Mengungkit Pentingnya Kesehatan Mental Menurut Kacamata Gojek dan East Ventures

Bekerja di startup teknologi dituntut untuk selalu kreatif dan inovatif, bekerja dengan cepat, dan di saat yang bersamaan harus memikirkan bagaimana bisnis bisa tetap bertahan. Bila burnout, tidak bisa menyeimbangkan antara hidup dan kerja, lambat laun membahayakan bagi diri sendiri, keluarga, maupun perusahaan.

Gangguan kesehatan mental seringkali menjadi topik yang dihindari dan dianggap tabu untuk dibicarakan di kalangan penggiat startup. DailySocial pernah mengangkat topik ini dan mewawancarai sejumlah pekerja startup dan bagaimana work life balance itu harus selalu dijunjung tinggi.

Kali ini mengangkat kembali dengan perspektif dari founder dari startup unicorn dan investor. Pasalnya, di konferensi manapun, tidak ada ada yang mengangkat topik ini.

Setidaknya fakta inilah yang diakui oleh President Gojek Andre Soelistyo, saat menjadi pembicara di perayaan hari jadi East Ventures ke-10 yang dimoderatori oleh Managing Partner East Ventures Willson Cuaca.

“Isu mental health buat founder dalam kepemimpinannya di perusahaan ini tidak pernah ada yang di bahas di konferensi manapun. Padahal kita semua, investor, dan founder harus mulai memikirkan ini,” kata Andre, Senin (7/10).

Dia tidak menceritakan secara spesifik bagaimana dirinya mengatasi permasalahan ini. Namun dia mengaku hal demikian bisa menganggu kejiwaan founder bila tidak ditangani dengan serius.

Dari statistik yang ia kutip, founder itu punya kemungkinan dua kali lebih besar menderita depresi, tiga kali lebih besar untuk substance abuse disorder atau penyalahgunaan zat, dan statistik-statistik lainnya yang menghantui founder.

Kemungkinan buruk ini, menurutnya, sangat wajar terjadi karena founder itu dituntut untuk kreatif. Yang mana, orang kreatif itu punya tendensi sering kesepian. Ketika ada masalah, mereka selalu membebani pikiran tersebut ke diri sendiri ketimbang berbagi cerita ke orang lain, terlebih karyawannya.

“Ingin sekali mendorong bagaimana komunitas startup ini bisa berubah karena hal ini bisa dimulai dari komunitas. Orang terdekat founder itu adalah investor, sehingga perlu dilihat bagaimana investor menangani hal ini.”

Willson setuju, bahwa investor adalah orang terdekat bagi founder. Sejujurnya pekerjaan investor setelah menanamkan dana ke startup, adalah menerima keluh kesah para founder. Dia mengaku dirinya menghabiskan banyak waktu untuk hal yang satu ini.

“Bahkan ada founder kami yang berpikir untuk mau bunuh diri. Ini isu serius karena ketika investasi ke early stage di ekonomi digital, investor itu sebenarnya gak lihat ke ekonominya itu sendiri atau ke teknologi yang dipakai, justru ke orangnya.”

“Jadi filosofi kita adalah merawat orangnya [founder] karena kita berinvestasi ke people,” tambah Willson.

Bentuk komunikasi antar petinggi di Gojek

Selain membahas kesehatan mental, topik lainnya yang turut dibahas adalah bagaimana berkomunikasi dengan masing-masing founder yang membawahi vertikal unit bisnis dari Gojek.

Perlu diketahui, Gojek punya 20 vertikal bisnis dan anak-anak usaha yang sudah diakusisi. Masing-masing founder yang berasal dari startup berbeda dan dikumpulkan dalam satu perusahaan, pasti memiliki gaya kepemimpinan yang beragam.

Akan tetapi, hubungan antara masing-masing founder ini lebih pas disebut sebagai partnership-driven organization, bukan dinasti dengan menempatkan orang dengan posisi tertinggi.

“Aldi [Go-Pay], Ryu [Midtrans], Catherine, dan 20 strong leaders lainnya punya gaya kepemimpinan masing dan kemampuan yang baik dalam mengeksekusi. Mereka semua punya perspektif yang sama, jadi ketika kita fokus ke tujuan dan misi Gojek itu sendiri, ada banyak objektif yang muncul dan akhirnya menghasilkan sinergi satu sama lain.”

Dia mencontohkan, salah satu bentuk sinerginya adalah produk dari Gojek yang memiliki ongkos akuisisi konsumen terendah dari Go-Ride. Ketika mereka dikaitkan dengan produk Go-Food, ada potensi menjadikan mereka sebagai konsumen loyal.

Berikutnya, agar konsumen semakin mudah bertransaksi, disediakan sistem pembayaran dari Gopay. “Semuanya saling berhubungan sehingga konsumen jadi lebih sticky dengan layanan Gojek dan akhirnya banyak bertransaksi di tempat kita. Kira-kira seperti ini tujuannya.”

Sebagai catatan, Gojek tidak termasuk ke dalam portofolio di East Ventures. Ketika ditanya alasannya oleh Andre, Willson menjelaskan bahwa di 2011, dia sempat bertemu dengan Nadiem di Bali untuk menghadiri acara yang dihadiri oleh eks Menlu AS Hillary Clinton.

