Menempati Posisi Tertinggi: Mengungkap Seluk Beluk Bisnis Traveloka (Bagian 2 dari 2)

Bagian 1 menyajikan perjalanan awal Traveloka serta perkembangannya mulai dari pilihan tiket penerbangan menjadi banyak hal diluar itu.

Adalah momen yang pasang surut bagi petinggi Traveloka.

Pada tahun 2018, Derianto Kusuma mengundurkan diri dari posisinya sebagai Chief Technology Officer dan meninggalkan perusahaan dengan alasan “benturan aspirasi.”

Kemudian, pembatasan perjalanan pada tahun 2020 menyebabkan pemesanan dihentikan selama pandemi, yang membahayakan kelangsungan hidup perusahaan. Traveloka harus merumahkan sekitar 100 orang, atau sekitar 10% dari tenaga kerjanya, pada bulan April. Pada bulan Agustus, total pengembalian dana mencapai hampir 100 juta dolar AS. Namun, perputaran cepat ke layanan baru menawarkan jalan hidup, dan Traveloka mampu melakukannya sebagai sebuah perusahaan.

Saat ini, Ferry Unardi masih memimpin sebagai CEO, dengan Albert tetap menjadi bagian dari dewan dan mengawasi operasional sehari-hari sebagai salah satu pendiri perusahaan. Petinggi senior lainnya termasuk mantan konsultan BCG, Caesar Indra, presiden; pengusaha kawakan Alfan Hendro, COO; dan CTO, Ray Frederich, dengan pengalaman sekitar 20 tahun di perusahaan teknologi dan perusahaan konsultan global.

Pandemi belum berakhir, tetapi Traveloka telah membuktikan bahwa mereka dapat melewati situasi yang mengombang-ambingkan bisnis di berbagai skala. Para petinggi mengatakan perusahaan kini bangkit menjadi “lebih kuat” daripada sebelum virus korona menjangkit seluruh penjuru, dan bersiap untuk “simbol ticker” dalam beberapa bulan mendatang.

Bertahan lalu bangkit

Pada tahun 2020, ketika pemesanan perjalanan meredup dalam semalam dan pengembalian dana menggunung, Traveloka membutuhkan uang tunai — secepat mungkin. Memanfaatkan salah satu layanan tekfinnya, perusahaan memulai kampanye “Beli Sekarang, Menginap Nanti”, di mana pengguna dapat membayar voucher hotel dan menggunakannya di kemudian hari. Traveloka Xperience menyelenggarakan aktivitas online seperti kelas memasak dengan chef profesional. Live streaming flash sale dan tur secara langsung menyuguhkan distraksi menyenangkan bagi orang-orang yang terkurung di rumah, bisa jadi menanam ide untuk tujuan liburan ketika perjalanan internasional kembali diizinkan.

Semua inisiatif itu membuat Traveloka bertahan di saat-saat genting. Sekarang, dengan pelonggaran lockdown di Asia Tenggara, lalu lintas platform meningkat ke situasi sebelum pandemi.

Lebih luas lagi, bisnis inti perusahaan, perjalanan, berangsur-angsur pulih. Volume transaksi Traveloka sekarang berada di angka 50%, menurut kepala komunikasi korporat Traveloka, Reza Juniarshah.

Traveloka tetap gesit di tahun 2020 ketika transaksi terkikis. Mereka menawarkan berbagai produk baru untuk mempertahankan arus kas masuk. Dokumentasi oleh Traveloka.

“Sejak Juli tahun lalu, pemulihan terjadi secara konsisten di semua pasar kami, terutama di Thailand, Vietnam, dan Indonesia. Dengan keberhasilan penerapan langkah-langkah pengelolaan COVID-19 di Thailand dan Vietnam, kepercayaan konsumen terhadap perjalanan semakin meningkat. Di Indonesia, perjalanan domestik sedang meningkat, terutama dengan lonjakan tren staycation yang secara bertahap berkontribusi pada pemulihan sektor pariwisata Indonesia,” sebut Reza.

Berhasil melewati pandemi dan bangkit kembali dalam beberapa bulan terakhir telah membawa angin segar bagi Traveloka. Perusahaan ini adalah salah satu dari sedikit pembangkit tenaga teknologi Asia Tenggara yang bersaing untuk IPO di New York pada tahun 2021. Awal tahun ini, Ferry mengatakan kepada Bloomberg bahwa perusahaan sedang meninjau jalur untuk go public. Investor awal mereka, Willson Cuaca, co-founder dan managing partner East Ventures, menyambut baik rencana ini. Rekam jejak perusahaan melalui pandemi membuktikan bahwa Traveloka cukup dewasa untuk melihat sahamnya diperdagangkan secara publik, menurut Willson.

Bersiap melantai di bursa

“Traveloka sudah siap untuk go public tahun ini dan 2021 adalah waktu yang tepat. Respons mereka terhadap krisis berhasil dengan baik sejak tahun lalu. Pada akhir tahun 2020, mereka telah mencapai profitabilitas dan seiring dengan pemulihan dunia setelah vaksinasi, saya yakin Traveloka juga berada dalam posisi yang baik untuk pulih dengan kuat,” ujar Willson. Traveloka saat ini memiliki valuasi pasar sekitar USD 3 miliar, tetapi Willson percaya bahwa angkanya “harus bernilai jauh lebih tinggi daripada yang diperkirakan”.

