RateS Secures 85.8 Billion Rupiah of Equity and Debt Funding

A social commerce startup, RateS, has received a total $6 million or equivalent to 85.8 billion Rupiah. This follow-up round is divided in two forms, around $4.5 million of equity funding and $1.5 million of debt funding.

KVision from Kasikon Bank joined as a new investor. Meanwhile, also participated the previous investors, including Vertex Ventures, Insignia Ventures Partners, and Genesis Ventures.

RateS’ Co-Founder & CSO, Albert Ho said to DailySocial that this fresh money will be followed up with series B fundraising targeted to be closed this year. With the participation of Kasikorn Bank, RateS is also exploring new financing products for their reseller partners and end users.

“We are to expand to other tier-2 and 3 cities, strengthen our product development team, and invest more in our private label businesses, Hozu and Kidzu,” Albert said.

Previously, RateS announced their series A funding in February 2021 with an undisclosed amount. Vertex Ventures and Genesis Ventures are leading this round. The company has secured a seed funding from Alpha JWC Ventures and Insignia Ventures Partners in 2018.

“2021 was a tremendous year of growth for us, with a 4x increase since 2020. Today, we also have offline teams present in 25 cities, while making deliveries to over 300 cities. This round [funding] is a testimony of investors’ trust in our growth,” Albert added.

The growth of social commerce in Indonesia

Through the RateS app, anyone can sell (become a reseller) without having to buy stock beforehand. Users can create an online store containing various products according to the RateS catalog, then promote it through their online and offline channels. As partners, resellers will get special purchase and selling rates to consumers in return for bigger profits.

According to McKinsey’s projection, the Indonesian e-commerce industry is to generate $65 billion GMV by 2022. Social commerce alone is projected to contribute up to $25 billion.

In the ecosystem, local social commerce players are rising with unique approaches. However, for one similar thing that all platforms been doing, is targeting users in small cities. While people in big cities are already familiar with e-commerce or online marketplaces, there is still a lot of potential in suburban areas for these two services.

One certain thing that social commerce does, is to bridge the gap between people’s needs to shop online with limited access [for example to a payment system]. Resellers have a role to assist the process.

Several players have implemented the social commerce business model, including Evermos, Raena, Dagangan, Kitabeli, and others.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

RateS Tutup Investasi 85,8 Miliar Rupiah, Terdiri dari Pendanaan Ekuitas dan Debt

Startup pengembang platform social commerce RateS telah mendapatkan pendanaan segar dengan total nilai $6 juta atau setara 85,8 miliar Rupiah. Putaran lanjutan ini terbagi ke dalam dua bentuk, yakni $4,5 juta untuk pendanaan ekuitas dan $1,5 juta untuk pendanaan debt.

KVision dari Kasikon Bank bergabung menjadi investor baru. Sementara pendana sebelumnya yakni Vertex Ventures, Insignia Ventures Partners, dan Genesis Ventures juga terlibat di dalamnya.

Kepada DailySocial.id, Co-Founder & CSO RateS Albert Ho mengatakan, dana segar ini akan dilanjutkan dengan penggalangan dana seri B yang ditargetkan bisa ditutup tahun ini. Dengan bergabungnya Kasikorn Bank, RateS juga tertarik untuk menjajaki produk pembiayaan baru untuk mitra reseller dan pengguna akhir mereka.

“Kami akan memperluas kehadiran di kota tier-2 dan 3 lainnya, memperkuat tim pengembangan produk, dan investasi lebih besar ke bisnis private label kami, yakni Hozu dan Kidzu,” ujar Albert.

Sebelumnya RateS mengumumkan pendanaan seri A mereka pada Februari 2021 dengan nominal yang tidak disebutkan. Vertex Ventures dan Genesis Ventures memimpin pendanaan ini. Mereka membukukan pendanaan awal dari Alpha JWC Ventures dan Insignia Ventures Partners sejak tahun 2018 lalu.

“2021 adalah tahun pertumbuhan yang luar biasa bagi kami, dengan peningkatan 4x lipat sejak tahun 2020. Saat ini, kami juga memiliki tim offline yang hadir di 25 kota, sambil melakukan pengiriman ke lebih dari 300 kota. Putaran [dana] perpanjangan ini merupakan bukti keyakinan investor atas pertumbuhan kami,” imbuh Albert.

Pertumbuhan social commerce di Indonesia

Lewat aplikasi RateS, siapa saja bisa berjualan (menjadi reseller) tanpa harus membeli stok barang terlebih dulu. Pengguna bisa membuat sebuah lapak online berisi berbagai produk sesuai yang ada di katalog RateS, selanjutnya mempromosikannya melalui kanal online dan offline yang dimiliki. Sebagai mitra, reseller akan mendapatkan harga beli khusus dan harga jual ke konsumen sehingga mendapatkan keuntungan.

