Aplikasi Kemanayo Mudahkan Wisatawan Mendapat Rencana Perjalanan yang Lebih Personal

Setelah sebelumnya industri pariwisata sempat terpuruk di awal pandemi, kini secara perlahan berbagai layanan yang menyasar sektor pariwisata kembali pulih. Meskipun masih harus mengikuti sejumlah protokol kesehatan yang ketat, namun tahun 2021 diprediksi sektor pariwisata, terutama untuk destinasi domestik, akan kembali normal. Salah satu platform yang kemudian mencoba untuk menggarap sektor tersebut adalah “Kemanayo”.

Kepada DailySocial, CEO Kemanayo Rizal Azhar menyebutkan, melalui aplikasi ini traveler dapat menemukan itinerary atau rencana perjalanan yang sesuai dengan ketertarikan mereka masing-masing. Kemanayo ingin memudahkan traveler dalam berlibur dan membantu mereka menghemat waktu pencarian destinasi wisata. Sehingga membuat perjalanan dan kunjungan yang dilakukan menjadi lebih berkualitas.

“Agar industri pariwisata bisa kembali pulih dan semakin berkembang pasca-pandemi, bisnis perlu memperhatikan perubahan sikap dan preferensi masyarakat. Dan kami melihat bahwa perkembangan pariwisata di masa depan setelah pandemi lebih bersifat personal. Mereka membutuhkan suatu pilihan yang sesuai dengan kepribadian, kebutuhan, maupun hobi masing-masing,” kata Rizal.

Kemanayo berperan sebagai penghubung dan akselerator untuk menyinergikan kontribusi dari berbagai stakeholders di industri pariwisata, menjembatani antara informasi, data, dan permintaan pasar; melalui travel contributors yang dapat menjadi sumber informasi bagi destinasi yang belum terekspos di tingkat daerah.

Untuk setiap paket itinerary yang telah disusun dan berhasil terjual, travel contributor akan mendapatkan penghasilan dengan pembagian hasil hingga sebesar 50%. Kemanayo juga berkolaborasi dengan stakeholders seperti travel agent, F&B, transportasi dan akomodasi, MICE, maupun pemerintah daerah untuk menciptakan berbagai kegiatan pariwisata yang unik serta membantu peningkatan promosi.

“Sebagai marketplace travel itinerary, Kemanayo memungkinkan siapa saja mulai dari pemandu wisata, komunitas, travel blogger, dan jurnalis serta masyarakat luas pada umumnya dapat membuat, menjual dan mendapatkan atau membeli berbagai pilihan itinerary di Kemanayo,” kata Rizal.

Dukung industri pariwisata

Sejak pertama kali diluncurkan awal tahun ini, Kemanayo mengklaim telah mengalami peningkatan pengguna secara signifikan. Perusahaan juga bekerja sama dengan banyak traveler dan travel enthusiast yang turut menjadi kontributor untuk menciptakan beragam pilihan itinerary di dalam platform Kemanayo.

Kemanayo mengklaim memiliki perbedaan dengan platform serupa lainnya. Mulai dari informasi yang lengkap untuk pengguna hanya dalam satu platform. Sehingga pengguna dapat menghemat waktu pencarian destinasi wisata dan tidak perlu mengeluarkan banyak uang atau membiarkan uangnya terbuang percuma untuk mencari rekomendasi yang tepat.

Memanfaatkan platform Kemanayo, pengguna juga bisa mengelola sendiri waktu berliburnya, menjadi travel contributor, dan tentunya membantu pariwisata lokal untuk berkembang. Saat ini Kemanayo telah memiliki itinerary dari bermacam-macam daerah seperti Jakarta, Bandung, Malang, Surabaya, Solo, Yogjakarta, hingga Bali.

Tahun ini ada sejumlah target yang ingin dicapai oleh Kemanayo. Di antaranya adalah dapat menyediakan berbagai pilihan travel itinerary dari seluruh wilayah di Indonesia, meningkatkan kualitas dan layanan, termasuk peningkatan jumlah tim internal, serta penggalangan dana.

“Kami percaya bahwa peran masyarakat sebagai travel contributor juga akan membuka peluang bagi destinasi dan usaha lokal agar dapat lebih dikenal oleh masyarakat luas. Dalam jangka panjang, hal ini dapat memberikan pengaruh sosial dan pertumbuhan ekonomi pada setiap daerah kunjungan wisata,” tutup Rizal.

Beberapa startup menggarap sektor pariwisata, yang dinilai memiliki nilai ekonomi besar di Indonesia. Mereka hadir dengan beragam bentuk, misalnya Gomodo berikan layanan SaaS untuk mudahkan pengelola wisata digitalkan layanan pemesanan. Ada juga Pigijo yang hadir sebagai aplikasi perencana perjalanan. Selama pandemi beberapa platform juga hadirkan layanan tur virtual, seperti Travalal dan Anturin.

