Xendit Kini Kuasai Hampir 15 Persen Saham Bank Sahabat Sampoerna [UPDATED]

Xendit mengumumkan investasi strategis di Bank Sahabat Sampoerna. Nantinya, Xendit akan menjadi mitra teknologi Bank Sampoerna untuk mengembangkan infrastruktur teknologi kelas dunia dan terus meningkatkan proses internal dan produk yang tersedia.

Dalam keterangan resmi, tidak disebutkan persentase saham Bank Sampoerna yang kini dimiliki Xendit. Namun menurut pemberitaan DailySocial.id sebelumnya, Xendit akan mengempit saham secara bertahap hingga 51% menjadi pemegang mayoritas.

Mengutip dari situs Bank Sampoerna, Xendit Pte. Ltd. menguasai 14,96% saham. Pemegang saham mayoritas, PT Sampoerna Investama terdilusi menjadi 64,24%. Kemudian, PT Cakrawala Mulia Prima (bagian dari Alfa Group) juga ikut tergerus menjadi 14,28%. Sisanya, dikuasai oleh Abakus Pte. Ltd. (2,55%), Sultan Agung Mulyani (2,49%), Ekadhamajanto Kasih (0,79%), dan Yan Peter Wangkar (0,69%).

Co-founder dan CEO Xendit Moses Lo menyampaikan kedua perusahaan akan terus berjalan secara independen, tanpa mengubah produk dan layanan yang ada. “Kami akan bekerja sama unutk menetapkan arah strategis jangka panjang,” ujar Lo dalam keterangan resmi, Rabu (22/4).

“Xendit dan Bank Sampoerna telah menjadi mitra sejak awal Xendit di Indonesia. Dengan investasi ini, Xendit bangga dapat mendukung Bank Sampoerna dalam mengembangkan infrastruktur digital Bank dan terus berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi digital bangsa.”

CEO Bank Sampoerna Ali Rukmijah turut menambahkan, “Kolaborasi telah menjadi titik sentral Bank Sampoerna dalam melayani bisnis mikro dan UKM. Dukungan dari Xendit tentunya akan meningkatkan kemampuan layanan kami. Peningkatan tersebut akan terlihat dari segi kapasitas layanan, cakupan, dan yang tidak kalah pentingnya, kualitas & inovasi.”

Bank Sampoerna adalah bank swasta Indonesia yang fokus pada bisnis mikro, UKM dan banking-as-a-service kepada bisnis berbasis teknologi. Selama bertahun-tahun, Bank Sampoerna terus berinovasi dan berinisiatif mengembangkan layanan transaksi perbankan yang inovatif dengan mengoptimalkan teknologi di berbagai produk dan layanan digital. Hal ini dilakukan melalui integrasi teknis dan berbagai format yang disediakan oleh bank.

Aplikasi Nex

Saat ini, Xendit tengah mengujicoba secara terbatas aplikasi bank digital Nex. Nex akan memanfaatkan kapabilitas perbankan milik Bank Sampoerna dan teknologi yang ditawarkan Xendit. Fitur awal yang ditawarkan adalah bunga tahunan 6% yang dibayar setiap hari untuk tabungan, bebas biaya admin dan transfer, dan kemudahan pengiriman dan penerimaan dana. Hal yang umum ditawarkan bank digital kekinian.

Aplikasi Nex dikelola tiga pihak, yakni PT Nex Teknologi Digital, PT Sumber Digital Teknologi (iluma.ai), PT Sinar Digital Terdepan (Xendit), dan afiliasi-afiliasinya. Iluma bertugas melakukan e-KYC dan pengecekan skoring kredit yang lebih seamless. Kemungkinan besar Iluma adalah bagian dari Xendit karena lokasi kantornya satu gedung dengan kantor pusat Xendit.

Kepada DailySocial.id, perwakilan Xendit memberikan pernyataannya. Mereka bilang, aplikasi Nex merupakan produk digital yang sedang berada dalam masa uji-coba terbatas dan saat ini hanya dipergunakan untuk kalangan internal, tanpa melibatkan Bank Sahabat Sampoerna.

“Aplikasi Nex sepenuhnya dikelola oleh PT Nex Teknologi Digital. PT Sumber Digital Teknologi (iluma.ai) maupun PT Sinar Digital Terdepan (Xendit) tidak terlibat dalam pengelolaan aplikasi ini,” tulis manajemen.

Akuisisi perusahaan pembiayaan

Sebelumnya, Xendit juga mengonfirmasi akan membeli saham perusahaan pembiayaan PT Global Multi Finance. Langkah ini terkait dengan rencana Global Multi Finance merger dengan PT Emaas Persada Finance.

“Yang saat ini diumumkan di media adalah rencana aksi korporasi dari Globalindo Multi Finance mengenai perubahan kepemilikan. Xendit group nantinya menjadi salah satu pemilik dari Globalindo Multi Finance,” ujar perwakilan perusahaan mengutip dari Katadata.

Tidak dirinci lebih lanjut terkait besaran saham yang akan diakuisisi Xendit nantinya. Sebab, dia bilang masih berlangsung proses administrasinya dan akan disampaikan ketika rampung. Dilanjutkan, masuknya ke perusahaan pembiayaan ini nantinya akan memberikan produk-produk pembiayaan sebagai nilai tambah.

 

*) Kami menambahkan pernyataan tambahan dari manajemen Xendit terkait Nex.

Application Information Will Show Up Here

Membaca Arah Startup Akuisisi Bank Perkreditan Rakyat (Bagian I)

Rasanya cukup meragukan jika anak-anak muda zaman sekarang mengenal BPR alias Bank Perkreditan Rakyat. Mereka kini lebih mengenal istilah bank digital karena berseliweran di berbagai platform digital yang mereka gunakan sehari-hari. Rata-rata bank digital ini menawarkan kemudahan proses yang sepenuhnya ada di genggaman nasabah sebagai nilai jual.

Meskipun demikian, anggapan tersebut dibantah survei mini yang digelar DailySocial melalui platform media sosial. Sebanyak 90% responden menjawab dengan benar kepanjangan BPR. Sebagian besar juga mampu membedakan bank umum dengan BPR, baik dari cakupan operasi maupun kegiatan usaha. Sebanyak 61% responden tahu bahwa BPR hanya boleh beroperasi di satu provinsi.

Berikutnya sebanyak 66% responden mampu menjawab dengan benar kegiatan usaha BPR itu adalah menyalurkan kredit usaha dan menghimpun dana dalam bentuk simpanan. Terakhir, sebanyak 68% responden mampu menjawab perbedaan bank umum dan BPR, yakni tidak diperkenankan melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing atau melayani jasa cek/giro dan asuransi.

Survei ini tentu saja tidak mewakili pendapat mayoritas generasi muda di Indonesia, hany sebuah perspektif yang diikuti 39 responden, sebagian besar berusia 25-35 tahun (66%) dan sisanya berusia di bawah 25 tahun (31%).

Eksistensi BPR diatur dalam Undang-Undang (UU) Perbankan yakni UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998. UU tersebut menyebutkan bahwa bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya memberikan tidak jasa dalam lalu lintas pembayaran.

Hanya saja, hiruk pikuk digitalisasi yang terjadi belakangan, justru tidak bisa dirasakan oleh industri BPR. Hanya segelintir BPR, yang memiliki aset di atas rata-rata, yang mampu memanfaatkan teknologi digital dalam proses bisnisnya. Dalam pantauan DailySocial, setidaknya hanya 64 BPR se-Indonesia (lihat infografis) yang merilis aplikasi. Fiturnya baru sekadar untuk permudah pekerjaan account officer di lapangan atau nasabah untuk melakukan pembayaran tagihan PPOB (Payment Point Online Banking).

Meski demikian, kemampuan tersebut nyatanya belum mampu menarik nasabah generasi muda untuk bergabung. Agar dapat bertahan di era digital seperti sekarang, inovasi layanan dan teknologi menjadi hal wajib jika BPR tidak ingin tersingkir dari peta bisnis perbankan. Sayangnya, tak semua BPR memiliki infrastruktur digital yang memadai. Banyak BPR bermodal cekak sehingga sulit  membangun infrastruktur digital yang relatif membutuhkan biaya tinggi.

Sudah harus bersaing di dunia digital, jalan yang ditapaki BPR pun kian hari kian sulit. Segmen mikro yang selama ini jadi lahan bisnis utama mereka terus tergerus dengan hadirnya berbagai pesaing. Perlawanan terjadi, mulai dari bank umum yang punya kekuatan lebih besar ketimbang BPR, LKM (Lembaga Keuangan Mikro), koperasi, agen laku pandai, hingga pesaing baru namanya fintech lending. Belum lagi, penurunan suku bunga KUR (Kredit Usaha Rakyat) menjadi 6% tentu bertabrakan dengan bisnis BPR.

Kendati persaingan bisnis sangat ketat, bank-bank pedesaan ini memiliki keunggulan lantaran karakteristik bisnisnya yang berbeda. Kelokalan dan keeratan hubungan emosionalnya dengan para nasabah menjadi nilai lebih bagi BPR. Mengatasi kelemahannya, sekaligus mengandalkan kelebihannya, akan membuat daya tarik BPR makin kinclong. Dengan begitu, fungsi BPR untuk memajukan daerah dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat makin besar.

Tren startup akuisisi BPR

Belakangan ini ada fenomena menarik, yakni ketertarikan startup fintech untuk mengakuisisi BPR. Dari pantauan DailySocial, setelah ALAMI Group dengan BPRS Cempaka Al Amin yang rebranding jadi Hijra Bank, berikutnya Xendit  mengambil saham di BPR Arthakelola Cahayatama dan kini dikenal sebagai BPR Xen. Diikuti petinggi Fazz Financial Group yang mengambil kepemilikan saham di BPR Sentral Mandiri dan akuisisi penuh BPR Prima Dadi Arta oleh Komunal, sebuah startup peer to peer lending. Seluruh aksi korporasi ini tidak disebutkan nominal transaksinya kepada publik.