Herston Powers dari 1982 Ventures juga percaya bahwa tahun 2021 merupakan waktu yang tepat bagi Traveloka untuk mencatatkan sahamnya di pasar publik. Dengan profit yang berhasil dicetak perusahaan serta kinerja saham Sea Group sebagai pedoman, mungkin tidak ada waktu yang lebih baik dari tahun ini bagi Traveloka dan perusahaan teknologi Asia Tenggara lainnya untuk hijrah ke Wall Street.

“Jendela terbuka lebar dan perusahaan punya beberapa jalur menuju bursa, seperti IPO tradisional, SPAC, atau mendaftar langsung. Kami khawatir bursa IPO akan ditutup sebelum kami melihat gelombang keluar yang berarti dari wilayah tersebut,” ujar Herston.

Herston menambahkan bahwa investor AS bertaruh pada perjalanan global dan hospitality untuk bisa meningkat pesat. “IPO dan kinerja saham Airbnb menunjukkan minat investor di sektor ini, dan kami berharap antusiasme ini menyebar ke Asia Tenggara dan Asia Selatan. Konsumen di pasar negara berkembang yang berkembang pesat, seperti Indonesia, telah terbiasa dengan perjalanan dan rekreasi, dan tren ini tidak akan berhenti meskipun sempat terhenti sejenak di awal pandemi.”

Traveloka telah mengumpulkan total USD 1,2 miliar dalam enam putaran, menurut Crunchbase. Jumlah ini termasuk JD.com, Sequoia Capital, dan Hillhouse Capital Group sebagai investor. Pada 2018, perusahaan unicorn ini diam-diam mengakuisisi tiga saingannya — PegiPegi di Indonesia, Mytour di Vietnam, dan TravelBook di Filipina — dari perusahaan Jepang Recruit Holdings seharga USD66,8 juta. Langkah ini memberi Traveloka pijakan yang kuat di Asia Tenggara dan sekarang memimpin industri OTA di wilayah tersebut.

Perusahaan juga telah melakukan investasi di beberapa startup regional, seperti platform insurtech PasarPolis serta platform loyalitas dan pemasaran Member.id di Indonesia, perusahaan teknologi acara PouchNation Singapura, dan pengembang perangkat lunak POS Vietnam KiotViet. Traveloka adalah salah satu dari dua unicorn Indonesia yang memiliki kehadiran kuat di kawasan ini (yang lainnya adalah Gojek), menyematkan prestise ketika menuju ke bursa.

“Momentum sangat penting bagi Traveloka, karena pasar modal adalah tentang waktu. Anda membutuhkan investor institusional untuk berada dalam mode berisiko. Jika pasar ambruk, tidak ada yang akan keluar untuk IPO,” sebut Herston. “Di luar koreksi pasar besar atau pandemi lainnya, kami sangat optimis terhadap prospek Traveloka sebagai perusahaan terbuka.”

Traveloka dikabarkan telah mengadakan diskusi dengan beberapa perusahaan cek kosong, termasuk entitas yang baru dibentuk seperti Bridgetown Holdings dan Provident Acquisition. Namun, perusahaan belum mengungkapkan detail persiapan IPO-nya. Para petinggi Traveloka mengungkapkan optimismenya terhadap masa depan perusahaan dalam berbagai kesempatan. Berhasil melewati pandemi yang relatif tanpa cedera adalah pencapaian penting. Sekarang, perusahaan tersebut harus membuktikan bahwa mereka cukup dewasa untuk mengikuti jalur yang pertama kali dibuka oleh Sea Group Singapura dan hijrah ke New York.


Artikel ini pertama kali dirilis oleh KrASIA. Kembali dirilis dalam bahasa Indonesia sebagai bagian dari kerja sama dengan DailySocial

Menempati Posisi Tertinggi: Mengungkap Seluk Beluk Bisnis Traveloka (Bagian 1 dari 2)

Sepuluh tahun lalu, Ferry Unardi adalah seorang mahasiswa di Harvard Business School. Berasal dari Padang, sebuah kota di Sumatera Barat, Ferry kerap kesulitan ketika ingin melakukan penerbangan dari kampung halamannya ke Amerika Serikat.

Prosesnya sangat rumit. Untuk pulang, Ferry memesan penerbangan untuk membawanya dari Boston ke Jakarta. Ketika sampai di ibu kota Indonesia dia baru bisa membeli tiket tambahan untuk kembali ke Padang, ungkapnya pada majalah Prestige di tahun 2018. Rumit, memakan waktu, dan sulit untuk direncanakan.

Frustrasi dengan masalah yang harus dia hadapi sebagai frequent flyer antara Amerika Serikat dan Indonesia selama sekitar delapan tahun, Ferry memutar otak kewirausahaannya dan mulai mencari solusi, percaya bahwa ini bisa menjadi sebuah bisnis. Dia bekerja sama dengan mantan rekannya bernama Derianto Kusuma, serta seorang teman lama dari sekolah bernama Albert (hanya Albert). Ferry meninggalkan Harvard. Setahun kemudian, ketiganya resmi mendirikan Traveloka di Jakarta.

Nama perusahaan adalah gabungan kata dari bisnis utamanya dan loka, kata Sansekerta yang berarti “dunia” atau “alam semesta”. Seorang juru bicara perusahaan mengatakan Traveloka dimaksudkan untuk diartikan secara harfiah sebagai “dunia perjalanan”.

Sampai ke tahun 2021. Traveloka telah menjadi biro perjalanan online terbesar di Indonesia. Aplikasinya telah diunduh lebih dari 60 juta kali, dan platform ini memiliki sekitar 40 juta pengguna aktif bulanan. Perusahaan juga mengatakan memiliki lebih dari 150 maskapai penerbangan rekanan dengan total 200.000 rute penerbangan internasional dan domestik. Selain itu, lebih dari 800.000 hotel, vila, dan wisma di 100 negara terdaftar.