Application Information Will Show Up Here

Laporan DSResearch: Tren Inovasi dan Transformasi Digital di Korporasi 2020

Korporasi selalu dihadapkan dengan tantangan bisnis yang dinamis yang disebabkan oleh banyak faktor. Mulai dari kebiasaan konsumen yang berubah, relevansi produk/layanan, hingga disrupsi teknologi dari pemain baru. Kondisi tersebut membuat perusahaan harus gesit menyusun langkah-langkah transformatif kaitannya dengan strategi, model bisnis, tatanan organisasi, hingga digitalisasi.

Kondisi tersebut tentu juga dialami para korporasi di Indonesia. Untuk melihat bagaimana para perusahaan di Indonesia mengagendakan transformasi, DSResearch menyusun laporan bertajuk Laporan Transformasi Digital Korporasi 2020. Di dalamnya peneliti melakukan wawancara lebih dari 20 narasumber dari perusahaan berskala besar, baik di posisi C-Level maupun Mid-Level.

Adapun perusahaan yang disurvei dipilih lima sektor berbeda meliputi perbankan, keuangan non-perbankan, telekomunikasi, transportasi dan pariwisata, serta FMCG. Beberapa perusahaan tersebut termasuk BCA, Bank Mandiri, Zurich Insurance, Telkom, XL Axiata, Blue Bird, Garuda Indonesia, HM Sampoerna dll.

Selain membahas mengenai tren transformasi bisnis terkini, laporan ini banyak menampilkan studi kasus proses transformasi dari perusahaan-perusahaan yang menjadi narasumber. Peneliti menggunakan tiga komponen identifikasi untuk menemukan pola-pola transformasi yang dilakukan, meliputi komitmen pemangku kebijakan, perjalanan inovasi, dan produk inovasi; dibungkus dengan kerangka kerja yang relevan untuk pengukuran.

Berikut ini beberapa poin menarik yang dirangkum dalam laporan:

  • Di tingkat korporasi, penempatan transformasi bisnis difokuskan untuk dua hal, yakni peningkatan pangsa pasar atau pelayanan konsumen; dan pengembangan produk atau aset bisnis. Dimulai dari meningkatkan sumber daya yang sudah dimiliki, dilanjutkan dengan eksplorasi dan membuka peluang-peluang baru.
  • Covid-19 memberikan pukulan untuk beberapa jenis bisnis, utamanya di sektor transportasi dan pariwisata. Namun beberapa celah masih bisa dioptimalkan dengan baik, misalnya untuk bisnis logistik. Sementara untuk sektor lain seperti perbankan, pandemi menjadi momentum untuk adaptif dengan implementasi teknologi.
  • Di sektor perbankan, beberapa tahun terakhir kegiatan transformasi mengarah pada realisasi “open banking platform”. Pendekatan digital juga terus dimaksimalkan untuk meningkatkan pengalaman pengguna yang lebih baik. Kolaborasi dengan fintech juga makin dioptimalkan – misalnya dengan membuka layanan API untuk diintegrasikan oleh para pengembang aplikasi.
  • Perusahaan telekomunikasi di Indonesia tidak lagi hanya terpaku pada bisnis utama mereka, tapi juga mulai banyak mengeksplorasi peluang lain khususnya terkait layanan OTT. Namun tidak sedikit yang gagal. Pendekatan kolaboratif akhirnya dipilih dengan membentuk CVC, lab inovasi, atau program akselerasi.
  • Perusahaan FMCG sudah merasakan adanya disrupsi, namun kebanyakan belum memiliki komitmen yang serius untuk melakukan transformasi digital. Ditandai dengan tidak adanya roadmap digital atau sumber daya khusus yang disiapkan untuk mengarah ke sana. Mereka merasa masih cukup mengandalkan kanal-kanal distribusi yang sifatnya “terbuka”, seperti dengan menghadirkan lapak di platform online marketplace.

Selain itu, dalam laporan turut dirangkum tentang kultur organisasi, perjalanan inovasi, hingga inovasi teknologi dari tiap perusahaan yang menjadi narasumber, dilengkapi dengan contoh-contoh yang relevan. Selengkapnya, unduh laporan: Laporan Transformasi Digital Korporasi 2020 (versi Bahasa Indonesia) dan Corporate Digital Transformation Report 2020 (English version).


Disclosure: Dalam penyusunan white paper ini, DSResearch bekerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia (Kemkominfo)

Beberapa Startup Inisiasi Produk Tur Virtual, Coba Gairahkan Kembali Bisnis Pariwisata

Hari ini (20/5) marketplace digital agen umrah dan tur religi Travalal meluncurkan layanan baru. Disebut dengan “Virtual Reality Tourism“, merupakan program tur yang dikemas secara online, memanfaatkan teknologi video 360° dan live tour menggunakan aplikasi video conference. Ada berbagai destinasi wisata yang ditawarkan, baik lokal maupun luar negeri, termasuk mencantumkan wisata religi umrah virtual .

Founder & CEO Travalal Joyo Diharjo mengungkapkan, inisiatif ini dikembangkan sebagai langkah bertahan perusahaan di tengah pandemi. Seperti diketahui, terpaan Covid-19 berdampak cukup signifikan bagi industri perjalanan dan pariwisata di seluruh dunia.