Namun Willson memutuskan untuk tidak berinvestasi di Gojek karena Gojek sudah dirintis, tapi Nadiem belum bekerja full time. Waktu itu Nadiem masih bekerja di Zalora sebagai Managing Director.

“Hipotesis kita sejak awal itu jelas hanya mau berinvestasi di founder yang bekerja full time. Itu saja alasannya.”

Kendati begitu, Willson mengaku tidak menyesal kehilangan calon unicorn, yang pada akhirnya memang menjadi unicorn di 2017. Menurut dia, investor harus tetap disiplin dengan hipotesis yang sudah dibuat dari awal. Bila tidak disiplin, justru investor akan rugi karena tidak bisa jeli menangkap potensi unicorn.

Missed one or two unicorn tidak apa, asal disiplin dengan hipotesis. Ada istilah tidak ada seorangpun yang bisa berinvestasi ke semua unicorn. Untuk itu, perlu bangun hipotesis dan disiplin menerapkannya, maka akhirnya kamu bisa mendapat banyak atau missed sedikit [kemungkinan menangkap calon unicorn],” pungkas dia.

Willson Cuaca to Invest a Lot More than Just Money in People Business

This article is a part of DailySocial’s Mastermind Series, featuring innovators and leaders in Indonesia’s tech industry sharing their stories and point of view.

As one of the most active investors in the VC industry, Willson Cuaca has invested a lot more than just money in the people business. He is the early believer of Indonesia and Southeast Asia digital economy.

Many people only associate him with the VC industry, while he’s expert at much larger field. Cuaca was born to be in the tech industry, he started young in the computer field and achieved many firsts during his early career. Who knows that he is a person with guts that can make it into the industry through a different approach.

Was founded in 2009, East Ventures managed to have 160 startup portfolios in hand and some are getting profitable. This year marked their 10th anniversary and more stories to come. He believes in the power of this nation and its population.

He talks about beliefs and the core value to run a business. DailySocial has translated the conversation into paragraphs below.

You are best known as one of the most active investors in the VC industry. When did you start?

Many people might think I only about VC industry, meanwhile, my early days was full of computer stuff and network thingy.

I began my academic year at Binus University in 1996, this was also the year when it becomes a university – from previously named STMIK. My school year is filled with other activities besides study. I became a course instructor at BNTRC before renamed into Binus Center. Amidst the tight schedule, I still find time to have fun playing games.

I always tried to be the first to learn everything. In my college years, I learned all about the local area network and find out about Linux which was actually the core to Android and iOS systems. Slackware was my favorite distribution. I tried to fathom the knowledge and become one of the first people to learn about Cisco equipment. I was the first Cisco Certified instructor in Indonesia to trained Cisco’s engineer to be CCNA certified and the founding team of Cisco Networking Academy in Indonesia.

In 2000, I graduate university then hired as the Head of Infrastructure in an agriculture company. My job requires me to manage national wide intra-network connectivity.

Why did you move to Singapore?

Actually, I get bored easily, I need to find something new to do. It was 2001 when I observed the trend in internet security and learned enough to be a specialist, supporting firms in Singapore.

Around 2006, web-app was getting hype and I was encouraged to create my own app named Foyage. It was before iPhone launched and Blackberry widely used. I was also part of the first iPhone developer in Singapore and a few first Blackberry developers in the region.

After Foyage, I also created Apps Foundry with the aim to develop technologies and applications. Our first breakthrough is Scoop – #1 digital magazine reader in Indonesia- which was later acquired by Kompas.

Tell me about the early days of East Ventures? How did you meet the partners?

My relation with Batara is all the way to 1993 when we’re still in high school. When I went to Jakarta, he left for college in Japan. While I struggle with Foyage, he also exited his own company named Mixi. The website debuted on the stock market in 2006 and valued billions dollar, it was before the term unicorn coined. We then re-group again to create East Ventures in 2009 with 2 other partners. Taiga Matsuyama, the other partner, was the first investor of Batara’s Mixi.

Foyage raised first money from Singapore government investment scheme in 2008. Not until then, I realized that Indonesia also has a huge opportunity in this industry. In 2009, we decided to form East Ventures.

We started Jakarta Ventures Night, inviting few investors from Japan and some local startups. In 2010, DailySocial’s Rama Mamuaya also presented in the event and William Tanuwijaya from Tokopedia, the first in our portfolio. Later on, we invest in Disdus and made our very first exit. We’re actually the first VC to have a complete cycle and that instantly boosted our confidence. It helped creating the flywheels effect.

To date, East Ventures has invested in 160 companies, mostly are the early-stage startups focuses on consumer internet, mobile, SaaS, media, retail education and much more. Recently, some are getting profitable as Indonesia’s digital economy hit the inflection point.

With so many portfolios in hand, how could you manage?

The key is to invest in people. Once you meet the right one and clicked, you trust them enough to run independently and to bring out the best result through this deal.

We need 3 point of alignment with entrepreneur.
1. vision, what kind of problems to solve, what’s the goal?
2. strategy, it’s how to work things out, how to get it done?
3. tactical, this is more like the execution.