Valuasi Traveloka kini disinyalir mencapai USD3 miliar. Tahun ini, Ferry berencana membawa Traveloka ke pasar saham AS, kemungkinan melalui merger SPAC untuk menghindari proses IPO konvensional. Sebelum itu terjadi, berikut merupakan seluk beluk yang perlu Anda ketahui tentang perusahaan.

Pencapaian Traveloka

Mari menganalogikan Traveloka sebagai Expedia di Asia Tenggara. Daftarnya mencakup hampir setiap elemen perjalanan – penerbangan, hotel, atraksi, dan aktivitas. Pengguna dapat menyesuaikan dan membayar seluruh rencana perjalanan dalam platform. Layanannya mencakup Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, Singapura, Vietnam, dan Australia.

Traveloka dimulai sebagai situs pencarian dan perbandingan tiket penerbangan, yang secara fungsional mengotomatiskan sebagian tugas agen perjalanan yang Ferry pesan ketika masih di Harvard. Dengan limpahan uang tunai dari East Ventures pada tahun 2012 – beberapa tahun sebelum startup “booming” di Indonesia – ketiga pendiri membangun situs ini. Tidak lama kemudian mereka menyadari bahwa pelanggan menginginkan lebih dari sekedar hasil pencarian. Ada komponen utama yang hilang: jika orang bisa memesan tiket pesawat dan membayar tiketnya hanya dengan beberapa klik, Traveloka bisa benar-benar menjadi biro perjalanan online. Kuncinya adalah kenyamanan yang belum tersedia sebelumnya.

Transformasi itu terjadi pada 2013, namun timnya tidak berhenti sampai di situ. Tahun berikutnya, Traveloka menambah vertikal pemesanan hotel dan meluncurkan aplikasi untuk Android dan iOS. Hal ini sejalan dengan pergeseran kebiasaan di Indonesia – ponsel menjadi hal lumrah, dan orang-orang mulai mengarah ke online. Traveloka bersiap melayani para pelanggan muda yang lebih nyaman membeli melalui perangkat pribadi.

Namun Traveloka telah berkembang jauh melampaui dua suku kata pertama dari namanya. Perusahaan telah terjun ke industri fintech, memastikan bahwa pelanggannya memiliki jalur untuk membayar apa yang dijual Traveloka. Lalu, hal ini menjadi penting untuk memfasilitasi transaksi besar dalam skala massal dari hari ke hari.

Perusahaan dilaporkan mengakuisisi perusahaan pembayaran digital lokal Dimo ​​Pay pada tahun 2018, namun pihaknya masih belum mengakui perannya dalam kesepakatan tersebut. Bagaimanapun, Traveloka merilis fitur PayLater tidak lama kemudian, yang dikembangkan bersama dengan pemberi pinjaman peer-to-peer Danamas. Saat itu, Traveloka adalah perusahaan (bukan fintech) pertama di Indonesia yang memasuki layanan “beli sekarang, bayar nanti”. Langkah tersebut memastikan Traveloka mampu menarik pengguna baru yang bukan nasabah lembaga keuangan formal dan konvensional.

“Kami memulai fintech untuk memfasilitasi pemesanan perjalanan oleh konsumen di Indonesia yang mungkin tidak memiliki kartu kredit atau uang tunai untuk membayar penuh dalam pemesanan perjalanan. Karena banyak pelanggan kami menggunakan aplikasi untuk berbagai transaksi, kami percaya bahwa pendapat pengguna yang kami peroleh memungkinkan kami untuk mengelola penawaran pinjaman kami dengan tepat,” Kepala Komunikasi Korporat Traveloka, Reza Juniarshah mengatakan kepada KrASIA. Perusahaan telah memfasilitasi lebih dari 6 juta pinjaman melalui layanan tersebut, sebutnya. Dan tidak hanya sampai di situ: Traveloka menjalin kemitraan dengan Bank BRI pada 2019, dan keduanya merilis kartu kredit yang dirancang untuk pengguna terdaftarnya. Tahun lalu, Traveloka menjalin kerja sama serupa dengan Bank Mandiri.

Dibalik tingginya valuasi perusahaan

Traveloka menyandang status unicorn pada Juli 2017, ketika mengantongi investasi sebesar USD350 juta dari Expedia, perusahan yang menjadi inspirasi awal Ferry. Daftar pendukungnya juga termasuk Global Founders Capital, GIC sovereign wealth fund Singapura, dan Qatar Investment Authority.

Saat ini, nilai perusahaan ditentukan oleh diversifikasinya, tetapi Traveloka memiliki banyak pesaing saat memasuki arena baru fintech. “Traveloka tidak unik dalam mencoba menangkap nilai peluang fintech di Asia Tenggara. Setiap raksasa teknologi dan perusahaan jasa keuangan tradisional semakin serius tentang strategi fintech mereka karena potensi pasarnya sangat besar, dan kami ikut mengawali sektor ini di kawasan,” kata Herston Powers, mitra pengelola dari 1982 Ventures, yang berinvestasi di perusahaan rintisan fintech dan teknologi perjalanan.

Dengan demikian, pergerakan ini dapat memulai fase baru konsolidasi di Asia Tenggara. Dengan semakin banyaknya perusahaan yang memasuki dunia fintech, akan ada peluang baru bagi startup fintech untuk menjalin hubungan dengan pemain mapan dan mencari jalan keluar melalui merger dan akuisisi, kata Powers.

