OnlinePajak Terapkan Blockchain, Bantu Wujudkan Transparansi Perpajakan

Belum banyak yang tahu, aplikasi OnlinePajak memungkinkan masyarakat untuk menghitung, melapor, dan menyetor pajak secara online. Layanan ini dapat dikatakan sebagai aplikasi pihak ketiga atau alternatif untuk solusi perpajakan.

OnlinePajak memiliki upaya baru mewujudkan misinya dalam menyederhanakan proses administrasi yang selama ini rumit. OnlinePajak mengadopsi teknologi blockchain untuk meningkatkan transparansi pada sistem pembayaran pajak di Indonesia.

Pengumuman implementasi blockchain ini diresmikan pada Jumat (27/4/) lalu dan turut dihadiri oleh sejumlah tokoh, seperti Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara, Sekjen Asosiasi Blockchain Indonesia (ABI) Steven Suhadi, dan pengamat pajak Yustinus Prastowo.

Dalam sambutannya, Founder & Direktur OnlinePajak Charles Guinot mengatakan bahwa teknologi blockchain dapat memberikan jaminan transparansi tak hanya untuk masyarakat, tetapi juga untuk sistem pemerintahan.

“Masalah utama dalam sistem perpajakan selama ini adalah trust. Mereka selalu bertanya-tanya apakah yang pajak yang dibayarkan sudah tercatat atau belum. Sama seperti saat mau membeli properti, mereka tidak tahu kan pajak propertinya sudah dibayarkan oleh pemilik sebelumnya atau belum,” ungkap Guinot.

Sistem pembayaran pajak melibatkan sejumlah pihak, mulai dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Direktorat Jenderal Pembendaharaan (DJPb), Bank Indonesia (BI), bank persepsi, dan pihak ketiga lainnya.

Dalam kasus ini, pihak-pihak yang terlibat di atas akan memiliki catatan dari setiap transaksi pembayaran pajak dan dapat saling mengecek keberlangsungan pembayaran pajak. Adapun, data wajib pajak tetap terjamin kerahasiaannya.

Lebih lanjut, Menkominfo Rudiantara mengungkapkan harapannya agar teknologi blockchain dapat diadopsi secara luas, tak hanya untuk lingkungan pemerintahan tetapi juga korporasi. Menurutnya, hal ini akan memancing sektor lain untuk turut mengadopsi blockchain.

“Bagaimanapun juga masyarakat tidak mau tahu teknologinya apa, buat mereka ini ribet. Yang penting adalah manfaatnya ini ditonjolkan juga. Saya harap teknologi ini bisa diadopsi untuk urusan lain di korporasi, karena kalau ini (OnlinePajak) sukses, sektor lain akan ikut,” tutur pria yang karib disapa Chief RA ini.

Dukungan serupa diungkapkan Asosiasi Blockchain Indonesia (ABI) yang baru resmi berdiri. Asosiasi ini memiliki visi untuk proaktif mendorong implementasinya mengingat implementasi blockchain masih sangat hijau di sini.

“Ini baru permulaan, tetapi kami harap dapat mengedukasi blockchain secara berkelanjutan ke pihak pemerintahan, apa saja benefit yang bisa didapat dari teknologi ini,” ucap Steven Suhadi.

Potensi Tax Payer Baru

Rudiantara juga menekankan dampak positif dari penerapan blockchain pada sistem pembayaran pajak. Misalnya, mendorong pelaku usaha over-the-top (OTT) untuk membayar pajak, termasuk pelaku usaha kelas menengah (UKM) yang berpotensi menjadi pembayar pajak baru.

“Di Go-Jek, jumlah driver-nya ada berapa? Seller di Tokopedia juga demikian, kan termasuk kelas UKM. Mereka bukan obyek pajak, melainkan peserta pajak baru. Blockchain menjadi solusi untuk mencari proses baru supaya masyarakat dipermudah [untuk membayar pajak],” tambahnya.

Pengamat pajak Yustinus Prastowo menambahkan bahwa teknologi blockchain kini dinilai menjadi solusi untuk menyederhanakan sistem perpajakan yang dianggap rumit.

“Tantangan kita saat ini adalah tax ratiotax payer-nya banyak tetapi yang kue yang diambil kecil. Kita ada 50 juta potential tax payer, tetapi 30 juta yang baru daftar. Masih ada 20 juta orang lagi yang berpotensi menjadi tax payer. Mengapa demikian? Karena masalah trust,” ungkap Yustinus.

Implementasi blockchain, menurut Yustinus, diharapkan dapat mendorong transparansi sehingga masyarakat lebih percaya dengan sistem perpajakan saat ini. Dengan kata lain, negara bisa mendapat tax payer lebih banyak.

Memahami Dasar Hukum dalam Bisnis Startup

Hukum menjadi pijakan penting bagi perusahaan karena berkaitan langsung dengan seluruh proses bisnis yang dijalani. Maka dari itu antara perusahaan dan hukum harus berjalan beriringan.

Tak terkecuali bagi startup, meski baru didirikan, perusahaan harus tetap taat pada hukum yang berlaku. Sifat tersebut yang perlu didisiplinkan sejak dini, agar ketika bisnis sudah membesar tidak kelabakan saat menghadapi perpajakan.

Apa saja aspek legal yang harus diperhatikan ketika baru mendirikan perusahaan? Untuk menjawab pertanyaan ini, Founder & CEO Kontrak Hukum Rieke Caroline hadir sebagai pembicara dalam #SelasaStartup edisi pekan ketiga Maret 2017.

Rieke banyak memberi tips untuk para pengusaha startup, aspek apa saja yang perlu diperhatikan dari awal.