“Kami berharap dengan virtual tourism ini, para pelaku industri pariwisata dapat memiliki potensi pekerjaan dan penghasilan baru sebagai penyelenggara wisata virtual. Kami tidak ingin berdiam diri tanpa solusi. Kami siap memberikan pelatihan bagi mereka. Nantinya, setelah terlatih, Travalal akan ikut membantu memasarkan jasa mereka,” imbuh Joyo.

Antourin juga tawarkan layanan serupa di tengah pembatasan sosial-fisik yang diberlakukan di banyak wilayah. Platform yang menawarkan perencanaan perjalanan liburan tersebut suguhkan berbagai paket tur virtual berbagai objek wisata di Indonesia dengan tarif yang relatif terjangkau.

Layaknya wisata betulan, tur virtual juga dilengkapi dengan pemadu wisata yang siap menerangkan dan menjawab pertanyaan soal objek-objek yang dikunjungi. Aplikasi konferensi seperti Zoom, Google Maps, dan Street View digunakan dalam pelaksanaannya.

Pemain global seperti Airbnb, TripAdvisor dan beberapa lainnya juga usung inisiatif serupa. Untuk Airbnb, melalui Online Experience-nya, tidak hanya program mengunjungi tempat wisata saja, namun menyajikan kegiatan bersama, misalnya memasak makanan khas Bali, yang dapat diikuti secara virtual.

Laman Online Experiences milik Airbnb
Laman Online Experiences milik Airbnb

Sejauh ini belum ada data komprehensif yang berhasil memvalidasi efektivitas dari kegiatan tur virtual, khususnya untuk pangsa pasar di Indonesia. Terlebih untuk menjawab “apakah mereka mau membayar untuk melakukan tur virtual?” Kendati secara konsep dasar sebenarnya mirip dengan konversi kegiatan belajar di kelas dengan kegiatan belajar virtual — yang mulai tervalidasi penerimaannya di kalangan pengguna. Bisnis yang terdampak pandemi memang tengah dipaksa untuk berinovasi menghadirkan “the new normal”-nya.

Ada yang tidak berhasil bertahan

Terjegal pandemi, bulan ini Airy memilih untuk menutup operasionalnya. Sejak awal tahun, saat pandemi Covid-19 mulai menghantui kawasan Asia Tenggara, terjadi penurunan yang cukup tajam untuk pengguna layanan Airy. Diperburuk dengan insiatif lockdown dan physical distancing di hampir semua negara yang menjadikan kegiatan bepergian (ke luar kota atau luar negeri) nyaris tidak dilakukan oleh orang-orang.

Mengamati kondisi yang terjadi saat ini, kepada DailySocial ekonom dari Center of Reform on Economics (CORE) Yusuf Rendy Manilet yakin pelaku OTA di Indonesia pasti terpukul akibat Covid-19. Akan tetapi Yusuf melihat mereka bukan tanpa harapan dalam situasi genting seperti sekarang.

“Menurut saya mereka bisa memanfaatkan potensi wisatawan domestik tapi yang sifatnya lebih lokal, seperti wisata kuliner,” ucap Yusuf.

Upaya Mendigitalkan UKM di Bidang Jasa dan Pariwisata ala Gomodo

Sektor jasa dan pariwisata adalah salah satu yang paling terpukul selama wabah Covid-19 berlangsung. Ketika banyak bisnis pariwisata berhadapan dengan paceklik tersebut, setidaknya ada satu startup anyar bernama Gomodo yang menghimpun tenaga sebagai platform teknologi di sektor jasa dan pariwisata.

Gomodo adalah satu dari 15 startup yang terpilih mengikuti final pitch program akselerasi GK-Plug and Play angkatan keenam. Gomodo merupakan platform software-as-a-service (SaaS) yang memungkinkan UKM di sektor jasa dan pariwisata memiliki situs web untuk menerima pesanan online, pembayaran nontunai, hingga solusi distribusi.

Menjamah yang belum tergapai

Founder & CEO Gomodo Lius Widjaja menjelaskan kepada DailySocial, ide startup ini bermula dari keresahannya yang berkecimpung di industri pariwisata. Selama berkarier di industri ini, Lius menilai biro perjalanan kerap kesulitan memperoleh inventaris produk atau paket wisata dalam bentuk digital.

Perkara itu tak lain karena kebanyakan operator penyedia jasa wisata dan supplier belum memanfaatkan layanan digital. Maklum, kata Lius, platform digital yang dipakai di sektor jasa dan pariwisata ini terbilang rumit dan sulit yang mana lebih ditujukan kepada entitas perusahaan besar alih-alih UKM.

“Sebenarnya ada banyak pengalaman unik yang dapat dinikmati wisatawan di Indonesia, contohnya jungle trekking, wisata observasi Orang Utan, exotic bird watching, bahkan sampai wisata berburu babi hutan? Tetapi pengalaman-pengalaman tersebut hampir tidak tersedia di katalog Online Travel Agent sekelas unicorn sekalipun,” tutur Lius.

