Tokopedia Umumkan Investasi dari Google dan Temasek

Melalui akun media sosial miliknya, Co-Founder & CEO Tokopedia William Tanuwijaya mengumumkan Temasek dan Google kini telah masuk di jajaran pemegang saham perusahaan. Kabar tersebut sebenarnya sudah berhembus sejak bulan lalu, namun kala itu perusahaan masih enggan berkomentar.

Sumber Bloomberg mengatakan, investasi baru ini berada di kisaran $350 juta atau setara 5 triliun Rupiah. Pendanaan ini membawa valuasi perusahaan ke  $7,5 miliar. Dana tersebut akan difokuskan untuk melancarkan agenda ekspansi bisnis pasca-Covid-19. Disampaikan William, misi perusahaan adalah mengakselerasi transformasi digital dan melakukan pemerataan ekonomi melalui teknologi di Indonesia.

Sebelumnya Nikkei Asia Review mengatakan Tokopedia telah mengajukan dokumen ke Kemenkumham, dengan Google memiliki 1,6% kepemilikan, sementara Temasek melalui perusahaan afiliasinya, Anderson Investments, memegang 3,3% saham perusahaan. Angka ini bisa berubah karena belum mencerminkan total investasi di putaran pendanaan kali ini.

Sebelum putaran ini, terakhir Tokopedia mengumumkan perolehan pendanaan senilai $1,1 miliar pada akhir 2018, dipimpin SoftBank Vision Fund dan Alibaba Group. Softbank melalui beberapa pendanaannya diperkirakan, sebelum putaran pendanaan terakhir, memiliki 38,3% saham perusahaan, sementara Alibaba sekitar 25,19%.

Kolaborasi dengan Google

Informasi dari sumber terpercaya, kepada DailySocial menyebutkan, pasca pendanaan ini Tokopedia dan Google sepakat menjalin kemitraan strategis untuk penguatan adopsi layanan komputasi awan. Sumber kami mengatakan, mereka menyusun sebuah joint venture untuk menawarkan produk komputasi awan Google ke merchant Tokopedia yang ingin meningkatkan skala bisnisnya.

Belum dibeberkan secara detail layanan apakah itu, namun jika melihat lini produk yang dipasarkan Google di Indonesia, layanan tersebut bisa berupa Google Cloud untuk solusi hosting dan analisis data, Google Workplace (dahulu G Suites) untuk produktivitas, dan teknologi pemasaran atau iklan digital Google Ads (dahulu AdWords).

Lanskap E-commerce makin menarik

Menurut laporan terbaru e-Conomy SEA 2020, bisnis e-commerce di Indonesia diprediksikan mencapai GMV $32 miliar tahun ini. Laju pertumbuhan majemuk tahunan (CAGR) mencapai 54% dari tahun 2019. Angka ini diprediksi mencapai $83 miliar pada tahun 2025 mendatang seiring dengan peningkatan penetrasi internet dan infrastruktur.

Hingga Q3 2020, peringkat tiga besar teratas layanan e-commerce Indonesia, berdasarkan jumlah kunjungan, masih diduduki Shopee, Tokopedia, dan Bukalapak.

Sebelumnya Microsoft telah mengumumkan investasinya ke Bukalapak. Kendati tidak diinfokan detail mengenai nilai dan kesepakatan pendanaan, diperkirakan nilainya mencapai $100 juta atau sekitar 1,4 triliun Rupiah. Selain mengaplikasikan layanan komputasi awan Microsoft Azure di internal Bukalapak, agenda lainnya kedua perusahaan akan bersama-sama meningkatkan kompetensi digital mitra UKM yang berjualan di online marketplace tersebut.

Di lini produk komputasi awan, Google dan Microsoft (dan AWS) memang bersaing ketat sebagai penyedia global. Masuknya investor Amerika Serikat dengan nilai pendanaan yang besar mengindikasikan bahwa ekonomi digital Indonesia makin menarik untuk digarap melalui “pendekatan lokal”, termasuk menggandeng startup lokal.

Application Information Will Show Up Here

Cara Beli Reksadana di Tokopedia, Investasi untuk Masa Depan

Minggu lalu, kita sudah belajar cara membuat akun Tokopedia Reksa Dana sebagai tahapan awal yang harus dilakukan sebelum melakukan pembelian. Setelah akun Anda disetujui – biasanya dalam waktu 1 x 24 jam – selanjutnya Anda sudah bisa melakukan investasi ke Reksadana dengan modal hanya Rp 20.000.

Continue reading Cara Beli Reksadana di Tokopedia, Investasi untuk Masa Depan

Layanan Marketplace C2C Garap “Fulfillment”, Jadi Investasi Masa Depan

McKinsey & Co memperkirakan nilai pasar e-commerce di Indonesia dapat mencapai $65 miliar (sekitar Rp910 triliun) pada 2022 atau naik delapan kali lipat dibandingkan tahun 2017 yang sebesar $8 miliar (sekitar Rp112 triliun). Pertumbuhan ini menandakan kontribusi besar e-commerce terhadap perekonomian digital di Indonesia.

Berdasarkan klasifikasinya, Consumer-to-Consumer (C2C) dan Business-to-Consumer (B2C) menjadi model bisnis yang banyak diadopsi oleh pelaku e-commerce Indonesia. Tokopedia, Bukalapak, dan Shopee adalah contoh pelaku C2C yang menjadi platform pihak ketiga bagi transaksi yang dilakukan langsung antara pembeli dan penjual.

Sementara B2C memiliki model bisnis yang berbeda dengan C2C. Di sini, pemilik bisnis memanfaatkan platform untuk memasarkan produknya langsung ke konsumen akhir. Adapun, model ini diadopsi oleh sejumlah marketplace, yaitu Blibli, Lazada, dan JD ID.

Dalam satu dekade terakhir ini, ekosistem e-commerce di Indonesia semakin kuat. Masyarakat dapat menikmati beragam pilihan barang, metode pembayaran, hingga jasa pengiriman. Kendati begitu, ekspektasi masyarakat terhadap belanja online juga juga semakin meningkat.

Ekspektasi terhadap kecepatan pengiriman

Salah satunya adalah ekspektasi terhadap kecepatan pengiriman barang. Co-founder Paxel Zaldy Masita menilai konsumen rela merogoh kocek lebih agar pesanannya cepat sampai. Bahkan ia meyakini bahwa memang ada segmen pasar yang sebetulnya menginginkan kecepatan pengiriman.

Menurut riset Paxel Buy & Send Insights di 2019, sebanyak 36 persen dari total 535 responden penjual UMKM menyebutkan kecepatan pengiriman barang lebih penting ketimbang ongkos kirim murah. Sementara, sebanyak 97 persen penjual online mengalami peningkatan volume pengiriman barang dagangan setelah menyediakan jasa same day delivery.

Kemunculan layanan GoSend dan Grab Express juga dapat dikatakan sebagai pemicu booming-nya layanan logistik on-demand Indonesia. Kehadiran jasa logistik last mile di Indonesia dianggap sangat membantu mengakomodasi segmen pasar ini sekaligus menjawab tantangan logistik di negara kepulauan.

“Ada tiga pilar utama dalam industri e-commerce, yakni ICT, payment, dan logistik. Sekarang penetrasi smartphone semakin tinggi dan paket data semakin murah. Dengan tren ini, mau tak mau logistik juga harus berinovasi. Kami sadar bahwa instan itu mahal karena pasar logistik regular sudah terlalu banyak pemain,” ujar Zaldy di sesi #SelasaStartup beberapa waktu lalu.

Beberapa layanan marketplace bahkan sampai menggunakan jasa logistik sendiri untuk mencapai kecepatan pengiriman yang diinginkan. Shopee Express, misalnya, merupakan layanan logistik terintegrasi milik Shopee. Bahkan tren ini melahirkan banyak startup logistik last mile, seperti Paxel dan Help.

Menurut catatannya, pertumbuhan industri logistik di Indonesia selama satu dekade terakhir naik di atas rata-rata pertumbuhan nasional yang berkisar 10 persen per tahun, terutama logistik last mile yang tumbuh 30 persen per tahun.

Layanan terpadu lewat fulfillment

Beranjak dari paparan di atas, masalah logistik tak hanya memunculkan startup baru di bidang logistik, tetapi juga peluang bisnis baru bagi marketplace C2C.  Persaingan industri e-commerce semakin ketat. Dengan strategi bakar uang yang masih terus berlanjut, pelaku C2C terus mencari cara menciptakan revenue stream baru.

Manuvernya adalah masuk ke bisnis fulfillment untuk menjadi platform-as-a-service (PaaS) dengan memberikan pelayanan logistik secara terpadu. Dalam kurun satu tahun, semua marketplace C2C di Indonesia resmi menjajal peruntungan baru di bisnis fulfillment

Langkah ini pertama kali diambil Tokopedia dengan meluncurkan layanan TokoCabang pada pertengahan 2019. Tokopedia menggaet menunjuk PT Bintang Digital Internasional (Haistar) dan Titipaja (unit bisnis terbaru layanan logistik last mile Anteraja) sebagai mitra penyedia jasa fulfillment.

Langkah ini diikuti Bukalapak melalui layanan BukaGudang. Dalam keterangannya kepada DailySocial, BukaGudang belum diperkenalkan secara resmi, tetapi sudah dapat digunakan pelapak sejak Maret 2020. Buka Gudang memiliki dua mitra fulfillment, yakni PT IDCommerce dan startup penyedia jaringan pergudangan mikro Crewdible.