Memang jumlahnya ini baru sedikit, namun tren ini selaras ketika para pemain teknologi mulai mencari peluang bisnis baru di bidang pembiayaan, yang memiliki margin terempuk di dunia perbankan. Bila dijabarkan, hampir semua bank umum beraset mini telah bersiap diakuisisi para perusahaan teknologi. Bank umum dan BPR saat ini sama-sama dikejar waktu oleh OJK untuk memenuhi modal minimum.

Aturan permodalan untuk BPR tertuang di POJK No. 5 tahun 2015 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum dan Pemenuhan Modal Inti Minimum. Menurut aturan ini, BPR wajib memenuhi modal inti minimum yang ditetapkan sebesar Rp3 miliar pada 2020 dan Rp6 miliar paling lambat 2024 mendatang. Di tengah kehimpitan tersebut, muncul perusahan teknologi dengan kapital besar untuk menggarap BPR.

Menurut data Biro Riset Infobank (birl), pada 2020 masih ada sekitar 700 BPR yang belum memenuhi ketentuan modal Rp6 miliar. Nah, dengan asumsi yang sama, dalam hal ini ROE per tahun 20%, berarti pada akhir 2024 masih ada sekitar 50% BPR yang tak sanggup tumbuh secara organik. Jika pemilik tidak menambah modal, pilihannya adalah merger, dijual, atau turun takhta menjadi lembaga keuangan mikro (LKM). Diperkirakan akan ada 300 sampai 400 BPR yang bakal turun kelas menjadi LKM.

“Melihat kebutuhan akan adaptasi teknologi dan keterbatasan modal dan layanan, BPR menjadi menarik bagi startup fintech. Mereka bisa mengembangkan layanan ke perbankan dengan layanan digital, namun modalnya relatif kecil dibandingkan akuisisi perbankan umum atau membuat bank digital. Jadi bagi startup fintech diuntungkan dengan modal pengembangan yang relatif kecil,” ujar Ekonom Indef Nailul Huda.

Bagi startup, memiliki bisnis perbankan artinya pangsa pasar mereka akan lebih luas, karena ada layanan di BPR yang tidak mereka miliki. Startup bisa lebih inovatif mengembangkan produk, tak hanya sekadar simpanan dan penyaluran kredit, tapi juga mengintegrasikan layanan startup ke BPR.

“Misalnya untuk Xendit, bisa memperluas layanan payment gateway-nya melalui BPR. Atau masuk ke lending dengan skema p2p lending juga bisa dengan berbagai persyaratan, seperti radius layanan BPR. Masih sangat dinamis kerja sama antara BPR dengan fintech ini.”

Pernyataan Nailul ada benarnya. Pasalnya, setelah dikabarkan mengakuisisi BPR, kini Xendit melanjutkan langkahnya dengan mengakuisisi saham Bank Sahabat Sampoerna, untuk memuluskan langkahnya di bank digital. Aplikasi ini sendiri masih diuji coba secara internal dan sudah membuka daftar tunggu. Fitur awal yang ditawarkan adalah bunga tahunan 6% yang dibayar setiap hari untuk tabungan, bebas biaya admin dan transfer, dan kemudahan kirim dan menerima dana. Penawaran yang rata-rata ditawarkan oleh bank digital kekinian.

Belum banyak informasi yang bisa digali dari Xendit terkait aksinya tersebut. Namun, menurut pandangan Huda, langkah ini dilihat sebagai cara Xendit membagi segmentasi pasarnya. Kekurangan di BPR bisa dikembangkan atau diimplementasikan di Bank Sahabat Sampoerna. Secara geografis ruang lingkup BPR ini terbatas, jadi Xendit pasti perlu sesuatu yang lebih besar mengingat mereka juga sudah memiliki valuasi unicorn.

“Ya bisa dikatakan juga sebagai lab atau batu loncatan juga. Soalnya layanan perbankan di BPR dan bank umum kan beda ya, jadi saya rasa lebih kepada pengembangan layanan dengan jangkauan yang lebih luas secara demografis dan layanan.”

Mengacu ke data OJK, BPR Xen (PT Bank Perkreditan Rakyat Xen) sebelumnya bernama BPR Arthakelola Cahayatama yang terletak di Depok, Jawa Barat. Co-Founder Xendit Theresa Sandra Wijaya (Tessa Wijaya) masuk sebagai pemegang saham di BPR Xen dengan kepemilikan 0,68% pada Juni 2021. Pemegang saham mayoritas dikuasai oleh PT Indo Digital Raya (99,32%). Theresa meningkatkan kepemilikannya menjadi 1% pada Desember 2021.

Tidak banyak informasi yang bisa didapat mengenai PT Indo Digital Raya ini. Namun bisa dipastikan berkaitan dengan Xendit karena selokasi dengan kantor pusat Xendit. Sebelumnya, perusahaan sudah melayangkan penyangkalannya terlibat dengan BPR Xen.

Mereka mengaku masih dalam tahap eksplorasi bagaimana kemitraan tersebut dapat membawa dampak yang baik buat UMKM.

Sumber: Pixabay

Secara terpisah, hasil wawancara yang dimuat Convectus Law pada November 2021 bersama Mikiko Steven, Head of Consumer Solutions Xendit, mungkin bisa memberikan gambaran arah Xendit ke depannya dalam memperluas solusinya di gerbang pembayaran di kancah perbankan dengan meningkatkan kapabilitasnya di Open API (Application Programming Interface).

Dia menjelaskan bahwa bank sentral sejauh ini telah berjuang menuju ruang perbankan digital yang lebih ramping, sembari memperkuat peran fintech dalam mendukung transaksi digital. Menurutnya, saat ini Bank Indonesia telah mengelompokkan semua penyedia layanan pembayaran ke dalam tiga kategori, mengurangi jumlah lisensi yang sebelumnya harus dimiliki oleh operator. Ketiga kategori tersebut adalah kategori izin satu, kategori izin dua, dan kategori izin tiga.

Aturan lebih detail ini tertuang dalam PBI Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyedia Jasa Pembayaran (PJP). Inti dari regulasi termutakhir ini adalah membuat PJP tidak lagi perlu ribet-ribet urus banyak perizinan. Dalam pengurusan izinnya dibagi menjadi tiga kategori izin, yang setiap izinnya memiliki perbedaan ketentuan modal disetor.

“Misalnya, Xendit berada dalam kategori kedua, yang memungkinkan kami menyediakan produk yang diklasifikasikan sebagai layanan informasi akun (account information services/AInS) dan layanan perolehan dan inisiasi pembayaran (payments acquiring and initiation services/PIAS). Sebelumnya, masing-masing produk ini membutuhkan aplikasi yang berhasil sebelum penyedia layanan pembayaran dapat mulai menyediakannya,” terang Mikiko.

Selain itu, BI juga mengumumkan semua bank harus mengadopsi API universal untuk pembayaran pada 2025 yang ia nilai akan menjadi game changer. “Ketika Xendit pertama kali ingin menawarkan layanan keuangan dasar pada tahun 2017, yaitu membantu pedagang menerima pembayaran digital. Kami harus mendekati banyak bank yang berbeda. Ini berarti kami harus menyatukan semua API perbankan mereka yang berbeda, yang memakan waktu dan mahal.”

Mendorong adopsi Open API perbankan harus memastikan bahwa produk perbankan digital dapat diluncurkan ke pasar lebih cepat dan ke khalayak yang lebih luas. Menurutnya, perbankan digital menghilangkan hambatan logistik bagi mereka yang berada di luar daerah perkotaan dan mendemokratisasikan proses perbankan.

Sementara itu, saham BPR Sentral Mandiri kini dikuasai dua bersaudara Hendra Kwik (CEO Fazz Financial Group) dan Hendoko Kwik (Co-founder dan CEO Modal Rakyat). Keduanya tercatat membeli saham dari pemilik sebelumnya dan menguasai saham dengan komposisi: Hendra (79%), Hendoko (3,5%), dan Ong Tek Tjan (17,5%). Ong adalah eks direksi Bank Sahabat Sampoerna yang kini menjadi Founder startup e-grocery Titipku.

Belum terlihat ke mana arah BPR Sentral Mandiri di bawah pemegang saham barunya. Kabar terakhir UpBanx, platform fintech untuk kreator, bakal menggunakan lisensi perbankan untuk kegiatan operasionalnya. Belum ada pembaruan informasi lebih lanjut terkait ini. Manajemen UpBanx menolak untuk menjawab pertanyaan DailySocial. UpBanx sendiri terafiliasi dengan Fazz pasca memperoleh pendanaan pra-awal senilai $5,2 juta yang turut diikuti  Hendra dan Hendoko.

Cerita digitalisasi Hijra Bank

Bukti konkret sejauh ini yang bisa kita kulik adalah Hijra Bank yang berhasil bertransformasi digital. Co-founder dan CEO ALAMI Group Dima Djani bersedia menceritakan pengalamannya tersebut dalam wawancara bersama DailySocial. Satu poin utama yang ia tekankan adalah bagaimana implementasi teknologi dapat menjadi DNA utama di Hijra Bank. Proses transisi tersebut dilakukan dengan menempatkan talenta ALAMI di dalam tubuh bank.

“Banyak bank yang menggunakan teknologi tapi enggak paham. Maka dari itu, kita perbarui SDM-nya dengan menempatkan orang-orang ALAMI untuk transfer ilmu. Saat kami akuisisi, BPRS Cempaka Al Amin ini sudah ada situs dan teknologi sederhana, lalu kami perbarui dari sisi tech stack, tampilan mobile banking-nya,” papar Dima.

Jajaran direksi ALAMI / ALAMI

Perekrutan talenta teknologi menjadi langkah berikutnya untuk mendukung Hijra Bank. Menariknya, perusahaan melakukan standarisasi proses onboarding dan pelatihan juga sudah disamakan dengan apa yang selama ini sudah dilakukan oleh tim teknologi ALAMI. “Kita investasi talenta terbaik. Tidak hanya untuk teknologinya saja, tapi juga staf lain agar bisa mumpuni. Fokus ke fondasi ini akan permudah langkah kami untuk pengembangan berikutnya.”

