Tokocrypto Dorong Edukasi Aset Kripto Melalui Inisiatif “TokoScholars”

Pemanfaatan teknologi blockchain yang semakin familiar tak ayal menciptakan pasar yang semakin besar. Namun, pemahaman terkait teknologi ini serta turunannya masih terbilang rendah di kalangan masyarakat Indonesia. Tokocrypto, sebuah platform marketplace aset kripto, menelurkan inisiatif baru dalam memberikan edukasi terkait ekosistem blockchain yang diberi nama “TokoScholars”.

Inisiatif tersebut berawal dari sebuah proyek yang memberikan benefit pada mahasiswa yang berhasil mengajak mahasiswa lain untuk bergabung dalam sebuah kegiatan referral. Seiring perkembangan ekosistem Tokocrypto, inisiatif ini dirasakan perlu untuk diangkat sebagai sebuah program tersendiri untuk edukasi murni yang memberikan konten yang terstruktur dan tepat guna di luar hype harga koin di pasar.

Minat investasi aset kripto di Indonesia juga terbukti semakin meningkat. Berdasarkan data dari Bappebti, jumlah investor kripto per Februari 2022 telah menembus angka 12,4 juta investor. Sejak Januari hingga Februari 2022, total nilai transaksi aset kripto sudah mencapai Rp 83,88 triliun.

Lead of TokoScholars by Tokocrypto Dimas Surya Al-Faruq mengungkapkan bahwa teknologi blockchain sebenarnya telah digunakan di Indonesia sejak generasi awal perkembangannya. Namun, masih terfokus pada aplikasi transaksi finansial.

“Padahal, potensinya bisa untuk membantu sektor lain di Indonesia yang masih tertinggal, seperti pertanian dan kesehatan. Butuh riset yang mendalam untuk mengembangkan blockchain dan aset kripto di Indonesia,” ujar Dimas.

Edukasi aset kripto yang inklusif

TokoScholars mulai menjadi induk dari setiap inisiatif Tokocrypto terkait edukasi sejak akhir tahun 2021. Mulai dari kolaborasi dengan berbagai pihak untuk mendukung edukasi aset kripto, aplikasi Kriptoversity, hingga TokoVerse, kehadiran TokoScholars diharapkan bisa menjadi kanal utama masyarakat untuk belajar secara utuh tentang blockchain dan aset kripto.

Belum lama ini, Tokocrypto melalui TokoScholars meluncurkan program pendanaan riset aset kripto dan blockchain di Indonesia yang dinamakan “Tokocrypto Researcher Grants”. Program pendanaan riset ini terbuka untuk masyarakat Indonesia dengan minimal pendidikan sedang menjalankan program magister S2.

Dalam wawancara singkat bersama DailySocial.id, Dimas juga mengungkapkan salah satu alasan diadakannya program Tokocrypto Researcher Grants adalah karena pengembangan riset di Indonesia sendiri masih rendah, terutama dalam bidang kripto. Tokocrypto sebagai penggerak industri ingin mendorong pengembangan ini.

“Salah satu tujuan utama TokoScholars adalah membawa riset dan inovasi aset kripto dan blockchain pada level yang bisa dijangkau oleh semua lapisan masyarakat atau inklusif. Oleh karena itu, tentunya peran dan kolaborasi sangat diperlukan dengan berbagai pihak untuk peningkatan dan optimalisasi bidang riset di Indonesia,” tambah Dimas.

Untuk proposal riset yang didaftarkan, diharuskan bisa memberi benefit untuk ekosistem kripto di Indonesia dan Tokocrypto. Beberapa topik yang diusulkan termasuk di bawah ini:

  1. Strength and weakness of Indonesian crypto exchanges: a comparison study of Indonesian crypto exchanges.
  2. What kind of crypto products that Indonesians need from Tokocrypto.
  3. Tax and Regulation study of crypto assets in Indonesia: The impact of new tax law and strengthened regulation on the crypto market in Tokocrypto exchanges.

“Saya melihat Indonesia sebagai pasar yang luar biasa untuk pengembangan aset kripto. Namun kenyataannya di pasar banyak orang yang masih kurang memahami fundamental dari teknologi ini. Di sinilah Tokocrypto ingin menjembatani mereka yang tertarik dengan industri ini melalui edukasi murni dan menyeluruh terkait blockchain dan aset kripto,” ujar Dimas.

Dalam program perdana ini, Tokocrypto menyediakan dana sebesar Rp100 juta untuk dua penelitian terbaik yang dipilih. Tentunya Tokocrypto akan memfasilitasi kebutuhan terkait data atau diskusi dengan para ahli dalam ekosistem mereka. Terkait dana yang disalurkan, pihaknya tidak memberikan informasi lebih lanjut tentang siapa saja yang terlibat.

Dimas juga mengungkapkan, salah satu alasan mengapa banyak orang yang memiliki pandangan yang salah bahkan hingga terjerumus karena aset kripto adalah banyaknya informasi yang viral yang berfokus pada keuntungan instan tanpa didasari pemahaman tentang dasar dari aset ini. Maka dari itu, melalui TokoScholars, ia berharap ini bisa menjadi program edukasi yang inklusif terkait dunia blockchain dan aset kripto.

Dari sisi bisnis, Dimas belum bisa membagikan banyak hal, namun timnya saat ini tengah bekerja keras untuk bisa mengembangkan setiap inisiatif. Kita sudah melihat tren ke depan bahwa aset kripto akan banyak dipakai sebagai alternatif aset. Menurut data Kementerian Perdagangan RI, teknologi blockchain bersamaan dengan 5G, Internet of Things (IoT), kecerdasan buatan, dan cloud computing bisa mendorong ekonomi digital Indonesia melesat hingga Rp4.531 triliun pada tahun 2030.

Selain mengadakan pendanaan riset, untuk tujuan meningkatkan pertumbuhan market dan literasi kripto di Indonesia, TokoScholars juga telah bekerja sama dengan program Kampus Merdeka untuk mengakomodasi inisiatif peningkatan kapasitas dan pelatihan di tempat kerja bagi mahasiswa Indonesia.

TokoScholars juga menjalin kerja sama dengan berbagai perguruan tinggi di Indonesia, seperti Telkom University dan Universitas Gadjah Mada (UGM) untuk mendirikan pusat inovasi blockchain dan aset kripto, serta yang baru saja dihelat, penandatanganan MoU kerja sama dengan Fakultas Vokasi Universitas Kristen Indonesia untuk membangun ekosistem blockchain di lingkungan kampus dengan menghadirkan Pojok Kripto.

Application Information Will Show Up Here

Edward Chamdani to Unlock Indonesia’s Ultimate Potential by Encouraging Upstream Investment

This article is a part of DailySocial’s Mastermind Series, featuring innovators and leaders in Indonesia’s tech industry sharing their stories and point of view.

Edward Ismawan Chamdani started his journey in the tech industry through the best-known computer company in the world. For years, he had his shared interest in the financial sector and finally started his own software company. With a decade-long experience in the industry and one of the perks of being an analyst, he builds a fine network within the startup and investment scene.

In partnership with Andi S. Boediman, Ideosource was built from brick to brick. Now it is expanding beyond just a VC. His other initiative, Gayo Capital, partnered with Ishara Yusdian and Jefri Sirait focuses on revenue-generating companies whose businesses organically create impact to the world. Recently, he also started a venture builder named Starcamp Asia aiming to bridge the founder’s gap in the country.

Edward has a personal purpose to unlock the ultimate potential of Indonesia sustainably from various aspects mainly in leveraging human capital surplus and abundant natural resources via technology disruption and implementation. In order to achieve this mission, he encourages people to be more invested in the core issues, it is upstream investment.

Indonesia is the tech paradise of Asia, where technologically enabled startups can find fertile soil to grow and deliver impactful contributions to the developing nation’s problems. The President himself has announced the Nation’s Vision To be the Digital Energy of ASIA. An achievable vision as Indonesia has been the biggest economy in Southeast Asia, 8th biggest in the world, and in the middle of a massive digital transformation changing its young population from a nation of workers into digital-savvy talent taking over the world, one unicorn at a time.

