Jalin Kerja Sama Strategis dengan Instagram, Kata.ai Lahirkan Solusi Baru

Kabar baik singgah di Kata.ai. Startup yang fokus pada pengembangan kecerdasan buatan (AI) percakapan dan Natural Language Processing (NLP) ini terpilih sebagai satu dari sedikit perusahaan teknologi yang bisa memanfaatkan API Instagram Messenger.

Bentuk konkret dari terpilihnya Kata.ai sebagai satu-satunya mitra Instagram dari Indonesia adalah hadirnya fitur pesan Instagram pada dasbor omnichannel Kata.ai bernama Kata Instagram Solution. Layanan tersebut memungkinkan pemilik bisnis yang memakai jasa Kata.ai terhubung langsung ke fitur pesan di aplikasi Instagram ke platform omnichannel.

“Kata Instagram Solution memungkinkan pemilik bisnis untuk mengelola pesan dan percakapan dari konsumen secara berkesinambungan dan lebih efektif. Hal ini akan memudahkan mereka menciptakan interaksi lebih tinggi dan melayani pelanggan dengan lebih baik,” ucap Co-Founder & CEO Kata.ai Irzan Raditya dalam pernyataan tertulis.

Terpilihnya Kata.ai tidak terjadi dalam semalam. Mereka sudah menjalin hubungan baik dengan Facebook -sebagai induk dari Instagram- ketika mereka ditunjuk sebagai mitra resmi WhatsApp Business Solution Provider pada tahun 2019. Irzan juga menjelaskan bahwa mereka telah beberapa kali terlibat kerja sama dengan Facebook untuk membantu kliennya dalam mengintegrasikan serta membangun solusi di atas platform Facebook Meseenger.

Lebih jauh ia menjelaskan, lewat Kata Instagram Solution ini pemilik bisnis yang memakai Instagram dapat menangani percakapan pesan di media sosial itu secara kreatif dan mendongkrak customer engagement lewat Direct Message. Layanan baru Kata.ai ini pun sudah efektif bisa digunakan klien mereka.

“Adapun produk yang saat ini dikembangkan yaitu pemilik bisnis dapat menggunakan produk Kata Omnichat untuk dapat mengelola pertanyaan yang masuk melalui Diret Message API,” imbuhnya.

Terpilihnya Instagram sebagai platform yang bisa menggunakan API Instagram ini bisa dibilang signifikan. Pasalnya seperti diketahui bersama bahwa Instagram merupakan media sosial terpopuler di dunia setelah Facebook. Pengguna aktif bulanan mereka lebih dari satu miliar dengan rata-rata penggunaan sekitar 53 menit tiap hari. Di Indonesia sendiri, diperkirakan Instagram dipakai oleh 69 juta pengguna.

Kecenderungan yang meningkat pelanggan menghubungi pemilik bisnis melalui pesan langsung memang meningkat dibanding melalui telepon maupun email. Itu sebabnya Kata.ai punya harapan besar lewat produk terbarunya ini. Pada akhir 2018 Instagram sendiri pernah membuat survei mengenai jumlah bisnis yang memanfaatkan Instagram. Dari hasil survei tersebut diketahui 52% pemilik bisnis mengarahkan konsumennya ke profil bisnis mereka di Instagram. “Karenanya dari sini kami melihat potensinya sangat besar dan hal ini menjadi penting bagi pemilik bisnis untuk memiliki sarana percakapan pesan yang terintegrasi.”

Pihak Instagram pun menyambut kerja sama mereka dengan Kata.ai. Mereka membenarkan bahwa kerja sama ini memang memungkinkan membantu bisnis dan pelanggannya untuk berinteraksi lebih erat.

“Layanan Messenger API untuk Instagram memungkinkan pemilik bisnis dan developer untuk mengelola komunikasi dengan pelanggan di Instagram dalam skala besar,” ujar VP of Platform Partnerships di Messenger Konstantinos Papamiltiadis.

Kata.ai adalah satu-satunya perusahaan asal Indonesia yang dipilih oleh Facebook dalam program ini. Selain Kata.ai, beberapa perusahaan lain yang terpilih adalah Hootsuite, Zendesk, GoDaddy, MobileMonkey, dan Sprinklr.

Kata.ai berencana mengembangkan produk terbaru ini dengan fitur-fitur lainnya sesuai dengan kebutuhan pengguna mereka. Akan tetapi Irzan menyatakan saat ini layanan Kata Instagram Solution ini masih sebatas memungkinkan pemilik bisnis mengelola pertanyaan yang masuk melalui Direct Message API.

Optimasi Keamanan Data di Aplikasi Fintech

Keamanan data untuk sebuah startup digital adalah keharusan. Selain melindungi aset perusahaan, keamanan data juga berfungsi sebagai jaminan kepercayaan untuk pelanggan mereka.

Faktor tersebut jadi kian relevan bagi startup fintech. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa perusahaan yang bergerak di sektor keuangan. Maka dari itu keamanan data di fintech sama sekali bukan hal yang bisa ditawar.

Andre Pratama selaku Acting CTO UangTeman menjelaskan, langkah-langkah preventif terhadap kebocoran data sebagai syarat yang begitu penting. Andre membagi pengetahuan dan pengalamannya di keamanan data dalam edisi #SelasaStartup terbaru.

Pada umumnya isu di keamanan data berasal dari faktor internal dan eksternal. Andre mengatakan kerentanan dari dalam justru bisa menjadi masalah paling besar dalam bidangnya. Tanpa sistem pengawasan yang ketat, lubang kerentanan bisa muncul di sana-sini. Selain butuh alat yang mumpuni, integritas internal perusahaan perlu dipupuk sejak awal.

“Saya pikir banyak sekali tools di luar sana, tapi kalau integritasnya tidak dijaga pasti akan kebobolan juga,” tegas Andre.

Menjaga dari dalam

Ada beberapa langkah yang bisa dilakukan suatu perusahaan untuk mencegah kerentanan keamanan muncul. Salah satu langkah pertamanya adalah memastikan seluruh tim karyawan aman dari kemungkinan terburuk.