Penyegaran identitas dan memindahkan kantor ke lokasi yang lebih strategis dari Ulujami ke Pondok Indah turut mendukung upaya perusahaan dalam membentuk DNA baru. Ia menyadari mengubah mindset digitalisasi itu bukan barang mudah. Dengan pemilik sebelumnya, fondasi ini belum terbentuk sama sekali karena mereka belum memiliki arah ke sana. Hanya seperti BPR pada umumnya yang melayani kebutuhan lokal.

“Apalagi ada peraturan kenaikan modal, ditambah pandemi, pemiliknya kesulitan mencari pendanaan, juga tidak melakukan investasi digital dan SDM yang ada tidak mumpuni. Cara kerja dan kultur bank yang kita akuisisi tersebut lumayan lama di-run secara tradisional. Ini menjadi catatan kami bagaimana menyatukan kultur dan mindset digital agar bisa lari kencang.”

Poin penting lainnya yang turut menjadi perhatian adalah memperkenalkan Hijra Bank ke publik. Pihaknya pun terbantu dengan branding ALAMI sebagai platform p2p lending syariah yang mampu meningkatkan antusiasme publik terhadap kehadiran BPRS digital. Persona BPR sendiri sejauh ini sudah dikenal sebagai bank pasar yang sangat lokal.

Apabila persona tersebut ditambahkan dengan unsur digital, banyak pihak yang menerka-nerka apakah bentuknya bakal mirip dengan bank umum atau tidak. Berkat arahan regulator, Dima mengaku cukup terbantu dalam eksekusinya karena arahannya sudah tepat dan mampu mendongkrak BPR jadi institusi yang bisa naik kelas dan bisa bersaing. Ditambah lagi pengawasannya yang kini principal-based supervision, jadinya tidak kaku lagi.

“Dari sisi regulasi sudah cukup terbantu. Tapi memang kendalanya lebih ke SDM. Manpower untuk tech developer itu susah mencarinya, belum lagi persaingannya yang cukup ketat.”

Mengikuti regulasi yang ada, bisnis utama Hijra Bank akan menerima simpanan dana dan menyalurkan pembiayaan ke UMKM, termasuk terhubung dengan ekosistem ALAMI Group. Agar punya daya saing lebih baik, Hijra Bank terbuka dengan kemitraan dengan perusahaan teknologi lainnya agar bisa memberikan produk keuangan tambahan, seperti top up saldo e-wallet, PPOB, penerbitan kartu, termasuk fitur seputar pengelolaan keuangan.

Pain point masyarakat terkait keuangan syariah itu sendiri masih banyak yang belum di-solve. Kami terus menerus melakukan evaluasi seperti apa customer demand, apa dan bagaimana impact-nya.”

Konsumer masih perlu menunggu sampai Hijra Bank ini resmi dirilis. Kata Dima, pihaknya masih melakukan product-market fit dan terus melakukan kajian sampai akhirnya yakin untuk dirilis. “Harapannya bisa di second half this year.”

Cerita Komunal

Hendry Lieviant, Co-Founder dan CEO Komunal, mengaku langkah akuisisi BPR Prima Dadi Arta adalah bagian dari keinginan besar perusahaan untuk membuat operasional sehari-hari industri BPR dapat lebih efisien. Komunal, dengan posisinya sebagai platform p2p lending, seringkali kesulitan mendapat umpan balik dari OJK dan industri BPR tiap kali ingin menjelaskan suatu inovasi baru.

“Sebelum kita punya BPR, ketika mau memperkenalkan inovasi ke OJK itu [membutuhkan waktu lama]. Posisi kita bukan sebagai BPR, melainkan sebagai [platform] fintech. Banyak pihak yang harus kita yakinkan dan tidak bisa dipaksa. Namun ketika posisinya sudah menjadi BPR, kita bisa lebih mudah presentasi di depan OJK dan bisa sharing ke BPR lain juga,” katanya saat dihubungi DailySocial.

Menurut Bisnis.com, Komunal mengakuisisi 100% saham BPR Prima Dadi Arta atas nama direktur dan pendirinya, yakni Hendry Lieviant (34%), Rico Tedyono (33%), dan Kendrick Winoto (33%). Ketiganya mengambil alih kepemilikan saham BPR yang sebelumnya digenggam Peter Lumanpauw, Arthur Lumanpau, Elsye Susana, dan Fendy dengan total nominal saham Rp2,7 miliar.

Komunal bakal menjadikan BPR Prima Dadi Arta ini sebagai BPR percontohan sekaligus lab inovasi. Nantinya, apabila perusahaan merilis suatu inovasi, BPR inilah yang menjadi kendaraannya. Jika sukses, akan digulirkan ke industri BPR melalui ekosistemnya.

Co-Founder Komunal: Rico Tedyono, Hendry Lieviant, Kendrick Winoto / Komunal

Area inovasi digital yang dilakukan Komunal untuk BPR ini tidak ingin jauh-jauh dari DNA BPR sebagai spesialis di bisnis simpan pinjam dan kredit. Penambahan solusi digital diharapkan membuat BPR jadi tumbuh secara efisien, aman, dan mendorong masyarakat untuk menaruh dananya di bank jenis ini.

“Ini jadi cycle. Masyarakat mau simpan dana di BPR, BPR-nya jadi tumbuh lebih besar, ekonomi lokal pun akan semakin terbantu. Kami percaya di daerah itu semua harus jalan bareng-bareng. Fintech lending jalan, bank digital jalan. Dengan demikian inklusi keuangan akan berjalan jauh lebih cepat.”

Salah satu implementasi yang akan dilakukan lewat BPR Prima Dadi Arta adalah e-bilyet. Hendry menuturkan, penerbitan bilyet kini sudah tidak relevan dengan perkembangan di era digital. Bilyet itu merupakan dokumen fisik untuk membuktikan keabsahan deposito yang dimiliki seseorang itu adalah asli.

Dicontohkan, BPR di Bali harus mengirimkan bilyet fisik ke deposan yang berlokasi di Jakarta. Begitu pun sebaliknya saat deposan ingin menarik dananya. Akibatnya biaya logistik harus ditanggung konsumen. Pihaknya sedang mengajukan proses perizinan untuk e-bilyet di OJK.

“Banyak cara lain untuk memecahkan masalah itu. Tapi kan kegiatan tersebut sudah dijalankan oleh BPR yang sudah puluhan tahun beroperasi. Kita mau dobrak inovasi e-bilyet. Begitu sukses di BPR Prima Arta Dadi kita mau ajak yang lain.”

Langkah awal Komunal untuk masuk ke industri BPR ini adalah melalui produk DepositoBPR. Semangatnya adalah menghubungkan berbagai BPR dan nasabah di seluruh Indonesia yang ingin melakukan pembukaan DepositoBPR secara online. Produk ini dirintis melalui anak usaha Komunal (PT Komunal Finansial Indonesia), yakni PT. Komunal Sejahtera Indonesia, yang telah tercatat di OJK sebagai penyelenggara inovasi keuangan digital (IKD).

BPR yang dapat meraup dana pihak ketiga lewat produk ini akan disortir terlebih dahulu oleh Komunal. Satu hal yang pasti, mereka harus terdaftar di Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) karena setiap deposito yang ada di platform harus dijamin LPS hingga Rp2 miliar.

Berbagai akuisisi dan kolaborasi di atas membawa perubahan lanskap bisnis BPR di berbagai daerah sejalan dengan masuknya berbagai perusahaan teknologi. BPR akan semakin terpapar dengan teknologi dan inovasi dalam proses bisnisnya sehingga semakin dekat dengan nasabah dan dapat bersaing dengan bank umum.

Xendit Dikabarkan Bidik Bank Sahabat Sampoerna

Xendit turut berpartisipasi dalam gemuruh persaingan bank digital di Indonesia. Startup yang memperoleh status unicorn tahun lalu ini dikabarkan membidik  saham mayoritas di Bank Sahabat Sampoerna. Sumber DailySocial.id menyebutkan, aksi korporasi akan dilakukan secara bertahap sampai akhirnya menguasai 51%.

DailySocial.id berusaha menghubungi perwakilan Xendit untuk meminta respons, tapi hingga berita ini diturunkan belum ada tanggapan yang diberikan.

Akuisisi tersebut disinyalir menjadi pemulus langkah perusahaan melalui aplikasi bank digitalnya, Nex. Saat ini perusahaan tengah melakukan uji coba untuk internal dan membuka daftar tunggu (waitlist) untuk umum. Fitur awal yang ditawarkan adalah bunga tahunan 6% yang dibayar setiap hari untuk tabungan, bebas biaya admin dan transfer, dan kemudahan pengiriman dan penerimaan dana. Hal yang umum ditawarkan bank digital kekinian.

Aplikasi Nex dikelola tiga pihak, yakni PT Nex Teknologi Digital, PT Sumber Digital Teknologi (iluma.ai), PT Sinar Digital Terdepan (Xendit), dan afiliasi-afiliasinya. Iluma bertugas melakukan e-KYC dan mengecekan skoring kredit yang lebih seamless. Kemungkinan besar iluma adalah bagian dari Xendit karena lokasi kantornya satu gedung dengan kantor pusat Xendit.

Sebelumnya, Xendit juga memiliki saham di BPR Xen. Mengacu di data OJK, BPR Xen (PT Bank Perkreditan Rakyat Xen) sebelumnya bernama BPR Arthakelola Cahayatama yang terletak di Depok, Jawa Barat.

Co-founder Xendit Theresa Sandra Wijaya (Tessa Wijaya) masuk sebagai pemegang saham di BPR Xen dengan kepemilikan 0,68% pada Juni 2021. Pemegang saham mayoritas dikuasai oleh PT Indo Digital Raya (99,32%). Theresa meningkatkan kepemilikannya menjadi 1% pada Desember 2021.

Tidak banyak informasi yang bisa didapat mengenai PT Indo Digital Raya ini. Namun bisa dipastikan terafiliasi perusahaan karena selokasi dengan kantor pusat Xendit. Sebelumnya, perusahaan sudah melayangkan penyangkalannya terlibat dengan BPR Xen.