Starting with mechanical engineering, grasping some financial background, and accidentally creating a VC, Edward has been learning during the process. He is currently serving as Managing Partner at Ideosource Venture Capital, Gayo Capital, and StarCamp  – with a mission to incubate, invest and accelerate with a “Purpose”.

DailySocial is glad to have such an insightful and passionate discussion of Edward’s biggest dream to unlock Indonesia’s ultimate potential. Below is an excerpt of the conversation.

What do you think of Indonesia’s investment ecosystem nowadays?

It was early 2011 when we first started Ideosource, startup quality was quite green. There are limited sources for mentors, and events, let alone VCs, we’re all still learning. Every time we find startups with a legitimate business model, it’s still not clear how the investment process should be carried out. Years passed by and we finally see a sweet spot around 2014-2015, turns out our investment was fruitful.

Over time, Indonesia’s startup ecosystem is getting mature and one by one reached unicorn status. Rudiantara, who at that time still leading Indonesia’s Communication and Informatics Ministry, initiated the leaders of these tech giants to meet with global investors, and the progress is superb. Indonesia is getting broadened and better exposure in the global tech scene. In 2018, was held the first Nexticorn (Next Indonesian Unicorn) with a vision to step up the game for Indonesia’s startup scene.

Indonesia’s list of unicorns in the first quarter of 2022

Observing the startup scene in the last few months regarding the global meltdown, it is still very promising. In fact, this is the right time for them to start fundraising due to the projection of investment decline in 1-2 years ahead, especially for heavily impacted VCs with big-level funding. However, in general, it will not affect the whole ecosystem we still have a great potential growth story. Our market share remains huge in several sectors, including commerce, fintech, and edtech.

The most interesting is in healthtech. Previously, we have substantial issues with online prescriptions and Electronic Medical Records. Under the supervision of a tech-literate figure, there are more policies that support tech accessibility and adoption. The presence of the Peduli Lindungi app, telemedicine service, and government collaborations with healthtech companies are proven effective during this pandemic.

In addition, there are many other sectors yet to optimize, including forwarding, logistics, cross border trading. In terms of natural resources from agriculture to human capital. There are huge potential lies in B2B while people are focusing on B2C.

The thing is, most investments are engaged in the downstream sectors instead of the upstream side due to market availability and accessibility. Upstream investments may take extra effort as it is aimed at the root causes that are often identified by determining the most immediate and direct causes and working backward from there. In many cases, upstream action addresses social, economic and environmental conditions.

Ideosource grasps the experience of investing in the upstream sector with eFishery. It is resulting in the shifting of the whole value chain, from the unbankable to bankable fish farmers through thoroughly distributed information. This is the kind of ecosystem that will drive the whole sector. As it extends the business and continues to the processing level, it will lead to export and import and ends up in the country’s exchange.

It is not about the downstream sector did not have an impact, it is only limited to the additional income for the players. When we focus on the producers, we can use local resources for the country’s economic resilience. I think VCs should consider this investment angle.

You have a background in mechanical engineering, strong experience in the financing industry and currently serve as Managing Partner in two giant VCs. Can you share a bit of the transition?

Previously, I’ve been in a sales organization that handles industrial product distributors. Then, I moved to IBM and really got into the tech stuff. In my last year, I’ve been handling the financial sector (around “11 banking institutions), combining IBM’s solutions to advise banking customers.

In 2002, I co-founded a software company, and my evolution as a founder continue until I decided to exit in 2007. However, I was still around as a Director for several years up to 2010. After that, I’m not immediately started a new company. What I learn as I started my own company, the hardest part is to align the vision, mission, and chemistry with partners. It is bad enough when you meet the wrong partner.

My next journey is to be a business consultant, and the story gets better when I worked with Plasa.com. That is where I build a work-related relationship with Andi S. Boediman, the other Managing Partner in Ideosource. It was late 2010 when I meet a general partner of a big-enough Private Equity (PE), and he said then would be the perfect timing to start a VC. We did our research around 4-5 months to finally debuted with Ideosource. It was a simple analysis, in late 2010, 3g penetration is still around 30 million with the rapid growth of internet users. It was also the beginning of the e-commerce era.

Starting with mechanical engineering, grasping some financial background, and accidentally creating a VC, I’m learning during the process. The thing is, I learned that running a business, and generating cash flow with available funds for growth are totally different. A conventional business survives only with cash flow. Once I entered the VC scene, there are other perspectives. It is ok if you don’t make a profitable business at the beginning, as long as you are analyzing a certain business model in a sector that you can be sure to be a dominant player.

This kind of perspective makes me see there are totally two different worlds. Many people find it hard to understand that capital market, venture investment, and startup thesis, are totally different from conventional business. An interesting fact, the availability of funds will never lessen. It is just a matter of who can convince people with loaded bags of money to invest.

Early days of Gayo Capital

What are your hypotheses on the portfolios?

In terms of analyzing, it is relatively similar. First, we need to look at the founder’s quality, integrity, and so on. Sometimes, when the founder is approved, the fund is secured. Furthermore, we are to discuss the sector, business model, addressable market, and the target for several years. Also, is it attractive enough for the investors? Because liquidity can only work if the story is compelling for the next investors. We’ll be reluctant if there’s no story.

What is your biggest hardship during the business journey?

Hardships are inevitable. I previously mentioned the hardest part is finding the right partner. That is one of the reasons why I have several initiatives with different partners. Each of them has quite a distinct appetite, knowledge, and passion. Ideosource was a fruit of the seed that Andi Boediman and I planted a decade before. Our creativity doesn’t stop there, Andi has his shared interest with Ideosource Entertainment, while I’m nurturing more impact-initiated startups with Gayo Capital.

Along the way, we found that investing in the upstream sector has its own challenge. The founder gap is clear. The quality of founders in the upstream and downstream sectors is quite big, especially outside of Java Island. Recently, we’ve launched our latest initiative named Starcamp to bridge founders with all kinds of information and tools to build qualities and step up their game. This is a marathon as we also develop the founders to deliver vision and mission.

You have previously mentioned the founder gap, also investors should be more invested in the upstream sector, what’s your take on this issue?

In terms of the founder gap, I think it is fine for the startups with a focus on the core technology to be headquartered in Java. When the infrastructure is ready, they can deploy it outside the island. Therefore, if there are other cases like eFishery,  startups outside Java could replicate the concept. They did not necessarily become a tech company but they can be a facilitator.

There are many in the agriculture sector, these are companies we tried to invest in. We’ll create together a more scalable business model that allows them to expand outside of Java. This is the kind of upstream investment I was roaming about, for investors to invest in a certain technology to be licensed outside the island. An integrated value chain happens there.

The thing is, innovation in conglomeration takes 5 to 10 years, just like in the upstream sector. Not many startups are brave enough to enter this scene, only conglomerations with strong capital and a 10-year investment horizon. How can VCs have a conglomerate-like horizon and invest in such kinds of startups?

I have one terminology in Gayo Capital, a reverse conglomeration, inspired by the downstream sector portfolios in Ideosource’s early time which currently has contributed a lot more. Why can’t it be the upstream sector? If we’re going to rely only on conglomeration, the innovation is limited although it has a big contribution to the GDP. Startups have potential as long as they focus on creating an ecosystem that is integrated with each powerful core business, therefore, creating a solid value chain.

Aside from the current position, you’re also in charge of this year’s Nexticorn highlighting the emerging sector. Can you elaborate on this matter?

Such names are emerging this year, including the web3 and its definition which is still fragmented. However, the underlying of this blockchain technology has tremendous evolution. People are learning about bitcoin, the NFT is rising, and more platforms are developed to cater to this industry. The concept is aiming to be a decentralized autonomous organization. That’s the ultimate destination.

