Pegadaian Siapkan “Digital Lending” untuk Segmen Usaha Menengah Atas

Pegadaian sedang menyiapkan platform pinjaman modal kerja berbasis digital atau digital lending untuk segmen menengah ke atas. Saat ini, perusahaan tengah melakukan piloting produk dan telah mengantongi izin dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Sebagaimana dikutip dari Kontan, Direktur Teknologi dan Digital Pegadaian Teguh Wahyono mengungkap bahwa digital lending ini menawarkan tenor pendek, yaitu dua hingga enam bulan. Besaran pinjaman dimulai dari Rp50 juta hingga Rp2 miliar.

Sementara, pendanaan modal kerja akan diperoleh dari dua sumber. Pertama, sumber pendanaan langsung dari Pegadaian (direct lending) yang utamanya membidik pasar dari kalangan BUMN lewat skema invoice financing. Kedua, sumber tidak langsung (indirect lending) melalui platform penyedia p2p lending. 

Dihubungi terpisah, VP Digital Business Development & Partnership Pegadaian Herdi Sularko mengatakan bahwa pihaknya masih mengkaji rencana realisasi produk untuk direct lending. Sedangkan untuk indirect lending sudah memasuki tahap piloting untuk sekop kecil.

“Ada tiga (pemain p2p lending) di pipeline kami, cuma tidak bisa kami sebutkan karena masih dalam tahap non-disclosure agreement,” ungkap Herdi kepada DailySocial.

Sebagaimana diketahui, Pegadaian tengah mendorong perannya dalam ekosistem keuangan dalam dua tahun terakhir. Perusahaan berupaya untuk bertransformasi, tak lagi hanya sebagai perusahaan gadai, tetapi juga sebagai perusahaan yang menawarkan layanan keuangan lainnya.

Institusi keuangan garap produk digital lending

Pegadaian bukanlah satu-satunya perusahaan di industri keuangan yang bermain di p2p lending. Sebelum itu, BRI melalui anak usahanya BRI Agro menjadi bank pertama yang merilis pinjaman untuk modal kerja berbasis digital, yakni PINANG (Pinjam Tenang) pada awal 2019.

Selain itu, BCA juga dikabarkan akan menggarap produk tersebut. Namun, seperti diberitakan Katadata, Presiden Direktur BCA Jahja Setiaatmadja urung untuk meluncurkan layanan tersebut dalam waktu dekat. Alasannya, produk p2p lending dinilai punya risiko besar.

Salah satu risiko yang ia maksud adalah dasar pemberian pinjaman tanpa jaminan. Hal ini terutama berkaitan dengan pemanfaatan Artificial Intelligence (AI) sebagai digital scoring. “Jadi dasarnya apa mau memberi pinjaman?” katanya.

Hal tersebut juga menjadi strategi bagi institusi keuangan untuk menghadapi gencarnya pertumbuhan platform fintech di Indonesia. Pemain fintech menjadi populer karena dianggap unggul dalam menjangkau segmen pasar yang sebelumnya tidak terjamah oleh perbankan.

Berdasarkan Fintech Report 2019, sebanyak 79,9% dari 747 responden di Indonesia menggunakan layanan digital wallet. Layanan lainnya diikuti oleh investment (31,5%), paylater (30,9%), multifinance (12%), insurtech (11,8%), crowdfunding (8,2%), p2p lending (6,2%), dan remittance (2,4%).

Pandangan Bukalapak, Warung Pintar, dan Ralali tentang Konsep “Full Remote Working” Permanen

Sejak Juni lalu, perusahaan di Indonesia memulai adaptasi terhadap situasi new normal. Sejumlah perusahaan sudah mulai membuka kembali kantornya dengan mematuhi protokol kesehatan, namun masih banyak perusahaan yang tetap menerapkan kebijakan Work From Home (WFH).

Bagi sejumlah perusahaan, penerapan WFH menjadi tantangan besar untuk mengelola sumber daya dan produktivitas yang sama seperti bekerja di kantor. Padahal situasi ini kemungkinan bakal terus berlanjut, bahkan menjadi permanen.

Muncul konsep baru, yang sedikit berbeda dengan WFH, yang disebut Full Remote Working (FRW). Laporan Gartner per Maret 2020 yang menyurvei 317 senior finance leader menyebutkan sebanyak 74 persen responden berencana shifting untuk menerapkan FRW secara permanen selama dan pasca pandemi Covid-19.

Apakah FRW menjadi jawaban bagi tren bekerja ke depan?

FRW vs WFH

Secara umum, baik FRW maupun WFH memampukan para pekerja profesional untuk bekerja di luar lingkungan perkantoran. Kedua term ini seringkali dianggap sebagai konsep kerja yang sama. Sesungguhnya keduanya memiliki perbedaan mendasar, yakni lokasi dan jam kerja.

WFH secara harafiah dapat berarti bekerja dari tempat tinggal mereka, baik itu rumah, apartemen, atau residensi lain. Model kerja ini kian familiar pasca-pemerintah menetapkan kebijakan kerja dari rumah dan pembatasan sosial empat bulan lalu.

Sebaliknya, FRW banyak diadopsi full time freelancer yang jam kerjanya tidak terikat waktu dan dapat dilakukan di mana saja. FRW juga populer di kalangan industri startup sebagai salah satu cara mereka untuk mendorong agility pada pengembangan produk/inovasi.

Seiring berkembangnya teknologi digital, pandangan terhadap konsep FRW dan WFH semakin kabur. Hal ini karena semakin banyak kehadiran platform digital yang mendukung produktivitas bekerja WFH dan FRW, misalnya Google Meet, Zoom, Slack, dan Asana.

Di sesi “Life After COVID-19: Indonesian Startup Adapts to Full Remote Work Permanently”, CEO Campaign.com William Gondokusumo menilai perbedaan kedua model kerja ini tidak sebatas pada lokasi dan jam kerja. Misalnya jam kerja WFH terikat jam kantor, kegiatan meeting WFH umumnya dilakukan secara lisan melalui video call, dan pengenalan tim/proyek juga memakan waktu lalu karena perlu ada briefing.

Sementara FRW fokus pada kualitas kerja dengan jam kerja yang disesuaikan dengan waktu masing-masing sesuai kebijakan kantor (termasuk apabila jika ada perbedaan zona waktu). Proses rekrutmen pun dilakukan sepenuhnya secara remote.

Perbedaan mencolok lainnya adalah kegiatan meeting dapat dilakukan secara tertulis menggunakan Slack atau Google Docs. Bahkan meeting dapat diikuti semua orang secara online meskipun berada di tempat yang sama.

Kendati FRW menawarkan banyak nilai tambah, William menilai bahwa penerapan FRW membutuhkan komitmen kuat dan kesiapan infrastruktur yang matang. FRW juga dinilai tidak bisa diaplikasikan begitu saja bagi sejumlah sektor bisnis.

We should not bring office to home. Ketika bekerja, kita sudah mengganti pola pikir. FRW itu orientasinya sudah sepenuhnya kerja berbasis online. Makanya, FRW menjadi sebuah komitmen besar,” ungkapnya.

Pada kesempatan sama, HR Podcaster askHRlah Monica Anggar menilai WFH menawarkan nilai tambah karena karyawan karena mengurangi biaya transportasi dan menekan stres akibat macet di perjalanan.

Namun, WFH memiliki kekurangan karena perusahaan belum siap mengeluarkan aset (komputer, kamera, dan lain0lain) ke luar kantor dalam jangka waktu lama, adanya pengeluaran biaya lebih (pulsa telepon dan paket data), dan kesulitan menghasilkan output kerja yang sama dengan bekerja di kantor.

Komunikasi paling utama

Sejumlah perusahaan, baik korporasi maupun startup, sama-sama menerapkan WFH atau FRW sebagai bentuk penyesuaian terhadap situasi pembatasan sosial. Bagaimana startup Indonesia merefleksi penerapan WFH?

