Raspberry Pi 400 Adalah Komputer yang Menyamar Sebagai Keyboard

Single-board computer seperti Raspberry Pi sering kali lebih terkesan seperti basis dari sebuah proyek DIY ketimbang produk yang ditujukan untuk konsumen umum. Namun kalau berdasarkan pengakuan Eben Upton sendiri selaku pendiri Raspberry Pi Foundation, jumlah orang yang menggunakan Raspberry Pi 4 meningkat drastis selama pandemi COVID-19.

Itu berarti tidak sedikit yang menggunakan komputer papan tunggal semacam ini untuk keperluan bekerja maupun belajar. Seandainya Raspberry Pi bisa dibuat jadi lebih user-friendly lagi, mungkin konsumen yang tertarik menggunakannya sebagai komputer utama bakal semakin banyak lagi.

Berangkat dari pola pikir seperti itu, lahirlah Raspberry Pi 400, sebuah keyboard yang juga merupakan komputer fungsional. Cukup sambungkan monitor, lalu pasangkan mouse dan kartu microSD, maka kita bisa langsung menggunakannya untuk keperluan sehari-hari, di samping untuk belajar coding.

Komputer dalam wujud keyboard tentu bukanlah ide baru. Produk-produk legendaris seperti Commodore 64 atau Apple II sebenarnya juga merupakan komputer yang menyamar sebagai papan ketik, dan merekalah yang menjadi inspirasi utama Raspberry Pi 400. Tentu saja implementasinya jauh lebih mudah sekarang karena memang dimensi Raspberry Pi sangatlah mungil.

Secara teknis, jeroan yang dimiliki Raspberry Pi 400 sangat mirip seperti Raspberry Pi 4 yang diperkenalkan tahun lalu. Yang menjadi otaknya masih prosesor quad-core 64-bit ARM Cortex-A72, hanya saja yang memiliki clock speed sedikit lebih tinggi di angka 1.8 GHz, plus RAM LPDDR4 berkapasitas 4 GB.

Konektivitasnya pun sangat lengkap, mulai dari Bluetooth 5.0 sampai Wi-Fi AC, plus sambungan Ethernet jika perlu. Total ada dua port USB 3.0 dan satu port USB 2.0, dua port micro HDMI untuk menyambungkan dua monitor sekaligus, dan satu port USB-C yang berfungsi sebagai sumber dayanya. Berhubung ini masih merupakan Raspberry Pi, tentu saja masih ada sambungan GPIO 40-pin untuk menghubungkan berbagai macam sensor atau perangkat lainnya.

Bagian terbaiknya, seperti halnya semua Raspberry Pi, adalah harga yang terjangkau. Satu unit Raspberry Pi 400 dihargai $70, atau konsumen juga bisa membeli dalam bentuk bundel lengkap seharga $100. Bundel tersebut turut mencakup mouse, power supply USB-C, kartu microSD dengan sistem operasi Raspberry Pi OS pre-installed, kabel micro HDMI ke HDMI, dan sebuah buku panduan pemula. Kabarnya, Raspberry Pi 400 akan mulai tersedia di beberapa negara pada awal 2021.

Sumber: Raspberry Pi Foundation.

HyperX Luncurkan Solocast, Mikrofon USB Berharga Terjangkau dengan Fitur Cukup Lengkap

Bagi para kreator konten, mikrofon USB merupakan cara termudah untuk meningkatkan kualitas audio pada karya-karya besutannya. Entah itu podcaster, streamer, atau YouTuber secara umum, mikrofon USB bisa dipandang sebagai aset yang tak kalah penting dari sebuah kamera.

Seperti halnya kamera, tentu ada banyak pilihan mikrofon yang tersedia di pasaran. Kendati demikian, mikrofon USB kerap menjadi pilihan karena kepraktisannya; cukup colokkan ke PC, maka mikrofon bisa langsung berfungsi tanpa perlu bantuan mixer maupun perangkat sejenis lainnya.

Mikrofon USB sendiri ada yang mahal ada yang murah. Salah satu mikrofon USB kelas budget terbaru datang dari HyperX. Dinamai HyperX Solocast, mic ini bisa menjadi alternatif yang sangat menarik dengan banderol hanya $60.

Harga tersebut menempatkan Solocast di level yang sama seperti Razer Seiren Mini, yang baru saja diluncurkan pada bulan Oktober lalu. Solocast memang dihargai $10 lebih mahal dan punya dimensi yang sedikit lebih bongsor, akan tetapi ia juga punya satu kelebihan yang tak dimiliki Seiren Mini, yakni tombol mute.

Tombol mute kapasitif ini terletak di bagian atas mic, jadi cukup dengan menyentuhnya sekali, mic pun otomatis akan berhenti menangkap suara. Sentuh sekali lagi, maka mic akan kembali berfungsi secara normal. Simpel dan tidak neko-neko. Selagi dalam posisi mute, indikator LED-nya yang berwarna merah akan berkedip.

Dudukan bawaan Solocast cukup fleksibel. Mic bisa diposisikan sepenuhnya miring (180°) dan diselipkan di bawah monitor jika perlu. Buat yang berniat menggunakan boom arm atau dudukan lain, terdapat drat 3/8 inci dan 5/8 inci di bagian bawah Solocast.

Seperti kebanyakan mikrofon USB, unit condenser di dalam Solocast mengandalkan pickup pattern cardioid, yang berarti ia paling sensitif terhadap suara yang berasal langsung di depannya. Tidak ada keterangan seberapa besar unit condenser-nya, tapi semestinya tidak lebih kecil daripada milik Seiren Mini.

Dengan harga yang cukup terjangkau, HyperX Solocast tentu bisa menjadi opsi upgrade yang menarik bagi kreator yang masih mengandalkan mic bawaan headset atau kamera. Produk ini memang berasal dari sebuah brand gaming, tapi saya kira streamer bukan satu-satunya target pasar yang dituju.

Sumber: Business Wire.