Terakhir adalah Shopee yang resmi masuk lewat layanan Dikelola Shopee pada September lalu. Layanan Dikelola Shopee memanfaatkan gudang milik sendiri dengan rata-rata pesanan diklaim dapat dikirim dua jam setelah pengguna menyelesaikan transaksi.

Kepada DailySocial, VP Marketplace Bukalapak Kurnia Rosyada meyakini bahwa strategi ini dapat memperkuat komitmen perusahaan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia. Kolaborasi dengan penyedia jasa fulfillment menjadi strategi marketplace untuk meningkatkan kenyamanan bertransaksi.

Kurnia menyebut bahwa layanan BukaGudang saat ini masih dalam tahap Proof of Concept (POC). Kami terus terus berupaya mendorong jumlah pelapak yang menggunakan BukaGudang,” ungkapnya dihubungi DailySocial beberapa waktu lalu.

Belum banyak data yang bisa dibagikan, namun Kurnia menyebutkan transaksi dari pelapak yang menggunakan BukaGudang lebih tinggi dibandingkan rata-rata transaksi biasa. Adapun, pengguna BukaGudang saat ini berasal dari kategori bisnis elektronik, bahan makanan, dan industri kecantikan.

Sementara menurut External Communications Senior Lead Tokopedia Ekhel Chandra Wijaya, jasa fulfillment justru mempermudah penjual untuk mengelola bisnisnya, mulai dari pengiriman stok produk hingga perencanaan penjualan ke depan. Hal ini karena platform mencatat seluruh riwayat penjualan dari berbagai gudang.

“Kehadiran TokoCabang menjawab tantangan logistik kepulauan dengan membantu pelaku usaha di Indonesia, baik penjual nasional maupun berskala lokal dari berbagai sektor. Pelaku usaha juga mau tak mau mengakselerasi platform digital,” ungkapnya kepada DailySocial.

Ekhel menyebutkan kunci bisnis ini dapat bergantung pada ketersediaan gudang. Opsinya bisa dengan membangun gudang sendiri atau berkolaborasi dengan pihak ketiga dengan mitra logistik last mile dan yang sudah memiliki jaringan gudang tersebar di Indonesia. Tak heran, di tahap awal cakupan layanan fulfillment ini baru bisa dinikmati di sejumlah wilayah.

Saat ini TokoCabang sudah tersedia di Jakarta, Bandung, Surabaya, Makassar, Medan, dan Palembang. BukaGudang sendiri baru tersedia untuk kawasan Jabodetabek.

“Kami akan terus ekspansi ke seluruh Indonesia sehingga masyarakat bisa mendapatkan barang dari lokasi terdekat dengan ongkos kirim yang lebih murah,” ujar Ekhel.

Dihubungi secara terpisah, Founding Partner AC Ventures Pandu Sjahrir menilai bahwa fenomena marketplace C2C di fulfillment menandakan langkah tersebut sebagai sebuah “investasi masa depan” untuk meningkatkan pertumbuhan bisnis mereka. “Dengan masuk ke sini, mereka dapat menjaga kualitas para seller,” tuturnya.

Menurut Pandu, pelaku C2C berupaya membentuk value chain tersentralisasi. Dengan teknologi, mereka dapat mengoptimalkan permintaan pesanan di seluruh Indonesia. Nilai plusnya adalah pelaku C2C dapat menempatkan gudang-gudang mereka di daerah yang tren permintaannya besar.

“Mereka menjadi semacam demand lab, mereka paling tahu. Justru ini sangat penting karena mereka bisa memperikan permintaan satu minggu ke depan dan seterusnya. Ini menjadi investasi tambahan karena mereka sudah demand per wilayah, tidak perlu riset dulu di daerah mana, baru bangun gudang,” ujarnya.

Mengakomodasi lonjakan transaksi selama pandemi

Di sisi lain, situasi pandemi menjadi semacam test case bagi pelaku C2C yang masuk ke bisnis fulfillment untuk mengakomodasi lonjakan transaksi belanja online. Menurut Ekhel, pandemi telah mengubah perilaku konsumen dari offline ke online, terutama pesanan yang sifatnya kebutuhan sehari-hari.

Di sisi lain, pandemi juga mendorong peningkatan penjual baru di platformnya. Per Agustus 2020, terdapat lebih dari 9 juta penjual di Tokopedia yang hampir 100 persen merupakan UMKM, bahkan dapat dikatakan 94 persen adalah penjual ultra mikro. Dari Januari sampai Agustus 2020, terdapat penambahan 2 juta penjual karena pandemi.

Riset terbaru iPrice dan Parcel Monitor mengungkap bagaimana pandemi berdampak pada waktu pengiriman barang di Asia Tenggara. Indonesia menempati posisi kedua dengan pengiriman menjadi lebih lama 30 persen atau 3 hari dibandingkan periode sebelum pandemi yang rerata 2,3 hari.

Zaldy menilai bahwa pandemi menjadi momentum bagi kelahiran layanan logistik baru yang diharapkan tidak hanya datang dari layanan logistik last mile. Bisa berupa layanan tracking atau warehouse.

“Masuk ke B2C dan C2C tidak mudah. Dulu hanya Grab Gojek aja. Situasi ini justru memunculkan pemain baru, seperti Paxel. Buat kami ini memang agak telat masuknya karena butuh resource besar. Tapi ini menjadi peluang besar bagi kemunculan startup logistik di berbagai macam vertikal,” jelasnya.

Ecommerce di Esports, Mau Apa?

Jika ditanya apa kesamaan antara ecommerce dan esports, saya akan menjawab, keduanya sama-sama menambahkan unsur “e” — electronic — pada sebuah kegiatan. Di kasus ecommerce, kegiatan tersebut adalah dagang (commerce) dan di esports, olahraga (sports). Keduanya memanfaatkan internet untuk melakukan sesuatu yang sebenarnya sudah ada sebelumnya. Namun, selain itu, saya rasa, tidak ada kesamaan lain di antara keduanya.

Meskipun begitu, banyak perusahaan ecommerce yang menjajaki industri competitive gaming. Tak percaya? Buktinya, pada 2014, Amazon mengakuisisi platform streaming game Twitch. Pada 2016, raksasa ecommerce Tiongkok, Alibaba, menanamkan investasi sebesar US$150 juta di esports. Perusahaan ecommerce asal Tiongkok lainnya, JD juga punya tim esports sendiri. Dan jangan salah, di Indonesia, perusahaan-perusahaan ecommerce juga mulai menjajaki esports, mulai dari yang hijau, biru, oranye, sampai merah.

 

Bukti Keterlibatan Ecommerce Lokal di Esports

Berikut daftar turnamen yang disponsori atau didukung oleh perusahaan ecommerce, serta kerta kerja sama antara perusahaan ecommerce dengan tim esports Indonesia:

2017
– Tokopedia mengadakan Revival E-sports Festival

2018
– Tokopedia mengadakan Battle of Fridays (TBOF)
– JD.id jadi sponsor dari High School League (HSL) Season 1

2019
– Blibli mendukung Piala Presiden 2019
– Blibli mengadakan Blibli Esports Championship (BEC)
– JD.id jadi sponsor dari High School League Season 2
– Shopee kerja sama dengan Louvre
– Shopee mengadakan Shopee Fire Cup
– Tokopedia mengadakan Indonesia Esports National Championship (IENC)

2020
– Blibli mendukung Piala Presiden 2020
– Lazada menggandeng EVOS Esports

Battle of Fridays jadi salah satu turnamen esports dengan hadiah terbesar pada 2018. | Sumber: Bolalob
Battle of Fridays jadi salah satu turnamen esports dengan hadiah terbesar pada 2018. | Sumber: Bolalob

Dari semua turnamen di atas, Tokopedia Battle of Fridays menawarkan total hadiah paling besar, yaitu Rp1,9 miliar. Memang, turnamen itu menjadi salah satu kompetisi esports dengan hadiah terbesar pada 2018. Menggunakan format tertutup, TBOF mengadu beberapa game sekaligus, yaitu Dota 2, Counter-Strike: Global Offensive, Mobile Legends, dan Point Blank. Mereka mengundang 12 tim esports profesional untuk ikut serta, termasuk Bigetron Esports, BOOM Esports, dan EVOS Esports.

Bukan hanya TBOF, Indonesia Esports National Championship juga menawarkan hadiah yang cukup besar, mencapai Rp750 juta. Walau IENC memiliki total hadiah yang jauh lebih kecil dari TBOF, turnamen ini juga tak kalah pamor, karena dijadikan sebagai ajang kualifikasi untuk memilih atlet esports yang akan maju di SEA Games 2019. Turnamen esports yang melibatkan ecommerce lain juga menawarkan hadiah yang cukup fantastis. Misalnya, total hadiah Blibli Esports Championship mencapai Rp500 juta, sementara JD.id High School League bahkan mencapai Rp1,2 miliar.

Oke, mari beralih untuk membahas kerja sama antara perusahaan ecommerce dan tim esports. Salah satu ecommerce yang pernah mendukung organisasi esports profesional adalah Shopee. Pada tahun lalu, mereka memutuskan untuk menjadi sponsor dari Louvre karena mereka menganggap, tim tersebut memiliki potensi untuk menang. Selain sponsorship, kerja sama keduanya juga meliputi pengadaan official store dari Louvre di Shopee.

