Bukan Lagi Smartphone Android Go, Nokia C3 Resmi Hadir di Indonesia

Melalui sebuah konferensi pers yang digelar via Zoom, HMD Global hari ini meresmikan kehadiran Nokia C3 di pasar tanah air. Smartphone kelas budget ini merupakan penerus langsung dari Nokia C1, dan di pasar Indonesia, HMD rupanya memutuskan untuk melewatkan Nokia C2 sepenuhnya.

Tidak ada yang salah dari keputusan tersebut, sebab Nokia C3 benar-benar menawarkan peningkatan yang signifikan, utamanya karena ia merupakan ponsel pertama dari lini Nokia C-Series yang menjalankan sistem operasi Android versi penuh, bukan lagi versi Go Edition.

Secara teknis, Nokia C3 ditenagai oleh chipset Unisoc SC9863A dengan prosesor octa-core 1,6 GHz, RAM 2 GB, kapasitas penyimpanan internal 16 GB (plus slot microSD), dan baterai 3.040 mAh.

Nokia C3

Spesifikasinya sepintas mungkin terdengar biasa saja, namun seperti yang Karel Holub (General Manager HMD Global Indonesia) katakan, yang diutamakan di sini bukanlah spesifikasi di atas kertas, melainkan satu paket menyeluruh yang ditujukan untuk konsumen yang baru menggunakan smartphone untuk pertama kalinya, dan itu mereka wujudkan lewat penggunaan OS Android 10 versi murni tanpa skin ataupun bloatware lainnya.

Bukan cuma itu, HMD juga memastikan bahwa praktik ketat yang mereka terapkan selama ini untuk melindungi data konsumen tetap berlaku buat konsumen Nokia C3 sekalipun. Ponsel yang digunakan boleh murah, tapi keamanan data di dalamnya harus tetap terjamin setiap saat, kira-kira begitu cara HMD mempromosikan ponsel ini.

Karel menambahkan bahwa aspek privasi ini kian relevan di masa pandemi, di mana konsumen semakin bergantung pada ponselnya, termasuk untuk bertransaksi secara cashless. Seperti yang bisa kita ekspektasikan dari HMD Global, Nokia C3 dipastikan bakal terus menerima security update secara berkala hingga dua tahun ke depan.

Dibandingkan Nokia C1 maupun C2, layar IPS milik Nokia C3 jauh lebih besar dengan bentang diagonal 5,99 inci dan resolusi HD+. Desainnya simpel dan tidak neko-neko, tapi jujur saya lebih suka bagian depan yang simetris seperti ini ketimbang mayoritas ponsel kelas budget yang kelihatan kurang proporsional karena bezel bawahnya tebal selagi porsi atasnya digantikan oleh poni (notch).

Nokia C3 mengemas sepasang kamera: kamera depan 5 megapixel, dan kamera belakang 8 megapixel dengan dukungan HDR dan kemampuan perekaman video 1080p. Di bawah kamera belakangnya, tampak sebuah sensor sidik jari, satu komponen yang absen pada Nokia C1 maupun C2. Melengkapi semua fiturnya adalah integrasi Google Assistant, yang dapat dipanggil dengan mudah menggunakan sebuah tombol khusus.

Bagi yang tertarik, Nokia C3 akan dijual dengan harga Rp1.599.000, dan konsumen bisa memilih antara warna Nordic Blue atau sand. Rencananya, program pre-order Nokia C3 akan dimulai pada tanggal 23 Oktober melalui official store Nokia di Tokopedia, lalu menyusul pada tanggal 25 Oktober di eraspace.com dan Erafone. Mulai tanggal 2 November, pre-order juga dapat dilakukan melalui jaringan Cantik Group, Sentraponsel, dan Telering.

Semua program pre-order bakal berakhir pada tanggal 8 November 2020, dan bagi yang memesan selama periode pre-order, mereka berhak mendapat sejumlah benefit seperti paket data Telkomsel TAU 30 GB dan potongan harga hingga Rp500.000. Program cicilan dengan harga paling murah mulai Rp200.000 juga tersedia selama periode pre-order berlangsung.

Dalam kesempatan yang sama, HMD turut memperkenalkan TWS baru bernama Nokia Power Earbuds Lite. Perangkat yang bodinya tahan air dengan sertifikasi IPX7 ini dilengkapi driver berdiameter 6 mm serta total daya tahan baterai hingga 35 jam jika dipadukan bersama charging case-nya.

Harga jualnya di Indonesia masih belum diungkap, tapi yang pasti TWS ini bakal tersedia di pada kuartal keempat tahun ini juga melalui official store Nokia di beberapa situs ecommerce.

Gaet Parkee, DANA Tambah Fitur Pembayaran Parkir Nontunai

DANA meresmikan fitur terbaru pembayaran parkir lewat kerja sama dengan startup penyedia layanan parkir Parkee. Inovasi ini permudah pemilik kendaraan untuk masuk ke pembayaran digital karena mereka tidak perlu mengunduh aplikasi tambahan untuk bayar parkir secara nontunai.

Co-Founder & CEO DANA Vince Iswara menerangkan perilisan ini adalah strategi perusahaan mengubah kebiasaan pengguna untuk beralih ke pembayaran digital, terutama di era pandemi ini uang tunai bisa menjadi perantara virus berbahaya tersebut.

“Ini sebenarnya changing people behaviour, jadi bukan lihat amount [potensi bisnis saja], melainkan sudah saatnya berubah. Kita percaya dengan perkembangan teknologi, maka akan semakin mudah bertransaksi kalau pakai platform yang bisa dipercaya,” ujarnya saat konferensi pers secara online, Rabu (21/10).

Untuk menggunakan fitur ini, pengguna cukup memindai tiket parkir menggunakan DANA pada 15 menit sebelum keluar gedung. Lalu melakukan konfirmasi dan bayar. Begitu transaksi berhasil, pengguna akan mendapat notifikasi yang akan mengingat mereka untuk meninggalkan gedung atau area parkir sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. Pada tahap awal, pengguna baru bisa menggunakan fitur ini di 200 lokasi parkir.

Parkee merupakan sekian banyak perusahaan yang digaet DANA. Vince menerangkan, teknologi DANA yang bersifat open platform memungkinkan mereka bekerja sama dengan beragam platform guna memberikan manfaat yang lebih besar bagi masyarakat Indonesia.

Salah satu pengelola parkir yang sudah bermitra dengan Parkee, PT Centerpark Citra Corpora mengatakan total omzet parkir secara global mencapai $80 miliar. Sementara, untuk di Indonesia sendiri pada tahun lalu sebesar Rp25 triliun untuk off street (pinggir jalan).

Dia memprediksi kalau on street (lahan parkir khusus) bisa lebih besar 1,5 kali lipat dari off street. “Ceruk marketnya sangat besar. Setahu saya sampai sekarang ini, market parking di Indonesia secara tarif masih yang paling murah. Di luar Jakarta, untuk parkir motor masih bisa Rp500,” kata Founder dan CEO Centerpark Charles Oentomo.

Ia mengaku pembayaran nontunai sangat dibutuhkan di industri parkir. Dari data perusahannya, 60% pembayaran masih menggunakan tunai. Sementara untuk pembayaran nontunai masih memanfaatkan uang elektronik berbasis kartu. Centerpark sendiri kini mengelola 400 lokasi parkir yang ada di 42 kota.