Menurut proyeksi dari McKinsey, nilai GMV yang akan dihasilkan industri e-commerce di Indonesia akan mencapai $65 miliar pada 2022 mendatang. Social commerce sendiri memiliki dapat menyumbang sampai $25 miliar pada capaian tersebut.

Secara ekosistem, pemain social commerce lokal juga terus berdatangan dengan pendekatan yang unik. Namun satu hal yang nyaris sama, dilakukan semua platform, adalah menyasar kalangan pengguna di kota-kota kecil. Sementara pengguna di kota besar sudah terbiasa dengan e-commerce atau online marketplace, di daerah pinggiran masih banyak potensi yang belum terakomodasi dari dua layanan tersebut.

Salah satu hal yang dilakukan social commerce adalah menjembatani antara kebutuhan masyarakat untuk berbelanja online namun belum memiliki kemampuan atau akses [misalnya ke sistem pembayaran] untuk melakukannya sendiri. Peran reseller untuk membantu proses tersebut.

Sejumlah pemain yang mengaplikasikan model bisnis social commerce adalah Evermos, Raena, Dagangan, Kitabeli, dan lain-lain.

Application Information Will Show Up Here

[Video] Memilih Startup dan Potensinya dari Kacamata Vertex Ventures

DailySocial bersama Dhia Izza Nabila dari Vertex Ventures berbagi cerita tentang bagaimana perusahaannya melihat startup yang pas untuk menjadi partner dan potensinya dalam menerima sokongan dana investasi.

Untuk video menarik lainnya seputar startup dan teknologi, kunjungi kanal Youtube DailySocialTV.

Aruna Umumkan Pendanaan Seri A 507 Miliar Rupiah

Startup aquatech Aruna mengumumkan telah mengumpulkan pendanaan seri A senilai $35 juta atau setara 507 miliar Rupiah. Putaran ini dipimpin oleh Prosus Ventures dan East Ventures dengan partisipasi SIG serta investor sebelumnya seperti AC Ventures, MDI Ventures, Vertex Ventures, dan beberapa investor lainnya.

Pendanaan ini diklaim menjadi seri A terbesar di Indonesia saat ini, khususnya di sektor pertanian dan perikanan.

Sebelumnya tahun 2020 lalu Aruna membukukan tambahan untuk pendanaan awal senilai $5,5 juta dari East Ventures, AC Ventures, dan SMDV.

Selanjutnya dana segar akan difokuskan Aruna untuk meningkatkan ekspansinya di lingkup nasional dan memperkuat infrastruktur rantai pasoknya. Selain itu mereka ingin membuka pasar baru dengan menambah varian komoditas, serta meningkatkan kapabilitas teknologi dan data analisisnya.

“Pendanaan ini akan membantu kami dalam meningkatkan jaringan nelayan dan penambak kami di seluruh Indonesia dalam memenuhi tingginya permintaan global. Aruna bercita-cita untuk menjadi solusi yang nyata dalam meningkatkan taraf hidup masyarakat pesisir,” ujar Co-Founder & CEO Aruna Farid Naufal Aslam.

Bersamaan dengan ini, perusahaan juga menunjuk Budiman Goh sebagai President; dan salah satu co-founder mereka Utari Octavianty sebagai Chief Sustainability Officer.

“Aruna akan terus mengombinasikan kapabilitas teknologinya dengan local insights dan juga studi kasus dari pasar global, sembari menjaga ekosistem, memberdayakan masyarakat pesisir dan memenuhi permintaan dari pasar global,” imbuh Utari.

Seperti diketahui, Aruna didirikan sejak tahun 2016. Selain Farid dan Utari, ada juga Indraka Fadhlillah sebagai co-founder. Lewat teknologi mereka ingin mentransformasi rantai pasok perikanan untuk memenuhi pasar global. Diharapkan digitalisasi dapat memperpendek proses dan membuat prosesnya lebih ringkas plus terintegrasi.

Potensi sektor perikanan

Indonesia saat ini menjadi produsen ikan kedua terbesar di dunia dengan ukuran pasar mencapai $30 miliar. Industri ini juga menyerap tenaga kerja yang cukup signifikan, terdaftar lebih dari 3 juta nelayan.

Berdasarkan data BPS, produksi perikanan di Indonesia memiliki kecenderungan meningkat dari tahun ke tahun. Sejak 2014 peningkatannya bahkan di atas 20%. Luas kawasan konservasi pun terus meningkat, data terakhir per tahun 2017 ada sekitar 19,14 juta hektar.