EVOS punya official store di Lazada. | Sumber: Lazada
EVOS punya official store di Lazada. | Sumber: Lazada

Sementara itu, pada April 2020, Lazada mengumumkan kolaborasinya dengan EVOS Esports. Sama seperti Shopee, salah satu bentuk kerja sama antara Lazada dan EVOS adalah pembukaan official store EVOS di Lazada. Hanya saja, Lazada dan EVOS juga punya kerja sama lain, yaitu EVOS harus mengisi program live streaming Lazada Cyber Combat.

 

Ecommerce Adakan Turnamen Esports, Memang Bisa?

Di mana ada kemauan, di situ ada jalan. Pepatah ini tampaknya cocok digunakan untuk menggambarkan Blibli, yang memutuskan untuk menangani penyelenggaraan Blibli Esports Championship sendiri. “Pelaksanaan turnamen BEC tersebut disiapkan dan dilakukan oleh tim khusus yang dimiliki oleh Blibli,” ujar Lani Rahayu, Associate Vice President Social Media and Community Blibli dan Project Lead Blibli Esports Championship. “Kami juga berkolaborasi dengan berbagai pihak termasuk gaming provider para mitra brand yang menyediakan produk-produk terkait dengan esports, komunitas, juga akademisi (HIMA di universitas Jadetabek).”

Tentu saja, pendekatan masing-masing ecommerce tak harus sama. Berbeda dengan Blibli, Tokopedia memilih untuk bekerja sama dengan pelaku industri esports. Pada 2018, untuk mengadakan Battle of Fridays, Tokopedia bekerja sama dengan IESPL. Sementara untuk menyelenggarakan Indonesia Esports National Championship, mereka menggandeng IESPA.

“Lewat berbagai kolaborasi dengan para tournament organizer ini, Tokopedia dilibatkan dalam pemilihan game yang akan dipertandingkan. Penentuan game dilakukan berdasarkan popularitas, skena kompetitif dan komunitas game tersebut,” ujar Jonathan Gilbert Tricahyo, Top-up Digital Singular Senior Lead Tokopedia.

Sementara itu, JD.id tak mau repot dan lebih memilih untuk menjadi title sponsor dari High School League. Untuk membahas tentang pengadaan HSL lebih lanjut, saya menghubungi Chief Marketing Officer dan Founder Yamisok, Diana Tjong.

“JD.id merupakan title sponsor kita, tapi event-nya, High School League, memang punya kita,” ujar Diana ketika dihubungi melalui pesan singkat. Dia menjelaskan, JD.id tertarik untuk mensponsori HSL karena perusahaan ecommerce tersebut memang tertarik dengan konsep HSL. Namun, JD.id tidak ikut campur tangan dalam memilih game yang akan ditandingkan dalam HSL. “Segala sesuatunya jadi tanggung jawab Yamisok dan MoobaTV,” katanya.

High School League pada 2018. | Sumber: Kastara
High School League pada 2018. | Sumber: Kastara

Jika dibandingkan dengan turnamen esports lainnya, salah satu keunikan HSL adalah karena liga ini menyasar pemain amatir di tingkat SMA dan setara. Hanya saja, kepuutsan ini juga menimbulkan masalah tersendiri, seperti keengganan pihak sekolah atau orangtua mengizinkan anak mereka berpartisipasi dalam kompetisi tersebut. Untuk mengatasi masalah itu, Yamisok lalu mengundang psikolog dan mengadakan roadshow ke berbagai sekolah.

“Tujuan kami melakukan roadshow adalah sebagai pendekatan dan edukasi pada orangtua dan pihak sekolah, agar bisa menjadi jembatan antara dunia pendidikan dengan esports,” jelas Diana. “Sekarang pun, kita buat program-program lanjutan. Di Yamisok, ada student representative. Sekarang, kita lagi buat trial class untuk akademi esports buat ekskul esports di sekolah.”

 

Media dan Dokumentasi Kompetisi Esports

Yamisok bukan satu-satunya pihak yang memiliki andil dalam penyelenggaraan HSL. EsportsID juga punya campur tangan sebagai media partner. Salah satu tugas mereka adalah melakukan dokumentasi dari kegiatan HSL, termasuk saat grand final dan wawancara pemenang setelah turnamen berakhir.

“Sebagai media partner, tugas kami pastinya untuk mempromosikan event-nya,” kata Michael Samuel, Editor-in-Chief, EsportsID, saat dihubungi melalui pesan singkat. “Dalam dokumentasi, kita juga bantu membuat video perjalanan tim-tim finalis saat mereka di Jakarta, sampai mereka bertanding di grand final. Kami juga buat video after event ke sekolah yang juara, mengenai dampak dan pandangan positif tentang esports dari pihak sekolah. Jadi, kita wawancara guru dan timnya.” Dia menjelaskan, mereka dapat melakukan hal ini karena sekolah yang keluar sebagai juara HSL akhirnya memutuskan untuk mengadakan program ekstrakurikuler esports.

Jumlah penonton menjadi salah satu daya tarik turnamen esports. Semakin banyak orang yang menonton turnamen esports, semakin menarik pula turnamen itu di mata sponsor. Untuk turnamen esports profesional, seperti Mobile Legends Professional League, kemampuan bermain para pemain profesional jadi salah satu daya jualnya. Sayangnya, hal ini tidak berlaku untuk turnamen amatir seperti HSL. Namun, hal itu bukan berarti tidak ada hal yang pantas untuk diangkat dari pertandingan amatir.

Michael berkata, “Untuk turnamen pro dan amatir, topik yang diangkat juga berbeda. Kalau pro kan yang diangkat pasti tim atau player-nya. Sedangkan pertandingan amatir, kita bisa tampilkan perjuangan mereka, background tim atau sisi lainnya.”

Terkait HSL, Michael menjelaskan bahwa salah satu hal yang mereka coba highlight adalah usaha para tim untuk mendapatkan izin sekolah. Mereka juga menampilkan bagaimana para tim berjuang keras untuk bisa lolos babak kualifikasi hingga juara. Selain itu, EsportsID juga mengangkat topik tentang esports itu sendiri. Pasalnya, dia mengaku, masih banyak stigma buruk terkait esports yang beredar di masyarakat.

 

Tujuan Ecommerce Masuk ke Dunia Esports

Ketika ditanya tentang alasan Tokopedia terjun ke dunia esports, Jon menjawab, mereka masuk ke industri esports untuk membangun ekosistem competitive gaming sehingga orang-orang yang memiliki impian untuk berkarir di dunia esports akan bisa mencapai mimpinya.

“Mengingat potensi industri gaming di Indonesia masih sangat besar, baik dari sisi pemain maupun tim Indonesia yang sudah banyak berprestasi di level internasional. Esports bahkan saat ini menjadi industri baru yang banyak membuka kesempatan kerja kepada para peminatnya,” ujar Jon. “Kami berharap, dengan adanya dukungan Tokopedia terhadap industri esports di Indonesia, akan lebih banyak lagi talenta-talenta terbaik negeri yang nantinya bisa mendunia.”

Babak akhir Blibli Esports Championship. | Sumber: Blibli
Babak akhir Blibli Esports Championship. | Sumber: Blibli

Sejalan dengan Tokopedia, Blibli mengungkap bahwa salah satu alasan mereka tertarik mengadakan BEC adalah karena mereka melihat betapa tingginya minat akan esports di Indonesia. Hal ini mendorong mereka untuk ikut serta dalam membangun ekosistem esports.

“Kami mendukung esports karena sejalan dengan semangat serta komitmen Blibli sebagai ecommerce lokal yang ingin terus mendorong pemberdayaan kepada masyarakat,” kata Lani. “Melalui esports, Blibli berharap anak-anak muda dapat menggunakan konten teknologi atau games untuk pengembangan diri, seperti membentuk sportivitas, teamwork, kemampuan strategic thinking, dan membuka lapangan pekerjaan baru serta membangun karir untuk para gamers muda Indonesia, termasuk salah satunya menjadi atlet esports.”

Singkatnya, baik Blibli maupun Tokopedia mendukung esports dengan harapan industri ini bisa berkembang lebih besar lagi. Dengan begitu, semakin banyak gamer Indonesia yang bisa unjuk gigi. Tak hanya itu, semakin besar industri esports, semakin banyak pula lowongan pekerjaan baru yang muncul.

Tak ada yang salah dengan semua tujuan altruistik ini. Hanya saja, Blibli, Tokopedia, atau ecommerce lainnya tetaplah perusahaan yang dibangun untuk mendapatkan untung. Mustahil rasanya mereka rela mengeluarkan uang hingga beratus-ratus juta atau bahkan bermiliar rupiah jika tak ada untung yang bisa didapat perusahaan.

Jadi, pertanyaannya adalah keuntungan apa yang bisa didapatkan oleh perusahaan ecommerce jika mereka masuk ke dunia esports? Jawabannya sederhana: perhatian penonton. Pada 2018, jumlah penonton esports di dunia mencapai 395 juta orang, menurut data dari Newzoo. Angka ini terus naik, menjadi 443 juta pada 2019, dan diperkirakan menjadi 495 juta pada 2020. Jadi, tidak heran jika perusahaan non-endemik, seperti ecommerce, tertarik untuk aktif di industri esports.