Bisnis Parkee

Founder & CEO Parkee Wilson Sumanang menerangkan, inovasi bersama DANA adalah jawaban dari konsumen yang membutuhkan solusi praktis, tanpa harus mengunduh aplikasi tambahan di smartphone.

Oleh karenanya, ia tidak khawatir apabila pengguna Parkee lebih memilih untuk beralih ke aplikasi DANA untuk bayar parkir, ketimbang aplikasi Parkee. Pasalnya, Parkee menempatkan diri sebagai platform, yang artinya teknologinya bisa ditempatkan ke mitra dan tetap memperoleh bisnis.

Toh, solusi yang dikembangkan Parkee tidak hanya bayar parkir, juga ada fitur reservasi parkir, dan dasbor untuk pemilik gedung dan operator saat ingin mengidentifikasi pengunjung di area parkirnya, lengkap dengan durasi yang dihabiskan dan memantau jumlah transaksi secara real time.

“DANA bisa bantu bersama-sama mempromosikan pembayaran nontunai ke pengguna mereka dan Parkee. Jadi ini bukan jadi churn [buat aplikasi] tapi akan membawa manfaat yang lebih maksimal buat pengguna.”

Bersama DANA, lanjutnya, akan ada pengembangan berikutnya yang akan dilakukan. Salah satunya adalah merilis fitur reservasi parkir yang sudah masuk dalam tahap pengembangan. “Harapannya bersama DANA bisa memproses 1 juta transaksi dalam setahun ke depan.”

Parkee sudah dimanfaatkan oleh lebih dari 200 ribu pengguna dan layanannya dapat digunakan di lebih dari 200 lokasi parkir di seluruh Indonesia. Volume transaksi yang berhasil diproses mencapai lebih 900 ribu kali. Mitra Parkee diantaranya Centerpark dan EZ Parking.

Parkee bukan satu-satunya pemain parkir online yang ada di Indonesia. Selain itu ada Smark, Parkirin, Cari Parkir, Parkways, dan eParkir yang dikelola oleh Telkom.

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

eFishery Jalin Kerja Sama dengan Investree, Perkuat Layanan Permodalan eFisheryFund

Investree dan eFishery hari ini (21/10) mengumumkan peresmian kerja sama strategis terkait penyaluran pinjaman modal ke mitra petani/pembudidaya. Dana yang disiapkan mencapai Rp30 miliar, akan didistribusikan lewat platform pendanaan eFisheryFund.

eFisheryFund merupakan fasilitas pembiayaan untuk para pembudidaya; dana didapat dari kemitraan dengan fintech atau perusahaan finansial lainnya. Di dalamnya terdapat fitur “Kabayan” (Kasih Bayar Nanti) berupa program cicilan yang dapat dimanfaatkan oleh para pembudidaya untuk memperoleh produk teknologi eFishery.

Dana dari Investree juga akan disalurkan kepada mitra eFishery lainnya, termasuk konsumen B2B. Konsumen B2B yang dimaksud antara lain agen maupun distributor ikan, stockiest, dan horeka (hotel, restoran, dan kafe).

Di hulu, para pembudidaya mendapatkan modal dalam bentuk pakan ikan dan alat eFisheryFeeder, sedangkan di hilir para agen ikan mendapatkan modal dalam bentuk ikan atau udang yang merupakan hasil panen dari para pembudidaya.

“Ini merupakan sesuatu yang baru bagi kami. Mengingat portofolio pinjaman terbesar Investree selama ini adalah industri kreatif, dengan bermitra dengan eFishery, kami berharap dapat memberdayakan lebih banyak UKM yang bergerak di bidang perikanan atau akuakultur,” ujar Co-Founder & CEO Investree Adrian Gunadi.

Manfaatkan data sensor IoT

Skema konvensional dan syariah turut digulirkan menjadi opsi pinjaman. Sementara untuk menjaga kualitas pembiayaan, Investree dan eFishery menerapkan uji kelayakan dan sistem credit-scoring yang ketat dengan melihat data dari IoT eFishery serta melakukan pengecekan silang terhadap data sesungguhnya di lapangan.

Untuk mekanismenya, pembudidaya bisa mengajukan pinjaman melalui aplikasi eFishery di menu eFisheryFund. Tim eFishery akan menilai dan menentukan apakah mereka memenuhi syarat dan kriteria untuk memperoleh pembiayaan. Hasil penilaian ini kemudian diajukan kepada Investree untuk dilakukan kembali verifikasi.

“Kerja sama dengan Investree ini diharapkan dapat melanjutkan nilai-nilai yang dibawa oleh eFishery. Lebih dari itu, melalui inovasi yang kami kembangkan yaitu membuat teknologi inklusif dan menghadirkan ikan dari pembudidaya agar mudah dijangkau oleh seluruh kalangan di berbagai daerah, kami berharap dapat turut serta mengentaskan kelaparan di Indonesia,” ujar CEO & Co-Founder eFishery Gibran Huzaifah.

Hingga saat ini, sudah ada lebih dari 500 pembudidaya yang menikmati program eFisheryFund. Melalui kolaborasi ini, Gibran menargetkan bisa hingga 1000 mitra sampai dengan akhir tahun 2020.

Selain Investree, program pembiayaan yang dikelola eFishery tersebut juga sudah bermitra dengan beberapa fintech lending, di antaranya ALAMI, Batumbu, BRIS, iGrow, dan Likui.id. Inovasi ini sudah dimulai sejak awal tahun lalu bebarengan dengan pengenalan layanan online grocery eFisheryFresh. Inisiatif dilakukan pasca perusahaan membukukan pertumbuhan bisnis hingga 300% di tahun 2019, didukung ekspansi ke 120 kota di Indonesia.

Pembiayaan lewat kerja sama

Berbagai skema penyaluran dana terus dieksplorasi oleh pemain fintech. Tidak hanya dengan eFishery, Investree sebelumnya juga telah umumkan kerja samanya dengan beberapa pihak untuk menjangkau kalangan spesifik. Misalnya dengan Pengadaan.com untuk menjangkau 15 ribu vendor UKM di platformnya; ada juga dengan Bukalapak meluncurkan layanan BukaModal; selain itu juga dengan Midtrans dan Mbiz.

Fintech lain pun juga berupaya perluas skema pinjamannya. Ambil contoh yang dilakukan AwanTunai dengan menggandeng SayurBox untuk memberikan pembiayaan untuk petani yang mendistribusikan hasil panennya di Sayurbox. Lalu ada juga KoinWorks dengan produk KoinGaji mendistribusikan pinjaman untuk pencairan gaji pegawai lebih awal bekerja sama dengan Gadjian, GreatDay, dan Talenta.

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

DJI Pocket 2 Resmi Diumumkan, Punya Sensor Lebih Besar dan Lensa Lebih Lebar

DJI telah meluncurkan penerus Osmo Pocket, kamera mini dengan gimbal 3-axis generasi keduanya diberi nama DJI Pocket 2 saja. Meski ukurannya tetap ringkas dengan berat hanya 117 gram, DJI berhasil meningkatkan kinerjanya secara keseluruhan.

Ia mengusung sensor yang lebih besar berukuran 1/1.7 inci yang secara default menghasilkan bidikan 16MP dan hingga 64MP pada mode high-resolution. Memiliki aperture f1.8 dan lensa lebih lebar ekuivalen 20mm, jadi lebih ideal buat nge-vlog. Sebagai pembanding, pendahulunya memiliki sensor 1/2.3 inci beresolusi 12MP dengan lensa ekuivalen 26mm.