Pilih CV atau PT

Menurut Rieke, keduanya bukanlah sesuatu yang bisa dijawab dengan pertimbangan lebih bagus mana, karena tergantung kecocokan bagi pengusaha itu sendiri. Rieke menerangkan, bila memilih PT maka terjadi pemisahan harta milik pribadi dengan perusahaan. Kepemilikan dalam PT itu berupa saham yang bisa dialihkan.

Sementara harta dalam CV itu bercampur antara aset bisnis dengan kekayaan pribadi. Dikhawatirkan jika perusahaan tutup atau merugi, pemilik harus menutupnya dengan dana pribadi.

“Tapi kenapa orang dulu lebih memilih buat CV? Karena lebih mudah, tidak perlu cek nama perusahaan sudah ada atau belum karena aturannya per region per kota saja. Akan tetapi sejak 2016, aturan buat PT jadi lebih mudah,” terang Rieke.

Sejak 2016 berlaku dua aturan sebagai persyaratan mendirikan PT. Pertama, perubahan modal dasar PT, mengacu pada PP No.29 Tahun 2016. Kedua, penerbitan surat keterangan domisili bagi virtual office, mengacu pada SE No.6 Tahun 2016. Persyaratannya minimal dua orang, memiliki minimal 1 direktur dan 1 komisaris, dan sudah mengantongi akta notaris.

Sedangkan proses pendirian CV, dimulai dari pemesanan nama perusahaan, tanda tangan akta, kemudian menyerahkan berkas ke Kemenkumham. Nanti akan diperoleh SK-nya, agar pengusaha bisa mulai membuat NPWP perusahaan, SKDP, dan SIUP untuk memperoleh Tanda Daftar Perusahaan (TDP). Akhirnya, pengusaha akan mendapat pengumuman dari Berita Negara Republik Indonesia (BNRI).

“Proses pendirian biasanya mencapai 4 minggu dengan biaya pendirian sekitar Rp7 juta.”

Lindungi brand perusahaan

Langkah berikutnya adalah melindungi brand, karena ini adalah identitas perusahaan yang membedakan produk/jasa satu dengan yang lain. Ada lima unsur brand yang bisa dilindungi, mulai dari kata, logo/gambar, hologram, suara, dan bentuk 3D.

Setelah mendapat brand yang sesuai, disarankan startup untuk mendaftarkannya ke Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI). Di tahap awal harus mengajukan permohonan untuk mendapat tanggal penerimaan. Kemudian proses pengumuman yang dimulai sejak 15 hari setelah tanggal penerimaan dan berlangsung selama 2 bulan.

Setelahnya akan menempuh proses substantif yang berlangsung 30 hari pasca masa pengumuman berakhir. Proses ini berlangsung selama 150 hari. Terakhir adalah proses pendaftaran, jika tidak ada keberatan maka merek resmi didaftar nanti akan diperoleh sertifikat merek. Ketika sudah mengantongi sertifikat merek, perlindungan merek akan berlaku selama 10 tahun.

“Ini bisa memakan waktu antara dua sampai tiga tahun.”

Saat penggalangan dana

Saat perusahaan pertama kali mendapatkan pendanaan, dari proses awal hingga dana cair selalu bersinggungan dengan legal. Ada non disclusure agreement (NDA) yang menjadi hal-hal tergolong rahasia seperti strategi pemasaran, proyeksi finansial, rencana pengembangan produk dan layanan. Lalu informasi teknis, penemuan, desain, proses, prosedur hingga konsep laporan, data, serta rahasia dagang.

Ada pula istilah term sheet yang berisi poin-poin ketentuan antara founder dan investor. Due diligence (uji tuntas) untuk penyelidikan dan penilaian.

Saat dana segar masuk, bentuknya bisa jadi ada dua macam. Yakni convertible note dan shareholder agreement (SHA). Convertible note ialah surat utang yang ditukar dengan ekuitas saat jatuh tempo. Shareholder agreement (SHA), berisi rights of first refusal, pre-emptive rights, tag along right, drag along right, dan anti dilution.

Melaporkan pajak tahunan

Melaporkan pajak secara rutin adalah suatu kewajiban yang harus dilakukan startup yang sudah berbadan hukum, kendati baru berdiri dan tidak harus menunggu omzet perusahaan melebih Rp4,8 miliar.

Apa saja yang dikenakan pajak? Mengacu dari UU No. 36 Tahun 2008 Pasal 4 Ayat 1, dijabarkan unsur-unsur yang dikenakan pajak adalah penghasilan dari pekerjaan atau jasa yang diterima, laba usaha, dividen, dan lainnya.

Kewajiban pelaporan juga perlu dilakukan selama bulanan dan tahunan. Untuk agenda bulanan, pajak yang wajib dilaporkan mulai dari PPh pasal 21/26, PPh pasal 23/26, PPh pasal 4 ayar 2, PPh pasal 25, dan PPh final 1%. Sedangkan untuk pelaporan tahunan, SPT PPh Tahunan Final, SPT PPh Tahunan Non Final.

Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pelaporan pajak tahunan adalah batas waktu penyampaian, formulir SPT Tahunan PPh yang digunakan, tata cara pengisian dan penyampaian SPT Tahunan PPh, dan sanksi bila tidak menyampaikan.

Adapun dokumen yang perlu disiapkan adalah laporan keuangan, pernyataan laporan transaksi hubungan istimewa, laporan pernyataan hubungan istimewa, dan dokumen bukti potong PPh.

Apabila terlambat menyampaikan SPT tahunan, ada sanksi administratif dengan denda sebesar Rp1 juta dan bunga 2% dari kurang bayar. Bila lalai lebih dari dua tahun tidak melapor, pajak maksimal hanya berlaku selama 24 bulan saja.