Logisly Peroleh Pendanaan Seri A 87,7 Miliar Rupiah, Dipimpin Monk’s Hill Ventures

Bertujuan untuk memperluas dan memperkuat bisnis mereka di Indonesia, platform logistik Logisly baru saja merampungkan pendanaan seri A senilai $6 juta atau setara 87,7 miliar Rupiah dipimpin oleh Monk’s Hill Ventures. Co-Founder & CEO Logisly Roolin Njotosetiadi mengungkapkan, fokus utama perusahaan ke depannya adalah melakukan proses digital secara menyeluruh terkait dengan industri logistik di Indonesia.

Rencananya perusahaan akan memanfaatkan dana segar tersebut untuk meningkatkan tim penjualan dan tim vendor acquisition untuk memperkuat jaringan pengirim dan mitra juga produk dan pengembangan. Hal ini termasuk menyediakan tools untuk shippers atau pengirim dan mitra penyedia angkutan untuk meningkatkan operasional bisnis mereka.

“Dalam jangka panjang, tujuan kami adalah menciptakan nilai dengan menggunakan teknologi untuk menghilangkan sistem lama, dan fokus pada otomatisasi dan efisiensi. Semakin sedikit pekerjaan manusia, semakin baik dan semakin tinggi margin-nya,” kata Roolin.

Ke depannya perusahaan juga ingin membuka lebih banyak rute agar memberikan lebih banyak peluang bisnis. Hal ini termasuk mencakup lebih banyak pengiriman FCL (full container load) ke pulau-pulau terluar Indonesia. Logisly juga akan terus memikirkan penciptaan nilai untuk ekosistem dan melihat bahwa pengambilan keputusan yang cerdas akan menjadi fokus dalam hal inovasi.

Bulan Agustus 2019 lalu, Logisly telah mengantongi pendanaan awal. Putaran investasi tersebut dipimpin oleh SeedPlus, Genesia Ventures, dan Convergence Ventures. Tidak disebutkan besaran nominal dana yang diperoleh.

“Roolin dan Robbi telah membuat langkah besar dalam memecahkan inefisiensi besar di Industri logistik B2B Indonesia dan mendorong digitalisasi yang lama tertunda. Pendekatan tim pasar berbasis kepada teknologi yang dikombinasikan dengan pusat operasi yang ramping dan efisien, memberikan nilai instan bagi pengemudi truk dan pengirim yang membedakan mereka dengan pemain lainnya,” kata Partner Monk’s Hill Ventures Justin Nguyen.

Perkembangan bisnis Logisly

Tumbuhnya sektor logistik di Indonesia saat pandemi dirasakan juga oleh Logisly, sebagai platform yang menjembatani kebutuhan para pengguna dengan penyedia transportasi truk di Indonesia.

“Bisnis sebenarnya telah berkembang selama pandemi. Mengingat pendekatan kami yang sangat ramping, gesit, dan terdiversifikasi, kami dapat mengalihkan fokus dan mendukung pengirim di sektor-sektor yang melihat pertumbuhan yang kuat seperti sektor e-commerce, kesehatan, telekomunikasi, dan bantuan sosial, misalnya. Dengan mengoptimalkan proses kami, kami dapat mendorong margin kontribusi positif untuk bisnis.” kata Roolin

Logisly saat ini telah melayani lebih dari 300 pengirim perusahaan dari berbagai sektor, termasuk FMCG, bahan kimia, konstruksi, dan platform e-commerce.  Dengan jaringan lebih dari 40 ribu  truk, Logisly menyediakan 100% ketersediaan truk dengan harga terjangkau untuk pengguna.

“Model bisnis kami tidak berubah karena kami terus fokus pada keunggulan operasional, pasokan yang kuat dan hemat biaya. Covid-19 hanya membuat kami lebih berpusat pada pelanggan dan lebih tajam dalam cara kami memikirkan operasional dan logistik pelanggan kami dan apa yang dapat kami lakukan untuk menyelesaikannya, seperti menyediakan mereka truk yang mereka butuhkan,” kata Roolin.

Pendanaan startup logsitik

Perolehan Logsily menambah daftar startup logistik lokal yang bukukan pendanaan tahun ini. Belum lama ini, Andalin juga baru umumkan pendanaan terbarunya. Mereka fokus pada sistem manajemen ekspor-impor. Selain Logisly, berikut daftar startup logistik yang dapatkan pendanaan di tahun 2020 ini:

Startup Tahapan Nilai Investor
Andalin Seed BEENEXT, Access Ventures, ATM Capital
Waresix Series B EV Growth, Jungle Venture, SoftBank Ventures Asia, EMTEK Group, Pavilion Capital, Redbadge Pacific
Webtrace Seed Corin Capital, Prasetia Dwidharma, Astra Ventures
Shipper Series A $20 juta Prosus Ventures, Lightspeed, Floodgate, Y Combinator, Insignia Ventures, AC Ventures
GudangAda Series A $25,4 juta Sequoia India, Alpha JWC Ventures, Wavemaker Partners
Kargo Technologies Series A $31 juta Tenaya Capital, Sequoia India, Intudo Ventures, Amatil X, Agaeti Convergence Ventures, Alter Global, Mirae Asset Venture Investment
Waresix Series A $25,5 juta EV Growth, Jungle Ventures
Application Information Will Show Up Here

Menunggu Hadirnya Generasi Baru “Angel Investor” di Indonesia

Periode awal menjalankan startup begitu krusial dalam segala aspek. Memperkenalkan produk ke pasar, memvalidasi model bisnis, merekrut SDM yang tepat, dan menjaga keandalan layanan, adalah sedikit dari contohnya. Namun dalam fase awal itu, faktor pendanaan adalah salah satu yang paling penting. Bicara tentang pendanaan di fase awal, maka wajib melihat peran angel investor di sana.

Bisa dibilang angel investor adalah investor dengan risiko terbesar dalam siklus bisnis startup digital. Menaruh modal ke startup anyar berarti bertaruh akan ide dan potensi startup serta kemampuan pendirinya. Seringkali kepercayaan bahkan mereka berikan ketika belum melihat produknya. Namun risiko yang besar ini membawa potensi keuntungan yang sebanding.

