Strategi Credibook dalam Bertahan dan Mengembangkan Bisnis

Perkembangan industri UMKM di Indonesia terbilang cukup signifikan. Berdasarkan data Kementerian Koperasi dan UKM, jumlah UMKM saat ini mencapai 64,19 juta dengan kontribusi terhadap PDB sebesar 61,97% atau senilai 8.573,89 triliun Rupiah. Tingginya jumlah UMKM di Indonesia tidak terlepas dari berbagai tantangan serta kondisi pandemi Covid-19 yang mendorong perubahan pada pola konsumsi barang dan jasa menjadi momentum untuk mengakselerasi transformasi digital.

DailySocial.id melalui sesi #SelasaStartup, mengundang salah satu sosok yang sudah berkecimpung lama dalam menghadirkan solusi digitalisasi UMKM di tanah air, Co-Founder & CEO Credibook Gabriel Frans. Patut diketahui, sebelum membangun Credibook, Gabriel juga terlibat dalam pengembangan produk GrabKios atau Kudo, yang juga menargetkan digitalisasi warung di Indonesia.

Secara garis besar, Gabriel memaparkan, dibandingkan tahun 2015-2016, pasar industri UMKM saat ini jauh lebih matang. Banyak pemain yang sudah melek teknologi serta memanfaatkan teknologi untuk operasional bisnisnya. Hal ini juga didorong oleh pandemi yang secara tidak langsung memaksa para stakeholder untuk beradaptasi dengan situasi terkini.

“Namun, dengan total lebih dari 60 juta UMKM yang ada di Indonesia, ini bukanlah tugas yang bisa diselesaikan sendiri,” ujarnya.

Dorong kolaborasi

Bicara tentang UMKM, ujar Gabriel, melibatkan pasar yang sangat luas. “Menurut kami di Credibook, kunci untuk bisa berhasil di industri ini adalah kolaborasi,” tambahnya. Credibook sendiri sudah banyak sekali melakukan kolaborasi baik dengan pemerintah, Kemenkop, Pemkab dan komunitas UMKM. Belum lama ini, perusahaan menjalin kemitraan strategis dengan Universitas Warmadewa Bali melalui penandatanganan nota kesepahaman untuk mendukung pengabdian masyarakat bagi pelaku UMKM.

“Kita juga bukan startup yang ingin menyelesaikan semua masalah, jadi kita butuh kolaborasi dengan startup lain di sektor terkait,” ujar Gabriel.

Tantangan yang sering ditemukan di lapangan termasuk literasi digital yang belum menyeluruh dan literasi keuangan yang tepat sasaran. Dalam rangka menanggulangi hal ini, Credibook bekerja sama dengan Kemenkop UKM Indonesia untuk menggencarkan literasi digitalisasi keuangan di Indonesia. Selain itu juga memberi edukasi untuk UMKM dalam membuat laporan keuangan yang baik dan benar agar bisa membuka jalan untuk kapital.

Disinggung mengenai biaya transformasi digital UMKM di Indonesia, Gabriel mengungkapkan bahwa untuk menjangkau daerah-daerah yang amsih belum terjangkau infrastruktur digital, akan membutuhkan modal yang tidak sedikit. Begitu pula sumber daya manusianya, membutuhkan edukasi yang inklusif dan usaha yang tidak sedikit, maka dari itu kita mendorong kolaborasi untuk bersama-sama menciptakan solusi dalam transformasi digital ini.

Pada bulan April tahun ini, Credibook berhasil menutup pendanaan seri A senilai 116 miliar Rupiah dipimpin oleh Monk’s Hill Ventures. Gabriel mengungkapkan bahwa dana ini akan difokuskan untuk ekspansi serta pengembangan CrediMart, layanan grosir digital mereka. Hingga saat ini, CrediMart sudah bekerja sama dengan lebih dari 50 toko grosir konvensional yang tersebar di 40 kota di Indoneesia, mencakup pulau Jawa, Bali dan Nusa Tenggara.

Perbaiki fundamental

Selain pengembangan bisnis melalui ekspansi layanan dan produk, Gabriel juga mengakui bahwa sebelum lebih jauh memikirkan investor, layaknya sebuah perusahaan lebih dulu membangun fundamental perusahaan. Ia juga mengungkapkan salah satu tantangan menjadi Founder dan membangun bisnis adalah ketika berusaha membangun kultur perusahaan yang kuat.

Di samping itu, proposisi nilai juga memiliki andil besar untuk bisa bertahan di tengah pasar yang semakin ramai. Credibook sendiri tengah fokus pada pemberdayaan usaha grosir konvensional dengan pendekatan teknologi rantai pasok. Kekuatan inilah yang menjadi landasan CrediMart untuk menjangkau lebih banyak pengusaha grosir dari lebih banyak sektor usaha.

Terkait pengembangan bisnis, Gabriel turut menambahkan, “Bisnis yang bagus itu adalah yang bisa memberi nilai tambah dan menghasilkan pendapatan atau membawa profit. Bangun terlebih dulu fundamental yang baik, setelah itu investor akan datang dengan sendirinya. Terkadang, menang dalam bisnis itu bukan hanya tentang persaingan, tetapi bagaimana bisa bertahan.”

Semaai dan Whiz Jadi Startup Lokal yang Terpilih di Surge Kohort ke-7

Surge, selaku program akselerator besutan Sequoia Southeast Asia dan India resmi mengumumkan kohort ketujuhnya yang diikuti oleh 15 startup tahap awal, melibatkan 37 founder. Terdapat dua startup asal Indonesia yang terpilih untuk bergabung, yaitu Semaai dan Whiz.

Selama tiga tahun terakhir, Surge telah berkembang pesat, termasuk memperkuat komitmen dengan meningkatkan kucuran dana untuk startup tahap awal binaannya. Sebelumnya mereka memberikan seed funding di rentang $1 juta – $2 juta, kini ditingkatkan hingga $3 juta.

Hingga saat ini,  komunitas Surge telah menaungi 281 founder dari 127 startup dalam 16 sektor. Startup-startup Surge telah mengumpulkan pendanaan secara kolektif sebesar lebih dari Rp25,2 triliun ($1,7 miliar), dengan lebih dari 60% perusahaan dari lima kohort pertamanya mengumpulkan pendanaan seri A dan seterusnya.

Para founder masa kini membidik bisnis mereka untuk panggung dunia. Mayoritas dari perusahaan ini membangun dari tahap awal untuk pasar-pasar global dan membidik khalayak di luar pasar asal mereka, hampir setengahnya hadir di pasar-pasar Amerika Serikat dan Eropa.

Beberapa founder yang terlibat sudah pernah memiliki pengalaman, seperti mantan CFO dari Nykaa, insinyur pertama Uber di India, teknisi yang membantu pengembangan Apache Hive, dan sebagainya. Selain itu, sepertiga dari startup-startup di kohort kali ini memiliki setidaknya satu founder perempuan.

Rajan Anandan selaku Managing Director Sequoia India & Southeast Asia dan Surge mengungkapkan kekaguman yang mendalam akan ambisi dan keanekaragaman ide yang ada, serta kaliber para founder dari tiap kohort dalam program Surge, tak terkecuali Surge 07.

“Kami telah bermitra dengan semua perusahaan tersebut di tahap paling awal pembangunan perusahaan, dengan hampir setengahnya masih dalam tahap pra-peluncuran pada saat memulai kemitraannya. Para founder kami membawa pengalaman dan kreativitas mereka yang luas, dan kami percaya bahwa para pemimpi, inovator dan pembangun kategori ini memiliki potensi untuk mengubah masa depan kawasan ini dan dunia,” ujarnya.

Startup Indonesia di program Surge

Indonesia sendiri diketahui menjadi salah satu negara yang ditargetkan oleh program akselerator ini. Dalam setiap kohort, terdapat minimal satu startup asal Indonesia yang menjadi perwakilan. Pertama kali dimulai pada Maret 2019, Bobobox dan Qoala bergabung sebagai representasi Indonesia. Diikuti dengan Bobobox dan Qoala.

Dalam tiga kohort terakhir, ada BukuKas, Hangry, CoLearn, Otoklix, Durianpay, Bukugaji/Vara, dan Rara Delivery. Dalam kohort ketujuh ini, terdapat dua startup asal Indonesia yang bergabung, yaitu Semaai dan Whiz.