Tidak hanya dikonsumsi di dalam negeri, produk ikan juga menjadi salah satu komoditas ekspor yang menjanjikan. Sejak tahun 2012, pasar Amerika Serikat, Jepang, dan Tiongkok menjadi tujuan ekspor yang terus digenjot.

Statistik industri perikanan nasional / Kementerian Kelautan dan Perikanan

Hadirnya Aruna dan startup perikanan lainnya memang menjadi angin segar bagi industri ini. Selain dalam hal produksi dan distribusi, idealnya efisiensi proses bisnis juga bisa meningkatkan taraf hidup masyarakat di bidang perikanan. Sejauh ini ada beberapa startup perikanan yang terus meningkatkan inovasinya, termasuk eFishery, Jala, hingga Danalaut dengan pendekatan bisnis dan produk yang berbeda-beda.

Gredu Announces 58 Billion Rupiah Series A Funding Led by Intudo Ventures

The SaaS platform developer for education, GREDU, announced a series A funding worth of $4 million or equivalent to IDR 58 billion. The round was led by Intudo Ventures with the participation of previous investor Vertex Ventures. Funds will be focused on market expansion, product development, and talent recruitment.

Based on the statistics, GREDU is currently partnering with 400 schools, providing around 400 thousand users. Previously, they focused more on the K-12 level (SD to SMA), however, with more mature products, GREDU also serves digitization at universities and pre-schools (PAUD, TK).

The fact is that new school digitization services are optimally utilized by schools in big cities. GREDU admits that its user base still centralized on the Greater Jakarta area. The expansion plan will be intensified, in order to acquire new users from schools in various cities in Indonesia.

“In these challenging times, digitization is required for schools across Indonesia. With this financing round, we plan to increase our product and reach, reduce friction and ease the digitization process […] We are confident in the market and growth digitalization in the education sector and want to expand the business nationally and regionally until next year,” GREDU’s Co-Founder & CEO, Rizky Anies said.

The GREDU application ecosystem consists of four main services, the School Management System for administrative officers; GREDU Teacher to accommodate teachers for teaching and learning administration activities; GREDU Parent to help parents see their child’s performance; and GREDU Student to make it easier for students to get access to learning channels and results.

“Working with the community and school administrators, GREDU provides innovative solutions specifically designed to improve the quality, transparency and effectiveness of Indonesia’s education system. We are proud to support GREDU at this critical time as they help more schools digitize their operations and create a positive impact for students throughout Indonesia,” Intudo Ventures’ Founding Partner, Patrick Yip said.

Meanwhile, Vertex Ventures’ Managing Partner, Joo Hock Chua said, “The pandemic has accelerated the need for digitalization and transformation in the education industry. We believe that GREDU, with its holistic approach to serving all stakeholders and the school value chain, is in a great position to capitalize on this change. This also helps improve the quality of education in Indonesia.”

SaaS services are indeed a variant of the educational technology ecosystem. In Indonesia, apart from GREDU, there are several other startups that also sell SaaS services for schools with its respective value propositions. These startups include AIMSIS, EdConnect, SmartSchool InfraDigital, Sikad, and Quintal.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

GREDU Umumkan Pendanaan Seri A 58 Miliar Rupiah, Dipimpin Intudo Ventures

Pengembang platform SaaS untuk pendidikan GREDU mengumumkan telah mendapatkan pendanaan seri A senilai $4 juta atau setara 58 miliar Rupiah. Putaran ini dipimpin oleh Intudo Ventures dengan partisipasi investor sebelumnya Vertex Ventures. Dana akan difokuskan untuk ekspansi pasar, pengembangan produk, dan perekrutan talenta.

Berdasarkan statistik yang disampaikan, GREDU saat ini sudah bermitra dengan 400 sekolah, merangkul sekitar 400 ribu pengguna. Sebelumnya mereka lebih banyak fokus untuk tingkat K-12 (SD s/d SMA), namun saat ini dengan produk yang makin matang GREDU juga melayani digitalisasi di universitas dan pre-school (PAUD, TK).

Tidak dimungkiri, bahwa layanan digitalisasi sekolah baru optimal dimanfaatkan oleh sekolah-sekolah di kota besar. GREDU pun mengakui bahwa basis penggunanya masih banyak terfokus di kawasan Jabodetabek. Rencana ekspansi akan digencarkan, demi mengakuisisi pengguna baru dari sekolah-sekolah di berbagai kota di Indonesia.