Silang Sengkarut Pajak E-Commerce di Indonesia

Ibarat kalimat, pajak e-commerce menjadi isu yang sepertinya akan selalu ada koma di dalamnya. Antara pemerintah dengan pelaku marketplace saling mengemukakan pendapatnya masing-masing, membuat isu ini jadi semakin sengkarut karena dorongan pelaku, yang ingin pemerintah lebih transparan dan terbuka dalam membuat aturan, belum memperoleh respon sejauh ini.

Secara makro, riset yang dilakukan Google dan Temasek memperkirakan nilai pasar e-commerce Asia Tenggara tahun 2017 ini mencapai sekitar $11 miliar dan bakal menjadi $88 miliar di tahun 2025. Indonesia menyumbang lebih dari 50% pangsa pasar tersebut.

Namun potensi tersebut menjadi pisau bermata dua, lantaran perkembangan teknologi yang pesat belum dibarengi regulasi yang memadai. Ada peluang sekaligus tantangan. Tak heran terjadi gonjang ganjing ketika membicarakan soal perpajakan di sektor e-commerce.

Gegar budaya

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menyebut kejadian ini sebagai gegar budaya. Pemerintah belum mampu menyesuaikan diri secara cepat dengan perubahan yang terjadi. Aturan lama yang dulu dianggap sudah pas, ternyata kini jadi usang.

Menurutnya, masih banyak pihak yang keliru soal pemahaman soal cara berdagang online itu belum dipajaki. Kesalahpahaman ini sebenarnya masih di permukaan, belum menyentuh masalah mendasar. Yustinus berpendapat, sejatinya yang menjadi masalah dalam pajak e-commerce adalah bukan aktivitas mereka, melainkan cara memajaki dengan opsi yang paling efektif.

Dalam prakteknya, dunia e-commerce tidak sesimpel yang dipikirkan, tak sekadar berdagang secara fisik dan non fisik. Bisnis e-commerce itu sendiri ada berbagai jenis, ada yang berbentuk ritel online, marketplace, B2B, B2C, C2C, hingga kombinasinya. Ada juga yang berjualan di platform media sosial dan layanan OTT (over the top).

Usulan baru di rancangan peraturan pajak untuk layanan e-commerce / DailySocial
Usulan baru di rancangan peraturan pajak untuk layanan e-commerce / DailySocial

Kemudian soal cakupan layanannya, ada yang domestik dan lintas batas (cross border). Untuk domestik, aspek perpajakannya sama persis dengan berdagang konvensional: terutang PPN dan PPh sepanjang memenuhi syarat, tidak ada pengecualian. Ini yang kerap disalahpahami. Belum lagi wacana pemerintah yang ingin menjadikan pemain marketplace sebagai agen penyetor pajak.

Ketika pedagang menjual barang, jika omzetnya belum melebihi Rp4,8 miliar setahun (dianggap UKM), hanya bayar PPh Final 1%, di atas itu berlaku tarif umum (PPh 10%) yang dikenakan atas laba kena pajak. Pemerintah sendiri berencana menurunkan tarif PPh Final UKM tersebut menjadi 0,5%. Pihak pemain e-commerce, yang diwakili idEA, mendukung wacana ini.

Marketplace sebagai agen setor pajak

Agen penyetor pajak adalah perpanjangan tangan dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk mengumpulkan, mendata, dan menyetor data pajak kepada pemerintah. Pemain marketplace sejauh ini masih menolak mentah-mentah bila amanat itu diberlakukan.

Isu tersebut dikhawatirkan membuat kenaikan biaya kepatuhan sebab marketplace harus menyiapkan sejumlah infrastruktur dan biaya tambahan yang relatif besar. Beban tersebut, menurut pihak idEA, tidak sebanding dengan platform media sosial yang tidak dibebani apapun.

“Makanya menurut saya masalahnya bukan dari siapa [obyek wajib pajak], melainkan bagaimana [memungut pajaknya]. Kan sekarang ributnya di siapa-nya. Si pemilik platform disuruh mungut [pajak], itu yang menurut saya wajar terjadi penolakan,” terang Yustinus kepada DailySocial.

Asosiasi melihat perlakuan yang berbeda mengenai kewajiban memiliki NPWP Virtual berpotensi membuat pelaku usaha meninggalkan model marketplace dan beralih ke media sosial sebagai lapak jualannya.

“Kita apresiasi untuk rencana menurunkan besaran persetase tarif PPh Final jadi 0,5% dari 1%. Namun untuk isu jadi agen penyetor pajak katanya mau ditugaskan ke perusahaan marketplace, jujur kita agak keberatan di situ karena semua beban jadi ada di kita padahal itu tugas DJP,” kata Ketua Bidang Pajak, Cybersecurity, Infrastruktur idEA Bima Laga kepada DailySocial.

Belum semua taat pajak

DailySocial mencoba untuk mewawancarai dua pedagang UKM yang mengembangkan bisnis berbeda dan keduanya memanfaatkan platform marketplace untuk usahanya.

Febby selama kurang lebih tiga tahun mulai usaha berdagang hijab. Awalnya dia iseng-iseng memasarkan produknya tersebut lewat Instagram. Kemudian mulai mencoba memanfaatkan marketplace Shopee sejak setahun belakangan.

Secara skala bisnis, usaha kecil-kecilannya tersebut belum bisa dikatakan besar, kadang naik dan turun. Dia pun masih mengerjakannya sendirian, kadang minta bantuan temannya untuk jadi model peraga. Dari penjelasannya, meski tidak disebutkan secara rinci, usaha Febby tergolong UKM beromzet setahun di bawah Rp4,8 miliar.

Febby mengaku belum pernah membayarkan pajak dari penghasilan yang ia dapat selama ini. Dia merasa usaha yang ia jalankan tersebut adalah sampingan, sekadar mengisi kegiatan di rumah. Lagipula, menurut dia pendapatannya tersebut tidak seberapa.