Menariknya di Indonesia, eksistensi angel investor masih jauh dari sorotan. Padahal dalam ekosistem startup keberadaan mereka terbilang penting. Masih banyak yang belum diketahui dari angel investor di Indonesia. Kami bicara dengan beberapa angel investor untuk mengenal lebih dalam skena di dalam negeri.

Masih terbatas

Alexander Rusli adalah salah satu pebisnis yang mulai mulai aktif sebagai angel investor. Selesai lengser sebagai pimpinan Indosat Ooredoo, Alex langsung melirik bisnis digital. Alex tercatat sebagai pendiri Digiasia dan investor di 11 perusahaan lain. Ia memperkirakan ada beberapa hal yang menyebabkan nama angel investor tidak begitu terdengar di Indonesia. Pertama karena adalah khawatir kegagalan di satu startup terdengar orang banyak. Kemungkinan lain, menurutnya, adalah mereka tidak ingin “diserbu” oleh orang-orang yang tidak diinginkan.

“Mungkin mereka investasi itu dengan alasan macam-macam, seperti hubungan khusus dengan founder, senang dengan industrinya, [atau] hanya coba-coba. Memang struktur angel investor di Indonesia ini belum matang khususnya untuk digital investment,” ucap Alex.

Venture Partner MDI Ventures Aria Setiadharma membenarkan umumnya lingkungan angel investor di Tanah Air masih didominasi investor tradisional. Mereka adalah pebisnis atau anggota keluarga konglomerat atau yang lama berkecimpung lama di industri besar di Tanah Air. Menurut Aria, dengan latar belakang seperti itu, ekosistem angel investor tidak berkembang secepat di negara-negara lain seperti Singapura contohnya.

Aria bercerita kehadiran kantor raksasa digital di Singapura melahirkan generasi investor baru. Individu yang dulu bekerja di Google, Facebook, ataupun Netflix membuat semacam venture funding untuk membesarkan startup-startup baru yang potensial.

“Siklus itu belum terjadi di Indonesia. Yang punya uang itu kebanyakan masih dari properti, perbankan, dan pertambangan. Dari sana saja mindset-nya sudah berbeda,” imbuh Aria.

Sebastian Wijaya, yang akrab dengan skena angel investment, mengakui tingkat kesulitan startup baru memperoleh pendanaan dari angel cukup tinggi. Menurutnya, pokok permasalahan terletak pada faktor kedekatan seseorang. Ia mengakui untuk mendapatkan investasi dari individu ini bergantung pada kekuatan koneksi ke orang-orang yang tepat.

Masalah ini timbul karena platform ataupun badan yang mengelola angel investment masih terbilang sedikit. Bisa dibilang entitas pengelola paling dikenal di Indonesia sejauh ini hanya Angin.

“Jadi untuk suatu startup mendapatkan angel investing itu benar-benar tergantung kepada koneksi ke orang yg tepat. Setahu saya jika koneksi tersebut sudah terjalin, tingkat kesuksesan startup mendapatkan funding cukup besar,” tukas Sebastian.

Menunggu generasi baru

Walau secara umum angel investor masih banyak berasal dari orang-orang yang tidak berasal dari bisnis digital, saat ini mulai bermunculan gelombang baru angel investor di Indonesia. Mereka ini adalah eksekutif dan pendiri startup yang mencoba peruntungan dengan memutar uangnya di startup baru.

Laporan DealStreetAsia menyebutkan CEO Kopi Kenangan Edward Tirtanata, CEO Adrian Gunadi, dan pendiri Koinworks Willy Arifin sebagai contoh yang mewakili generasi baru tersebut. Dalam laporan itu diketahui, kegiatan Edward sehari-harinya tak lagi diisi Kopi Kenangan, tapi juga mengurus investasinya di sejumlah startup, seperti BukuKas, GudangAda, OtoKlix, dan Klinik Pintar.

Di samping nama-nama tadi, ada juga mereka yang dulunya memegang kursi pimpinan di startup besar namun sudah keluar. Beberapa nama yang cukup mewakili adalah Achmad Zaky dan Rohan Monga.

“Sekarang mereka ingin coba make money dengan investasi di industri serupa. Itu juga satu kategori yang sudah mulai banyak. Seperti para pendiri startup unicorn yang mulai investasi di banyak startup juga,” ujar Alex menanggapi kemunculan generasi baru angel investor.

Gelombang baru investor ini tentu membawa semangat baru di lanskap bisnis digital. Ada beberapa alasan yang mendorong kondisi demikian. Pertama mereka memiliki pengalaman dan pengetahuan relevan di startup mereka. Bagi startup baru, bimbingan yang tepat bagaikan jarum kompas untuk mengarungi berbagai rintangan.

Alasan berikutnya adalah jejaring yang sudah dibangun investor dari kalangan profesional dan pendiri biasanya sudah cukup matang. Hal itu bisa menjadi modal tambahan bagi suatu startup yang ingin menggelar babak pendanaan lebih lanjut. Selain itu, menurut Aria, karakter investor dari kalangan tersebut lebih sabar dengan perkembangan startup yang dimodali, mengingat butuh kepercayaan lebih kepada para pendirinya dalam menahkodai perusahaan.

“Selama angel investor ini masih pakai pemikiran lawas, enggak akan jalan ekosistemnya. Ya tapi bukan berarti tidak ada yang oke. Kalau angel investor-nya di sini bisa ambil backseat, lebih enak untuk startup itu sendiri,” jelas Aria.

Kehadiran gelombang baru angel investor di lanskap bisnis digital Indonesia bukan berarti dapat menyelesaikan semua masalah. Akses ke angel investor di Indonesia masih relatif sulit. Keberadaan organisasi angel investor, seperti Angin, kian dibutuhkan.

“Kita memang belum ada banyak tokoh pendiri yang sukses exit seperti di AS. Kita perlu tunggu beberapa tahun lagi ketika lebih banyak founder yang exit ataupun IPO, pasti suara angel investor di publik akan lebih terdengar,” pungkas Sebastian.