“Xendit baru saja menjalin kemitraan strategis dengan PT BPR Xen, sebuah BPR yang berlokasi di Depok, Jawa Barat. PT BPR Xen dan PT Sinar Digital Terdepan merupakan dua entitas terpisah dan tidak terafiliasi secara kepemilikan,” ujar juru bicara Xendit. Mereka pun mengaku masih dalam tahap eksplorasi terkait kemitraan tersebut bagaimana dapat membawa dampak yang baik buat UMKM.

Bank Sahabat Sampoerna

Secara terpisah, dalam wawancara dengan CNBC Indonesia, Finance & Business Planning Director Bank Sahabat Sampoerna Henky Suryaputra menyampaikan bahwa perbankan tengah berusaha memenuhi ketentuan permodalan inti Rp3 triliun sampai akhir tahun ini. Opsi terdekat yang tengah dijajaki adalah menerima investor strategis baru.

“Kemungkinan besar ada beberapa investor strategis yang tertarik untuk join di Bank Sahabat Sampoerna,” ucapnya Henky pada 13 Januari 2022.

Aksi pemenuhan modal inti ini merupakan bagian dari dorongan regulator melalui POJK Nomor 12 Tahun 2020 tentang Konsolidasi Bank Umum menetapkan aturan modal inti minimal Rp3 triliun per Desember 2022.

Pada tahun lalu, Bank Sahabat Sampoerna telah memenuhi modal inti Rp2 triliun per November 2021. Penambahan ini dilakukan lewat injeksi modal secara langsung dari pemegang saham terdahulu, kehadiran investor baru, dan akumulasi dari perolehan laba. Tidak dirinci siapa investor baru tersebut karena Michael Joseph Sampoerna lewat PT Sampoerna Investama tetap menjadi pengendali bank.

Mengutip dari Kontan, mengacu pada laporan keuangan Bank Sahabat Sampoerna per September 2021 dibanding laporan per Maret 2021, ada satu investor baru, yakni Sutan Agung Mulyadi, pemiliki Serba Mulya Group, dengan kepemilikan saham 2,96%.

Pemilik mayoritas masih dikuasai PT Sampoerna Investama dengan kepemilikan 78%.

Bank Sahabat Sampoerna sendiri cukup aktif melakukan pengembangan produk digital. Sejumlah layanan fintech telah bermitra. Yang terbaru mereka bekerja sama dengan KoinWorks menghadirkan layanan KoinWorks NEO, Julo, Indodana, Kredivo (kartu kredit fisik paylater), Akulaku, dan lainnya.

Mereka juga berkolaborasi dengan berbagai perusahaan payment gateway, seperti Xendit, Instamoney, Safecash, dan Dhasatra untuk memfasilitasi berbagai transaksi digital.

Sebelumnya sejumlah platform fintech telah mengambil langkah serupa untuk menjadi pemilik bank, seperti Akulaku yang menjadi pengendali di Bank Neo Commerce, Kredivo yang menjadi pemegang saham mayoritas di Bank Bisnis Internasional, dan Ajaib yang memiliki saham terbesar di Bank Bumi Artha.

majoo Confirms Pre Series A Funding Worth of 130 Billion Rupiah

After raising a $4 million pre-series A funding in late 2021, majoo has completed the round and raised a total $9 million or equivalent to 130 billion Rupiah. New investors are participating in this round, including Quona Capital and Xendit. BRI Ventures also injected more funds into majoo.

majoo’s Co-Founder & CEO, Adi W. Rahadi confirmed to DailySocial on this funding. The follow-on funding has been part of majoo’s pipeline which has been mentioned in the previous interview.

majoo was founded by three, Adi W. Rahadi (CEO), Audia R. Harahap (COO), and Bayu Indriarko (VP Engineering). Previously, the three founders were retail business players who also served SME customers, therefore, they are familiar with various difficulties around the field.

Platform that offers similar services to majoo include Moka, which is part of GoTo Group’s merchant ecosystem. There is also Qasir which started to target the regional market, Pawoon with 25 thousand active merchants, Youtap, which wraps its services with a loyalty program, and many more.

Targeting MSMEs

majoo’s business solution is basically an app with a monthly subscription fee or SaaS. The company has reached more than 15 thousand paid users, including entrepreneurs across more than 600 cities in Indonesia with various types of businesses. It is ranging from F&B, retail, services, and other types of entrepreneurs.

Was founded in 2019, majoo claims to have processed more than 80 million transactions worth of $600 million or over 8.4 trillion Rupiah for MSMEs across 600 cities/districts in Indonesia from various types of businesses, icnluding F&B and laundry.

The service starts from a point of sales (POS) aka cashier application. Currently, it expands to the employee management, inventory, CRM applications, and online marketplace. Statistically, majoo claims to have grown by 85% YoY and has acquired more than 20K active users with a good retention rate.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

majoo Konfirmasi Telah Rampungkan Pendanaan Pra-Seri A Senilai 130 Miliar Rupiah

Setelah membuka pendanaan pra-seri A senilai $4 juta akhir tahun 2021 lalu, majoo kini telah merampungkan putaran tersebut dan berhasil mengumpulkan dana senilai $9 juta atau kira-kira 130 miliar Rupiah. Investor baru yang tergabung dalam putaran ini adalah Quona Capital dan Xendit. BRI Ventures turut menyuntikkan dananya lagi ke majoo.

Kepada DailySocial.id, Co-Founder & CEO majoo Adi W. Rahadi memberikan konfirmasi terkait pendanaan tersebut. Pendanaan tahapan lanjutan ini telah menjadi rencana dari majoo yang yang telah disampaikan dalam wawancara sebelumnya.

majoo didirikan oleh tiga founder, meliputi Adi W. Rahadi (CEO), Audia R. Harahap (COO), dan Bayu Indriarko (VP Engineering). Sebelumnya ketiga para pendiri tersebut merupakan pelaku bisnis ritel yang juga melayani pelanggan UKM, sehingga mereka cukup memahami berbagai kesulitan yang ditemui di lapangan.

Platform yang menawarkan layanan serupa dengan majoo di antaranya adalah Moka yang saat ini menjadi bagian dari ekosistem merchant di GoTo Group, Qasir yang sudah mulai menyasar pasar regional, Pawoon dengan 25 ribu merchant aktif, Youtap yang membungkus layanannya dengan program loyalitas, dan masih banyak lagi.

Menyasar UMKM

Solusi bisnis dari majoo merupakan aplikasi dengan biaya berlanggan secara bulanan atau SaaS. majoo saat ini telah memiliki pengguna berbayar lebih dari 15 ribu wirausaha tersebar di lebih dari 600 kota di Indonesia dengan berbagai jenis usaha. Mulai dari F&B, ritel, jasa, dan jenis wirausaha lainnya.

Sejak berdiri pada 2019, majoo mengaku telah memproses lebih dari 80 juta transaksi senilai $600 juta atau lebih dari 8,4 triliun Rupiah untuk UMKM di lebih dari 600 kota/kabupaten di Indonesia dari berbagai jenis bisnis, mulai dari F&B hingga laundry.

Layanan majoo dimulai dari sebuah point of sales (POS) alias aplikasi kasir. Saat ini terus diperluas mencakup pengelolaan karyawan, inventori, aplikasi CRM, hingga pemesanan online. Secara statistik, majoo mengklaim telah tumbuh 85% YoY dan telah mengakuisisi lebih dari 20 ribu pengguna aktif dengan tingkat retensi yang dinilai baik.

Application Information Will Show Up Here

Xendit Rambah Perbankan, Dirikan Bank Perkreditan Rakyat Xen [UPDATED]

Ekspansi bisnis startup unicorn di sektor fintech, Xendit, kini sudah melampaui bisnis payment gateway dengan merambah ke perbankan dan mendirikan PT Bank Perkreditan Rakyat Xen. Dari pantauan DailySocial.id, BPR Xen mulai aktif membuka lowongan pekerjaan di berbagai portal pencarian kerja.

Belum banyak informasi yang bisa didapat terkait hal ini, termasuk apakah Xendit masuk melalui skema akuisisi BPR yang sudah ada atau bangun dari awal. Lokasi BPR Xen berada di Depok, Jawa Barat. Menurut keterangan resmi yang disampaikan manajemen Xendit kepada DailySocial.id, diklaim bahwa PT BPR Xen dan PT Sinar Digital Terdepan (Xendit) merupakan dua entitas yang terpisah dan tidak terafiliasi secara kepemilikan.

“Xendit, perusahaan teknologi finansial yang menyediakan solusi pembayaran dan digital infrastruktur, baru saja menjalin kemitraan strategis dengan PT BPR Xen, sebuah Bank Perkreditan Rakyat yang berlokasi di Depok, Jawa Barat. Dalam tahap awal kemitraan ini, kedua belah pihak akan bekerjasama untuk mengeksplor bagaimana kemitraan ini dapat membawa dampak baik bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia, khususnya bagi Usaha Kecil dan Menengah (UKM),” tulis manajemen Xendit.

Mereka melanjutkan, “Karena masih dalam tahap eksplorasi, untuk saat ini kami belum memiliki informasi terkait strategi dan juga produk yang akan dikembangkan. Kami akan menginformasikan kembali jika ada perkembangan lebih lanjut.”

Kehadiran BPR Xen yang diusung Xendit meramaikan pemain digital yang menggunakan BPR dan BPRS sebagai kendaraannya di industri perbankan. Ada UpBanx (Fazz Financial Group), Bank Hijra (ALAMI Group), dan Komunal yang mengusung produk DepositoBPR.

Dibandingkan bank umum, kegiatan usaha BPR jauh lebih sempit karena mereka hanya bisa menyalurkan kredit (tidak boleh punya kartu kredit dan nilai plafon kredit umumnya terbatas hingga miliaran Rupiah), tabungan, dan deposito berjangka. Cakupan nasabahnya juga lebih terbatas, hanya untuk tingkat provinsi.