Pertumbuhan jumlah penonton esports dari tahun ke tahun. | Sumber: Newzoo
Pertumbuhan jumlah penonton esports dari tahun ke tahun. | Sumber: Newzoo

Jika tujuan ecommerce masuk esports untuk menarik perhatian fans esports, hal ini sesuai dengan penjelasan Diana. Dia berkata, salah satu KPI (Key Performance Indicator) yang mereka harus capai saat menyelenggarakan HSL adalah impresi. “Impression itu mencakup semua, dari viewer, Instagram, influencer, dan media juga,” ujar Diana. “Tapi, target offline-nya berbeda.”

Memang, dalam konferensi pers High School League Season 2, pihak JD.id mengungkap, menjadi sponsor dari turnamen esports ini merupakan bagian dari strategi marketing mereka. Pasalnya, dengan menjadi title sponsor, nama JD.id akan selalu disandingkan dengan HSL. Tak hanya itu, logo mereka juga akan ditampilkan di semua atribut HSL. Jadi, melalui HSL, JD.id akan dapat meningkatkan brand awareness masyarakat, khususnya di kalangan siswa SMA atau setara, orangtua, dan pihak sekolah.

Setelah mengadakan turnamen esports sendiri, Blibli berhasil menjangkau penonton esports. Ketika ditanya tentang dampak yang telah Blibli rasakan setelah mereka masuk ke dunia esports, Lani menjawab, “Dampak dari penyelenggaraan esports bagi kami tentunya bisa menjangkau audience millenials yang lebih muda menjadi pelanggan Blibli. Selain itu, kami juga melihat penjualan khususnya voucher game terus meningkat, partner-partner yang menyediakan perlengkapan gaming semakin bertambah.”

Memanfaatkan hype esports sebagai alat marketing, apakah ini salah? Tentu tidak. Tak bisa dipungkiri, esports tengah populer, apalagi di tengah pandemi. Jika perusahaan ecommerce — atau perusahaan non-endemik lain — tertarik untuk mendukung pelaku esports agar mereka bisa memperkenalkan brand mereka para penonton esports, tak ada yang salah dengan itu. Toh, semakin banyak perusahaan yang tertarik mendukung pelaku esports, semakin baik.

Namun, tidak semua turnamen esports mendewakan view. Setidaknya, hal inilah yang dipercaya oleh Michael. Dia berkata, “Kalau dari saya pribadi, sebenarnya setiap event esports pasti punya tujuan masing-masing. Memang benar, tujuan itu bisa jadi view, awareness, dan lain-lain. Tapi, nggak sedikit juga event yang memang tujuan utamanya untuk mencari bibit baru dan tidak sekadar viewers sih.”

 

Penutup

Bayangkan jika Anda sedang jatuh cinta pada seseorang yang punya ketertarikan yang berbeda dengan Anda. Bukankah Anda juga akan berusaha untuk memahami hal yang disukai oleh gebetan Anda? Tujuannya, agar Anda dan si dia punya bahan obrolan. Dan mungkin, dari sana, kalian bisa jadi lebih dekat dan berakhir menjadi sepasang kekasih.

Perusahaan non-endemik, dalam hal ini ecommerce, juga begitu. Mereka tahu bahwa target konsumen mereka di masa depan — generasi Milenial dan Gen Z — kini tengah sangat suka dengan konten game dan esports. Tentu saja, mereka tak akan melewatkan kesempatan ini. Mereka ikut masuk ke dunia esports sebagai bentuk pedekate dengan fans esports. Dari sana, mungkin saja ada yang berakhir dengan checkout keranjang belanja.

Sumber header: Blibli

Serba-Serbi Gamifikasi: Penerapan dengan dan Tanpa Aplikasi

Ketika saya SD, saya sering bermain game Puzzle Bobble. Beberapa waktu lalu, saya melihat adik saya memainkan game serupa, di aplikasi Shopee. Sementara bulan lalu, saya mendapatkan rilis dari Tinder, memperkenalkan fitur barunya,  “Swipe Night”, berupa cerita interaktif yang mengingatkan saya akan game-game buatan Telltale Games.

Semua hal ini membuat saya berpikir: unsur-unsur game apalagi yang ada dalam aplikasi non-gaming? Kenapa aplikasi e-commerce dan kencan online memasukkan unsur-unsur game padahal aplikasinya tak ada sangkut pautnya dengan game? Bukankah game adalah hal tak berguna yang hanya merusak masa depan?

Dalam usaha saya untuk menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di atas, saya menemukan istilah menarik: gamifikasi. Dan kali ini, saya akan membahas segala sesuatu tentang gamifikasi.

Apa sih Gamifikasi Itu?

Untuk mengetahui lebih lanjut tentang gamifikasi, saya menghubungi Eko Nugroho, CEO dari Kummara Group, perusahaan yang fokus pada game serius, pembelajaran via gaming, dan gamifikasi secara umum. Eko menjelaskan, pada dasarnya, gamifikasi adalah penggunaan unsur game di bidang selain game, mulai dari edukasi, tempat bekerja, hingga militer.

Unsur game yang digunakan dalam gamifikasi juga tidak selalu sama. Dalam kasus Shopee, mereka memasukkan game utuh ke dalam aplikasinya. Namun, gamifikasi tidak harus selalu seperti itu. Penerapan gamifikasi bisa sesederhana penggunaan sistem poin atau memasang leaderboard pada aplikasi.

Leaderboard jadi salah satu unsur game yang sering digunakan pada aplikasi non-gaming. | Sumber: Deposit Photos
Leaderboard jadi salah satu unsur game yang sering digunakan pada aplikasi non-gaming. | Sumber: Deposit Photos

Eko memberikan contoh gamifikasi dalam dunia edukasi. Misalnya, setelah lulus tingkat pendidikan tertentu, maka seseorang akan mendapatkan sertifikasi. Sistem ini serupa dengan penerapan sistem badge pada game. Ketika Anda berhasil mendapatkan pencapaian tertentu, usaha Anda akan dihargai dengan “badge”. Menurut Eko, penggunaan unsur game dalam bidang non-gaming sudah dilakukan sejak lama. Namun, istilah “gamifikasi” baru mulai muncul pada 2000-an.

Sayangnya, sama seperti segala sesuatu di dunia ini, gamifikasi juga bisa memberikan dampak buruk jika tidak diterapkan dengan benar. Eko kembali memberikan contoh dalam dunia edukasi. “Dunia pendidikan yang ‘menuhankan’ nilai, hal ini membuat para murid termotivasi untuk berbuat curang dan bukannya belajar lebih baik,” kata Eko.

 

Optimasi dan Tujuan Gamifikasi

Salah satu alasan mengapa penerapan gamifikasi tidak selalu optimal adalah karena masih banyak orang yang memiliki pemikiran yang salah tentang gamifikasi. Eko mengungkap, masih banyak orang yang mengira bahwa gamifikasi itu sekadar menggunakan sistem poin atau badge. “Menggunakan sistem poin atau badge memang gamifikasi. Tapi, gamifikasi itu lebih dari itu,” ujar Eko. “Gamifikasi harus bisa didesain dengan baik.”

Alasan lain mengapa penggunaan gamifikasi terkadang tidak optimal adalah karena terkadang. orang-orang yang hendak menerapkan gamifikasi ingin mengimplementasikannya dengan cepat. Padahal, gamifikasi hanya akan bisa optimal jika ia memang diimplementasikan dengan tepat. “Misalnya, pembaca Hybrid adalah orang-orang pada umur 18-30 tahun. Mendadak, Hybrid menambahkan fitur gamifikasi, tapi UI/UX-nya old school. Ya, gamifikasi tidak akan maksimal,” kata Eko.

Lalu, bagaimana cara menentukan apakah penerapan gamifikasi sudah optimal? Menurut Eko, optimal atau tidaknya gamifikasi tergantung pada apakah tujuan dari gamifikasi itu sendiri berhasil dicapai. Tolok ukur lainnya adalah apakah gamifikasi bisa memberikan pengalaman yang lebih baik pada konsumen. “Pada aplikasi, kalau fitur gamifikasi membuat pengguna tertarik menggunakan mencoba, hal itu berarti gamifikasinya berjalan dengan baik,” ujarnya.

Dalam jangka panjang, fitur gamifikasi yang optimal bisa menumbuhkan loyalitas konsumen. Contoh yang Eko berikan adalah sistem frequent flyers yang digunakan oleh maskapai penerbangan. Dalam sistem itu, semakin sering seseorang menggunakan layanan maskapai tertentu, maka semakin tinggi kelasnya dan semakin baik pula layanan yang dia dapatkan. Pada awalnya, seseorang mungkin menggunakan satu maskapai karena memang perlu. Namun,  lama-kelamaan, dia akan enggan untuk menggunakan maskapai lain karena layanan yang dia dapatkan sudah sangat baik.

Sistem serupa juga diterapkan oleh perusahaan transportasi online. Tak hanya menumbuhkan kesetiaan, gamifikasi juga bisa digunakan dengan tujuan untuk memperkenalkan produk baru. Misalnya, pada awal kemunculan transportasi online, mereka sering memberikan “reward” berupa voucher atau diskon. Hal ini mendorong konsumen untuk mencoba menggunakan transportasi online. Setelah konsumen terbiasa, diskon atau voucher itu pun perlahan dihilangkan. Namun, konsumen yang sudah terlanjur merasa senang dengan layanan yang ditawarkan tetap menggunakan layanan transportasi online.