B&O Kembali Luncurkan Speaker Bluetooth Berwujud Kotak Makan Siang, Kali Ini Dengan Wireless Charging

Pepatah “if it ain’t broke, don’t fix it” cukup sering dilontarkan di dunia teknologi, tapi mungkin yang paling sering datang dari segmen audio. Alasannya sederhana: produk audio terkenal punya umur yang panjang. Tidak seperti TV, speaker warisan orang tua Anda yang sudah berusia puluhan tahun belum tentu suaranya lebih jelek daripada yang Anda beli tahun lalu.

Itulah mengapa pada akhirnya kita cukup sering melihat perangkat-perangkat audio baru yang sebenarnya tidak lebih dari sebatas penyegaran versi lamanya. Bentuk dan suara yang dihasilkannya nyaris tidak berubah, tapi mungkin ada penyempurnaan dari segi konektivitas maupun aspek-aspek pelengkap lainnya.

Salah satu produk audio yang sesuai dengan deskripsi di atas adalah speaker wireless bikinan Bang & Olufsen, yakni Beolit 12 yang dirilis di tahun 2012. Dalam kurun waktu delapan tahun, speaker dengan wujud menyerupai kotak makan siang ini sudah mempunyai tiga suksesor: Beolit 15 di tahun 2015, Beolit 17 di tahun 2017, dan yang terbaru, Beolit 20 di tahun pandemi ini.

Seperti yang bisa Anda lihat, lagi-lagi B&O tidak banyak mengutak-atik desainnya. Beolit 20 masih sangat identik dengan ketiga pendahulunya. Rangkanya yang begitu elegan masih terbuat dari aluminium, dan keempat sisinya masih dikitari grille. Handle-nya yang terbuat dari kulit pun masih ada di posisi yang sama.

Yang berbeda kali ini adalah, permukaan atasnya bisa merangkap fungsi sebagai Qi wireless charger, dengan titik-titik melingkar sebagai indikatornya. Sayang sekali tidak ada magnet di baliknya, yang berarti pengguna tetap harus mengepaskan sendiri posisi perangkat yang diletakkan di atasnya agar charging bisa berjalan normal.

Lima tombol pengoperasian tetap hadir di panel atasnya ini, salah satunya tombol play/pause yang menggantikan tombol multifungsi milik pendahulunya. Kedengarannya memang seperti downgrade, tapi saya yakin sebagian besar konsumen akan lebih senang dengan konfigurasi tombol yang lebih simpel seperti ini.

Hal lain yang berbeda pada Beolit 20 adalah daya tahan baterainya. B&O mengklaim Beolit 20 bisa beroperasi 30 persen lebih lama dari pendahulunya. Persisnya, baterai 3.200 mAh yang tertanam di tubuhnya sanggup bertahan sampai 37 jam kalau musik hanya diputar dalam volume rendah. Di volume standar, daya tahannya turun menjadi 8 jam, dan di volume maksimum tersisa cuma 4 jam. Beruntung perangkat ini sudah mengandalkan USB-C untuk charging-nya.

Di balik bodi Beolit 20 yang berbobot 2,7 kg ini, tertanam sebuah woofer 5,5 inci dan tiga driver full-range dengan diameter masing-masing 1,5 inci. Melengkapi jeroannya adalah sepasang passive radiator 4 inci, sepasang amplifier Class-D dengan daya masing-masing 35 W, serta sebuah tweeter.

Sayang sekali konektivitas yang digunakan masih Bluetooth 4.2, padahal seharusnya efisiensi dayanya bisa lebih ditingkatkan lagi kalau menggunakan Bluetooth 5.0. Kabar baiknya, fitur stereo pairing masih didukung, dan pengguna bisa menggandengkan Beolit 20 dengan Beolit 17 jika mau.

Saat ini Beolit 20 sudah dijual dengan harga $500, alias sama persis seperti harga perdana pendahulunya. Kombinasi warna yang tersedia ada dua: silver dengan aksen beige, dan hitam dengan aksen biru.

Sumber: The Verge.

Inilah 118 Peserta Terpilih DSLaunchpad 2.0

Program DSLaunchpad 2.0 yang diselenggarakan oleh DailySocial.id dan didukung oleh Amazon Web Services (AWS) segera bersiap memasuki fase berikutnya, yaitu tahap akselerasi intensif bagi para startup terpilih. Periode registrasi program ini sebenarnya telah dibuka sejak tanggal 5 Oktober 2020 dan ditutup pada 18 Oktober 2020. Namun karena banyaknya pertanyaan yang masuk ke email dan WhatsApp, bahkan hingga pendaftaran ditutup, maka penyelenggara memutuskan untuk memperpanjang periode registrasi selama 5 hari hingga tanggal 23 Oktober 2020. Tujuannya adalah untuk memberikan kesempatan bagi para calon peserta yang terlambat mendaftar.

Selama 3 pekan periode registrasi dibuka, sebanyak 736 founders telah mendaftarkan diri dalam program DSLaunchpad 2.0. Hal ini sangat menggembirakan bagi DailySocial.id dan AWS selaku penyelenggara, melihat antusiasme yang tinggi dari para founders yang mendaftar. Namun tidak semua founders dapat difasilitasi. Hanya para founders yang memenuhi kriteria, dengan ide dan konsep startup terbaik yang dapat menjadi peserta DSLaunchpad 2.0.

DailySocial.id bersama AWS telah melakukan beberapa tahapan kurasi demi mendapatkan peserta terbaik untuk program ini. Proses kurasi dilakukan berdasarkan beberapa kriteria penilaian, mulai dari kelengkapan segi administrasi pada saat pendaftaran, hingga potensi ide yang diajukan. Awalnya, proses kurasi ini direncanakan hanya akan menghasilkan 100 peserta terpilih saja. Namun, ternyata begitu banyak ide startup brilian yang didaftarkan, sehingga penyelenggara memutuskan untuk meningkatkan kuota peserta terpilih menjadi 118 demi memfasilitasi semua ide terbaik tersebut.