Semaai merupakan startup agritech yang mengembangkan solusi untuk mengatasi masalah sistemik seperti itu di industri dengan menawarkan platform yang komprehensif untuk komunitas pertanian, dengan fokus awal pada input pertanian, seperti benih, pupuk, pestisida dan alat pertanian.

Belum lama ini perusahaan juga telah mengumumkan pendanaan tahap awal yang dipimpin oleh Surge, diikuti oleh Beenext dan sejumlah angel investor, seperti Nipun Mehra (Ula), Harshet Lunani (Qoala), dan Prashant Pawar (Houlihan Lokey).

Sektor pertanian dalam ekosistem startup digital di Indonesia sendiri kian menunjukkan potensi luar biasa. Bahkan saat pandemi, beberapa layanan terkait bisnis budidaya mendapati traksi yang luar biasa, beberapa di antaranya sudah menjadi soonicorn seperti Tanihub, Eden Farm, Aruna, dan eFishery.

Sementara itu, Whiz merupakan perusahaan fintech yang memfokuskan layanannya untuk kalanganr remaja di Indonesia. Startup yang digawangi oleh Agnes Wirya Lie, Dominic Sumarli, dan Frederick Widjaja ini memungkinkan remaja dapat membuka rekening keuangan pertama mereka dengan aplikasi yang mudah digunakan, melakukan pembelian melalui sistem pembayaran QR yang diterima secara luas di Indonesia, dan belajar tentang penganggaran dan tabungan.

Di antara padatnya persaingan di ranah fintech, solusi yang ditawarkan oleh Whiz membuka ruang untuk pasar yang lebih awam untuk sedini mungkin bisa terpapar oleh literasi keuangan. Beberapa aplikasi yang sudah lebih dulu meluncur seperti Finansialku, Sribuu, Pay Ok, PINA, Finoo, Moni, Xettle, Finku, Neu (Fazz Financial Group). Sebagian dari mereka juga sudah mengantongi kepercayaan dari investor dalam bentuk perolehan dana segar.

Saat ini, Semaai dan Whiz tengah menjalani program 16 minggu yang ketat secara hybrid. Surge 07 juga menghadirkan pembicara dan mentor yang sebelumnya sudah pernah terlibat dalam program ini termasuk Siu Rui Quek (Carousell), William Tanuwijaya (Tokopedia/GoTo), Chatri Sityodtong (ONE Championship) dan Doug Leone (Sequoia Capital).

Pada dasarnya, program-program inkubator dan akselerator yang ada saat ini menawarkan kemudahan bagi founder dalam melakukan eskalasi bisnis. Berdasarkan hasil riset yang dilakukan DailySocial.id, per tahun 2021, ada sekitar 17 program inkubator dan/atau akselerator yang masih aktif membuka batch untuk startup baru.

Dapat Dukungan Init-6, Algobash Suguhkan Platform Perekrutan Programmer Terkurasi

Di tengah disrupsi teknologi yang semakin berkembang, begitu pula kebutuhan akan talenta digital kian meningkat. Riset McKinsey dan Bank Dunia menunjukkan, untuk menyiapkan diri menghadapi Revolusi Industri 4.0, Indonesia disebut membutuhkan sebanyak 9 juta atau 600 ribu talenta digital setiap tahun selama 2015 hingga 2030.

Hal ini sejalan dengan kehadiran beberapa platform rekrutmen yang fokus menjembatani para perusahaan dengan talenta-talenta digital, salah satunya Algobash. Pada pertengahan tahun 2022 lalu, perusahaan berhasil mengantongi pendanaan yang tidak disebutkan nilainya dari Init-6, modal ventura besutan Co-founder Bukalapak Achmad Zaky dan Nugroho Herucahyono.

Nugroho Herucahyono selaku Partner Init-6 mengungkapkan, “Ada ketidaksesuaian besar antara supply dan demand talenta teknologi di Indonesia. Bertentangan dengan apa yang diyakini orang, ada banyak jumlah talenta teknologi. Masalahnya adalah kesenjangan kualitas antara bakat yang tersedia dan apa yang dibutuhkan. Algobash mencoba memecahkan masalah dengan meningkatkan talenta dan membantu perusahaan memilih kandidat terbaik untuk kebutuhan talenta mereka.”

Algobash sendiri didirikan oleh Elfino Sitompul dan Melinda Wardiman, keduanya percaya bahwa talenta teknologi akan selalu dibutuhkan dan potensinya masih luar biasa besar. Di samping itu, solusi Algobash tidak hanya bisa diaplikasikan di Indonesia saja tetapi juga di pasar global. “Mindset kami adalah sustainability, sehingga solusi yang kami buat adalah sebuah cycle rekrutmen yang menguntungkan semua pihak,” tambah Elfino.

Layanan yang ditawarkan

Perusahaan memiliki dua model bisnis, yaitu B2B yang fokus pada platform SaaS assessment agar perusahaan bisa melakukan penilaian kemampuan teknis yang lebih mendalam. Metodenya tidak terbatas pada coding test, tetapi juga termasuk uji kognitif dan wawancara.

Selain itu juga model B2C untuk para pengguna yang ingin belajar atau upskill kemampuan programming-nya. “Di luar ini, kita juga punya kemampuan untuk monetisasi coding competition melalui sponsorship dan lainnya,” tambah Melinda.

Proposisi nilai yang ditawarkan dalam platform Algobash adalah memastikan proses rekrutmen yang objektif, nonbias, dan masif melalui solusi coding test dan pre-employment assessment. Hal tersebut tidak hanya membantu perusahaan terhindar dari resiko bad hiring, tetapi juga memastikan kesempatan kerja yang setara dan rata untuk seluruh talenta yang ada.

Algobash juga menawarkan course yang bisa membantu kandidat belajar dengan harga yang jauh lebih efisien daripada bootcamp konvensional. Kandidat yang berhasil lulus dengan nilai yang baik dan berkenan dicarikan kerja akan direkomendasikan oleh algoritma Algobash melalui produk talent pool kepada perusahaan. Dengan solusi tersebut, Algobash dapat menyelesaikan masalah dari hulu ke hilir rekrutmen di Indonesia.

“Selain kami membuka kesempatan kerja menjadi lebih terbuka dan adil, kunci dari transformasi digital adalah qualified talents. Untuk itu dibutuhkan sebuah solusi yang lebih scalable dari sekedar solusi tradisional. Semua bisa belajar programming secara interaktif di Algobash dengan lingkungan layaknya saat bekerja nanti” jelas Elfino.

Sebagai platform rekrutmen, Melinda menekankan bahwa Algobash bukanlah head hunter. Timnya memang membantu perusahaan untuk proses rekrutmen yang lebih presisi, namun “Kita tidak memonetisasi proses rekrutmen dari perusahaan,” tegasnya.

Ia turut mencontohkan terminologi “Tinder Swindler” yang sempat ramai dibahas dalam industri rekrutmen. Salah satu fokus mereka adalah untuk mengeliminasi individu yang mengamalkan tindakan tersebut dan memastikan agar kandidat yang terpilih adalah nyata dan memiliki kemampuan yang teruji melalui platform Algobash.

Algobash sudah melakukan ujian terhadap ribuan talenta untuk berbagai macam client di berbagai bidang termasuk bank, fintech, e-commerce dan korporat. Algobash secara aktif mendukung Bluebird, Paragon, KoinWorks, dan lainnya untuk pre-employment test mereka. Selain itu, perusahaan juga secara rutin mengadakan kompetisi coding “Code Run” dan “Kartini Koding Challenge” (khusus wanita). Selain memberikan benefit hadiah, platform juga menawarkan kesempatan bekerja bagi para pemenang dan partisipan.

Terkait pendanaan yang telah didapat, Melinda juga mengungkapkan bahwa perusahaan akan menggunakan dana ini untuk pengembangan platform, konten dan marketing. Tujuannya adalah mendapatkan growth revenue yang bagus. “Kita akan melengkapi seluruh rangkaian proses rekrutmen sehingga perusahaan kelak hanya membutuhkan satu tools yaitu Algobash, bukan yang lain,” tutupnya.