“Di masa yang penuh tantangan ini, digitalisasi sudah menjadi kebutuhan bagi sekolah-sekolah di seluruh Indonesia. Dengan putaran pembiayaan ini, kami berencana untuk meningkatkan produk dan jangkauan, mengurangi friksi dan memudahkan proses digitalisasi […] Kami yakin dengan pasar dan pertumbuhan digitalisasi di sektor pendidikan dan ingin memperluas bisnis secara nasional dan regional hingga tahun depan,” ujar Co-Founder & CEO GREDU Rizky Anies.

Ekosistem aplikasi GREDU terdiri dari empat layanan utama, yakni School Management System untuk petugas administrasi; GREDU Teacher untuk memudahkan guru untuk melakukan aktivitas pengajaran dan administrasi pembelajaran; GREDU Parent untuk membantu orang tua melihat kinerja anaknya; dan GREDU Student untuk memudahkan siswa mendapatkan akses ke kanal pembelajaran dan hasil belajar.

“Bekerja dengan civitas dan administrator sekolah, GREDU memberikan solusi inovatif yang dirancang khusus untuk meningkatkan kualitas, transparansi, dan efektivitas sistem pendidikan Indonesia. Kami bangga mendukung GREDU di saat kritis ini karena mereka membantu lebih banyak sekolah mendigitalkan operasi mereka dan menciptakan dampak positif bagi siswa di seluruh Indonesia,” sambut Founding Partner Intudo Ventures Patrick Yip.

Sementara itu Joo Hock Chua selaku Managing Partner Vertex Ventures berujar, “Pandemi telah mempercepat kebutuhan digitalisasi dan transformasi di industri pendidikan. Kami percaya bahwa GREDU, dengan pendekatan holistiknya untuk melayani semua pemangku kepentingan dan rantai nilai sekolah, berada dalam posisi yang bagus untuk memanfaatkan perubahan ini serta membantu meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.”

Layanan SaaS memang menjadi salah satu varian dari ekosistem teknologi edukasi. Di Indonesia, selain GREDU ada beberapa startup lain yang juga menjajakan layanan SaaS untuk sekolah, tentu dengan proposisi nilai masing-masing. Startup tersebut termasuk AIMSIS, EdConnect, InfraDigital SekolahPintar, Sikad, dan Quintal.

RateS Announces Series A Funding Led by Vertex Ventures and Genesis Alternative Ventures

The social commerce platform RateS today (22/2) announced Series A funding with an undisclosed value. Vertex Ventures and Genesis Alternative Ventures lead this funding. Previously, the Singapore-based startup had secured seed funding from Alpha JWC Ventures and Insignia Ventures Partners in 2018.

Fresh funds will be focused on developing RateS‘s business in Indonesia, including market penetration to tier 2 and 3 cities. The objective is to increase the number of resellers, which currently reached up around 500 thousand people.

“The benchmark for RateS ‘success lies in how much we can help increase reseller revenue and business [..] Our shared vision is to revolutionize social commerce through technology, create digital entrepreneurs, and increase digital literacy for people to run the business smoothly and more. profitable,” RateS’ Co-Founder & CEO, Jake Goh said.

Simply put, with the RateS application, people can start selling (becoming resellers) without having to buy goods beforehand. Users can set up their own stalls and select items to sell from the list available in the application. They will get special prices, which are then sold to consumers at market prices. Users focus on promotion and selling, while packaging, shipping and payment infrastructure are all managed by RateS.

“We see that the e-commerce market in Southeast Asia has developed into a competition for profit. On the other hand, RateS has discovered an effective way of entering cities in tier 2 and 3 in Indonesia, which can not only save costs, will but more importantly it has huge and untapped market potential. With the pandemic that threatened the livelihoods of many people, we are delighted that RateS has been and will continue to be a useful platform to empower those in need,” Vertex Ventures SEA’s Managing Partner, Chua Joo Hock said.

Perbandingan Social Commerce dan E-commerce
Comparison of Social commerce and e-commerce

In Indonesia, there are several social commerce services that strives to win the market with their own unique values. For example, Halosis, they focused on sales channels in the messaging application at the beginning of their debut, for this reason, a chatbot was introduced into the application to facilitate the transaction conversion process.

Woobiz also runs a similar business model, by emphasizing the aspects of empowering women in the regions. In addition, there are several other applications such as Jamanow, BorongBareng, Taptalk.io, and Super which also make it easier for resellers to restock.