Kedua, Aziz (nama disamarkan), adalah karyawan perusahaan skala awal yang bergerak sebagai distributor barang elektronik. Perusahaan yang menaunginya tersebut memanfaatkan berbagai platform marketplace untuk menjual barang-barang, mulai dari Bukalapak, Tokopedia, Blibli, Blanja, Shopee, dan Elevenia.

Aziz membuka akun di seluruh platform tersebut atas nama perusahaannya. Ia sengaja membuka akun resmi agar mendapat kelebihan yang ditawarkan masing-masing platform dibanding akun non resmi.

Dia ambil contoh, waktu itu saat mendaftar akun resmi di Tokopedia ada sejumlah dokumen yang wajib disertakan. Mulai dari NPWP perusahaan, SIUP (Surat Izin Usaha Perdagangan), harus berbadan hukum, akte perusahaan, domisili, KTP pemilik usaha, dan TDP (Tanda Daftar Perusahaan).

“Karena perusahaan kami adalah distributor, Tokopedia juga minta dokumen resmi dari prinsipal yang menunjukkan bahwa kami itu hanya menyediakan barang resmi,” terang Aziz.

Karena akun perusahaan Aziz adalah toko resmi, maka perusahaan memberikan komisi dari setiap transaksi yang berhasil terjadi di dalam Tokopedia. Adapun soal perpajakan, dia mengaku setiap barang yang dijual sudah mengandung unsur pajak lantaran harga yang didapat dari prinsipal merupakan Suggested Retail Price (SRP). Setiap tahunnya pun, perusahaan rutin melaporkan hasil pendapatannya ke kantor pajak.

Edukasi itu penting

Dari kedua contoh kontras di atas bisa disimpulkan bahwa pemerintah masih memiliki jalan panjang untuk mengedukasi masyarakat sadar pajak. Di luar sana, ada banyak Febby-Febby lainnya yang berpikiran sama dan belum tentu semua perusahaan mengambil langkah serupa seperti yang dipilih perusahaan Aziz.

Oleh karenanya, pemerintah butuh solusi alternatif dengan mengubah fokus. Bukan pada apakah UKM yang memanfaatkan platform e-commerce adalah terutang pajak, melainkan cara paling efektif memajakinya.

“Cuma ada dua kemungkinan, enggak tahu dan enggak mau. Ini sama masalahnya dengan yang offline, belum tentu di situ rutin bayar pajaknya. Bisa jadi kemungkinannya mereka enggak tahu [kalau harus bayar pajak], ada juga yang tahu tapi enggak mau [bayar pajak]. Artinya behavior-nya sama saja, lalu apa yang membedakan [antara pedagang offline dengan online],” tutur Yustinus.

Lalu bagaimana cara untuk menjamin semua pedagang bayar pajak? Menurutnya, masalahnya terletak di proses registrasi NPWP. Solusi ini bisa pemerintah manfaatkan marketplace untuk mensyaratkan pendaftaran akun pedagang harus mencantumkan NPWP.

Cara tersebut sebenarnya sama saja ketika pemerintah pada saat mulai edukasi tahap awal untuk mendorong warga memiliki NPWP dan tercatat sebagai wajib pajak. Saat itu, pemerintah harus satu per satu datang ke rumah warga untuk mendaftarkan diri.

Bahkan proses edukasi masih terus dilakukan hingga kini. Bedanya, sekarang proses pendaftaran NPWP bisa dilakukan secara online, tidak perlu dengan kertas manual lagi.

“Sebenarnya enggak rumit. Pemerintah saja yang buat rumit. Sebaiknya pelaporan pajak dilakukan secara self assessment dulu mengingat proses administrasi dan infrastruktur kalau dilakukan online belum memadai. Terpenting adalah mulai dari kesadaran untuk registrasi NPWP, baru setelahnya mulai pikirkan cara memungutnya.”

Solusi berikutnya

Pemerintah selanjutnya perlu memikirkan pemecahan masalah tentang bagaimana cara memajaki yang paling efektif. Ada berbagai kasus studi yang ditempuh Korea Selatan dan Tiongkok dalam menghadapi masalah yang sama dengan Indonesia.

Korea Selatan misalnya, memungut pajak e-commerce lewat PPN dengan memanfaatkan gerbang pembayaran terintegrasi (payment gateway). Dari sana, setiap transaksi akan terekam dan pemerintah dapat lebih mudah memantaunya karena sumber pemasukan negara berasal dari sana.

Beda halnya pendekatan yang dilakukan Tiongkok. Negara tersebut memiliki rentang waktu untuk pengenaan PPN buat beberapa jenis barang yang dijual di e-commerce. Ambil contoh, barang X dikenakan pajak 2 persen selama sekian tahun, sedangkan barang XYZ dibebankan pajak sedikit lebih besar. Secara perlahan, barang-barang tersebut nilai PPN-nya jadi rata 10 persen.

Contoh PPh terhadap industri e-commerce di Korea Selatan dan Tiongkok / DailySocial
Contoh PPh terhadap industri e-commerce di Korea Selatan dan Tiongkok / DailySocial

“Yang terpenting adalah otomatisasi sistem adalah hal yang mutlak, sebab berhubungan dengan infrastruktur. Ketika orang belum teredukasi [soal pajak], tapi sudah disuruh bayar pajak, ya terang saja pada nolak semua.”

Yustinus berpendapat, kedua negara di atas memanfaatkan PPN untuk memungut pajak e-commerce karena mekanisme ini adalah solusi termudah. Memungkinkan dapat dipungut secara efektif dengan jumlah signifikan dibandingkan PPh. Maka dari itu, menurutnya pemerintah perlu pikirkan pengenaan PPN yang efektif dan bisa menarik wajib pajak baru.