Lewat proses kurasi yang tidak mudah, DailySocial.id dan AWS telah memilih 118 peserta yang berhak mengikuti rangkaian program DSLaunchpad 2.0. Berikut adalah daftar 118 peserta terpilih program DSLaunchpad 2.0.

  1. REEF – Renewable Energy Financing
  2. MauCariApa.com
  3. Taplink
  4. FRESIO
  5. Bina Digital Bangsa
  6. THE PASAR
  7. Snaptig
  8. Mantab
  9. Cocreator.id
  10. Yukbanyuwangi
  11. smartbengkel
  12. Lavees
  13. Aneka Baking Online
  14. HAKITA
  15. BENEMICA
  16. GIGI.ID
  17. OBBA
  18. Imajin
  19. HRMLabs
  20. TransTRACK.ID
  21. Klepon Technology
  22. Imello
  23. Ekuitas Home
  24. MAINKODE
  25. CatatBuku Indonesia
  26. Logan
  27. Invo
  28. audita
  29. KurirLokal
  30. Redberrysoft Inc.
  31. Tarkuntansi
  32. Omni Hotelier
  33. Panggilin
  34. Tebengan Indonesia
  35. Yuk Maem
  36. Lexipage Messenger
  37. SOKU
  38. Azana Hotels
  39. MyClinicalPro
  40. Flick App
  41. Rakamin Academy
  42. banopolis.id
  43. CodeFirst
  44. Scrapiro
  45. Robohox
  46. Himall
  47. Sevvain
  48. Lahapp.com
  49. Joinan
  50. Gerakan Kopi Persahabatan
  51. Gimsak
  52. SUGAR Technology
  53. Kerja Remote Bela Negara from KodingWorks
  54. Crinoid
  55. DEPATU
  56. Keeppack
  57. Gasplus
  58. PasarKlewerCom
  59. Teman Curhat ID
  60. MOOXIQ
  61. Paladin
  62. INDOWIRA
  63. Arakata
  64. ctscope
  65. Killbot
  66. Varena
  67. Cuddl.id
  68. Suryakami
  69. CoachingYuk
  70. Neurafarm
  71. Brave Healthcare
  72. Bakal Modal
  73. FamFina: Pembukuan Keuangan
  74. Saweran.id
  75. Tradaru
  76. Littlecloud EO
  77. Mantool
  78. settrip.id
  79. BorneoTrip
  80. Jagel.id
  81. muslimlife
  82. BISASIH Indonesia
  83. WarungKiKo
  84. databaik
  85. Nilam Pad
  86. Aluno.id
  87. Bastler
  88. iLOMS
  89. pesansyur.id
  90. Schoters
  91. MadrasahQu
  92. Campuspedia Academy
  93. Aelyon
  94. Mountable
  95. Rekan Legal
  96. Create It – The Digital Creative Marketplace
  97. Datawan.io
  98. Teman Pasar
  99. MyDoctors
  100. Kapcake
  101. Wastehub.id
  102. Satu Persen
  103. Koalabora
  104. Focus AR
  105. ahlibisnis.id
  106. Mabar Yuk! Apps
  107. PROYEKIN
  108. LOCALIO
  109. Dwitari E-Learning
  110. smeco.id
  111. Helper Indonesia
  112. Maimaid
  113. Urusinaja.com
  114. Wiseree
  115. emiten.com
  116. Gets id
  117. Quoroom
  118. Suara Mas

Selamat kepada para founders yang berhasil masuk ke dalam daftar 118 peserta terpilih program DSLaunchpad 2.0. Para peserta berhak mengikuti rangkaian webinar, mentoring eksklusif, dan sesi 1-on-1 bersama para mentor yang akan memberikan berbagai wawasan mengenai langkah akselerasi startup. Selama program berlangsung, DailySocial.id bersama AWS juga akan memilih 10 peserta dengan perkembangan paling baik untuk melakukan pitching pada tahap Demo Day. Apabila terpilih menjadi 10 besar, kesempatan para peserta akan semakin tinggi untuk menjadi salah satu dari 3 lulusan terbaik yang berhak mendapatkan hadiah utama uang tunai senilai total 100 juta rupiah.

Para founders yang telah mendaftar juga berhak mengikuti sesi webinar dalam program DSLaunchpad 2.0, walaupun belum lolos menjadi 118 peserta terpilih. Akan ada banyak ilmu dan insight yang akan disampaikan oleh para pembicara dalam sesi webinar ini. Jadi, jangan sampai ketinggalan ya.

Sekali lagi, DailySocial.id bersama AWS mengucapkan selamat untuk 118 peserta terpilih DSLaunchpad 2.0. Awal perjalanan untuk mewujudkan mimpi dan mengakselerasi skala bisnis startup bersama DSLaunchpad 2.0 segera dimulai!

Publisher Game Indie Annapurna Interactive Umumkan Studio Internal Pertamanya

Dibandingkan dengan nama-nama seperti EA, Take-Two, atau Activision, nama Annapurna Interactive mungkin masih terdengar asing di industri video game. Tidak mengherankan mengingat Annapurna baru berkiprah sejak Desember 2016, namun dalam kurun waktu yang singkat itu, Annapurna sudah berhasil menempatkan dirinya di jajaran publisher game terbaik.

Judul-judul permainan seperti “What Remains of Edith Finch”, “Ashen”, “Outer Wilds”, “Sayonara Wild Hearts”, dan “Kentucky Route Zero” adalah beberapa dari koleksi game terbitan Annapurna yang berhasil mendulang sukses, dan sekarang mereka juga ingin terjun ke bidang game development secara langsung dengan mengumumkan studio internal pertamanya.

Studio baru yang belum diketahui namanya ini mengambil Los Angeles sebagai markasnya, dan sejauh ini masih dalam tahap rekrutmen. Di situsnya, tercatat bahwa Annapurna sedang mencari seorang game director dan senior producer untuk menakhodai proyek perdananya. Tidak dijelaskan seperti apa kira-kira game-nya, tapi yang pasti bakal digarap menggunakan Unreal Engine.