Inovasi baru telah memperluas jangkauan Traveloka. Pada 2019, jajaran asuransi perusahaan Traveloka Protect diluncurkan. Hal itu menginisiasi program asuransi kesehatan syariah yang disebut Bebas Handal untuk pelanggan Muslim bersama FWD Group yang berbasis di Hong Kong.

Fintech mungkin terbukti menjadi ruang tahan bencana di mana Traveloka dapat tumbuh lebih dalam lagi. Ke depannya, perusahaan berniat fokus di sektor ini. Dalam wawancara dengan KrASIA tahun lalu, salah satu pendiri, Albert, mengatakan Traveloka akan memperluas penawaran fintechnya “secara vertikal dan geografis”. Perusahaan juga dikabarkan sedang mempersiapkan layanan keuangan lokal untuk Thailand dan Vietnam. Baru-baru ini mereka membentuk usaha patungan dengan salah satu bank terbesar di Thailand untuk pengembangan fintech baru, meskipun detailnya belum terungkap.

Mengungguli fintech

Sebagai investor awal, Managing Partner East Ventures, Willson Cuaca optimis dengan status Traveloka sebagai perusahaan multi-vertikal yang sedang berkembang sebagai perusahaan multinasional. “Traveloka memperkenalkan produk ‘beli sekarang, bayar nanti’, kartu kredit, dan pembayaran digital kepada pelanggannya sejak dua tahun lalu. Platformnya sudah matang dan maju, oleh karena itu inilah saat yang tepat untuk memperluas layanan keuangan ke Vietnam dan Thailand,” ujsr Willson.

Selain fintech, Traveloka juga merambah ke layanan gaya hidup dan hiburan. Juga meluncurkan halaman untuk direktori restoran, Kuliner Traveloka, pada tahun 2018. Sub-merek bernama Xperience diluncurkan pada tahun 2019. Terdapat sekitar 15.000 kegiatan di lebih dari 60 negara, mencakup acara, film, serta kelas khusus dan lokakarya.

Layaknya platform besar lainnya yang telah memberikan kemudahan untuk memesan makanan hanya dengan beberapa sentuhan di aplikasi, Traveloka Eats kini menawarkan layanan pengantaran untuk beberapa lokasi, meskipun belum begitu menguasai pangsa pasar Grab Food dan GoFood Gojek, keduanya semakin populer di Asia Tenggara. Namun, Traveloka sedang berusaha untuk menjadi aplikasi yang mencakup semua layanan perjalanan dan gaya hidup di wilayah ini, dan pivot yang dilakukan telah mengakselerasi perusahaan dalam melalui rintangan perjalanan internasional di tahun 2020.


Artikel ini pertama kali dirilis oleh KrASIA. Kembali dirilis dalam bahasa Indonesia sebagai bagian dari kerja sama dengan DailySocial

Laporan KrASIA: Mendalami Peran Startup Unicorn di Pasar Tiongkok

Tidak dimungkiri, unicorn menjadi salah satu pendorong utama bisnis digital di banyak negara. Dampaknya mampu menggerakkan banyak sektor riil, melibatkan pengguna atau mitra dari berbagai kalangan.

Berbicara tentang bisnis digital global, perkembangan di Tiongkok sering dijadikan salah satu kiblat oleh pelaku industri. Pendekatan bisnis dan inovasi yang digulirkan banyak dijadikan percontohan oleh berbagai startup di negara lain.

Guna melihat sejauh mana perkembangan ekosistem digital yang terbentuk, KrASIA merilis sebuah laporan bertajuk “China Market Intel: A deep dive into China’s Top 100 Unicorns”. Menurut data yang dirangkum, saat ini sekurangnya ada 586 unicorn yang tersebar di 29 negara, kemudian 34,8% di antaranya dari Tiongkok.

Laporan tersebut secara spesifik mengulas tentang beberapa studi kasus unicorn yang paling signifikan, masuk ke dalam top 100 unicorn global, meliputi:

  1. ByteDance
  2. DiDi Chuxing
  3. Yuanfudao
  4. SenseTime
  5. Perfect Diary

Di dalamnya turut dibahas tentang aspek-aspek kekuatan bisnis, perjalanan bisnis, model bisnis, investor, hingga pemimpin bisnis yang terlibat mendukung. Selengkapnya, unduh laporan tersebut melalui tautan berikut ini: China Market Intel.

Disclosure: KrASIA bekerja sama dengan DS/innovate untuk mendistribusikan laporan ini.

SPAC Melejit: Unicorn Asia Tenggara Enggan Melirik IPO Tradisional

Ketika ekonomi digital China semakin matang, perusahaan teknologi telah memiliki sumber penawaran umum perdana (IPO) yang stabil di bursa AS dan bursa domestik di Hong Kong, Shanghai, dan Shenzhen.

Di Asia Tenggara, IPO Sea Group 2017 di Bursa Efek New York menjadi contoh bagi perusahaan teknologi di kawasan sekitarnya yang bercita-cita menjadi perusahaan publik, termasuk unicorn bernilai tinggi seperti aplikasi perjalanan Indonesia Traveloka, platform e-commerce Bukalapak, dan Tokopedia, bersama dengan raksasa layanan digital yang berbasis di Singapura, Grab.

Namun, sampai perusahaan-perusahaan ini beranjak dewasa dan mempertimbangkan untuk melakukan penawaran umum, IPO konvensional telah kehilangan pamornya. Sekarang, akuisisi perusahaan dengan tujuan khusus, atau SPAC, menjadi solusi. Juga dikenal sebagai perusahaan cek kosong, SPAC adalah perusahaan cangkang yang mengumpulkan dana melalui penawaran umum untuk mengakuisisi perusahaan yang tidak ditentukan. Jenis perusahaan ini tidak memiliki model bisnis independen selain transaksi keuangan ini.