Meski demikian, segmen ini sebenarnya paling membutuhkan digitalisasi agar mereka dapat bersaing di industri, plus ditambah dukungan ekosistem. Xendit sebagai payment gateway punya kemampuan mumpuni untuk mengatasi arus transaksi keluar masuknya uang dari berbagai sumber dana hingga rekonsiliasi.

Digitalisasi BPR

Komunal dengan produk DepositoBPR-nya, mengambil perspektif dari sisi deposan BPR yang masih terbatas karena belum terdigitalisasi, sehingga produknya tidak dikenal dan tidak dapat diakses oleh deposan perkotaan. DepositoBPR menjembatani para mitra BPR yang mencari nasabah untuk pembukaan rekening deposito dengan para deposan yang ingin melakukan pengembangan dana atau investasi melalui Deposito BPR.

Co-Founder Komunal Hendry Lieviant mengatakan, di masa pandemi ini masih terjadi ironi, ketika bank komersial memiliki likuiditas tinggi dengan penawaran bunga yang rendah. Sementara, BPR kesulitan menerima deposit hanya karena 95% dari deposan Indonesia tinggal di area perkotaan.

Dalam pengembangan DepositoBPR, salah satu tantangan utamanya adalah membakukan dan mengoptimalkan proses-proses BPR yang saat ini masih terpecah-belah, sehingga diperlukan peningkatan agar pengalaman deposan meningkat jadi lebih baik. Misalnya mengganti tanda tangan basah menjadi digital, e-KYC melalui video call, dan yang paling penting mengubah bilyet fisik menjadi e-bilyet.

Menariknya, dalam mengadakan solusi ini, Komunal bekerja sama dengan ekosistem digital. Salah satunya adalah Xendit untuk memperlancar arus transaksinya.

Secara industri, OJK telah mendorong telah mendorong BPR untuk kolaborasi dengan menyusun kolaborasi dengan berbagi pihak, misalnya kerja sama channeling antara BPR dengan startup fintech.

OJK telah memberikan lampu hijau bagi BPR dan fintech lending dalam melakukan kerja sama melalui dua skema, yakni channeling dan referral. Hal tersebut tertuang dalam Buku Panduan Kerja Sama BPR dan Fintech Lending yang telah diterbitkan pada Maret 2021 lalu.

Selanjutnya, dengan menginisiasi pengembangan BPR e-Cash bekerja sama dengan Finnet Indonesia. BPR e-Cash adalah semacam uang elektronik berbasis mobile yang nantinya dapat digunakan untuk beragam transaksi seperti pembayaran QR, isi pulsa, kirim uang, dan lain-lain.

 

*) Kami menambahkan pernyataan resmi yang disampaikan manajemen Xendit

Indonesia Miliki 12 Gelar Startup Unicorn di Tahun 2021, Anggota Baru Muncul di Penghujung Tahun

Penghujung tahun 2021 memberikan kejutan kepada para pelaku dan startup enthusiast. Bagaimana tidak, berbagai startup telah dinobatkan sebagai unicorn di tahun ini. Berdasarkan data dari DailySocial.id Annual Report 2021, tercatat total sebanyak 11 startup Indonesia telah menjadi Unicorn di tahun 2021. Jumlah ini bertambah dua kali lipat dari tahun sebelumnya. Dari laporan Startup Report 2020, pada tahun 2020 saja, Indonesia hanya memiliki 5 startup unicorn, yaitu Tokopedia, Gojek, Traveloka, Bukalapak dan OVO. Namun, tujuh startup Indonesia saat ini telah mengisi deretan startup unicorn pada tahun 2021.

Unicorn sendiri merupakan level ke-4 dari tingkatan bisnis startup. Dalam tingkatan level Unicorn, nilai valuasi yang digunakan sebagai indikator adalah senilai USD$ 1 miliar – USD$ 10 miliar atau jika dirupiahkan adalah sebesar 10,47 triliun.

Beberapa startup yang telah menjadi unicorn di tahun 2021, merupakan startup pada level centaur di tahun sebelumnya. Berikut 11 startup Indonesia yang telah mencapai unicorn:

1. GoTo

GoTo merupakan startup merger antara Gojek dan Tokopedia. PT GoTo Gojek Tokopedia didirikan pada 17 Mei 2021 dengan fokus industri teknologi informasi. GoTo mengombinasikan layanan e-commerce, on-demand, dan layanan keuangan ke dalam satu ekosistem.

November tahun ini, Grup GoTo mengumumkan penutupan pertama penggalangan dana pra-IPO lebih dari $1,3 miliar (lebih dari 18,5 triliun Rupiah) dari berbagai investor.

2. Traveloka

Traveloka sendiri telah menyandang status unicorn pada tahun 2017, ketika mengantongi investasi sebesar USD350 juta dari Expedia. Berdiri sejak tahun 2012, Traveloka telah mengembangkan berbagai produk, hingga menjadi startup non fintech pertama yang menerapkan paylater “beli sekarang, bayar nanti”.

3. Bukalapak

Bukalapak merupakan salah satu perusahaan e-commerce Indonesia yang didirikan pada tahun 2010 lalu. Bukalapak berhasil menjadi unicorn pada tahun yang sama dengan Traveloka, dengan valuasi mencapai USD 1 miliar atau sekitar Rp 14 triliun.

Tahun 2021, Bukalapak dikabarkan memperoleh pendanaan sebesar $234 juta (lebih dari 3,4 triliun Rupiah) dalam putaran pendanaan Seri G yang dipimpin oleh Microsoft, GIC sovereign wealth fund Singapura, dan EMTEK.

4. OVO

Tahun 2019, OVO berhasil menjadi startup unicorn. Finance Asia menyebut valuasi OVO saat dinobatkan menjadi unicorn sudah mencapai $2,9 miliar (lebih dari 40 triliun Rupiah).

Sebagai perusahaan yang memimpin industri pembayaran digital bersama GoPay, OVO jelas memproses perputaran dana yang sangat besar yang mencapai triliunan Rupiah per tahunnya.

5. JD.id

Awal tahun 2020 lalu, JD.id telah mencapai valuasi perusahaan lebih dari US$1 miliar dan menambah jajaran startup unicorn saat itu. JD.id merupakan salah satu e-commerce yang ada di Indonesia dan merupakan bagian dari JD.com yang berkantor pusat di Beijing China.

6. Blibli.com

Blibli.com merupakan satu-satunya e-commerce yang meraih status unicorn pada tahun ini. Per Agustus 2021, blibli.com telah mencapai valuasi sebesar 1 miliar dollar AS. Berdiri pada tahun 2010, butuh waktu sekitar 11 tahun bagi blibli.com untuk mencapai level ke-4 pada tingkatan bisnis startup ini.

7. Tiket.com

Menyusul pesaingnya, Traveloka, Tiket.com akhirnya menjadi unicorn pada awal tahun 2021.

Tiket.com sendiri didirikan tahun 2011 dan diakuisisi Djarum Group melalui Blibli pada tahun 2017. Saat ini keduanya tetap berjalan dengan entitas legal (PT) terpisah, sehingga memungkinkan jika Tiket.com melangsungkan IPO terlebih dulu.

8. J&T Express

Awal tahun 2021, J&T Express telah menjadi unicorn dengan valuasi sebesar mencapai 7,8 miliar dollar AS atau setara Rp 113,5 Triliun. J&T Express menduduki posisi kedua sebagai startup unicorn Indonesia dengan nilai valuasi terbesar setelah Gojek.

J&T Express menjadi mitra pengiriman logistik dari sejumlah e-commerce besar, termasuk, Tokopedia, Bukalapak, Blibli, Shopee, dan JD.id.

9. Kredivo

Kredivo merupakan startup yang berada di bawah naungan PT FinAccel Teknologi Indonesia dan berdiri pada Desember 2015. Kredivo memiliki performa serta pertumbuhan yang pesat hanya dalam waktu kurang dari 6 tahun sejak didirikan sehingga menarik perhatian para investor.

Sama dengan blibli.com, Kredivo menjadi unicorn pada pertengahan tahun 2021 ini.

10. Xendit

September 2021, Xendit mengumumkan perolehan pendanaan seri C senilai $150 juta atau setara 2,1 triliun Rupiah. Putaran ini sekaligus mengokohkan valuasi perusahaan di atas $1 miliar dan menjadikan Xendit sebagai startup “unicorn” selanjutnya di Indonesia.

Sebelumnya Xendit telah menutup putaran pendanaan seri B senilai $64,6 juta pada Maret 2021 lalu dipimpin Accel. Dengan perolehan baru ini, secara total mereka telah mengumpulkan dana Rp3,4 triliun ($238 juta) sejak ronde awal di tahun 2015.

11. Ajaib

Sama seperti namanya, Ajaib berhasil menjadi startup unicorn hanya dalam waktu 2,5 tahun. Ajaib menyandang gelar unicorn setelah menutup putaran seri B sebesar $153 juta (lebih dari 2,1 triliun Rupiah) yang dipimpin oleh DST Global. Pendanaan ini membawa jumlah total yang dikumpulkan Ajaib menjadi $243 juta. Ajaib sendiri telah memiliki 1 juta investor ritel saham, sejak pertama kali berdiri dua setengah tahun lalu.

 

Menutup tahun 2021 ini, sebuah kejutan muncul dari salah satu startup dengan dasar bisnisnya adalah kedai kopi, yaitu Kopi Kenangan. Desember 2021, Kopi Kenangan jadi “Unicorn New Retail” Pertama di Indonesia.

Kopi Kenangan mengumumkan telah menutup putaran pertama untuk pendanaan seri C senilai $96 juta atau setara 1,3 triliun Rupiah. Dengan tambahan dana investasi ini, perusahaan turut mengumumkan bahwa telah mencapai tonggak “unicorn” atau bervaluasi lebih dari $1 miliar. Dengan ini, Kopi Kenangan menambah deretan startup unicorn Indonesia.

Tidak hanya telah menjadi unicorn, beberapa startup lainnya juga sudah menjadi centaur di tahun ini. Untuk mengetahui informasi lainnya mengenai startup sepanjang 2021 ini, kunjungi DailySocial.id Annual Report 2021!