Menurut Andre langkah-langkah itu bisa dimulai dari membuat non-disclosure agreement (NDA) atau perjanjian kerahasiaan dengan pegawai. Langkah berikutnya adalah menciptakan sistem yang mencegah masalah yang bisa timbul secara tidak disengaja.

Contoh dari langkah itu adalah tidak memperbolehkan laptop yang dipakai pegawai tersambung ke WiFi. Kalaupun perlu akses ke WiFi, hanya bisa digunakan oleh orang-orang tertentu dengan tujuan yang jelas. Contoh lainnya adalah menghapus isi papan tulis selepas rapat dan mewajibkan minutes of meeting (MoM) hanya beredar di internal perusahaan.

Dari aspek infrastruktur pun ada langkah-langkah yang diperlukan. Sebagai fintech, Andre bercerita pihaknya telah membuat sistem keamanan berlapis untuk setiap transaksi yang terjadi. Begitu pula di datanya sendiri, semua sudah dienkripsi dan sudah diacak (hashed).

Saat berkolaborasi dengan pihak ketiga

Kerentanan juga sangat mungkin terjadi ketika sebuah startup ingin berkolaborasi dengan pihak ketiga. Pertemuan metode dan teknologi dua pihak memungkinkan adanya celah yang bisa dimasuki penyusup. Oleh karena itu perlu langkah-langkah pencegahan juga.

Andre menekankan sebelum memulai kerja sama NDA wajib hadir terlebih dulu. Kemudian ia menilai perusahaan harus melihat apakah API yang masing-masing pakai terbuka atau terenkripsi, apakah API-nya langsung bisa dipasang atau harus registrasi dulu, apakah API-nya sudah menggunakan https atau belum. Meski terkesan rumit tapi langkah-langkah itu perlu diambil.

“Biasanya intruder akan ngambil API yang masih bolong atau masih http saja. Lebih baik strict dibanding gampang tapi rawan,” ia menambahkan.

Keamanan data untuk dan oleh semua

Platform tentu punya tanggung jawab dalam menyimpan dan menggunakan data pribadi yang sudah diberikan oleh para penggunanya. Mereka pun terikat dengan sejumlah peraturan yang dibuat oleh pemerintah maupun asosiasi.

Kendati begitu dalam hal pencegahan kesadaran pengguna pun turut diharapkan. Karena pada faktanya sejumlah modus operandi kebocoran data dapat terjadi memanfaatkan minimnya pengetahuan pengguna akan keamanan data pribadi.

Di UangTeman, menurut Andre edukasi akan keamanan data berlaku untuk borrower dan lender. Edukasi pun mereka berikan kepada kedua pihak tadi. Contoh paling dasar adalah nama pengguna dan kata sandi sekali pakai (OTP) tak boleh diketahui oleh siapa pun. Selain edukasi seperti tadi, pihak UangTeman pun memakai sistem paksa guna melindungi keamanan data pengguna.

“Kami juga lakukan soft force buat nasabah. Jadi kita mendeteksi dari mobile app kami apabila terlalu lama login dan diam saja, kami akan force quit,” pungkas Andre.

Application Information Will Show Up Here

Mangan Is Launched to Connect Restaurants with Corporates

It is no longer possible to count startups that tried their luck in the culinary industry. Various startups with different approaches and business models have emerged in Indonesia. Mangan is the latest one rising to taste the sweet pie of the culinary industry.

Mangan was founded by Hardi Halim and Hutomo Halim in early 2019. Hardi as the CEO explained that Mangan’s business idea was first appeared to overcome employee boredom with the same food menu in a company.

Hardi grasped inspiration while working at a logistics company in the United States. Every day in the cafeteria at work, he can only eat sandwiches and coffee. It is also available on vending machines. Hardi knows that there are some obstacles when companies want to use catering services from restaurants, especially in terms of payment. That experience encouraged Hardi and Hutomo to create a platform that could help companies provide good food choices for their workers.

“Therefore, we combine the problems in offices, communities, and F&B. Mangan is formed to connect restaurants and corporations,” Hardi said.

The SaaS platform

Simply put, Mangan is a software as a service (SaaS) that serves customers on a B2B basis with a focus on the culinary field. Hardi likens the Mangan platform to Airbnb for the culinary world. Hardi emphasized that Mangan does not cook or deliver the food independently.

Based on their data, Mangan estimates that the culinary service has huge business potential. Last year, the value was estimated at US$ 160 billion (around Rp. 2,356 trillion at current exchange rates) in Southeast Asia. This number is predicted to increase to US$ 200 billion or nearly Rp 3,000 trillion by 2025.

Through this platform, people can find a variety of catering and pop-up restaurant services from home-based to top-tier restaurants. Service quality and cleanliness factors are Mangan’s main requirements to attract partners. Therefore, when a company or community wants to use catering services and pop up restaurants, it’s available on their website.

Hardi says what makes Mangan different and has no direct competitors in the country is because they only serve B2B customers. “We are a B2B SaaS. We provide a platform that simplifies business processes between institutions and restaurants. If we look closer, most of the other applications are B2C,” added Hardi.

However, Mangan has recently started to explore B2C. Hardi said that they’ve recently launched a B2C marketplace. However, Hardi emphasized that B2B is still Mangan’s main focus.

Funding and target

In terms of finances, Hardi said that Mangan is currently raising a seed funding round. One of the angel investors has already joined, from the top officials of US Foods, a culinary service and distributor company from the US. Mangan will continue to hold this funding round until the end of this year or early next year.

Currently, Mangan has partnered with more than 200 restaurants. Through the funding they are currently raising, Mangan plans to expand its services. One way is to expand coverage in Java. They are currently available in 80 locations. Their target is to be used not only for offices but also for public institutions such as hospitals, schools, and others.

“Our vision is to make it easier for F&B restaurants in Indonesia to accept large orders from institutions without following complex business processes,” Hardi concluded.