Dengan karakter tersebut, ketua Komisi Sekuritas dan Bursa AS, Jay Clayton, menyarankan investor untuk mengukur motivasi sponsor SPAC. Sering kali merupakan perusahaan ekuitas swasta (PE) terkemuka yang menggunakan SPAC untuk melewati bank investasi dan biaya emisi mereka untuk membawa perusahaan swasta ke pasar publik.

Proses IPO konvensional itu rumit, mahal, dan memakan waktu. Untuk startup teknologi di Asia, SPAC adalah opsi penggalangan dana yang lebih murah dan lebih efisien.

SPAC telah mendapatkan momentum besar di AS pada tahun 2020. Lebih dari 200 SPAC mengumpulkan sekitar USD 70 miliar, memberikan referensi pada pasar Asia untuk tahun 2021.

Unicorn di Asia Tenggara

Tokopedia menjadi salah satu target Bridgetown Holdings, yang didukung oleh Peter Thiel dan Richard Li, untuk penggabungan cek kosong pada Desember 2020. Jika kesepakatan berlanjut, hal ini bisa menjadi trendsetter di regional.

Grab, yang menjadikan SoftBank, Uber, dan Didi Chuxing sebagai investornya bernilai sekitar USD 14 miliar.
Grab, dimana SoftBank, Uber, dan Didi Chuxing berperan sebagai investornya bernilai sekitar USD 14 miliar.

“Sebagai gambaran, SPAC telah hadir selama beberapa dekade. Mereka sangat populer di pertengahan hingga akhir tahun sembilan puluhan, tetapi menjadi ketinggalan zaman ketika investor kehilangan uang,” ungkap Joel Shen, pengacara perusahaan di firma hukum global Withers kepada KrASIA. Dia percaya bahwa kebangkitan popularitas SPAC dapat dikaitkan dengan suku bunga rendah, likuiditas yang melimpah di pasar karena stimulus dari sistem bank sentral AS, dan peningkatan jumlah target akuisisi, terutama di bidang teknologi.

SoftBank, salah satu investor Tokopedia, mengajukan IPO SPAC pada bulan Desember dengan tujuan untuk mengumpulkan USD 525 juta. SoftBank telah berinvestasi di lebih dari 100 perusahaan tahap pertumbuhan di seluruh dunia, dan beberapa di antaranya mungkin menjadi target yang menarik untuk SPAC-nya, SVF Investment Corp.

Dengan SoftBank — raksasa dalam investasi teknologi — memasuki ruang SPAC, perusahaan portofolionya seperti Grab dapat menemukan rute cepat ke simbol saham New York. “SPAC memungkinkan target mereka untuk mendaftar tanpa terlebih dahulu melalui proses IPO yang mahal dan memakan waktu, dan berpotensi menawarkan pemegang saham target, termasuk investor institusional seperti VC, jalan keluar yang lebih cepat daripada IPO tradisional,” kata Shen .

Jika unicorn Indonesia bisa melalui model ini, maka hal ini akan menjadi barometer yang baik untuk menjawab pertanyaan apakah perusahaan Asia Tenggara dengan fokus pasar lokal akan diterima di bursa asing.

Namun demikian, SPAC memiliki kelemahan. Karena mereka adalah perusahaan cek kosong, investor bertaruh pada sponsor SPAC daripada kualitas bisnis, kata Shen.

Selain itu, merger SPAC harus dilakukan dalam jangka waktu tertentu — biasanya antara 18 dan 24 bulan. Jika tidak ada akuisisi yang dilakukan sebelum akhir jangka waktu, sponsor dapat mempertimbangkan kualitas aset dan daya tawar.

Sementara pasar modal China di Shanghai dan Shenzhen menawarkan rute alternatif ke perusahaan teknologi dalam negeri untuk penggalangan dana yang signifikan, perusahaan rintisan teknologi Asia Tenggara tidak memiliki opsi yang sama di dalam negeri, hal ini mendorong mereka ke arah merger SPAC di valuta asing.

Menurut seorang analis yang akrab dengan subjek tersebut, ledakan SPAC pada tahun 2020 menandai awal dari era baru di mana investor institusional teratas, biasanya perusahaan PE swasta terkemuka, menjadi kekuatan pasar yang lebih berperan dalam penetapan harga IPO. “Secara tradisional, harga IPO ditentukan oleh bankir investasi yang membangun pembukuan melalui serangkaian pembicaraan tertutup dan berturut-turut dengan perusahaan PE. Namun, dengan SPAC di tangan, manajer PE bisa menanggalkan peran bankir ini dan mencapai kesepakatan langsung dengan pemilik aset,” ujar analis.


Artikel ini pertama kali dirilis oleh KrASIA. Kembali dirilis dalam bahasa Indonesia sebagai bagian dari kerja sama dengan DailySocial

Indonesian Startup investment Exceeds $100 Million During the Pandemic

The second quarter of this year put a new color on the Indonesian startups dynamics. In addition to news about several business shutdowns, during the first half of 2020, funding flows for startups tend to increase compared to the same period in the previous year. In fact, some startups gain funding with a value above $100 million (equivalent to 1.4 trillion Rupiah).

The following are the some startups reportedly raised fresh funding during the pandemic:

Tokopedia (reportedly) raised $500 million

As first reported by DealStreetAsia, sources said the company, led by William Tanuwijaya, received additional capital worth of US$500 million or equivalent to 7.3 trillion Rupiah. Previously, Tokopedia is said to raise new funding up to 21 trillion Rupiah since last year. One of the objectives is to prepare the company to be listed on the stock market. Whether this is true, this acquisition will be the largest in Southeast Asia in the first half of 2020.