The McKinsey report states, social commerce is expected to grow into a business sector valued at up to $25 billion by 2022. RateS seeks to maximize this potential. From the internal data collection, their service coverage has reached 400 cities/regencies by 2020.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

RateS Umumkan Pendanaan Seri A, Dipimpin Vertex Ventures dan Genesis Alternative Ventures

Platform social commerce RateS hari ini (22/2) mengumumkan perolehan pendanaan seri A dengan nominal yang tidak disebutkan. Vertex Ventures dan Genesis Alternative Ventures memimpin pendanaan ini. Sebelumnya startup asal Singapura tersebut telah membukukan pendanaan awal dari Alpha JWC Ventures dan Insignia Ventures Partners sejak tahun 2018 lalu.

Dana segar akan difokuskan untuk memperkuat bisnis RateS di Indonesia, termasuk melakukan penetrasi pasar ke kota-kota tier-2 dan 3. Pendekatannya dengan memperbanyak reseller yang saat ini jumlahnya sudah sekitar 500 ribu orang.

“Tolok ukur kesuksesan RateS terletak pada seberapa banyak kami dapat membantu meningkatkan pendapatan dan bisnis dari reseller [..] Visi bersama kami adalah untuk merevolusi social commerce melalui teknologi, menciptakan wirausahawan digital, dan meningkatkan literasi digital bagi masyarakat untuk menjalankan bisnis dengan lancar dan lebih menguntungkan,” ujar Co-Founder & CEO RateS Jake Goh.

Sederhananya dengan aplikasi RateS, masyarakat bisa mulai berjualan (menjadi reseller) tanpa harus membeli barang terlebih dulu. Pengguna bisa mengatur lapaknya sendiri dan memilih item jualan dari daftar yang tersedia di aplikasi. Mereka akan mendapatkan harga khusus, untuk selanjutnya dijual ke konsumen dengan harga pasaran. Pengguna fokus pada promosi dan berjualan, sementara pengemasan, pengiriman, hingga infrastruktur pembayaran semua dikelola oleh RateS.

“Kami melihat pasar e-commerce di Asia Tenggara telah berkembang menjadi persaingan untuk mendapatkan keuntungan. Di sisi lain, RateS telah menemukan cara penetrasi yang efektif untuk memasuki kota-kota tier-2 dan 3 di Indonesia, yang tidak hanya dapat menghemat biaya, akan tetapi yang lebih penting memiliki potensi pasar yang besar dan belum dimanfaatkan. Dengan pandemi yang telah membuat mata pencaharian banyak orang menjadi rentan, kami senang RateS telah dan akan terus bermanfaat sebagai platform yang hadir untuk memberdayakan mereka yang membutuhkan,” sambut Managing Partner Vertex Ventures SEA Chua Joo Hock.

Perbandingan Social Commerce dan E-commerce
Perbandingan Social Commerce dan E-commerce

Di Indonesia sendiri sudah ada beberapa layanan social commerce yang coba memenangkan pasar dengan unique value-nya masing-masing. Misalnya ada Halosis, di awal debutnya mereka memfokuskan pada kanal penjualan di aplikasi pesan, untuk itu dihadirkan chatbot ke dalam aplikasi guna memudahkan proses konversi transaksi.

Woobiz juga mengusung model bisnis serupa, dengan menekankan pada aspek pemberdayaan perempuan di daerah. Selain itu ada beberapa aplikasi lainnya seperti Jamanow, BorongBareng, Taptalk.io, sampai Super yang juga mudahkan para reseller dapatkan barang dagangan.

Laporan McKinsey menyebutkan, social commerce diperkirakan akan tumbuh menjadi sektor usaha bernilai hingga $25 miliar di tahun 2022 mendatang. Potensi ini coba dimaksimalkan betul oleh RateS, dari data internal yang disampaikan, per tahun 2020 jangkauan layanan mereka sudah mencapai ke 400 kota/kabupaten.

Application Information Will Show Up Here

Layanan Paylater Asal Singapura “Pace” Mengudara, Mulai Melirik Pasar Indonesia

Sebuah startup fintech baru Pace Enterprise meluncur di Singapura. Didirikan oleh Turochas “T” Fuad yang juga dikenal sebagai pendiri Spacemob [diakuisisi oleh WeWork pada tahun 2017], startup ini menawarkan paylater yang bertujuan untuk menghadirkan akses dan inklusi keuangan pada segmen yang kurang terlayani di wilayah Asia Pasifik.

DailySocial mewawancara pihak Pace terkait peluncuran layanan ini, mereka menyinggung tentang industri BNPL (buy-now-pay-later) yang masih sangat baru di Asia Tenggara namun optimis bahwa ini hanya masalah waktu sebelum paylater mendominasi sebagai metode pembayaran. Hal ini didorong oleh keinginan konsumen untuk memiliki kendali lebih besar atas pengeluaran mereka.