East Ventures and the founding team must have a same vision. In fact, I don’t believe that investors could change their portfolios. We might advise strategy but it’s the people (founders) who know what’s best for their company.

You’ve created your own app, built your own VC, run the business. During your journey, have you faced any stumbling block?

Of course, there are ups and downs, but one thing I always believe is “things that don’t kill you make you stronger”.

I was so desperate that I couldn’t raise funds for Foyage, but I’m not the kind of person who stops and stares while the industry’s rapidly growing. We founded East Ventures in 2009, it was really hard to gain trust from people that time. We went some places, but no one believes except some Japanese innvestors, it was due to Batara’s credential. However, I think it’s the power of not giving up until it gets to the point where all the pieces put down together.

Early days of East Ventures, managing the whole portfolios alone

 

If no one believes in Indonesia’s digital industry, why would you?

Emotionally, It’s because I’m Indonesian. If not us, who else?

In terms of business, there are 30 million internet users in Indonesia. A huge size market, why wouldn’t anyone make a move? At that time, there’s only one problem. If we start now, when will we make it? This is where the leap of faith is necessary.

The thing is, Indonesia is capable of making something impossible happened. Instead of talking about American Dreams, why can’t we create the Indonesian Dream. We are too focused on the story of some people who create big things somewhere, why don’t we work things out and have people look at us. This kind of inferiority complex should have vanished from our mindset. We are a great nation with lots of people.

What makes you decide to invest in one?

There are three hypotheses on people;
1. integrity, a moral standard, you do the right thing when no one sees,
2. self-awareness, to know yourself and what you’re capable of,
3. paradox, having contradictive traits, which means adaptive.
These things cannot be learned instantly or faked.

Once I met these criteria in people, no need to think or waste time. That is why most of our good deals were closed within 28 hours after the first meeting. These consistently happened overtime with Tokopedia, Traveloka, Kudo, Shopback, Ruangguru, Sociolla, The Fit Company, Kedai Sayur, Bahasa.ai and many more. Also, we tried to create a healthy ecosystem in this VC. Therefore, I wouldn’t invest in competing businesses. We back our founders wholeheartedly.

In terms of academic background, how do you see people with the overseas title have an impact in the industry?

Casually, people who study overseas will have the privilege to gain insight from the global knowledge.  However, I don’t believe people who study overseas will always be more successful. In fact, I believe people should have global knowledge to know and what’s best for local execution.It is not always by studying abroad.

You survived many years in this industry. Do you have any specific support system?

Family is indeed the fundamental support that shapes your current self. I also believe that character was developed, not learned. That is why I find it hard to believe in the accelerator or mentoring concept that aims to turn someone into an entrepreneur.

The accelerator program, they might have done a very curated process to find talents, but in my concept, once a jewel, although it’s covered in dirt, is still a jewel. The potential was there from the very beginning and developed through times.

I believe in serendipity, that is why I put my focus on people. A Chronos and Chairos concept, everybody has their own timeline, and the moment we met, the decision was made, whether to involve or not at each other’s life.

If you really believe in Indonesia’s digital industry, why won’t you live in Indonesia?

In Singapore, we always get the best scenario, in terms of regulation and many more. While in Indonesia, everything is in the worst case, unexpected things often arose. I’d like to maintain my consciousness by having the contrast. The yin and yang, so to say. Therefore, My life could be more contrast and I have a clearer mind to identify the problem statement.

Also, Singapore is currently the hub in Southeast Asia.

After achieving many firsts in the computer and technology industry, also with East Ventures, what’s next?

This is also the question I always ask myself every day, What should I do next? How can I transfer my knowledge to my team, for they can do their own things, in their own style, and have their own investees.

I can’t have this role forever, that is why I have partners. I want to build East Ventures and make it institutional, raise the next generation team, and make sure it stays true to its mission, to be an Entrepreneurship Platform. Then, I will have time and space to think of something new again – or maybe I will do this forever. Let’s wait for the stars to align.

This year marked as East Venture's 10th year anniversary
This year marked as East Venture’s 10th year anniversary

If you have something to say about the industry, what would you say?

The industry currently has a much larger pie. Indonesia, with so many issues in the country, offers quite many opportunities. Thus, I think the VC industry will stay long here.

To me, the VC industry is all about people business, the technology is just a tool.

East Ventures Klaim Portofolionya Berkontribusi 255 Triliun Rupiah untuk Ekonomi Digital Indonesia

Data internal East Ventures mengklaim portofolio perusahaan telah berkontribusi hingga 45% atau senilai $18 miliar (hampir 255 triliun Rupiah) dari total ekonomi digital di Indonesia yang dinyatakan dalam laporan e-Conomy SEA 2019 sebesar $40 miliar.

Masih membandingkan dari laporan yang sama, GMV dari e-commerce Indonesia bernilai sekitar $20,9 miliar (Rp296 triliun). Portofolio East Ventures menunjukkan kontribusi lebih dari 50% dari total GMV e-commerce di Indonesia.