Platform rekrutmen di Indonesia

Menurut riset Microsoft dan LinkedIn, akan ada 98 juta pekerjaan yang membutuhkan talenta dengan skill digital di bidang software development atau pengembangan perangkat lunak pada tahun 2025. Pekerja dengan skill digital di bidang cloud atau komputasi awan juga akan semakin banyak dicari, dengan proyeksi 23 juta pekerjaan pada 2025.

Terkait potensi pasar, isu rekrutmen menjadi salah satu tantangan utama perusahaan di bidang HR. Hal ini tertuang dalam riset PwC di awal tahun yang memaparkan sejumlah tantangan utama perusahaan di bidang HR yang terdiri dari persoalan rekrutmen (39%), modernisasi sistem (36%), employee upskilling (28%), remote atau hybrid working (24%), dan employee benefit (22%).

Di Indonesia sendiri, sudah ada beberapa layanan yang menawarkan solusi serupa, salah satunya Deall Sejuta Cita yang belum lama ini mengumumkan partisipasinya dalam program akselerator Y Combinator cohort W22. Selain itu juga ada beberapa pemain lokal yang menangani kebutuhan serupa seperti Urbanhire, Ekrut, Nusatalent, dan lainnya.

Startup Femtech “Wilov” Hadirkan Aplikasi Kesehatan Khusus Wanita

Terminologi femtech sudah mulai ramai dibicarakan sejak beberapa tahun terakhir. Kini telah berkembang mencakup berbagai produk dan solusi berbasis konsumen yang didukung teknologi.

Femtech sendiri bisa diartikan sebagai bisnis yang didirikan oleh perempuan dan kebanyakan menyasar kebutuhan khusus untuk kalangan perempuan. Di Indonesia sendiri, perlahan tapi pasti, sudah mulai banyak startup yang memposisikan diri sebagai femtech, salah satunya adalah Wilov.

Inisiatif ini mulai dikembangkan sejak akhir tahun 2020 oleh Ivana Wiyono. Ketika itu, ia melihat bahwa masih banyak perempuan yang belum begitu mengenal tubuhnya, ditambah lagi beberapa hal yang kerap dianggap tabu terkait pemeliharaan kesehatan perempuan yang kemudian menimbulkan limitasi. Banyak perempuan yang pada akhirnya enggan untuk melakukan konsultasi karena takut dihakimi. Padahal, hal ini bisa berdampak signifikan pada kesehatan tubuh perempuan.

Dengan latar belakang keluarga yang bergerak di bidang healthcare, Ivana mencoba menciptakan solusi yang berfokus pada isu-isu terkait kesehatan tubuh perempuan. Dalam mengembangkan platform ini, Ivana juga dibantu oleh Co-Founder dan COO Fillian Witarsa. Pada bulan Maret 2021, mereka berhasil terpilih untuk mengikuti Demo Day yang menjadi bagian dari rangkaian acara 1000 Startup Digital.

Wilov memiliki misi yang cukup sederhana, yaitu untuk menciptakan sebuah ekosistem layanan kesehatan yang informatif, inklusif, nyaman, dan mudah diakses untuk perempuan Indonesia. Selain itu, Wilov ingin membantu wanita untuk mendapatkan layanan kesehatan lengkap dengan data yang dipersonalisasi, lingkungan yang transparan & aman, dan perawatan terstandardisasi, dimulai dari menstrual tracker atau pemantau siklus menstruasi.

Ekspansi layanan dan potensi pasar

Setelah resmi meluncur di bulan Juni 2021, Wilov terus bertumbuh dengan layanan mereka. Perusahaan mendapat profit dari setiap transaksi yang dilakukan melalui platform, mulai dari telekonsultasi, resep dan produk on the counter (OTC), juga tes laboratorium di rumah.

Perusahaan mengembangkan layanannya ke arah personalisasi program kesehatan secara holistik untuk mengatasi diabetes, PCOS, haid yang tidak teratur, dan penurunan berat badan.

Disinggung mengenai potensi pasar, Ivana juga melihat perkembangan yang cukup signifikan pada perempuan yang semakin menyadari pentingnya memelihara kesehatan tubuh dan area kewanitaan mereka. Di samping itu, semakin banyak perempuan yang sudah cukup mandiri dan memiliki alokasi dana untuk hal ini.

Belum lama ini Wilov resmi memperkenalkan model berlangganan untuk layanannya, mulai dari Rp7.300-18.300 per hari atau bisa per bulan. Layanan yang ditawarkan meliputi konseling one-on-one dengan ahli gizi, cek kondisi gizi, personalisasi menu makanan, materi gaya hidup sehat hingga panduan aktivitas fisik.

Berbicara mengenai femtech, ada berbagai solusi yang bisa ditawarkan terkait pemeliharaan kesehatan bagi wanita di sejumlah kondisi khusus, termasuk kesehatan ibu, kesehatan menstruasi, kesehatan panggul dan seksual, kesuburan, menopause, dan kontrasepsi, serta sejumlah kondisi kesehatan umum yang mempengaruhi wanita secara tidak proporsional atau berbeda (seperti osteoporosis atau penyakit kardiovaskular).

Berdasarkan data dari McKinsey & Company, perkiraan ukuran pasar femtech saat ini berkisar dari $500 juta hingga $1 miliar. Proyeksi peluang untuk pertumbuhan pendapatan telah mencapai dua digit. Di bidang healthtech, perusahaan femtech telah menerima 3% dari total pendanaan di industri. Tim mereka juga menemukan fokus dukungan pada kesehatan ibu, produk menstruasi, perangkat ginekologi, dan solusi fertilitas.

Per awal tahun 2022, Wilov sudah mendapatkan pendanaan pre-seed dari East Ventures dan Teja Ventures. Ivona juga mengungkapkan bahwa pendanaan tersebut telah dialokasikan untuk pengembangan tahap pertama (menstrual tracker) serta akuisisi pengguna. Saat ini, perusahaan tengah mengembangkan layanan healthcare, bekerja sama dengan beberapa klinik terpercaya.

Di Indonesia sendiri, Wilov belum memiliki kompetitor langsung dengan model bisnis serupa. Aplikasi serupa yang telah meluncur adalah Newfemme dan Nona.

Di luar itu, layanan healthtech seperti Halodoc dan Alodokter juga sudah memiliki segmen khusus yang fokus terhadap isu-isu terkait kesehatan perempuan. Di ranah global, layanan Wilov memiliki model yang serupa dengan aplikasi Flo yang fokus pada period tracker.

Application Information Will Show Up Here

Desty Commerce Lengkapi Pilar, Bantu Pemilik Bisnis “Go Online”

Bisnis e-commerce di Indonesia yang terus berkembang pesat telah menciptakan persaingan bisnis yang semakin ketat. Hal ini mengharuskan para pelaku bisnis untuk bisa terus berinovasi baik dalam segi produk, layanan, maupun strategi dalam menggaet dan mempertahankan pelanggan.

Kebanyakan isu yang ditemui dalam bisnis umumnya terkait hal operasional, seperti produk yang terfragmentasi, perhitungan manual atau kualitas website. Dalam rangka membantu para pelaku bisnis menerapkan digitalisasi dan menunjang usahanya, Desty melengkapi layanan mereka menjadi lebih terpadu dengan paket Desty Commerce yang terdiri atas empat fitur utama, yaitu Page, Store, Omni, dan Menu.

Tawarkan solusi lengkap

Sebelumnya, Desty menawarkan dua produk utama, yakni Desty Page dan Desty Store. Desty Page adalah layanan landing page untuk mengoptimalkan fitur tautan pada akun media sosial, khususnya Instagram. Sementara, Desty Store merupakan pelengkap kanal marketplace yang menghadirkan platform untuk membantu pengguna membuka toko online dengan mudah.

Perusahaan kemudian menambah solusi yang ditawarkan melalui Desty Omni, dan Desty Menu. Layanan Desty Omni sendiri disediakan untuk memudahkan para pemilik bisnis mengelola produk, pesanan, serta stok barang demi mendukung integrasi penjualan e-commerce di berbagai marketplace maupun web store. Belum lama ini, Desty juga meluncurkan fitur baru bertajuk Omni Chat, sebuah dashboard kolektif untuk mengakses seluruh chat pelanggan dari berbagai marketplace.