Dikutip dari e27, “Alasan kami meluncurkan Pace –dan tujuan jangka panjang kami– adalah untuk menciptakan platform fintech digital yang lebih luas dan lebih inklusif yang memberdayakan populasi yang kurang terlayani. Untuk mencapai hal ini, BNPL adalah langkah pertama yang tepat yang secara fleksibel dan mulus memperluas batas pembelian pelanggan sambil memberi pedagang akses ke alternatif pembiayaan dan segmen pelanggan yang sama sekali baru,” ujar Founder & CEO Pace T. Fuad.

Layanan ini telah berhasil mengumpulkan pendanaan tahap awal dengan nilai yang disebut “high seven-figure” atau sekitar $6 juta hingga $9 juta yang dipimpin oleh Vertex Ventures dan Alpha JWC Ventures. Dana ini akan digunakan untuk mengembangkan platformnya lebih baik dan menawarkan layanan dan solusi progresif kepada konsumen dan pedagang.

Model bisnis

Pace mulai bergulir pada November 2020, menggunakan algoritma pembuatan profil keuangan. Platform ini akan mencocokkan profil pelanggan dengan batas pengeluaran paling sesuai yang memungkinkan mereka membagi pembelian menjadi tiga cicilan tanpa bunga.

Perusahaan juga mengklaim telah dengan cepat menambahkan lebih dari 300 titik penjualan dari lebih dari 200 mitra pedagang, termasuk Goldheart, OSIM, Sincere Watch, Carousell, Reebonz, dan FJ Benjamin.

BNPL dipercaya sebagai salah satu solusi yang bisa diimplementasi oleh berbagai kalangan, karena memberikan cara bagi bisnis untuk meningkatkan pendapatan dengan menjangkau audiens baru di semua industri.

Di Indonesia sendiri, sudah ada beberapa perusahaan fintech yang menyediakan layanan paylater. Implementasinya muncul di banyak aplikasi, mulai dari dompet digital, pemesanan tiket, sampai yang paling populer di platform e-commerce dan/atau online marketplace.

Pihaknya menambahkan “Kami juga percaya bahwa budaya unik setiap negara akan mendorong perbedaan penggunaan BNPL di antara berbagai sektor. Meskipun demikian, kami telah melihat banyak daya tarik dalam kategori layanan, fesyen, dan olahraga & kebugaran yang semuanya pasti akan terus tumbuh seiring popularitas BNPL di antara konsumen.”

Target ke depan

Berdasarkan studi dari Coherent Market Insights, pasar paylater global diperkirakan akan tumbuh dari US$5 miliar pada 2019, menjadi $33.6 miliar pada 2027, dengan tingkat pertumbuhan tahunan rata-rata (CAGR) lebih dari 21.2%.

Pihaknya turut menyatakan bahwa selain layanan BNPL, Pace juga berencana mengembangkan seluruh rangkaian solusi fintech yang akan membantu bisnis dan konsumen. Perusahaan menargetkan untuk menjangkau 5000 mitra pedagang pada akhir 2021 melalui ekspansi geografisnya ke Asia Utara dan seluruh Asia Tenggara.

Saat ini Pace telah tersedia di Malaysia, Thailand, dan Hongkong. Namun, tidak menutup kemungkinan mereka akan melebarkan sayapnya ke Indonesia, mengingat keterlibatan Alpha JWC dalam putaran awalnya.

“Kami sangat percaya pada Indonesia dan potensi dampak yang dapat kami sumbangkan di sana. Kami memiliki ambisi untuk menjadi pemain global suatu hari nanti, tetapi kami tahu bahwa kami harus ultra lokal (dari produk hingga layanan) ketika kami memasuki setiap pasar. Kami melakukan yang terbaik untuk berkembang dengan cepat dan kami akan berusaha sekuat tenaga untuk sampai ke Indonesia secepat mungkin,” ujar representatif Pace.

Seperti kebanyakan produk fintech, pangsa pasar akan selalu berubah-ubah, dengan peluang bagi pemain baru dan inovasi baru yang bermunculan. Pihaknya menambahkan, “Yang penting bagi kami adalah bahwa produk dan penawaran kami dikembangkan dengan mempertimbangkan pengeluaran yang berkelanjutan. Kami percaya itu adalah kunci untuk mencapai inklusi keuangan dan aksesibilitas bagi semua orang.”