Edward Chamdani diampu sebagai CEO NXC 2022

In the crypto scene, we’ve seen people are still relying on the exchange.  In the future, the role might be getting less needed as people are having their own wallets and stuff. In the future, peer-to-peer will exist, and decentralized finance will happen. Disruption will be more extensive than ever, including in VCs.

VCs and investors are said to be more careful and selective to place their money. What is your suggestion for the startup?

I think those who are too insecure might lose the opportunity. Every situation has its moment. It all comes back to the hypothesis. Even in the most peculiar situation, if the market is there and in need of a solution, and it is possible to be executed, it is a deal. I think the more investors are hesitant, VCs who can see the opportunities shouldn’t stop.

In fact, using the “growth at all cost” strategy to be a dominant player is so last year. Investors are now looking for growth to profitability. It’s no longer an era for “burning money”, there are already many casualties. It is a natural correction. Investors will also see the country’s direction while doing investments related to the regulation and government. This will also be the highlight of this year’s Nexticorn. There will be related policymakers to explain Indonesia’s objective toward the tech industries, from crypto, tax, and exchange regulations.

As a seasoned investor with tons of experience in the industry. What is your biggest dream about this country’s tech and investment ecosystem?

After a decade or two in the tech industry, building Ideosource while hands-on in various sectors, focusing to impact with Gayo Capital, and bridging the founder’s gap with Starcamp, the main objective is one. I want Indonesia to be able to unlock its full potential. Even with the founder’s gap, there must be an initiative that we can work together to create a path for them. This is also the reason I’m very excited to join Nexticorn.

I’m also part of several associations, including Amvesindo and Aludi. All of their initiatives are merely to aspire the startup and investment ecosystem in Indonesia to be better. For the people to not depend solely on conventional financial sources and instead have alternative funding. From unbankable to bankable.

On the other side, we need to provide education and nurturing, also mentorship for them. As it continues to grow, various associations with its own specific subject, including Nexticorn, will open new doors to global investors. By saying this, hopefully, Indonesia can be faster to unlock and unleash its truest and full potential. Personally, after setting this vision and mission, I can work more focused and with purpose.

Ismaya Group Terima Pendanaan 266 Miliar Rupiah Dipimpin East Ventures

Perusahaan yang bergerak di industri F&B dan lifestyle Ismaya Group mengumumkan perolehan pendanaan sebesar $18,1 juta atau setara 266 miliar Rupiah dipimpin oleh East Ventures. Investor sebelumnya, Falcon House Partners turut berpartisipasi dalam putaran kali ini.

Rencananya, dana segar ini akan digunakan untuk memperluas jangkauan bisnis di area ritel F&B, produk gaya hidup eksklusif, dan layanan pengiriman makanan. Selain itu, perusahaan juga akan mengoptimalkan pemanfaatan teknologi dalam mengakselerasi pertumbuhan bisnis melalui personalisasi.

Didirikan pada tahun 2003, Ismaya mengawali bisnis dengan membuka gerai pertamanya yang fokus pada industri hiburan di wilayah Jakarta Selatan. Setelah itu, mulai meramaikan sektor F&B secara bertahap dengan restoran-restoran seperti Pizza e Birra, Kitchenette, Publik Markette, Tokyo Belly, dan lainnya.

Kemudian mereka melebarkan sayap ke industri event promotion dengan Ismaya Lieve. Di bawah bendera Ismaya, berbagai artis papan atas telah menunjukkan aksinya di panggung festival musik tanah air. Festival musik seperti Djakarta Warehouse Project dan We The Fest sukses menjadi kegiatan tahunan yang menggaet minat seantero Asia Tenggara.

Hingga saat ini, Ismaya Group telah menjadi salah satu pemimpin pasar dengan lebih dari 100 lokasi termasuk restoran, lounge, dan festival papan atas.

CEO Ismaya Group Bram Hendratta mengungkap fakta bahwa banyak orang yang sudah kehilangan human touch dan interaksi secara fisik selama lebih dari dua tahun dipenjara oleh lockdown akibat pandemi. Hal ini sangat mempengaruhi industri F&B dan lifestyle, terutama pengalaman makan di tempat atau mengikuti festival. Ia melihat sekarang merupakan momentum untuk bisa menghidupkan kembali interaksi ini.

Roderick Purwana selaku Managing Partner East Ventures mengatakan, dirinya percaya pada brand dan kemampuan operasional yang telah dibangun Ismaya selama bertahun-tahun. Mereka telah sukses membangun bisnis lifestyle, tidak hanya di Indonesia tapi juga di luar negeri.

“Kami telah menjadi saksi akan ketangguhan tim dalam menavigasi dan mengatasi krisis; kini di saat kita semua melangkah menuju keadaan yang kembali normal dan keluar dari pandemi, kami yakin akan pertumbuhan dan keseruan yang akan dibawa oleh Ismaya Group ke depannya,” ungkapnya.

Portfolio East Ventures di industri F&B

Telah berdiri sejak tahun 2009, East Ventures yang memiliki kantor pusat di Singapura ini telah berubah menjadi platform holistik yang menyediakan investasi multi-tahap, termasuk seed dan growth untuk lebih dari 200 perusahaan di Asia Tenggara.

Berdasarkan laporan terbaru yang dirilis oleh DSInnovate bertajuk “Startup Report 2021“, East Ventures menduduki peringkat teratas dalam hal kuantitas pendanaan partisipasi di kuartal tahun 2022 dengan 22 putaran pendanaan. Statistik ini tidak jauh berbeda dengan hasil pada tahun 2021.

Sumber: DSInnovate

Sebagai VC yang paling aktif di Asia Tenggara, East Ventures bergerak di sektor agnostik. Hampir semua sektor di industri teknologi tanah air sudah dipenetrasi oleh jaringan EV, termasuk salah satu yang cukup besar juga adalah F&B. Sebelum Ismaya Group, East Ventures sudah mengucurkan dana untuk beberapa nama termasuk YummyCorp, Kulina, Greenly, dan yang belum lama ini mendapatkan pendanaan tahap awal adalah Legit Group.

Tokobay Hadirkan Layanan “Social Marketplace” untuk Pebisnis Kuliner

Belum lama ini salah satu platform penyedia layanan pesan-antar makanan sempat dikecam oleh beberapa merchant juga penggunanya. Pasalnya, skema komisi standar yang diterapkan bagi mitra usaha dianggap kurang terjangkau. Tingginya harga yang dipatok untuk menu pesan-antar kemudian memantik opini para pengguna yang merasa tidak puas. Hal ini sempat menjadi pembahasan pelik di media sosial.

Berawal dari sebuah keresahan terhadap perbedaan harga menu di restoran yang cukup signifikan di aplikasi pesan-antar makanan, Fenny Herianto melihat sebuah celah yang bisa dimanfaatkan sebagai peluang bisnis. Di Maret 2022, ia mulai menjalankan sebuah inisiatif baru yang dinamakan “Tokobay”, sebuah startup penyedia platform social marketplace di bidang kuliner.

Untuk para merchant yang ingin memasarkan produknya di platform Tokobay, saat ini tidak dikenakan biaya apa pun. Sementara, sebagai merchant official akan dibebankan biaya administrasi sebesar 2%, tentunya dengan fitur yang lebih mumpuni. Perusahaan juga mengklaim bahwa harga yang dipatok jauh lebih rendah dibandingkan platform sejenisnya.

Selain menawarkan biaya admin yang lebih murah, Tokobay turut memfasilitasi promosi para merchant melalui kampanye media sosial, publikasi blog, dan video. Berbagai fitur dihadirkan untuk bisa digunakan secara optimal oleh para merchant, termasuk “ulasan” yang memungkinkan pelanggan memberi penilaian terhadap pengalamannya membeli produk tersebut.