Untuk perekaman videonya, kemampuannya masih sama yaitu mendukung resolusi 4K hingga 60fps pada bitrate 100Mbps. Namun DJI telah menambahkan fitur video HDR dan kemampuan memperbesar gambar hingga 8x menggunakan mode high-resolution atau 4x lossless zoom pada mode 16MP dan 1080p.

Selain itu DJI juga telah meningkatkan sistem autofocus-nya, disebut Hybrid 2.0 AF. Fitur ini menggunakan kombinasi kontras dan deteksi fase, sehingga memungkinkan pelacakan subjek yang bergerak lebih cepat dan akurat.

DJI Pocket 2 2

Soal audio, DJI Pocket 2 mengemas sistem audio baru yang disebut DJI Matrix Stereo menggunakan susunan empat mikrofon. Dengan beberapa fitur audio termasuk Directional Audio untuk mengambil detail sebanyak mungkin, SoundTrack untuk menyesuaikan audio berdasarkan di mana kamera menghadap, dan Audio Zoom untuk mempersempit bidang suara saat menggunakan fitur zoom.

Fitur dan mode kamera pada DJI Osmo Pocket juga diwariskan ke DJI Pocket 2. Mulai dari mode Pro, ActiveTrack 3.0, Slow-motion 8x pada 1080p, Timelapse, Hyperlapse, Motionlapse, Panorama, Livestreaming, dan Story Mode. Fitur baru yang tersedia antara lain Fast Wake yang akan langsung mengaktifkan kamera, Drop Aware yang akan ‘mengambil tindakan pencegahan saat mendeteksi kamera jatuh’, dan Pause Recording.

Aksesori DJI Pocket 2

Dengan hardware baru, aksesori yang melengkapinya juga baru termasuk charging case, wireless microphone set, waterproof housing, control wheel yang lebih compact, extension rod, wide-angle lens attachment, dan wireless module. Semua fitur DJI Pocket 2 dapat dikontrol lewat smartphone Android dan iOS dengan aplikasi DJI Mimo.

Bagaimana tertarik dengan DJI Pocket 2? Kamera mungil ini tersedia dalam dua konfigurasi, DJI Pocket 2 dengan Mini Control Stick dan dudukan tripod dibanderol US$349 (sekitar Rp5,1 jutaan). Kemudian untuk DJI Pocket 2 Creator Combo yang mencakup Mini Control Sitck, dudukan tripod, wide-angle lens attachment, wireless microphone dengan windscreen, do-it-all handle, dan micro tripod dijual seharga US$499 (Rp7,3 juta).

Tahun lalu saya sendiri sempat keracunan DJI Osmo Pocket, dengan kamera seringkas ini saya berharap bisa menghasilkan footage sebanyak mungkin. Namun saya butuh beberapa aksesori yang harganya relatif cukup mahal untuk mengoptimalkannya dan karena sensornya kecil performa video low light-nya bikin frustasi. Dengan sensor lebih besar, performa low light DJI Pocket 2 seharusnya meningkat signifikan.

Sumber: DPreview

Teno Adalah Lampu Sekaligus Speaker Portabel Berdesain Unik Karya Anak Bangsa

Di tahun 2014, seorang arsitek berdarah Indonesia, Max Gunawan, memberanikan diri untuk terjun ke bidang teknologi lewat suatu produk yang mengedepankan aspek desain. Produk tersebut adalah Lumio, sebuah lampu portabel yang menyamar sebagai buku, yang sangat populer sampai-sampai banyak versi palsunya yang beredar.

Memasuki akhir tahun pandemi ini, Max kembali melancarkan kampanye crowdfunding di Kickstarter untuk produk keduanya yang bernama Teno. Seperti halnya Lumio, Teno juga merupakan sebuah lampu portabel, tapi ternyata ia juga merangkap peran sebagai speaker Bluetooth.

Juga sama seperti Lumio, yang paling mencuri perhatian dari Teno adalah desainnya. Sepintas, ia kelihatan seperti sebuah mangkok tertutup yang terbuat dari batu, dengan bagian tengah yang retak sampai ke samping. Buka retakan tersebut, maka lampu berwarna kuning akan menyala seketika itu juga, dan musik pun juga siap dialunkan.

Max menjelaskan bahwa desain Teno banyak terinspirasi oleh kintsugi, seni mereparasi barang pecah belah seperti tembikar menggunakan pernis yang dicampuri emas. Lewat Teno, Max pada dasarnya ingin menciptakan suatu produk teknologi yang tak lekang oleh waktu, bukan yang harus diganti dengan yang baru setiap tahunnya.

Berhubung estetika adalah prioritas yang paling utama, jangan terkejut apabila Teno tidak dibekali tombol sama sekali. Sebagai gantinya, hampir seluruh permukaannya telah dilengkapi panel sentuh. Sentuh di dekat bagian retakannya, maka tingkat kecerahan lampunya akan berubah (maksimum sampai 250 lumen). Sentuh agak jauh dari retakannya, maka kita bisa menerima atau menghentikan panggilan telepon.

Namun favorit saya adalah gesture untuk mengatur volume suaranya, yakni cukup dengan mengusap ke atas atau bawah pada lengkungan di sisi kiri maupun kanan Teno. Biarpun tak memiliki tombol, sensasi taktil tetap sanggup Teno sajikan berkat tekstur permukaannya yang menyerupai batu, apalagi mengingat rangka Teno memang terbuat dari campuran bahan resin dan pasir alami.

Secara teknis, Teno memiliki diameter 13 cm dan tinggi sekitar 6,4 cm, sedangkan bobotnya berada di kisaran 900 gram. Di dalamnya, tertanam sebuah full-range driver berdiameter 45 mm, lengkap beserta sebuah passive radiator dan amplifier Class-D berdaya 10 W. Urusan konektivitas, Teno mengandalkan Bluetooth 5.0 dengan dukungan codec aptX HD.

Volumenya sendiri disebut cukup untuk mengisi ruangan dengan luas 5-20 m², dan saya sudah bisa membayangkan Teno sebagai salah satu ornamen yang menghiasi meja di samping tempat tidur, yang kemudian bisa dibawa ke ruang membaca ketika dibutuhkan. Alternatifnya, pengguna juga bisa menghubungkan dua unit Teno untuk mendapatkan setup stereo.

Teno mengemas baterai berkapasitas 2.800 mAh, dan ini disebut cukup untuk menenagai lampunya menyala paling terang selama 4 jam, atau speaker-nya selama 8 jam dengan tingkat volume 50%. Untuk mengisi ulang Teno, pengguna bisa memanfaatkan charger magnetis yang termasuk dalam paket penjualannya.

Buat yang tertarik, Teno saat ini sudah bisa dipesan melalui Kickstarter dengan harga paling murah $240 (belum termasuk biaya pengiriman ke Indonesia sebesar $30). Harga ritelnya dipatok $300, dan konsumen bisa memilih antara warna Arctic White atau Lava Black.

Sampai artikel ini ditulis, tercatat Teno telah mengumpulkan pendanaan sekitar $170.000, dan ini ternyata sudah jauh melampaui target yang ditetapkan oleh Max. Kampanye crowdfunding-nya sendiri akan berlangsung sampai 20 November 2020, akan tetapi pengirimannya ke konsumen dijadwalkan baru berlangsung mulai Mei 2021.

Sumber: The Verge dan Design Anthology.