Satu hal yang harus diingat, Eko mengingatkan, fitur gamifikasi hanya akan bisa berfungsi optimal jika produk yang diperkenalkan memang berkualitas. “Mengenalkan produk baru kan susah. Jadi, supaya konsumen mau mencoba produk atau layanan baru, perusahaan menggunakan konsep gamifikasi. Namun, gamifikasi tidak bisa berdiri sendiri. Perusahaan harus memang punya produk yang baik,” ujar Eko. Dia juga menekankan, jangan sampai fitur gamifikasi justru membuat pelanggan merasa tertipu.

Sistem badge merupakan sistem gamifikasi lain yang biasa digunakan pada aplikasi non-gaming. | Sumber: Deposit Photos
Sistem badge merupakan sistem gamifikasi lain yang biasa digunakan pada aplikasi non-gaming. | Sumber: Deposit Photos

Tujuan dari gamifikasi, jelas Eko, sebenarnya tak hanya menumbuhkan loyalitas atau memperkenalkan produk baru. “Tergantung pada aplikasi,” jawab Eko ketika ditanya tentang tujuan gamifikasi pada aplikasi non-gaming. “Misalnya pada e-commerce, mereka menggunakan konsep game agar pengguna menggunakan aplikasi lebih lama. Dengan begitu, para pemain bisa diekspos ke banyak hal. Contoh, ketika kita bermain game, kita bakal dapat voucher atau diskon. Contoh lainnya, ketika kita main, kita disajikan iklan.”

Lebih lanjut, dia menjelaskan, fitur gamifikasi dalam aplikasi tak melulu blak-blakan seperti yang sudah dibahas. Dia menjadikan LinkedIn sebagai contoh. “Kalau kamu isi data diri, bar completion-nya akan terisi. Di sini, tujuan gamifikasi adalah mendorong pengguna untuk memberikan data diri mereka,” ujarnya. “Jadi, tujuan dari gamifikasi itu ya tergantung masing-masing aplikasi.”

 

Contoh Gamifikasi dalam Aplikasi

Tokopedia adalah salah satu aplikasi non-gaming yang menggunakan strategi gamifikasi. Menurut Bety Rosalina, Buyer Engagement Lead, Tokopedia, mereka mulai menampilkan fitur gamifikasi sejak 2017. Tujuannya adalah untuk memberikan pengalaman belanja yang interaktif dan lebih menaik.

Salah satu fitur gamifikasi yang Tokopedia gunakan dinamai Lucky Egg. Fitur ini sangat sederhana. Anda cukup “membuka” Lucky Egg di Tokopedia dan Anda akan mendapatkan hadiah berupa kupon atau voucher. Bety mengatakan, kupon yang diberikan telah disesuaikan dengan masing-masing pelanggan. Sekarang, Tokopedia juga menampilkan fitur gamifikasi lain, yaitu TopQuest. Dalam game, ketika Anda mendapatkan quest atau misi, maka Anda harus menyelesaikannya — terkadang dengan batas waktu tertentu — untuk mendapatkan hadiah. Cara kerja TopQuest persis seperti itu. TopQuest mendorong Anda untuk melakukan kegiatan tertentu untuk mendapatkan hadiah berubah cashback atau voucher.

“Tokopedia juga menghadirkan Tap Tap Kotak sebagai lanjutan dari fitur Lucky Egg,” ujar Bety. Sama seperti Lucky Egg, keuntungan yang didapat pelanggan dari Tap Tap Kotak adalah hadiah. Sementara bagi para mechant, manfaat Tap Tap Kotak adalah mereka bisa membangun engagement yang lebih interaktif dan lebih personal. “Hingga Agustus 2020, jumlah kotak yang dibuka mencapai lebih dari 25 juta kali. Bahkan ada lebih dari 40 ribu kotak Tap Tap Kotak yang dibuka per menit selama malam perayaan festival belanja bulanan Waktu Indonesia Belanja (WIB) pertama Tokopedia yang berlangsung pada 29 Juli 2020,” ujar Bety.

Bety menceritakan, fitur-fitur gamifikasi pada Tokopedia merupakan hasil kolaborasi dari tim internal Tokopedia, yang terdiri dari 9 orang, termasuk software engineers dan product manager.

Tap Tap Kotak merupakan kelanjutan dari fitur Lucky Egg.
Tap Tap Kotak merupakan kelanjutan dari fitur Lucky Egg.

Selain Tokopedia, Tinder menjadi aplikasi non-gaming lain yang memasukkan fitur gamifikasi. Tinder menamai fitur gamifikasi mereka “Swipe Night”. Bagi Anda yang tidak tahu, Swipe Night merupakan cerita interaktif. Di sini, Anda bisa memilih opsi yang berbeda yang akan memengaruhi jalan cerita. Mekanisme ini mengingatkan saya akan game-game buatan Telltale Games, seperti The Wolf Among Us. Hanya saja, opsi yang Anda ambil di Swipe Night tidak hanya memengaruhi alur cerita, tapi juga match yang Anda dapatkan.

Di Indonesia, fitur Swipe Night baru hadir pada awal September 2020 lalu. Proses pembuatan Swipe Night sendiri cukup lama. Kegiatan syuting untuk cerita Swipe Night telah dimulai sejak Q3 2019. Memang, pandemi jadi salah satu alasan mengapa fitur baru diluncurkan September 2020. Pada awalnya, Tinder berencana untuk memperkenalkan Swipe Night pada Maret 2020.

Berbeda dengan Tokopedia yang ingin menawarkan pengalaman belanja lebih interaktif, tujuan Tinder menghadirkan fitur gamifikasi adalah untuk memudahkan penggunanya memulai percakapan.

“Kami sadar bahwa orang-orang lebih mudah mengobrol ketika mereka berbagi pengalaman yang sama, seperit ketika menghadiri konser atau saat mereka tengah hangout bersama,” kata perwakilan Tinder pada Hybrid.co.id. “Kami ingin Swipe Night jadi bahan pembuka pembicaraan.” Selain itu, Tinder juga berharap, fitur Swipe Night akan membantu para penggunanya untuk membangun chemistry yang lebih baik.

Pihak Tinder menjelaskan, ide untuk membuat fitur Swipe Night muncul ketika mereka mengamati kebiasaan berkencan para Gen Z. Fortnite menjadi salah satu sumber inspirasi mereka. Memang, satu tahun belakangan, Fortnite juga mulai mengundang musisi ternama untuk melakukan konser digital di game tersebut. Tinder ingin melakukan hal serupa. Hanya saja, mereka juga ingin memastikan bahwa fitur gamifikasi yang mereka tanamkan sesuai dengan tema Tinder sebagai aplikasi kencan.

Swipe Night merupakan fitur gamifikasi pada TInder.
Swipe Night merupakan fitur gamifikasi pada Tinder.

“Kami akhirnya memutuskan untuk membuat konten dengan sudut pandang orang pertama. Di sini, para pengguna Tinder akan jadi karakter utama dan mereka bisa melakukan berbagai aksi atau membuat pilihan yang akan menunjukkan kepribadian mereka,” jelas perwakilan Tinder. “Selain itu, penting juga untuk mencantumkan hasil pengalaman mereka di bio.”

Tinder berharap, setelah mencoba Swipe Night, para pengguna akan tertarik untuk membicarakan pengalaman mereka, sama seperti setelah mereka menonton bioskop atau seri TV.

Sebelum diluncurkan secara global, fitur Swipe Night telah tersedia di Amerika Serikat terlebih dulu. Tinder mengungkap, tanggapan yang mereka dapatkan positif. “Sesuai dengan janji awal, Swipe Night dapat meningkatkan jumlah match dan dapat membantu pengguna kami untuk memulai percakapan,” aku Tinder. “Contohnya, total match di AS naik 26% sementara total percakapan naik 12%.”

 

Proses Pembuatan Gamifikasi

Jika setiap aplikasi dapat menerapkan sistem gamifikasi yang berbeda-beda, serumit apa proses pembuatan gamifikasi? Eko mengungkap, semua developer sebenarnya bisa menanamkan fitur gamifikasi pada aplikasi. Hanya saja, setiap developer memiliki pemahaman akan gamifikasi yang tidak sama. Eko memberikan analogi ketika Anda meminta tukang bangunan untuk membangun rumah. Semua tukang bangunan akan bisa membangun rumah, hanya saja, mereka akan membangunnya berdasarkan apa yang mereka ketahui saja. Lain halnya jika Anda meminta bantuan arsitek.

“Jika Anda ngomong dengan arsitek, dia tidak akan langsung membuatkan rumah yang Anda minta. Dia justru akan memberikan beberapa pertanyaan, seperti apa fungsi rumah, siapa yang akan tinggal di rumah tersebut, dan karakteristik dari orang yang akan tinggal nantinya. Setelah itu, sang arsitek baru akan mendesain rumah dan memanggil tukang bangunan untuk membangun rumah tersebut,” cerita Eko.

Meminta bantuan "arsitek" gamifikasi dapat membantu membuat fitur yang sesuai. | Sumber: Deposit Photos
Meminta bantuan “arsitek” gamifikasi dapat membantu membuat fitur yang sesuai. | Sumber: Deposit Photos

Eko menjelaskan, jika perusahaan sekadar ingin memasang sistem poin atau badge pada aplikasinya, maka developer manapun bisa melakukan itu. Namun, jika perusahaan ingin mengoptimalkan fitur gamifikasi agar ia tepat sasaran, maka tidak ada salahnya mereka meminta bantuan “arsitek” gamifikasi.