Beberapa negara ASEAN memanfaatkan skema PPN final dengan tarif lebih rendah dari normal. Misalnya, India sebesar 1% (tarif normal 12,5%-15%), Thailand 4% (tarif normal 7%).

Kemudian, Vietnam tarif khusus 1% untuk individu yang menyelenggarakan bisnis e-commerce (di luar itu dikenakan tarif normal 10%), Filipina memungut 3% apabila omzet masih di bawah US$37.647 (tarif normal 12% akan diterapkan apabila omzet melebihi threshold).

Untuk pedagang di platform media sosial, menurut Yustinus, juga sebaiknya diperlakukan sama seperti marketplace. Menjadikan mereka sebagai gerbang untuk mendisiplinkan pedagang agar registrasi NPWP. Tidak bisa menjadikan platform media sosial sebagai agen penyetor pajak pula.

“Masalahnya adalah edukasi dan awareness. Kita ini mau instan, ada peluang mau diambil dan dipajaki. Ini bisa jadi kontraproduktif. Kalau sosmed sudah dipajaki, lari lagi pasti [pedagang] ke e-commerce luar negeri. Itu bisa lebih repot lagi,” tutupnya.

PajakPartner Tegaskan Posisi OnlinePajak Sebagai Startup Spesialis Perpajakan

Di penghujung bulan Februari OnlinePajak, startup yang memiliki segmen khusus di dunia perpajakan kembali mengenalkan sebuah fitur yang bisa mendukung kinerja layanannya. Mereka mengenalkan PajakPartner sebagai sebuah ekosistem yang berisi mitra atau partner yang bisa bermanfaat bagi pelanggan perihal perpajakan. Di antaranya adalah konsultan pajak, layanan aplikasi HR, layanan aplikasi akuntansi, bank, hingga e-commerce.

Ekosistem PajakPartner didesain khusus untuk membantu berbagai permasalahan yang kerap ditemui para pelanggan. Misalnya sebuah perusahaan mencari penyedia jasa konsultan pajak, sebagai pertimbangan pertama adalah kredibilitas. Peran PajakPartner adalah memecahkan permasalahan itu, mereka menyediakan kemudahan akses ke konsultan pajak yang kredibel.

Sejauh ini di dalam ekosistem PajakPartner sudah diisi dua puluh tiga konsultan pajak yang siap membantu permasalahan pajak para penggunanya. Beberapa konsultan pajak yang terdaftar antara lain, Mazars, Benny Gunawan & Partners, T & Y Consulting Tax & Law Firm, ElkaCiptaSolusi dan lain-lain.  Selain konsultan pajak ekosistem PajakPartner juga diisi sejumlah layanan yang membantu urusan bisnis, seperti aplikasi HR yang sudah diisi oleh Sleekr, Talenta dan Payrollboz. Ada juga aplikasi seperti Xero, Accurate dan Million.

PR Manager OnlinePajak Azwin Nugraha kepada DailySocial menjelaskan integerasi yang dilakukan bisa menjadi wadah yang dapat menambah jaringan pelanggan sehingga bisa membantu bisnis berkembang.

“OnlinePajak menyadari bahwa bisnis membutuhkan sebuah platform terintegrasi sebagai wadah yang dapat menambah jaringan pelanggan, sehingga bisnis dapat berkembang pesat dan menghasilkan profit. Selain itu, tentu juga demi membangun Indonesia yang lebih baik lagi melalui pengumpulan pajak,” terang Azwin.

Kolaborasi ini diharapkan bisa membantu pelanggan OnlinePajak. Dengan layanan dan integrasi yang ditawarkan mereka bisa fokus pada pengembangan bisnis, untuk urusan mengenai pajak, HR atau lainnya bisa mereka dapatkan di platform OnlinePajak.

“OnlinePajak berharap banyak peluang bisnis yang tercipta dan dapat dimanfaatkan dengan baik, sehingga bisnis dapat berkembang dengan pesat. Selain itu, pertumbuhan perekonomian di tanah air diharapkan dapat semakin maju dan masyarakat semakin patuh terhadap pajak,” papar Azwin.

Tujuan akhir OnlinePajak adalah menyuguhkan layanan yang membantu perusahaan seputar bisnis dan perpajakan. Tahun ini mereka berusaha mengembangkan lebih banyak solusi bisnis dan perpajakan dan juga mengelola pajak sebanyak-banyaknya dengan target membantu penyetoran pajak senilai Rp 100 triliun di tahun 2018.

Gita Wirjawan Appointed as OnlinePajak’s Commissioner

PT Achilles Advanced Systems or well-known as OnlinePajak service bearer announces Gita Wirjawan appointment as commissioner. His involvement in OnlinePajak is expected to give strategic maneuver and direction for the company. Aside of the track record as former Head of Investment Coordinating Board and Minister of Trade, Wirjawan has been very experienced in investment industry.

In the release to DailySocial, he expressed his optimism with OnlinePajak. Therefore, to help the government achieve tax collection targets (to reach more than 1,423 trillion) in 2018, a good partnership among each parties is necessary, including government and app service provider as technology support in tax system. His vision is to help tax reformation through technology.

[Read also: OnlinePajak Officially Announces Series A Funding From Alpha JWC Ventures and Sequoia India]

Technology-based system for taxation or Automatic Exchange of Information (AEoI), for Wirjawan, will be very impactful in tax revenue. AEoI will make the process easier and more transparent, minimize tax avoidance and disintegration practices. Digitally managed data will make the tax information system stronger and measurable.