HyperX Luncurkan Versi Wireless dari Salah Satu Headset Gaming Terlarisnya

Untuk urusan periferal gaming seperti mouse atau keyboard, HyperX mungkin masih kalah pamor dari merek lain seperti Razer maupun Logitech. Namun kalau yang dibahas adalah headset, HyperX kerap menjadi brand pilihan berkat sejumlah penawarannya yang sangat kompetitif, baik dari segi harga maupun kualitas.

Salah satu headset gaming terlarisnya adalah Cloud II, yang disebut telah terjual sebanyak hampir empat juta unit sejak pertama kali diperkenalkan di tahun 2015. Lima tahun berselang, HyperX sudah menyiapkan penerusnya; bukan Cloud III, melainkan Cloud II Wireless.

Sesuai namanya, yang baru dari headset ini tentu saja adalah konektivitas nirkabelnya. Cloud II Wireless mengandalkan bantuan dongle USB seukuran flash disk untuk menyambung ke PC, PlayStation, ataupun Nintendo Switch. Sangat disayangkan tidak ada Bluetooth sebagai opsi ketika ingin mendengarkan musik via smartphone, tapi setidaknya Cloud II Wireless menjanjikan proses pairing yang instan, dengan jangkauan maksimum hingga 20 meter.

Namanya juga mengindikasikan kalau headset ini tetap mempertahankan banyak keunggulan pendahulunya, terutama dari segi desain. Konstruksi berbahan aluminium tetap menjadi unggulan, demikian pula bantalan memory foam yang tebal di bagian kepala sekaligus telinga.

Singkat cerita, kalau Anda suka dengan ergonomi yang ditawarkan Cloud II, sudah seharusnya Anda cocok dengan Cloud II Wireless, apalagi mengingat bobot perangkat ini tergolong ringan di angka 300 gram. Perihal pengoperasian, Cloud II Wireless menyimpan sebuah kenop volume di earcup sebelah kanan, serta dua tombol di earcup sebelah kiri; satu tombol power, satu lagi untuk mute/unmute mikrofonnya.

Indikator LED untuk status mute sekaligus baterai yang tersisa juga hadir sebagai pelengkap. Baterainya sendiri diklaim mampu bertahan sampai 30 jam dalam sekali pengisian, dan perangkat tetap bisa digunakan seperti biasa selagi di-charge menggunakan kabel USB-C.

HyperX Cloud II Wireless

Terkait kualitas suaranya, Cloud II Wireless mengemas driver berdiameter 53 mm dengan respon frekuensi 15 – 20.000 Hz. Berdasarkan ulasan-ulasan yang beredar di internet, rupanya cukup banyak yang memuji kualitas suara dari headset ini. Berhubung ini merupakan headset gaming, fitur emulasi suara surround 7.1 juga tersedia sebagai standar, dan bisa diaktifkan atau dinonaktifkan kapan saja.

Sepintas memang kesannya tidak ada banyak perubahan yang dibawa oleh HyperX Cloud II Wireless, tapi itu semestinya sudah bisa kita tebak dari namanya. Di Amerika Serikat, perangkat ini rencananya akan dipasarkan mulai 20 November 2020 seharga $150. Sebagai perbandingan, Razer BlackShark V2 Pro yang dirilis bulan dibanderol seharga $180.

Sumber: Business Wire.

Di Balik Merger Huya dan Douyu untuk Dominasi Pasar Streaming Game Tiongkok

Sebagai negara dengan populasi terbesar, Tiongkok selalu menjadi pasar yang menarik untuk diperhatikan, termasuk terkait industri esports. Menurut iResearch Consulting Group, pemasukan industri esports di Tiongkok pada 2019 mencapai RMB117,5 miliar (sekitar Rp258,4 triliun), naik 25% dari tahun sebelumnya. Sementara pada 2021, nilai industri esports di Tiongkok diperkirakan akan naik menjadi RMB165,1 miliar (sekitar Rp363 triliun), menurut laporan South China Morning Post.

Salah satu alasan mengapa industri esports bisa tumbuh pesat di Tiongkok adalah karena dukungan dari pemerintah. Alasan lainnya adalah karena di Tiongkok, industri game online dan live streaming juga sangat subur. Memang, menurut data dari iResearch, total pemasukan industri streaming game di Tiongkok akan mencapai US$3,5 miliar (sekitar Rp51,4 triliun) pada tahun 2020.

Di global, Twitch milik Amazon memang masih menjadi platform streaming game nomor satu. Namun, di Tiongkok, Twitch diblokir. Hal ini membuka kesempatan bagi perusahaan-perusahaan lokal untuk membuat platform streaming game sendiri. Melihat besarnya potensi pemasukan di industri streaming game di Tiongkok, muncul banyak platform streaming game. Ialah Huya dan Douyu, dua platform streaming game yang sukses mendominasi pasar streaming game di Tiongkok.

Douyu jadi salah satu platform streaming game terbesar di Tiongkok. | Sumber: Deposit Photos
Douyu jadi salah satu platform streaming game terbesar di Tiongkok. | Sumber: Deposit Photos

Pada Q2 2020, jumlah rata-rata pengguna aktif bulanan Douyu dikabarkan mencapai 165,3 juta orang. Sebanyak 7,6 juta di antaranya merupakan pengguna berbayar. Sementara itu, Huya memiliki 168,5 juta pengguna aktif bulanan dengan 6,2 juta pengguna berbayar. Dari segi keuangan, pemasukan Douyu pada Q2 2020 mencapai RMB2,5 miliar (sekitar Rp5,5 triliun), naik 33,9% dari Q2 2019. Dan pemasukan Huya pada periode yang sama mencapai RMB2,7 miliar (sekitar Rp5,9 triliun), naik 34,2% dari tahun sebelumnya.

Tentu saja, hanya karena Huya dan Douyu sama-sama perusahaan Tiongkok, hal itu bukan berarti hubungan keduanya baik-baik saja. Oppo dan Vivo yang punya perusahaan induk yang sama saja bisa bersaing dengan satu sama lain, apalagi Huya dan Douyu.

 

Persaingan antara Huya dan Douyu

Douyu didirikan di Wuhan, Tiongkok pada 2014. Sementara Huya adalah anak dari perusahaan hiburan raksasa YY Inc., yang kemudian menjadi perusahaan mandiri pada Agustus 2016. Pada tahun yang sama, persaingan antar platform streaming game di Tiongkok memanas. Hal ini membuat banyak platform streaming game tumbang. Douyu dan Huya tidak hanya berhasil bertahan tapi juga sukses mendominasi pasar streaming game di Tiongkok.

Salah satu strategi Douyu untuk bisa bertahan di tengah ketatnya persaingan ketika itu adalah dengan memanjakan para streamer mereka. Douyu rela membayar US$4 juta (sekitar Rp58,7 miliar) pada Liu “PDD” Mou agar streamer tersebut mau menyiarkan kontennya secara eksklusif di Douyu. Di Barat, perusahaan-perusahaan platform streaming game baru mulai berebut streamer populer satu tahun belakangan. Namun, di Tiongkok, hal ini telah terjadi sejak lama.