“Ada enam portofolio kami yang berkontribusi terhadap pencapaian GMV e-commerce dan semuanya hadir di sini,” ucap Co-Founder dan Managing Partner East Ventures Willson Cuaca saat merayakan hari jadi East Ventures yang ke-10, kemarin (7/10).

Enam startup yang ia maksud adalah Tokopedia, Sociolla, Shopback, Kudo, Warung Pintar, dan Sirclo.

Ia merinci lebih dalam, di laporan e-Conomy, total pelanggan e-commerce di Asia Tenggara mencapai 150 juta orang. Pihaknya mengklaim portofolionya telah melayani lebih dari 60% dari angka tersebut. Angka itu berasal dari pencapaian Tokopedia, sebagai kontributor utamanya.

Sektor lainnya yang turut di-highlight e-Conomy adalah OTA. East Ventures menyebut portofolio perusahaannya memegang 50% mayoritas GMV sebesar $10 miliar seperti yang disebut dalam laporan. Kontributornya tentu tak lain dari Traveloka.

Untuk GMV dari sektor ride hailing, East Ventures mencatat Grab berkontribusi separuhnya. Laporan e-Conomy SEA 2019 mencatat GMV dari ride hailing di Asia Tenggara mencapai $6 miliar. Bila melihat dari pengguna aktifnya, e-Conomy mencatat ada 40 juta orang secara keseluruhan, naik dibandingkan tahun 2015 sebanyak 8 juta orang.

Grab tidak termasuk ke dalam portofolio East Ventures. Namun, Grab tercatat sebagai perusahaan yang membeli portofolio dari EV, yakni Kudo. Gojek pun demikian, ada Loket yang sudah diakuisisi penuh. Kedua perwakilan turut datang dalam kesempatan ini. Tak lupa, Ovo juga ikut hadir.

“Data internal kami juga mengungkap portofolio kami telah berkontribusi sebanyak 26.286 tech talents dari 100 ribu orang yang diungkap oleh laporan e-Conomy di Asia Tenggara.”

Laporan ini turut menunjukkan bahwa total investasi untuk startup unicorn di Asia Tenggara adalah $24 miliar (Rp340 triliun), East Ventures menyebut bahwa 50% di antaranya datang dari portofolionya. Kontribusinya terhadap PDB Indonesia adalah 1,5%, berhasil memberdayakan 8,5 juta UMKM.

East Ventures berdiri sejak 2009 di Indonesia oleh Willson Cuaca, Batara Eto, dan Taiga Matsuyama. Dari 160 startup yang telah didanai, tercatat 30 startup di antaranya sudah exit. Kemudian dua startup yang lain menjadi unicorn.

Sebanyak 13 startup di dalam portofolio dinobatkan sebagai calon unicorn berikutnya. Mereka ialah Ruangguru, IDN Media, Moka, Sociolla, Warung Pintar, Xendit, Waresix, CoHive, 99.co, Fore, Mekari, Ralali, dan Shopback.

Sinyal Ruangguru sebagai unicorn

Kabar Ruangguru menjadi unicorn berikutnya memang sudah berhembus sejak tahun lalu. Namun belum terkonfirmasi hingga sekarang. Kemarin, Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara memberi sinyal tersebut kepada Belva di tengah-tengah speech-nya.

“Kami berharap ada unicorn lainnya pada akhir tahun ini. Hai Belva [Co-Founder & CEO Ruangguru],” ucap Rudiantara menyapa Belva yang turut hadir di acara East Ventures.

Rudiantara mengonfirmasi, sapaannya tersebut bukan berarti mengonfirmasi bahwa Ruangguru adalah unicorn berikutnya, melainkan sebatas sinyal mengingat peluangnya di sektor pendidikan terbilang lebih besar.

Alasannya, pemerintah punya anggaran Rp500 triliun untuk pengembangan pendidikan tahun depan. Sedangkan anggaran kesehatan sebesar Rp100 triliun.

“Kita ada empat unicorn, satu decacorn. Sudah lunas utang saya, bahkan saya berharap akhir tahun ada lagi [unicorn]. Saya enggak bilang perusahaannya tapi yang punya potensi besar itu ya di edutech.”

“Namun siapa startup yang menjadi unicorn bergantung kepada investor (venture capital),” sambungnya.

Empat unicorn yang ia maksud adalah Tokopedia, Bukalapak, Traveloka, dan Ovo. Satu decacorn adalah Gojek. Rudiantara mengaku Ovo sudah memberikan konfirmasinya secara langsung kepada dirinya.

Pada kesempatan yang sama, Belva mengaku perusahaan justru tengah menggalang pendanaan Seri C. Namun dia menolak untuk berkomentar apakah lewat pendanaan ini akan mengantarkannya ke status unicorn. “Doakan saja,” ucap Belva singkat.

Marketplace Sewa Barang Cumi Raih Pendanaan Tahap Awal dari East Ventures

Marketplace sewa barang Cumi (Cuma Minjem) mengumumkan perolehan pendanaan tahap awal dengan nominal tidak disebutkan dari East Ventures. Dana akan digunakan untuk mempercepat pertumbuhan pengguna, merekrut talenta, dan memperluas layanan di seluruh Indonesia.

