbankable, menantang para penyedia layanan untuk menghadirkan solusi tepat guna yang mudah “dibaca”. Model keagenan yang melibatkan langsung masyarakat sebagai pengganti unit perbankan akan sangat membantu proses sosialisasi dan adopsi. Institusi non-formal seperti pemain fintech juga akan berpengaruh besar di sini, sehingga dibutuhkan integrasi dan kerja sama untuk antar pemain finansial untuk jangkauan pasar yang lebih menyeluruh.

Unduh laporan CXGO Consulting tentang inklusi finansial masyarakat Indonesia secara gratis melalui tautan ini:


Disclosure: artikel ini adalah hasil kemitraan DailySocial dan CXGO Consulting