Douyu rela bayar Liu "PDD" Mou demi mendapatkan kontrak eksklusif. | Sumber: SCMP
Douyu rela bayar Liu “PDD” Mou demi mendapatkan kontrak eksklusif. | Sumber: SCMP

“Perebutan untuk mendapatkan hak siar eksklusif atas kompetisi esports dan kontrak eksklusif dengan streamer, kita baru melihat tren ini di Twitch, Facebook, YouTube, dan platform streaming game lain dari Amerika Serikat belum lama ini,” kata Ahmad Daniel, Senior Analyst, Niko Partners, perusahaan riset yang fokus pada pasar gaming Asia, dikutip dari GameDaily. “Namun, konten eksklusif telah menjadi strategi dari platform streaming game di Tiongkok sejak beberapa tahun lalu. Hal ini mendorong terjadinya konsolidasi pasar platform streaming game. Pada 2019, Panda TV akhirnya tutup. Sementara Douyu, Huya, dan Bilibili terus tumbuh.”

Selain berlomba-lomba untuk mendapatkan kontrak eksklusif, Huya dan Douyu juga sempat saling beradu di pengadilan terkait kasus pencemaran nama baik dan kontrak dengan para streamer. Sementara persaingan antara Huya dan Douyu untuk mendapatkan kontrak eksklusif dengan streamer menimbulkan masalah tersendiri, yaitu melambungnya biaya kontrak eksklusif.

“Ketika Panda TV ada di masa kejayaannya, bayaran para streamer jauh lebih tinggi dari seharusnya,” kata seorang manager live streaming yang bekerja untuk salah satu multi-channel network (MCN) di Tiongkok, menurut laporan KR Asia. Panda TV merupakan salah satu platform streaming game asal Tiongkok. Platform itu didirikan pada 2015 oleh Wang Sicong, anak dari pebisnis Wang Jianlin. Hanya saja, Panda TV tutup pada 2019 karena tidak dapat bertahan di tengah ketatnya persaingan dalam industri platform streaming game di Tiongkok.

Jika Huya dan Douyu terus mengeluarkan uang dalam jumlah besar untuk mendapatkan kontrak eksklusif dengan para streamer, maka hal ini adalah kabar buruk bagi para investornya. Jadi, tidak aneh jika pada akhirnya…

 

Tencent Dorong Huya dan Douyu untuk Merger

Selain sebagai platform streaming game populer di Tiongkok, Huya dan Douyu punya satu kesamaan lain. Keduanya pernah mendapatkan investasi dari Tencent. Douyu mendapatkan investasi dari Tencent pertama kali pada 2015. Sejak saat itu, Tencent terus menambahkan modal yang mereka tanamkan di Douyu. Pada 2019, Douyu melakukan penawaran saham perdana di NASDAQ. Pada Maret 2020, Tencent menguasai 38% saham Douyu, menjadikan mereka sebagai pemegang saham terbesar di platform streaming game tersebut.

Sementara itu, Tencent pertama kali menanamkan modal di Huya pada Maret 2018. Ketika itu, mereka menyuntikkan dana sebesar US$461,6 juta (sekitar Rp6,8 triliun). Huya lalu melakukan IPO di New York Stock Exchange (NYSE) pada Mei 2018. Pada April 2020, Tencent kembali mengucurkan modal untuk Huya. Setelah memberikan modal sebesar US$262,2 juta (sekitar Rp3,85 triliun) pada Huya, Tencent mendapatkan 50,1% voting power dari perusahaan platform streaming tersebut. Dengan begitu, Tencent menjadi memiliki kuasa atas Douyu dan Huya. Hal ini membuka jalan bagi Tencent untuk menggabungkan kedua perusahaan tersebut.

Pada Agustus 2020, Tencent mengumumkan rencana mereka untuk mengonsolidasi Douyu dan Huya. Proposal tersebut memang bersifat tak mengikat. Namun, Tencent siap untuk memastikan agar proses merger dari dua platform streaming game itu bisa berjalan lancar. 12 Oktober 2020, Tencent akhirnya berhasil merealisasikan rencana mereka untuk menggabungkan Douyu dan Huya.

Tencent dorong agar Huya mau merger dengan Douyu. | Sumber: Deposit Photos
Tencent dorong agar Huya mau merger dengan Douyu. | Sumber: Deposit Photos

Huya dan Douyu mengumumkan, mereka akan melakukan merger. Merger tersebut diperkirakan akan selesai pada semester pertama 2021. Dengan ini, Huya akan membeli saham Douyu dan Douyu akan menarik saham mereka dari NASDAQ. Para pemegang saham dari kedua perusahaan akan mendapatkan 50% dari saham perusahaan gabungan Huya dan Douyu. CEO Huya, Dong Rongjie akan memegang jabatan co-CEO bersama CEO Douyu, Chen Shaojie.

Menurut laporan media lokal Tech Planet, kemungkinan, perusahaan hasil merger Douyu dan Huya akan hadir dengan merek baru, yaitu Husha, yang berarti Tiger Shark. Diduga, mereka akan menggunkan nama Husha karena nama tersebut merupakan gabungan dari Douyu — yang berarti Fighting Fish — dan Huya, yang berarti Tiger Teeth. Perusahaan tersebut akan menguasai 80% pasar platform streaming game di Tiongkok. Sementara Tencent akan memegang 67,5% saham dari perusahaan itu.

Dengan bergabungnya Huya dan Douyu menjadi satu entitas, maka mereka tidak perlu lagi berebut kontrak eksklusif. Menurut seorang pekerja Huya yang tak mau disebutkan namanya, hal ini akan membuat gaji yang diterima oleh para streamer turun. Dampak lain dari merger antara dua platform streaming game ini adalah fokus Douyu akan berubah. Nantinya, Douyu akan lebih fokus pada video dengan durasi pendek atau medium. Selain itu, Douyu juga akan bekerja sama dengan Penguin, merek streaming game milik Tencent.

 

Kenapa Tencent Dorong Huya dan Douyu Merger?

Jika Huya dan Douyu merger, maka investor dari kedua perusahaan akan diuntungkan. Pasalnya, mereka tak lagi perlu mengucurkan banyak uang demi mendapatkan kontrak eksklusif. Sementara itu, bagi Tencent, merger Huya dan Douyu juga akan menguntungkan karena mereka akan menjadi pemegang saham terbesar dari perusahaan yang akan bernilai US$10 miliar (sekitar Rp146,8 triliun) tersebut.

Tak hanya itu, merger Huya dan Douyu juga akan memperkuat dominasi mereka di tengah pasar streaming game yang kembali memanas. Memang, belakangan, aplikasi video pendek seperti Douyin — versi TikTok di Tiongkok — dan Kuaishou serta platform video Bilibili mulai menunjukkan ketertarikan untuk menampilkan konten esports. Douyin memiliki 600 juta pengguna aktif harian per September 2020. Tak hanya itu, ByteDance, perusahan induk dari Douyin, dikabarkan membuat divisi khusus untuk mengembangkan game bagi para gamer hardcore.

Sementara Kuaishou dikabarkan memiliki pengguna aktif harian sebanyak 51 juta orang per Desember 2019. Pada Agustus 2020, angka itu meroket menjadi 220 juta orang. Bilibili, yang populer di kalangan Gen Z, juga menunjukkan minat untuk masuk ke industri streaming game. Mereka dikabarkan membayar RMB800 juta (sekitar Rp1,8 triliun) untuk mendapatkan kontrak eksklusif dengan Riot Games. Melalui kontrak itu, Bilibili mendapatkan hak siar eksklusif atas League of Legends World Championship di Tiongkok selama tiga tahun.