To date, all Mangan services are still accessible through their web portal. However, Mangan plans to launch a mobile application for its B2C customers early next year.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Layanan “Mangan” Hubungkan Restoran dengan Korporasi

Rasanya sudah tak terhitung startup yang mencoba peruntungannya dengan menjamah dunia kuliner. Berbagai startup dengan pendekatan dan model bisnis yang beragam telah bermunculan di Indonesia. Paling anyar adalah Mangan yang ingin mencicipi lezatnya cuan dari dunia kuliner.

PT Teknologi Makan Dimana Saja atau Mangan ini didirikan oleh Hardi Halim dan Hutomo Halim sejak awal 2019. Hardi yang menduduki peran CEO di perusahaan menjelaskan ide bisnis Mangan muncul pertama kali untuk mengatasi kejenuhan karyawan di suatu perusahaan yang bosan dengan menu makan yang itu-itu saja.

Inspirasi itu dipetik oleh Hardi ketika bekerja di sebuah perusahaan logistik di Amerika Serikat. Saban hari di kantin di tempat kerjanya, ia hanya bisa memakan roti lapis dan kopi. Itu pun tersaji di mesin jual otomatis (vending machine). Hardi juga mengetahui ada sejumlah kendala ketika perusahaan ingin memakai jasa katering dari restoran, terutama dalam hal pembayaran. Pengalaman itu mendorong Hardi dan Hutomo membuat platform yang dapat membantu perusahaan menyediakan pilihan makanan yang baik untuk pekerjanya.

“Maka dari itu kami kombinasikan masalah-masalah di perkantoran, komunitas, dan F&B. Maka terbentuklah Mangan yang menghubungkan restoran dan korporasi,” ujar Hardi.

Sebagai platform SaaS

Secara sederhana, Mangan adalah software as a service (SaaS) yang melayani pelanggan secara B2B dengan fokus bidang kuliner. Hardi mengibaratkan platform Mangan tak jauh berbeda seperti AirBnB untuk dunia kuliner. Hardi menegaskan bahwa Mangan tidak memasak atau mengantarkan makanan itu sendiri.

Berdasarkan data yang mereka himpun, Mangan memperkirakan potensi bisnis dari jasa kuliner ini begitu besar. Untuk tahun lalu saja nilainya diperkirakan mencapai US$160 miliar (sekitar Rp2.356 triliun dengan kurs saat ini) untuk seluruh Asia Tenggara. Angka itu diprediksi naik menjadi US$200 miliar atau hampir Rp3.000 triliun pada 2025.

Melalui platform ini orang-orang bisa menemukan beragam jasa katering dan pop up restaurant mulai dari yang kelasnya rumahan hingga restoran bereputasi besar. Faktor kualitas pelayanan dan kebersihan jadi syarat utama Mangan untuk menjaring mitra. Jadi jika suatu saat ada perusahaan atau komunitas yang ingin memakai jasa penyedia katering dan pop up restaurant cukup mencarinya di situs web mereka.

Karena hanya melayani pelanggan B2B inilah yang menurut Hardi membuat Mangan berbeda dan tidak punya kompetitor langsung di Tanah Air. “Kami masuknya B2B SaaS. Kami menyediakan platform yang mempermudah proses bisnis process antara institusi dan restoran. Aplikasi-aplikasi lain itu kebanyakan B2C, kalau kami ke perusahaannya,” imbuh Hardi.

Kendati demikian baru-baru ini Mangan juga mulai merambah B2C. Hardi mengungkapkan belum lama ini pihaknya meluncurkan B2C marketplace. Namun Hardi menegaskan bahwa B2B masih menjadi fokus utama Mangan.

Pendanaan dan target

Secara finansial, Hardi mengakui Mangan saat ini sedang menggalang putaran pendanaan awal. Salah satu investor yang sudah bergabung adalah angel investor dari salah satu petinggi US Foods, perusahaan distributor dan layanan kuliner asal AS. Mangan masih akan terus menggelar babak pendanaan ini hingga akhir tahun ini atau awal tahun depan.

Saat ini Mangan sudah menggandeng lebih dari 200 restoran. Lewat pendanaan yang sedang mereka galang, Mangan berencana memperluas dan memperbesar layanan mereka. Salah satunya adalah dengan ekspansi ke lebih banyak wilayah di pulau Jawa. Sejauh ini Mangan sudah memiliki 80 lokasi pelayanan. Mereka juga menargetkan bisa dipakai tak hanya perkantoran tapi juga institusi umum seperti rumah sakit, sekolah, dan lainnya.

“Visi kami untuk bisa mempermudah F&B restoran di Indonesia untuk bisa menerima pesanan besar dari institusi tanpa mengikuti proses bisnis yang kompleks,” pungkas Hardi.

Sampai hari ini semua layanan Mangan masih hanya bisa diakses melalui portal web mereka. Namun Mangan berencana meluncurkan aplikasi mobile untuk pelanggan B2C mereka pada awal tahun depan.

Masa Depan “Impact Investment” di Indonesia

Ada berapa banyak startup dan investor di Indonesia yang memakai pendekatan lingkungan, social, dan governance (ESG) atau investasi berdampak (impact investment) dalam menjalankan bisnisnya? Jawabannya tentu belum banyak. Ada banyak faktor yang menyebabkan hal tersebut. Meskipun demikian, belakangan ini keberadaan entitas ekonomi digital yang memerhatikan aspek itu mulai bermunculan.

Tentu keadaan di Indonesia belum sejauh negara-negara maju yang sudah memiliki regulasi yang “memaksa” lebih banyak pemain membuat investasi berdampak. Selain ekosistem digital di sini yang masih di tahap awal, ada sejumlah faktor yang membuat investasi berdampak masih terbatas.

Piotr Jakubowski mendirikan nafas dengan fokus mengangkat kesadaran masyarakat akan pentingnya udara bersih. nafas memungkinkan individu atau korporasi berpartisipasi sebagai sponsor dalam menyediakan sensor kualitas udara.

Yang jadi tantangan, menurut Piotr, adalah seringkali inisiatif berdampak lingkungan seperti yang ia bangun lewat nafas diasosiasikan sebagai program amal atau CSR suatu perusahaan. Belum sebagai tujuan utama suatu entitas.