Permasalahan ini berlanjut ketika pusat-pusat pariwisata Indonesia masih belum banyak memiliki perangkat yang mendukung pembayaran nontunai. Survei internal Gomodo menyebut 95% UKM di sektor pariwisata yang tak menerima pembayaran via kartu kredit.

Segmentasi dan monetisasi

Seperti diutarakan sebelumnya, Gomodo berfokus pada UKM yang bergerak di bidang jasa dan pariwisata. Operator tur, pemandu wisata, biro perjalanan, perusahaan rental kendaraan, penginapan, hingga konsultan pajak, dan penyedia jasa akuntan pun termasuk.

Fokus terhadap UKM ini yang membedakan Gomodo dengan penyedia sistem distribusi global (GDS) seperti Galileo atau Sabre yang produknya umum digunakan para pelaku industri jasa pariwisata. Jika Gomodo membidik jenis aktivitas wisata dan inventaris paket wisata, Galileo dan Sabre menyasar pasar enterprise yang umumnya adalah inventaris maskapai penerbangan, hotel, tiket taman hiburan, hingga transportasi.

“Dengan lain kata, dalam konteks distribusi, Gomodo dan GDS lainnya berfungsi serupa, hanya kami lebih fokus kepada digitalisasi dan pengumpulan inventaris paket dan aktivitas wisata UKM yang tidak dimiliki banyak pihak GDS dan agent,” imbuh Lius.

Gomodo memang tak memungut biaya bagi para UKM untuk menggunakan platform mereka. Sebagai gantinya, Gomodo memberlakukan sistem bagi untung. Artinya, setiap ada transaksi yang sukses di platformnya, Gomodo akan mendapat bayaran dari mitra mereka tersebut. Lius tak membuka berapa besaran fee yang mereka peroleh dari setiap transaksi.

Target setelah pandemi

Gomodo meluncur ke publik pada Februari 2019. Sejak itu mereka telah mengantongi 1000 klien UKM di seluruh Indonesia. Gomodo juga telah ditunjuk oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan  sebagai mitra kerja program Perhutanan Sosial 4.0. Program ini memungkinkan mereka mendapatkan akses ke ribuan penyedia ekowisata kelas UKM se-Indonesia untuk diberdayakan secara digital.

Saat ini sejatinya Gomodo sudah menggandeng Koinworks untuk menyediakan fitur dana pinjaman kepada UKM yang membutuhkan. Namun fitur ini baru akan diluncurkan secara utuh setelah pandemi berakhir. Berbarengan dengan itu, Lius juga memperkirakan juga meluncurkan fitur investasi di mana para investor atau pemberi pinjaman leluasa menanamkan modalnya ke berbagai usaha di daerah-daerah tujuan wisata.

Terkait status pendanaan, Gomodo telah mengamankan dua babak pendanaan yakni angel round pada akhir 2018 dan pre-seed di akhir tahun lalu. Pada putaran pre-seed tercatat nama-nama investor yang berpartisipasi mulai dari Amand Ventures, Brama One Ventures, dan Plug and Play Indonesia.

Sementara ini Gomodo hanya aktif di Indonesia. Namun Lius tak menutup kemungkinan dalam dua tahun ke depan pihaknya akan ekspansi ke luar negeri seperti Vietnam yang dianggap memiliki karakter serupa Indonesia.

Lius membenarkan bahwa bisnis pariwisata sedang terpuruk. Namun ia optimis ini adalah momen yang tepat untuk mendorong solusi online booking dan pembayaran nontunai mereka ke pelaku bisnis jasa dan pariwisata. Menurutnya hal itu diperlukan untuk bersiap menyambut rebound sektor ini ketika pandemi berakhir.

“Dengan menggunakan platform Gomodo, sebuah UKM di sektor jasa dan wisata dapat Go Digital secepat 10-15 menit, dan set-up atau pengaturan semudah mengisi formulir atau survei,” pungkas Lius.

Saat ini layanan Gomodo masih hanya bisa diakses melalui situs web. Lius memastikan layanan mereka baru bisa diakses di Android dan iOS pada kuartal tiga nanti.

Setelah GrabBajay dan GrabBentor, Kini GrabAndong Diluncurkan di Kawasan Malioboro

Grab, Kementerian Pariwisata dan Dinas Perhubungan Kota Yogyakarta hari Sabtu (24/8) lalu meluncurkan layanan GrabAndong. Inovasi tersebut memungkinkan pengguna aplikasi Grab untuk memesan/menyewa moda transportasi ikonik andong atau dokar untuk menunjang kebutuhan wisata, khususnya di seputar Malioboro.

Untuk menggunakan layanan ini, pengguna Grab dapat mengakses dari menu Explore Car/Mobil, lalu pilih opsi Rent di bagian kanan atas. Di sana akan ada pilihan “Rent Andong”, selanjutnya bisa melakukan pembayaran melalui Ovo atau tunai. Tarif per jam yakni Rp150.000, dengan setiap kelebihan waktu dikenakan biaya Rp1.250 per menit.