Gojek bags US$300 million

In early June, Gojek announced some new investors in their F series rounds. Two of them are Facebook and Paypal. Although it was undisclosed, it was widely publicized that the funds raised reached $ 300 million or equivalent to IDR 4.3 trillion. One of its main focuses is to strengthening GoPay, which driven Gojek’s subsidiary to get filing with unicorn valuation.

Traveloka secured US$250 million

Yesterday, (7/28), Traveloka announced the new funding worth of $250 million or equivalent to 3.6 trillion Rupiah. The fresh money is to support the company rise from the Covid-19 downfall, which kinda hit the OTA business hard in Indonesia and throughout the world. Some strategies are re-planned, although they remain focused on the domestic accommodation business. Some new services, such as Xperience (online), are being promoted to become new revenue streams in the midst of minimal travel ticket sales transactions.

Kopi Kenangan received $109 million

The new retail startup Kopi Kenangan received Series B funding worth of $109 million, equivalent to 1.6 trillion Rupiah in May 2020. This round adds to the total investment raised by the company at $137 million. In addition to expanding business-coverage, the main agenda is to work on the “cloud kitchen” business model, thus enabling many new food and beverage products to be immediately served to its customers.

Bukalapak is to finalize $100 million funding

The latest case comes from Bukalapak. They are currently raising new funding of (at least) US$100 million or equivalent to 1.4 trillion Rupiah. DealStreetAsia said two of its main investors, EMTEK and Ant Financial, had first injected funds in March 2020. It is yet to discover, the agenda for the recent fund. Bukalapak currently operates without any of the founding members in the management, after Fajrin Rasyid appointed as Telkom’s Board of Directors member.

Investment dominated around Southeast Asia

To put rank on the largest funding throughout 2020, the five names above will fill the top 10 list. Some startups in other Southeast Asian countries that have also received new funds reaching at least $100 million, such as Ninja Van (Singapore) $279 million, RWDC Industries (Singapore) $133 million, Tiki (Vietnam) $130 million, and Voyager Innovations (Philippines) $120 million.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Pendanaan Startup Indonesia Bernilai Lebih dari $100 Juta Sepanjang Pandemi

Kuartal kedua tahun ini memberi warna baru dalam dinamika startup Indonesia. Selain kabar mengenai banyak bisnis yang terperosok, selama paruh pertama 2020 arus pendanaan startup cenderung meningkat dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Beberapa startup bahkan mendulang pendanaan dengan nilai di atas $100 juta (setara 1,4 triliun Rupiah).

Berikut ini adalah nama-nama startup yang dikabarkan mendapatkan pendanaan besar baru di masa pandemi:

Tokopedia (dikabarkan) raih $500 juta

Pertama kali diberitakan DealStreetAsia, sumber mengatakan perusahaan yang dipimpin William Tanuwijaya tersebut mendapatkan dana tambahan senilai US$500 juta atau setara 7,3 triliun Rupiah. Sebelumnya dikabarkan Tokopedia memang tengah mencari dana baru hingga 21 triliun Rupiah sejak tahun lalu. Salah satu tujuannya mempersiapkan perusahaan melantai di bursa saham. Jika benar, perolehan ini menjadi yang terbesar di Asia Tenggara di paruh pertama 2020.

Gojek dapat US$300 juta

Awal Juni lalu, Gojek mengumumkan bergabungnya sejumlah investor di putaran seri F mereka. Dua di antaranya adalah Facebook dan Paypal. Kendati tidak diumumkan ke publik, santer tersiar nilai dana yang didapat mencapai $300 juta atau setara 4,3 triliun Rupiah. Pendanaan baru tersebut salah satunya fokus untuk penguatan GoPay, yang mendorong anak usaha Gojek ini melakukan filing dengan valuasi unicorn.

Traveloka rengkuh US$250 juta

Kemarin, (28/7), Traveloka mengumumkan perolehan pendanaan barunya senilai $250 juta atau setara 3,6 triliun Rupiah. Dana ini untuk membantu perusahaan bangkit dari terjangan Covid-19 yang memorak-porandakan bisnis OTA di Indonesia dan seluruh dunia. Beberapa strategi direncanakan ulang, meski tetap fokus di bisnis akomodasi domestik. Beberapa layanan baru, seperti Xperience (online), mulai digalakkan untuk menjadi revenue stream baru di tengah transaksi penjualan tiket perjalanan yang minim.

Kopi Kenangan amankan $109 juta

Startup new retail Kopi Kenangan mendapatkan pendanaan Seri B senilai $109 juta atau setara 1,6 triliun Rupiah pada Mei 2020 lalu. Perolehan ini menambah total investasi yang didapat perusahaan di angka $137 juta. Selain memperluas cakupan bisnis, agenda utama dengan dana baru ini adalah menggarap model bisnis “cloud kitchen”, sehingga memungkinkan banyak produk makanan dan minuman baru yang segera disuguhkan ke para pelanggannya.

Bukalapak dikabarkan rampungkan pendanaan $100 juta

Kabar terbaru datang Bukalapak. Mereka sedang menggalang pendanaan baru senilai (minimal) US$100 juta atau setara 1,4 triliun Rupiah. Sumber DealStreetAsia mengatakan, dua investor utamanya, yakni EMTEK dan Ant Financial, telah terlebih dulu menyuntikkan dana di bulan Maret 2020 lalu. Belum diketahui pasti agenda yang dicanangkan perusahaan dengan dana baru ini. Kini Bukalapak beroperasi tanpa keterlibatan founder di jajaran manajemen, setelah Fajrin Rasyid bergabung dengan Telkom sebagai anggota Direksi.