CEO Bukalapak Rachmat Kaimuddin mengatakan, saat ini pihaknya masih menerapkan kebijakan WFH/FRW dan bekerja dari kantor dengan ketentuan protokol new-normal. Sebelum pandemi, operasional Bukalapak dijalankan melalui kantor. Kebijakan bekerja dari kantor saat itu dinilai  dapat menambah efektivitas kinerja dan efisiensi komunikasi, mengingat kantor Bukalapak sempat berada di 28 titik berbeda.

Selama WFH/FRW, pihaknya fokus membantu lebih banyak lagi UMKM untuk onboard, dan melengkapi SKU–baik itu barang maupun jasa. Kehadiran platform/aplikasi digital sangat bermanfaat untuk berkomunikasi saat WFH/FRW maupun membuat perencanaan dan evaluasi rutin meski tidak bertemu tatap muka dalam bekerja.

“Kami menyadari bahwa melakukan komunikasi secara intensif dan optimistis baik kepada para pelapak, mitra maupun karyawan Bukalapak merupakan salah satu upaya kami dalam menjaga performa bisnis,” ujarnya kepada DailySocial.

Pada pengalaman Warung Pintar, perusahaan telah menerapkan kebijakan remote working pada level senior di divisi Engineering dan Product sejak lama. Dengan catatan, karyawan harus tetap berkoordinasi selama Work From Anywhere (WFA) dan remote working. Sekitar 10 persen dari total 109 karyawan di Engineering dan Product telah menjalankan remote working sebelum pandemi karena infrastruktur pendukung sudah siap.

Selama periode tersebut, CEO & Co-Founder Warung Pintar Agung Bezharie Hadinegoro juga menyoroti pentingnya komunikasi terhadap keberlangsungan WFH/FRW. Ia menilai terlalu banyak komunikasi lebih baik daripada tidak ada sama sekali.

Pada awal penerapan WFH/FRW di divisi non-operasional, tantangannya lebih banyak terasa karena ada penyesuaian terhadap pola kerja karyawan. Contoh paling banyak ditemui adalah ruang kerja dan koneksi yang kurang mumpuni, menghambat komunikasi. Ada juga masalah pendekatan ke user bagi tim yang tidak biasa turun ke lapangan.

Sementara CEO Ralali Josep Aditya juga menyoroti bagaimana mengatur ekspektasi bersama selama masa pandemi. Ekspektasi ini untuk memaksimalkan KPI dengan tolok ukur yang lebih result-driven. Artinya, perusahaan tidak lagi berkutat pada aspek kehadiran sehingga kegiatan meeting menjadi lebih efisien.

Selain itu, Joseph juga melihat bagaimana kegiatan bisnis belum terbiasa dengan distance culture. Pada aktivitas yang berkaitan dengan legal, seperti tanda tangan nota kesepakatan, interaksi tatap muka sangat diutamakan.

“Demikian halnya dengan investor. Untuk mencapai decision making, biasanya beberapa investor dari negara Asia masih mengutamakan tatap muka. Dengan kondisi pandemi, kami harus lakukan penyesuaian,” ungkap Joseph.

Ralali telah menerapkan remote working untuk divisi Tech. Namun, kebijakan ini baru diberlakukan untuk divisi lain selama periode Maret-Mei. Sekarang, semua karyawan bekerja di kantor dengan protokol kesehatan.

Tren FRW bagi pelaku startup

Menurut Bukalapak, tren FRW bisa saja diterapkan asalkan menggunakan metode parsial. Artinya, perusahaan memberikan opsi untuk bekerja di rumah atau kantor apabila dibutuhkan. Rachmat mengungkap, metode ini dapat menjadi satu solusi untuk mengombinasikan model kerja terbaik, terutama di situasi semacam ini.

Menurutnya, model ini sangat memungkinkan bagi perusahaan mengingat Bukalapak kini telah memiliki kurang lebih 2.000 karyawan. Dengan kata lain, karyawan memiliki kesempatan bekerja remote secara terbatas.

“Selama empat bulan terakhir ini kami telah beradaptasi dan melakukan pembelajaran dalam melakukan remote working. Ada dampak positif terhadap  karyawan. Tapi kami sadar mereka juga butuh interaksi sosial. Jadi kami memberikan kesempatan face to face meeting, dengan memperhatikan protokol kesehatan dan kebersihan di kantor,” jelas Rachmat.

Bagi Warung Pintar, Agung mengaku tak menutup kemungkinan tren bekerja bakal bergeser ke depannya. Menurutnya, tren ini dapat dirangkul selama perubahan tersebut bisa  berdampak positif bagi perusahaan, kesejahteraan Juragan, dan produktivitas karyawan. Itupun dengan catatan adaptasinya tidak berdasar pada satu skenario saja, tetapi juga beragam skenario yang tidak dapat dikontrol.

Menurutnya, perusahaan perlu adaptif, relevan, dan efisien demi menunjang produktivitas dan pertumbuhan bisnis. “Bagi kami, komunikasi lisan maupun tertulis, masih menjadi kunci utama terciptanya kondisi kerja yang ideal, terlepas WFH/FRW atau tidak. Dengan sistem squad dan tribe yang telah kami miliki, koordinasi proyek menjadi lebih cepat tanpa perlu ada centralized order,” pungkasnya.

Joseph menilai bahwa penerapan FRW membutuhkan komitmen besar dari setiap divisi/departemen untuk mempersiapkan infrastruktur dan proses bisnis. Meskipun demikian, konsep FRW berpotensi untuk dijalankan mengingat penyesuaian sangat diperlukan sesuai kondisi pekerjaan dan tuntutan zaman.

“Dalam satu hingga dua tahun ke depan, kami masih menggali dan belajar apakah sistem [remote working] ini relevan dengan berbagai role dan fungsi pekerjaan terkait,” papar Joseph.

Indonesia to Realize Digital Bank Initiative in 2020

We have witnessed various digital banking innovations in the last decade. Mobile and internet banking can be examples of banking digitalization that is most related to daily life. Thanks to this innovation, it is easier for customers to perform financial transactions.

Indonesian banks have also begun to explore service connectivity through the Open API strategy. The digital business growth in this country driven by e-commerce and fintech platforms and to be said as a driven factor for banks to develop these innovations. Currently, cross-platform transactions are very possible.

In recent years, fintech has played a significant role in providing access to efficient and practical financial services. Fintech managed to disrupt the traditional banking business model with a fast onboarding process.

Based on the 2019 Fintech Report, 79.9% of 747 respondents in Indonesia used digital wallet services, followed by investment (31.5%), paylater (30.9%), online multifinance (12%), insurtech (11, 8%), crowdfunding (8.2%), P2P lending (6.2%), and remittance (2.4%).

The role of fintech in the financial ecosystem has become a momentum for banks to innovate. Beyond its mobile banking services, a number of banks in Indonesia are very eager in developing digital financial products, both independent and through collaboration. Also, customers can now open savings accounts through mobile banking applications and digital platforms.

In the context of digitalization, the above efforts are certainly relevant to the demand of today’s users. However, these are not enough in order to reach broader financial inclusion. The population of people who don’t have access to financial services (unbanked) is quite large. The limited number of ATMs and branch offices are an obstacle for banks.

Google, Temasek, Bain & Company report in October 2019 noted that there were 92 million Indonesians in the unbanked segment (50.83%), followed by the banked segment at 42 million people (23.20%), and the underbanked segment 47 million (25.97%).

The Indonesian banking industry is aware of this phenomenon that today’s financial products are not only monopolized by banks. This situation also indicates that banks have not been able to close the gap between the ones with financial literacy and those who are yet to aware of this, with the traditional business model.

Digital bank in Indonesia

After banking digitization, digital bank concept is currently trending in Indonesia. The effort shows banking digital transformation is no longer depend on service digitization, but also to become a separate entity.

In definite, digital banks are different from banking digitalization. Borrowing the current popular term,  the concept of digital banks is generally referred to as neobank, which is popular since 2017. Also, quoting the words “Neo Bank and the Future of Retail Banking in Indonesia“, the term digital bank is often defined as a challenger bank.

Challenger banks in the world have even acquired millions of customers. Some of them are Nubank (Brazil), Monzo (United Kingdom), N26 (Germany), and Chime (United States).

Back to the origin, digital bank or neobank is defined as a bank that operates online-based services without a physical branch office. Digital Bank offers easy access with a user-friendly UI/UX. With an internet connection and smartphone, anyone can open an account and access other financial services.

Digital banks also have the opportunity to be able to leverage the customer’s journey through the development of financial support services and make their products a daily product for customers.

Of course the above concept is inversely proportional to traditional banks where financial services — even though there is already internet and mobile banking — still require face-to-face and physical branch offices. This is understandable considering that banks are a business of trust so physical contact is still needed.

In Indonesia, digital banks are mostly linked to Jenius services (2016) and Digibank (2017). Both are often referred to as the pioneers of the first digital bank. However, there are also those who call it a spin-off product since both are still operating under BTPN and DBS Bank as its main entity.

Jenius and Digibank are examples of application-based services that offer basic banking products, namely savings, online account opening. Both also offer other supporting services, such as financial regulators.

Tabel Jenius dan digibank / DailySocial
Jenius and digibank table / DailySocial

If the root is on the expansion of financial inclusion, Jenius and his staff are considered not a digital bank. This is because both are targeting segments of society that already achieve digital literacy (digital savvy). Meanwhile, the unbanked segment tends not to understand financial literacy.

The next step for digital bank

As the ecosystem and technology is getting mature, 2020 would likely to be the year of the digital banks realization in Indonesia. Some of the plans we have summarized, including Bank Digital BCA, Bank Jago, and Bank Yudha Bakti (BYB). Efforts to become a digital bank as a new entity have all been passed through the acquisition process.

Quoting Kontan, BCA has acquired Bank Royal worth Rp988 billion in 2019. Bank Royal will change its name to Bank Digital BCA targeting some realizations in the second-semester, 2020. The target market is retail and SME segments, different from the main portfolio of its parent company which mostly engaged to corporate. Bank Digital BCA already has a permit from OJK and is ready in infrastructure.

It is known, the company is currently preparing the P2P lending initiative for BCA Digital Bank. However, BCA’s President Director, Jahja Setiaatmadja revealed that he is not to launch the service in the near future. “We wouldn’t dare to enter P2P for the risks are enormous, we are still preparing,” he said as quoted by Katadata.

Tabel Bank Digital / DailySocial
Digital bank table / DailySocial

Furthermore, Bank Artos officially changed its name to Bank Jago after acquired by its seniors, Jerry Ng and Patrick Walujo. According to Bank Jago’s Managing Director, Kharim Siregar, his office is finalizing a business model and perfecting applications targeting to launch before the fourth quarter of 2020. Quoting Bisnis.com, Bank Jago will target the middle segment and mass-market. In addition, Bank Jago will also collaborate with digital platforms in various business verticals, such as e-commerce, ride-hailing, and P2P lending.

DailySocial has in touch with BCA and Bank Jago representations regarding the realization of this digital bank, but their team sre still reluctant to disclose any information. “Our directors are yet to confirm any information to the media because they are currently focusing on preparing applications and everything,” Bank Jago’s Senior Manager Nurul Kolbi said in a short message to DailySocial.

Unlike the two, Bank Yudha Bakti (BYB) started to be controlled by PT Akulaku Silvrr Indonesia which runs Akulaku’s fintech services in 2019. Akulaku’s entrance is expected to accelerate the digital transformation process of BYB, which is to become a digital bank without branch offices and develop mobile applications to increase market penetration.

DailySocial also reached BRI’s Indra Utoyo, Digital Director, Information Technology, and Operations regarding this matter. He commented, BRI did not perform a similar strategy with the above banks. However, BRI is considered to have made a major transformation to become a digital bank.

In order to become a digital bank, Indra ensured that BRI must maximize excellence in physical networks. “The winner is the one who can combine physical and digital excellence. Whatever the entity, both BRI, and its subsidiaries, must be a digital company. There is no need for a dichotomy between digital banks and non-digital banks,” he said.

Without this dichotomy, he said, BRI has provided value from the concept of digital banks with digital-based banking services. BRI became the first bank to launch PINANG and Ceria digital lending products. Then, the first bank to provide account opening services with the entirely digital-based KYC process.

Tabel Produk Digital BRI / DailySocial
BRI’s digital product table / DailySocial

Indra emphasized that digital cannot replace trust, service, and brand. However, without digital, we cannot get all three. It means those with the ‘digital’ label do not necessarily translate into trusted banks than large banks that have transformed digitally.

“To date, I have not seen a successful digital bank or neobank in the world. For me, the winner is the one that combines physical superiority or human touch and digital. The term is phygital,” he said.

Separately contacted, BTPN’s Head of Digital Banking, Irwan Sutjipto Tisnabudi admitted that the emergence of a new digital bank would help create a digital financial ecosystem and encourage education for better financial literacy. In fact, this trend will bring many collaboration opportunities.

Regarding the possibility of Jenius becoming a separate entity, Irwan assured that Jenius currently still supports the BTPN business to expand the current market segments. He also emphasized the main strategy through co-creation and collaboration with like-minded partners to develop products that are relevant to customers.

“In carrying out digital transformation, BTPN believes that digital is the core of the business and value proposition, not an additional channel. Our priority is to build an ecosystem that supports life finance with a broader scope so that the benefits can reach the digital literacy people,” he explained.

Jenius became the result of BTPN transformation which was developed through the process of creation and collaboration with thousands of digital-savvy for 18 months. As of March 2020, Jenius has secured more than 2.5 million users. The company has also just introduced the Bisniskit feature for new business owners and Moneytory to help with financial management.

Regulation and challenges

To date, digital banks still operate under the law of conventional banks. This is regulated in OJK Regulation Number 12 concerning Digital Banking Services Provided by Commercial Banks. There is no separate law to regulate the virtual account opening.

The regulation clearly states that digital banks are different from digital banking services (m-banking, SMS banking, e-banking, etc.). The difference is clear that all digital banking services can be accessed via smartphones.

Beyond that, digital banks cover all banking services from account administration, transaction authorization, financial management, and / or account opening/closing, digital transactions, and other financial product services based on OJK approval.

According to Bhima Yudistira, Institute for Development of Economics (Indef) observer, there is no need yet to draft new regulations to accommodate the law of digital banks. Moreover, existing regulations were only issued in 2018. However, Bhima highlighted that the government needs to pay attention to the high-security aspects and data utilization for third parties.

On the other hand, he also sees that the trend of digital banks is driving a new landscape of banking in the banking sector. According to him, banks that invest in digitalization will obtain a greater market share than banks that continue to operate conventionally.

“The demand for digital banking is greater along with the growth in the number of active internet users in 2020 reaching 175.4 million people. This means that banks are expected to provide faster services at affordable costs, and access anywhere, anytime,” he said.

If a digital bank is realized, the impact will be very large, especially for millennials. However, it is not without obstacles that banks are also deemed necessary to conduct education for other market segments, such as SMEs and rural areas. “The important thing here is developing digital banks must run along with the penetration of internet network access to remote and outermost areas,” Bhima said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Bukalapak and Bank Mandiri Added a New Initiative to Empower Small Shops as Financial Agents

The strategy to acquire small shops as financial agents is getting discovered by both corporations and startups. After BRI with Grab, Bukalapak collaborated with Bank Mandiri to realize the plan this year.

As reported by Reuters, Bukalapak and Mandiri will encourage the micro retailer segment by increasing the role of small shops as an officeless financial services agent. Both are developing a model for this collaboration.

By planting it as a financial agent, the small shops can help people without smartphones to access financial services, especially basic services such as opening saving account.

In contact with DailySocial, Bukalapak did not elaborate on further development plans of the financial services agent initiative with Mandiri. However, Bukalapak’s Director of Payment, Fintech and Virtual Products, Victor Lesmana, ensures that this cooperation is to empower Warung Mitra Bukalapak and utilize QRIS (Quick Response Indonesian Standard) for payment transactions.

The expectation is for Warung Mitra Bukalapak to become an ‘agent of change’ to open the way to financial inclusiveness. This is because SME still dominates 65% -70% of retail transactions in Indonesia. It means, its presence is expected to not only encourage economic prosperity but also help reduce economic inequality.

“This collaboration is to increase access to financial services, especially for the unbanked and underbanked population. The use of QRIS has placed Mandiri as the largest ATM network in Indonesia,” he said.

Furthermore, Victor said Warung Mitra Bukalapak now has access to the Kirim Uang feature. This feature allows shop owners to help people send money.

Meanwhile, since the early 2020, Bukalapak has launched several other features for Warung Mitra Bukalapak, Bayar Tempo, top-up e-money, and Jutawan to provide added value in revenue and capabilities. Since  July 2020, there are 5.5 million Warung Mitra Bukalapak around 189 cities and districts throughout Indonesia.

DailySocial tries to reach Mandiri regarding this matter, but there has been no further response.

Financial access to the unbanked

The initiative from Bukalapak and Mandiri, adds a series of partnerships and similar services provided by Grab and BRI. In this case, BRI through BRILink and Grab Indonesia through GrabKios utilizes QRIS for payment systems.

As of June 2020, there were 429 thousand customers who became BRILink agents, 13 thousand of whom had already used the QRIS system. While GrabKios, which has been present since 2014, has pocketed more than 2.8 million partners with networks spread across 505 cities and districts in Indonesia.

This indicates how the financial and digital industries look at small shops as an appropriate touch point to reach unbanked and underbanked people.

Aside from small shops, the banking sector has also aggressively collaborated with startups to expand access to financial services in recent years by making it a front-end platform. The targeted vertical business platforms range from ride-hailing, marketplaces to P2P lending.

BRI, for example, has partnered with Grab, Tokopedia, and Traveloka to open financial access, such as opening saving accounts and online lending. Recently, BRI opened a special channel for entirely digital-based saving account opening, including the KYC process.

In addition,  the financial industry is also anticipating the big plans for some banks to realize digital banks with new entities and branding. Despite the collaboration and products, banking and startup innovations want to support equal access to finance.

According to Google, Temasek, Bain & Company report in October 2019, there were 92 million Indonesians in the unbanked segment (50.83%), followed by the banked segment at 42 million people (23.20%), and the underbanked segment 47 million (25.97%).


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Bukalapak dan Bank Mandiri Tambah Deretan Upaya Pemberdayaan Warung untuk Agen Keuangan

Strategi menggaet warung kelontong sebagai agen layanan keuangan semakin dilirik, baik korporasi maupun startup. Setelah BRI dan Grab, tahun ini Bukalapak berkolaborasi dengan Bank Mandiri untuk merealisasikan rencana tersebut.

Sebagaimana dikutip Reuters beberapa waktu lalu, Bukalapak dan Mandiri berupaya mendorong segmen micro retailer dengan meningkatkan peran warung melalui agen layanan keuangan tanpa kantor. Keduanya tengah melakukan pengembangan model kerja sama untuk kolaborasi ini.

Dengan memanfaatkannya sebagai agen keuangan, keberadaan warung dapat membantu masyarakat yang tidak memiliki smartphone untuk mengakses layanan keuangan, terutama layanan dasar seperti pembukaan rekening.

Dihubungi DailySocial, Bukalapak tidak merinci bagaimana rencana pengembangan agen layanan keuangan dengan Mandiri selanjutnya. Namun, Director of Payment, Fintech and Virtual Products Bukalapak Victor Lesmana memastikan bahwa kerja sama ini dapat memberdayakan Warung Mitra Bukalapak dan memanfaatkan QRIS (Quick Response Indonesian Standard) untuk transaksi pembayaran.

Pihaknya berharap Warung Mitra Bukalapak dapat menjadi ‘agen perubahan’ untuk membuka jalan menuju inklusivitas keuangan. Hal ini karena warung mendominasi sebanyak 65%-70% transaksi ritel di Indonesia. Artinya, keberadaan warung diharapkan tak hanya mendorong kemakmuran perekonomian, tetapi juga membantu mengurangi ketidaksetaraan ekonomi.

“Kerja sama ini untuk meningkatkan akses terhadap layanan keuangan, terutama yang belum punya akses ke perbankan, yaitu underbanked dan unbanked. Pemanfaatan QRIS menjadikan Mandiri sebagai bank dengan jaringan ATM terbesar di Indonesia,” ungkapnya.

Lebih lanjut, Victor berujar bahwa saat ini Warung Mitra Bukalapak sudah bisa mengakses layanan Kirim Uang. Fitur ini memungkinkan pemilik warung untuk membantu masyarakat mengirim uang.

Adapun, sejak awal 2020, Bukalapak sudah meluncurkan beberapa fitur lainnya untuk Warung Mitra Bukalapak, yaitu Bayar Tempo, top up e- money, dan Jutawan untuk memberikan nilai tambah bagi pendapatan dan kapabilitas.  Hingga Juli 2020, terdapat sebesar 5,5 juta Warung Mitra Bukalapak yang tersebar di 189 kota dan kabupaten di seluruh Indonesia.

DailySocial sudah menghubungi pihak Mandiri terkait hal ini, tetapi belum ada respons lebih lanjut.

Akses keuangan terhadap unbanked

Masuknya Bukalapak dan Mandiri, menambah deretan kemitraan dan layanan serupa yang dilakukan Grab dan BRI. Dalam hal ini, BRI melalui BRILink dan Grab Indonesia melalui GrabKios memanfaatkan QRIS untuk sistem pembayaran.

Hingga Juni 2020, terdapat 429 ribu nasabah yang menjadi agen BRILink, 13 ribu di antaranya sudah menggunakan sistem QRIS. Sementara GrabKios yang hadir sejak 2014, telah mengantongi lebih dari 2,8 juta mitra dengan jaringan yang tersebar di 505 kota dan kabupaten di Indonesia.

Ini menandakan bagaimana industri keuangan dan digital melihat warung sebagai touch point yang tepat untuk menjangkau masyarakat unbanked dan underbanked.

Selain warung, sektor perbankan juga semakin agresif menggandeng startup untuk memperluas akses layanan keuangan dalam beberapa tahun terakhir dengan menjadikannya sebagai front-end platfrom. Vertikal bisnis platform yang dibidik beragam, mulai dari ride hailing, marketplace, hingga P2P lending.

BRI, misalnya, sudah menggandeng Grab, Tokopedia, dan Traveloka untuk membuka akses keuangan, seperti pembukaan rekening dan online lending. Bahkan baru-baru ini, BRI membuka channel khusus untuk pembukaan rekening yang sepenuhnya dilakukan berbasis digital, termasuk proses KYC.

Tak hanya itu, industri keuangan juga sedang mengantisipasi rencana besar sejumlah bank untuk merealisasikan bank digital dengan entitas dan branding baru. Apapun kolaborasi dan produknya, inovasi perbankan dan startup ingin mendukung pemerataan akses keuangan.

Laporan Google, Temasek, Bain & Company pada Oktober 2019 mencatat ada sebanyak 92 juta masyarakat Indonesia masuk ke dalam segmen unbanked (50,83%), diikuti dengan segmen banked sebanyak 42 juta jiwa (23,20%), dan segmen underbanked 47 juta (25,97%)

Application Information Will Show Up Here

2020 Jadi Tahun Realisasi Bank Digital Indonesia

Kita telah menyaksikan berbagai inovasi digital perbankan dalam hampir satu dekade terakhir. Mobile dan internet banking dapat menjadi contoh digitalisasi perbankan yang paling lekat dalam keseharian. Berkat inovasi ini, nasabah semakin mudah dalam melakukan transaksi keuangan.

Perbankan Indonesia juga mulai merangkul keterhubungan layanan melalui pengembangan Open API. Pertumbuhan bisnis digital di Tanah Air yang dimotori platform e-commerce dan fintech dapat dikatakan sebagai driven factor bagi perbankan untuk mengembangkan inovasi tersebut. Kini, transaksi lintas platform menjadi sangat memungkinkan dilakukan.

Dalam beberapa tahun terakhir, fintech mengambil peran cukup besar dalam memberikan akses layanan keuangan yang efisien dan praktis. Fintech berhasil mendisrupsi model bisnis perbankan tradisional dengan proses onboarding yang cepat.

Berdasarkan Fintech Report 2019, tercatat sebanyak 79,9% dari 747 responden di Indonesia menggunakan layanan digital wallet, diikuti oleh investment (31,5%), paylater (30,9%), online multifinance (12%), insurtech (11,8%), crowdfunding (8,2%), P2P lending (6,2%), dan remittance (2,4%).

Peran fintech dalam ekosistem keuangan ini justru menjadi momentum bagi perbankan untuk berinovasi. Di luar layanan mobile banking yang dimiliki, sejumlah bank di Indonesia semakin agresif mengembangkan produk keuangan digital, baik sendiri maupun berkolaborasi. Bahkan nasabah kini bisa membuka rekening tabungan melalui aplikasi mobile banking dan platform digital.

Dalam konteks digitalisasi, upaya di atas tentu relevan dengan kebutuhan pengguna saat ini. Namun, upaya tersebut belum cukup jika ingin mencapai inklusi keuangan yang lebih luas. Populasi masyarakat yang tidak tersentuh layanan keuangan (unbanked) masih besar. Keterbatasan ATM dan kantor cabang menjadi salah satu kendala bagi perbankan.

Laporan Google, Temasek, Bain & Company pada Oktober 2019 mencatat ada sebanyak 92 juta masyarakat Indonesia masuk ke dalam segmen unbanked (50,83%), diikuti dengan segmen banked sebanyak 42 juta jiwa (23,20%), dan segmen underbanked 47 juta (25,97%).

Industri perbankan di Indonesia menyadari fenomena ini bahwa produk keuangan kini tak hanya dimonopoli oleh bank saja. Situasi ini juga menandakan perbankan belum mampu menutup gap antara masyarakat melek keuangan dan tidak, dengan model bisnis tradisional.

Bank digital di Indonesia

Setelah digitalisasi perbankan, kini tren bank digital di Indonesia secara perlahan mulai bertumbuh. Upaya ini memperlihatkan bagaimana transformasi bank tak lagi bertumpu pada digitalisasi layanan, tetapi juga menjadi sebuah institusi terpisah.

Secara definitif, bank digital berbeda dengan digitalisasi perbankan. Meminjam istilah populer, konsep bank digital umumnya disebut sebagai neobank yang populer sejak 2017. Sementara mengutip tulisan Neo Bank dan Masa Depan Retail Banking di Indonesia“, istilah bank digital sering didefinisikan sebagai challenger bank.

Challenger bank di dunia bahkan sudah mengantongi jutaan nasabah. Beberapa di antaranya adalah Nubank (Brasil), Monzo (Inggris), N26 (Jerman), dan Chime (Amerika Serikat).

Kembali pada definisi awal, bank digital atau neobank diartikan sebagai bank yang beroperasi berbasis online tanpa ada kantor cabang fisik. Bank digital menawarkan kemudahan akses dengan UI/UX yang ramah pemakaian. Dengan koneksi internet dan smartphone, siapa saja dapat membuka rekening dan mengakses layanan keuangan lainnya.

Bank digital juga memiliki peluang untuk dapat me-leverage journey pelanggan melalui pengembangan layanan keuangan penunjang dan menjadikan produknya sebagai produk keseharian nasabah.

Tentu konsep di atas berbanding terbalik dengan bank tradisional di mana layanan keuangan—meski sudah ada internet dan mobile banking—masih membutuhkan tatap muka dan kantor cabang fisik. Hal ini dapat dimaklumi mengingat bank adalah bisnis kepercayaan sehingga kontak fisik masih diperlukan.

Di Indonesia, bank digital kebanyakan dikaitkan pada layanan Jenius (2016) dan digibank (2017). Keduanya sering disebut sebagai pelopor bank digital pertama. Namun, ada juga yang menyebutnya sebagai produk spin off mengingat keduanya masih berada dalam naungan BTPN dan Bank DBS sebagai entitas utama.

Jenius dan digibank merupakan layanan berbasis aplikasi yang menawarkan produk dasar perbankan, yakni tabungan, pembukaan rekening online. Keduanya juga menawarkan layanan penunjang lain, seperti pengatur keuangan.

Tabel Jenius dan digibank / DailySocial
Tabel Jenius dan digibank / DailySocial

Jika akarnya adalah perluasan inklusi keuangan, Jenius dan digibank dapat dikatakan belum bisa dilabeli demikian. Hal ini karena keduanya mengincar segmen masyarakat yang sudah melek digital (digital savvy). Sementara, segmen unbanked cenderung belum memahami literasi keuangan.

Realisasi bank digital selanjutnya

Seiring semakin matangnya ekosistem dan teknologi, tahun 2020 tampaknya bakal menjadi tahun realisasi peluncuran bank digital di Indonesia. Beberapa rencana yang kami rangkum antara lain Bank Digital BCA, Bank Jago, dan Bank Yudha Bakti (BYB). Upaya untuk menjadi bank digital sebagai entitas baru ini semuanya dilalui lewat proses akuisisi.

Mengutip Kontan, BCA mencaplok Bank Royal senilai Rp988 miliar pada 2019. Bank Royal akan berganti nama menjadi Bank Digital BCA dengan target realisasi semester II 2020. Target pasarnya adalah segmen retail dan UMKM, berbeda dari portofolio utama induknya yang bermain di korporat. Bank Digital BCA sudah mengantongi izin dari OJK dan siap secara infrastruktur.

Diketahui, perusahaan juga disebut sedang menyiapkan P2P lending untuk Bank Digital BCA. Namun, Presiden Direktur BCA Jahja Setiaatmadja mengungkap urung untuk meluncurkan layanan tersebut dalam waktu dekat. “Belum berani masuk P2P karena risikonya besar sekali, kami sedang persiapan dulu,” ujarnya seperti dikutip dari Katadata.

Tabel Bank Digital / DailySocial
Tabel bank digital / DailySocial

Selanjutnya, Bank Artos resmi berganti nama menjadi Bank Jago setelah diakuisisi bankir senior Jerry Ng dan Patrick Walujo. Menurut Direktur Utama Bank Jago Kharim Siregar, pihaknya sedang merampungkan model bisnis dan menyempurnakan aplikasi yang ditarget meluncur sebelum kuartal IV 2020.
Mengutip Bisnis.com, Bank Jago bakal membidik segmen menengah dan mass market sebagai target utama. Selain itu, Bank Jago juga bakal berkolaborasi dengan platform digital di berbagai vertikal bisnis, seperti e-commerce, ride hailing, dan P2P lending.

DailySocial telah menghubungi reprenstasi BCA dan Bank Jago terkait realisasi bank digital ini, namun pihaknya masih enggan membuka informasi. “Direksi kami belum dapat menyampaikan informasi ke media karena saat ini sedang fokus menyiapkan aplikasi dan segala sesuatunya,” ungkap Senior Manager Bank Jago Nurul Kolbi dalam pesan singkat kepada DailySocial.

Berbeda dengan keduanya, Bank Yudha Bakti (BYB) mulai dikendalikan oleh PT Akulaku Silvrr Indonesia yang menaungi layanan fintech Akulaku pada 2019. Masuknya Akulaku diharapkan dapat mempercepat proses transformasi digital BYB, yakni menjadi bank digital tanpa kantor cabang dan mengembangkan aplikasi mobile untuk meningkatkan penetrasi pasar.

DailySocial menghubungi Direktur Digital, Teknologi Informasi, dan Operasi BRI Indra Utoyo terkait hal ini. Menurut Indra, BRI memang tidak melakukan strategi serupa dengan bank di atas. Akan tetapi, BRI dinilai sudah melakukan transformasi besar untuk mejadi bank digital.

Untuk menjadi bank digital, Indra menilai BRI harus memaksimalkan keunggulan pada jaringan fisik. “Pemenangnya adalah yang dapat memadukan keunggulan fisik dan digital. Apapun entitasnya, baik BRI dan anak usaha, harus digital company. Tidak perlu ada dikotomi bank digital dan bank non-digital,” ungkapnya.

Tanpa dikotomi tersebut, ujarnya, BRI sudah memberikan sebuah value dari konsep bank digital dengan layanan perbankan berbasis digital. BRI menjadi bank pertama yang meluncurkan produk digital lending PINANG dan Ceria. Kemudian, bank pertama yang menyediakan layanan pembukaan rekening dengan proses KYC sepenuhnya berbasis digital.

Tabel Produk Digital BRI / DailySocial
Tabel Produk Digital BRI / DailySocial

Indra menekankan bahwa digital tidak bisa menggantikan kepercayaan, layanan, dan brand. Akan tetapi, tanpa digital, kita tidak bisa mendapatkan ketiganya. Artinya, bank dengan label ‘digital’ tidak serta-merta menjadi lebih terpercaya dibanding perbankan besar yang sudah bertransformasi digital.

“Sampai saat ini saya belum lihat ada bank digital atau neobank yang sukses di dunia. Bagi saya, pemenangnya adalah yang memadukan keunggulan fisik atau human touch dan digital. Istilahnya phygital,” tuturnya.

Dihubungi terpisah, Head of Digital Banking BTPN Irwan Sutjipto Tisnabudi mengaku bahwa kemunculan bank digital baru akan membantu menciptakan ekosistem keuangan digital dan mendorong edukasi terhadap literasi finansial lebih baik. Bahkan, tren ini akan memunculkan peluang kolaborasi.

Terkait kemungkinan Jenius menjadi entitas terpisah, Irwan menegaskan bahwa Jenius saat ini tetap mendukung bisnis BTPN untuk memperluas segmen pasar yang telah dimiliki sebelumnya. Ia juga menekankan pada strategi utama melalui kokreasi dan kolaborasi dengan like-minded partner untuk mengembangkan produk yang relevan bagi customer.

“Dalam melakukan transformasi digital, BTPN meyakini digital menjadi inti bisnis dan value proposition, bukan saluran tambahan. Prioritas kami membangun ekosistem yang mendukung life finance dengan cakupan lebih luas sehingga manfaatnya dapat dirasakan bagi masyarakat melek digital,” jelasnya.

Jenius menjadi hasil transformasi BTPN yang dikembangkan lewat proses kokreasi dan kolaborasi dengan ribuan digital savvy selama 18 bulan. Per Maret 2020, Jenius telah mengantongi lebih dari 2,5 juta pengguna. Perusahaan juga baru saja memperkenalkan fitur Bisniskit untuk pembilik bisnis baru dan Moneytory untuk membantu pengelolaan keuangan.

Regulasi dan tantangan

Saat ini penyelenggaraan bank digital masih berada dalam payung hukum bank konvensional. Hal ini diatur dalam Peraturan OJK Nomor 12 tentang Penyelenggaraan Layanan Perbankan Digital oleh Bank Umum. Belum ada payung hukum tersendiri untuk mengatur pembukaan rekening virtual.

Dalam regulasinya jelas dikatakan bahwa bank digital memiliki perbedaan dengan layanan digital perbankan (m-banking, SMS banking, e-banking, etc). Perbedaannya jelas bahwa seluruh layanan digital perbankan dapat diakses melalui smartphone.

Sementara di luar daripada itu, bank digital mencakup keseluruhan layanan perbankan dari administrasi rekening, otorisasi transaksi, pengelolaan keuangan, dan/atau pembukaan/penutupan rekening, tranksaksi digital, dan pelayanan produk keuangan lain berdasarkan persetujuan OJK.

Menurut pengamat Institute for Development of Economics (Indef) Bhima Yudistira, belum ada kebutuhan untuk merancang regulasi baru untuk mengakomodasi payung hukum bank digital. Terlebih, regulasi yang sudah ada baru diterbitkan pada 2018. Akan tetapi, Bhima menggarisbawahi bahwa pemerintah perlu memperhatikan aspek keamanan dan pemanfaatan data untuk pihak ketiga agar dapat diatur lebih ketat.

Di sisi lain, ia juga melihat bahwa tren bank digital mendorong lanskap persiangan baru di sektor perbankan. Menurutnya, bank yang berinvestasi terhadap digitalisasi akan memperoleh pangsa pasar lebih besar dibandingkan bank yang tetap beroperasi secara konvensional.

“Kebutuhan terhadap digital banking semakin besar seiring dengan pertumbuhan jumlah pengguna internet aktif di 2020 yang mencapai 175,4 juta orang. Artinya perbankan diharapkan memberikan layanan yang lebih cepat dengan biaya terjangkau, dan akses di manapun dan kapanpun,” ujarnya.

Jika bank digital terealisasi, dampaknya akan sangat besar, khususnya bagi kalangan milenial. Namun, bukan tanpa halangan bahwa perbankan juga dinilai perlu untuk melakukan edukasi untuk segmen pasar lain, seperti UMKM dan pedesaan. “Di sini pentingnya pengembangan bank digital harus diiringi oleh penambahan akses jaringan internet ke daerah terpencil dan terluar,” tutur Bhima.

Cerita Bartega Lakukan Transformasi Digital, Selamatkan Bisnis Saat Pandemi

Pada Juni lalu, Gojek melalui program akseleratornya Xcelerate mengumumkan 11 startup di batch keempat. Adalah Bartega yang menjadi salah satu startup terpilih untuk menerima pelatihan dari berbagai mentor terkait penyesuaian bisnis selama masa pandemi.

Bagi penikmat karya seni, nama Bartega mungkin tidak asing lagi. Bartega yang berdiri sejak 2017 awalnya dikenal sebagai penyelenggara berbagai kegiatan komunitas, seperti wine tasting dan workshop melukis di tiga kota utama, yakni Jakarta, Surabaya, dan Bali.

Bartega kini tak cuma mengadakan kelas atau workshop melukis saja, tetapi juga kelas lain, yaitu visual journaling dan merangkai bunga. Perusahaan yang digawangi oleh tiga founder ini juga memproduksi paint kit sendiri.

Selain itu, untuk menjangkau pasar yang lebih luas, Bartega menyediakan beragam konten online tutorial melalui YouTube dan Instagram. Saat ini, Bartega memiliki delapan orang tim dan 20 instruktur seni.

Selama masa pandemi Covid-19, Co-founder Bartega Nadia Daniella mengungkap bahwa situasi tersebut memaksa perusahaan untuk mengalihkan seluruh kegiatan yang tadinya offline menjadi online. Dari penyelenggaraan kegiatan workshop hingga penjualan paint kit kepada konsumennya.

Beberapa penyesuaian yang dilakukan adalah memasarkan paint kit melalui website resmi dan platform Tokopedia. Kemudian, penyelenggaraan kelas dilakukan melalui secara virtual dengan Zoom.

“Kami bersyukur [bisnis] kami tetap tumbuh di masa sulit ini. Dengan pivot seluruhnya ke online, kami dapat menjangkau lebih banyak orang di luar pulau Jawa dan Bali,” ungkap Nadia.

Sebetulnya, Bartega telah menyadari tren disrupsi digital, terutama bagi kalangan milenial. Untuk itu, perusahaan berupaya untuk mengandalkan teknologi digital pada setiap fase bisnisnya, mulai dari memproduksi karya seni via aplikasi, menghadirkan user journey yang seamless di website-nya, hingga mendistribusikan tiket acara melalui platform digital.

“Sebagai perusahaan, kami selalu digital-minded. Meskipun kami mengadakan event 100% offline, kami betul-betul berinvestasi di platform digital untuk memberikan pengalaman yang mudah bagi customer,” paparnya.

Sebagaimana diketahui, Gojek Xcelerate batch keempat sejak awal mengincar startup di bidang direct-to-consumer untuk menyesuaikan tantangan bisnis di masa pandemi. Peserta diberikan pelatihan, salah satunya untuk meminimalisasi kegagalan startup dalam mengembangkan produk/layanan dengan menerapkan teknik minimum viable product (MVP).

“Gojek Xcelerate sangat luar biasa karena setiap mentor memberikan materi dan gaya yang berbeda, mulai dari Digitaraya, Google, Gojek, dan UBS. Kami belajar banyak soal general leadership, cara membangun metrik yang tepat, dan cara menavigasi bisnis di ekosistem startup,” jelasnya.

Menjadi destinasi kreatif di Indonesia

Lebih lanjut, Nadia berujar bahwa pihaknya membawa misi untuk menjadi destinasi kreatif di Indonesia. Apalagi, kini Bartega telah memiliki basis komunitas yang kuat.

“Kami ingin membuktikan bahwa seni itu bernilai, demikian juga bagi orang-orang yang berkarir di dunia seni. Ada banyak seniman berbakat di Indonesia. Maka itu, misi kami adalah memperkenalkan seni ke berbagai kota dan menanamkan kebiasaan kreatif untuk mendorong industri kreatif,” paparnya.

4 Hal Seputar Membangun Bisnis Furnitur Melalui Platform Digital

Perkembangan e-commerce di Indonesia berhasil membentuk ekosistem yang matang bagi pelaku startup lain yang ingin menjajal bisnis baru. Jika e-commerce sempat didominasi oleh marketplace di kategori produk fashion, kini semakin banyak startup yang bermain di vertikal bisnis yang berbeda.

Salah satunya adalah platform jual-beli produk furnitur. Pemainnya terus bertambah dan bisnisnya kian bertumbuh dalam beberapa tahun terakhir. Ini menandakan adanya antusiasme pasar terhadap pembelian furnitur dengan cara yang tidak lagi konvensional.

Pada sesi #SelasaStartup kali ini, DailySocial membahas seputar membangun bisnis furnitur yang sustain melalui platform digital. Simak selengkapnya sharing menarik dari Co-founder dan CEO Fabelio Marshall Tegar Utoyo.

Tantangan bisnis furnitur via platform digital

Bagi Marshall, bisnis akan selalu berkembang, demikian juga masalah yang akan dihadapi kemudian. Dalam membangun furnitur dengan brand Fabelio dan memasarkannya lewat platform digital, ia mengaku bahwa standarisasi produk yang akan dijual menjadi salah satu tantangan terbesar. Ia harus memastikan mitranya dapat memproduksi furnitur dengan kualitas konsisten.

Tantangan lainnya adalah persoalan logistik untuk memudahkan pengiriman dan penerimaan barang. “As we grow, kami sadar bahwa furnitur itu barang besar. Pengirimannya tidak bisa begitu saja menggunakan kurir instan dan ditinggal di lobi. Di sini kami berupaya untuk memudahkan proses pengiriman hingga penerimaan barang bagi customer,” tuturnya.

Adopsi teknologi yang punya impact bagi pembeli

Dukungan teknologi canggih sering diklaim dapat meningkatkan sebuah layanan. Implementasi Artificial Intelligence (AI) atau Virtual Reality (VR) banyak disebut dapat meningkatkan customer experience, terutama pada produk retail besar, seperti furnitur.

Marshall menilai hal tersebut bisa saja benar, dengan catatan teknologi tersebut dapat memberikan dampak terhadap customer. Menurutnya, apabila sebuah teknologi punya high impact ke customer, proses switch-nya bakal lebih mudah. Ambil contoh, teknologi AI dapat menganalisis apakah customer memiliki high intent/low intent saat browsing barang.

“Kami tidak ingin membebankan customer dengan jargon semacam itu agar terlihat smart. Bagi kami yang terpenting adalah menghadirkan platform yang nyaman untuk bertransaksi. Ini kenapa kebanyakan inovasi kami tidak monumental, seperti AI atau VR,” ungkap Marshall.

Menurutnya, adopsi teknologi dapat dikatakan memberikan impact apabila dapat memberikan hasil secara organik dari transaksi. Pada kasus Fabelio, pihaknya selalu melakukan upgrade berkala pada website-nya agar customer nyaman browsing produk sebelum berinteraksi dengan virtual assistant buying.

Strategi mendongkrak repeat purchase

Seperti disebutkan sebelumnya, business nature produk furnitur cukup berbeda dengan produk-produk yang biasa kita temui di e-commerce. Hal ini karena furnitur merupakan produk berukuran besar.

Demikian juga dengan customer behavior-nya. Menurut Marshall, produk furnitur cenderung dibeli dari hasil browsing, bukan searching. Nilai pembeliannya juga besar untuk satu barang.

Lalu, bagaimana strategi untuk menjaga repeat purchase agar tetap tinggi? Menurut Marshall, sebetulnya average order value bisa saja dikurangi, tetapi harus ada ekspansi kategori produk sehingga memperluas segmen pasar. Alhasil, konsumen bisa melakukan pembelian lebih sering.

“Ini sebetulnya soal permainan product management. Dalam capital business, ini bisa dilakukan jika ada modal. Bagi kami, saat ini Fabelio ingin manage supaya customer ada high purchase. [Jika ingin ekspansi kategori], ini bisa kolaborasi dengan mitra supply chain lain, seperti produsen gelas. Mereka lebih jago dibandingkan jika kami harus produksi sendiri,” jelasnya.

Bisnis furnitur di masa Covid-19 dan new-normal

Di masa pandemi ini, Marshall mengaku ada banyak penyesuaian dilakukan untuk menjaga agar bisnis tetap berjalan. Apalagi, bagi bisnis ritel yang utamanya bergantung pada engagement di toko fisik.

Pada kasus Fabelio yang juga memiliki offline, Marshall menyebutkan bahwa pihaknya terpaksa harus menutup sekitar 20 tokonya selama masa pandemi ini. Akan tetapi, pihaknya melakukan inovasi dengan mengembangkan virtual assistant buying atau check agent untuk meningkatkan customer experience tanpa harus tatap mukaInovasi lain yang dapat dilakukan pada bisnis ini adalah menyediakan protokol khusus pada pengiriman dan penerimaan barang.

“Di situasi sekarang, tidak mungkin kita linger lama-lama di toko. Kami harus tahu apa yang nyaman bagi customer. Makanya, pengiriman barang pun harus disesuaikan dengan kondisi tertentu, seperti waktu instal furnitur dan memastikan situasi rumah tidak dalam keadaan ramai. Harusnya, strategi ini bisa berhasil untuk semua brand retail,” ungkapnya.

FUNDtastic Aims for Millennials Through Wealth Platform Branding

Market enthusiasm for online investment platforms continues to grow. This is visible through a growing number of similar platforms offering diverse business models and portfolios.

One of them is FUNDtastic which also participated in encouraging investment growth in Indonesia, especially for millennials. Most people are not aware that this startup has been established since 2016.

There are four founders, including Harry Hartono (CEO), Franky Chandra (CIO), Medwin Susilo (CTO), and Eri Primaria (founder of PT Nusantara Sejahtera Investama).

Low awareness for investment platform

Although it was founded in 2016, FUNDtastic’s platform was launched in 2019. During a virtual media visit session with DailySocial, Franky revealed throughout that period, the company conducted market research related to market perceptions of financial products offered through digital platforms.

“During our research since 2017, we saw that the Indonesian market was not ready to accept the investment platform. Then, people were more aware of the e-commerce and payment platforms. These are popular platforms that time,” Franky said.

In Franky’s opinion, Indonesian people’s awareness of online investment platforms is quite low. The community considered still confused in choosing the right investment product. This is a challenge for companies when developing the FUNDtastic platform.

As cited from the Financial Services Authority (OJK) in 2019, he said the number of investors in Indonesia was only around 2-3 million. In fact, there are 50 million people who are considered potential investors with income record of more than IDR5 million per month and are able to set aside their money for investment.

This is quite low percentage compared to Malaysia, where the number of investors has reached 67 percent. In addition, millennials in Indonesia are rapidly adapting to digital products. The Central Statistics Agency (BPS) recorded there were 12.6 million millennial workers in Indonesia as of 2019.

“Our pain point in developing FUNDtastic was an access to a user-friendly investment platform, difficulty choosing a portfolio, and finding a platform that suited their lifestyle,” Franky said.

Present as wealth apps

For this reason, he continued, the company initially positioned itself as a wealth products platform, not investment platforms. This platform is designed to be a digital hub that connects stakeholders in the financial ecosystem, ranging from customers, advisors, corporations, investment product providers, third-party platforms, to regulators.

“We want to present lifestyle-related and expert products in this business so that customers feel comfortable. Our products also go through a curation process. Therefore, we position them as wealth apps, not investment apps. We want them to have a journey through this application,” he said.

Just like similar digital platforms, the registration process and KYC are fully performed on the FUNDtastic application. This platform is also supported by AI technology to recommend the right portfolio according to customer needs and income. Likewise, payment options, ranging from virtual accounts, bank transfers, digital payments, and auto debit.

FUNDtastic business development

Currently, there are only four services offered by FUNDtastic, including FUNDtastic Direct, FUNDtastic for Advisors, FUNDtastic Biz, FUNDtastic for Platforms. Meanwhile, investment products offered are mutual funds, gold, to Government Securities (SBN).

Franky revealed some ongoing business development plans to expand its product portfolio. One of them is the insurance and p2p lending products for the near future. Currently, his team is in the process of integrating with insurance and p2p lending partners.

In addition, the company is also developing new features, allowing customers to record expenses and income. Franky said that this feature will be integrated directly with the customer’s internet banking.

“For us, [this feature] is our strength in the investment platform market. Even later this feature will be related to our micro investing products. Currently, we are still exploring the process of working with several large banks, one of which is BCA,” he added.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

FUNDtastic Bidik Pasar Milenial Lewat Branding “Wealth Platform”

Antusias pasar terhadap platform investasi online terus bertumbuh. Hal ini terlihat dari semakin banyak platform-platform serupa yang menawarkan model bisnis dan portofolio beragam.

Salah satunya adalah FUNDtastic yang berpartisipasi dalam mendorong pertumbuhan investasi di Indonesia, khususnya bagi kalangan milenial. Belum banyak yang tahu bahwa startup ini didirikan sejak 2016.

Ada empat orang pendirinya, antara lain Harry Hartono (CEO), Franky Chandra (CIO), Medwin Susilo (CTO), dan Eri Primaria (founder PT Nusantara Sejahtera Investama).

Awareness platform investasi rendah

Meski sudah berdiri sejak 2016, platform FUNDtastic baru meluncur di 2019. Pada sesi media visit virtual bersama DailySocial, Franky mengungkap bahwa sepanjang periode itu perusahaan melakukan riset pasar terkait persepsi pasar terhadap produk keuangan yang ditawarkan melalui platform digital.

“Selama kami lakukan riset sejak 2017, kami melihat bahwa pasar Indonesia belum siap dalam menerima platform investasi. Saat itu, masyarakat lebih aware dengan platform e-commerce dan payment. Platform ini lebih populer saat itu,” tutur Franky.

Menurut Franky, awareness masyarakat Indonesia terhadap platform investasi online masih rendah. Masyarakat dinilai masih bingung dalam memilih produk investasi yang tepat. Hal ini menjadi tantangan bagi perusahaan saat mengembangkan platform FUNDtastic.

Mengutip data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per 2019, ia menyebut jumlah investor di Indonesia hanya berkisar 2-3 juta. Padahal, terdapat 50 juta orang yang dinilai potensial menjadi investor dengan catatan berpenghasilan di atas Rp5 juta per bulan dan mampu menyisihkan uangnya untuk investasi.

Persentase tersebut sangat rendah jika dibandingkan dengan Malaysia yang jumlah investornya telah mencapai 67 persen. Selain itu, kaum milenial di Indonesia yang cepat beradaptasi terhadap produk digital terus bertumbuh. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ada 12,6 juta pekerja milenial di Indonesia per 2019.

Pain point kami dalam mengembangkan FUNDtastic saat itu adalah akses terhadap platform investasi yang user-friendly, kesulitan memilih portofolio, dan menemukan platform yang cocok dengan lifestyle mereka,” tutur Franky.

Memposisikan diri sebagai wealth apps

Untuk itu, lanjutnya, perusahaan sejak awal memposisikan diri sebagai platform untuk produk wealth, bukan platform investasi. Platform ini dirancang untuk menjadi digital hub yang menghubungkan stakeholder di ekosistem keuangan, mulai dari customer, advisor, korporasi, penyedia produk investasi, platform pihak ketiga, hingga regulator.

“Kami ingin menghadirkan produk yang lifestyle-related dan ekspertis di bisnis ini supaya customer merasa nyaman. Produk kami juga melalui proses kurasi. Makanya, kami memposisikannya sebagai wealth apps, bukan investment apps. Kami ingin bawa journey mereka melalui aplikasi ini,” ujarnya.

Sama seperti sejumlah platform digital lain, proses registrasi dan KYC sepenuhnya dilakukan melalui aplikasi FUNDtastic. Platform ini juga didukung oleh teknologi AI untuk merekomendasikan portofolio yang tepat sesuai dengan kebutuhan dan pendapatan customer. Demikian juga opsi pembayaran, mulai dari virtual account, transfer bank, pembayaran digital, dan auto debit.

Pengembangan bisnis FUNDtastic

Saat ini memang baru ada empat layanan yang ditawarkan FUNDtastic, antara lain FUNDtastic Direct, FUNDtastic for Advisors, FUNDtastic Biz, FUNDtastic for Platforms. Sementara, produk investasi yang ditawarkan ada reksa dana, emas, hingga Surat Berharga Negara (SBN).

Franky mengungkap sejumlah rencana pengembangan bisnis ke depan untuk memperluas portofolio produknya. Salah satunya adalah kehadiran produk asuransi dan p2p lending dalam waktu dekat. Saat ini, pihaknya sedang melakukan proses integrasi dengan mitra asuransi dan p2p lending.

Selain itu, perusahaan juga sedang mengembangkan fitur baru, memungkinkan customer untuk mencatat pengeluaran dan pemasukan. Franky menyebut bahwa fitur ini nantinya terintegrasi langsung dengan internet banking milik customer.

“Bagi kami, [fitur] ini menjadi kelebihan kami di pasar platform investasi. Bahkan nanti fitur ini akan berkaitan dengan produk micro investing kami. Saat ini, kami masih proses penjajakan kerja sama dengan beberapa bank besar, salah satunya BCA,” tambahnya.

Application Information Will Show Up Here