Charles Guinot as OnlinePajak’s Founder & CEO hopes that Gita Wirjawan’s involvement can spread positive vibe for the company. In 2017, OnlinePajak has set more than 40 trillion and optimist to increase by 2018.

Besides the new commissioner, the optimism is based on OnlinePajak’s achievement of ISO for information management system, helping company for tax preparation, deposit and report via integrated application, fully connected with Tax Directorate General system.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Gita Wirjawan Jadi Komisaris OnlinePajak

PT Achilles Advanced Systems atau dikenal sebagai pengusung layanan OnlinePajak mengumumkan perekrutan Gita Wirjawan sebagai komisaris. Bergabungnya Gita ke OnlinePajak diharapkan dapat memberikan arahan dan nilai strategis bagi perusahaan untuk bermanuver. Selain memiliki track record di pemerintahan sebagai Mantan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal dan Menteri Perdagangan dan Menteri Perdagangan, Gita juga telah lama malang melintang di dunia industri investasi.

Dalam rilis yang kami terima, Gita menyampaikan rasa optimisnya bersama OnlinePajak. Pasalnya untuk membantu pemerintah mencapai target pengumpulan pajak (ditargetkan mencapai lebih dari 1.423 triliun) di tahun 2018, perlu kerja sama yang baik antara berbagai pihak, termasuk antara pemerintah dan penyedia jasa aplikasi sebagai penyokong teknologi di sistem perpajakan. Visi Gita membantu upaya reformasi pajak melalui teknologi.

[Baca juga: OnlinePajak Umumkan Pendanaan Seri A dari Alpha JWC Ventures dan Sequoia India]

Sistem berbasis teknologi untuk perpajakan atau Automatic Exchange of Information (AEoI), menurut Gita, akan sangat berpengaruh dalam penerimaan pajak. AEoI akan membuat prosesnya menjadi lebih mudah dan transparan, meminimalkan praktik penghindaran pajak dan erosi perpajakan. Data yang dikelola sepenuhnya secara digital akan menjadikan sistem informasi perpajakan menjadi lebih kuat dan terukur.

Charles Guinot selaku Founder & CEO OnlinePajak berharap dengan bergabungnya Gita Wirjawan dapat menularkan semangat positif bagi perusahaan. Tahun 2017, OnlinePajak berhasil membukukan pajak lebih dari 40 triliun rupiah, dan diyakini angka tersebut akan meningkat di tahun 2018.

Selain adanya komisaris baru, keyakinan tersebut juga dilandasi dengan diraihnya ISO oleh OnlinePajak untuk sistem manajemen keamanan informasi, membantu perusahaan untuk mempersiapkan, menyetor, dan melapor pajak melalui satu aplikasi terpadu, yang sepenuhnya terhubung dengan sistem Direktorat Jenderal Pajak.

Bea Cukai Barang Impor Digital, Apakah akan Berdampak pada Produk Digital Lokal? (Updated)

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution sudah memastikan bahwa pemerintah Indonesia akan mengenakan bea masuk bagai barang tak berwujud (intangible goods). Beberapa barang tak terwujud yang dimaksud termasuk e-book, perangkat lunak, musik digital, film digital dan sebagainya. Darmin menyebutkan, hal tersebut dilakukan dalam rangka menata dan mulai mengembangkan bisnis para pelaku usaha. Sejauh ini belum diberlakukan, karena terikat moratorium dengan World Trade Organization (WTO). Sementara moratorium tersebut berakhir di tahun ini.

Sebelumnya dalam moratorium disebutkan negara-negara berkembang tidak boleh mengenakan bea masuk atas barang tak berwujud yang diperdagangkan secara elektronik. Di tengah meningkatnya perdagangan digital, baik melalui situs e-commerce atau layanan distribusi digital lain, adanya bea masuk terhadap barang tak berwujud dinilai akan berpotensi menjadi penerimaan negara. Pemerintah Indonesia sendiri sudah mengusulkan ke WTO perihal pengenaan biaya ini yang akan dimulai pada tahun 2018 mendatang.

Menjadi kesempatan untuk pengembang lokal?

Salah satu dampak di sisi konsumen untuk pengenaan cukai barang tak berwujud (digital) ialah terhadap harga jual. Harga jual pasti akan menjadi lebih mahal, misalnya untuk produk perangkat lunak. Sejauh ini isu yang banyak diutarakan oleh para pengembang produk lokal ialah persaingan yang cukup berat dengan produk korporasi dari luar, khususnya untuk produk perangkat lunak yang menyasar bisnis.

Namun sayangnya draft aturan terkait hal tersebut belum disampaikan detailnya. Karena di lapangan untuk distribusi produk perangkat lunak nyatanya cukup kompleks. Saat ini produk tidak hanya didistribusikan dalam bentuk installer – misal dikemas dalam DVD atau diunduh melalui internet lalu dipasang di perangkat. Ada juga model SaaS, yang mana statusnya ke konsumen adalah sewa, bukan kepemilikan utuh layaknya licensed software.

Menanggapi tentang rencana ini, kami coba berbincang dengan salah satu pengembang perangkat lunak lokal. Kali ini kami menghubungi Yopie Suryadi selaku CEO Mailtarget –sebuah aplikasi yang membantu bisnis dalam mengelola email marketing.

“Dari apa yang saya baca, tujuan dari pengenaan bea masuk ini adalah untuk menggenjot target bea masuk. Sangat sulit untuk melihat hal ini dilakukan untuk mendongkrak penjualan produk digital dalam negeri. Untuk mendongkrak produk digital dalam negeri yang diperlukan adalah support dari pemerintah, mendukung para pembuat produk digital dalam negeri dalam bentuk kemudahan di regulasi, mendukung ekosistem, grooming programmer berkualitas, menggenjot penggunaan karya anak bangsa dll,” ujar Yopie.