“Sama seperti konsultan di bidang lain, biasanya kita akan mempelajari terlebih dahulu keadaan klien, seperti target mereka siapa, objektif mereka melakukan gamifikasi apa, dan bagaimana infrastruktrur aplikasi/situs yang telah mereka miliki,” ungkap Eko. Setelah itu, baru mereka akan membuat strategi yang sesuai. Sayangnya, tidak semua klien memahami hal ini. “Ada juga yang pola pikirnya, ‘pokoknya mau seperti Candy Crush, biar pelanggan main terus’,” ujarnya. “Namun, hal ini memang bukan sepenuhnya salah mereka, karena konsep tentang gamifikasi itu memang masih terbatas. Sebagian orang masih merasa, gamifikasi akan bisa mengubah segala sesuatu secara instan.”

Untuk mengetahui lebih lanjut tentang proses pembuatan fitur gamifikasi, saya mengobrol dengan Garibaldy Wibowo Mukti, Co-founder dan CEO dari Nightspade Studio, yang bertanggung jawab dalam membuat fitur gamifikasi untuk Tokopedia. Seperti apa game yang mereka buat untuk aplikasi e-commerce tersebut? Anda bisa melihat contohnya pada video di bawah.

“Tokopedia memang memberikan gambaran akan game yang mereka mau, maunya kira-kira seperti apa,” jawab pria yang akrab dengan panggilan Gerry ini ketika ditanya tentang proses pembuatan game untuk Tokopedia. “Tapi yang flesh out dari kita. Kita mengusulkan beberapa ide dan mereka pilih mana ide yang mau kita buat secara detail.” Secara sederhananya, proses dimulai dari briefing oleh klien — dalam hal ini Tokopedia — lalu diikuti oleh high level pitch dan terakhir, proses fleshing out. Sejak awal, Gerry mengungkap, Tokopedia juga telah menjelaskan tujuan mereka membuat gamifikasi.

“Secara umum, mereka ingin bisa menggaet lebih banyak user dan membuat mereka menggunakan aplikasi lebih lama,” jelas Gerry tentang alasan Tokopedia membuat fitur gamifikasi. “Dan gamifikasi memang bisa mendorong pelanggan stay lebih lama. Sama seperti WiFi di cafe-lah. Dengan adanya WiFi, orang-orang bakal stay lebih lama, mungkin akan pesan minuman lain.” Sambil bercanda dia menambahkan, “Bahkan ada orang-orang yang ke cafe hanya untuk mendapatkan WiFi.”

 

Game Mandiri vs Game di Aplikasi Non-Gaming

Kriteria dari game yang akan dimasukkan dalam aplikasi non-gaming berbeda dengan game yang developer buat untuk berdiri sendiri. Daripada fokus pada gameplay yang kompleks, pertimbangan utama dalam membuat game di aplikasi non-gaming justru kesederhanaan gameplay. “Game-nya harus yang mudah dimengerti oleh user, tidak bisa game yang hardcore gitu,” kata Gerry.

Kriteria lainnya adalah waktu bermain yang singkat. “Karena tujuan utama orang buka Tokopedia bukan untuk bermain game,” ujar Gerry. “Game juga harus bisa dimainkan dengan lancar di perangkat low-end. Jangan sampai game-nya menggunakan fitur-fitur tertentu yang hanya ada di perangkat-perangkat khusus. Selain itu, aset visual dan audio harus sekecil mungkin agar waktu download jadi singkat.” Dia mengaku, biasanya, limitasi utama dalam membuat game di aplikasi non-gaming adalah dari segi teknis. “Sisanya, gameplay harus user-friendly dan engaging. Dan walau waktu bermainnya sinngat, tapi punya depth atau konten yang membuat orang untuk bermain lagi dalam waktu lama.”

Dalam proses pembuatan, membuat fitur gamifikasi di aplikasi non-gaming tak melulu lebih sulit atau lebih mudah. “Sebenarnya tergantung klien,” aku Gerry. “Kalau klien memang sudah tahu tentang game development, atau setidaknya tahu dengan jelas apa yang diharapkan dari game, itu lebih gampang. Untuk klien yang belum tahu apa-apa tentang game dan tiba-tiba mau buat game… Nah, klien kayak gini yang biasanya lebih susah untuk di-handle.”

 

Gamifikasi Tanpa Aplikasi

Anda mungkin akan berpikir, gamifikasi hanya bisa diterapkan dalam aplikasi. Namun, Eko dari Kummara berpendapat lain. Menurutnya, unsur dalam game juga bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari tanpa aplikasi. Dalam situsnya, Eko menjelaskan, selama kita memahami fungsi dari unsur-unsur gamifikasi — seperti sistem poin, badge, atau leaderboard — maka hal-hal itu bisa diaplikasikan dalam media/format lain selain aplikasi. Lalu, sebenarnya, apa fungsi dari sistem poin, badge, dan leaderboard?

Pada dasarnya, sistem poin dalam game berfungsi sebagai cara untuk memberikan feedback langsung pada pemain, untuk menunjukkan bahwa setiap aksi akan memiliki konsekuensi. Kenapa ini penting? “Ketika kita bisa melihat dampak dari aksi atau pilihan kita dalam waktu singkat atau bahkan secara instan, kita umumnya lebih serius,” tulis Eko. Misalnya, dalam game, jika Anda berhasil melakukan sesuatu — membalap pemain lain di balapan sebagai contoh — Anda akan langsung mendapatkan poin. Sayangnya, hal ini tidak Anda temukan dalam dunia nyata. Jika Anda belajar dengan rajin, Anda tidak dapat melihat status INT Anda naik. Karena itulah digunakan sistem poin/nilai di dunia pendidikan.

Sementara itu, leaderboard berfungsi untuk mengasah sifat kompetitif manusia. Ketika Anda memiliki pembanding, Anda biasanya akan terdorong untuk menjadi lebih baik. Contohnya, ketika saya SD, saya selalu didorong untuk mendapatkan peringkat pertama di kelas. Namun, hal ini merupakan pisau bermata dua. Bagi sebagian orang, memiliki pesaing akan mendorong mereka untuk menjadi lebih baik. Tapi, bagi sebagian orang lainnya, hal ini justru bisa menjadi pematah semangat.

Dalam tulisannya, Eko juga memberikan contoh bagaimana gamifikasi bisa diterapkan untuk mendorong masyarakat mematuhi protokol kesehatan. Salah satunya adalah dengan memasang stiker pada restoran, pedagang kaki lima, atau angkutan umum bahwa harga naik dua kali lipat bagi orang-orang yang tidak menggunakan masker.

Dalam game, Anda tidak melulu mendapatkan reward ketika sukses melakukan sesuatu. Ketika Anda gagal, Anda juga akan mendapatkan hukuman. Misalnya, gagal menghindari serangan musuh akan membuat HP Anda berkurang. Dengan menaikkan harga untuk orang-orang yang tidak menggunakan masker, maka mereka akan langsung dapat merasakan dampak dari keputusan mereka.

Sebaliknya, masyarakat juga bisa didorong untuk lebih patuh pada protokol kesehatan dengan pemberian hadiah atau reward. Contoh yang Eko berikan adalah pemberian voucher bagi orang-orang yang mau melakukan rapid test mandiri.

Naratif serta random check juga bisa digunakan untuk mendorong masyarakat untuk melakukan karantina mandiri. Pemerintah Kabupaten Sragen pernah melakukan ini pada April 2020 lalu. Mereka menyebarkan naratif bahwa orang-orang yang tidak melakukan karantina mandiri akan diberi hukuman berupa isolasi di rumah yang dianggap angker. Jika pemerintah melakukan random check secara rutin, hal ini akan membuat masyarakat percaya bahwa mereka akan mendapatkan hukuman jika mereka tidak mematuhi protokol kesehatan. Pada akhirnya, masyarakat akan memiliki kesadaran diri yang lebih tinggi untuk disiplin.

 

Penutup

Beberapa tahun lalu, ketika saya masih menjadi jurnalis teknologi, perusahaan vendor smartphone berlomba-lomba untuk menyediakan fitur dua kamera belakang, bahkan pada smartphone kelas entry-level sekalipun. Dan memang, smartphone harga Rp1 jutaan pun bisa punya dua kamera belakang. Hanya saja, performanya tentu tidak sebaik smartphone flagship dengan harga belasan juta.

Saya rasa, gamifikasi juga seperti itu. Perusahaan bisa saja sekadar “menempelkan” fitur-fitur gamifikasi, seperti sistem poin atau leaderboard, pada aplikasinya. Namun, apakah fitur itu hanya menjadi gimmick atau memang punya fungsi tersendiri, hal itu tergantung pada seberapa serius menggarap gamifikasi pada aplikasi atau perusahaan mereka.

Tokopedia Introduces “Digital Printing” Service, Collaborating with Local Vendors

Tokopedia is now entering the digital printing industry by releasing the Tokopedia Print service. Currently, it is still in beta version and accessible via website and application.

In contact with DailySocial, the Tokopedia representative avoids to comment on this. They only said, “Tokopedia Print is indeed Tokopedia’s new line of business.”

“In this case, we will continue to act as a marketplace or a bridge between local businesses in the printing sector with the community. For further information, please wait for our official announcement in the near future,” he said.

The truth is still undisclosed on the printing vendor. In the Terms & Conditions page, it is only explained that partners are printing vendors who work with Tokopedia in providing Tokopedia Print Services.