League of Legends World Championship akan diadakan di Shanghai, Tiongkok pada 2020. | Sumber: Riot Games
League of Legends World Championship akan diadakan di Shanghai, Tiongkok pada 2020. | Sumber: Riot Games

“Douyu dan Huya memang masing menguasai para top streamer yang memiliki banyak fans,” kata karyawan Huya yang tak ingin disebutkan namanya. “Namun, selain live streaming, platform seperti Kuaishou dan Bilibili punya video lebih banyak, baik video pendek maupun video dengan durasi yang lebih panjang. Hal ini dapat membuat para penonton lebih betah menonton di platform tersebut.”

Seorang manager MCN di Tiongkok menjelaskan, konten game di platform selain Huya dan Douyu bisa lebih menghibur. Pasalnya, para streamer di Huya dan Douyu biasanya fokus untuk menampilkan teknik dan kemampuan mereka dalam bermain game. Sementara video di platform lain fokus pada cerita dalam game. Jadi, bagi sebagian orang, konten di platform lain lebih menarik. Dia juga mengungkap, mendistribusikan konten di Douyin cukup sulit. “Konten gaming di Douyin dapat diblokir dengan mudah karena masalah hak cipta,” ujarnya.

 

Penutup

Waktu kecil, saya pernah mendengar cerita fabel tentang singa dan beruang yang menemukan sepotong daging di hutan. Merasa paling pantas untuk mendapatkan keseluruhan daging tersebut, keduanya lalu bertarung. Namun, keduanya terlalu sibuk berkelahi dengan satu sama lain sehingga mereka tidak sadar ada serigala yang mengambil daging yang mereka temukan. Pada akhirnya, baik sang singa maupun beruang tidak mendapatkan daging yang mereka temukan.

Moral dari cerita ini adalah jika Anda terlalu sibuk bertarung dengan satu musuh, Anda bisa tak menyadari keberadaan musuh lain, yang bisa berakhir dengan hilangnya kesempatan yang ada. Jadi, saya rasa, keputusan Tencent untuk menggabungkan Huya dan Douyu adalah untuk mencegah hal serupa terjadi. Jika Huya dan Douyu terlalu sibuk bersaing dengan satu sama lain, tak tertutup kemungkinan justru ada perusahaan lain yang mengambil kesempatan untuk menguasai pasar streaming game di Tiongkok.

Bagi Tencent, bergabungnya Douyu dengan Huya menjamin mereka menguasai pasar streaming game di Tiongkok. Hal ini akan membuat mereka semakin mendominasi pasar gaming karena mereka juga sudah berhasil menjadi publisher game nomor satu di dunia. Ke depan, tak tertutup kemungkinan, Tencent akan berusaha menguasai semua lini dalam industri gaming, mulai dari perilisan game, penyelenggaraan turnamen esports, sampai bagian streaming.

Feat Image: Deposit Photos

Bintang Esports, Survivorship Bias, dan Potensi Masalah yang Berbaris di Belakangnya

RRQ Hoshi baru saja memenangkan gelar MPL yang ketiga setelah mengalahkan Alter Ego di babak Grand Final MPL ID Season 6. Mereka tak hanya mendapatkan hadiah uang kemenangan semata. Usaha mereka juga membuahkan kejayaan serta popularitas berkat pencapaian mereka mempertahankan gelar sebagai raja MLBB Indonesia selama 2 musim ke belakang.

Melihat pemain-pemain RRQ Hoshi yang begitu sukses sebagai seorang gamers, mungkin jadi tidak heran kalau gamers bermimpi mencapai kesuksesan serupa. Coba saya tanya, siapa yang tidak mau menjadi bintang esports (pemain atau game streamer)? Berlimpah uang hadiah, populer, dan diakui oleh masyarakat luas. Bukan hanya gamer, bahkan orang-orang awam juga mungkin bisa mendadak jadi main game mengetahui berita kesuksesan ini.

Dari narasi tadi, tidak heran juga kalau banyak anak muda yang terhanyut dalam impian tersebut dan berusaha keras untuk mencapainya. Bermimpi tidak salah, berusaha keras untuk mencapai mimpi tersebut juga tidak ada salahnya. Namun demikian ada satu kenyataan yang perlu diterima bahwa mengejar karir menjadi bintang esports memiliki kesempatan sukses yang sangat kecil dan mungkin impian tersebut bahkan bukan untuk semua orang.

 

Kesuksesan Bintang Esports Cuma Untuk 1% Orang

Kemenangan Lemon dan kawan-kawan RRQ Hoshi mungkin menginspirasi Anda untuk turut berjuang demi mencapai kesuksesan serupa. Tapi tunggu dulu. Kalau kita teliti lagi menuju kesuksesan serupa seperti Lemon dan kawan-kawan RRQ Hoshi bukanlah hal yang mudah. Ditambah lagi kesempatanya juga amat sangat kecil.

Kenapa tidak mudah? Hitung-hitungan kasarnya mungkin seperti ini. Anggaplah roster RRQ Hoshi berisi 5 orang (demi memudahkan perhitungan… Hehe). Lalu berdasarkan klaim Moonton tahun 2018 jumlah pemain aktif MLBB di Indonesia adalah 50 juta orang. Maka berdasarkan perkiraan tersebut dengan asumsi jumlah pemain MLBB masih sama angkanya, artinya kesempatan Anda untuk bisa sukses seperti kawan-kawan RRQ Hoshi hanyalah 5 per 50 juta atau 0,0001%.

Terlepas dari kecilnya kesempatan tersebut anak muda tetap berbondong-bondong bermain games dengan mimpi untuk menjadi bintang esports Indonesia. Bukti pernyataan tersebut bisa dicontohkan lewat acara ajang pencarian bakat esports yang dilakukan salah satu televisi nasional Indonesia. Lewat sebuah postingan Instagram, dikatakan bahwa ajang tersebut sudah diikuti oleh 20 ribu lebih gamers Indonesia. Lagi-lagi proporsi angka yang sangat jauh antara jumlah kompetitor dengan jumlah orang yang berhasil sukses/survive.

Namun mimpi orang-orang menjadi bintang esports bisa jadi sangat positif bagi para pelaku bisnis. Semakin banyak orang bermimpi menjadi bintang esports bisa berarti semakin banyak orang yang mendaftar untuk sebuah turnamen. Semakin banyak orang bermimpi menjadi bintang esports juga bisa berarti konten-konten esports yang dilahap oleh anak-anak muda Indonesia. Sayangnya buaian mimpi menjadi bintang esports juga bisa jadi berdampak buruk karena melanggengkan yang disebut sebagai Survivorship Bias.

Konsep Survivorship Bias atau bias kebertahanan bisa diartikan secara sederhana sebagai bentuk kesalahan pola pikir yang terjadi karena terlalu fokus kepada sebagian kecil mereka yang berhasil (survive) dengan melupakan sebagian besar yang gagal.

Contoh paling populer konsep ini terjadi pada kasus ahli matematika Amerika Serikat, Abraham Wald, ketika diminta untuk mempelajari bagian mana yang harus dilindungi agar pesawat tempur tidak tumbang dalam perjalanan pulangnya pada masa perang dunia ke-2.

Cara yang dilakukan Wald saat itu adalah mendata bagian pesawat yang paling banyak ditembaki oleh musuh. Setelah data dikumpulkan, ditemukan bahwa bagian yang paling banyak ditembaki ada di bagian sayap pesawat. Berdasarkan dari data tersebut, orang-orang berkesimpulan untuk melapisi bagian sayap dengan baja yang lebih tebal dan berharap jumlah pesawat yang survive jadi lebih banyak. Tapi Abraham Wald berpikir sebaliknya mengatakan untuk mencoba melapisi bagian mesin pesawat yang jarang terkena tembak menurut data.