Hingga saat ini, sudah ada ratusan merchant yang terdaftar di Tokobay termasuk beberapa merek  seperti Acaraki, Ayam Geprek Goldchick, Bistogram, Foodpedia, dan Sop Ikan Batam. Untuk pengantarannya sendiri, Tokobay sudah bekerja sama dengan 3 penyedia jasa logistik, termasuk Borzo, Lalamove, dan Grab Shipping. Layanan ini sudah menjangkau seluruh area Jabodetabek dengan rencana ekspansi ke area lain dalam waktu dekat

Tersedia beberapa opsi pembayaran yang dapat digunakan dalam platform. Tokobay sendiri juga mengoperasikan dompet digital sendiri bernama “Bay Wallet”. Semua pengguna aplikasi Tokobay dapat langsung menggunakan atau mengoperasikan Bay Wallet sendiri.

“Kami berharap dengan kehadiran Tokobay dapat secara aktif membantu perkembangan merchant di era ekonomi digital seperti saat ini. Tentunya termasuk mereka yang berasal dari kalangan UMKM untuk dapat mengembangkan bisnisnya. Selain itu, kami juga berharap kehadiran Tokobay bisa membantu para pelanggan mendapatkan harga yang sama seperti di restoran dari rumah masing-masing,” tutur Fenny.

Ketika disinggung mengenai pendanaan, timnya mengungkapkan bahwa hingga saat ini Tokobay sudah menerima dengan detail undisclosed.

Layanan pesan-antar makanan

Pandemi telah menjadi momentum menarik bagi pelaku UMKM di sektor F&B Indonesia serta startup dan perusahaan teknologi sebagai enabler dan pendukung sektor ini. Tidak hanya itu, kondisi ini juga telah mendorong peningkatan kebutuhan masyarakat akan layanan digital, termasuk layanan pesan antar makanan online.

Laporan “Food Delivery Platforms in Southeast Asia” yang diterbitkan oleh MomentumWorks di awal tahun ini mengungkapkan bahwa total nilai GMV industri ini di Asia Tenggara telah mencapai $15,5 miliar, meningkat 30% dari yang tertinggi sebesar $11,9 miliar pada tahun 2020. Pertumbuhan ini menunjukkan fakta bahwa orang Asia Tenggara semakin mengandalkan layanan pengiriman makanan dalam kehidupan mereka sehari-hari.

Dalam pernyataan resmi terkait laporan tersebut, Jianggan Li selaku Founder & CEO Momentum Works mengungkapkan, “Pengiriman makanan adalah pasar yang menarik terutama dengan sektor e-commerce yang stagnan. Seiring para pemain berekspansi ke lebih banyak kota dan layanan baru, dan industri restoran menjadi lebih aktif secara digital, kami mengantisipasi pertumbuhan pengiriman makanan yang berkelanjutan hingga tahun 2022.”

Di Indonesia sendiri persaingan ketat aplikasi pesan antar makanan tidak hanya sebatas duopoli Grab Food dan GoFood. Beberapa pemain besar yang juga sudah melebarkan sayap ke ranah ini seperti TravelokaEats, ShopeeFood, bahkan AirAsia dengan bisnis inti maskapai, saat ini juga menawarkan layanan serupa dengan ambisi superapp-nya.

Application Information Will Show Up Here

Investasi Semakin Ketat, Ekosistem Startup di Indonesia Tetap Pesat

DSInnovate belum lama ini menerbitkan hasil riset terbarunya bertajuk “Startup Report 2021-2022Q1“, merangkum dinamika industri dan ekosistem startup digital Indonesia. Laporan ini berisi data, perspektif pendiri, dan konsumen mengenai perkembangan bisnis teknologi. Topik baru yang menjadi sorotan tahun ini adalah impact, baik dari sudut pandang investasi maupun startup.

Dalam sesi Mini-Conference, Editor in Chief DailySocial.id sekaligus Direktur DSInnovate Amir Karimuddin memaparkan beberapa poin dalam laporan tersebut.

Setelah sepanjang tahun 2020 Indonesia mengalami masa-masa suram, kala itu beberapa startup tidak bisa melanjutkan bisnis karena satu dan lain hal, tahun 2021 disebut sebagai titik balik bagi ekosistem bisnis digital di Indonesia. Data yang terjadi membuktikan bahwa benar adanya, industri teknologi tanah air tengah memasuki babak baru.

Restrukturisasi sebagai strategi bisnis

Belakangan ini santer terdengar kabar tentang startup yang melakukan layoff. Faktanya, kabar ini datang bukan dari startup di tahap awal atau yang baru merintis, namun beberapa perusahaan yang namanya sudah cukup dikenal. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar, apa yang sebenarnya tengah terjadi dalam industri startup di Indonesia?

Restrukturisasi bukanlah hal yang baru dalam sebuah organisasi atau perusahaan. Namun ketika hal ini terjadi secara signifikan, itu akan menimbulkan banyak pertanyaan. Untuk menjawab asumsi-asumsi yang muncul ketika berita seperti ini mencuat di media, Amir, merepresentasikan DSInnovate mencoba menjabarkan apa yang mungkin menjadi dibalik panggung restrukturisasi startup teknologi tanah air.

Salah satunya terkait dengan investor yang semakin berhati-hati dalam menggelontorkan dana. Selain isu pandemi, saat ini industri teknologi Amerika Serikat disebut tengah mengalami “Tech Winter” yang dapat diartikan sebagai periode penurunan minat dan investasi dalam teknologi. Mengingat banyak investor yang juga bermarkas di negeri Paman Sam, hal ini tentunya berdampak pada angka investasi dalam negeri.

Dengan pendanaan yang semakin selektif, ada banyak penyesuaian yang harus dilakukan oleh perusahaan. Untuk perusahaan dengan skala yang besar, tentunya membutuhkan biaya operasional yang tidak sedikit. Hal ini kemudian berdampak pada cashflow. Agar runway tetap terjaga, harus ada upaya penyesuaian bisnis. Salah satunya adalah restrukturisasi atau efisiensi operasional bisnis.

Investor lebih selektif

Turut hadir dalam di sesi Mini-Conference, Deandra Fidelia Marbun selaku Investment Analyst di Central Capital Ventura (CCV) sebagai kendaraan investasi dari  grup BCA. Ia mengungkapkan pandangannya terkait lika-liku pendanaan yang tengah terjadi di tengah industri teknologi tanah air. Mulai dari aspek lokal hingga global.

Di skala lokal, penurunan jumlah pasien Covid-19 memiliki dampak positif. Ekonomi yang kembali tumbuh berpengaruh pada demand masyarakat yang semakin meningkat, lalu berdampak pada inflasi. Di ranah global, lockdown di China, perang Rusia-Ukraina, serta “Tech Winter” yang sebelumnya dibahas turut menjadi bahan pertimbangan. Penyesuaian tidak hanya terjadi pada startup namun juga investor yang menyebabkan investasi semakin ketat.

Ia juga mengungkapkan bahwa saat ini tengah terjadi koreksi pasar. Hal ini sebenarnya sudah diprediksi oleh bisnis atau modal ventura, setelah melihat kemunculan beberapa startup yang overvalued. Dinamika yang terjadi disebut sebagai sebuah ujian dan startup yang bisa bertahan bisa dibilang berkelanjutan (sustainable).

Sebagai sebuah VC, CCV dibentuk dari awal dengan tujuan investasi yang mengarah ke sinergi. Mengingat infrastruktur dan pengalaman yang sudah dimiliki, CCV memiliki fokus pada sektor fintech beserta turunannya seperti embedded finance. Hingga saat ini perusahaan sudah mengelola puluhan portofolio termasuk OY!, Akseleran, wagely, dan Qoala.

Terkait penyesuaian, Deandra menyebutkan bahwa hipotesis perusahaan dalam menyalurkan investasi sudah ditujuakan untuk dinamika startup yang cepat dan volatile, sehingga tidak banyak penyesuaian yang dilakukan. “Namun kami tetap lebih berhati-hati. Lebih baik sustainable growth daripada hyper growth tetapi ketika tersandung langsung jatuh,” tambahnya.