“Tokopedia Print Services are printing services provided by Partners on the Tokopedia Site / Application, including but not limited for marketing purposes, office equipment, stationery, packaging, photo printing, and/or merchandise printing.”

On its website, Tokopedia Print provides printing services for label stickers, outdoor banners, business cards, banners, flyers, posters, and masks. Everything can be selected according to the consumers’ demand.

The process is quite similar to shopping at Tokopedia. Consumers only need to select the service, for example, printing business cards, then uploading the prepared designs. Next, choose the quantity, paper type, and courier delivery. Payment methods are also available using Ovo.

Tokopedia’s presence has become a game-changer for digital printing players because the process is getting easier, just like shopping online. Meanwhile, there are already several players in this sector, such as PrinterQoe, Printerous, Gogoprint, Tjetak, PrintYuk, and many more.

In terms of potential, a report showed that the market share of printing in Indonesia is estimated to reach $ 14.5 billion in 2019. This is quite a very large potential because the majority of Indonesian people still use conventional printing service.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Tokopedia Rilis Layanan “Digital Printing”, Gaet Vendor Percetakan Lokal

Tokopedia kini ikut meramaikan industri percetakan digital dengan merilis layanan Tokopedia Print. Saat ini masih berbentuk beta dan sudah bisa diakses melalui situs dan aplikasi.

Saat dihubungi DailySocial, perwakilan Tokopedia belum bersedia memberikan komentarnya terkait ini. Mereka hanya mengatakan, “Tokopedia Print memang merupakan lini bisnis baru Tokopedia.”

“Dalam hal ini kami akan tetap berperan sebagai marketplace atau jembatan penghubung antara pegiat usaha lokal di bidang percetakan dengan masyarakat. Untuk info selanjutnya, mohon ditunggu pengumuman resmi kami dalam waktu dekat,” sambungnya.

Tidak diketahui siapa vendor percetakan yang digaet perusahaan. Dalam laman Syarat & Ketentuan, hanya dijelaskan partner adalah vendor percetakan yang bekerja sama dengan Tokopedia dalam menyediakan Jasa Print Tokopedia.

“Jasa Print Tokopedia adalah layanan percetakan yang disediakan oleh Partner pada Situs/Aplikasi Tokopedia, termasuk namun tidak terbatas untuk keperluan pemasaran, peralatan kantor, alat tulis, packaging/kemasan, cetak photo, dan/atau cetak merchandise.”

Di dalam situsnya, Tokopedia Print menyediakan jasa percetakan untuk stiker label, spanduk outdoor, kartu nama, banner, flyer, poster, hingga masker. Semuanya bisa dipilih sesuai ukuran yang diinginkan konsumen.

Proses pemesanannya seperti saat berbelanja di Tokopedia. Konsumen cukup memilih kebutuhannya, misalnya cetak kartu nama, lalu mengunggah desain yang sudah disiapkan. Kemudian, memilih jumlah, jenis kertas, dan kurir pengantaran. Metode pembayaran pun bisa dengan Ovo.

Kehadiran Tokopedia menjadi game changer untuk pemain percetakan digital karena prosesnya semakin mudah, selayaknya seperti berbelanja online. Adapun, pemain di sektor ini sudah ada beberapa, seperti PrinterQoe, Printerous, Gogoprint, Tjetak, PrintYuk, dan masih banyak lagi.

Secara potensi, dalam suatu laporan disebutkan bahwa pangsa pasar percetakan di Indonesia diestimasi tembus $14,5 miliar pada 2019. Potensi ini masih sangat besar karena mayoritas masih menggunakan percetakan konvensional.

Application Information Will Show Up Here

Pandangan Startup Unicorn dan Centaur dalam Mengelola Talenta

Pengusaha Neil Petch pernah mengungkapkan, apabila ingin membangun bisnis, kita juga perlu membangun timnya. Hal ini karena ada perbedaan besar antara menjadi pekerja solo dan pemimpin perusahaan besar.

Di luar gembar-gembor ekspansi bisnis, kita sering lupa bahwa startup di tahap lanjutan menghadapi tantangan yang sama sulitnya dengan startup tahap awal. Salah satu yang sering kita luput adalah bagaimana startup mengelola seluruh karyawan, mendorong kinerja, hingga memastikan bahwa mereka bekerja sesuai kemampuannya.

Hal-hal di atas umumnya dikaitkan pada pengelolaan talenta atau people management. Istilah ini diartikan sebagai sebuah proses melatih, memotivasi, dan mengarahkan karyawan untuk mengoptimalkan produktivitas dan mendorong pertumbuhan kemampuan profesional di lingkungan kerja. Bagi manager dan kepala departemen, pengelolaan SDM dilakukan untuk mengawasi alur kerja dan mendorong kinerja karyawan setiap harinya.

Dalam kasus startup unicorn dan centaurtopik ini menjadi penting karena skala organisasinya terus berkembang seiring dengan pertumbuhan dan ekspansi bisnisnya. Kondisi ini akan berbeda pada startup tahap awal yang jumlah orangnya jauh lebih sedikit dan cenderung masih melakukan pengembangan produk dalam scope kecil.

Dengan kata lain, people management menjadi salah satu concern yang tidak bisa diabaikan. Pada situasi pandemi Covid-19, seluruh pemimpin bisnis dituntut untuk dapat bergerak cepat dalam mengambil keputusan. Bagaimana Tokopedia, Blibli, dan TaniHub, berbagi pengalaman terkait people management, terutama di masa krisis ini?

Kompleksitas pengelolaan talenta 

Setiap startup pasti akan melewati fase pengelolaan talenta akan semakin kompleks seiring dengan meningkatnya skala organisasi. Hal ini turut dialami startup agritech TaniHub. Pengelolaan talenta dan fungsinya yang dijalankan divisi People and Culture semakin kompleks sejak perusahaan berdiri di 2016.

Menurut VP of Corporate Services TaniHub Astri Purnamasari, kompleksitas ini terjadi karena skala organisasinya meningkat. TaniHub mulai merambah bisnis baru lewat TaniFund dan TaniSupply. Otomatis jumlah karyawannya bertambah.

Kompleksitas ini juga dirasakan pada proses perekrutan karyawan, terutama pada jumlah dan kualifikasi talenta yang dibutuhkan. Menurut Astri, kondisi ini menjadi tantangan baru untuk  memastikan 336 TaniSquad (sebutan karyawan TaniHub Group) memiliki visi dan misi yang sejalan.

“Pengenalan dan sosialisasi yang berulang mengenai visi, misi, core values, business strategy, dan Objective and Key Result (OKR) menjadi kunci dalam pengelolaan SDM untuk menuju tujuan akhir yang sama,” jelasnya kepada DailySocial.

Komunikasi jadi faktor penting

Komunikasi merupakan elemen dasar dan utama dalam aktivitas bisnis. Di konteks people management, komunikasi punya andil besar dalam memastikan produktivitas pekerjaan, pengambilan keputusan, maupun peningkatan motivasi kerja.

Hal ini diamini External Communications Senior Lead Tokopedia Ekhel Chandra Wijaya. Komunikasi offline maupun online aktif dipraktikkan di organisasi perusahaan yang saat ini memiliki lebih dari 4.900 Nakama (sebutan karyawan Tokopedia).

Saat pelaksanaan Work From Home (WFH), pihaknya mewajibkan komunikasi berkala dan sesuai jadwal yang ditentukan untuk mendorong produktivitas kerja.

“Pada dasarnya, setiap Nakama telah memiliki Objective and Key Result (OKR) masing-masing. Agar lebih dari 4.900 Nakama bekerja efektif, kami mewajibkan komunikasi virtual antar tim. Perusahaan memfasilitasi platform komunikasi digital sehingga koordinasi lebih aman, dapat mengetahui tantangan, dan memantau perkembangan tim selama WFH,” tuturnya kepada DailySocial.

Sementara itu, EVP of People Operation & General Services of Blibli Sandra Kumalasari menilai, komunikasi virtual dapat membantu para leader di seluruh departemen dan divisi untuk aktif memonitor keadaan setiap anggota tim.

“Di Blibli, upaya ini menunjukkan respon positif di mana leader justru semakin aktif melakukan coaching dan monitoring. Dengan begitu, leader dapat membahas berbagai hal, termasuk perkembangan KPI setiap anggota setiap ada kesempatan,” paparnya.

Jangan lupakan pengembangan kompetensi

Di masa krisis ini, TaniHub dan Blibli berupaya memberikan ruang terhadap pengembangan kompetensi karyawan. Sandra menyebutkan bahwa pengembangan dan pengasahan kemampuan karyawan menjadi salah satu fokus utama sejak awal Blibli berdiri.

“Rangkaian pelatihan yang biasanya dilakukan lewat tatap muka, sekarang dilakukan secara online dengan perangkat teknologi yang ada. Pengembangan kompetensi ini terus berlanjut selama masa WFH berlangsung. Dengan begitu, karyawan bisa lebih siap dan mampu menghadapi perubahan pasca pandemi,” ungkap Sandra.

Sementara TaniHub melihat bahwa me-nurture karyawan menjadi suatu tantangan tersendiri. Pasalnya ada banyak aspek yang harus diperhatikan, seperti aspirasi, minat, hingga rencana pengembangan mereka. Perusahaan fokus ke strategi penyesuaian dan penguatan talenta. Tujuannya untuk membantu pertumbuhan bisnis perusahaan ke depan.