Dominasi pendanaan di Asia Tenggara

Jika dibuat peringkat pendanaan terbesar sepanjang tahun 2020 ini, lima nama di atas akan mengisi daftar 10 besar. Beberapa startup di negara Asia Tenggara lain yang juga memperoleh dana baru senilai minimal $100 juta adalah Ninja Van (Singapura) $279 juta, RWDC Industries (Singapura) $133 juta, Tiki (Vietnam) $130 juta, dan Voyager Innovations (Filipina) $120 juta.

Laporan DSResearch: Potensi Kolaborasi Startup Unicorn dan Centaur dengan Institusi Finansial

Dalam ekosistem startup digital, gelar unicorn (valuasi di atas $1 miliar) dan centaur (valuasi antara $100-999 juta) penting untuk menjadi sebuah legitimasi bisnis. Membuktikan model bisnis yang diadaptasi mampu berkembang dan solusi yang dihadirkan fit dengan pangsa pasar.

Kehadiran unicorn dan cetanur juga memberikan dampak langsung terhadap ekonomi digital di negara asalnya. Ambil contoh kehadiran Tokopedia dan Bukalapak di Indonesia berhasil berikan kanal baru bagi UKM untuk dapat tumbuh dan berkembang secara efisien dan berkelanjutan.

Selain itu, inisiatif kolaborasi yang dicanangkan juga membuka peluang baru bagi bisnis-bisnis lain untuk melakukan ekspansi. Tak terkecuali dengan institusi finansial, banyak skenario yang sudah diterapkan untuk membentuk sinergi mutualisme yang menguntungkan masing-masing pihak.

Untuk melihat sejauh mana startup unicorn/centaur bersinergi dengan institusi finansial, DSResearch bersama dengan Mandiri Capital Indonesia (MCI) merilis sebuah laporan bertajuk “Unicorns & Centaur Collaboration with Financial Institutions”.

Ada dua bahasan utama yang dirangkum dalam laporan tersebut, meliputi:

  • Tren startup unicorn/centaur di Asia dan Indonesia, merangkum daftar pemain yang ada sejauh ini. Dan memetakannya sesuai model bisnis yang dijalani.
  • Mendaftar beberapa studi kasus kolaborasi startup unicorn/centaur bersama institusi finansial.

Selengkapnya, silakan unduh laporan tersebut melalui tautan berikut ini: “Unicorns & Centaur Collaboration


Disclosure: Dalam penyusunan white paper ini, DSResearch bermitra dengan Mandiri Capital Indonesia (MCI) yang merupakan corporate venture capital milik Bank Mandiri. MCI aktif berinvestasi ke startup digital di sektor fintech dan pengembang solusi-solusi untuk UKM di Indonesia.

Potensi Startup “Unicorn” Menelurkan Anak Perusahaan dengan Valuasi Tinggi

GoPay dikabarkan telah menyandang gelar “unicorn”. Hal ini didorong filing baru perusahaan yang pertama kali dirilis DealStreetAsia yang menyebutkan valuasi pre-money setidaknya mencapai $4 miliar. Sumber kami memastikan bahwa ada porsi pendanaan Seri F Gojek (termasuk dari Facebook dan PayPal) yang masuk secara langsung ke GoPay.

Menurut filing tersebut Gojek dikabarkan masih memiliki sekitar 70-an% saham GoPay, sementara sisanya sudah dimiliki pihak eksternal. Pihak GoPay sendiri kepada DailySocial menyatakan tidak mengomentari rumor di pasar.

Sebelumnya, platform video on-demand GoPlay, anak perusahaan Gojek yang lain, juga telah mendapatkan pendanaan secara independen.

Tak hanya Gojek

Startup unicorn lokal lain juga mengelola anak perusahaan untuk memperluas ekosistem bisnisnya. Traveloka gesit menggarap bisnis finansial sejak awal tahun 2019 lalu. Pesatnya pertumbuhan produk paylater mendorong perusahaan merencanakan berbagai skema baru, termasuk mengoperasikan perusahaan multifinance sendiri sebagai mitra lender, yakni PT Caturnusa Sejahtera Finance.

Caturnusa adalah rebranding dari PT Malacca Trust Finance, perusahaan finansial besutan PT Batavia Prosperindo Finance Tbk yang dijual ke PT Hermes Global Ventures. Hermes Global diketahui memiliki afiliasi dengan Traveloka.

Strategi tersebut memang terbukti sukses sebelum pandemi melanda. Berbekal statistik transaksi yang ada, Presiden Traveloka Group Henry Hendrawan percaya diri untuk membawa unit finansial perusahaan menjadi unicorn di tahun 2020. Sayangnya Covid-19 memberikan tekanan bisnis yang sangat besar di segmen travel, sehingga banyak penyesuaian yang harus dilakukan perusahaan di sektor ini, termasuk Traveloka.

Startup unicorn lain, Shopee (kendati tidak sepenuhnya berbasis di Indonesia), juga menempuh metode serupa. Demi mempermudah konsumen bertransaksi, Shopee mengembangkan produk ShopeePay dan ShopeePayLater.

Unit finansial jadi kunci

Jika melihat ulasan di atas, bisa ditarik benang merah bahwa unit finansial menjadi perhatian penting masing-masing perusahaan. Unit tersebut menopang transaksi ke layanan utama dengan nominal yang sangat besar. Para perusahaan cenderung mulai memilih pengelolaan arus kas dilakukan sendiri – melalui anak usahanya, alih-alih membiarkan transaksi terlalu banyak melewati platform di luar ekosistem.