Babak baru industri startup Indonesia

Amir melanjutkan pemaparannya. Melihat perkembangan industri startup Indonesia, pada mulanya adalah e-commerce hadir menjadi lokomotif industri digital, kemudian merambah ke fintech, lalu semakin besar menyasar sektor lain. Setelah masyarakat mulai paham dengan penggunaan fitur finansial secara digital, hal ini akan turut mengakselerasi sektor lainnya.

Penetrasi teknologi di sektor edukasi dan pendidikan secara besar-besaran di masa pandemi juga menciptakan kemajuan yang besar di tahun 2022 ini.

Selain itu, ada tiga sektor yang juga diprediksi akan semakin berkembang di tahun ini; (1) Direct-to-Consumer yang memungkinkan brand untuk mengembangkan target pasarnya; (2) embedded finance, yang menawarkan solusi fintech untuk bisa diimplementasikan atau di-embed di berbagai macam platform; serta (3) Web3, evolusi dari industri internet yang berpotensi menjadi mainstream dalam jangka panjang.

Selain itu, salah satu tren yang juga diangkat dalam “Startup Report” adalah The Rise of Impact Investment. Investor kini tidak hanya tertarik pada sektor mainstream tetapi juga yang punya dampak langsung ke sosial ekonomi masyarakat seperti social commerce, renewable energy, agrikultur, dan lainnya. Tentunya impact investment memiliki mandat lebih berat, karena akan ada metrik tambahan untuk mendampingi metrik-metrik umum.

Deandra juga menambahkan, bahwa investasi berdampak merupakan salah satu yang menjadi value yang dimiliki CCV. Namun, mengingat fokus utama perusahaan adalah sektor fintech, impact yang dimaksud lebih ke ranah sosial yang mengutamakan inklusi finansial. Layaknya fokus investasi CCV yang akan berkaitan dengan fintech atau fintech related.

“Saat ini kita percaya bahwa pada akhirnya, semua jenis startup akan menjadi perusahaan fintech. Hal ini sudah terbukti dengan para startup global, seperti Uber dengan Uber Visa, begitu pula untuk sektor lain juga akan ada fintech angle-nya. Maka dari itu kita punya target investasi tahun ini ke embedded finance,” tambah Deandra.

Mengenai prediksi pertumbuhan startup ke depannya, Amir mengungkapkan bahwa akan ada reality check untuk memastikan bahwa strategi yang digunakan tetap relevan dengan kondisi saat ini, bukan lagi semata-mata growth at all cost.Cashflow positif akan jadi gold standard yang baru. Balancing antara cashflow dan growth akan jadi norma baru bagi startup di Indonesia. Tentunya dengan catatan tetap bisa memenuhi pertumbuhan bisnis sesuai kesepakatan dengan investor,” tutupnya.

Rekosistem Hadirkan Solusi Pengelolaan Sampah untuk Bisnis dan Rumah Tangga

Sampah adalah produk dari hasil konsumsi, sehingga tidak bisa dieliminasi dari proses kehidupan masyarakat, akan bertumbuh sesuai dengan kemampuan daya beli dan jumlah populasi. Sebagai negara dengan populasi terbanyak ke-4 di dunia, pengelolaan sampah di negara ini dinilai masih jauh dari kata ‘optimal’.

Rekosistem didirikan pada tahun 2018 oleh Ernest Layman dan Joshua Valentino atas dasar kekhawatiran akan masalah pengelolaan sampah di Indonesia. Berawal dari usaha kecil berbentuk UMKM bernama “Kahiji (Khazanah Hijau Indonesia)”, layanan ini berkembang menjadi startup teknologi pengelolaan sampah yang inovatif.

Sesuai dengan namanya, Rekosistem diambil dari dua kata yaitu re-, mengacu pada aktivitas yang mendukung keberlanjutan (sustainability) seperti reuse, reduce, recycle, renewable, serta segala prinsip keberlanjutan lainnya yang diimplementasikan pada produk mereka. Lalu ekosistem, sebagai tujuan dari solusi untuk mendorong perubahan pola hidup menjadi ramah lingkungan dalam menciptakan lingkungan yang lebih baik.

Produk utama yang ditawarkan Rekosistem meliputi Jemput Sampah (Repickup Service) dan Setor Sampah ke Waste Station (Redrop Service). Repickup Service mencakup layanan pengambilan dan penjemputan sampah untuk rumah tangga atau perumahan, bisnis, perkantoran, sekolah, sarana umum, sarana olahraga, dan tempat komersial.

Sedangkan Setor Sampah ke Waste Station adalah inovasi yang diluncurkan sebagai bentuk standar baru fasilitas pengumpulan sampah daur ulang. Rekosistem Waste Station dengan dimensi yang cukup besar dapat menampung sampah daur ulang dalam jumlah banyak dan mendorong masyarakat untuk memulai kebiasaan daur ulang sampah dengan memberikan reward point.

Beroperasi untuk layanan B2B sekaligus B2C, Rekosistem menawarkan jasa jemput dan setor sampah sesuai kebutuhan. Layanan ini berfokus pada penggunaan teknologi dalam aplikasinya, baik melalui web untuk pengambilan sampah secara berkala dari area pemukiman dan tempat komersial; maupun  lewat mobile app untuk pengguna individu yang menyetorkan sampah secara mandiri ke station Rekosistem yang tersedia.

Hingga saat ini, total sampah yang telah didaur ulang sudah melebihi 1.000 ton, berasal dari sekitar 50 korporasi dan 11 ribu rumah tangga. Untuk beberapa layanan Rekosistem masih tersedia terbatas di Jakarta dan Surabaya. Targetnya, tahun ini bisa ekspansi ke 5 kota dan memproses 10x lipat lebih banyak sampah di Indonesia.

Perusahaan memperkenalkan sistem reward point yang diberlakukan untuk per kilogram sampah yang disetorkan. Sampah-sampah dari berbagai titik pengangkutan dan pengumpulan Rekosistem akan dikirim ke Rekosistem Waste Hub (Material Recovery Facility) untuk dipilah menjadi lebih dari 50 kategori. Setiap pilahan sampah akan didistribusikan ke mitra daur ulang Rekosistem untuk diolah lebih lanjut sesuai dengan jenis masing-masing.

Co-Founder & CEO Rekosistem Ernest Layman mengungkapkan bahwa ada tiga hal yang membedakan Rekosistem dengan pemain cleantech lainnya. Pertama, dari sisi proses, perusahaan bekerja sama dengan pemain dari berbagai lini dalam lingkaran pengelolaan sampah yang ada. Lalu, sampah yang diterima juga tidak hanya yang bernilai, namun juga yang tercampur. Terakhir, Ia bersama tim menerapkan langkah edukasi yang sederhana agar bisa masuk ke semua kelas masyarakat.

Ernest yang dulu sempat menjadi pekerja profesional di perusahaan multinasional dan kini alih profesi menjadi wirusahawan sosial ini mengungkapkan, “Misi kami tidak hanya berfokus pada meningkatkan penyerapan sampah daur ulang di Indonesia, namun juga senantiasa memperkenalkan tren pola hidup ramah lingkungan kepada masyarakat.”

Investasi untuk startup berdampak

Seiring banyaknya perusahaan yang mulai bergerak ke arah impact, begitu pula investasi di ranah ini kian meningkat.  Belum lama ini, Rekosistem juga mengumumkan perolehan seed round dari Bali Investment Club serta penandatanganan kerja sama strategis dengan perusahaan asal Jepang, Marubeni, untuk meningkatkan kualitas pengelolaan sampah.

Selain Rekosistem, ada juga Duitin, pengembang layanan digital yang memfasilitasi daur ulang di Indonesia. Startup ini juga masuk sebagai salah satu lulusan Google for Startup Accelerator, program akselerator Google pertama yang diadakan di Indonesia.