Kenapa demikian? Wald berasumsi bahwa sayap yang bolong merupakan tembakan meleset dari senjata anti udara pasukan musuh. Jadi tentu tidak masuk akal jika melapisi sayap dengan baja, toh pesawat yang sayapnya berlubang juga selamat sampai tujuan. Sementara data lain mengatakan bagian mesin adalah bagian yang paling jarang ditembak. Namun menurut Wald bagian tersebut lebih penting untuk dilindungi. Kenapa? Karena rata-rata pesawat yang tertembak di bagian mesin tidak selamat sampai tujuan sehingga jadi tidak tercatat. Berarti, data milik Wald jadi menunjukkan bahwa pesawat yang tertembak di mesin sedikit yang selamat.

Dalam esports, salah paham dalam bentuk Survivorship Bias sangat mungkin terjadi. Gaung bintang-bintang esports seperti Lemon dan kawan-kawan RRQ Hoshi atau Zuxxy-Luxxy dan kawan-kawan Bigetron RA mungkin teramat nyaring. Tapi apakah Anda tahu berapa ribu atau bahkan juta orang yang telah mereka kalahkah supaya bisa mencapai titik tersebut?

Sebuah ilustrasi Survivorship Bias dengan menggunakan perebutan jumlah viewers Fortnite sebagai contoh. Sumber: YouTube RoninOwl
Sebuah ilustrasi Survivorship Bias dengan menggunakan perebutan jumlah viewers Fortnite oleh para game streamers sebagai contoh. Sumber: YouTube RoninOwl

Apakah artinya mimpi menjadi bintang esports itu negatif? Seperti yang saya sebut tadi, langgengnya bias pikir ini bisa jadi positif buat pelaku bisnis esports. Tanpa ada orang-orang yang bermimpi jadi bintang esports, tim, penyelenggara turnamen, ataupun konten-konten esports bisa jadi sepi pengunjung. Tanpa pengunjung, bisnis bisa jadi melambat karena para sponsor urung mempromosikan brand mereka lewat esports.

Tentunya, semua orang juga boleh saja bermimpi jadi bintang esports. Namun, catatan pentingnya, Anda juga harus sadar betapa beratnya persaingan dan kecilnya kesempatan untuk sukses di salah satu bidang — tak hanya esports. Walaupun pencapaian RRQ.Lemon membuktikan premis ‘bermain game bisa jadi sukses’, mari kita mencoba berandai-andai lagi bagaimana kira-kira Lemon mencapai kesuksesannya.

Pada awalnya Anda harus bersaing dulu dengan puluhan juta pemain Mobile Legends di Indonesia (atau bahkan Asia Tenggara) untuk bisa mencapai posisi Top Global. Setelah mencapai Top Global, Anda harus bersaing lagi dengan puluhan atau ratusan ribu orang untuk memenangkan sebuah turnamen. Setelah menang turnamen demi turnamen, Anda harus bersaing lagi demi bisa mendapat kesempatan untuk bertanding di MDL. Pada MDL, persaingan akan semakin keras lagi hingga akhirnya Anda bisa mencapai liga MPL.

Setelah sampai liga MPL, jumlah saingan Anda mungkin sedikit, cuma sekitar 40 pemain dari 8 tim (dengan asumsi setiap tim MPL memainkan roster 5 pemain). Tapi pemain MLBB di kelas MPL adalah pemain-pemain kelas elit, yang tidak hanya jago tapi juga memiliki mentalitas terbaik.

Sudah pasti mendapat kejayaan di MPL bukan perkara mudah. Contohnya seperti Alter Ego di Grand Final MPL ID Season 6 kemarin. Apakah mereka tidak jago? Apakah mental mereka kurang keras? Tentu tidak. Mereka sudah berjuang dengan segala daya dan upayanya yang sayangnya usaha tersebut dihentikan begitu saja. Apakah kerja keras membuahkan hasil hanya jadi bualan palsu? Bisa iya, bisa tidak. Kenapa begitu? Karena kenyataannya ada banyak faktor eksternal lain yang tidak bisa kita kendalikan dalam jalan menuju kesuksesan.

Jadi pertanyaan sebenarnya bagi Anda yang ingin mengejar impian jadi bintang esports adalah: Apakah Anda sudah siap mengarungi pahit manis perjuangan dan tetap konsisten di jalan kompetitif demi mencapai impian tersebut? Kalau Anda memang sudah siap dan punya mental baja seperti itu, maka silakan, bahkan saya sangat menyarankan untuk mengejar impian Anda.

Karena skill jago dan mental baja adalah komposisi penting yang dibutuhkan dari diri seorang bintang esports. Sisanya Anda tinggal berharap saja kepada semesta, semoga impian Anda terjawab.

Ya benar, semesta. Karena kenyataan lain yang harus kita terima bahwa kesuksesan juga datang dari keberuntungan. Keberuntungan di sini termasuk, bisa punya gadget dan internet yang mumpuni, punya teman-teman yang sudah terjun di dunia esports sebelumnya, punya orang tua yang mendukung perjuangan Anda mengejar mimpi jadi bintang esports, dan keberuntungan-keberuntungan lain yang mungkin tidak Anda sadari.

Tapi jangan lupa juga bahwa waktu Anda terbatas. Masa keemasan pemain di esports terbilang lebih pendek dibanding dengan atlet olahraga tradisional. Jangan lupa, tidak ada juga satu orang pun yang bisa menebak game apa yang akan menjadi tren di masa depan. Apakah MLBB akan tetap menjadi tren selama 5 sampai 10 tahun ke depan? Akankah MPL terus ada selama 5 sampai 10 tahun ke depan? Tak ada satu orang pun yang bisa menjawab hal tersebut.

“Kok lama-lama faktor eksternalnya jadi banyak sekali? Faktor-faktor tersebut bikin patah arang pula!” Karena memang kenyataan yang harus dihadapi gamers dalam mencapai impian menjadi bintang esports seperti itu adanya.

 

Survivorship Bias Esports, Media, dan Potensi Masalah Sosial di Belakangnya

Jika bicara soal bagaimana orang-orang jadi terhanyut dalam mimpi untuk menjadi bintang esports, bisa dibilang bahwa peran media menjadi salah satu faktor lain. Media yang saya maksud di sini tentunya tidak hanya terbatas pada media nasional ataupun media esports seperti Hybrid.co.id, tapi juga jejaring media sosial yang justru terbilang lebih lekat dengan kehidupan sehari-hari gamer Indonesia.

Dalam konteks media massa, Anda yang sering update pemberitaan esports mungkin sedikit banyak sadar ada glorifikasi atau pemujuaan berlebihan terhadap kesuksesan bintang-bintang esports. Mirip seperti pemujaan ‘bolos sekolah bisa sukses seperti Steve Jobs’, bintang esports kadang dipuja lewat narasi yang terlalu disederhanakan seperti ‘main game bisa jadi kaya raya’.

Dengan asumsi konsumen media adalah khalayak yang pasif, sajian narasi yang terlalu disederhanakan berpotensi memberi dampak negatif berupa masalah-masalah sosial. Dampak negatif yang saya bayangkan adalah jumlah anak muda yang terbuai mimpi jadi terlalu banyak. Jika mereka bisa realistis, hal tersebut mungkin jadi tidak masalah.