Memang pemerintah tidak secara eksplisit menyebutkan bahwa adanya bea masuk ini juga dalam upaya memajukan produk digital buatan lokal.

“Salah satu hal penting buat saya adalah bagaimana implementasinya. Bagaimana pemerintah mengenakan bea masuk dari setiap e-book yang kita beli dari luar negeri. Apakah pemerintah akan punya akses penuh dari semua data aktivitas kita di internet? Apakah pemerintah akan bekerja sama dengan semua e-commerce/institusi dari luar yang menjual produk digital untuk mengenakan bea masuk di setiap transaksi? Kalau menurut Menkominfo adalah dengan melakukan self assessment kelihatan mudah tetapi penerapannya akan sangat sulit,” imbuh Yopie.

Narenda Wicaksono selaku CEO Dicoding turut memberikan komentar. Menurutnya aturan ini dapat berimplikasi pada dua hal (melihat dari sudut pandang konsumen perangkat lunak). Pertama konsumen akan mencari alternatif yang lebih terjangkau, bisa jadi non legal, seperti perangkat lunak bajakan. Kemungkinan yang kedua, konsumen akan mencari perangkat yang lebih terjangkau dan legal. Namun demikian rata-rata perangkat lunak yang dijual langsung ke konsumen adalah yang pengembangannya membutuhkan biaya tinggi. Belum banyak alternatif pengganti yang bisa dibuat oleh pengembang lokal untuk perangkat lunak tersebut saat ini.

“Harapan saya agar lebih banyak pengembang lokal yang mulai membangun software kelas dunia untuk pasar lokal. Butuh waktu 3 tahun bagi pengembang untuk membangun software pertama yang bisa dimonetisasi. Bila telah 3 tahun lewat dan belum juga bisa monetisasi, mungkin bisa mulai beraliansi atau bergabung dengan pengembang lokal yang membutuhkan talenta agar bisa mengembangkan software kelas dunia,” ujar Narenda.

Update: Penambahan opini dari Narenda Wicaksono.

GO-JEK Segera Direkrut Jadi Agen Pajak

GO-JEK akan segera direkrut Ditjen Pajak sebagai agen pajak, sejalan dengan inisiatif pemerintah memudahkan wajib pajak dengan teknologi.

Menteri Keuangan Sri Mulyani sudah menyatakan persetujuannya terkait rencana tersebut, yang diwakili oleh Direktur Transformasi Teknologi Komunikasi dan Informasi Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Iwan Djunardi.

Wacana ini awalnya muncul pasca kedatangan CEO GO-JEK Nadiem Makariem ke kantor Kemenkeu pada Selasa (7/11). Salah satu poin yang dibahas adalah perkembangan teknologi dalam perpajakan.

Nantinya GO-JEK akan dijadikan sebagai penyedia layanan aplikasi (Application Service Provider/ASP). Masyarakat bisa mendaftarkan diri untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) hingga melaporkan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) melalui aplikasi yang disediakan.

ASP adalah bisnis yang menyediakan layanan berbasis komputer untuk pelanggan melalui suatu jaringan. Perangkat lunak yang disediakan dengan model ini sering disebut dengan Software-as-a-Service (SaaS).

“Orang bisa registrasi NPWP lewat situ [ASP], sehingga beliau [Nadiem] akan menjadi salah satu agen kami. Kalau dari sisi teknologi justru hal-hal seperti itu yang mau kami kembangkan,” ujar Iwan dikutip dari kumparan.

Sementara itu, dari sisi aturannya sendiri, akan segera diterbitkan tersendiri dan sejauh ini tidak ada masalah. Sebab inisiatif ini sejalan dengan niat Ditjen Pajak untuk lebih memudahkan wajib pajak, salah satunya dengan pemanfaatan teknologi.

“Aturan itu seharusnya tidak ada masalah juga karena tadi Bu Menteri sudah meng-endorse.”

Selain penggunaan teknologi untuk perpajakan, Nadiem mengatakan diskusi lebih banyak membahas soal makroekonomi. Seperti revolusi digital, revolusi fintech, dan bagaimana perilaku konsumen di negara-negara lain.

“Menkeu mau tahu seperti apa,” kata Nadiem.

Terkait revolusi digital, dia juga membahas kemungkinan masyarakat mendapat layanan keuangan, bisa meningkatkan taraf hidupnya.

“Bayangkan kalau semua orang punya akses ke layanan finansial, maka dia bisa meningkatkan taraf ekonomi apakah dapat financial services, dapat layanan produk termurah, dan lain sebagainya,” pungkas dia.

Application Information Will Show Up Here

Facebook Proses Bentuk Usaha Tetap Di Indonesia

Tak bisa dipungkiri Facebook dan Indonesia saling membutuhkan. Konsumen Indonesia adalah early adopter yang sangat kuat dalam penggunaan media sosial dan secara jumlah Indonesia termasuk top 5 yang terbesar di Facebook. Hal ini membuat perusahaan rintisan Mark Zuckerberg tersebut perlu memikirkan matang-matang beragam langkah strategis untuk menjaga pasar di sini. Salah satunya ialah rencana formalisasi kantor perwakilan di Indonesia.

Facebook sendiri saat ini sudah ada di Indonesia kurang lebih sejak tiga tahun lalu, diisi beberapa staf strategis untuk layanan iklan dan pengembangan. Namun demikian unit bisnis tersebut, yang kini dipimpin Sri Widowati, belum berbentuk usaha tetap (BUT / permanent establishment). Isu yang sama juga mendera sejumlah perusahaan teknologi asing, termasuk Google/Alphabet.