Tidak hanya ini, Grab sebelumnya juga sudah meluncurkan GrabBajay di Jakarta serta GrabBentor di Medan dan Gorontalo. Tujuannya sama, yakni meningkatkan aksesibilitas transportasi ikonik di kawasan wisata.

Dalam peluncuran GrabAndong, dihadiri langsung Menteri Pariwisata Arief Yahya, Sri Sultan Hamengkubuwono X, dan Managing Director Grab Indonesia Neneng Goenadi. Menurut data yang dipaparkan, pada tahun 2017 jumlah turis Yogyakarta melebihi 435 ribu orang, 50% di antaranya mengunjungi kawasan Malioboro.

Dukungan perawatan kuda andong

Neneng menyampaikan, Melalui fitur GrabAndong, Grab berusaha untuk meningkatkan penghasilan dari mitra melalui peningkatan produktivitas mereka. Saat ini, ada 500 andong yang tersebar di Malioboro. Namun, untuk fase GrabAndong pertama, hanya 26 andong yang terdaftar untuk proyek awal.

Sebagian pendapatan dari GrabAndong nantinya akan dialokasikan untuk perawatan kesehatan kuda. Secara khusus Grab menjalin kerja sama dengan Fakultas Kedokteran Hewan UGM untuk hal ini. Dengan demikian, mereka memastikan bahwa kuda-kuda yang digunakan mitra senantiasa dalam kondisi sehat saat dioperasikan.

Dalam sambutannya, Ketua Paguyuban Andong DIY Purwanto mengatakan, “Terkait perawatan kuda, setiap harinya kuda kami selalu diawasi secara intensif, mulai dari perawatan seperti membersihkan kuda, merawat sepatu kuda, bahkan memandikannya. Setiap hari, andong kami jalan maksimal 6-7 jam. Itu pun ketika mereka berhenti, kami selalu memberi air minum.”

Application Information Will Show Up Here

Karikatour as Middleman App for Tourists and Professional Guides

Another tour and travel startup has arrived. It is Karikatour, created in order to facilitate tourists with the best guides.

Karikatour was founded since late 2018 by five Politeknik Bandung alumni. The CEO, Ryan Nurrochman told us, the idea comes up when they got lost in Sukabumi. Back home, he and his friends create a small research and the result is that no application related to tour and travel allows the users to get professional guides.

“We’ve done research and found no application such Gojek that in this case, looking for guides and destinations. The other app just offers recommendation without interaction,” he said.

Few times he mentioned that the app works similar to Gojek system. If what Gojek does is connecting drivers with passengers, Karikatour makes it happened between tourists and professional guides, also, they can provide transportation and photography service for its users.

However, the guides are limited. Ryan said there are only 5-10 professional guides providing services around Bandung. He finds the number is too small that he decided to add up by the end of this year.

Having a similar business model with Gojek, Karikatour applied the same profit-sharing system to gain revenue. They’ll take 10% of the transactions on the platform.

“This year’s target is to have full coverage in West Java, not only Bandung, and acquire up to 100 guides for the next year we can reach out to Yogyakarta and Malang,” he added.

To date, Karikatour still running bootstrap. They’re looking for funding somehow, by making it into incubator and accelerator program.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Karikatour, Aplikasi Penjodoh Wisatawan dengan Pemandu Profesional

Satu lagi startup perjalanan dan wisata muncul. Kali ini adalah Karikatour yang didirikan dengan fokus mempermudah wisatawan mendapatkan pemandu terbaik.

Karikatour didirikan sejak akhir 2018 oleh lima orang alumni Politeknik Bandung. CEO Karikatour Ryan Nurrochman bercerita, ide startup ini muncul setelah mereka tersasar saat berwisata di Sukabumi. Sepulang dari sana, mereka melakukan riset kecil dan menyimpulkan bahwa tak ada satu pun aplikasi di bidang pariwisata yang memungkinkan penggunanya mendapatkan jasa pemandu wisata profesional.

“Kita sudah riset belum ada aplikasi seperti Gojek yang dalam hal ini mencari guide dan destinasi. Kalau aplikasi lain cuma rekomendasi saja tapi tidak ada interaksi,” ujar Ryan.

Ryan berkali-kali menyebut sistem kerja aplikasinya serupa dengan Gojek. Jika Gojek mempertemukan pengemudi dengan penumpang, Karikatour menghubungkan pelancong dengan pemandu wisata profesional yang tak hanya memandu selama perjalanan, tapi juga menyediakan moda transportasi serta fotografi bagi pelanggannya.

Kendati demikian, jasa pemandu yang disediakan Karikatour masih terbatas. Ryan menyebut saat ini hanya ada 5-10 pemandu profesional dengan cakupan destinasi wisata di seputar Bandung. Ryan menyadari jumlah dan cakupan itu terlampau kecil sehingga menargetkan angka itu lebih besar di akhir tahun ini.