Melansir Games Industry, pimpinan Annapurna Interactive, Nathan Gary, mengaku bahwa sebagian besar personel timnya memiliki riwayat bekerja di bidang game development, dan tampaknya inilah yang mendasari keputusan Annapurna untuk mendirikan studio sendiri. Sebelum menekuni industri game, Annapurna sendiri lebih dulu dikenal di industri film di bawah label Annapurna Pictures.

Kabar ini terdengar menarik mengingat Annapurna Interactive sempat dirumorkan bakal bangkrut tahun lalu akibat terlilit utang, meski akhirnya mereka sudah lepas dari perkara tersebut. Mungkin juga Annapurna akhirnya menyadari bahwa terkadang kondisinya lebih memungkinkan bagi mereka untuk mendanai proyek bikinannya sendiri, ketimbang mendanai tim developer luar dan mengambil sebagian dari keuntungannya.

Satu hal yang pasti, di titik ini Annapurna sudah terbukti sangat cekatan dalam melihat potensi video game karya tim-tim kecil. Pendekatan yang mereka terapkan tergolong cukup selektif, terbukti dari sedikitnya judul-judul permainan yang mereka rilis setiap tahunnya. Untuk 2021, saya pribadi tidak sabar menanti game berjudul Stray yang akan Annapurna rilis di PS5 dan PC.

Sumber: Games Industry.

Peluang dan Resiko Terjun ke Esports Wild Rift Secepatnya?

Wild Rift, atau LoL versi mobile, sudah masuk ke versi Open Beta. Beberapa organisasi esports seperti Bigetron malah sudah mulai mencari para pemain Wild Rift. Sejumlah YouTuber yang besar dari MLBB seperti JessNoLimit juga sudah membuat konten Wild Rift.

Namun demikian, saya bisa memahami jika ada keraguan dari orang-orang yang ingin terjun ke esports game baru seperti Wild Rift. Pasalnya, nyatanya, memang tak semua game baru bisa berkembang dengan baik atau pun bahkan bertahan cukup lama skena esports-nya. Baik waktu, uang, tenaga, dan pikiran jadi pertaruhan saat pelaku industri mencoba bertaruh di ranah yang baru.

Karena itulah, saya menulis artikel ini. Sebelumnya, saya juga sudah pernah memberikan prediksi saya tentang peluang kesuksesan esports Wild Rift dari berbagai perspektif. Namun di sini, saya ingin memberikan pendapat saya tentang pertimbangan yang mungkin perlu dipikirkan sebelum terjun ke esports Wild Rift untuk beberapa pelaku industri berbeda di ekosistem esports kita.

 

Keuntungan untuk Terjun Lebih Awal

Faktanya, terjun lebih awal ke satu ranah industri memang memiliki keuntungan tersendiri. Meski memang juga berarti mengambil resiko tertinggi yang akan kita bahas di bagian setelah ini.

Buat kreator konten, ada banyak keuntungan jika Anda sudah membuat konten Wild Rift mulai dari masa Closed Beta kemarin. Pasalnya, jumlah pemain yang bisa bermain di masa Closed Beta kemarin benar-benar sangat terbatas. Padahal, berkat kesuksesan Riot Games dengan LoL, gaung Wild Rift cukup nyaring terdengar dan ditunggu banyak sekali orang yang tak sabar mencoba. Jadi, para pemain yang ingin mencoba Wild Rift namun tak beruntung, mau tidak mau hanya bisa menonton konten.

Namun sekarang, Wild Rift sudah masuk masa Open Beta untuk beberapa wilayah yaitu Indonesia, Jepang, Malaysia, Filipina, Singapura, Korea Selatan, dan Thailand. Meski mungkin boleh dibilang Anda kehilangan peluang emas jika baru membuat konten Wild Rift sekarang, belum banyak kreator konten lain yang menyajikan Wild Rift — setidaknya jika dibandingkan dengan jumlah kreator konten yang membuat konten MLBB atau game-game lainnya yang saat ini laris manis di Indonesia. Karena itu, saingan Anda sesama kreator konten juga tidak sebanyak untuk game lainnya.

Oh iya, untuk kreator konten, jika Anda cukup mahir dan percaya diri, saya sarankan Anda untuk membuat konten Wild Rift berbahasa Inggris. Kenapa? Karena seperti yang saya tuliskan tadi, baru 7 negara yang mendapatkan akses Open Beta. Karena itu, saingan Anda akan lebih sedikit di pasar internasional. Ditambah lagi, gamer yang berasal dari luar 7 negara tadi juga hanya bisa menonton konten Wild Rift jika mereka penasaran. Padahal LoL itu sendiri besar di pasar Amerika Serikat, Eropa, Tiongkok, dan Korea Selatan. Dari 4 kawasan tadi, hanya gamer dari Korea Selatan yang sudah bisa mencicipi Wild Rift. Jika Anda membuat konten Wild Rift berbahasa Inggris, Anda berpeluang untuk menarik penonton dari Amerika dan Eropa — mengingat YouTube dan Twitch diblokir di Tiongkok.

Setelah kreator konten, untuk pemain yang ingin jadi pro player, Anda bisa mengumpulkan jam terbang lebih banyak bermain Wild Rift jika Anda mulai dari sekarang. Meski memang jam terbang bermain bukan jadi satu-satunya faktor yang menjamin kesuksesan Anda nanti; namun setidaknya, semakin banyak berlatih, peluang Anda akan semakin besar untuk mengalahkan lawan.

Bagaimana dengan tim atau organisasi esports? Apakah keuntungan yang bisa didapatkan jika lebih dulu punya tim Wild Rift? Pertama, jelas harga pemain Wild Rift masih murah meriah — setidaknya tidak akan mungkin semahal pemain MLBB, PUBG M, ataupun Free Fire. Kedua, Anda bisa mencari pemain yang berpotensi jadi mega bintang dengan lebih mudah tanpa saingan yang berarti.