Co-Founder dan CEO Cumi Christian Sugiono menjelaskan, Cumi hadir untuk menggarap potensi bisnis sharing economy yang nilainya diperkirakan tumbuh dari $15 miliar (sekitar Rp211 triliun) pada 2014 menjadi $235 miliar (sekitar Rp3.312 triliun) pada 2025.

Menurutnya, tren sharing economy telah mengubah kebiasaan generasi saat ini, dipengaruhi oleh media sosial dan akses informasi yang lebih mudah. “Cumi hadir untuk membantu para pengguna tersebut menggunakan berbagai barang tanpa perlu membelinya. Di sisi lain kami buka peluang bagi orang-orang yang telah memiliki barang untuk bisa meraih pendapatan tambahan,” katanya dalam keterangan resmi.

Cumi mengumpulkan para vendor dalam satu platform. Sebelum menyewakan barang, vendor dan penyewa harus diverifikasi identitasnya dengan mengisi nomor telepon, mengonfirmasi rekening bank, dan kartu identitas yang digunakan. Diharapkan metode ini, Cumi dapat menjamin semua barang dan layanan yang disewakan punya kualitas terbaik.

Sejauh ini, Cumi menyewakan barang dari 12 kategori, seperti otomotif, fesyen, wifi portabel, kamera, mainan, buku, perlengkapan kantor, dan perlengkapan elektronik. Totalnya ada 500 vendor terverifikasi yang tersebar di Jabodetabek, Surabaya, dan Bali. Pengguna terdaftar Cumi diklaim ada 5 ribu orang sejak dirilis resmi pada Mei tahun lalu.

Managing Partner East Ventures Willson Cuaca memberikan alasannya berinvestasi di Cumi. Menurutnya, startup ini ingin membenahi sistem penyewaan barang di Indonesia yang penuh masalah dengan menyediakan platform yang mudah digunakan oleh para vendor dan penyewa barang.

“Dipimpin oleh para founder yang berkualitas, East Ventures percaya bahwa tim ini dapat menjadi juara dan kami siap mendukung mereka dalam mentransformasi bisnis sharing economy tradisional di Indonesia.”

Sebelumnya Cumi telah menerima pendanaan dari empat angel investor, yaitu Danny Oei Wirianto, Antonny Liem, Reino Barack, dan Andrew Darwis dengan nominal yang tidak disebutkan.

East Ventures Bukukan Dana Investasi 1 Triliun Rupiah, Diprioritaskan untuk Pendanaan Startup Indonesia

East Ventures kemarin (21/8) mengumumkan penutupan dana investasi keenam mereka sejumlah $75 juta atau setara dengan 1 triliun Rupiah. Dana ini didukung oleh berbagai elemen, mulai dari kalangan individual (high net workth individuals) seperti Wan Xing (CEO Meituan-Dianping), Eduardo Saverin (Co-Founder Facebook), dan Kaling Li (Co-Founder Razer).

Selain itu pemberi dana juga datang dari kalangan institusi investasi mulai dari Pavilion Capital, Adams Street Partners dan Temasek. Beberapa perusahaan keluarga dari Indonesia juga tergabung dalam pendanaan ini, meliputi Sinarmas Group, Triputra Group dan Emtek Group.

Perolehan East Ventures meningkat 2,5x lipat dari yang ditargetkan, yakni $30 juta. Nantinya dana investasi yang diperoleh akan digunakan untuk meningkatkan dukungan kepada ekosistem startup di Asia Tenggara, khususnya di Indonesia. Trennya untuk diberikan dalam pendanaan tahap awal hingga seri A di berbagai sektor.

Kendati demikian ada vertikal baru yang akan menjadi fokus dengan dana investasi keenam ini, yakni inklusi UKM, new retail, fintech, berita dan media, healthtech, supply chain dan transformasi digital.

“Kami sebenarnya bisa menambah lebih banyak lagi, namun kami ingin mempertahankan disiplin tertentu di era euforia ini. Penting bagi ekosistem ini untuk mempertahankan kecepatan value creation agar dapat sesuai dengan valuation expectation. Dan hal ini akan berdampak pada performa dana investasi kami bagi para pemangku kepentingan, yaitu para pendiri startup, mitra bisnis, dan para investor (LP),” ujar Managing Partner East Ventures Willson Cuaca.

Salah satu “model bisnis” yang ditawarkan oleh venture capital kepada pemberi dana ialah melalui exit — bisa dalam bentuk akuisisi atau go-public. Menurut pihak East Ventures, kesuksesannya dengan 30 exit meningkatkan kepercayaan investor kepada mereka. Groupon, Kudo, Loket, Jurnal, Bridestory, dan Talenta adalah beberapa nama startup yang berhasil terakuisisi.

Waresix Terima Investasi Seri A Senilai 205 Miliar Rupiah dari EV Growth

Peta persaingan startup e-logistik di Indonesia makin memanas. Hari ini (5/7), Waresix mengumumkan perolehan investasi Seri A senilai Rp205 miliar rupiah ($14,5 juta) yang dipimpin oleh EV Growth. Turut berpartisipasi SMDV dan Jungle Ventures.