“Masa depan kategori ini jelas. Sains sudah memastikan gentingnya sejumlah isu lingkungan yang dapat berakibat pada tumbuhnya model bisnis berorientasi profit yang akan fokus pada menghindari kerusakan terhadap planet kita,” jelas Piotr.

Pentingnya bisnis berwawasan lingkungan juga dipelihara Crowde. Head of Impact Investment Afifa Urfani mengungkapkan, urgensi memegang nilai keberlanjutan tak hanya untuk keperluan branding perusahaan yang sifatnya sesaat, tapi juga untuk kepentingan jangka panjang.

Afifa mencontohkan bagaimana Crowde yang fokus pada kredit sektor pertanian turut melakukan pembatasan secara wajar terhadap pemakaian bahan kimia, analisis dampak perubahan iklim terhadap pertanian, mitigasi risiko terkait perubahan iklim seperti dampak kekeringan berkepanjangan terhadap permodalan, hingga pembentukan green scoring untuk menilai suatu permodalan dari rencana yang berkelanjutan.

“Semisal kita investasikan sejumlah uang untuk bisnis konvensional. Memang pendapatannya akan besar dan hampir selalu instan, tapi investasi pada bisnis berkelanjutan terlihat berat di depan justru dapat memperoleh biaya maintenance yang rendah setelahnya,” ungkap Afifa.

Dari sudut pandang investor, kepercayaan akan pentingnya investasi berdampak dapat menentukan keberlanjutan suatu perusahaan secara sumber daya maupun finansial. Kepercayaan ini dipegang oleh ANGIN.

Benedikta Atika, Impact Investment Lead ANGIN, mengakui pertumbuhan investasi berdampak di Indonesia mungkin tertinggal sekitar 5-10 tahun dari negara-negara dengan pasar yang lebih matang. Namun, karena hal itu pula, tampak ruang pertumbuhan bagi investasi berdampak sangat besar di Indonesia.

Di cakupan private investment tahap awal, Atika melihat mulai banyak pelaku ekonomi digital di Tanah Air yang mulai melirik dampak lingkungan terhadap bisnis yang mereka jalani. Tumbuhnya sektor agrikultur berkelanjutan, pengelolaan limbah, ekonomi sirkular, menjadi representasi pergerakan positif investasi berdampak.

“Selain itu, kami juga mengobservasi beberapa VC yang sebelumnya tidak khusus memperhatikan dampak lingkungan, sekarang mulai memiliki exposure antara dengan memiliki team khusus terkait impact investment atau ESG (Environment, Social, and Governance) investment. Bahkan juga launching fund baru untuk pendekatan ini,” imbuh Atika.

Bagan di laporan ANGIN yang menemukan investasi berdampak di Indonesia makin bergairah setiap tahun.
Bagan di laporan ANGIN yang menemukan investasi berdampak di Indonesia makin bergairah setiap tahun.

Kesadaran menyeluruh

Meskipun bernama investasi berdampak, kesadaran pentingnya hal ini justru harus dimulai dari pelaku bisnisnya. Crowde dan nafas mewakili hal tersebut dengan mengimplementasikan nilai-nilai keberlanjutan ke dalam model bisnisnya.

Menurut Atika, menyelaraskan persepsi tentang peluang investasi dengan misi keberlanjutan dari entitas bisnis merupakan tantangan yang mereka hadapi. Berdasarkan laporan Investing in Impact in Indonesia 2020, memang ada jurang perbedaan persepsi kedua belah pihak. Yang satu sangat memfokuskan seberapa besar dampak dari solusi yang mereka bisa berikan, yang satu lagi lebih memprioritaskan skalabilitas solusi yang bisa menyentuh pasar lebih luas dengan harapan membawa keuntungan finansial lebih besar.

Atika meyakini, selama model bisnis dan strategi yang akan diterapkan oleh startup berwawasan berkelanjutan, kepercayaan dari investor akan datang.

“Justru komitmen terhadap lingkungan harus datang dari startup ini sendiri dan embedded di model bisnisnya, bukan sebagai “mandat” dari investor. Komitmen tersebut kemudian akan tercermin dalam strategi bisnis dan implementasinya,” tukas Atika.

Crowde setidaknya sudah mempraktikkan hal itu. Mereka telah mendapat kepercayaan dari sejumlah investor. Kepercayaan itu diperoleh karena seluruh tim mereka memiliki kesadaran yang setara akan pentingnya dampak usaha mereka terhadap lingkungan pertanian.`

Crowde adalah satu dari sedikit startup yang menyusun laporan dampak lingkungan atas bisnis yang mereka jalankan. Distribusi pengetahuan dan kesadaran pun tak hanya dipegang oleh petinggi perusahaan, tapi juga semua karyawan.

“Seperti penyetujuan rancangan anggaran biaya petani untuk permodalan dengan memakai bahan kimia tertentu yang melewati dosis, tidak akan sampai ke telinga CEO. Butuh kesadaran tidak dari agen di lapangan saja, tapi juga supervisor di HQ,” terang Afifa.

Pandemi mempercepat proses

Selera pasar dapat menentukan selera investasi. Pergeseran perilaku masyarakat akan memengaruhi pelaku bisnis dalam isu berkelanjutan. Kita bisa ambil contoh meningkatnya gairah publik atas produk energi bersih yang akhirnya ditangkap oleh startup new energy. Namun biasanya waktu panjang untuk menggeser perilaku manusia hingga menjadi kebiasaan baru.

Pandemi mempercepat proses ini. Piotr bercerita kesadaran publik akan udara bersih mulai meningkat pesat sejak wabah Covid-19 berlangsung. Sebuah studi dari Universitas Harvard menunjukkan terdapat tingkat kematian lebih tinggi akibat Covid-19 di area dengan polusi PM2,5 lebih pekat.

Afifa juga melihat hal serupa di sektor pertanian. Saat pandemi menghantam ekonomi global, investasi pada sektor pangan tampil sebagai sorotan utama. Peningkatan produktivitas selalu menjadi fokus utama sektor pangan tanpa, nyaris tanpa menyinggung aspek berkelanjutan. Padahal, menurut Afifa, ada cukup banyak insentif dari pemerintah maupun swasta yang mendorong investasi pada startup yang memegang isu berkelanjutan seperti tertuang dalam SDGs.