Fitur Omni Chat ini diharapkan dapat mempermudah bisnis untuk melayani pelanggan secara efektif serta meningkatkan chat response time yang merupakan sebuah indikator penting bagi pelanggan e-commerce saat memilih toko untuk berbelanja. Sejak diluncurkan hingga saat ini, Desty Omni telah berhasil mencapai ratusan miliar rupiah Gross Merchandise Value (GMV).

Selain itu, layanan lain yang turut dikembangkan adalah Desty Menu, dirancang khusus untuk pelaku bisnis dalam industri Food and Beverages (F&B) dalam memangkas rantai operasional pemesanan. Layanan ini akan bermanafaat oleh restoran, coffee shop, bioskop, karaoke, dan sebagainya. Melalui Desty Menu, merchant dapat memanfaatkan berbagai layanan seperti pick-up, dine-in, delivery, dan scheduled order.

Lebih dari itu, Desty Menu memberikan akses bagi pemilik bisnis untuk mengumpulkan dan memusatkan data pelanggan dalam sistem Customer Relationship Management (CRM). Fitur delivery dan CRM ini akan segera diluncurkan untuk dapat digunakan oleh merchant. Beberapa merchant yang telah menggunakan layanan ini mengungkapkan bahwa usahanya telah mengalami peningkatan omset hingga 30%, efisiensi waktu pelayanan hingga 5 menit, serta mendapat testimoni positif lebih dari 90% pelanggannya.

Setiap e-commerce dapat menggunakan berbagai layanan Desty Commerce sesuai kebutuhan karena seluruh layanan dapat terintegrasi dan kedepannya akan disatukan ke dalam sebuah super app. Hingga saat ini, Desty Commerce sudah menggandeng banyak brand ternama, seperti Electronic City, PVN, DAMN I Love Indonesia, NAMA Beauty, Kurumi, Duvaderm, SOVLO, Mirael Sugar Wax, Cinepolis, NAV Karaoke, Liberica, Omija, Pison Coffee, Vilo Gelato, dan lain-lain.

Investasi di sektor social commerce

Desty pertama kali mendapatkan pendanaan tahap awal oleh East Ventures di akhir tahun 2020 dengan jumlah yang dirahasiakan. Ketika itu perusahaan baru 2 bulan berdiri, namun sudah berhasil menggaet ribuan pengguna termasuk online brands (Alowalo, Babycare, Notbad), kreator konten (Mindblowon Studio/Tahilalat), dan influencer dari industri kuliner, travel, gaya hidup, dan fesyen.

Di tahun 2021, perusahaan kembali mengumpulkan dana senilai $5 juta atau sekitar 71,3 miliar Rupiah dalam putaran pra Seri A. Dana ini disebut akan digunakan untuk mempercepat pengembangan produk dan akuisisi merchant serta meluncurkan produk-produk inovatif ke depannya. Lalu, di awal tahun ini, perusahaan mengumumkan pendanaan tambahan dari perusahaan investasi global, Square Peg,

Hingga saat ini, Desty telah menggalang dana lebih dari $10 juta di putaran pra Seri A3. Kedepannya, perusahaan akan terus berinovasi untuk memberikan lebih banyak layanan penunjang bisnis guna mendukung digitalisasi bisnis di Indonesia. Pada kuartal ketiga tahun ini, Desty Omni juga disinyalir akan melakukan integrasi dengan TikTok Shop serta Lazada.

Desty merupakan satu dari beberapa pemain yang giat mendukung pertumbuhan social commerce di Indonesia. Begitu pula para investor yang kini semakin tertarik untuk menanamkan modalnya di sektor ini. Sebut saja Mapan yang belum lama ini berhasil mengamankan pendanaan seri A senilai $15 juta atau setara 223 miliar Rupiah.  Selain itu juga ada Dagangan dan Super yang hampir bersamaan mengumumkan perolehan pendanaan masing-masing sebesar 95 miliar Rupiah dan lebih dari 1 triliun Rupiah.

Startup Healthtech Lifepack Rampungkan Pendanaan Seri A yang Dipimpin Golden Gate Ventures

PT Indopasifik Teknologi Medika Indonesia (ITMI) melalui brand Lifepack, berhasil meraih pendanaan Seri A senilai $7 juta atau lebih dari 103 miliar Rupiah. Putaran ini dipimpin Golden Gate Ventures dan diikuti beberapa investor terdahulu, seperti Teja Ventures, Jungle Ventures, dan SkyStar Capital.

Natali Ardianto, Co-Founder dan CEO Lifepack, mengungkapkan bahwa dana segar ini akan digunakan untuk memperkuat kehadiran di luar Jakarta. Hingga saat ini apotek Lifepack sudah tersedia di Jakarta dan Surabaya. Perusahaan juga sudah mendapat lisensi untuk membuka cabang di Bandung.

“Targetnya, perusahaan akan menambah 7 apotek baru di masing-masing kota, seperti Bekasi, Tangerang, dan Bogor,” sambung Natali.

Justin Hall, partner di Golden Gate Ventures mengungkapkan, bahwa Lifepack memiliki formula terbaik dengan kombinasi dari para pendiri hebat dengan visi yang kuat dan ide bisnis yang relevan dengan pasar. “Kami siap untuk mendukung pertumbuhan bisnis Lifepack melalui jaringan kami yang luas dan wawasan mendalam kami untuk berbagai kesempatan kolaborasi di wilayah segitiga emas start-up di Indonesia, Vietnam, dan Singapura,” ujarnya.

Sejak awal perusahaan ini berdiri, Golden Gate Ventures telah memberikan dukungan besar pada Lifepack sebagai salah satu start-up yang mengusahakan digitalisasi industri tradisional di Indonesia. Golden Gate Ventures merupakan salah satu pelopor ekosistem start-up di Asia Tenggara yang sudah lama berfokus di industri teknologi kesehatan, yang juga sudah turut mendukung pemain kuat di sektor yang sama seperti Medigo, Alodokter, dan Hanna Life Technologies.

Lifepack mulai beroperasi di masa awal pandemi. Ketika itu, PPKM masih ketat dan rumah sakit masih dipenuhi pasien Covid-19. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bagi penderita penyakit kronis seperti diabetes, jantung, stroke dan lainnya dalam mendapatkan obat. Hal ini yang kemudian menjadi fokus perusahaan dalam menyediakan layanan terpadu dan cepat.

Dari sisi bisnis, Natali mengaku bahwa hadirnya Covid-19 sempat memberi keuntungan bagi perusahaan. Namun, dampak signifikan dari pandemi ini adalah pembelajaran mengenai kesehatan. Covid-19 menjadi gerbang awal dari literasi kesehatan dan katalisator bagi para konsumen dalam hal kesadaran kesehatan.

Sebagai digital pharmacy, Natali mengungkapkan, perusahaan saat ini memiliki dua model bisnis. Pertama, model B2B2C yang melayani peresepan digital atau e-prescription oleh dokter. Lalu, layanan B2C produk OTC (over the counter). Apotek Lifepack memberikan pelayanan kefarmasian dengan menjamin kualitas obat, memberikan harga yang terjangkau, terlengkap, serta lebih hemat dengan program gratis ongkos kirim (ongkir) ke seluruh Indonesia.

Potensi pasar apotek di Indonesia sendiri terbilang masih sangat besar.Di tahun 2025, industri farmasi di Indonesia diprediksi akan tumbuh dua kali lipat dengan estimasi nilai pasar mendekati US$ 20 milyar. Farmasi online sendiri baru mencakup 3.5% dari total pangsa pasar farmasi yang besar ini. Populasi masyarakat Indonesia yang mencapai lebih dari 245 juta jiwa dan tersebar di 34 provinsi menjadikan Indonesia sebagai pasar yang potensial untuk pasar apotek.

Selain Lifepack, pemain lain yang juga memiliki model bisnis serupa adalah perusahaan farmasi asal Singapura SwipeRx, yang sebelumnya bernama mClinica Pharmacy Solutions. Perusahaan belum lama ini berhasil mengumpulkan pendanaan seri B dan siap mengakselerasi bisnis di Indonesia.