Tapi apa jadinya jika kebanyakan anak muda jadi menggunakan dalih ‘main game bisa sukses’ sebagai alasan menutupi kemalasan? Atau bolos sekolah pergi ke warnet dan menjual sepedanya untuk beli billing warnet supaya bisa menjadi Sumail?

Hal tersebut adalah masalah-masalah sosial yang saya khawatirkan terjadi. Gara-gara perkara itu bisa jadi jumlah pengangguran di usia muda jadi meningkat. Atau malah bisa jadi tingkat putus sekolah di kalangan muda juga meningkat, karena kebanyakan mereka terinspirasi melihat bintang esports lalu terjebak Survivorship Bias. Mengapa putus sekolah juga jadi masalah? Padahal banyak bintang esports yang sukses meskipun putus sekolah? Lagi-lagi mengingat kepada kenyataannya bahwa jenjang pendidikan formal adalah jalan paling aman untuk bisa bertahan hidup kalaupun tidak bisa ‘sukses’.

Media sosial juga menjadi agen lain atas pesan-pesan yang rentan menciptakan pola pikir Survivorship Bias menjadi bintang esports. Dari segi konten, media sosial punya kecenderungan untuk menyajikan isi konten yang lebih disederhanakan lagi jika dibanding dengan media massa. Selain itu cara media sosial menyajikan konten kepada para penggunanya juga punya potensi untuk menciptakan masalah lain.

Mungkin sudah menjadi rahasia umum bahwa konten media sosial disajikan berdasarkan preferensi konten yang Anda pilih. Menu Explore pada Instagram bisa jadi contoh. Jika mungkin Anda belum tahu, isi konten yang ada di menu Explore disajikan kepada Anda berdasarkan dari pola konsumsi konten Anda. Dalam menu tersebut, Instagram menyajikan konten yang serupa dengan konten-konten yang sebelumnya pernah Anda Like, Saved, atau Comment.

Sistem tersebut menciptakan sesuatu yang disebut sebagai Filter Bubble. Secara sederhana, maksud Filter Bubble adalah semacam “gelembung” yang mengurung konsumen media sosial ke dalam satu lingkup konten tertentu. Dalam konteks esports contoh nyatanya mungkin begini.

Misalnya, Anda adalah fans fanatik divisi MLBB EVOS Esports yang sering berinteraksi dengan konten-konten EVOS Esports. Berangkat dari pola konsumsi konten yang seperti itu, ada kemungkinan besar menu Explore Anda akan menyajikan konten-konten yang berkaitan dengan gaming/esports, MLBB, dan EVOS Esports.

Apa dampak dari fenomena Filter Bubble? Bisa dibilang bahwa Filter Bubble punya dampak seperti pedang bermata dua. Pelaku bisnis media sosial seperti Facebook, Instagram, dan kawan-kawan, senang sekali jika penggunanya terjebak Filter Bubble. Para pengguna jadi menghabiskan waktu lebih lama di media sosial, lebih sering membuka media sosial karena mereka terus menerus dijejali oleh konten yang mereka sukai. Jika pengguna lebih lama dan sering membuka media sosial lalu apa? Perusahaan-perusahaan tersebut jadi bisa menjejali pengguna dengan iklan yang serupa. Apabila pengguna berhasil terbujuk untuk membeli dari iklan tersebut, maka perusahaan media sosial akan jadi semakin untung lagi.

Tapi bagaimana dari sisi pengguna? Seperti yang saya sebut, Filter Bubble rentan menciptakan masalah sosial. Dalam konteks gaming/esports, Filter Bubble terbilang jadi alasan kenapa pemain satu game atau fans tim esports jadi mati-matian membela game/tim esports yang mereka cintai. Fenomena Filter Bubble jadi alasan pemain games atau fans tim esports terkurung dalam satu sisi sudut pandang saja. Membuat dunia digital seolah cuma punya dua sisi yaitu “fans” dan “haters” saja.

Dalam hal Survivorship Bias, Filter Bubble punya potensi untuk menghanyutkan pengguna media sosial lebih dalam lagi terhadap impian untuk menjadi bintang esports, entah menjadi pro player ataupun YouTuber. Karena jika sebuah media sosial melihat pola konsumsi konten pengguna yang menyukai konten-konten seputar hingar-bingar, maka ia akan terus disuapi oleh konten-konten serupa setelahnya. Maka dari itu media sosial punya potensi memperkuat masalah sosial serupa seperti penyederhanaan narasi “main game bisa sukses” yang dilkukan oleh media massa.

 

Pada Akhirnya…

Ide artikel ini tercipta dari keresahan saya yang muncul setelah berbincang dengan salah satu anggota forum gaming di media sosial . Dalam obrolan tersebut, ia bercerita singkat soal bagaimana dirinya punya impian berkarir di ekosistem gaming/esports Indonesia sejak dari lama namun masih belum mencapai apapun di tahun 2020 ini.

Perbincangan tersebut memunculkan kekhawatiran terhadap bagaimana hingar bingar berita dan cerita bintang esports berpotensi memberi dampak negatif bagi konsumennya. Bahkan jika pemujaan berlebihan media terhadap bintang esports ini diteruskan, bukan tidak mungkin generasi muda melakukan jalan-jalan yang berisiko seperti putus sekolah atau menganggur bertahun-tahun lalu hanya bermain game saja dengan dalih “mengejar karir esports“.

Kami tim redaksi Hybrid.co.id selalu mencoba untuk mengupas banyak sudut hingar bingar dunia esports. Bukan cuma bicara soal kesuksesan tapi juga kenyataan kenyataan lain yang harus dihadapi seperti pekerjaan di industri game dan esports yang tidak semudah yang dibayangkan. Ada jerih payah dan cucuran keringat yang tak mungkin diungkap semuanya ke muka publik. Kami juga beberapa kali mencoba mengangkat kisah profesi balik layar di esports, seperti menjadi Observer, Referee, manager tim esports, ataupun karir-karir lain yang perangkat kemampuannya juga dibutuhkan di industri lain selain esports. Pembahasan tersebut menjadi pesan pengingat kami kepada Anda, bahwa esports menyediakan banyak peluang lain selain dari menjadi bintang esports.

Selain itu, bukan berarti sekian jumlah tantangan dan potensi kegagalan itu bisa dijadikan kambing hitam untuk berhenti berjuang. Dari pembahasan ini, saya rasa penting untuk tetap membumi kepada realita. Walaupun karir menjadi bintang esports (pro player atau streamer) terbilang sangat menjanjikan, penting bagi Anda untuk sadar bahwa kesempatan mendapatkan kesuksesan besar amatlah kecil, butuh perjuangan besar, dan bijaknya memiliki rencana cadangan.

Patut diingat juga bahwa kenyataannya hanya mereka yang mencapai kejayaan yang berkesempatan menyampaikan kisahnya. Membuat ratusan atau mungkin ribuan kisah kegagalan menjadi bintang esports jadi tidak terungkap ke permukaan. Belum lagi industri esports juga mirip seperti industri entertainment yang tidak punya satu jalan pasti untuk menuju kesuksesan.

Artikel ini mungkin jadi terasa seperti ujaran orang tua yang bawel terhadap anaknya yang ngebet jadi bintang esports. Jadi akhir kata saya ingin bilang untuk tetap bermimpi dan berjuang untuk mencapai mimpi tersebut. Namun juga jangan sampai Anda lupa daratan. Tetaplah fokus pada apa yang nyata dan kejarlah peluang jelas yang ada di hadapan Anda.