“Sebelum pandemi, investasi pada sektor pertanian dianggap konsep ‘futuristik’ yang diperuntukkan kepada generasi masa depan — yang mana ini jelas sebuah konsepsi yang salah. Namun dengan pukulan keras selama pandemi, akhirnya investasi pada sektor pangan menjadi sorotan utama untuk kenaikan ekonomi bukan hanya secara inklusif tapi secara masif,” lengkap Afifa.

Menumbuhkan kesadaran di ekosistem ekonomi digital pun butuh pendekatan jangka panjang. Atika menilai orang kerap hanya mengandalkan laporan keuangan sebagai acuan beban usaha. Padahal kesehatan, kesejahteraan, dan akses dapat juga bisa dihitung sebagai beban non-keuangan.

Indikator-indikator inilah yang semestinya bisa dipakai untuk mengukur apakah bisnis mereka dapat barkontribusi lebih baik ke lingkungannya. Tak kalah penting, mengejar nilai-nilai keberlanjutan pun menurutnya tetap bisa berjalan beriringan dengan target finansial suatu entitas bisnis.

“Kembali lagi, berefleksi ke misi dan visi organisasi tentang pendekatan apa yang paling feasible untuk dilakukan, baik dari segi solusi, value chain, maupun proses bisnis,” pungkas Atika.

Pintek Introduces “Pintek Instan”, Adjusting Educational Loan Amid Pandemic

The specific p2p lending platform for the education sector, Pintek, launched a new product called Pintek Instant. Pintek’s Co-Founder & President Director Tommy Yuwono said the new service was made specifically to help parents of students from early childhood education to college during this pandemic situation.

As Tommy said, the education sector was severely affected by the Covid-19 outbreak. First, the increasing unemployment rate and the decreasing income of the majority of the population. On the other hand, there are around 69 million students who lost access to education during this pandemic, only 40% of Indonesia’s population has internet access. Educational institutions are automatically affected because they need funds to digitize teaching and learning activities.

In fact, Pintek Instant is an upgraded version of the Pintek Student. The difference is, this latest product is able to do credit approval in just one hour.

The credit limit that can be submitted reaches IDR 5 million. The urgent need for education funding along with the economic turmoil due to the pandemic has made Tommy believe that Pintek Instant can help parents to pay for everything in school, from admission fees, gadgets for distance learning, and other bills.

“This Pintek Instant can be given quickly, there is also an option for restructuring, and integrated into schools for submission,” Tommy said in the webinar.

There are two tenor options available for those who want to use this service, 30 days and 90 days. The 30-day settlement option has no interest, while the 90-day option will cost 2.19% interest. All with a loan limit of IDR 5 million.

“Pintek Instant is limited to schools partnered with us. Therefore, we also invite schools in need of this solution, where there are parents who experience problems, therefore, cash flow does not decrease, the students can learn in peace, to contact us,” he added.

Apart from Pintek, there are other fintech lending platforms in Indonesia that offer loans in the education sector. Some of them are Cicil, KoinPintar from KoinWorks, and DanaDidik.

Restructuring as an option

Pintek service has reached 20 provinces in Indonesia with more than 3 thousand borrowers. In addition, they have collaborated with 142 educational institutions. With a large enough scale and this pandemic condition, Pintek provides loan restructuring options for Pintek Instant.

Tommy explained that the restructuring application can be done by filling in the required documents through their customer service. After completing the document, they will offer a new installment scheme, of course, with the approval of the lender.

“We also improve or justify our scoring criteria to prevent bad credit,” said Tommy.

Through this latest product, Tommy targets to gain around 5,000 new borrowers in the next six months. This target is very likely to be achieved considering the large funding needs in the education sector during this pandemic and the number of p2p lenders that focus on education is still relatively small in the country.

Pintek Instant is also a continuation of Pintek’s plan after securing an extension fund from their pre-series A round which was announced last May. At that time, Tommy stated that the funds they obtained is to be focused on developing technology that supports the education industry affected by Covid-19.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Pintek Luncurkan “Pintek Instan”, Penyesuaian Pinjaman Pendidikan di Tengah Pandemi

Platform p2p lending khusus sektor pendidikan Pintek meluncurkan produk terbaru bernama Pintek Instant. Co-Founder & Direktur Utama Pintek Tommy Yuwono mengatakan, layanan baru tersebut dibuat khusus untuk membantu orang tua pelajar dari pendidikan usia dini hingga perguruan tinggi selama situasi pandemi ini.

Menurut Tommy, sektor pendidikan terkena dampak yang cukup dalam dari wabah Covid-19 yang berkepanjangan. Pertama adalah membesarnya angka pengangguran dan kian turunnya pendapatan sebagian besar masyarakat. Di sisi lain ada sekitar 69 juta pelajar yang kehilangan akses pendidikan selama pandemi ini, hanya 40% dari penduduk Indonesia yang punya akses internet. Institusi pendidikan pun otomatis terkena imbasnya karena mereka butuh dana untuk melakukan digitalisasi kegiatan belajar-mengajar.

Sejatinya Pintek Instan ini merupakan versi upgrade dari Pintek Student. Bedanya, produk terbaru ini mampu melakukan persetujuan kredit hanya dalam satu jam.

Adapun batas kredit yang boleh diajukan mencapai Rp5 juta. Kebutuhan pendanaan pendidikan yang mendesak diiringi dengan gejolak ekonomi akibat pandemi membuat Tommy yakin Pintek Instan dapat membantu orang tua pelajar untuk melunasi segala keperluan di sekolah mulai dari uang pangkal, gawai untuk belajar jarak jauh, dan tagihan lainnya.

“Pintek Instant ini bisa dengan cepat diberikan, juga ada opsi untuk restrukturisasi, dan terintegrasi ke sekolah untuk pengajuannya,” ujar Tommy dalam webinar yang mereka selenggarakan.