***

Disclosure : Artikel ini ditulis oleh Masni Rahmawatti. S

Apa Perbedaan antara Duitku dan Xendit?

Duitku dan Xendit adalah dua perusahaan penyedia sistem pembayaran online (payment gateway). Keduanya tentu memiliki perbedaan. Perbedaan Duitku dan Xendit terletak pada produk yang mereka miliki, metode pembayaran, dan tentunya biaya transaksi.

Perbedaan Duitku dan Xendit

 

 

perbedaan duitku dan xendit

 

Meski fokus kedua perusahaan teknologi ini sama, yaitu layanan payment gateway, namun tentu ada beberapa hal yang membuat keduanya berbeda. Perbedaan ini mungkin bisa menjadi pertimbangan Anda dalam memilih layanan payment gateway yang sesuai dengan kebutuhan.

Produk dan Layanan

Dalam segi produk yang dimiliki, Duitku dan Xendit memiliki perbedaan yang mencolok. Selain Payment Gateway, Duitku juga menyediakan produk Disbursement, yaitu layanan kirim uang secara bersamaan dengan cepat dan mudah.

 

perbedaan duitku dan xendit

 

Sedangkan Xendit memiliki pilihan produk yang cukup beragam. Untuk pembayaran, Xendit memiliki lima layanan, antara lain Pembayaran Online (xenpayments), Checkout (xeninvoice), Transfer otomatis (xendisburse), Transfer Massal (xenbatch), dan Kirim Refund (xenpayout).

 

perbedaan duitku dan xendit

 

Kemudian, Xendit juga memiliki layanan manajemen toko dan operasional bisnis, seperti layanan Jualan Online, Aplikasi Mobile, Payment Link, dan Integrasi, serta Manajemen Risiko (xenshield), Platform Payments (xenplatform), dan Pendanaan (xencapital).

Pilihan Metode Pembayaran

 

perbedaan duitku dan xendit

 

Perbedaan selanjutnya ada pada pilihan metode pembayaran dari dua produk Duitku dan Xendit yang serupa, yaitu Payment Gateway Duitku dan Xenpayments, serta Disbursement Duitku dan Xendisburse. Berikut ini adalah daftar metode pembayaran yang dimiliki keduanya:

Payment Gateway Duitku:

  • Credit Cards: Visa, MasterCard, JCB
  • Virtual Accounts (transfer bank): ATM Bersama, Bank Artha Graha, Bank Sampoerna, BCA, BNI, CIMB Niaga, Bank Mandiri, Maybank, PermataBank.
  • Gerai Retail: Indomaret, Alfamart, Pegadaian, Pos Indonesia
  • E-Wallet: OVO, ShopeePay, LinkAja
  • QRIS: ShopeePay, LinkAja
  • Direct Debit: –
  • Cardless Credit: IndoDana

Xenpayments:

  • Credit Cards:Visa, MasterCard, American Express, JCB
  • Virtual Accounts (transfer bank): BCA, BRI, BNI, PermataBank, Bank Mandiri
  • Gerai Retail: Alfamart, Alfa Express, Alfamidi, Indomaret, Dan+Dan
  • E-Wallet: ShopeePay, Dana, OVO, LinkAja
  • QRIS: Dana, OVO, LinkAja, GoPay, BCA, CIMB Niaga, ShopeePay
  • Direct Debit: BRI
  • Cardless Credits: Kredivo, Akulaku

Disbursement Duitku:

  • Transfer bank: 140+ bank
  • Virtual Account: BCA, BRI, BNI, Mandiri
  • E-Wallet: GoPay, OVO, Dana, ShopeePay, LinkAja

Xendisburse:

  • Transfer bank: 140+ bank
  • Virtual Account: BCA, BRI, BNI, Mandiri, PermataBank, CIMB Niaga, Bank BTPN, NobuBank
  • E-Wallet: GoPay, OVO, Dana, ShopeePay, LinkAja

Biaya Transaksi

Selain dari segi produk dan pilihan metode pembayaran, Duitku dan Xendit juga memiliki perbedaan dalam hal biaya transaksi. Jika Anda berencana untuk menggunakan jasa dari salah satu perusahaan penyedia Payment Gateway ini, maka penting untuk Anda mengetahui hal ini.

Payment Gateway Duitku:

  • Credit Cards: 2,9% + Rp.2.500/transaksi
  • Virtual Accounts (transfer bank): Rp.1.500,-/transaksi (Artha Graha & Sampoerna), Rp.4.000/transaksi (Mandiri), Rp.5.000/transaksi (BCA), dan Rp.3.000/transaksi (lainnya).
  • Gerai Retail: MDR + Rp.1.000/transaksi (Indomaret), Rp.5.000/transaksi (lainnya).
  • E-Wallet: 1,5%/transaksi (ShopeePay), 1,65% – 3%/transaksi (OVO), 1,65% – Rp.3.300/transaksi (LinkAja).
  • QRIS: 0,7%/transaksi (ShopeePay), dan 0,77%/transaksi (LinkAja)
  • Cardless Credit: 1%/transaksi

Xenpayments:

  • Credit Cards: 2,90% +Rp.2.000/transaksi
  • Virtual Accounts (transfer bank): Rp.4.500/transaksi
  • Gerai Retail: Rp.5.000/transaksi
  • E-Wallet: 1,50%/transaksi
  • QRIS: 0,70%/transaksi
  • Direct Debit: 1,90%/transaksi
  • Cardless Credits: 2,30%/transaksi (Kredivo) dan 1,70%/transaksi (Akulaku).

Disbursement Duitku:

  • Online Transfer: Rp.5.000/transaksi

Xendisburse:

  • Transfer bank: Rp.5.000/transaksi
  • Virtual Account: Rp.5.000/transaksi
  • E-Wallet: Rp.5.000/transaksi

Demikian informasi mengenai perbedaan antara Duitku dan Xendit dari segi produk, metode pembayaran, dan juga biaya. Semoga informasi di atas dapat memudahkan Anda untuk memilih layanan Payment Gateway mana yang cocok untuk Anda.

Dibalik Status Unicorn Xendit, Moses Lo Fokus Membangun Fundamental Perusahaan

Artikel ini adalah bagian dari Seri Mastermind DailySocial yang menampilkan para inovator dan pemimpin di industri teknologi Indonesia untuk berbagi cerita dan sudut pandang.

Tidak dapat dipungkiri bahwa budaya kerja menjadi salah satu pertimbangan besar ketika seseorang memutuskan untuk mengambil pekerjaan baru di satu perusahaan. Hal ini dipahami betul oleh Moses Lo, Pendiri dan CEO Xendit, saat dia bekerja untuk sebuah perusahaan, begitu pula ketika memulai sesuatu yang baru. Di Xendit, ia selalu memastikan bahwa fundamental organisasi bisa terpenuhi. Moses fokus membangun internal perusahaan agar dapat melayani pihak eksternal dengan lebih baik.

Moses mengawali bisnis ini dengan passion, ia bercita-cita menciptakan sesuatu yang bisa menggerakkan pasar untuk kurun waktu lebih dari 20 tahun. Ia  membangun gerbang pembayaran untuk menyederhanakan dan mengamankan transaksi bisnis. Dengan ide tersebut, Xendit menjadi startup Indonesia pertama yang diterima dalam program Y Combinator.

Sedari kecil, Moses sudah terpapar dunia teknologi. Beranjak dewasa, ia mulai tertarik pada hal-hal terkait keuangan dan perbankan, disandingkan dengan latar belakang pendidikan di bidang teknologi, sampailah ia ke dunia fintech. Ia berhasil lulus dengan gelar mahasiswa terbaik di jurusan commerce, manajemen sistem informasi, dan keuangan di University of New South Wales. Melanjutkan kisah bisnisnya, ia bergabung di Berkeley untuk mengambil gelar master bisnisnya. Moses juga memiliki pengalaman bekerja dengan dua perusahaan terbaik dunia, mengajarinya hal-hal penting untuk memasuki industri teknologi.

Pada tahun 2015, di usianya yang ke-27 tahun, Moses memulai Xendit. Sejak saat itu, perusahaan telah berkembang pesat. Pada tahun ini, Xendit berhasil tercatat sebagai salah satu unicorn di Indonesia. Infrastruktur Xendit juga telah banyak digunakan oleh perusahaan di Indonesia, Filipina, dan Asia Tenggara.

Berikut petikan diskusi kami dengan Moses Lo, orang nomor satu di Xendit, tentang visi dan pencapaiannya di industri teknologi.

Bagaimana awal mula Anda mengejar karir di industri teknologi?

Saya ingin terjun ke industri teknologi sejak berusia 13 atau 14 tahun. Hal ini semata-mata karena kebiasaan bermain game dan merakit komputer. Jadi, saya selalu ingin melakukan sesuatu yang berbau teknologi. Tumbuh dewasa, saya mulai tertarik dengan hal-hal terkait keuangan dan perbankan, lalu mengambil jurusan Sistem Informasi di Universitas, yang akhirnya membawa saya ke fintech. Setelah itu, saya sempat bekerja dengan Boston Consulting Group (BCG) dan Amazon untuk beberapa waktu sebelum memutuskan untuk memulai perusahaan sendiri.

Seperti apa kehidupan Anda sebelum memulai Xendit?

Saya berasal dari keluarga pengusaha. Salah satu alasan saya bekerja di BCG adalah karena mereka pandai dalam mengajarkan keahlian-keahlian berbisnis yang baik. Mereka mengajari cara berpikir, cara menyajikan informasi dengan baik, cara berbicara dengan orang yang lebih tua, orang yang lebih senior, dan jauh lebih penting dari saya. Itu adalah bekal yang sangat berguna.

Kemudian, saya juga sempat bekerja di Amazon untuk waktu yang singkat. Amazon, dibandingkan dengan perusahaan lain, bersaing sangat ketat untuk setiap pasar di mana mereka beroperasi. Mereka memenangkan e-commerce di AS, layanan cloud mereka tersebar di mana-mana. Pergerakan mereka sangat baik dalam ruang kompetitif ini dan saya ingin belajar di perusahaan yang sangat baik dalam hal berkompetisi. Dalam waktu yang singkat itu, saya juga belajar bagaimana membangun budaya startup yang scalable dan bagaimana membangun tim kohesif yang sangat efisien dalam menjalankan bisnis.