Peluang untuk mendapatkan pemain yang berpotensi jadi bintang itu sebenarnya begitu krusial di skena esports Indonesia. Jika Anda tidak percaya, kita bisa melihat Lemon di MLBB ataupun Zuxxy & Luxxy di PUBG Mobile. Faktanya, RRQ memang begitu beruntung memilliki Lemon sehingga bisa jadi juara MPL Indonesia 3 kali. Bigetron juga beruntung memiliki si kembar, Bagas dan Bagus, yang mampu membawa timnya juara di tingkat nasional ataupun internasional. Pemain seperti Lemon atau Zuxxy dan Luxxy sudah pasti mahalnya minta ampun jika ekosistemnya sudah berkembang karena akan jadi rebutan semua tim. Peluang untuk mendapatkan pemain yang berpotensi untuk jadi seperti 3 bintang tadi jadi lebih mudah dan murah di Wild Rift yang belum berkembang.

Keuntungan terakhir yang akan saya bahas adalah untuk event organizer atau penyelenggara turnamen. Faktanya, jika Anda ingin menyelenggarakan turnamen Free Fire, MLBB, ataupun PUBG Mobile, Anda tidak akan mungkin mendapatkan penonton yang maksimal karena 3 game esports populer tadi sudah punya liga resminya masing-masing yang jelas memiliki otoritas ataupun popularitas tertinggi.

Sumber: Dokumentasi Hybrid - Akbar Priono
MPL Indonesia. Sumber: Dokumentasi Hybrid – Akbar Priono

Mungkin sebenarnya bisa saja jika Anda ingin mengalahkan popularitas ataupun otoritas liga resmi tadi namun biayanya akan jadi terlalu mahal, misalnya dengan menyuguhkan total hadiah dan anggaran biaya marketing yang jauh lebih tinggi.

Sebaliknya, Wild Rift belum punya liga ataupun turnamen resmi. Jadi, Anda tak perlu bersaing dengan event resmi dari publisher-nya.

 

Perhitungan Harga yang Harus Dibayarkan

Setelah keuntungan yang mungkin didapat, tak lengkap rasanya jika kita tidak membahas resiko yang harus ditanggung. Seperti yang saya tuliskan tadi, untuk terjun ke esports game baru, setiap kita harus membuat pertaruhan dengan harga yang harus siap untuk dikorbankan — harga tadi bisa berupa uang, waktu, tenaga, ataupun pikiran.

Seperti bagian pertama tadi, mari kita lihat dulu dari perspektif kreator konten. Menurut saya, tidak ada resiko besar yang harus ditanggung jika Anda ingin membuat konten Wild Rift dan konten game lainnya (jika Anda merasa konten Wild Rift tidak dapat membawa banyak penonton). Kecuali, jika Anda ingin mengincar kontrak eksklusif dengan publisher game lainnya, Anda mungkin harus setia dengan satu publisher.

Resiko yang lebih besar mungkin harus ditanggung oleh pro player atau mereka yang ingin ke arah sana. Baik MLBB, Free Fire, ataupun PUBG Mobile masih menawarkan ruang besar bagi pemain-pemain baru yang bisa bersinar. Albert, dari RRQ misalnya, ia baru bermain di MPL sejak S6 namun sudah bisa langsung juara.

Jika Anda lebih banyak menghabiskan waktu bermain Wild Rift, kemungkinan besar, Anda tidak akan bisa masuk ke liga utama macam MPL, PMPL, ataupun FFIM. Belum lagi, kita semua juga belum tahu kapan Riot Games akan serius menggarap ekosistem esports Wild Rift. Karena itu, opportunity cost yang harus ditanggung oleh (calon) pro player Wild Rift mungkin cukup besar untuk ditanggung.

Bagaimana dengan tim esports? Resiko yang harus ditanggung organisasi esports sangat kecil untuk punya divisi Wild Rift mulai sekarang. Pertama, karena belum ada liga resmi, belum ada aturan main yang mengharuskan gaji minimal untuk pro playerseperti yang diterapkan untuk MPL. Karena itu, tim esports bahkan bisa saja membayar gaji ratusan ribu untuk para pemain Wild Rift jika memang disetujui oleh pemain tersebut. Kedua, saya tidak yakin organisasi esports juga akan dituntut untuk memberikan tempat tinggal eksklusif untuk tim Wild Rift mereka seperti divisi game lainnya yang sedang di atas angin saat ini.

Selain itu, jika kita bandingkan dengan MLBB, organisasi esports yang tidak bermain di MPL jelas akan kalah popularitasnya. Padahal, jika Anda ingin bermain di MPL, Anda harus membayar biaya investasi yang dikenalkan sejak liga tersebut berubah jadi sistem franchise di S4. Apalagi, biaya untuk masuk ke MPL tentu saja akan lebih mahal dibanding saat S4 dulu. Menurut kabar yang saya dengar, nilai biaya investasinya di S6 naik 50% dari harga awalnya — jadi US$1,5 juta.

Menurut saya, hal tersebut juga tentu saja jadi harga dan resiko yang harus ditanggung oleh tim/organisasi esports yang ingin berkecimpung di MLBB. Harga dan resiko tersebut tidak ada di Wild Rift — setidaknya untuk sekarang.

Karena itulah, resiko yang harus ditanggung hanyalah ongkos tim atau pemain yang mungkin akan terbuang percuma jika ternyata esports Wild Rift tak berkembang atau bahkan mati di tengah jalan.

Terakhir, resiko apa yang harus ditanggung untuk event organizer atau penyelenggara turnamen? Meski memang turnamen pihak ketiga tak harus berkompetisi melawan turnamen atau liga resmi, tetap saja pemain Wild Rift memang belum sebanyak Free Fire, PUBG Mobile ataupun MLBB. Karena itu, resikonya adalah potensi jumlah peserta ataupun penonton turnamen yang sangat terbatas.

Selain itu, karena belum ada turnamen atau liga resmi, persaingan antara penyelenggara turnamen bisa jadi kurang sehat misalnya seperti sengaja menabrakkan jadwal turnamen ataupun perang nominal total hadiah yang ditawarkan. Menurut saya, perang total hadiah yang ditawarkan itu yang sangat tidak sehat untuk keberlangsungan ekosistem esports.