Ada dua pilihan tenor yang tersedia bagi mereka yang ingin menggunakan Pintek Instan ini yakni 30 hari dan 90 hari. Opsi pelunasan 30 hari tidak dikenakan bunga, sedangkan opsi 90 hari dikenakan bunga 2,19%. Semua dengan batas pinjaman Rp5 juta.

“Pintek Instant terbatas ke sekolah-sekolah yang bekerja sama dengan kami. Jadi kami pun mengundang sekolah-sekolah yang membutuhkan solusi ini, di mana ada orang tua murid mengalami kendala, agar cash flow tidak berkurang, anak-anak murid bisa belajar dengan tenang, bisa menghubungi kami,” imbuhnya.

Selain Pintek, di Indonesia sudah ada platform fintech lending lain yang tawarkan pinjaman di sektor pendidikan. Dua di antaranya Cicil, KoinPintar dari KoinWorks, dan DanaDidik.

Pilihan restrukturisasi

Layanan Pintek sudah menjamah 20 provinsi di Indonesia dengan lebih dari 3 ribu peminjam. Selain itu mereka telah bekerja sama dengan 142 institusi pendidikan. Dengan skala yang sudah cukup besar dan kondisi pandemi ini, Pintek menyediakan opsi restrukturisasi pinjaman untuk Pintek Instan ini.

Tommy menjelaskan, pengajuan restrukturisasi dapat dilakukan dengan mengisi dokumen-dokumen yang dibutuhkan melalui customer service mereka. Jika hal itu sudah rampung mereka baru akan menawarkan skema cicilan yang baru yang tentu saja dengan persetujuan pemberi pinjaman.

“Kami juga meningkatkan atau menjustifikasi kriteria scoring kami untuk mencegah kredit macet,” tukas Tommy.

Melalui produk anyar ini Tommy menargetkan bisa memperoleh sekitar 5.000 peminjam baru dalam enam bulan ke depan. Target itu sangat mungkin tercapai mengingat kebutuhan pendanaan di sektor pendidikan yang masih besar selama masa pandemi ini dan jumlah p2p lending yang fokus di pendidikan masih tergolong sedikit di Tanah Air.

Pintek Instant ini juga merupakan kelanjutan dari rencana Pintek ketika berhasil mengantongi extension fund dari putaran pra-seri A mereka yang diumumkan Mei lalu. Saat itu Tommy menyatakan dana yang mereka peroleh saat itu akan difokuskan untuk mengembangkan teknologi yang mendukung industri pendidikan yang terdampak Covid-19.

Analyzing Omnibus Law Impact on the Startup Ecosystem

Amid the gloomy situation caused by the coronavirus disease 2019 (COVID-19) outbreak, there is another important issue that will affect the lives of many people. It is the Omnibus Law which is to cover many laws at once.

Since last year, the Omnibus Law has been a polemic and has captured more attention at the beginning of this year. This is because the law will change many laws related to public affairs, such as the SME Bill, the Taxation Bill, and the Job Creation Bill. The last bill was the main trigger for many circles’ disapproval over the making of the Omnibus Law.

The government needs the Omnibus Law to simplify regulations that are considered bulky, therefore it is difficult to make decisions. The government’s motivation is also based on the desire to win competitions with other countries. Everything is in the same corridor: attracting more investment to achieve economic targets.

Impacts on startup

The Omnibus Law clearly has an impact on the domestic startup ecosystem. Some articles on display will clearly trigger changes in the industry. One of the examples is the changes in Article 42 concerning Manpower.

In the current regulation, Article 42 requires foreign workers to obtain written permission to work in Indonesia with the exception of diplomatic and consular staff. In the latest draft, the exemptions were extended to foreign workers in startup activities.

Changes in Article 56 become the highlight since it provides more flexibility for employers because the contract work relationship can last a lifetime. This means that there is no legal obligation for employers to make employment status permanent.

These articles bring their own dilemma for startup workers and founders. Izy.ai CEO & Founder Gerry Mangentang explained that the startup business model always demands working faster and pursuing targets in a relatively short period of time. As a result of these demands, startups prefer to look for local developers or engineers who have matured experience but in fact, their availability is still far from sufficient.

“When startup close funding, it is usually intended for 12-18 months runway. Therefore, we were required to speed up since the very beginning that most people prefer to hire developers who have already experienced or simply outsource,” said Gerry.

Nevertheless, Gerry admits that he still prioritizes local talent. That’s why he often refuses outsourcing offers from foreign talents that always packed in his emails. Indirectly, he considered that foreign workers would not be needed as long as there were pools of domestic talents.

“Unfortunately, it is difficult to find good [local] developers nowadays. It’s because they usually have worked in big startups, and the rates are quite high,” he added.

Prosa.ai’s CEO & Founder, Teguh Eko Budiarto agrees with the spirit of bringing in foreign talents by Article 42. However, Teguh criticizes the absence of requirements in the regulation which shows that the need for foreign workers is important.

“The problem is, there is no requirement to ensure the availability of domestic workers, therefore, the competition for workers at a certain level is getting bigger,” he said.

As for Article 56, Teguh admitted that he did not really see the effect that this article would bring. This is because he thought the startup business model is always full of uncertainty. “It’s different if the startup has passed the scale-up phase and has gotten a sustainable profit,” Teguh said.

Employee’s risks

Chairperson of the Media and Creative Industry Workers Union for Democracy (Syndication) Ellena Ekarahendy highlighted the problem brought by the Omnibus Law is the threat of reducing protection for workers without discrimination. This means that the Omnibus Law is considered a common enemy for all groups of workers and urges the authorities to provide concrete protection.

“After all, there are many Indonesian developers who become foreign workers virtually with the current economic convenience? The important thing is to ask for protection for workers, regardless of their nationality,” said Ellena.

Ellena criticized the government and parliament’s attitude which was being too distinctive for the interests of business owners over some of the articles. An example is the flexibility of the contract system contained in Article 56.

There are also supporting details for the company to terminate the employment relationship (PHK) in Article 154A, which in the future it is feared that startups can simply lay off when there is an acquisition, efficiency, merger, and divestment. For the record, the previous rule only allowed companies to do layoffs only when there was a merger.