Mengikuti model bisnis Gojek, Karikatour juga menerapkan sistem bagi hasil untuk memperoleh cuan dalam bisnis ini. Mereka mengambil 10 persen dari nilai transaksi yang terjadi di platform mereka.

“Tahun ini target destinasi wisata di Jawa Barat full tidak hanya di Bandung, jumlah guide sampai 100 orang sehingga tahun depan bisa sampai Yogyakarta dan Malang,” imbuh Ryan.

Hingga saat ini, status pendanaan Karikatour masih bootstrap. Mereka masih berupaya mencari pendanaan dengan sejumlah cara, salah satunya seperti mengikuti program inkubator dan akselerator.

Application Information Will Show Up Here

Aplikasi Direktori Halal Local Siap Sambangi Australia Tahun Depan

Halal Local, aplikasi direktori halal asal Bandung, siap menyambangi pasar Australia dan Asia Pasifik tahun depan melalui kerja sama B2B dengan mitra di negara tujuan. Lewat perluasan tersebut, Halal Local akan menyediakan direktori halal di negara tujuan, baik berupa masjid maupun restoran untuk para pelancong.

CEO Halal Local M Senoyodha Brennaf menuturkan, dalam skema B2B ini perusahaan akan menyediakan API yang bisa diintegrasikan dengan platform milik mitra, sehingga para penggunanya bisa terhubung dengan database dari Halal Local saat ingin mencari destinasi halal.

“Halal Local akan ada di balik layar, bantu menyediakan konten untuk mitra, sehingga nanti turis bisa lebih mudah menentukan keputusan saat ingin mendapatkan itinerary halal yang bagus,” ujar Senoyodha, saat ditemui di Startcon 2018 bersama Kedutaan Besar Australia Jakarta dalam rangka Digital Indonesia Media Visit di Sydney, pekan lalu (1/12).

Untuk mendukung rencana ekspansi tersebut, Halal Local tengah menjajaki kerja sama strategis dengan pemain direktori halal dari New Zealand yang sudah 10 tahun menggeluti sektor yang sama. Diharapkan nantinya menghasilkan jaringan dan basis data yang kuat. Yodha memperkirakan proses ini bakal rampung pada Mei 2019 mendatang.

Halal Local sudah mendapat pendanaan eksternal sebanyak tiga kali dari angel investor, Bekraf, dan Kemenristekdikti. Bila ditotal jumlahnya sekitar 950 juta Rupiah.

Perusahaan masuk ke dalam enam besar untuk kompetisi pitching global Startcon 2018 untuk memperebutkan hadiah investasi sebanyak AUD 1 juta (sekitar 10 miliar Rupiah). Namun sayangnya Halal Local harus mengakui keunggulan dari startup Australia yakni Daitum yang bergerak di bidang kecerdasan buatan.

Himpun basis data dari berbagai pihak

Logo Halal Local / Halal Local
Situs website dan aplikasi Halal Local / Halal Local

Konsep B2B ini dilakukan oleh Halal Local setiap kali ingin melakukan ekspansi ke luar negeri. Jepang menjadi negara pertama yang disambangi Halal Local.

Perusahaan menerapkan konsep bisnis kepada para mitranya yang bergerak di berbagai industri seperti agen travel, maskapai penerbangan, perhotelan, dan lainnya.

Selain Jepang, Halal Local juga sudah hadir di Singapura, Malaysia, dan beberapa negara di kawasan Asia dan Eropa lainnya.

Yodha, panggilan akrab dari Senoyodha, menuturkan konsep B2B lebih mudah untuk diterapkan dan memiliki pasar yang jelas, ketimbang harus memakai strategi B2C. Pasalnya, B2C berarti mendorong Halal Local untuk membuat transaksi di dalam aplikasi. Di sisi lain, pasar di segmen ini belum siap untuk menerima itu karena butuh unsur keamanan dan banyak konsumen yang masih ragu.

Next 2019 kita mau ke Australia dan 2020 mau ke Tokyo Olympic Games 2020.”

Dalam menyediakan basis data direktori halal, Yodha menjelaskan perusahaan melakukan pendataan dengan berbagai metode. Di antaranya ada yang didapat dari lembaga sejenis MUI (Majelis Ulama Indonesia), lembaga dewan masjid, dan komunitas. Selain itu data juga didapat dari pihak ketiga seperti pemain di sektor yang sama. Pengguna Halal Local dapat turut berpartisipasi memberikan masukan.

Halal Local telah merangkum lebih dari 50 ribu restoran halal dan 150 ribu masjid yang tersebar di 110 negara di seluruh dunia. Secara penetrasi, pengguna Halal Local terbanyak berada di Timur Tengah dan Uni Emirat Arab (26%), Indonesia (25%), Amerika Serikat dan Kanada (12,5%), Eropa (7,6%), Inggris (5%), Jepang dan Korea Selatan (1,3%), Australia (1,1%), dan negara lainnya (21,5%).

Pengembangan fitur

CTO Halal Local Nurma Larasati menambahkan, saat ini perusahaan sedang mengembangkan fitur stiker bertanda “certified halal” sebagai tambahan layanan untuk para mitra restoran yang sudah listing di Halal Local. Stiker ini dibuat berbeda-beda sesuai dengan tingkat halal yang diterapkan setiap manajemen restoran, ada yang semi-halal atau full-halal.