Credits: Riot Games
Credits: Riot Games

Misalnya saja seperti ini, awalnya turnamen A menawarkan total hadiah sebesar Rp10 juta. Turnamen B pun tidak mau kalah dan membesarkan total hadiah jadi dua kali lipat agar bisa menggunakan jargon ‘turnamen Wild Rift terbesar’. Turnamen A bisa jadi membalas dengan menggelembungkan total hadiah jadi Rp50 juta di turnamen selanjutnya. Bagi saya, hal semacam inilah yang mematikan ekosistem esports di satu negara.

Kenapa? Karena uang hadiah biasanya berasal dari sponsor. Padahal, sebesar apapun hadiah turnamen, tetap saja pada banyak sekali batasan potensi ROI yang bisa didapatkan dari sebuah turnamen esports. Misalnya saja, jika sebuah turnamen bisa menawarkan total hadiah sampai dengan Rp100 triliun, apakah penonton turnamen tersebut bisa mengalahkan penonton World Cup? Berapa banyak produk yang harus terjual agar sebanding dengan uang yang harus dikeluarkan tadi?

Jadi, untuk resiko event organizer atau penyelenggara turnamen sebenarnya cukup kecil andaikan masih mencoba menawarkan total hadiah dan membutuhkan dana yang masuk akal atau tidak ada yang sengaja berniat merusak ekosistem…

 

Penutup

Akhirnya, dalam interview bersama Hybrid, Riot Games memang mengatakan belum akan serius menggarap esports untuk Wild Rift karena mereka lebih fokus untuk memberikan pengalaman bermain yang lebih baik (sembari mencari jumlah pemain lebih banyak lagi, mungkin).

Menurut saya pribadi, saya memang lebih suka jawaban tersebut ketimbang keputusan game lain yang mungkin terlalu cepat dan boros ke esport — meski ekosistem game-nya sendiri belum solid, seperti Vainglory ataupun Arena of Valor.

Selain itu, Riot Games juga tidak memberikan harapan palsu buat para pelaku industri dengan memberikan jawaban tersebut. Namun demikian, buat para pelaku industri ini, tidak ada jaminan apapun buat yang ingin terjun ke esports Wild Rift.

Jadi, bagaimana dengan Anda? Dengan peluang dan resiko tadi, apakah Anda akan mencoba peruntungan dengan esports Wild Rift?

CDC UI Kembali Adakan Ekspo Beasiswa, Kewirausahaan, dan Karier

Career Development Center Universitas Indonesia (CDC UI) bekerja sama dengan Klob akan menyelenggarakan UI Career, Scholarship & Entrepreneurship Virtual Expo (UI CSE Expo) pada tanggal 4-7 November 2020. UI CSE Expo biasanya dilakukan dalam dua kali setahun, yakni setelah wisuda UI dilakukan pada semester ganjil dan semester genap.

Perhelatan ini ditargetkan akan diikuti oleh berbagai perusahaan dan instansi guna menjembatani kebutuhan para lulusan akan pekerjaan, jenjang pendidikan yang lebih tinggi, dan memperkenalkan bisnis atau kewirausahaan yang dimiliki kepada khalayak yang lebih luas.

Acara ini terbuka untuk umum dan tidak dikenakan biaya (free entry) dengan rincian acara sebagai berikut:

  1. UI Career, Scholarship & Entrepreneurship Virtual Expo 2020 yang akan terselenggara bulan November nanti merupakan event yang akan dilaksanakan untuk ke-30 kalinya dan merupakan pertama kalinya diselenggarakan secara virtual sebab kondisi pandemi Covid-19 yang sedang berlangsung saat ini.
  2. Empat kegiatan akan diselenggarakan secara virtual di UI Career, Scholarship & Entrepreneurship Virtual Expo 2020 selama tanggal 4-7 November 2020, yaitu:
  • Pameran Karier: pada website Klob, pengunjung dapat mengakses virtual booth dari perusahaan yang berpartisipasi pada acara ini dan melakukan job/intern application. Pengunjung juga dapat melakukan interaksi atau bertanya-tanya kepada perusahaan melalui fitur chat yang disediakan.
  • Pameran Beasiswa: pengunjung dapat mengakses virtual booth dari institusi yang berpartisipasi pada acara ini dan melihat informasi mengenai beasiswa yang tersedia, serta melakukan scholarship application.
  • Pameran Kewirausahaan: pengunjung dapat mengakses virtual booth dari startup yang berpartisipasi pada acara ini—baik startup dari mahasiswa maupun alumni—dan mendapatkan informasi lebih lanjut mengenai startup yang dibina, produk-produknya, dan peluang untuk melakukan kolaborasi.
  • Webinar/Seminar Karier: pengunjung dapat mengikuti Webinar/Seminar Karier yang akan menghadirkan pembicara yang ahli pada bidangnya dan juga turut menghadirkan perwakilan dari perusahaan yang berpartisipasi dalam acara ini untuk memberikan informasi dan tips seputar dunia karier.
  1. Acara ini tidak dipungut biaya, pengunjung dapat langsung mengakses virtual booth untuk menikmati pameran melalui website Klob. Namun, untuk bisa mengikuti mata acara Webinar/Seminar Karier, pengunjung harus mendaftarkan diri terlebih dahulu di website Klob mulai tanggal 28 Oktober 2020. Setelah melengkapi data, peserta akan menerima email konfirmasi dan tautan ke Zoom yang dapat diakses pada hari H sesuai jadwal yang tertera.

Pengunjung yang tertarik untuk mengikuti dan mengetahui lebih lanjut terkait acara ini, dapat mengakses akun Instagram resmi UI Career, Scholarship & Entrepreneurship Virtual Expo 2020 ( @careerexpo.ui ) untuk mendapatkan informasi selengkapnya.

Disclosure: DailySocial merupakan media partner UI CSE Expo 2020