“In addition, it needs to be highlighted in Article 90B Cilaka [Job Creation] which states that the wages of MSMEs may not follow the minimum wage as long as they are not below the poverty line,” concluded Ellena. In addition, the poverty line for South Jakarta last year was around IDR 730,000.

Apart from the pros and cons of the Omnibus Law, the process is still ongoing. The government is determined to finish it as soon as possible. Meanwhile, the wave of protests, especially from groups of workers and students to reject this omnibus rule, is yet to end.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Grab Ventures Velocity Ketiga Telah Usai, Tiga Finalis Jadi Bagian Solusi untuk Merchant

Grab Ventures Velocity (GVV) akhirnya menyatakan lima startup finalis lulus dari program akselerasi tersebut. LunaPOS, Printerous, KliknClean, GetCraft, dan Workmate dinyatakan lulus setelah melewati rangkaian bimbingan dari Grab sejak Mei lalu.

Tema besar GVV angkatan ketiga ini masih tentang pemberdayaan usaha mikro kecil dan menengah dengan fokus pada usaha kuliner. Managing Director Grab Indonesia Neneng Goenadi mengatakan, dalam jangka waktu tersebut kelima startup tadi menerima berbagai jenis bimbingan mulai dari pendanaan, pengelolaan keuangan, hingga strategi pengembangan bisnis langsung dari Group CEO & Co-Founder Grab Anthony Tan.

“Ini bukti nyata untuk mendukung ekosistem startup dan akselerasi ekonomi digital melalui digitalisasi ekonomi,” ujar Neneng.

Salah satu yang paling penting dari rangkaian bimbingan di program ini adalah kesempatan uji layanan selama delapan pekan dengan menawarkan layanan para finalis lewat platform GrabFood. Ini menjadi penting bagi para finalis karena seperti diketahui platform Grab merupakan salah satu yang terbesar di Asia Tenggara. Masuk ke dalam ekosistem aplikasi mereka merupakan akses langsung ke ratusan ribu merchant dan jutaan pengguna.

Marketplace untuk mitra merchant

Dari uji layanan tersebut, Grab memberi kesempatan kepada LunaPOS, Printerous, dan KliknClean untuk bergabung di dalam ekosistem Grab sebagai mitra bisnis resmi. Adapun LunaPOS menawarkan solusi kasir, manajemen inventaris, hingga layanan akuntansi berbasis cloud; Printerous menyediakan layanan percetakan dan pengepakan untuk bisnis kuliner; dan KliknClean menawarkan solusi pembersihan tempat usaha kuliner dengan disinfektan, pengendalian hama, hingga fogging.

Menurut Neneng, layanan ketiga startup itu sudah bisa diakses oleh mitra merchant Grab lewat marketplace Solusi Mitra GrabMerchant.

“Solusi mereka akan bisa ditemui oleh mitra merchant Grab adalah solusi kami yang baru. Marketplace kami akan memberikan layanan tambahan mulai POS, kebersihan, dan percetakan digital yang harganya terjangkau,” imbuh Neneng.

Kehadiran LunaPOS, Printerous, dan KliknClean menambah daftar startup yang digandeng oleh Grab dalam memenuhi kebutuhan merchant mereka. Dari situs resmi mereka, selain ketiga startup tersebut, ada nama-nama lain seperti Pawoon, Qasir, Majoo, Vireo, dan iSeller. Neneng mengatakan jumlah mitra di marketplace ini masih akan terus bertambah.

Sebagaimana pandemi mengubah banyak kebiasaan masyarakat, transformasi layanan ke platform digital merupakan salah satu dampak positif. Ini juga tercermin dari pencapaian Grab yang menerima lebih dari 350 ribu UKM dan 32 ribu pedagang tradisional ke dalam platform mereka sejak pandemi berlangsung.

“Sekitar 99% pelaku usaha itu kan UMKM, artinya potensinya gede banget. Oleh karena itu kami sangat mendukung startup-startup yang fokus membantu UMKM sehingga UMKM benar-benar bisa dibantu untuk bertahan apalagi di masa pandemi ini mereka harus digitalisasi,” pungkas Neneng.

Rangkaian program GVV angkatan ketiga sendiri sudah berlangsung sejak Maret 2020. UKM sektor kuliner dari awal sudah ditetapkan sebagai fokus untuk peserta angkatan teranyar ini. Grab menggandeng BRI Ventures sebagai mitra strategis dalam program ini.

Dari gelaran sebelumnya, GVV sudah menghasilkan beberapa startup lulusan program mereka. Nama-nama itu di antaranya adalah Qoala, TaniHub, SayurBox, BookMyShow dan Sejasa.

Disclosure: DailySocial adalah strategic partner Grab Ventures Velocity batch 3

Bagaimana Startup di Luar Jawa Mengejar Ketertinggalan SDM

Sumber daya manusia merupakan faktor penting, jika bukan yang terpenting, dalam sebuah startup. Tanpa ada talenta yang mumpuni, sebuah perusahaan rintisan tidak akan bisa bergerak cepat dan berdampak sebagaimana karakter startup pada umumnya.

Beberapa tahun terakhir ini, kebutuhan akan SDM, khususnya di bidang teknologi dan informasi, terus meningkat. Kebutuhan tersebut mungkin relatif tidak terlalu menjadi masalah bagi startup-startup di kota besar, terutama di Jakarta tempat kebanyakan mereka bermukim.

Namun bagaimana dengan mereka yang di luar Pulau Jawa? Bagaimana pandemi memengaruhi aspek SDM startup di sana? Kami berbicara dengan tiga pemimpin startup yang beroperasi di Medan, Makassar, dan Batam.

Jauh tertinggal

CEO Topremit Hermanto Wie mengakui keberadaan talenta di sektor digital di Sumatera Utara masih minim jika dibandingkan dengan kota-kota besar di Pulau Jawa. Kurangnya SDM di sektor ini merupakan buah dari banyak variabel. Hermanto menyebut salah satu yang paling berkontribusi ialah minimnya startup digital di sana.