[Baca juga: Keseriusan Pemerintah Tanggapi Pajak Google Mengarah Ke Kesiapan Regulasi Bisnis Digital]

Kabar terbaru, seperti yang dirilis Reuters, saat ini Facebook telah mendapatkan persetujuan awal dari pihak pemerintah untuk mendirikan unit domestik di Indonesia dan sedang dalam proses pengerjaan. Kabar persetujuan didapat dari seorang senior di jajaran pemerintah Indonesia.

Memang beberapa waktu terakhir pemerintah terus mengejar perusahaan teknologi multinasional untuk berbentuk usaha tetap di Indonesia. Salah satu tujuannya adalah untuk memaksimalkan retribusi pajak seiring dengan konsumsi yang semakin meningkat. Di kancah media sosial tidak hanya Facebook yang dikejar, Twitter pun mendapatkan dorongan yang sama.

[Baca juga: Tanpa Badan Usaha Tetap di Indonesia, Layanan OTT Bakal Diblokir]

Pada tahun 2015, hasil studi dari Google dan Tamasek menunjukkan capaian iklan digital di Indonesia mencapai $300 juta. Ditjen Pajak sendiri memprakirakan total pendapatan iklan di Indonesia mencapai $830 juta, didominasi 70 persen oleh Google dan Facebook.

Bantu Promosikan Bisnis UKM, Google Indonesia Hadirkan Fitur “Website” di Google Business

Sejak meluncurkan Google Business dua tahun yang lalu, Google Indonesia mengklaim telah mengumpulkan sebanyak 700 ribu bisnis UKM di Indonesia yang terdaftar dan terverifikasi. Jumlah ini menandakan mulai tumbuhnya awareness adopsi teknologi dikalangan pelaku UKM.

Google Business hari ini meluncurkan fitur terkini yang diharapkan bisa membantu lebih banyak pelaku UKM untuk mempromosikan bisnisnya secara luas, melalui fitur website di Google Business. Indonesia menjadi negara pertama yang bisa menikmati fitur website di Google Business.

“Dari penelitian yang kami lakukan saat ini sebanyak 49% bisnis ditemukan melalui situs, namun faktanya hanya sekitar 16% saja pelaku UKM yang memiliki situs resmi. Dengan alasan itulah fitur website di Google Business kami hadirkan kepada pelaku UKM di Indonesia,” kata Head of Marketing Google Indonesia, Veronika Utami kepada media hari ini (15/05).

Masih mahalnya pembuatan situs hingga terlalu sulit untuk dimengerti oleh pelaku UKM di Indonesia, menjadikan alasan utama mengapa penggunaan situs resmi masih minim dimanfaatkan. Dengan Google Business, pelaku UKM yang telah mendaftarkan bisnisnya dan telah terverifikasi, selanjutnya bisa menggunakan fitur website di Google Business hanya dengan 3 langkah mudah.

“Kami sengaja membuat fitur website menjadi sangat mudah digunakan di smartphone, agar pelaku UKM bisa langsung membuat situs bisnis yang ideal dan tentunya gratis,” kata Veronika.

Untuk pelaku UKM yang sebelumnya telah memiliki situs resmi, bisa menempatkan alamat situs dalam informasi bisnis di Google Business. Selanjutnya untuk pelaku UKM yang belum memiliki situs, bisa memanfaatkan fitur website di Google Business dengan 3 langkah mudah, yaitu create, edit dan publish.

“Alamat dari situs juga bisa disesuaikan dengan nama bisnis saat ini atau nama unik lainnya yang diminati oleh pelaku UKM. Selain itu terdapat pilihan untuk update secara otomatis, dan pilihan untuk beriklan langsung di Google Ads,” kata Veronika.

Gapura Digital di 10 kota

Kegiatan lainnya yang dipromosikan Google Indonesia dalam kesempatan tersebut adalah, gerakan Gapura Digital yang sebelumnya telah berlangsung di 6 kota di Indonesia dan telah menjangkau sebanyak 7 ribu UKM di Indonesia sejak diluncurkan tahun 2014 lalu.

Di tahun 2017 ini Google Indonesia akan menambah jumlah kota menjadi 10 kota, diantaranya adalah Medan, Pontianak, Semarang, Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Malang, Denpasar dan Makassar.

Kegiatan yang banyak diisi diantaranya dengan panduan dunia digital, tips website efektif, pendalaman SEO dan SEM, diharapkan bisa mendorong lebih banyak pelaku UKM di Indonesia untuk memanfaatkan teknologi untuk bisnis.

“Untuk pengajar sendiri kami sengaja menempatkan pakar serta akademisi dari masing-masing kota untuk memberikan pelatihan dan pengajaran kepada pelaku UKM di masing-masing kota,” kata Head of SMB Marketing Google Indonesia Fida Heyder.

Sentilan Rudiantara terkait masalah pajak Google Indonesia

Dalam sambutannya Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara mengungkapkan, memberikan apresiasi yang positif kepada Google Indonesia, atas langkah agresifnya mendorong pelaku UKM di Indonesia menjadi lebih ‘melek’ kepada teknologi. Ditambahkan oleh Rudiantara diharapkan bukan hanya 10 kota besar di Indonesia yang disambangi oleh Google Indonesia, namun juga kota-kota lainnya yang masih sulit dijangkau di pelosok Indonesia.

Dalam kesempatan tersebut, Rudiantara juga menyinggung masalah pajak Google yang hingga kini masih terhambat dan belum juga terselesaikan di Indonesia.

“Saya mengucapkan apresiasi yang sebesar-besarnya kepada Google Indonesia atas semangatnya membantu pelaku UKM di Indonesia dalam hal pemanfaatan teknologi dalam bisnis sehari-hari. Namun demikian saya juga berharap Google bisa segera menyelesaikan masalah pajak yang hingga kini masih mandeg,” kata Rudiantara.