Yodha menjelaskan selain menandakan halal, stiker juga dilengkapi dengan kode QR yang dapat dipindai oleh pengguna saat ingin mencari tahu lebih lanjut informasi tentang restoran tersebut di situs Halal Local. Fitur ini sudah digulirkan sejak November 2018, di Bandung sekitar 2-3 restoran sudah memanfaatkannya, menyusul Jepang ada sekitar 4-5 restoran.

“Kan listing restoran di kita itu free, model bisnis kita itu freemium. Jadi setelah listing, kami tawari mereka lagi mau tidak pasang iklan. Nah salah satunya itu adalah stiker QR yang ditempelkan di depan toko mereka.”

Fitur stiker ini menurut Yodha akan lebih difokuskan ke bagian daerah yang memiliki popularitas Muslim yang minim, seperti Bali dan luar negeri, agar fungsinya lebih efektif.

Aplikasi Halal Local sudah diunduh 6 ribu kali sejak pertama kali hadir di April 2018.

Application Information Will Show Up Here

ArtProcessors Digitalkan Museum di Australia dengan Teknologi VR dan AR

Museum seringkali dianggap sebagai tempat wisata kuno yang tidak menarik untuk dikunjungi, apalagi buat anak muda. Kondisi ini tak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga di Australia. ArtProcessors sebagai salah satu startup yang peduli dengan isu tersebut membangun teknologi untuk mendukung museum.

DailySocial beserta rekan media lainnya yang diundang Kedutaan Besar Australia untuk mengikuti Digital Indonesia Media Visit, bertemu langsung dengan CEO ArtProcesssor Mike Nihill dan Co-Founder & Delivery Director Nic Whyte di kantornya, Selasa (27/11).

Nihill bercerita, ArtProcessors fokus pada perpaduan antara teknologi, media digital, dan desain spasial yang menggugah pengunjung dengan memberikan pengalaman baru saat berkunjung ke museum. Pengunjung betah berlama-lama di museum, sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan jumlah kunjungan.

Sejak pertama kali berdiri di 2011, perusahaan kini memiliki 27 orang karyawan dari awalnya 8 orang saja. Beberapa orang di antaranya berlokasi di Amerika Serikat.

“Kami mulai tumbuh pesat sejak awal tahun ini, dari awalnya hanya tim kecil jadi lebih komersil karena ada tim baru di Amerika Serikat. Mengembangkan teknologi hybrid untuk museum demi meningkatkan engagement dengan para pengunjung,” terangnya.

Inovasi ArtProcessors

Dia pun mencontohkan aplikasi The O yang dibuat khusus untuk Museum Old and New Art (MONA), Australia. Sebelumnya, MONA bernama Moorilla Museum of Antiquities. Pengelola ingin merenovasi museum sejak 2006, namun tidak sukses meningkatkan angka pengunjung.

Niatan tersebut baru terlaksana lima tahun kemudian, bersama ArtProcessors melahirkan aplikasi The O. Aplikasi ini bisa diunduh sendiri di perangkat masing-masing atau cukup menggunakan perangkat yang disediakan pihak museum sebelum mengelilinginya.

Di dalam aplikasi, ArtProcessors sudah menanamkan data digital untuk menggantikan teks di dinding yang biasa menjadi keterangan di dekat objek seni. Begitu pengunjung mendekati objek, cukup menekan tap The O dan seketika informasi mengenai objek tersebut akan muncul dengan tampilan yang intuitif dan informatif.

Tidak hanya itu, pengunjung bisa melakukan pemesanan antrean secara virtual saat ingin mendatangi suatu objek seni tertentu yang laku dikunjungi. Nanti aplikasi akan memberi notifikasi ketika nomor antrean sudah mendekati.

“Kami menginginkan jumlah antrean paling lama sekitar 5-6 menit saja, dengan demikian waktu kunjungan bisa lebih efektif,” tambah Nic Whyte.

Hasil yang didapat pasca merilis aplikasi ini, sambung Whyte, MONA mengalami peningkatan kunjungan hingga 81%. Ditambah lagi pemugaran museum makin membuat MONA terkesan semakin modern, ramah untuk pengunjung dari segala rentang usia.

“Semua orang yang masuk ke dalam museum harus dapat info sebanyak-banyaknya. Makanya kami menyediakan iPad yang terkoneksi dengan sistem navigasi museum, mereka bisa mengetahui objek terdekat dan memberikan feedback-nya secara real-time.”

Whyte menjelaskan The O ini bisa bekerja karena perusahaan melakukan manajemen database yang dikumpulkan dari berbagai sumber, mengambil gambar objek, dan mulai membangun sistemnya. Dari situ data diterjemahkan ke dalam bentuk visual yang mudah dimengerti.