Gambar Header: Depositphotos.com

Application Information Will Show Up Here

Mendukung Pertumbuhan Startup Bioteknologi dan “Life Science” Indonesia

Salah satu sektor yang masih sangat niche di Indonesia adalah sektor biotech (bioteknologi) dan life science. Dengan aturan yang begitu kompleks, tidak banyak pemain baru yang ingin masuk ke sektor ini. Angin segar hadir ketika selama setahun terakhir mulai hadir startup-startup yang mendapat dukungan investor untuk mencoba memberikan warna baru. Sebut saja startup seperti Nusantics, Nalagenetics, dan Sensing Self.

DailySocial mencoba memahami seperti apa peluang, tantangan, dan masa depan startup bioteknologi dan life science saat ini. Lebih jauh, bagaimana dukungan investor menyikapi dan menangkap peluang yang ada.

Pasar yang “niche”

Tim Nalagenetics
Tim Nalagenetics

Bagi Nalagenetics, salah satu portofolio East Ventures, menjadi tantangan tersendiri untuk mulai mengembangkan bisnis di Indonesia. Startup yang didirikan oleh Jianjun Liu, Astrid Irwanto, Alexander Lezhava, dan Levana Sani ini hadir menyediakan layanan tes genetik berbiaya murah yang disesuaikan pasar Asia. Penetrasi bisnisnya dimulai di Singapura dan Indonesia.

Co-founder Nalagenetics Levana Sani mengungkapkan, salah satu kendala mengapa startup seperti Nalagenetics kesulitan memperkenalkan produknya ke target pasar adalah kurangnya pengetahuan terkait tes genetik. Proses yang bisa membantu orang banyak beradaptasi dengan obat-obatan yang mereka konsumsi sudah cukup familiar di pasar Amerika Serikat dan Singapura. Untuk Indonesia, kebanyakan belum memahami lebih jauh.

“Karena hal tersebut terkadang menyulitkan kami untuk melakukan pendekatan ke pihak rumah sakit dan pemerintah. Meskipun para dokter kebanyakan sudah mengetahui layanan yang kami sediakan, tapi sebagian besar pihak terkait belum mengenal lebih jauh,” kata Levana.

Saat ini Nalagenetics telah mendapatkan hibah dan menjalin kerja sama dengan berbagai institusi terkait di Indonesia, termasuk FKUI, RSCM, dan Litbangkes. Sementara di Singapura, perusahaan juga telah berkolaborasi dengan NUHS, NNI, GIS. Dukungan yang diterima dari investor membantu perusahaan untuk tumbuh dan berkembang lebih baik lagi.

“Menurut saya, sektor ini masih sangat baru, tetapi lebih banyak dikembangkan di beberapa bidang seperti pertanian. Tingkat implementasi juga bervariasi tergantung pada kompleksitas teknologi yang terlibat. Kebanyakan permintaan yang ada datang dari industri swasta, bukan dari kalangan umum atau arahan pemerintah,” kata Levana.

Tim Nusantics
Tim Nusantics

Menurut CEO Nusantics Sharlini Eriza Putri, meskipun dukungan yang diberikan tidak terlalu besar jumlahnya, namun perhatian investor dan pemerintah telah membantu Nusantics mengembangkan bisnis. Sebagai startup berbasis teknologi, Nusantics fokus pada pengembangan dan penerapan berbagai riset genomika dan mikrobioma untuk memenuhi gaya hidup sehat dan berkelanjutan. Nusantics juga merupakan portofolio East Ventures.

“Menurut saya, pertumbuhan startup biotech dan life science seperti Nusantics dan lainnya masih dalam tahap awal. Potensi yang ditawarkan cukup besar, namun kebanyakan masih kurang dipahami karena istilahnya yang masih sangat asing, sehingga seseorang harus memulai dari suatu tempat dan terus berkontribusi dalam membangun momentum.”

Pandemi mendorong akselerasi

Pandemi telah mengubah semua kebiasaan dan kehidupan masyarakat Indonesia. Hal ini menjadi momentum baik bagi startup seperti Nusantics dan Nalagenetics. Bagi mereka, kondisi pandemi menjadi ideal untuk melakukan uji coba dan mempercepat akselerasi, sekaligus ajang pembuktian bahwa teknologi yang mereka tawarkan sangat relevan.

“Pandemi telah meningkatkan kesadaran di kalangan masyarakat yang cukup besar akan pengujian genetik di rumah,” kata Levana.

Hal senada diungkapkan Sharlini. Meskipun pandemi mempengaruhi bisnis mereka secara negatif, terutama layanan pemeriksaan mikrobioma kulit, di sisi lain perusahaan melihat pandemi juga telah memberikan dampak yang positif ke pipeline bisnis baru, yaitu produk lokal komersial pertama untuk COVID-19 PCR Test Kit.