Selain itu, Google sendiri juga memiliki inisiatif investasi untuk perusahaan yang bergerak di ranah impact. Melalui lengan nonprofit Google.org, mengumumkan dana kelolaan baru “Sustainability Seed Fund” yang difokuskan pada pendanaan hibah untuk startup impact di kawasan Asia Pasifik.

Perlahan tapi pasti, investasi berdampak  kian tumbuh di Indonesia. Tidak hanya Google, IIF yang dikelola oleh Mandiri Capital Indonesia, merupakan dana kelolaan social impact swasta pertama di Indonesia yang berbasis pada nilai ESG (Environmental, Social, and Governance) dengan tujuan menciptakan kerja sama antar sektor publik dan swasta di dalam industri modal ventura.

Application Information Will Show Up Here

Nexticorn Gandeng Tokocrypto Jaring Inovator Web3 Potensial

Menjelang  perhelatan NXC Indonesia Summit 2022, pihak komite bekerja sama dengan Tokocrypto mengadakan “NXC Web3 Startup Competition”. Kompetisi ini bertujuan untuk menjaring 10 proyek Web3 lokal terbaik untuk nantinya diberi kesempatan tampil di ajang Summit di Bali.

Berdasarkan data dari DappRadar, volume perdagangan pasar NFT dunia pada tahun 2021 meroket hingga $23 miliar, mengindikasikan peningkatan 592% pengguna baru yang melakukan transaksi. Jumlah investasi VC, selebriti, dan brand pada industri blockchain bahkan telah mencapai $27 miliar.

Di Indonesia sendiri, pada Januari s/d Juni 2021 tercatat lebih dari 6,5 juta penduduk melakukan transaksi mata uang kripto dengan total mencapai $25 miliar. Periode yang sama di tahun sebelumnya nilainya baru $4,4 miliar, yang berarti terjadi peningkatan signifikan hingga 470%. Saat ini, masyarakat Indonesia secara legal dapat memiliki dan memperdagangkan sekitar 229 jenis aset kripto.

Edward Ismawan Chamdani selaku Chief Summit Officer di NXC International Summit 2022 mengungkapkan, “Semua data menunjukkan bahwa pertumbuhan industri Web3 di Indonesia luar biasa. Melalui Nexticorn dan NXC International Summit 2022, kami percaya bahwa Web3 akan menjadi landasan atau launchpad bagi unicorn baru dari Indonesia. Dan ini selaras dengan misi kami untuk mendorong akselerasi industri teknologi Indonesia yang akan melahirkan unicorn-unicorn baru.”

Salah satu fokus dari acara NXC International Summit 2022 sendiri adalah pembahasan dan pemahaman lebih mendalam tentang potensi teknologi Web3 dan turunannya. Terdapat area khusus yang disebut Experience Areadidedikasikan untuk para partisipan agar bisa merasakan pengalaman langsung dengan teknologi Web3. Selain itu, Nexticorn juga akan menghadirkan para penggiat Web3 ternama global termasuk para pemimpin pasar untuk berpartisipasi dalam kegiatan ini.

“Web3 adalah fase baru yang menjanjikan. Potensi Web3 di Indonesia saat ini up and rising. Tokocrypto sangat optimis tentang potensi Web3 untuk memperluas akses masyarakat ke semua peluang yang lebih baik, mulai dari ekonomi, kesehatan hingga pendidikan. Kerja sama strategis ini, sejalan dengan visi Tokocrypto untuk terus menjadi builder sekaligus leader di ekosistem kripto, blockchain, dan Web3 di tanah air, sekaligus membawa Indonesia menjadi barometer di kancah global,” ujar Co-Founder & CEO Tokocrypto Pang Xue Kai.

Kriteria dan kategori

Gelaran NXC Web3 Startup Competition tidak hanya ditujukan untuk startup atau perusahaan, tetapi juga untuk tim pengembang atau siapa pun yang bekerja pada produk atau layanan bisnis komersial yang menggunakan konsep desentralisasi atau berteknologi blockchain.

Beberapa kriteria yang harus diperhatikan adalah 1) tim inti harus didominasi oleh warga negara Indonesia; 2) Proyek sudah berjalan minimal 3 bulan; serta 3) Memiliki dan dapat menunjukkan data traksi/penggunaan.

Kompetisi Web3 ini dibagi menjadi 4 kategori, yaitu: DAO – Distributed Autonomous Organizations; NFT – Non-fungible Tokens (with utilities or smart contracts); dApps – Decentralized Applications; dan Blockchain – Open Ledger dengan Blockchain.

Registrasi berlangsung dari tanggal 24 Mei-12 Juni 2022.  Dilanjutkan dengan sesi penjurian oleh Edward Ismawan Chamdani selaku Chief Summit Officer NXC International Summit 2022 dan Tigran Adiwirya selaku VP of TokoLabs Tokocrypto, yang berlangsung selama 3 hari hingga 15 Juni 2022. Kesepuluh pemenang akan diumumkan pada tanggal 18 Juni 2022.

Untuk para penggiat teknologi yang sudah mulai meniti proyek Web3 dan ingin semakin mengembangkan inovasi teranyar ini, segera daftarkan diri. Pendaftaran akan segera ditutup tanggal 12 Juni 2022. Informasi lebih lanjut terkait kompetisi dan pendaftaran tersedia di website Nexticorn dan NXC Web3 Startup Competition.

Ringkas Raih Pendanaan 33 Miliar Rupiah, Digitalkan Proses Kredit Kepemilikan Rumah

Platform kredit hunian digital Ringkas hari ini (31/5) mengumumkan pendanaan tahap pra-awal senilai $2,3 juta atau lebih dari 33 miliar Rupiah. Investor yang berpartisipasi dalam putaran pendanaan ini antara lain 500 Global, Iterative Capital, Creative Gorilla Capital, Teja Ventures, Init-6, serta beberapa founder perusahaan unicorn.

Setelah memutuskan untuk memulai inisiatif baru di tahun 2021, Ilya Kravtsov, yang sebelumnya juga dikenal sebagai founder PouchNATION mencoba mencari solusi yang bisa menyelesaikan masalah besar di Indonesia. Saat itu Ia menemukan bahwa kepemilikan rumah cukup menjadi isu yang banyak dihadapi masyarakat di negeri ini.

Lalu ia bertemu dengan kedua rekannya saat ini, Leroy Pinto dan Yoko Simon yang memiliki latar belakang cukup kuat di dunia teknologi. Leroy pernah bekerja di Google dan Amazon; sementara Yoko sudah berpengalaman 16 tahun di Dell. Ketiganya lalu mengembangkan platform Ringkas dengan tujuan untuk menyederhanakan proses kredit kepemilikan rumah (KPR) untuk ratusan juta rakyat Indonesia.

Ringkas menemukan fakta bahwa penetrasi kredit hunian di Indonesia adalah salah satu yang terendah di dunia dengan total pinjaman perbankan yang setara dengan 3,25% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Selain itu, backlog perumahan Indonesia terus bertumbuh hingga saat ini di angka 11,4 juta unit. Penyebab dari situasi yang menantang ini disinyalir karena 55% tenaga kerja negara lokal di Indonesia terdiri dari pengusaha kecil dan menengah, pekerja lepas, hingga individu tanpa kontrak yang pasti.

“Saat ini, lebih dari 70 juta orang di Indonesia berjuang untuk membuktikan kepada sistem perbankan bahwa mereka saat ini telah memiliki sumber daya keuangan dan layak untuk bisa mendapat hunian, atau lebih dikenal dengan Kredit Pemilikan Rumah (KPR),” ujar Co-Founder Ringkas Leroy Pinto.

Dengan misi untuk bisa memecahkan masalah kepemilikan rumah ini, Ringkas mencoba mendigitalkan keseluruhan proses rantai nilai hingga menciptakan platform cerdas yang mampu menyederhanakan proses kredit hunian dengan menyesuaikan profil pelanggan secara lebih efisien, dan
menargetkan aset yang sesuai standar risiko dari lembaga keuangan.