Pendanaan ini sepenuhnya akan dipakai untuk mengembangkan layanan transportasi darat, memperkuat jaringan gudang hingga ke kota tier dua, membangun R&D demi meningkatkan kemampuan data analisis perusahaan, dan merekrut lebih banyak anggota tim.

“Saat ini, Indonesia sedang mengalami pertumbuhan pesat dalam hal infrastruktur berkat kebijakan-kebijakan pemerintah. Pertumbuhan pesat ini juga akan membantu perluas jangkauan layanan Waresix,” terang Co-Founder dan CEO Waresix Andree Susanto dalam keterangan resmi.

Pendanaan yang diterima Waresix ini, hanya berselang delapan bulan dari pendanaan Pra Seri A yang diperoleh pada Oktober 2018 sebesar Rp23 miliar. Rentang waktu dari pendanaan tahap awal juga cukup singkat, Waresix mengumumkannya pada Februari 2018.

Indonesia menjadi salah satu negara dengan biaya logistik tertinggi di Asia. Dalam Logistics Performance Index 2018, Bank Dunia menemukan rasio antara biaya logistik dengan PDB masih tinggi di angka 24%.

Padahal kontribusi dari sektor ini hampir seperempat dari PDB Indonesia yang bernilai Rp14.500 triliun. Masih banyaknya isu logistik dan inovasi yang ada belum dianggap solutif, menyebabkan sektor ini makin menarik buat digarap oleh pemain startup.

Managing Partner East Ventures Willson Cuaca menamambahkan, “Singkatnya, semakin efisien logistik kita, maka semakin kompetitif produk kita. Ini hanyalah salah satu dari banyak contoh sederhana bagaimana logistik mempengaruhi ekonomi Indonesia. Tapi masih banyak hal yang perlu ditingkatkan.”

Waresix fokus menghadirkan teknologi yang menghubungkan pemilik bisnis atau pihak yang ingin mengirim barang dengan gudang dan truk yang tersedia di seluruh Indonesia. Semangat yang diusung adalah meningkatkan efisiensi distribusi dengan meningkatkan penggunaan aset dan menghilangkan peran pihak ketiga sebagai broker.

Perusahaan menyediakan layanan multi moda yang mencakup transportasi darat dan laut, penanganan kargo, penyimpanan dingin demi memenuhi pergerakan kargo antar pulau di Indonesia.

Co-Founder dan CFO Waresix Edwin menambahkan, Waresix menggabungkan data analisis ke dalam infrastruktur logistik sehingga memudahkan pemilik bisnis untuk mengawasi dan mengontrol penuh produk mereka. Serta, memaksimalkan pemanfaatan ruang penyimpanan milik supplier.

“Dengan begitu, Waresix bisa memastikan ketersediaan transportasi yang cepat dan dapat diandalkan, sekaligus menjaga rantai harga pasokan tetap rendah dan bisa diprediksi,” ujar Edwin.

Disebutkan Waresix kini telah menjangkau lebih dari 20 ribu truk dan 200 gudang sejak resmi beroperasi di 2017.

Sehari sebelumnya, pemain startup manajemen truk Ritase juga mengumumkan pendanaan Seri A sebesar $8,5 juta yang dipimpin Golden Gate Ventures.

Tren “New Retail” dan Pemberdayaan Pedagang Tradisional

Sejumlah stakeholder memprediksi new retail bakal menjadi the next big thing setelah e-commerce dan fintech di Indonesia. Prediksi ini sejalan dengan kemajuan internet dan perubahan gaya hidup masyarakat di era digital.

Co-founder & Managing Partner East Ventures Willson Cuaca memproyeksikan akan ada perubahan signifikan terjadi terhadap perkembangan new retail di Indonesia dalam tiga hingga lima tahun ke depan.

“Perubahan ini dipicu oleh kemajuan infrastruktur digital yang akan mendorong lebih banyak pelaku usaha dalam negeri membuat produk lokal untuk memenuhi kebutuhan lokal juga,” ungkapnya saat menjadi pembicara di sesi #SelasaStartup beberapa waktu lalu.

New retail merupakan sebuah konsep yang disampaikan pertama kali oleh Co-founder Alibaba, Jack Ma. Mengutip Forbes, Ma menyebutkan konsep ini merupakan ‘jelmaan’ baru dari industri e-commerce, tidak ada lagi batas antara layanan online dan offline.

Meleburnya batasan ini sejalan dengan tingginya fokus penyedia layanan dalam memenuhi kebutuhan personal dari konsumen. Selain itu, Ma menilai new retail menjadi fase krusial terhadap kebangkitan ritel fisik dan berkembangnya ritel yang perlahan mulai terdigitalisasi.

Di Indonesia, industri ritel bersaing dengan e-commerce. Peritel tradisional dituntut untuk menggabungkan teknologi untuk menarik konsumen. Teknologi dapat membantu meningkatkan pengalaman berbelanja secara digital di toko fisik. Apalagi konsumen kini menuntut pelayanan yang lebih personal.