Selain The O, ArtProcessors juga membuat solusi suara untuk engagement yang lebih tinggi di Hermitage dan John Russell Audio Experiences berlokasi di Art Gallery of New South Wales (AGNSW). Kemudian dengan Universitas Melbourne untuk museum Awaken.

Perusahaan bekerja sama dengan Universitas Melbourne untuk eksibisi ‘Awaken’ dengan teknologi AR/VR. Hal ini dimaksudkan agar para mahasiswa semakin familiar untuk datang ke museum.

Selain ketiga perusahaan di atas, ArtProcessors bermitra dengan Zoos Australia, State Library New South Wales, NSW Government, Australian War Memorial, dan Kebun Binatang Melbourne.

Di Indonesia, perusahaan sejenis ArtProcessors sebenarnya sudah ada yaitu Siji AR, binaan dari Telkom. Teknolgi yang disajikan ini telah hadir di Museum Naskah Proklamasi, Museum Kebangkinan Nasional, Museum sumpah pemuda, dan Diorama Telkomsel.

Tripal Rilis Aplikasi, Jaring Pemandu Lokal dari Seluruh Indonesia

Layanan marketplace penghubung pelancong dengan pemandu wisata lokal Tripal meresmikan aplikasi mobile untuk permudah pengguna terhubung dengan layanan. Aplikasi Tripal sementara baru tersedia di platform Android, sementara untuk iOS bakal menyusul dalam beberapa bulan ke depan.

Dalam aplikasi Tripal, pengguna dapat mencari destinasi tujuan dengan desain UI/UX yang lebih ramah. Kemudian mencari desinasi berdasarkan kategori trip, kalender yang sudah diperbarui, sistem verifikasi lewat rating/review dua arah, dan metode pembayaran dengan memanfaatkan DOKU.

“Dari web ada kendala, apalagi saat transaksi banyak keterbatasan. Akhirnya konsumen banyak beri masukan kepada kami. Untuk itu dalam aplikasi ini, kami kembali ke fokus Tripal yakni pada PAL (pemandu lokal) secara spesifik, sehingga pengguna semakin dipermudah untuk cari informasinya,” ucap Founder dan CEO Tripal Kevin Wu, Kamis (5/4).

Kehadiran aplikasi menurut Kevin bisa mendongkrak lebih banyak pengguna, baik dari sisi pelancong maupun pemandu lokal itu sendiri. Hanya saja, demi antisipasi tindakan yang tidak diinginkan terjadi, perusahaan menerapkan proses verifikasi secara berlapis, baik secara online maupun offline.

Untuk verifikasi online, calon pemandu diharuskan mengunggah data pribadi mulai dari KTP, Kartu Keluarga, dan nomor rekening. Bahkan perusahaan berencana untuk mewajibkan pengumpulan SKCK (Surat Keterangan Catatan Kepolisian) demi memastikan keamanan.

Sementara untuk verifikasi offline, Tripal bakal memanfaatkan bantuan dari komunitas yang telah bermitra dengan perusahaan, seperti Komunitas Fotografi Indonesia dan Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI) untuk bertemu tatap muka dengan para calon pemandu.

“Karena tujuannya kami ingin serius, maka untuk menjadi PAL tidak bisa sembarangan. Bahkan kami berencana untuk kerja sama dengan Kemenpar agar dibuatkan sertifikat resmi, seluruh PAL yang tergabung di kami bisa didaftarkan agar lebih terjamin.”

Rencana bisnis Tripal

Kevin melanjutkan sepanjang tahun ini pihaknya menargetkan dapat menjaring 1000 PAL (pemandu wisata) dari seluruh Indonesia. Adapun pada tahun lalu perusahaan sudah menjaring 300 PAL tersebar di 19 provinsi, dengan total pengguna lebih dari 5900 orang. Pengguna Tripal tersebar di Jakarta, Yogyakarta, Jawa Tengah, NTB, Lampung, Sulawesi, hingga Kalimantan Barat.

Untuk monetisasi, perusahaan tidak memotong biaya sama sekali bagi para pemandu wisata. Minimal penghasilan yang bisa diterima pemandu dalam seharinya adalah Rp100 ribu dengan maksimal nilai yang tidak ditentukan.

Sehingga tarif pemandu yang tertera di aplikasi adalah uang murni yang benar-benar bakal diterima mereka setelah selesai menemani pelancong. Perusahaan memberikan sejumlah biaya layanan kepada konsumen. Biaya tambahan tersebut yang akan masuk ke kantong perusahaan.

“Dari awal kami sudah komitmen bahwa biaya untuk para PAL tidak akan kami potong. Untuk daftarnya gratis, mereka dapat tambahan penghasilan tanpa ada potongan. Makanya biaya lebih kami tekankan ke konsumen untuk monetisasi kami.”

Perusahaan juga akan terus memperbaiki kualitas bisnis, dengan berpartisipasi sebagai peserta di Indigo Creative Nation Batch 2. Dalam program inkubator dan akselerator ini perusahaan akan mendapat fasilitas berupa pembinaan, mentor, dan sejumlah dana untuk pengembangan bisnis.

Application Information Will Show Up Here