“Tempat tinggal merupakan sebuah kebutuhan fisiologis dasar yang harus dimiliki oleh siapa pun, kami pun merasa bangga untuk bisa mendukung Ringkas sebagai sebuah tim yang ingin membuka peluang yang luas untuk membantu proses kepemilikan rumah bagi seluruh masyarakat Indonesia dengan memungkinkan akses yang lebih setara pada proses pembiayaannya melalui kemajuan teknologi,”  ungkap Managing Partner 500 Global Khailee Ng.

Dalam waktu 6 hingga 12 bulan mendatang, Ringkas berkomitmen untuk fokus mengembangkan platformnya dan melayani puluhan ribu penggunanya sekaligus meluncurkan platform untuk berbagai inisiatif yang bisa memberikan dampak besar lainnya di wilayah Jakarta dan sekitarnya. Platform ini juga menargetkan ekspansi ke wilayah yang lebih besar seperti Asia Tenggara.

Meskipun begitu, Ringkas menegaskan bahwa platformnya tidak memberikan pinjaman secara langsung. Dalam menyediakan layanan ini, Ringkas berkolaborasi dengan institusi finansial yang menyediakan pinjaman, lalu menerima fee dari setiap transaksi yang berhasil terjadi dalam platform. Namun Ilya juga menambahkan bahwa tidak menutup kemungkinan untuk di kemudian hari bisa menyediakan fasilitas ini secara langsung.

Digitalisasi di sektor properti

Sebelum eksistensi proptech di Indonesia terlihat, ada anggapan bahwa proses pembelian rumah adalah hal yang sulit dan memakan waktu, dan umumnya orang memiliki persepsi bahwa properti harus dapat dilihat secara fisik proses pembangunannya. Namun, seiring perkembangan dunia digital dan para perusahaan teknologi yang memfasilitasi digitalisasi, anggapan ini perlahan pudar.

Menurut laporan Tren Pasar Pasar Properti Lamudi Indonesia pada semester I-2021, tingkat penjualan properti mengalami peningkatan secara tahunan sebesar 36,8 persen dibandingkan tahun sebelumnya meski terimbas oleh pandemi Covid-19. Hal ini menunjukkan bahwa mayoritas pencari properti yakni 36,7 persen berada di dalam kisaran umum 18-35 tahun, dan sektor proptech dapat menstimulasi penjualan properti dengan memikat para pembeli baru.

Terkait pemanfaatan teknologi di sektor properti, Ilya juga mengungkapkan bahwa terdapat jutaan pencari rumah dan lebih dari 12.000 developers di Indonesia. Sementara di sisi lainnya, ada lebih dari 1.200 bank dan lembaga keuangan yang tersedia saat ini. Timnya melihat bahwa salah satu cara rahasia untuk membuka peluang ini adalah dengan memanfaatkan teknologi yang menghubungkan seluruh pemain di industri ini dengan cara yang sangat sederhana, cepat, dan terfokus pada pelanggan.

Beberapa pemain proptech yang ada di Indonesia termasuk Rumah123, 99.co, Rukita, juga Beliruma. Selain itu juga ada Pinhome yang belum lama ini menelurkan program #CicilDiPinhome untuk memfasilitasi masyarakat berpenghasilan rendah dan masyarakat berpenghasilan tidak tetap (Non-fixed Income/NFI) untuk memiliki rumah impian mereka.

Lalu platform fintech pembiayaan properti hunian juga ada Gradana, yang mencoba memudahkan masyarakat dalam mencicil DP atau pembelian rumah.

Pintaria Berganti Nama Jadi “Pintar”, Fokus Berdayakan Angkatan Kerja Lewat Teknologi

Berubahnya dunia kerja seiring perkembangan teknologi menyebabkan adanya kesenjangan demand dan supply dalam pasar tenaga kerja. Pintar (sebelumnya Pintaria, bagian dari  HarukaEDU) hadir untuk menutup celah tersebut dengan mengembangkan sebuah platform pengembangan diri. Ini juga jadi pengajawantahan visi perusahaan untuk memberdayakan angkatan kerja Indonesia lewat akses belajar tanpa kenal usia.

Pintar memiliki 3 produk pembelajaran utama, yaitu Kuliah, Kursus, dan Korporasi. Pada produk Kuliah ini, mereka bekerja sama dengan mitra universitas lokal untuk menyediakan Sistem Manajemen Pembelajaran (LMS) dan membantu menjalankan digitalisasi dalam proses pembelajaran.

Selain itu, ada juga Kursus yang menawarkan kelas-kelas untuk pengembangan diri dan karier. Lalu pada produk Korporasi, Pintar bermitra dengan para korporasi yang ingin berinvestasi pada para pekerja untuk membantu menyediakan pembelajaran yang fleksibel sesuai kebutuhan untuk upskilling dan reskilling para pekerja.

Ragam layanan yang disediakan Pintar lewat platformnya

 

CEO Pintar Ray Pulungan menyatakan bahwa keputusan rebranding dari nama “Pintaria” ke “Pintar” ini mempertegas misi perusahaan untuk membuka akses kepada pendidikan berkualitas di era digital sebagai bagian dari proses pembangunan ekonomi yang inklusif, berdaya saing tinggi, dan berkelanjutan.

Pendidikan yang ditawarkan oleh Pintar tidak cuma berupa pendidikan formal tetapi pendidikan yang dinamis dan peka terhadap perubahan zaman.

“Pendidikan ini sesuatu yang tidak mengenal ruang dan waktu. Ini yang kami perjuangkan. Pintar hadir untuk memberikan kesempatan yang setara bagi setiap pembelajar di usia produktif. Kami ingin memberdayakan angkatan kerja lewat akses pendidikan tanpa kenal usia,” jelas Head of Learning Pintar Grace Gunawan.

Dalam acara soft-launching Pintar yang diikuti oleh diskusi bertajuk “Empowering Indonesia’s Workforce through Upskilling”, salah satu isu yang turut diangkat adalah fenomena horizontal mismatch atau ketidakselarasan output pada dunia kerja. Ditengarai banyaknya tenaga kerja yang bekerja pada bidang yang tidak sesuai dengan latar belakangnya.

“Menurut penelitian LIPI, 4,6% tenaga kerja Indonesia undereducated, 27,9% tenaga kerja overeducated, dan 68,4% mengalami field of study mismatch. Berbagai mismatch ini menimbulkan konsekuensi berupa kesenjangan keterampilan, rendahnya kepuasan kerja, tingginya angka pengangguran, sampai kesenjangan gaji/upah,” tutur Shinta Kamdani selaku Chair of B20 Indonesia 2022 sekaligus Wakil Ketua Kadin Indonesia dan CEO Sintesa Group.

Pintar mencoba menjawab dan menangani kesenjangan antara supply dan demand tenaga kerja di Indonesia tersebut. Selain itu, juga menjembatani skill gap di dunia kerja lewat kolaborasi dengan berbagai institusi. “Kami percaya pendidikan itu bukan cuma persoalan individu. Hal ini membutuhkan sinergi dari banyak pihak untuk bisa meningkatkan sumber daya manusia,” ucap Grace.

Incoming Dean for School of Professional Studies Shankar Prasad yang juga hadir dalam sesi ini, mengungkapkan pentingnya kolaborasi dengan edutech bagi institusi pendidikan tradisional seperti universitas demi menciptakan konten-konten yang lebih relevan dengan kebutuhan dunia kerja. Selain itu, platform teknologi juga dinilai mampu menjangkau lebih banyak pembelajar dibanding institusi pendidikan tradisional.