Pertumbuhan bisnis dan target ke depan

Lifepack bukanlah satu-satunya produk di bawah bendera ITMI yang bergerak dalam industri kesehatan. Sebelumnya ada Jovee, sebuah layanan yang fokus menyediakan kebutuhan suplemen bagi masyarakat. Perusahaan ini mengandalkan “data science” dalam memberikan rekomendasi suplemen sesuai kebutuhan.

Natali mengakui, ketika didirikan pada tahun 2019, perusahaan masih dalam tahap discovery. Lifepack menemukan model bisnisnya di tahun 2021. Setelah dirasa scalable, maka timnya mulai menggalang dana dan akhirnya memasuki growth stage di tahun 2022 ini.

Hingga saat ini, apotek Lifepack menyediakan lebih dari 5.000 produk dari mulai obat-obatan, vitamin, hingga alat kesehatan yang dapat dipastikan orisinal. Lifepack juga menawarkan pengiriman secara instan dengan durasi maksimal 2 jam, sedangkan untuk seluruh pulau Jawa, pengiriman dalam waktu 24 jam. Melalui aplikasi ini, pihaknya mengaku ingin mengimplementasi Good Pharmacy Practice dalam memberikan pelayanan kefarmasian.

Natali juga memaparkan dari sisi pertumbuhan bisnis MoM perusahaan yang mencapai 30%, dengan total 60 ribu pengguna per bulannya. Selain itu, jumlah dokter yang mendaftar di ekosistem Lifepack sudah menginjak lebih dari 1000. Ini membuktikan bahwa Lifepack sudah berada di jalur yang berkelanjutan.

Dalam diskusi bersama DailySocial, Natali turut mengangkat salah satu inisiatif pemerintah untuk Uji Coba Platform Indonesia Health Service yang akan mengintegrasikan data kesehatan dari berbagai pelaku di industri ini. Menurutnya, hal ini penting, mengingat industri kesehatan yang sangat terfragmentasi, padahal layanan kesehatannya sudah sangat baik.

Dari sisi kolaborasi, perusahaan mengaku selalu menjalin hubungan yang baik dengan pihak-pihak yang terlibat di industri. Menurutnya, regulasi pemerintah untuk industri ini juga sudah terbilang baik.

“Kita sangat terbuka untuk kolaborasi. Kita sendiri sudah melakukan kolaborasi dengan banyak pihak terkait seperti asosiasi di bidang farmasi dan kedokteran. Karena kita hadir untuk membangun industri farmasi yang lebih baik.”

Menurut Natali, permasalahan fundamental dari farmasi di Indonesia adalah apoteker yang seringkali dinilai sebatas tukang obat. Padahal, apoteker mempelajari farmakologi (interaksi obat) jauh lebih lama daripada dokter. Tidak banyak orang-orang yang menganggap serius hal ini. Call center Lifepack dilayani langsung oleh apoteker handal dan terbuka untuk konsultasi.

“Saat ini Indonesia sudah berada di awal revolusi layanan kesehatan berbasis teknologi. Kurang dari dua tahun, masyarakat sudah merubah kebiasaannya hingga 180 derajat, di mana semua hal terkait kesehatan dapat diakses melalui ponsel. Lifepack akan memimpin revolusi apotek tersebut dan menciptakan layanan omnichannel – sebagai satu destinasi kesehatan untuk pasien dan tenaga medis profesional agar mendapatkan layanan kesehatan yang prima,” ungkap Natali.

Application Information Will Show Up Here

Bolafy Hadirkan Platform NFT untuk Fans Sepak Bola di Indonesia

Perkembangan industri Web3 di Indonesia semakin terlihat dari banyaknya platform pendukung, menjadi realisasi tren yang disinyalir akan menjadi masa depan internet ini. Berbagai kegiatan dan komunitas juga dibentuk untuk mewadahi sosialisasi. Salah satu platform yang memiliki misi untuk mengintegrasi Web3 di sektor olahraga, khususnya sepak bola, adalah Bolafy.

Platform ini didirikan oleh Joseph Bima, seorang lulusan teknik dari Universitas of Massachusetts. Bima mengungkapkan bahwa ide awalnya muncul ketika ia masih mengampu pendidikan di negeri Paman Sam. Ketika itu, Web3 sudah berkembang cukup pesat di sana. Setelah melakukan riset dan menemukan model bisnis, ia menarik salah satu temannya yang masih berstatus mahasiswa ITB untuk mulai menjalankan bisnis ini.

Bima juga mengaku bahwa pengalamannya menyaksikan langsung perkembangan Web3 di AS membuatnya banyak belajar. “Di US, bubble-nya sudah lebih terlihat. Banyak firm Web3 yang akhirnya gagal. Dari situ juga saya analisis kesalahan seperti apa yang berpotensi terjadi jika diimplementasi di Indonesia,” lanjutnya.

Moflip adalah karya pertama Bima yang meluncur di publik, platform ini dibuat untuk mewadahi bisnis sport dan entertainment di ranah Web3. Seiring berjalannya waktu, ia menyadari bahwa akan lebih baik jika memiliki platform yang berbeda untuk menaungi masing-masing industri. “Maka dari itu kita bikin Bolafy untuk sport, dan TiketNFT.com untuk entertainment,” jelas Bima.

Dari industri entertainment, melalui TiketNFT.com, pihaknya telah berhasil mengakomodasi tiket untuk konser ulang tahun ke-30 Dewa 19 di dua kota. Musisi kondang Indonesia ini meminta untuk semua tiket bisa dijadikan NFT, dengan begitu, semua yang hadir memiliki bukti konkret dan semuanya terintegrasi ke web3.

Proposisi nilai

Bolafy sendiri memosisikan diri sebagai “Digital Fans Engagement Platform” yang menawarkan koleksi digital resmi dari kolaborasinya dengan partner. Pihaknya menilai sepak bola sebagai cabang olahraga yang paling berpotensi dengan basis penggemar yang besar dan cukup solid. Selain itu, masih ada peluang yang bisa dimanfaatkan dari turunannya, seperti sepak bola putri dan para legend.

Salah satu proposisi nilai yang juga ditawarkan oleh Bolafy adalah kemudahan dalam melakukan pembayaran. Selama ini, NFT dinilai terlalu eksklusif dan sulit diakses karena sistem pembayaran yang menggunakan kripto. Melalui Bolafy, para fans bola bisa menikmati eksklusifitas dan nilai NFT dengan membayar menggunakan Rupiah dan bisa melihat setiap karya yang mereka beli di OpenSea.

Selain itu, platform ini juga menawarkan program loyalty untuk setiap klub. Setiap pembelian NFT akan mendapat koin yang kemudian bisa ditukarkan dengan hadiah. Ada dua bentukan reward yang bisa ditukarkan, monetary (fisik) dan non-monetary (experience). Perusahaan menilai hal ini sebagai engagement yang dibutuhkan oleh fans.

Pihaknya mengaku bahwa banyak fans yang masih enggan untuk membeli NFT menggunakan kripto karena proses yang cukup panjang. Untuk bisa masuk ke pasar yang sangat besar ini, kita harus bisa menyesuaikan metode dengan permintaan. “Salah satu objektif awal kita adalah untuk memungkinkan penjualan NFT yang mudah dan meminimalisir entry barrier untuk masyarakat yang besar dan menyeluruh,” tambah Bima.

Ia juga mengungkapkan bahwa proses pembelian menggunakan rupiah tidak berbeda dengan menggunakan kripto. Pihaknya menggunakan polygon chain untuk memastikan mekanisme minting tetap terjangkau bagi pengguna. Biaya minting yang dibebankan ke pengguna untuk semua NFT dengan harga 15 ribu – 500 ribu Rupiah adalah sama, yaitu 2 ribu Rupiah. Ini adalah sebuah protokol yang sekaligus jadi nilai tambah platform.

Hingga saat ini, total pengguna Bolafy selama 3 bulan resmi beroperasi ada di angka 9.200 orang yang didominasi oleh fans sepak bola. Bolafy sendiri sudah berkolaborasi dengan PT Liga Indonesia Baru (LIB) untuk memanfaatkan jaringan dari Liga 1 dan sudah merampungkan proyek untuk Piala Presiden.