“Bisa dibilang berbanding lurus dengan jumlah demand, yaitu jumlah startup di Sumut ini masih berkembang,” cetus Hermanto.

Menurut Hermanto usaha berbasis digital memang belum menjamur. Sekalipun ada talenta unggulan, keberadaan startup belum begitu dilirik. Manufaktur, perbankan, logistik, masih menjadi pilihan utama SDM di sana. Ia menilai hal itu terjadi karena pengetahuan akan kerja startup di tempatnya belum diketahui banyak orang, sehingga tidak mencerminkan sebagai salah satu destinasi tempat kerja yang menarik.

Keadaan serupa dialami Roro Mega Cahyani. Roro adalah CEO & Co-Founder Zeal Indonesia, startup yang beroperasi di Batam, Kepulauan Riau. Minimnya pengetahuan masyarakat akan peluang kerja di startup menjadi tantangan. Keberadaan Nongsa Digital Park (NDP) yang dibuat pemerintah sebagai kawasan ekonomi khusus sedikit lebih menguntungkan Roro dan pelaku startup digital di sana. Menurutnya, tak sedikit yang berkeinginan mengadu nasib di Singapura dan Malaysia dengan bekal keahlian digital.

Mindset mereka sudah mengerti kalau kuliah doang enggak cukup. Kerjanya nanti mungkin di Singapura atau Malaysia. Tapi yang jadi kendala butuh waktu untuk belajar. Kadang kendalanya finansial,” ujarnya.

Jika faktor informasi mengenai pekerjaan startup yang masih sedikit di Batam dan Sumatera Utara menjadi faktor dominan, di Makassar kondisinya berbeda. CEO Mallsampah Saifullah Adi menjelaskan, ekosistem startup di Makassar memang sudah terbentuk. Hanya saja pertumbuhannya tergolong stagnan.

Ekosistem startup berarti institusi-institusi yang biasa mendukung perkembangan startup termasuk inkubator dan akselerator. Menurut Adi, jumlah keduanya di Makassar dan Kawasan Timur Indonesia secara umum masih terlampau sedikit untuk mengangkat pertumbuhan startup di sana.

“Salah satu penyebab mungkin ekosistem yang belum cukup baik. Inisiatif pemerintah dan swasta belum cukup besar dalam memantik ekosistem tumbuh. Bisa dihitung jari berapa inkubator, komunitas, atau akselerator di Indonesia Timur,” tutur Adi.

Mengakali keadaan

Keberadaan SDM krusial bagi perjalanan hidup startup. Tanpa kemewahan yang dinikmati kolega mereka di Pulau Jawa, pelakon startup di luar Pulau Jawa mengakali hal ini dengan berbagai cara. Adi memilih menjalin hubungan erat dengan sejumlah komunitas. Komunitas itu bisa ada di dalam atau luar kampus. Dengan begitu, Adi mengaku bisa sedikit lebih mudah mencari bakat-bakat yang diperlukan.

Di situasi pandemi ini, kebutuhan transformasi digital jadi jauh lebih cepat. Keberadaan talenta yang tepat, lagi-lagi, jadi kebutuhan yang wajib dipenuhi.

“Kami menggunakan bantuan komunitas-komunitas di sekitar kami, misal komunitas tech di luar atau dalam kampus,” imbuhnya.

Sementara Hermanto menilai sosialisasi tentang dunia startup perlu lebih gencar menyasar talenta muda di sana. Sosialisasi itu bisa berbentuk sesi berbagi informasi untuk pelajar di bangku kuliah dan sekolah. Startup yang sudah ada di sana, menurutnya, juga harus membuka kesempatan lebih lebar kepada lulusan baru. Selain diserap ke industri lain, ada kalanya Hermanto melihat SDM unggulan di wilayahnya justru hijrah ke ibu kota.

Untuk itu Hermanto memilih memberi keleluasaan bagi karyawan Topremit mengeksplorasi keahlian dan mendukungnya dengan sejumlah fasilitas mumpuni untuk pengembangan diri.

“Kami melakukan employer branding dan memperlihatkan suasana kerja yang fun, tim yang solid, dan tempat untuk belajar dan berkembang,” lengkap Hermanto.

Data Digital Competitive Index 2020 dari East Ventures memperlihatkan masih ada jurang besar antara suplai talenta digital di Jawa dan luar Jawa. Namun itu tidak menjadi alasan bagi tiga startup tersebut untuk tidak berkembang.

Hermanto menyebut pihaknya berencana mempekerjakan SDM yang berada di zona waktu berbeda untuk mengantisipasi permintaan pelanggan setiap saat. Dengan sumber daya yang mereka miliki, ketertinggalan SDM di wilayahnya bisa ditutup dengan merekrut SDM di negara lain.

“Kita ingin hire employee di timezone yg berbeda sehingga permintaan customer tetap bisa terpenuhi 24/7 dan team saya dpt belajar tentang culture dari nationality lain,” pungkas Hermanto.

Sementara Adi berpendapat kebutuhan SDM yang tepat dan unggul sangat krusial untuk startupnya yang bergerak di bidang lingkungan. Kebutuhan itu menguat seiring kesadaran masyarakat tentang lingkungan terus meningkat selama masa pandemi ini sehingga permintaan untuk layanan mereka otomatis juga terangkat.

Sadar akan ketertinggalan ekosistem digital di wilayahnya, Adi memperkirakan perkembangannya akan lebih lambat dibanding kolega mereka di Pulau Jawa.

Supply and demand yang ada tentu tidak sebesar di Pulau Jawa. Ini salah satu yang membuat ekosistem mungkin tidak berkembang dengan cukup baik,” ujar Adi.

Sedikit optimis, Roro melihat perkembangan ekosistem digital di Batam yang diinisiasi pemerintah sebagai kesempatan besar. Keberadaan NDP, menurutnya, akan jadi faktor pembeda bagi ekosistem digital di Batam dan lingkunp Sumatera pada umumnya, sekaligus mempercepat daya saing talenta digital di sana.

“Makanya enggak heran ada talenta dari Jawa yang pindah ke Batam,” pungkas Roro.