Xendit merupakan perusahaan pertama Anda yang mendapat dukungan pemodal ventura. Seperti apa ide awal Xendit?

Ketika kami memulai Xendit, saya melihat beberapa hal yang terjadi di negara lain. Terdapatcelah sejarah di mana perusahaan yang telah berkembang akan menentukan teknologi dan bisnis untuk 15 hingga 20 tahun ke depan. Mereka menetapkan aturan tentang cara kerja teknologi. Oleh karena itu, saya ingin pulang dan membangun infrastruktur serta menetapkan aturan dengan cara yang baik untuk Indonesia dan Asia Tenggara selama 20 tahun ke depan.

Ini benar-benar hal yang menyenangkan. Saya melihat hal ini seperti kita sedang membangun jalan beraspal yang dulunya adalah jalan tanah. Kami sedang membangun infrastruktur, sehingga bisnis lain dapat berkembang di atas platform ini.

Sebagian besar perjalanan hidup Anda terjadi di luar Indonesia. Selain karena potensi, apa yang mendorong Anda untuk membangun bisnis yang berfokus di negara ini? Apa yang membuat Anda yakin bisa menaklukkan pasar Indonesia?

Saya memiliki darah Indonesia. Meskipun tidak tumbuh besar di negara ini, saya menghabiskan sebagian besar masa dewasa di sini. Sebenarnya ini adalah passion saya untuk membangun sesuatu di Indonesia, dan segala sesuatunya mendukung. Sepanjang perjalanan, saya juga menemukan beberapa teman baik yang mau bersama-sama berkembang. Mungkin bukan menaklukkan, karena saya tidak semata-mata berpikir akan menang. Kami hanya melakukan hal yang sangat kami sukai. Semua bermula dari passion.

Di tahun ini, Xendit berhasil mencapai status unicorn. Pernahkah Anda berfikir bisa sampai pada titik ini?

Menurut saya “unicorn” atau valuasi adalah indikator yang lemah untuk setiap nilai yang dapat kita berikan kepada dunia, jadi tidak pernah terpikirkan sebelumnya untuk menjadi unicorn.

Saya cenderung memikirkan apakah kita dapat membuat sesuatu yang berskala untuk menghadirkan dampak positif bagi jutaan orang selama 10 hingga 20 tahun ke depan. Jika hal itu terjadi, maka valuasi pasti akan mengikuti.

Saya tidak pernah benar-benar peduli dengan status unicorn, dan pandangan itu masih sama. Saya lebih memikirkan apakah kita mampu memberi nilai kepada pelanggan, karena itu yang terpenting. Jika kita sudah berada di jalur yang tepat, segala sesuatu yang lain akan mengikuti. Valuasi tetap menjadi satu hal yang harus dipikirkan, tetapi bukan sebagai indikator pencapaian atau sesuatu yang harus dikejar. Hal itu hanya bagian dari bisnis. Saya menghabiskan sebagian besar waktu saya untuk memikirkan produk, pelanggan, dan tim di Xendit.

Menurut Anda, apa hal yang paling esensial untuk membangun keberlanjutan sebuah perusahaan di industri teknologi?

Sederhana saja, semuanya (teknologi, produk, penjualan) bergantung pada orang-orang yang mengerjakannya. Semuanya merupakan cerminan. Bagi saya, yang terpenting adalah membangun organisasi yang dapat menarik dan mempertahankan orang-orang yang tepat. Produk memang penting, tapi fungsi tersebut datang dari orang yang membangunnya, sama halnya dengan penjualan dan layanan pelanggan.

Saya menghabiskan banyak waktu untuk memikirkan organisasi, orang-orang di dalamnya, budaya yang kita jalani, cara kita membuat keputusan. Setelah semua hal sudah dilakukan dengan benar, segala sesuatu yang lain, bahkan jika saya tidak mengontrol pengambilan keputusan, akan berjalan dengan baik.

Budaya adalah apa yang bisa menarik dan mempertahankan pekerja dalam jangka panjang. Bukan semata-mata tentang tenis meja dan makanan, dimana kami menyediakan hal itu. Hal yang lebih penting terkait pengambilan keputusan, tim yang Anda bangun, bagaimana caranya menyingkirkan politik dalam organisasi, proses rekrutmen, pemberian kompensasi, dan sebagainya. Budaya dibangun atas jawaban dari pertanyaan-pertanyaan besar ini.

Sementara pekerja menjadi aset yang paling berharga di Xendit, apakah Anda punya pendekatan khusus dalam proses rekrutmen perusahaan?

Anda familiar dengan istilah underdog yang mau bekerja keras? Banyak dari kita tidak datang dari “sesuatu”, tetapi kita memiliki sesuatu untuk dibuktikan kepada dunia dan kami senang bekerja keras. Kami sangat peduli dengan budaya dan bagaimana kami membangun dan memelihara organisasi.

Jika harus memecahnya menjadi beberapa bagian, yang pertama adalah kecocokan budaya. Di dalamnya termasuk pekerja keras, ramah, membantu, tanpa politik, atau hal-hal berbau underdog. Selanjutnya, etos kerja. Kami menyadari fakta bahwa banyak orang yang masih belum paham betul tentang pembayaran. Di Xendit, kami menyediakan segalanya untuk dipelajari. Selain itu, kami juga menerapkan “Trial Day” sebagai bagian dari proses rekrutmen. Hal ini mungkin tidak ada di sebagian besar perusahaan. Ada satu hari dimana kami meminta Anda untuk bekerja bersama menyelesaikan isu yang nyata. Alih-alih diwawancarai, kandidat punya kesempatan untuk mewawancarai tim  Xendit. Dengan begitu, mereka akan tahu bagaimana rasanya bekerja di Xendit.

Tim awal Xendit / Xendit

Tantangan seperti apa yang Anda hadapi dalam perjalanan bisnis selama ini?

Ada banyak sekali tantangan, salah satu yang tersulit adalah rekrutmen ketika perusahaan masih kecil. Jauh sebelum menjadi perusahaan besar dengan bisnis bereputasi tinggi, tidak ada yang tahu siapa Anda. Kami mengembangkan model dimana kami mempekerjakan sekelompok teman. Sepuluh karyawan pertama kami sebenarnya adalah beberapa regu yang diberi kantor untuk mengembangkan produk. Dalam perhitungan saya, mungkin satu atau dua akan tinggal, kenyataannya, seluruh tim berjumlah 12 orang mau bergabung. Selama beberapa tahun pertama, teknisi awal kami adalah teman sepermainan. Kami mwmiliki tujuan yang kuat untuk mempekerjakan sekumpulan lingkaran pertemanan di mana saja, itu menjadi awal pembentukan tim kami di beberapa negara.

Xendit mengembangkan infrastruktur pembayaran dan telah hadir di Indonesia dan Filipina. Seperti apa Anda melihat potensi pasar serta peluang ekspansi ke depannya?

Jika kita melihat sisi pembayaran atau pembayaran merchant, masih terlalu dini. Persentase pembayaran digital Indonesia masih kurang dari 10% dari total PDB dibandingkan China atau AS yang mendekati 10-15%. Saya rasa kita masih memiliki peluang besar, masih ada ruang untuk pertumbuhan besar yang tersisa di setiap sudut.

Saya melihatnya seperti ini, peluang di depan kita lebih besar daripada peluang yang ada selama ini. Tempat ini sangat menarik dan kami berada dalam posisi yang sangat baik untuk menjadi pemain pertama atau kedua teratas di Asia Tenggara.

Saya menemukan sebuah laman berisi tulisan-tulisan Anda. Apakah itu sekadar hobi atau anda memiliki kegiatan lain untuk mengisi waktu luang?

Sesungguhnya, saya menyimpan itu sebagai catatan untuk diri saya sendiri. Sebagian besar yang saya tulis adalah hal-hal yang saat itu saya yakini dan saya ingin melihat apakah hal itu terbukti beberapa tahun kemudian. Hal ini juga untuk mengukur diri dan melihat apakah saya membuat keputusan yang tepat. Alasan lainnya adalah, kebanyakan orang cenderung menanyakan pertanyaan yang sama kepada saya dan jawabannya selalu sama. Saya pikir, jika ditulis, orang bisa membaca dengan mudah dan pengetahuan itu bisa menyebar lebih cepat.

Di Xendit, kami sering berkumpul, mengadakan wisata, dan bepergian bersama. Kami sangat menikmati kebersamaan satu sama lain bahkan di luar tempat kerja. Itu juga cara kami membangun koneksi.

Ada sebuah fenomena di industri teknologi, dimana para founders mulai mengambil peran sebagai investor dalam pasar. Bagaimana pandangan Anda akan hal ini? Sebagai founder, apakah itu sebuah kewajiban atau memang naluri untuk berinvestasi?

Menurut saya, kewajibannya tidak harus dengan berinvestasi, tetapi kewajibannya adalah membantu. Sepertinya ukan hanya founders, mereka memang lebih disorot oleh meedia. Setiap karyawan di sebuah perusahaan startup, juga mereka yang telah membangun bisnis memiliki kewajiban atau setidaknya keinginan untuk meneruskannya. Adalah hal yang menyenangkan bisa membantu pengusaha baru yang mencoba mencari cara untuk mengumpulkan uang, mengurus hierarki perusahaan, atau menemukan product-market fit.

Satu hal yang saya amati ketika saya tinggal di AS adalah, Silicon Valley, salah satu hal terbaik yang pernah ada, adalah kebebasan informasi yang berkualitas tinggi di antara masyarakatnya. Sedangkan di Asia, ketika seseorang memiliki ide bagus, secara tradisional, ia akan menyimpannya sendiri didasari rasa takut akan idenya ditiru atau dicuri. Rasa keharusan untuk memiliki tinggi. Saya ingin budaya itu berubah menjadi budaya yang bisa lebih berbagi alih-alih menyimpan ide untuk diri sendiri.