Bulan April lalu produk serupa juga diluncurkan Sensing Self. Sebagai alat tes mandiri untuk Covid-19, alat tes ini diklaim memberikan hasil deteksi yang cepat dan akurat karena menggunakan analisis enzim. Memungkinkan setiap orang melakukan pengetesan di rumah masing-masing, dalam waktu 10 menit, dan harga terjangkau (Rp160 ribu per unit).

“Kehadiran alat tes mandiri ini dapat membantu pemerintah untuk menyediakan akses tes yang lebih aman, praktis, dan terjangkau. Ketika terdapat pasien positif, mereka dapat langsung melakukan isolasi mandiri ataupun mendapatkan perawatan di rumah sakit,” kata Co-Founder Sensing Self Santo Purnama.

Startup yang berbasis di Singapura ini, didirikan Santo dan Shripal Gandhi. Mereka berdua menempatkan Sensing Self sebagai perusahaan yang fokus menciptakan alat tes kesehatan mandiri, agar setiap orang dapat mendeteksi kesehatannya sendiri dan mendapatkan pengobatan di tahap sedini mungkin.

Dukungan investor

Menurut Tania Shanny Lestari dari OpenSpace Ventures, sektor ini masih dalam tahap pertumbuhan di Indonesia, karena proses penemuan obat membutuhkan banyak sumber daya dan kemampuan penelitian. Namun, dengan jumlah penduduk yang secara alami menjadi pasar potensial yang besar, startup bioteknologi Indonesia dapat mengambil peran lebih banyak dalam mengembangkan uji klinis bersama perusahaan-perusahaan farmasi (asing). Jalur kemitraan dengan perusahaan farmasi asing ini secara bertahap akan membangun kapabilitas bioteknologi Indonesia.

“Untuk memfasilitasi uji klinis, ketersediaan Rekam Medis Elektronik (EMR) yang terstruktur menjadi sangat penting. Ini adalah enabler yang akan memungkinkan perusahaan bioteknologi / life science memiliki kumpulan data yang lebih besar dan lebih komprehensif untuk dikerjakan. Ini bisa menjadi peluang langsung untuk bekerja di bidang teknologi kesehatan,” kata Tania.

Sebagai investor, Tania melihat peluang yang besar untuk menyasar bidang ini. Saat ini menjadi waktu yang tepat bagi startup Indonesia untuk membangun rekam medis digital health yang akan menjadi infrastruktur pengembangan bidang bioteknologi dan life science di Indonesia.

“Seperti yang kita saksikan dalam lima tahun terakhir, dua negara di Asia, yaitu Tiongkok dan Korea, telah muncul sebagai pemain global di bidang bioteknologi dan life science. Ini adalah sektor yang secara tradisional didominasi perusahaan AS, Eropa, dan Jepang dengan perusahaan global seperti Amgen, GSK, dan Takeda. Startup di sektor ini juga baru-baru ini menemukan jalannya untuk menjadi perusahaan yang terdaftar, seperti Vir Biotechnology, yang didukung oleh Softbank dan Gates Foundation,” kata Tania.

Sementara itu menurut Sr. Executive Director Vertex Ventures Gary Khoeng, ada beberapa alasan mengapa belum banyak investor yang tertarik untuk menanamkan modal kepada startup yang menyasar biotech dan life science, selain kompleks dan luasnya bidang ini.

Dibutuhkan investasi dalam jangka cukup lama untuk melakukan riset dan membuat produk yang diterima masyarakat.

“Pada akhirnya solusi dan penelitian bioteknologi biasanya memiliki waktu gestation yang sangat lama karena penelitian dan uji coba. Misalnya dengan pengobatan baru untuk penyakit yang menyebar luas atau mengembangkan vaksin baru. Berdasarkan pembayaran dan pendanaan yang ada, harus dipastikan perusahaan dapat bertahan dan juga memiliki rencana akhir yang jelas.”

Sebagai venture capital, Vertex Ventures melihat potensi yang besar untuk berinvestasi ke startup di kategori ini. Salah satu dukungan perusahaan adalah melalui Vertex Healthcare Fund yang fokus ke startup yang menawarkan solusi bioteknologi.

“Dana ini berasal dari Singapura tetapi telah dipindahkan ke Amerika Serikat karena fakta bahwa sebagian besar peluang bioteknologi ada di AS dibandingkan negara lainnya. Meskipun sektor ini cukup tertinggal dan berjalan lambat dibandingkan sektor lainnya, namun memiliki peluang besar yang belum dimanfaatkan oleh startup yang benar-benar memiliki semangat dan kemampuan untuk beroperasi di bidang ini,” kata Gary.