Keberhasilan Ovo menjadi startup unicorn melegitimasi bahwa bisnis pembayaran digital memiliki peluang besar di Indonesia – Ovo sendiri dipilih untuk mendukung transaksi di Grab dan Tokopedia (dan sejumlah aplikasi lain).

Menurut Fintech Report 2019, empat besat platform pembayaran digital terpopuler diduduki oleh Ovo, GoPay, Dana, dan LinkAja. Sementara paylater banyak digunakan di Ovo, Gojek, Traveloka, dan Shopee.

JD.id Confirmed as the New Unicorn

The e-commerce platform JD.id confirmed to DailySocial that the company’s valuation has exceeded US$ 1 billion. Therefore, JD.id has added to the list as Indonesia’s 6th unicorn. Involved in this “elite” list are Gojek, Tokopedia, Traveloka, Bukalapak, and Ovo. Three startups listed are leading the e-commerce business vertical.

JD.id avoids elaborating further on the total funds obtained and the current valuation. They also did not confirm the rumor that Gojek has poured an investment to the company, which was widely rumored last year. According to our source, there are some parties involved in the latest funding.

Earlier last year, Gojek announced a joint venture with JD.id.

The e-commerce site, with the jargon “selling goods with authentic guarantees”, came to Indonesia as a result of strategic cooperation between Chinese e-commerce giant JD.com and private equity Provident Capital. Provident itself is a Gojek investor and together with JD.com also built a JD joint venture in Thailand.

According to the SEA e-Conomy report, the e-commerce market share in Indonesia has reached US$ 21 billion in 2019 and is projected to grow rapidly to US$ 82 billion in 2025. It’s no surprise the e-commerce giants continue to strengthen the business strategy.

The competitive landscape in the business vertical is very tight because JD.id is dealing with other unicorns such as Shopee, Tokopedia, Bukalapak, and Lazada.

In 2019, Tokopedia has reached Gross Merchandise Value (GMV) at 222 trillion Rupiah. While in the first half of 2019, Bukalapak announced GMV reaching 70 trillion Rupiah, while for the same period Shopee reached 20.1 trillion Rupiah GMV.

Meanwhile, observed from the statistic of the platform’s visit in the Q3 2019, iPrice research showed the following result.

Indonesia's business competitive map of e-commerce based on platform's traffic / iPrice
Indonesia’s business competitive map of e-commerce based on platform’s traffic / iPrice

There are lots of approaches used by e-commerce players to win the market. With platforms like Bukalapak and Tokopedia intensified partnerships, JD.id always stated on several occasions its focus to strengthen logistics, particularly the same-day delivery feature.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

JD.id Konfirmasi Sandang Status “Unicorn” (UPDATED)

Platform e-commerce JD.id mengonfirmasi kepada DailySocial bahwa valuasi perusahaan sudah melebihi US$1 miliar. Dengan demikian JD.id menambah jajaran unicorn Indonesia menjadi 6 perusahaan. Termasuk dalam daftar “elit” ini adalah Gojek, Tokopedia, Traveloka, Bukalapak, dan Ovo. Tiga startup di jajaran ini beroperasi di vertikal e-commerce.

Pihak JD.id enggan merinci berapa dana yang diperoleh dan nilai valuasi saat ini. Mereka juga tidak mengonfirmasi rumor pendanaan dari Gojek yang santer terdengar dari tahun lalu. Menurut sumber kami, ada beberapa pihak yang terlibat dalam pendanaan terakhirnya.

Awal tahun lalu Gojek dan JD mengumumkan pembentukan joint venture.

Situs e-commerce yang miliki jargon “menjual barang dengan jaminan asli” tersebut hadir ke Indonesia sebagai hasil kerja sama strategis antara raksasa e-commerce Tiongkok JD.com dan private equity Provident Capital. Provident sendiri adalah investor Gojek dan bersama JD.com juga membangun joint venture JD di Thailand.

Menurut laporan e-Conomy SEA, pangsa pasar e-commerce di Indonesia telah mencapai $US21 miliar pada tahun 2019 dan diproyeksikan bertumbuh pesat jadi US$82 miliar pada 2025 mendatang. Tak ayal para raksasa e-commerce terus kuatkan strategi bisnis.

Lanskap persaingan di vertikal bisnis tersebut juga sangat ketat, karena JD.id berhadapan dengan unicorn lainnya yakni Shopee, Tokopedia, Bukalapak dan Lazada.

Tahun 2019, Tokopedia catatkan Gross Merchandise Value (GMV) mencapai 222 triliun Rupiah. Sementara pada paruh pertama tahun 2019, Bukalapak umumkan GMV capai 70 triliun Rupiah, sementara untuk periode yang sama Shopee catatkan GMV di angka 20,1 triliun Rupiah.

Sementara itu, jika ditinjau dari statistik kunjungan platform pada kuartal ketiga tahun 2019, riset iPrice mengemukakan data sebagai berikut:

Peta persaingan bisnis e-commerce Indonesia ditinjau dari trafik platform / iPrice
Peta persaingan bisnis e-commerce Indonesia ditinjau dari trafik platform / iPrice

Ada banyak pendekatan yang dilakukan oleh pemain e-commerce untuk memenangkan pasar. Jika platform seperti Bukalapak dan Tokopedia gencarkan program kemitraan, JD.id dalam beberapa kesempatan selalu menyampaikan fokusnya untuk perkuat logistik, khususnya fitur same-day delivery.

Application Information Will Show Up Here