Kewajiban pendiri adalah membantu pendiri lainnya. Investasi datang sebagai produk sampingan, saya mencoba melakukan investasi sesedikit mungkin karena saya mencintai pekerjaan normal saya. Saya pikir Berinvestasi bisa agak mengganggu. Saya sering melakukannya untuk Xendit atau atas nama Xendit. Ini pendekatan yang sangat berbeda dari pendiri lainnya.

Sebagai startup pertama dari Indonesia yang lulus program YCombinator, bagaimana Anda melihat peran akselerator bagi startup tahap awal?

Kami adalah perusahaan Indonesia pertama di YCombinator dan saya bangga akan hal itu. YC sangat membantu untuk perusahaan tahap awal. Saya tidak tahu semua akselerator, jadi saya tidak bisa berbicara atas setiap akselerator. Satu hal yang bisa saya sampaikan, YC adalah akselerator yang sangat efektif. Seperti halnya mengurus hal-hal yang berurusan dengan tekanan bergaul bersama perusahaan terbaik di dunia. Selain itu, YC memberikan saran-saran apik, karena dijalankan oleh orang-orang yang sudah terbukti dalam membangun bisnis sebelumnya. Lalu, YC telah membangun jaringan terbaik; perusahaan ternama akan menarik investor ternama dan sebaliknya.

Xendit menjadi startup Indonesia pertama di program YCombinator

Dalam hal akselerator, saya pikir yang paling penting adalah pengusaha harus bertanya pada diri sendiri, ‘apa yang benar-benar saya butuhkan?’ dan ‘apakah program ini menyediakannya?’ Tidak semua akselerator bisa piawai untuk memberi saran dan mampu memberi Anda investor bernilai miliaran dolar. Semua itu tergantung pada kebutuhan pendiri dan kualitas akselerator.

Sebagai pebisnis berpengalaman, apa yang bisa Anda bagikan tentang perjuangan dan pertarungan di arena bisnis untuk para tech enthusiasts di luar sana?

Ada tiga hal yang bisa saya sampaikan. Pertama, temukan product-market fit. Sebagian besar pengusaha sudah memikirkan produk dan berharap mereka bisa menjualnya. Namun, dalam perjalanan untuk mendapatkan kesesuaian pasar produk, lebih sering Anda jatuh cinta dengan masalah pelanggan dan Anda merasakan dorongan untuk menyelesaikannya. Itu salah satu cara terbaik untuk menemukan kecocokan pasar produk.

Selanjutnya, sepuluh orang pertama di perusahaan akan menentukan budaya untuk ribuan orang berikutnya. Saya melihat hal-hal yang terjadi sekarang di Xendit, yang tidak dapat saya kendalikan lagi. Karena kami tidak mengontrol apa yang dilakukan seseorang dalam tim kecil sekarang karena kami ratusan orang besar. Budaya menyebar dan mereplikasi dirinya sendiri. Namun, sepertinya tidak cukup banyak orang yang sadar tentang hal itu sejak dini.

Yang ketiga, dalam hal perjuangan dan pertarungan, carilah mentor Anda. Dalam kasus saya, saya memiliki mentor untuk masing-masing kategori, 2 tahun ke depan, 5 tahun ke depan, dan 10 tahun ke depan. Menurut saya ini sangat membantu dalam perjalanan bisnis. Mentor 2 tahun dapat memberi saya gambaran tentang apa yang harus saya lakukan besok, mentor sepuluh tahun dapat mempertanyakan hal-hal seperti “Pastikan Anda membuat keputusan besar yang tepat!”, “Di industri mana Anda ingin membangun startup?” . Kemudian, mentor lima tahun ke depan dapat memberi Anda celah di antara keduanya dalam hal rencana untuk lima tahun ke depan dan seterusnya. Saya selalu berusaha sebaik mungkin untuk mempertahankan tiga kategori mentor ini.


Artikel asli dalam bahasa Inggris, diterjemahkan oleh Kristin Siagian

Xendit Memproses Transaksi Lebih dari 171 Triliun Rupiah, Pertumbuhan Terbesar dari Produk Digital

Startup payment gateway Xendit mengungkapkan sepanjang tahun ini (periode 30 November 2020-30 November 2021) telah memproses nilai volume transaksi (TPV) lebih dari $12 miliar (lebih dari 171 triliun Rupiah) dengan total transaksi lebih dari 150 juta transaksi per tahunnya, baik di Indonesia dan Filipina. Angka ini tumbuh 250% secara YOY dan 12% secara MOM.

Dari data internal perusahaan, diungkapkan saat ini Xendit memiliki lebih dari 3 ribu merchant aktif, yang terdiri dari 90% UMKM dan 10% korporasi. Pertumbuhan transaksi terbesar datang dari tiga industri, yakni produk digital yang naik 400%, meliputi layanan edtech, SaaS, healthtech, dan lainnya; sektor jasa tumbuh 300%, meliputi sekolah, logistik, wedding, dan lainnya; dan, jasa keuangan naik 150%, meliputi software akuntansi, investasi, asuransi, dan lainnya.

“Hal yang menarik dari sektor jasa untuk wedding karena selama pandemi banyak event organizer yang menyediakan QRIS untuk memberikan angpao buat mempelai secara online,” ucap SME Sales Lead Xendit Patricia Muljadi dalam konferensi pers virtual, Selasa (14/12).

Pencapaian Xendit

Lebih lanjut dipaparkan bahwa metode pembayaran yang paling banyak digunakan di Indonesia adalah e-wallet (43%), virtual account (42%), QR Code (7%), retail outlet (6%), dan kartu kredit menempati posisi terbawah.

Bila ditelaah lebih dalam, hampir separuh seller online di Xendit sudah menerima pembayaran via e-wallet. Oleh karenanya, pemakaian e-wallet tumbuh signifikan dari tahun ke tahun, terutama sejak pandemi, dengan total pertumbuhan mencapai 300% dari awal tahun ini.

“Jumlah pengguna e-wallet juga meningkat 2,4x lipat dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Di bulan November 2021, hampir separuh merchant Xendit sudah memiliki kanal e-wallet khusus untuk menerima pembayaran pembeli.”

Selanjutnya, transfer virtual account tetap menjadi pilihan utama bagi konsumen di Indonesia dengan peningkatan sebanyak dua kali lipat. Adapun untuk retail outlet menjadi pilihan kedua terbesar memperlihatkan bahwa pembayaran over the counter masih relevan di Indonesia, khususnya di kota lapis dua dan tiga.

Akan tetapi, bila dibandingkan di tahun sebelumnya, baik kartu kredit maupun retail outlet menunjukkan penurunan yang cukup signifikan. Untuk retail outlet misalnya, sebelumnya porsinya 12%.

Berikutnya, pembayaran via QR Code meningkat hingga tujuh kali lipat secara YOY. Akselerasi ini didorong oleh regulasi pemerintah yang menetapkan QRIS, sehingga semua pembayaran digital dapat difasilitasi hanya dengan satu kode yang sama. Di bulan November kemarin, Xendit mencatat bahwa 1 dari 5 merchant telah menggunakan QR code untuk menerima pembayaran dari pembeli.

Terakhir, rata-rata nilai transaksi untuk setiap metode pembayaran, virtual account menjadi yang tertinggi dibandingkan metode pembayaran lainnya. Sementara, e-wallet menjadi yang terendah. Patricia menuturkan, berdasarkan data internal mereka, rata-rata nilai transaksi untuk setiap metode pembayaran sangat bervariasi –dengan virtual account menempati angka tertinggi (rata-rata Rp2,3 juta) dan e-wallet terkecil (rata-rata Rp70ribu).

Menurutnya, hal ini mengindikasikan bahwa e-wallet banyak digunakan untuk pembayaran bernilai kecil, serupa dengan QR Code yang mencatatkan nominal transaksi rata-rata Rp250 ribu. “Sementara itu, untuk pembelian bernominal besar, pembeli Indonesia lebih banyak mengandalkan virtual account, outlet ritel (rata-rata Rp1,2 juta) dan kartu kredit (rata-rata Rp800 ribu).”

Pencapaian lainnya turut disampaikan oleh Xendit, yakni Aplikasi Xendit Bisnis yang sudah diluncurkan sejak bulan lalu. Disampaikan bahwa aplikasi ini telah memiliki lebih dari 250 pengguna baru. Mereka datang terbanyak dari industri ritel, produk digital, dan jasa. Adapun pilihan metode pembayaran yang mereka sediakan adalah e-wallet (62,2%), virtual account (26,8%), dan kartu kredit (11%).

Sebagai catatan, aplikasi Xendit Bisnis ini memungkinkan pebisnis yang mayoritas menggunakan smartphone untuk mengoperasikan bisnisnya, untuk mengatur dan menerima pembayaran online dari pembeli, serta Order Management yang memungkinkan pebisnis bisa memproses keseluruhan transaksi secara otomatis, mulai dari memasukkan pesanan dari pembeli, mengatur pengiriman, hingga merekap semua pembelian.

Dengan begitu, operasional bisnis online bisa berjalan dengan lancar dan efisien dalam hal penghematan waktu. Awal tahun depan, rencananya Xendit akan menambah fitur untuk aplikasi ini, di antaranya mengintegrasikan Xendit Online Store dengan aplikasi, mengelola inventori cek ongkos kirim, dan pemesanan layanan logistik.

“Kita sangat product-centris. Ke depannya kita akan lebih banyak mempersiapkan dan meningkatkan solusi kami dari sisi produk, agar produk dapat lebih simpel. Ini menjadi strategi yang akan tetap kami pegang,” tambah Head of Business Development Xendit Nor Meydia.

Meski tidak dirinci lebih detail, perusahaan akan mengembangkan produknya berdasarkan tiga pilar, yakni keamanan, produk UMKM-sentris, dan produk modal usaha. Untuk pilar yang terakhir, rencananya Xendit akan menyediakan fitur modal kerja untuk pengusaha dan kartu kredit korporat.