“Saat ini adalah waktu yang sangat tepat untuk berinvestasi dalam keterampilan karyawan. Secara global teknologi sudah cukup maju, apa pun bisa dipelajari karena platform pembelajaran bisa diakses dengan mudah. Keberadaan platform-platform ini membuat para pekerja bisa terus mengembangkan
diri dengan tidak terhambat oleh pendidikan formal,” tambah Vice President Samator Group Imelda Harsono yang turut hadir mengisi sesi diskusi.

Perjalanan Bisnis Pintar

Didirikan pada tahun 2014, HarukaEDU — yang kemudian rebranding menjadi Pintaria— lalu sekarang resmi menggunakan identitas Pintar, memulai bisnis sebagai mitra universitas yang ingin meluncurkan pembelajaran online. Beberapa di antaranya adalah Universitas Kristen Indonesia dan Universitas Al Azhar Indonesia, untuk mendigitalkan konten mereka dan mengelola sisi teknologi dari proses pembelajaran.

HarukaEDU membantu universitas meningkatkan pendaftaran siswa baru dan meningkatkan pengalaman belajar siswa. Perusahaan meluncurkan platform Pintaria pada tahun 2018, menawarkan pelatihan teknis dan soft skill bagi mereka yang bersiap memasuki dunia kerja. Di tahun berikutnya, kembali meluncurkan CorporateEDU untuk mendukung perusahaan, organisasi, dan lembaga pemerintah dalam memberikan pelatihan perusahaan yang fleksibel, efektif, dan terukur bagi karyawan.

Selama masa pandemi COVID-19, Platform ini juga membantu pemerintah Indonesia dengan inisiatif pelatihan ulang Program Kartu Prakerja. Perusahaan fokus pada pengembangan program dan pilihan untuk memastikan bahwa siswa memiliki sarana dan sistem pendukung yang mereka butuhkan untuk menyiapkan mereka agar sukses dalam karier dan kehidupan mereka.

Sejak berdiri di tahun 2014, platform ini telah memfasilitasi transformasi karier melalui pendidikan dan pengalaman dalam keterampilan yang paling dibutuhkan saat ini. Ketika pengguna memulai pembelajaran dalam platform, mereka dapat memilih berbagai format dan modul untuk membantu mereka mencapai tujuan, termasuk full-online, blended learning, dan opsi short-form — di kampus dan online.

Resmi menggunakan identitas baru, Pintar menggunakan pendekatan bisnis yaitu kemitraan. Perusahaan bekerja sama dengan banyak universitas khususnya lokal. “Namun, misi penting kami tidak hanya dengan universitas saja, melainkan juga melibatkan institusi pendidikan lainnya dan tentunya pelaku teknologi. Ke depannya kami akan membangun kerja sama yang lebih luas lagi dengan berbagai stakeholder baik lokal maupun global,” ujar Ray.

Hingga kini, perusahaan sudah memiliki jaringan yang luas dengan 700+ kursus online, kemitraan dengan 13 universitas dan lebih dari 50 mitra pelatihan. Platform ini juga telah menjadi mitra Prakerja sejak 2020. Pintar juga telah berhasil menggaet lebih dari satu juta pengguna untuk mengakses kursus singkat, pendidikan tinggi, dan program Prakerja.

ToMu Kembangkan Platform Marketplace Pelatihan dan Pengembangan Talenta untuk Perusahaan

Dalam sebuah perusahaan, kualitas sumber daya manusia menjadi salah satu aspek yang sangat menentukan kemajuan bisnis. Maka dari itu, banyak perusahaan yang tidak enggan merogoh kocek untuk misi mengembangkan talenta para pekerjanya. Namun, tidak semua perusahaan bisa mengelola dengan baik kebutuhan akan para talenta ini.

Ada banyak sekali platform yang menawarkan pelatihan mandiri, coaching, atau program pengembangan dengan subyek tertentu, sementara sebuah perusahaan memiliki karyawan yang membutuhkan pelatihan di bidang yang lebih bervariasi. ToMu (Toko Ilmu) menawarkan solusi satu untuk semua kebutuhan Learning & Development dalam organisasi untuk meningkatkan kinerja dan produktivitas karyawan guna mempercepat pengembangan organisasi.

Platform one-stop learning & development

ToMu didirikan oleh Alfa Bumhira, yang juga dikenal sebagai Co-Founder & CEO ProSpark, sebuah Learning Management System (LMS) untuk B2B yang memungkinkan perusahaan untuk melatih, melakukan sertifikasi, transfer pengetahuan, dan berkolaborasi. Ia mendirikan ToMu pada awal tahun ini sebagai sebuah marketplace yang menawarkan layanan pembelajaran dan pengembangan baik training, coaching, nurturing dan well-being bersama mentor berpengalaman.

Meskipun solusi marketplace yang ditawarkan lebih menyasar ranah B2C, ToMu memilih fokus ke B2B, mereka juga menawarkan solusi untuk perusahaan bisa memiliki satu platform yang bisa mengelola semua kegiatan terkait L&D. Menargetkan startup, perusahaan ingin menjadi sebuah platform one-stop learning & development (L&D) yang menyediakan layanan seperti learning marketplace, course delivery, sentralisasi manajemen, hingga proses administrasi, dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas data & menjadikannya tolok ukur yang bermanfaat.

Alfa juga menilai bahwa salah satu isu besar yang ada di industri ini adalah banyaknya pelatih atau mentor menghabiskan waktu mereka untuk mengurus hal-hal minor daripada benar-benar melaksanakan pelatihan. ToMu berharap bisa menjadi solusi untuk menghubungkan mentor dengan lebih banyak kesempatan. Hingga saat ini, sudah ada lebih dari 300 mentor yang terdaftar di ToMu yang juga terafiliasi dengan pengembang platform learning management system (LMS), ProSpark.

Platform ini telah berhasil menghubungkan sekitar 20 perusahaan yang membutuhkan layanan training, mentoring, coaching, hingga wellbeing dengan mentor-mentor yang memiliki kapasitas dalam bidangnya.

Solusi yang ditawarkan ToMu saat ini tidak dikenakan biaya apa pun. Perusahaan hanya perlu mendaftar dan memasukkan data karyawannya. Setelah itu mereka bisa menikmati program L&D yang dipersonalisasi untuk tujuan tertentu. Dari situ, perusahaan akan mendapat data real-time yang bisa dikonversi menjadi wawasan baru untuk ditindaklanjuti menggunakan fitur OKR. ToMu juga menawarkan fitur ROI untuk dapat melacak setiap investasi yang telah dilakukan perusahaan.

Rencana ke depan

Untuk saat ini, ToMu fokus untuk mengembangkan solusi marketplace dengan melengkapi dari sisi supply dan demand. Lalu, ke depannya ToMu memiliki misi untuk masuk ke ranah pengelolaan talenta yang lebih serius. “Seiring kami membangun marketplace ini, kami juga berharap bisa membantu perusahaan dalam hal seleksi serta pengelolaan talentanya,” ujar Alfa.

ToMu juga akan segera terintegrasi dengan sistem manajemen pembelajaran ProSpark dan sistem pengelolaan HR perusahaan. Selain itu juga akan mengembangkan layanan ke talent placement dan assessment tools.

Alfa menilai bahwa konsep L&D masih terbilang baru di Indonesia dan peluangnya masih sangat besar. Dalam perhitungannya, pasar L&D di Indonesia bisa mencapai $1,5 miliar per tahunnya. Di Indonesia sendiri, terdapat lebih dari 2500 startup, kebanyakan tidak memiliki divisi L&D.

“Di sinilah peran ToMu akan menjadi penting, untuk bisa mendampingi perusahaan dalam mengembangkan kemampuan terbaik talentanya demi pertumbuhan bisnis yang lebih baik,” tambah Alfa.

Sebagai sebuah marketplace, ToMu bersaing head-to-head dengan Kuncie, diversifikasi lini bisnis operator telekomunikasi, Telkomsel, di ranah edtech. Kuncie memungkinkan penggunanya untuk upskill dan re-skill lewat konten pembelajaran dan melakukan sesi mentoring berbasis on demand melalui aplikasi.