Di bulan Juli lalu, perusahaan resmi berkolaborasi dengan Persija Jakarta untuk menghadirkan beragam koleksi digital yang special untuk The Jakmania (nama suporter Persija). Persija jadi klub bola pertama yang meluncurkan NFT yang bisa dibeli menggunakan Rupiah.

“Tujuan saya menyediakan layanan ini adalah agar para penggemar bisa mendapat benefit dan reward yang berkelanjutan. Sebagai penyelenggara lokal kita punya kelebihan. Kita tau permintaan klub dan fans bola tanah air. Ini akan jadi tahap pertama, bagaimana kita menawarkan konsep NFT yang terintegrasi web3 namun dengan metode yang relatif konvensional,” ungkap Bima.

Target ke depannya

Bima sendiri mengaku bahwa industri web3 di Indonesia masih di fase awal. Sebagai konsumen, masyarakat sudah difasilitasi berbagai kemudahan untuk masuk ke industri ini. Ketika ada satu terobosan yang bisa membuat orang merasakan dampak dan nilai nyata dari solusi Web3, maka itu akan membuka jalan bagi banyak bisnis lain, bukan hanya sekadar mengikuti tren.

Dari sisi monetisasi, Bolafy menerapkan sistem profit sharing dengan partner-nya. Di tahun ini, perusahaan menargetkan untuk bisa berkolaborasi dengan seluruh klub bola di Liga 1 dan membangun audiens yang sudah teredukasi dan mau berpartisipasi. Di lain sisi, ingin bersinergi dengan PSSI untuk solusi apa yang bisa ditawarkan bagi timnas.

“Sampai akhir tahun kita masih fokus di sepak bola. Setalah sudah tercapai semua turunannya, baru kita bisa memikirkan untuk ekspansi ke cabang olahraga lain yang punya audiens setara, seperti bulu tangkis, voli, atau esports,” jelas Bima.

Di bulan Maret lalu, perusahaan berhasil membukukan pendanaan pre-seed dari Starcamp, sebuah pemodal ventura yang juga mendukung startup dengan model serupa, Kolektibel. Bima mengungkapkan bahwa dana segar senilai SG$200 ribu tersebut telah digunakan untuk membangun platform, merekrut talenta, serta operasional. Saat ini Bolafy masih dalam proses rekrutmen untuk menambah tim yang saat ini berjumlah 12 orang.

From MCI to BNI Ventures, Eddi Danusaputro’s Continuous Journey to Support the State-Owned’s CVC Scheme

This article is a part of DailySocial’s Mastermind Series, featuring innovators and leaders in Indonesia’s tech industry sharing their stories and point of view.

Indonesia’s investment ecosystem is said to have a tough time, as affected by the “winter season” in the US, where some sources flow the investment money in this country. However, despite the unfortunate facts, we can learn many things from this situation. Eddi Danusaputro agreed on this as a necessary evil, a maturing process for Indonesian startups, which for a long time has had its seasons in the sun.

Recently departed from MCI (Mandiri Capital Indonesia), Eddi Danusaputro has put all in his power to build and nurture the State-Owned Enterprise’s CVC from day one. With limited resources and a small room for experiments, Eddi has led this company to generate 20 investment portfolios. The most recent investment was on Jul 11, 2022, when AgriAku raised $35M. Aside from that, the CVC has had three exits, including the most notable ones, Moka and Jurnal.id.

After dedicating almost 6,5 years of his life to MCI, Eddi is ready to embrace a new journey with another state-owned VC, Bank Negara Indonesia (BNI). Although he is not yet available to discuss much of the new entity’s further plan, he assured to make a good deal of all his previous experiences in the new venture. In addition, he will be fully in charge of the Merah Putih Fund, a fund initiated by the SOE ministry and co-managed by 5 CVCs.

Not long ago, he was appointed as the Chairman of Amvesindo, a venture capital association for Indonesian startups. Aside from the VC life, Eddi is highly passionate about basketball. To date, he’s been involved as the Chairman of Indonesia’s local basketball club, Amartha Hangtuah.

Above are some facts about Eddi Danusaputro. DailySocial has had a chance to hear more about his journey to becoming one of the most successful venture capitalists in the country. Let’s listen to it through the excerpt below.

Let’s start with the early days of your career. How was the journey of becoming a venture capitalist with your economic background?

We usually think we choose our journey, but sometimes it’s the journey that finds us. I graduated in the mid-’90s, and the digital industry was not developed back then. Some options include a state-owned enterprise (SOE), government-related, or Multinational. I chose the last one.

I began in the sales department for FMCG products, P&G. I admit that this experience has sharpened my marketing skills. Whatever you do, whether in sales, marketing, or engineering, at the end of the day, you have to be able to sell. People sell every part of themselves, their ideas, their skills, and their products. Communication sets of skills are essential.

Furthermore, I got a scholarship to Duke University in the US, catching my enthusiasm for the finance industry. I started in New York City with Morgan Stanley, then relocated to Singapore. I lived there for 12 years and finally returned to my home country to help build MCI.

You have experienced different cultures by studying and working in the US, then transferred to Singapore and living there for 12 years. Is there any significant impact on your journey?

Studying abroad has broadened my insight. With students and lecturers from different countries also brought different perspectives. Several trends are set outside the home country. For example, the “dot com” trend started in the US, and I am fortunate to experience it live. It goes along with investment terms, private funds, and so on that rise from the west. People with the privilege to study or work abroad can experience the trend and move back to leverage the movement in their home country.

In Singapore, people tend to be disciplined and punctual. Also, they are usually more individualist in terms of working culture. Colleagues do not necessarily become friends. They’re just in it for the job. Meanwhile, aside from the traffic that challenges time management in Indonesia, we are most likely to be social. Friends are pretty close and easily share contact. In other countries, privacy is precious.

During the journey, you’ve been occupying several positions. Which one do you cherish most?

I have been working in the capital market, where we need to keep an eye 24/7 to monitor the selling and buyout in the exchange. This situation has affected my working hours and communication in general, not mentioning about the time differences and the high volatility. It is pretty different from the dynamics of the startup industry. However, whichever, I should be able to enjoy the process.

How about the challenge after you’ve entered the VC industry?

In the startup industry, we’re investing in people, the founders. We need to build a relationship to know the person, which requires some time. That is one thing. Then, the pandemic came rattling, and some did not make it.

Recently, the startup industry is said to have a winter season. Some of these startups are yet to experience a correction, either topline or valuation. This condition is something they should learn from. Is it going to affect the runway? Should they be worried? What will the investors do? This way, we can finally see the founder’s character and which one will be resilient and survive during the hard times.

You’ve recently departed from Mandiri Capital Indonesia after 6,5 years of building and nurturing the CVC. What can you share about the experience, and where do you plan the next journey?

I was there from day one of MCI. I helped build the system, workflow, and SOP and shaped the company culture. We are not a giant company with massive resources. Therefore, we need to work efficiently. I need most of the team to be generalists and intrigued to know the work of the other groups. Work rotation is necessary. Everyone should learn everything before becoming a specialist.

As a CVC, we also need to take a risk, not to be reckless but calculated risks. It is fair to make mistakes as long as the process has been proper. However, not all decisions turn out to be what we planned. The culture is to know how to make a decision and be responsible.

It has been two terms, and I have officially departed from MCI. However, I’m still being an advisor during the transition to my new position. MCI is a long trip. My next journey is to build a new CVC for Bank Negara Indonesia (BNI). It may look similar to the last journey, but I’ve had my experiences and learned my lessons.

You were recently appointed as the Chairman of Amvesindo, a venture capital association for Indonesian startups. Do you think the industry has already in its ideal situation?

On a general note, the association covers not only the VCs but also startups (which are yet to have an independent association). It also becomes a discussion companion for regulators, bridging the concern of the two parties. It is the core and primary function in this industry.

It is yet to be ideal. However, this is a long journey. The important thing is that communication is way better than before. Startups, VCs, and the government have built an excellent start to walk through this journey.

Aside from the current job, do you have other interests to pursue?

I’m also an angel investor for some companies starting from scratch. Also, I’m currently a Chairman of the Amartha Hangtuah basketball club.
I have a mission for Indonesian basketball clubs can be profitable like the global ones, not just rely on the owner’s pockets. I’ve dreamed of them surviving with sponsorships, ticket merchandise, etc. The club should be self-sustainable.