Dalam wawancaranya dengan DailySocial, Willson menilai saat ini tren new retail di Indonesia dalam jangka pendek mulai bertumbuh. Sebagai contoh, startup Fore Coffee, yang juga dikembangkan East Ventures, menggunakan pendekatan digital dalam memasarkan produknya.

Dalam tiga bulan, Fore Coffee telah mengantongi unduhan aplikasi sebanyak 500 ribu dengan 40 outlet dalam tiga bulan. “Ini termasuk pencapaian yang sangat cepat. Dulu mungkin butuh dua sampai empat tahun untuk melakukan integrasi online dan offline seperti ini,” ungkap Willson.

Untuk mendorong new retail, Indonesia tidak harus sepenuhnya berkiblat ke Tiongkok, seperti Alibaba dan JD. Pasalnya, new retail di Tiongkok bukan lagi sebatas konsep. Di sana, industri ini sudah jauh lebih canggih berkat dukungan infrastruktur digital dan terintegrasinya penyedia produk dengan sistem, seperti payment gateway.

“Mereka sangat advance secara infrastruktur, dan penduduknya jauh lebih homogen dibandingkan kita. Kita tidak pakai kiblat, tetapi dengan pendekatan progresif-pragmatis,” ujarnya.

Warung Pintar menjadi model new retail di Indonesia

East Ventures tak hanya menjadi investor dan venture builder di Fore Coffee, tetapi juga Warung Pintar. Jika Fore Coffee memiliki layanan berbasis aplikasi dan memiliki toko fisik, Warung Pintar merupakan warung yang mengakomodasi pembayaran berbasis digital.

Ia menilai konsep new retail dapat memberdayakan usaha dan warung kecil di masa depan. Warung Pintar sebagai model new retail di Indonesia dinilai dapat mempercepat kesempatan berusaha bagi banyak orang, meningkatkan daya saing warung kecil dibanding peritel modern, dan inklusi teknologi dalam waktu singkat dan tepat sasaran.

Selain itu, menurutnya new retail juga dapat menciptakan sejumlah terobosan bagi para pelaku bisnis digital yang memiliki kemampuan teknologi, modal, dan keinginan untuk membantu rakyat kecil.

“Bayangkan sebanyak 1.200 pemilik warung jadi jago pakai perangkat mobile untuk mengurusi warungnya. Rakyat kecil tidak mungkin naik kelas kalau tidak dibantu.” paparnya.

Tentu untuk mendorong new retail sebagai sebuah bisnis baru, banyak PR yang perlu diselesaikan di Indonesia. Di antaranya, membangun infrastruktur fisik dan akses internet, meningkatkan kualitas produk, meningkatkan kapabilitas UKM, meningkatkan jumlah talenta lokal di bidangnya, serta membentuk regulasi untuk memayungi industri ini.

EV Growth “Oversubscribed”, Kumpulkan Dana 2,9 Triliun Rupiah

EV Growth, dana investasi untuk startup tahap lanjut Asia Tenggara, mengumumkan telah mengumpulkan dana Fund 1 sebesar $200 juta (hampir 2,9 triliun Rupiah), lebih besar dari target awal $150 juta. Termasuk dalam jajaran investor untuk dana kali ini adalah SoftBank Group Corp, Pavilion CapitaI, Indies Capital, dan investor regional lainnya.

Didirikan pada awal tahun 2018 lalu, EV Growth dikelola East Ventures, SMDV, dan Yahoo Japan (YJ) Capital untuk membantu startup yang membutuhkan dana tahap Seri B atau lebih lanjut (growth stage). Sejauh ini EV Growth telah menginvestasikan 40% dananya ke 12 startup, 90% di antaranya berasal dari Indonesia, termasuk Sociolla, Ruangguru, IDN Times, Moka, dan Warung Pintar.

Partner EV Growth Willson Cuaca mengatakan, “Kami mendirikan EV Growth untuk membantu para startup terbaik di Indonesia, termasuk namun tidak terbatas pada portofolio East Ventures. Waktu pendirian, besarnya dana investasi, dan kecepatan kami dalam mengeluarkan dana investasi, semuanya tepat, dan kami senang bisa mengundang dana investasi ‘pintar’ [smart money] selama masa penggalangan dana yang singkat ini. Kami percaya bahwa EV Growth akan memberikan pengaruh kepada ekonomi digital di Asia Tenggara dalam waktu yang cepat.”

Masuknya Softbank Group sebagai investor di dana ini menegaskan besarnya potensi startup di pasar Asia Tenggara ini. Sebelumnya Softbank telah berinvestasi di beberapa startup unicorn, seperti Tokopedia dan Grab.

“Bagi SMDV, kolaborasi ini menandai evolusi selanjutnya dari apa yang telah kami lakukan di sektor teknologi Asia Tenggara selama lima tahun terakhir. [..] Kami percaya bahwa kami telah memiliki sistem dan tim yang tepat untuk menghadapi peluang yang terus berkembang dalam pendanaan startup di tahap pertumbuhan (growth stage) di Asia Tenggara,” ujar Partner EV Growth Roderick Purwana.