“TaniSquad tidak hanya dituntut untuk bekerja sebaik-baiknya, tetapi tim People and Culture ikut mendorong pengembangan kompetensi TaniSquad. Dengan begitu, setiap karyawan tetap bisa produktif dengan berbagai inisiatif program pengembangan,” tutur Astri.

Tak kalah penting, lanjutnya, memastikan bahwa seluruh TaniSquad memiliki kompetensi utama yang sesuai dengan peran maupun level masing-masing. Perusahaan menilai pentingnya para leader di TaniHub untuk memberikan apresiasi, feedback, maupun reward and punishment.

Beradaptasi selama pandemi

Pengelolaan talent tak hanya bicara soal produktivitas kerja dan peningkatan kemampuan. Perusahaan dinilai perlu memberikan kondisi bekerja yang positif untuk memotivasi karyawan.

Di masa krisis ini, Ekhel mengatakan bahwa Tokopedia mengadakan program Work-Fun-Home secara berkala. Perusahaan menyediakan serangkaian kegiatan bermanfaat untuk membangun pengalaman bekerja dari rumah yang lebih menyenangkan dan produktif.

“Karyawan juga dapat mengakses berbagai konten pembelajaran dan pelatihan virtual demi meningkatkan keterampilan dan keahlian individu,” ucapnya.

Sandra menyebut bahwa pihaknya sejak awal mengutamakan untuk menjaga semangat yang positif ketika bekerja di rumah. Blibli rutin mengimbau karyawan untuk menjaga kesehatan fisik dan mental di manapun beraktivitas.

“Kami mendorong diri untuk berubah, lebih kreatif, lebih fleksibel dalam melihat sesuatu. Kami juga bekerja sama dengan berbagai pihak, termasuk para team leader untuk menjadi agent of change dalam meningkatkan semangat. Pengelolaan SDM menjadi penting untuk beradaptasi dan mempersiapkan diri di situasi new-normal,” jelasnya.

Strategi Meningkatkan Penjualan Produk Fesyen Saat Pandemi

Menurut survei yang dilakukan Nielsen, fokus konsumen di tengah pandemi adalah kebutuhan primer, termasuk makanan, kesehatan, dan kebersihan. Fokus pembelian yang mulai shifting dan membuat konsumsi fesyen menurun menjadi salah satu alasan kenapa Sorabel menutup bisnisnya.

DailySocial mencoba mempelajari lebih lanjut seperti apa tren dan minat masyarakat Indonesia terhadap produk pakaian dan aksesoris di layanan e-commerce, marketplace, dan para pelaku UKM di masa pandemi ini.

Pergeseran fokus pembelian

Koleksi pakaiam mulism "Kami"
Koleksi pakaian muslim brand “Kami”

Salah satu pengusaha yang merasakan perubahan tersebut adalah Co-Founder “Kami” Istafiana Candarini. Didirikan pada tahun 2009 lalu, Kami merupakan produk modest fashion yang diperuntukkan bagi wanita Indonesia. Memiliki sekitar 15 butik yang tersebar beberapa kota di Indonesia, saat pandemi mulai menyebar perusahaan fokus melancarkan strategi baru, memanfaatkan penjualan secara online.

“Penjualan produk Kami sedikit mengalami penurunan di awal pandemi (April 2020 compare to April 2019) turun 6%, namun di bulan Mei penurunan cukup terasa yakni turun sebesar 38% dibandingkan Mei tahun sebelumnya. Hal ini karena adanya aturan PSBB sehingga pengiriman material dan pengerjaan oleh tim produksi mengalami hambatan,” kata Istafiana.

Ia melanjutkan, “Namun demikian kami cukup beruntung karena demand dari pelanggan masih cukup besar jumlahnya. Untuk metode berbelanja memang mengalami perpindahan karena cenderung berbelanja secara online. Seluruh cabang Kami membuka penjualan secara online (via WhatsApp) dan rutin melakukan Live Shopping di akun Instagram untuk memberitahukan stok barang yang tersedia di masing-masing butik.”

Pergeseran konsumsi pelanggan juga terjadi secara online. Kepada DailySocial, Head of Category Development Tokopedia Falah Fakhriyah mengungkapkan, selama pandemi masyarakat lebih banyak mencari  produk fesyen yang lebih sesuai dipakai selama beraktivitas di rumah. Celana pendek, kaos, dan celana dalam misalnya, merupakan beberapa produk fesyen yang paling dicari masyarakat di tengah pandemi.

“Tokopedia terus fokus membantu sebanyak-banyaknya masyarakat Indonesia, khususnya UKM lokal, mendapatkan panggung untuk menciptakan peluang daring dan memastikan masyarakat dapat memenuhi kebutuhan tanpa harus keluar rumah sekaligus mendorong pemulihan ekonomi Indonesia yang terdampak pandemi, melalui kampanye #JagaEkonomiIndonesia,” kata Falah.

Tidak berbeda dengan Tokopedia, Shopee juga melihat adanya perubahan pola perilaku dan gaya hidup masyarakat selama pandemi.

“Kami melihat kategori [fesyen dan gaya hidup] ini secara spesifik punya ruang gerak yang cukup luas untuk dapat disesuaikan di platform kami. Beberapa contoh yang kami lihat salah satunya adalah dengan menjual masker kain sebagai alternatif produk selama pandemi atau menggunakan momentum untuk membantu menaikkan penjualan mereka,” kata juru bicara Shopee Indonesia.

Sementara platform fashion commerce, seperti Zalora, memanfaatkan data yang ada, mencoba meminimalisir penurunan tersebut. Perusahaan melihat adanya penurunan pembelian pakaian sehari-hari dan pakaian kantor, tetapi peningkatan pada pakaian olahraga dan pakaian santai.

“Kami juga telah meluncurkan TRENDER, platform data internal kami sendiri, untuk memberi mitra akses ke data, termasuk pemahaman mendalam tentang wawasan konsumen, segmentasi geografis, perilaku pembelian, kecerdasan desain, bermacam-macam, dan wawasan harga. Di masa-masa sulit seperti ini, kami berharap dapat membantu brand merampingkan proses dalam menavigasi tantangan yang dihadapi dan pada akhirnya, terus tampil lebih kuat dari krisis,” kata Director Corporate Communication Zalora Christopher Daguimol.

Traksi pasca Lebaran

Meskipun di awal pandemi terjadi penurunan penjualan produk fesyen, saat Ramadan dan Lebaran masing-masing platform mengklaim adanya peningkatan pembelian.

“Sejak bulan Ramadan tahun ini hingga saat ini, kami memang mencatat adanya kenaikan penjualan di beberapa segmen produk kami, termasuk juga di segmen fashion pria, wanita dan anak yang naik cukup signifikan,” kata VP Merchant Operations Bukalapak Kurnia Rosyada.

Sementara di Tokopedia, brand muslim lokal Nadjani merupakan salah satu penjual di Tokopedia yang memutuskan merombak koleksi pakaian Ramadan yang kurang laku akibat PSBB menjadi celemek dan mukena agar lebih relevan dengan masyarakat yang lebih banyak beraktivitas di rumah.

“Pada Kampanye Big Ramadhan Sale yang lalu di Shopee, pakaian muslim menjadi salah satu kategori yang mengalami sebanyak 4 kali pada puncak kampanye dibandingkan hari biasa,” kata juru bicara Shopee Indonesia.

Sementara bagi brand lokal seperti Kami, pada bulan Ramadan tahun ini terpaksa harus melakukan modifikasi peluncuran koleksi pakaian. Awalnya perusahaan menargetkan meluncurkan 3-4 koleksi Lebaran, namun tahun ini hanya mengeluarkan 1 koleksi di awal Ramadan dan 1 koleksi Hari Raya.

“Pada bulan Juni penjualan Kami turun 19% dibandingkan Juni 2019, namun hingga saat ini alhamdulillah penjualan Kami sudah berangsur naik,” kata Istafiana.

Strategi bisnis selama pandemi

Untuk tetap bertahan dan meningkatkan penjualan saat pandemi berlangsung, beberapa strategi dilancarkan layanan e-commerce, termasuk kampanye online, pemberian diskon, dan promo gratis ongkos kirim untuk pelanggan.

Pembinaan relasi dengan pelanggan juga menjadi Tokopedia, Bukalapak, dan Shopee. Secara rutin mereka berupaya untuk engage dengan para pengguna yang mencari kebutuhan fashion.

Brand yang memiliki gerai offline, seperti Kami, memiliki strategi yang tidak jauh berbeda.

“Dalam meningkatkan dan mempertahankan penjualan di platform online Kami memaksimalkan fitur dan asset yang ada di official website serta memberikan kemudahan berbelanja kepada customer secara lebih luas. Kami membuat dan menjalankan program marketing yang memberikan beragam tambahan value kepada pelanggan,” kata Istafiana.

Sementara Zalora, yang memiliki tiga ribu brand di dalam platform-nya, mencoba melakukan diversifikasi dengan meluncurkan produk kesehatan dan kecantikan.

“Karena permintaan untuk produk kesehatan dan esensial meningkat selama ini, kami melihat respons positif terhadap penawaran kategori baru kami. Selain itu, karena banyaknya penutupan brick and mortar store dan keraguan kebanyakan orang untuk keluar, kami telah melihat peningkatan pelanggan baru yang berbelanja di Zalora,” kata Christopher.