Furthermore, I intend to improve athletes’ welfare in Indonesia. There are numerous stories about former athletes who live below the poverty line. It might be due to a lack of skills outside of sports or the unawareness of saving and investing. Every payday at the club, I help oversee and encourage them always to plan their expenses and set a pie for investment and savings. It’s solely for their future.

Eventually, I want to boost these clubs’ exposure, hoping they can plot for IPO one day. I wish to take my club to the next level and reach these milestones. Thus, I can wed my two passions, startups and basketball.

As a seasoned entrepreneur, is there anything you want to say to the younger generation who just started their journey?

This thing is essential. Whatever age you are, you must be eager to learn something new. Surround yourself with people who are more intelligent than you. If you walk into a meeting and are the smartest person in the room, you’re in the wrong room. Then, you cannot learn anything new. It includes when we’re in the organization, we must dare to hire people with expertise different from you. At a Director’s level, one must know to recruit people who are a thinker, not only executors.

I experienced several career pivots and must be ready to learn something new. Life is a series of continuous learning. Besides my current career path and basketball venture, I’m also a lecturer at Bina Nusantara University (Binus). Once I had a class of corporate students, and I had fun teaching and learning from them. The key is not to easily satisfied and feels like an expert.

Currently, I’m treasuring new technologies. I called it ABCD (Artificial Intelligence, Blockchain, Cloud Computing, and Database). I took a course in data science and machine learning. It’s my thirst to learn something I am yet to master. Lately, I’ve been interested in crypto meanwhile still focusing on sports management.

What’s your projection on the startup investment industry? Which sectors are resilient enough to get through this storm?

This winter season is a necessary evil. It’s a maturing process for Indonesian startups, which has had its seasons in the sun for a long time. Even though they can pass through the pandemic, now, with the downturn, it is a good thing, something to clear our sight.

All kinds of assets, stocks, commodities, everything has a cycle. Correction is inevitable. Then, the spring will come again. There are several schemes with B2B, B2C, B2B2C, and D2C. The one with the “burn money” strategy mainly lies on B2C. However, this is all going to change. Businesses should be able to outsmart this strategy.

My prediction goes with consolidation. There are so many e-commerce players. Are they all going to survive? I don’t think so. The market will eventually narrow, some will die or fall, and there will be few options. I root for consolidation and M&A in this ecosystem. Startups also need to plan for exits, which could be IPO or other mechanisms.

Wawancara dengan Marsela Limesa, Mengulik Ekosistem Bisnis BeautyTech Somethinc

Indonesia merupakan pasar yang berkembang untuk produk kosmetik dan perawatan kulit dan wajah (skincare). Fakta ini telah mendorong pelaku pasar global dan lokal untuk semakin berinovasi. Di antara gempuran merek-merek global di pasar, ada satu merek lokal yang berhasil mencuri perhatian para beauty enthusiast di Indonesia.

Belum genap tiga tahun berdiri, Somethinc sudah merajai berbagai situs-situs belanja dalam kategori kosmetik atau skincare. Di usia yang terbilang dini dengan popularitas yang kian menanjak, perjalanan bisnis Somethinc cukup panjang dan menantang.

DailySocial berkesempatan mewawancara Co-Founder dan President Somethinc Marsela Limesa untuk menggali lebih dalam kisahnya membangun perusahaan ini.

Usaha ini sudah dirintis dari tahun 2014, kala itu e-commerce masih di tahap early, ungkap Marsela. Ia membangun Beautyhaul, sebuah marketplace brand kecantikan dan perawatan yang terkurasi. Platform ini menyediakan berbagai brand kosmetik, baik global maupun lokal.

Selama menjalankan bisnis marketplace, mereka juga melakukan riset terhadap pengguna serta produk-produk yang ditawarkan di platform-nya.

“Kita belajar bahwa orang Indonesia mau dan mampu untuk membeli produk-produk kecantikan, bahkan produk luar yang harganya relatif tinggi. Lalu kita mulai mempertimbangkan untuk membuat brand sendiri,” ujar Marsela.

Namun, menciptakan sebuah brand juga tidak mudah. Ia mengaku beberapa kali gagal karena terlalu terburu-buru sehingga tidak memiliki positioning dan nilai tambah yang kuat untuk bersaing di pasar. Sampai pada pertengahan tahun 2019 terbentuklah Somethinc.

Somethinc debut dengan produk perawatan wajah (skincare), lebih tepatnya serum. Ketika itu produk seperti ini masih tergolong niche. Tidak hanya menawarkan produk, perusahaan mengambil peran sebagai pionir serta mengedukasi pasar hingga kategori ini semakin besar. Kini perusahaan sudah mengembangkan lini produk kosmetik Somethinc menjadi lebih dari 170 jenis serta mengembangkan brand baru bernama Glowinc.

“Somethinc sendiri hadir karena ingin mencoba menyelesaikan masalah di mana kita sebagai konsumen Indonesia harus memilih antara kepercayaan (trust), personalisasi, dan kemampuan (affordability). Kita coba menyeimbangkan semuanya melalui produk-produk Somethinc,” tambah Marsela.

Selain Beautyhaul dengan produknya Somethinc, industri beautytech di Indonesia turut diramaikan beberapa pemain lain. Sebut saja Female Daily yang berbasis komunitas sejak 2005 dan Sociolla (Social Bella) yang mulai beroperasi di tahun 2015.

Ekosistem produk kecantikan yang tech-enabled

Di mata sebagian orang, menjalankan bisnis di industri kecantikan seringkali dinilai hanya dari sudut pandang konvensional. Demikian pula Beautyhaul yang lebih populer dengan label produknya, Somethinc. Namun, dibalik angka penjualan yang terus melambung, terdapat ekosistem terpadu yang menyokong pertumbuhan bisnis perusahaan.

Marsela mengaku, banyak orang beranggapan bahwa perusahaan yang bergerak di industri kecantikan tidak perlu mengimplementasikan teknologi.

Pada kenyataannya, perusahaan berinvestasi banyak dalam teknologi, mulai dari riset dan data yang digunakan dalam pengembangan produk, lalu channel penjualan yang beragam, salah satunya melalui marketplace yang mereka kelola sendiri, Beautyhaul. Selain itu, perusahaan juga telah mengumpulkan komunitas yang kuat dalam membantu pemasaran produknya.

Disinggung mengenai proposisi nilai, Marsela mengungkap secara model bisnis, untuk brand dan O2O commerce memiliki posisi dan porsinya masing-masing, maka dari itu tidak bisa dibandingkan atau disamaratakan. Namun, pihaknya mengaku sangat mengutamakan pengalaman pengguna dalam setiap inovasi yang diciptakan.

“Kita tidak pernah mengandalkan penjualan berbasis diskon tetapi kita coba membangun customer love. Dari sisi inovasi, kita bergerak cepat untuk mengembangkan produk yang belum pernah dipikirkan orang lalu menciptakan trend. Beauty business kuncinya adalah trust, lalu kita berinovasi lewat produk dan model bisnis,” tambah Marsela

Sebagai brand yang terbilang masih lebih muda dibandingkan produk kecantikan lainnya, Marsela mengaku mengalami tantangan beragam dari tiap lini. Mulai dari mencari product-market fit, membangun distribusi dan go to market-nya. Dalam mengembangkan produknya, perusahaan juga memiliki laboratorium serta mengelola warehouse secara mandiri.

Meskipun begitu, fasilitas ini dijalankan oleh tim R&D dan teknis yang solid. Jumlah tim juga berkembang pesat dari hanya 70 orang di masa awal hingga lebih dari 600 karyawan di tahun ini.

Challenge-nya sekarang, kita sudah profitable, secara cashflow juga sehat. namun kita tetap harus bertumbuh layaknya startup, tanpa menghancurkan bagian yang sudah profitable,” ungkap Marsela.

Secara bisnis, Somethinc tidak hanya menerapkan satu model bisnis. Marsela sendiri mengungkapkan, perusahaannya merupakan creative business, yang berarti ada penciptaan di mana “content is king and distribution is God“. Perusahaan memproduksi konten internal, lalu menjalankan supply chain dan warehouse sendiri. Selain itu mereka juga fokus untuk omnichannel dan distribusi, termasuk langsung ke konsumer (D2C).

Marsela berharap Somethinc bisa menjadi perusahaan yang bergerak di industri retail namun juga memiliki roh startup. Saat ini perusahaan juga sedang banyak menjangkau talenta untuk tim produk dan teknologi. Hal ini semata-mata untuk bisa membangun sebuah ekosistem produk kecantikan yang tech-enabled.

Rencana ke depan

Menurut data Statista, permintaan konsumen Indonesia akan produk kecantikan internasional dan lokal terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini tercermin dari tren kenaikan pendapatan pasar kecantikan dan perawatan tubuh di Tanah Air sejak tahun 2017.

Marsela juga mengungkapkan untuk brand perawatan wajah atau skin care saja nilainya bisa mencapai $2 miliar. Riset Inventure-Alvara Januari 2022, mencatat konsumen mencari produk kecantikan yang memberikan efek glowing (39,6 persen), whitening (21,7 persen), anti acne (19,6 persen), dan anti aging (19,1 persen).

Disinggung mengenai bisnis produk dan marketplace-nya, Marsela mengungkapkan bahwa keduanya harus bisa berjalan beriringan. Perihal mana yang harus dikembangkan lebih intensif, tergantung kapital juga ambisinya.

“Ketika ingin membesarkan sebuah brand, kita harus punya strategi go to market. Keuntungannya, kita menjalankan bisnis direct to consumer, jadi kita punya data konsumer. Dengan begitu, kita bisa lebih tau sifat dan keinginan pengguna seperti apa. Semuanya berkesinambungan,” pungkas Marsela.

Dari sisi pendanaan, Somethinc sudah memiliki dukungan kuat Sequoia Capital. Marsela sendiri pernah menjadi bagian perusahaan investasi ternama Silicon Valley ini.

Selain Marsela, Somethinc juga didirikan dua alumni Universitas Pelita Harapan yaitu Irene Ursula dan Benny Yahya. Saat ini, perusahaan mengaku sudah mendulang profit secara organik. Ambisi selanjutnya adalah ekspansi secara global serta menambah model bisnis baru.

Meskipun sudah beroperasi sejak lama, Marsela mengaku baru mulai intensif mengimplementasikan teknologi sejak dua tahun terakhir. Perusahaan juga masih gencar mencari talenta yang bisa mendukung pertumbuhan bisnis, terutama dari sisi produk dan teknologi.

“Ke depannya kita juga mau end-to end, kalau memungkinkan bisa punya supply sendiri. Pada akhirnya, startup menyediakan solusi untuk menyelesaikann masalah. Demikian pula dengan apa yang jadi tujuan kami melalui Beautyhaul dan Somethinc,” tambah Marsela.

Gokomodo Ramaikan Persaingan Industri Agritech di Indonesia

Pertanian merupakan salah satu sektor ekonomi utama nusantara dan penyumbang terbesar kedua bagi perekonomian negara. Menariknya sektor ini juga telah menunjukkan ketahanan dalam menghadapi pandemi Covid-19. Selama beberapa dekade terakhir, pertanian telah mengalami banyak kemajuan teknologi yang pesat. Mulai di sisi inklusi keuangan —dari petani yang unbankable menjadi bankable—hingga pemanfaatan platform teknologi untuk peningkatan produktivitas.

Gokomodo merupakan salah satu perusahaan agri-commerce B2B untuk rantai pasok serta layanan agribisnis di Indonesia. Melalui platformnya, perusahaan menawarkan solusi pengadaan, jual-beli, dan distribusi. Misinya adalah membuka akses seluas-luasnya bagi para pemangku kepentingan ke produk agrikultur berkualitas dengan kemudahan akses dan harga yang kompetitif.

Platform commerce Gokomodo menawarkan berbagai produk terkait kebutuhan pertanian — mulai dari pupuk, herbisida, benih hingga bahan sipil, peralatan keselamatan, dan banyak lagi.

Bukukan pendanaan awal

Berdasarkan informasi dari data regulator, perusahaan telah menerima pendanaan tahap awal sebesar $1 juta atau sekitar 15 miliar Rupiah dari East Ventures dan Waresix. Terkait ini, pihak terkait masih enggan memberikan komentar.

Gokomodo memiliki tiga unit bisnis utama, yakni platform pengadaan digital (e-procurement), agri-commerce (e-commerce khusus untuk produk pertanian/agrikultur), dan hub sebagai jaringan distribusi.

Berdiri sejak tahun 2019, sistem platform eProcurement Gokomodo terus berkembang pesat dan telah memiliki lebih dari 2.000 penjual dan puluhan pembeli, terutama untuk produk kelapa sawit. Ekosistemnya telah dipercaya oleh para pemain besar di sektor tersebut, seperti Sampoerna Agro, First Resources Ltd., Bumitama Gunajaya Agro Ltd., dan Global Palm Resources.

Dalam pernyataan resmi, Co-Founder & CEO Gokomodo Samuel Tirtasaputra mengungkapkan, “Kami berupaya menjembatani kendala yang dimiliki buyer dan seller. Digitalisasi proses bisnis untuk menciptakan ekosistem digital yang menguntungkan kedua belah pihak adalah solusi yang dapat kami tawarkan. Tidak hanya untuk perusahaan, kami juga mengembangkan ekosistem digital yang dapat dimanfaatkan dengan baik oleh smallholders“.

Gokomodo memiliki visi untuk memberikan akses mudah terhadap produk agrikultur berkualitas, dengan menjadi platform dan layanan rantai pasok terdepan di agribisnis dan komoditas. Di tahun 2022 ini, pihaknya juga akan terus menjalankan ekspansi bisnis, diiringi dengan penyempurnaan fitur-fitur platform Gokomodo demi mendapatkan solusi terbaik bagi para pengguna.

Indonesia memiliki area agrikultur seluas 42,3 hektar sepertiganya (16 juta hektar) merupakan perkebunan kelapa sawit. Berbagai pihak dan lapisan masyarakat terlibat aktif sebagai pemangku kepentingan, mulai dari perusahaan perkebunan, Koperasi Unit Desa (KUD), Toko Tani, hingga Petani.

Di sisi lain, sektor agrikultur juga menyumbang 14% kepada Produk Domestik Bruto (PDB) negara, mempekerjakan sepertiga dari total angkatan kerja di Indonesia, dan 93% pelaku usaha agrikultur terdiri dari petani individu berskala kecil.

Pada bulan April lalu, Gokomodo telah meresmikan hub pertamanya dengan menggandeng Koperasi Unit Desa (KUD) Mesuji, Sumatera Selatan sebagai mitra. Hub ini berfungsi sebagai perpanjangan bisnis yang memungkinkan KUD dan toko tani memesan produk pertanian secara online. Produk tersebut selanjutnya akan dikirim dari gudang untuk diambil pembeli di hub Gokomodo di seluruh Indonesia.

Investasi di sektor agritech Indonesia

Belakangan ini, kinerja startup tanah air sempat diguncang isu tidak menyenangkan. Salah satunya datang dari startup agritech Tanihub yang di awal tahun ini sempat melakukan perombakan bisnis dengan menghentikan kegiatan operasional di dua pergudangan (warehouse) miliknya di Bandung dan Bali. Sebagai dampak dari kebijakan ini, perusahaan juga dikabarkan melakukan PHK karyawan.

Kendati demikian, pendanaan di sektor ini tidak semata-mata menyusut. Selain Gokomodo, beberapa startup yang memiliki fokus di sektor agrikultur juga berhasil mengamankan pendanaan, termasuk AgriAku (GoVentures dan MDI Arise), ARIA (GK-Plug and Play Indonesia dan East Ventures), PasarMikro (Gayo Capital dan 1982 Ventures), serta Eratani (Trihill Capital dan Kenangan Kapital).

Daftar di atas membuktikan bahwa minat investor untuk berinvestasi di sektor ini tidak menurut. Selain itu, sektor pertanian Indonesia juga terbukti memiliki potensi yang masih sangat besar untuk digarap.

Menurut riset McKinsey tahun 2020, pemanfaatan teknologi digital dalam sektor pertanian bisa membawa dampak positif bagi para petani dan meningkatkan output ekonomi hingga 94.846 triliun Rupiah atau $6,6 miliar per tahun.

Application Information Will Show Up Here