Kedai Sayur Terima Pendanaan Senilai 18,7 Miliar Rupiah, Dipimpin oleh East Ventures

Kedai Sayur pengembang platform teknologi untuk memberdayakan tukang sayur keliling hari ini (27/5) mengumumkan telah mendapatkan pendanaan awal sebesar $1,3 juta atau setara 18,7 miliar Rupiah. Pendanaan ini dipimpin oleh East Ventures. Modal tambahan ini akan difokuskan untuk mempercepat perekrutan pedagang sayur sebagai mitra, sehingga layanan dapat mencakup wilayah yang lebih luas.

“Pedagang sayur keliling kemungkinan sudah ada sejak ratusan tahun lalu. Menariknya mereka masih bertahan hingga sekarang di lingkungan modern ini, bersanding dengan supermarket dan toko kelontong lainnya yang bertumbuh cepat. Meski demikian pedagang keliling merupakan cara ternyaman bagi konsumennya untuk mendapatkan kebutuhan harian,” ujar Managing Partner East Ventures Willson Cuaca.

Willson juga menambahkan bahwa keputusannya untuk berinvestasi di Kedai Sayur didasarkan pada dua hipotesis. Pertama adalah inklusi teknologi untuk pedagang. Dan yang kedua untuk meningkatkan rantai pasokan di Indonesia. Melalui pendekatan teknologi, East Ventures yakin dapat mengakselerasi dua tujuan besar tersebut.

Kedai Sayur didirikan pada tahun 2018 oleh Adrian Hernanto, Ahmad Supriyadi dan Rizki Novian. Misinya adalah untuk memberikan pedagang sayur produk dagangan berkualitas dengan harga terbaik di pasaran. Salah satunya dengan mengefisiensikan proses distribusi bahan sayuran tersebut dari petani ke pedagang.

Caranya Kedai Sayur bekerja sama dengan petani untuk pemilihan produk segar dan distribusi. Tukang sayur yang bergabung sebagai mitra dapat mengakses produk tersebut melalui aplikasi. Selanjutnya produk yang dipesan dapat diambil di Mitra Sayur pada titik drop-off terdekat. Mitra Sayur juga menawarkan kendaraan distribusi baru yang disebut “Si Komo”, pembiayaan dapat dibantu dengan pengajuan ke Kedai Sayur.

“Melalui jaringan kami yang luas dan penggunaan teknologi, kami percaya dapat memberdayakan pasar produk segar dan membuktikan bahwa penduduk ekonomi tingkat mana pun, termasuk tukang sayur, dapat merasakan manfaat dari inklusi teknologi. Kami percaya bahwa misi kami mampu meningkatkan kehidupan para tukang sayur dan membebaskan mereka dari jam kerja yang tidak teratur dan berbagai kesempatan mendapatkan penghasilan tambahan,” ujar Co-Founder & CEO Kedai Sayur Adrian Hernanto.

Saat ini Kedai Sayur sudah memiliki sekitar 2 ribu mitra yang bergabung di area Jakarta. Perusahaan mengklaim pertumbuhan mitra tiap bulan mencapai 60 persen. Adapun produk yang diakomodasi Kedai Sayur meliputi sayuran, lauk-pauk, bumbu, hingga buah-buahan.

Application Information Will Show Up Here

The SaaS Platform Developer for Supply Chain “Advotics” Receives Seed Funding of 39 Billion Rupiah Led by East Ventures

The SaaS platform developer for Offline-to-Online Analytics, today (5/14) announces seed funding led by East Ventures. Some investors are involved in this round, but there is no further detail. The amount has reached $2.7 million (around 39 billion Rupiah). It’s to be focused on developing technology and accelerating user growth.

The platform focuses on supply chain business players in making decision based on data. Most of them are still using offline method in managing and tracking sales and distribution. With loads of documents that must be managed manually, they only spend time for routines, not for something strategic.

“Clients can buy solutions that suits their issue, either comprehensive digitization or certain modules. Advotics also provides features on demand, such as productivity apps to monitor in-store employees with geographic tracking system, route and items distribution, offline-to-online marketing, B2B trading, and analytics and business intelligence dashboard for the management team,” Advotics’ Co-Founder & CTO, Hendi Chandi.

Advotics tries to digitize data related to labor, business networks, and the company’s physical asset and products. The main objective is to transform data from trading activities and offline work in field to be a useful data to help management team in making business decision, such as marketing penetration, productivity, and retail sales strategy.

One of Advotics breakthrough is to digitize products through unique identities, such as QR codes printed on product packaging. It’s to help the company track the product location from the first distributor to the consumer, and keep it against fraud.

“The Advotics team managed to solve the issue on supply chain monitoring in Indonesia. Their solution can help companies monitor the movement of labor and its items. The collected data point can be used to understand the heatmap of product distribution and make an efficient supply chain in Indonesia. We welcome the Advotics team to the B2B ecosystem in East Ventures,” East Ventures Managing Partner, Willson Cuaca said.

The Advotics management team consists of three engineers with various background, Boris Sanjaya is an industrial engineer with experience in consulting in Boston Consulting Group (BCG); Hendi Chandi as former software developer senior in Amazon, also a graduate from computer science in University of Washington Seattle; and Jeffry Tani which acquired Ph.D in engineer from MIT.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian