SaaS Startup Jurnal.id Now Has Over 80 Thousand Users

Many SMEs are optimizing business processes with a digital approach as technology productivity services are increasingly in demand for the Indonesian market. It includes technology products made by the local startup, one of them is Jurnal.id. In Yogyakarta’s media gathering, Anthony Kosasih, Jurnal.id‘s COO, explained that the current SaaS service carries more than 80 thousand users, with over 60 thousand business registered from various regions in Indonesia.

Jurnal.id presents a variety of digital accounting products designed to simplify administrative and business operational process. With such applications, businesses (especially SMEs) can easily make the financial record, list of items, reports, and issuing invoice. User’s higher interest demands Jurnal.id to innovate more on products. The latest ones are “Tax Center Journal” and “Budgeting” services.

Jurnal Tax Center was released to simplify tax calculation and preparation process integrated with Jurnal. Therefore, SMEs with recorded cash flows and employee expenses can directly use the service to automate the tax calculation. Budgeting feature has released as a financial controller for entrepreneurs to manage the cash flow turnover occurred in business.

“With the shifting of SME’s tax regulation to 0.5%, the focus is to help entrepreneurs fulfill their tax obligations with an easy solution,” Kosasih said.

In 2018, Kosasih mentioned that Jurnal.id will strengthen the expansion process to all major cities in Indonesia. One of the approaches is to conduct free business training and seminar, introducing SMEs with the technology-based business system.

Previously, Jurnal.id has released the Jurnal Pay feature in collaboration with Xendit, a payment portal for business transactions through a virtual account. The feature allows SMEs to do two things at once, withdraw funds from customers via bank transfer or credit card, and help SMEs to make scheduled payments.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

BagiData Sajikan Platform yang Mungkinkan Pengguna Monetisasi Data Pribadinya

BagiData merupakan platform yang memungkinkan pengguna internet menyerahkan dan mengontrol data mereka untuk dimonetisasi. Konsepnya pengguna dapat mendaftarkan diri lalu menghubungkan kanal digital yang dimiliki (misalnya Facebook, Twitter, Instagram, hingga WhatsApp) untuk kebutuhan komersial. Dari sisi brand atau bisnis, platform BagiData menjadi kanal pemasaran untuk menargetkan kalangan konsumen secara langsung berdasarkan data personal yang telah disetorkan pengguna.

Peran platform BagiData di sini sebagai middleware, menyimpan data pengguna sekaligus memastikan data tersebut aman. Sementara brand yang menggunakan layanan tersebut akan memiliki dasbor khusus. Di sana brand dapat memilih kriteria konsumen seperti apa yang ditargetkan.

Di BagiData, pengguna dapat memberikan izin datanya untuk diinvestasikan, dan mengizinkan dikirimi penawaran melalui SMS, WhatsApp, atau Email. Setiap kali mendapat penawaran melalui BagiData, pengguna akan mendapatkan bagian pendapatan juga dari data mereka. Untuk setiap data yang disetor (misalnya struk belanja atau profil data diri), pengguna juga akan mendapatkan imbalan berupa kredit tunai atau poin.

Co-Founder & CEO BagiData Ikhwan Reza menjelaskan, “BagiData memberikan akses kepada pengguna internet untuk mengontrol data mereka, selain itu pengguna internet juga dapat menghasilkan uang dengan menginvestasikan data yang dimiliki. Saat ini data yang dapat diinvestasikan adalah sosial media dan juga struk belanjaan online maupun offline.”

Tim founder BagiData / BagiData
Tim founder BagiData / BagiData

Startup yang diinisiasi program inkubator Amoeba milik Telkom ini didirikan oleh tiga orang founder, yakni Ikhwan Reza (CEO), Risky Gelar Maliq (CMO), dan Dindin Zaenuddin (CTO). Ide pengembangkan BagiData berangkat dari keinginan para founder untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang nilai data.

“Data itu berharga dan pengguna internet berhak mendapatkan sesuatu dari data mereka, selama ini data pengguna internet di-mining mostly tanpa permission, tricky, dan diam-diam. Kami percaya setiap orang berhak mengontrol data mereka,” ujar Ikhwan.

Jaminan privasi dan perlindungan data

Bermain dengan data, maka masalah privasi dan keamanan menjadi hal yang krusial. Namun demikian tim BagiData meyakinkan bahwa mereka sangat ketat dalam urusan dengan keamanan dan privasi tersebut. Mereka menjelaskan bahwa metode yang digunakan tidak ada perpindahan data kepada pihak lain. Mitra hanya diberikan Engangement Tools untuk menyampaikan kampanye kepada pengguna yang mengizinkan datanya digunakan. Dari sana mitra hanya bisa melihat karakteristik dan jumlah orangnya saja, tanpa pernah tahu siapa orang yang disasar tersebut.

“Sewaktu-waktu jika diinginkan pengguna dapat memutuskan profil online mereka, yang berarti datanya tidak lagi dapat kami gunakan. Dapat dipastikan juga untuk kampanye selanjutnya mereka tidak akan mendapatkan promo apa pun, data yang sudah ditarik tidak akan digunakan. BagiData akan mengadopsi standar GDPR (General Data Protection Regulation) oleh Uni Eropa dalam menjaga keamanan data,” jelas Ikhwan.

Tampilan aplikasi BagiData dari sudut pandang pengguna
Tampilan aplikasi BagiData dari sudut pandang pengguna

Para perusahaan yang akan memanfaatkan data ini dapat membeli paket Engagement berdasarkan platform publikasi yang dipilih, yakni: WhatsApp, SMS, Email. Sedangkan kriteria pengguna dikategorikan dalam segmentasi tertentu mempelajari profil media sosial yang diinputkan oleh pengguna. Ikhwan juga menambahkan, selain dapat memanfaatkan basis data BagiData, perusahaan juga dapat mengunggah datanya sendiri untuk dikelola menggunakan dasbor Engagement Tools yang disediakan oleh BagiData.

Optimis dengan tren digital yang ada di Indonesia, tahun ini BagiData menargetkan mampu merangkul 100 ribu lebih pengguna.

Kemenkominfo Dukung Inisiasi Dana Ventura yang Didanai Konglomerat Nasional

Menkominfo Rudiantara menyampaikan dalam waktu enam bulan ke depan akan diluncurkan sebuah badan permodalan yang menghimpun dana dari konglomerat di Indonesia untuk berinvestasi di startup teknologi.

Rudiantara memaparkan, saat ini model pelayanan dan strukturnya tengah dibahas kementeriannya dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Kendati demikian belum diungkapkan berapa target besaran dana yang akan dihimpun.

Di Indonesia sendiri sudah berdiri beberapa modal ventura yang didukung oleh korporasi, misalnya Sinar Mas Digital Ventures (SMDV didukung Sinar Mas), GDP Venture (didukung Djarum Group), hingga Venturra Capital (didukung Lippo Group).

Modal ventura korporasi yang berjalan sendiri-sendiri dirasa masih tidak cukup. Dengan mengumpulkan investor konglomerat tersebut di satu wadah, diharapkan dapat menyatukan visi untuk menyuntik startup untuk pendanaan Seri A, B, C hingga “unicorn”.

Berbeda dengan Singapura dan Malaysia yang memiliki pendanaan modal ventura yang berasal dan dikelola negara, pemerintah melihat penghimpunan dana grup konglomerasi sebagai cara untuk mendukung pertumbuhan industri startup teknologi nasional.

Sinar Mas Group, sebagai salah satu raksasa konglomerasi Indonesia, menyatakan siap berkontribusi menyuntikkan pendanaan melalui perusahaan modal ventura tersebut.

Saat ini Indonesia telah memiliki empat startup teknologi yang dikategorikan “unicorn” atau memiliki nilai valuasi di atas $1 miliar. Mereka adalah Go-Jek, Traveloka, Tokopedia, dan Bukalapak.

MDI Ventures Leads Series C Funding Worth of 57 Billion Rupiah for Singapore’s E-commerce Enabler Anchanto

MDI Ventures leads the series C funding for Anchanto. The amount invested for the Singapore-based company was worth $4 million (or 57,5 billion Rupiah). Anchanto receives a Series B funding from Transcosmos Inc Japan and Luxasia Group in May 2017. Anchanto SaaS platform connects users, either corporate or SMEs, for over 70 online channels.

Anchanto is the SaaS developer for e-commerce technology. Its products include logistics management services, warehousing, catalogs, also multi-channel sales to help brands, retails, sellers, and distributors, in improving the e-commerce capabilities. Outside Singapore, Anchanto currently has representative offices in several countries, including Indonesia, Malaysia, Philippines, India, and Australia.

Anchanto was founded by Vaibhav Dabhade in June 2011 with a vision to improve e-commerce customers experience through software solution. With this Series C funding. the company expects to optimize investment for market expansion and tighten its position in SEA’s regional market.

“Collaboration with Telkom Indonesia and MDI investment is Anchanto’s basic strategy in Indonesia. Through this partnership, we aim to bring thousands of Indonesia’s SMEs and companies to join e-commerce potential,” Dabhade said.

Dabhade also mentioned about DELON (Online Logistics Depo), the logistics fulfillment service utilized by Telkom and POS Indonesia that’s running on top of Anchanto eWMS platform. Anchanto is expected to be a digital solution for sales channels, enabling entrepreneurs to scale up business in SEA’s largest e-commerce market.

“Telkom Group will use Anchanto technology to provide O2O solution integration and e-logistic, including capabibility for cross-border delivery, multi-location warehousing, enabling companies to reach global market using SelluSeller and eWMS,” Natal Iman Ginting, Managing Director of Metra Logistics (Telkom Indonesia’s Logistics Division), added.

SelluSeller is one of Anchanto’s unique product accessible for sellers and brands to provide the software solution for management inventory, order, and catalogs. The product is complementing other solution for B2B and B2C, namely eCommerce SaaS Warehouse Management System (eWMS) integrated with Management System (IMS) and Order Manaagement System (OMS).

Nicko Widjadja, CEO and Investment Director of MDI Ventures said, this investment will complete their end-to-end solution for the current e-commerce business in their portfolio, including to create a national e-commerce ecosystem. MDI was previously involved in funding for other e-commerce enabler funding, like aCommerce and Paket ID

“The investment compliments our efforts in the e-commerce sector, handling Indonesia’s unique logistic market segment with a different approach. Logistics technology has great potential to improve e-commerce landscape in Indonesia. As products become more diverse, e-commerce will need to optimize the supply chain for fast delivery to customers. eWMS Anchanto provides one of the best system to synchronize across warehousing, transportation, and analysis system,” Widjadja explained.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Startup SaaS Jurnal.id Telah Rangkul Lebih dari 80 Ribu Pengguna

Seiring makin banyak UKM yang mengoptimalkan proses bisnis dengan pendekatan digital, layanan produktivitas teknologi semakin diminati di pasar Indonesia. Tak terkecuali produk teknologi besutan startup lokal, salah satunya Jurnal.id. Dalam sebuah kesempatan temu media di Yogyakarta, COO Jurnal.id Anthony Kosasih menyampaikan bahwa layanan SaaS yang diusung saat ini sudah memiliki lebih dari 80 ribu pengguna, dengan total bisnis yang terdaftar melebihi 60 ribu unit dari berbagai wilayah di Indonesia.

Jurnal.id menyajikan ragam produk akuntansi digital yang didesain untuk menyederhanakan proses administrasi dan operasional bisnis. Dengan aplikasi tersebut bisnis (khususnya UKM) dapat dengan mudah mencatat pembiayaan, stok barang, membuat laporan, hingga menerbitkan faktur. Minat pengguna yang semakin tinggi juga membuat Jurnal.id terus melakukan inovasi produk. Dua yang terbaru ialah layanan “Jurnal Tax Center” dan “Budgeting”.

Jurnal Tax Center dirilis untuk mempermudah proses perhitungan dan persiapan pajak yang terintegrasi dengan Jurnal. Sehingga para UKM yang sudah mencatat alur kas dan pengeluaran biaya pegawai, dapat langsung memanfaatkan layanan tersebut untuk mengotomasi perhitungan pajak. Sedangkan fitur Budgeting dirilis sebagai financial control bagi para pengusaha, untuk mengelola perputaran arus kas yang terjadi pada bisnis.

“Dengan adanya perubahan peraturan pajak UMKM menjadi 0,5%, fokus membantu para pengusaha memenuhi kewajiban perpajakannya dengan solusi yang sangat mudah,” ujar Anthony.

Untuk tahun 2018, Anthony menyampaikan bahwa Jurnal.id akan menguatkan proses ekspansi ke seluruh kota besar di Indonesia. Salah satu pendekatan yang dilakukan ialah mengadakan pelatihan dan seminar bisnis secara gratis, memperkenalkan UKM dengan sistem bisnis berbasis teknologi.

Sebelumnya Jurnal.id juga merilis fitur Jurnal Pay bekerja sama dengan Xendit, yakni sebuah portal pembayaran yang dapat dimanfaatkan bisnis untuk transaksi melalui akun virtual. Fitur tersebut memungkinkan UKM melakukan dua hal sekaligus, menarik dana dari konsumen melalui mekanisme transfer bank dan kartu kredit, serta membantu UKM melakukan proses pembayaran secara terjadwal.

Application Information Will Show Up Here

Mendalami Masalah Utama Inklusi Finansial di Indonesia

Penetrasi layanan keuangan di Indonesia, terutama layanan perbankan, dinilai masih cukup rendah, jika dibandingkan dengan rasio penduduk Indonesia. Merujuk pada hasil riset OJK di tahun 2016 tentang literasi finansial, di Indonesia angkanya mencapai 29,6%. Sementara itu untuk indeks inklusi finansial mencapai 67,8% di tahun 2016. Pemerintah sendiri menargetkan minimal 79% di tahun 2019 mendatang.

Menurut Bank Dunia, inklusi finansial didefinisikan sebagai individu atau bisnis yang memiliki akses ke produk layanan keuangan untuk kebutuhan mereka, meliputi: transaksi, pembayaran, tabungan, kredit, dan asuransi yang disampaikan dengan cara bertanggung jawab dan berkelanjutan.

Secara umum banyak yang mengatakan bahwa kurang optimalnya persebaran layanan finansial di Indonesia disebabkan karena akses yang belum menjangkau secara penuh. Hal ini yang dianggap sebagai kesempatan banyak pemain fintech untuk menghadirkan layanan non-bank yang mengakomodasi kebutuhan transaksi masyarakat unbankable –seperti di desa-desa atau di wilayah pelosok. Namun pertanyaannya: apakah sepenuhnya karena akses saja?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, CXGO Consulting melakukan sebuah riset terpadu dan mempublikasikannya dalam laporan “Financial Inclusion: Is it truly about access?”.

Masalah akses

Berdasarkan data yang didapat OJK, mereka menyimpulkan bahwa ada dua hambatan inklusi finansial di Indonesia. Pertama ialah pada akses ke layanan atau produk finansial. Kemudian yang kedua pada produk finansial itu sendiri, belum mampu menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat (yang saat ini unbankable).

Beberapa program terus digencarkan untuk meningkatkan ketertarikan masyarakat pada layanan finansial. Bank Indonesia dan OJK memprioritaskan pada tiga aspek utama dalam programnya: keagenan, digitalisasi KYC (Know Your Customer — mengetahui apa yang sebenarnya dibutuhkan), dan melakukan penyesuaian produk perbankan.

Selain oleh institusi perbankan, menariknya tiga aspek tersebut ditangkap baik oleh para inovator teknologi. Startup fintech yang bermunculan mencoba memberikan layanan yang lebih fit dengan kebutuhan masyarakat unbankable. Saat ini ada tiga wilayah utama yang banyak disasar pemain fintech, yakni e-money & digital wallet, p2p lending, dan non-productive loan.

E-money dan digital wallet menghadirkan pada masyarakat proses transaksi non-tunai, umumnya secara digital dengan sistem yang didesain untuk meningkatkan kepercayaan konsumen. Pendekatan yang saat ini juga banyak dijadikan produk ialah Payment Point Online Banking (PPOB), dinilai sebagai aspek terdekat kebutuhan masyarakat. PPOB meliputi layanan pengisian pulsa, pembayaran listrik, layanan kesehatan dan lain-lain.

P2P (Peer-to-Peer) lending menghadirkan efek positif dengan sistem yang menyederhanakan proses pengajuan pinjaman. Sistem ini melibatkan dua pihak dari kalangan masyarakat, yakni peminjam dan pemberi pinjaman. Platform menjembatani dan memberikan prosedur. Salah satu manfaat yang saat ini sudah dirasakan ialah pinjaman yang dapat diberikan kepada peminjam dengan tingkat risiko yang lebih tinggi, termasuk dari kalangan pelaku UMKM.

Gambaran masyarakat unbankable di Indonesia

Survei CXGO Consulting menanyakan langsung kepada masyarakat dan menemukan beberapa realitas tentang tanggapan penggunaan layanan keuangan perbankan. Seperti salah satunya diungkapkan oleh Daenuri (25) yang bekerja sebagai petugas keamanan. Alasan utama ia membuka rekening bank ialah untuk menampung gaji bulanan. Secara personal, ia tidak pernah dan tidak nyaman menggunakan layanan perbankan. Bahkan jika diperbolehkan ia akan memilih mendapatkan pembayaran gaji secara tunai.

Dua responden lain yang diwawancara secara langsung, Lila (24) dari Ciledug dan Rofiq (28) dari Jakarta Timur, mengungkapkan tidak pernah menggunakan layanan perbankan karena tidak membutuhkan. Keduanya juga lebih memprioritaskan penuntasan kebutuhan secara tunai. Hal menarik yang diungkapkan justru pada kekhawatiran soal biaya layanan perbankan itu sendiri, yang harus memotong saldo yang ada secara bulanan.

Secara umum wawancara langsung terhadap masyarakat yang masuk dalam kategori unbankable menghasilkan pola berikut ini:

Gambar 1

Terhadap layanan perbankan, persepsi dan pemahaman mereka khususnya tentang layanan pinjaman terganjal pada beberapa hal, meliputi isu kepercayaan, biaya operasional, dan proses adopsi. Solusinya mereka membutuhkan beberapa hal:

  • Informasi yang lebih jelas tentang biaya bulanan dan minimal tabungan yang harus ada dalam rekening.
  • Dapat diperiksa kapan saja dan dari mana saja.
  • Dapat menyimpan dan mengambil uang dengan jumlah kecil, di bawah 50 ribu Rupiah.
  • Proses pendaftaran yang mudah dengan biaya bulanan yang kecil.

Kemudian untuk layanan peminjaman persepsi negatif mereka terdapat pada beberapa hal, yakni isu relevansi, tenor dan sistem pembayaran, dan proses penagihan. Mereka merasa tidak memenuhi kriteria untuk mengajukan peminjaman di bank, selain beranggapan bahwa bunga yang dibebankan terlalu besar. Persepsi lain soal debt-collector, yang dianggap akan selalu menghantui dan melakukan penagihan secara paksa. Beberapa solusi yang dibutuhkan meliputi:

  • Pinjaman dengan jumlah, tenor, dan sistem pembayaran yang bisa disesuaikan.
  • Proses yang mudah dan cepat.
  • Jaminan fleksibel (atau tanpa jaminan). Garansi dan verifikasi berdasarkan pengakuan sosial dan masyarakat.

Pendekatan yang dapat dilakukan

Berdasarkan temuan yang ada, terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan. Pertama harus dipahami, kendati mereka tidak akrab dengan layanan perbankan, tidak semata-mata buta dengan kemajuan digital. Penggunaan ponsel pintar sudah sangat erat di masyarakat, sehingga produk finansial sebenarnya bisa mengoptimalkan kultur tersebut untuk menciptakan layanan yang lebih sederhana dan praktis. Dengan transparansi, isu kepercayaan harusnya dapat diselesaikan. Pengguna sebenarnya hanya membutuhkan detail yang sederhana tentang informasi uang yang disimpan.

Dengan rendahnya aspek literasi di kalangan unbankable, menantang para penyedia layanan untuk menghadirkan solusi tepat guna yang mudah “dibaca”. Model keagenan yang melibatkan langsung masyarakat sebagai pengganti unit perbankan akan sangat membantu proses sosialisasi dan adopsi. Institusi non-formal seperti pemain fintech juga akan berpengaruh besar di sini, sehingga dibutuhkan integrasi dan kerja sama untuk antar pemain finansial untuk jangkauan pasar yang lebih menyeluruh.

Unduh laporan CXGO Consulting tentang inklusi finansial masyarakat Indonesia secara gratis melalui tautan ini:


Disclosure: artikel ini adalah hasil kemitraan DailySocial dan CXGO Consulting

Strategi Investasi MDI Ventures untuk Startup Asing

Hari ini (04/7) MDI Ventures mengumumkan pendanaannya untuk startup pengembang platform manajemen e-commerce asal Singapura, Anchanto. Pendanaan ini sekaligus menambah panjang daftar perusahaan luar yang diinvestasi melalui perusahaan modal ventura Telkom Group ini. Sejak Januari 2018, DailySocial memberitakan sudah ada 5 perusahaan asing yang mendapatkan suntikan dana melalui MDI Ventures, termasuk di antaranya Postr (Selandia Baru), Whispr (Australia), Intelligence Element (Amerika Serikat), dan Roambee (California).

Untuk memindai bagaimana strategi apa di balik sepak terjang tersebut, kami mewawancara CEO & Investment Director MDI Ventures, Nicko Widjaja. Mengawali perbincangan Nicko menjelaskan soal misi strategis pendanaan yang ditujukan pada startup luar. Ia menegaskan bahwa seluruh startup yang diinvestasi akan membuka bisnisnya di Indonesia, sekaligus memperkuat ekosistem Telkom Group di berbagai lini bisnis. Misalnya, yang terbaru, Anchanto akan bersinergi dengan Metra Logistics.

Namun di luar sana banyak yang melihat bahwa MDI Ventures erat kaitannya dengan pendanaan startup lokal. Hal tersebut dikarenakan Telkom sendiri cukup serius dalam memberdayakan startup di Indonesia melalui program-programnya. Terkait dengan ekosistem startup lokal Nicko menjelaskan bahwa ada pola sinergi yang dapat diterapkan, untuk scaling up dan product localization.

“Biasanya startup lokal di dalam portofolio kami bekerja sama dengan portofolio luar, dan tidak menutup kemungkinan portofolio luar kami melakukan investasi juga kepada startup lokal tersebut. Contohnya salah satu portofolio IoT kami telah memiliki pangsa pasar di 9 negara. Di Indonesia mereka melihat salah satu startup IoT lokal yang diinvestasi oleh MDI Ventures mengerti sekali kondisi Indonesia. Biasanya kami pertemukan agar bersinergi. Selain transfer pengetahuan dan teknologi yang terjadi adalah startup IoT luar mendapatkan kearifan lokal dari startup IoT lokal, dan sebaliknya startup IoT lokal dibawa scaling oleh startup IoT luar,” terang Nicko.

Kriteria yang ditekankan

Kendati kebanyakan startup luar yang diinvestasi memiliki model bisnis B2B, Nicko memaparkan tidak menutup kemungkinan untuk model bisnis lain, misal B2B2C atau B2G sekalipun. Jurtru ia menekankan bahwa lanskap deep-tech yang menjadi prioritas ke depannya, termasuk untuk kategori digital enterprise, AI/deep learning, IoT, big data dan sebagainya. Penguatan ekosistem startup non e-commerce dan fintech mulai menjadi perhatian MDI Ventures.

Terkait kriteria startup, MDI Ventures menyaratkan pada dua aspek utama. Pertama ialah fundamental keuangan yang solid. Lalu yang kedua, bisnis startup tersebut harus dapat bersinergi dengan unit yang terdapat dalam Telkom Group.

“Bagaimanapun kami tidak akan se-fleksibel investor lain yang kriterianya lebih dominan kepada sesuatu yang ‘intangible’ (misalnya: founder, ide, dsb). Fundamental keuangan harus solid, ini yang telah kami pelajar selama 4 tahun terakhir: cash-poor startup only result in poor collaboration. Karena akhirnya mereka hanya menjadi ‘vendor’ bukan ‘founder’. Kami lebih memilih startup menggarap new market opportunity daripada mengerjakan proyek-proyek yang sifatnya vendoring,” jelas Nicko.

Terlepas dari investasinya terhadap startup luar, MDI Ventures juga berkomitmen akan terus menggelontorkan investasi besar di Indonesia. Tahun ini dipastikan akan melanjutkan investasi ke startup lokal, bahkan dengan porsi yang lebih besar.

Lanskap E-commerce di Indonesia dari Perspektif Konsumen

Laporan terbaru eIQ bertajuk “Uncovering the Value of Indonesia’s Top Online Platforms” mencoba menggambarkan kondisi terkini dari lanskap e-commerce dan online marketplace di Indonesia. Mengawali laporannya, ecommerceIQ mendaftar 6 platform teratas, didasarkan pada tingkat frekuensi kunjungan dan peringkat aplikasi di Play Store.

Gambar 1

Memvalidasi popularitas keenam pemain di atas, survei menanyakan kepada 1240 responden penikmat online shopping seputar beberapa faktor penilaian terhadap platform belanja online, mulai dari reputasi, perbandingan harga, hingga layanan logistik.

Gambar 2

Dari temuan tersebut maka dapat dipetakan pola-pola yang menjadi karakteristik masing-masing penyedia layanan.

(1) Kategori C2C dan B2C semakin melebur

Daftar 6 pemain teratas kebetulan memiliki porsi yang imbang antara kategori C2C (Consumer-to-Consumer): Bukalapak, Shopee, Tokopedia; dan B2C (Business-to-Consumer): Blibli, Jd.id, Lazada. Dari penilaian reputasi, masing-masing memiliki angka yang cukup berimbang, Blibli dan Tokopedia mendapati angka tertinggi. Penilaian terhadap reputasi umumnya didasarkan pada kepercayaan konsumen yang terbentuk dari beberapa faktor, di antaranya jaminan produk, kualitas layanan, hingga efektivitas sistem yang disajikan.

JD.id dan Shopee adalah pemain yang paling baru, keduanya memiliki cara berbeda untuk berbaur dalam persaingan dengan top-players yang ada. Shopee misalnya, dengan nilai investasi besar yang didapat dari perusahaan induk –Sea (dulunya Garena)—mereka memanjakan konsumen dengan beragam diskon produk. Dari tabel penilaian di atas, Shopee memiliki peringkat teratas dalam urusan produk murah dan biaya pengiriman gratis. Sedangkan JD.id menguatkan brand dengan jaminan produk jualannya asli.

Meleburnya kategori C2B dan B2C juga ditengarai hadirnya “Official Store” di online marketplace –sebagai contoh brand tertentu memiliki tempat khusus di Bukalapak untuk menjual produk dari distributor resminya. Implikasinya justru menguatkan SKU produk yang dimiliki C2C, hal tersebut sekaligus tervalidasi dalam penilaian kelengkapan produk dengan persentase tertinggi didapat oleh Tokopedia.

Namun demikian salah satu keuntungan yang dapat dioptimalkan oleh para pemain B2C ialah seputar pengalaman pelanggan. Beberapa aspek yang mulai dieksplorasi misalnya menekankan pada kualitas produk, peningkatan layanan logistik –misalnya Lazada mengakomodasi layanan eLogistics secara mandiri atau bekerja sama dengan layanan on-demand untuk one-day-delivery, opsi pembayaran yang lebih beragam –memungkinkan adanya mekanisme seperti cash-on-delivery.

Gambar 3

(2) Produk elektronik dan fesyen menjadi komoditas utama

Persentase tertinggi yang dihimpun dari responden survei menyatakan produk elektronik dan fesyen menjadi komoditas yang paling banyak. Dua kategori produk tersebut hampir merata kuat di platform e-commerce yang ada di Indonesia. Menyusul namun belum begitu signifikan ialah bahan kebutuhan sehari-hari.

Gambar 4

Untuk kategori fesyen, Shopee menjadi pemimpin. Yang menarik justru di kategori elektronik, layanan B2C lebih tinggi persentasenya –dalam hal ini Bukalapak dan Tokopedia. Sebelumnya banyak yang mengasumsikan secara kasat mata bahwa untuk pembelian barang-barang elektronik tendensi orang akan memilih produk B2C untuk jaminan kualitas. Blibli dan JD.id idealnya dapat mengeksplorasi lebih mendalam untuk kategori kebutuhan sehari-hari. Tren pembelian produk tersebut meningkat melalui e-commerce lantaran dukungan berbagai faktor, termasuk yang paling signifikan ialah logistik.

Tak kalah penting soal rata-rata pengeluaran untuk berbelanja secara online. Sebagian besar responden menjawab di angka Rp100.000 hingga Rp500.000. Mengindikasikan persentase terbesar komoditas produk yang paling sering dibeli dengan rentang harga tersebut –sehingga jika dihubungkan dengan data sebelumnya kategori fesyen paling masuk akal menjadi komoditas terbesar e-commerce di Indonesia saat ini.

Gambar 5

(3) Logistik masih menjadi isu utama efektivitas e-commerce

Terdapat beberapa hal yang dikeluhkan oleh responden saat menggunakan platform e-commerce. Pertama soal waktu pengiriman yang sering kali lama. Sebenarnya untuk proses pengiriman tidak sepenuhnya dikontrol oleh penyedia platform e-commerce, melainkan pihak ketiga yang dipilih konsumen. Hanya saja mau tidak mau logistik memang menjadi salah satu dari bagian sistem terpenting dari jual beli online. Isu lain cukup merata, hanya saja ada permasalahan tentang pengalaman pengguna untuk platform Bukalapak dan permasalahan harga barang yang terlampau mahal di Blibli –dengan persentase tertinggi.

Gambar 6

Kematangan dalam menggunakan layanan belanja online justru terlihat pada data di atas. Proses pembayaran tidak lagi menjadi isu yang signifikan di setiap platform yang ada. Persentase terbesar masih berada pada opsi transfer bank. Namun yang menarik opsi COD cukup mencolok untuk JD.id dan Lazada, lantaran keduanya memang memberikan opsi tersebut.

Gambar 7

(4) Tren penggunaan e-commerce berdasarkan gender

Beda jenis kelamin umumnya akan memiliki kecenderungan yang berbeda. Hal tersebut turut ditunjukkan pada opsi yang diberikan responden dalam pemilihan layanan e-commerce. Grafik di bawah ini menggambarkan perbandingan untuk peminat di masing-masing platform berdasarkan gender.

Gambar 8

Data di atas tentu didukung dengan ulasan selanjutnya, yakni soal kebutuhan yang banyak dicari. Shopee lebih banyak digunakan oleh pengguna perempuan, hal tersebut berkorelasi dengan kategori produk yang banyak dicari perempuan ialah seputar kecantikan. Sementara untuk produk kebutuhan sehari-hari pengguna laki-laki yang lebih banyak memiliki kecenderungan untuk melakukan pembelian secara online.

Grafik kategori di atas cukup relevan dengan pengalaman belanja yang diharapkan. Contohnya otomotif, didominasi oleh konsumen perempuan, pasalnya konsumen laki-laki memiliki kecenderungan lebih suka memanjakan diri  dengan produk otomotif secara langsung di bengkel, dan sebagainya.

Informasi lebih lanjut tentang cara mendapat laporan lengkapnya bisa diperoleh di sini:



Disclosure: artikel ini adalah hasil kemitraan DailySocial dan eIQ

MDI Ventures Pimpin Pendanaan Seri C 57 Miliar Rupiah untuk “E-commerce Enabler” Singapura Anchanto

MDI Ventures memimpin pendanaan Seri C untuk Anchanto. Investasi yang digelontorkan untuk perusahaan berbasis Singapura tersebut sebesar $4 juta (atau setara 57.5 miliar Rupiah). Anchanto menerima pendanaan seri B dari Transcosmos Inc Japan dan Luxasia Group pada Mei 2017 lalu. Platform SaaS Anchanto menghubungkan pengguna, baik korporasi atau UKM, ke lebih dari 70 saluran penjualan online.

Anchanto merupakan pengembang SaaS untuk teknologi e-commerce. Produknya meliputi layanan manajemen logistik, pergudangan, katalog hingga sistem penjualan multi-kanal untuk membantu brand, ritel, penjual, hingga distributor meningkatkan kemampuan e-commerce. Selain di Singapura, Anchanto saat ini sudah memiliki kantor perwakilan di beberapa negara, termasuk Indonesia, Malaysia, Filipina, India dan Australia.

Anchanto didirikan oleh Vaibhav Dabhade pada Juni 2011 lalu dengan visi untuk meningkatkan pengalaman pelanggan e-commerce melalui solusi perangkat lunak. Dengan pendanaan seri C yang didapat, pihaknya berharap dapat mengoptimalkan investasi untuk memperluas jangkauan pasar dan menguatkan posisinya di pasar regional Asia Tenggara.

“Kolaborasi dengan Telkom Indonesia dan investasi MDI adalah dasar dari strategi Anchanto di Indonesia. Melalui kerja sama ini, kami memiliki tujuan menghadirkan kepada ribuan UKM dan perusahaan di Indonesia untuk bergabung dalam potensi e-commerce,” ujar Founder dan CEO Anchanto Vaibhav Dabhade.

Vaibhav juga menyinggung soal DELON (Depo Logistik Online), layanan fulfillment logistik yang diusung Telkom dan POS Indonesia, yang berjalan di atas platform Anchanto eWMS. Adanya Anchanto diharapkan menjadi pelengkap solusi digital untuk saluran penjualan, sehingga dapat memberdayakan pengusaha untuk meningkatkan skala bisnis di pasar e-commerce terbesar di Asia Tenggara.

“Telkom Group akan menggunakan teknologi Anchanto untuk menyediakan integrasi solusi O2O dan kemampuan e-logistik, termasuk di dalamnya kemampuan pengiriman lintas batas, pergudangan multi-lokasi, sehingga memungkinkan perusahaan memungkinkan untuk menjangkau pasar global, melalui SelluSeller dan eWMS,” sambut Managing Director of Metra Logistics (Divisi Logistik Telkom Indonesia) Natal Iman Ginting.

SelluSeller adalah salah satu produk khas Anchanto yang diakses penjual dan brand untuk menyediakan solusi perangkat lunak pengelola inventaris, pemesanan, dan katalog. Produk tersebut melengkapi solusi lain untuk B2B dan B2C, yakni eCommerce SaaS Warehouse Management System (eWMS) yang terintegrasi dengan Management System (IMS) dan Order Management System (OMS).

CEO dan Investment Director MDI Ventures Nicko Widjaja menyebutkan, investasi ini akan melengkapi solusi end-to-end untuk bisnis e-commerce yang saat ini ada di portofolio mereka, termasuk untuk membedayakan ekosistem e-commerce nasional. MDI sebelumnya juga terlibat pada pendanaan di e-commerce enabler lain, yakni aCommerce dan Paket ID.

“Investasi ini melengkapi upaya kami di sektor e-commerce, menangani segmen pasar logistik Indonesia yang unik dengan pendekatan berbeda. Teknologi logistik memiliki potensi besar untuk meningkatkan lanskap e-commerce di Indonesia. Ketika produk menjadi lebih beragam, e-commerce akan perlu mengoptimalkan rantai pasokan untuk disampaikan secepat mungkin kepada pelanggan. eWMS Anchanto menyediakan salah satu sistem terbaik untuk melakukan sinkronisasi di seluruh manajemen pergudangan, transportasi, dan sistem analisis,” terang Nicko.

Bagaimana Startup Menyikapi Pasar yang Riuh dan Inovasi Berkelanjutan

Selain sesi pameran untuk startup, Echelon Asia Summit juga menyajikan banyak sekali sesi diskusi dan presentasi yang dikemas dalam sesi Future Stage, Founder Stage, dan Create Stage. Pemateri dan panelis dari kalangan startup, pengusaha, investor, hingga pengambil kebijakan dihadirkan untuk membahas topik terkini seputar gejolak bisnis digital. Di antara banyak sesi, salah satu yang paling menarik untuk disimak adalah cerita pengalaman founder startup kala menjalankan bisnis dan mencapai titik prestasinya.

Berikut ini adalah beberapa rangkuman hasil pemaparan pengalaman para pelaku industri startup di Asia yang menarik dijadikan sebagai tips menjalankan bisnis digital.

Keunikan di tengah pasar yang riuh

Managing Director WeWork SEA Turochas Fuad dan Co-Founder & CEO e27 Mohan Belani dalam salah satu sesi di Founder Stage Echelon
Managing Director WeWork SEA Turochas Fuad dan Co-Founder & CEO e27 Mohan Belani dalam salah satu sesi di Founder Stage Echelon

Dari Founder Stage hadir pemateri Turochas Fuad selaku Managing Director WeWork SEA. Dipandu Co-Founder & CEO e27 Mohan Belani, ia menceritakan pengalamannya saat mendirikan tiga startup dan berhasil membawa ketiganya “exit” diakuisisi pemain besar. Sebagai informasi, Fuad pernah mendirikan WUF Network, Travelmob, dan Spacemob.

Pertama ia menceritakan tentang Spacemob, startup coworking space tersebut pada bulan Agustus 2017 lalu diakuisisi oleh WeWork. Disadari bahwa bisnis coworking space sudah sangat ramai di dunia, namun sebagai pengusaha ia menekankan bahwa cara pandang pebisnis bukan menghindari produk yang ramai di pasaran, melainkan membuat nilai unik di antara pemain yang ada.

“Tentu ingat, ketika kedai Starbucks pertama melakukan ekspansi, di berbagai negara ada banyak kedai kopi bagus. Pun demikian dengan Tesla, dia bukan pengembang mobil listrik pertama di dunia. Namun mereka berhasil, ini bukan tentang kesamaan, namun justru menekankan pada keunikan yang membuat orang-orang tertarik,” ujar Fuad.

Menariknya Fuad justru menekankan bahwa seorang founder jangan pernah terburu-buru untuk memiliki pikiran melakukan “exit. Di alam bawah sadarnya harus mengedepankan pada pengembangan bisnis yang berkelanjutan. Strategi “exit” menjadi bonus ketika startup yang didirikan sudah mencapai titik keberhasilan dan memerlukan amunisi tambahan untuk berkembang lebih lebar. Bagi Fuad, untuk melakukan semua itu startup harus memiliki dua komponen kunci: tim yang kuat dan kultur bisnis yang hemat.

“Jika saya harus kembali membangun startup yang sekarang sudah diakuisisi, maka hal yang paling saya tekankan adalah perekrutan dan pemilihan orang yang tepat. Untuk melakukan perekrutan bahkan saya rela untuk meluangkan waktu lebih, untuk menemukan orang yang benar-benar sesuai,” tambah Fuad.

Eksekusi tepat pada setiap ide inovasi

CEO PropertyGuru Group Hari Krishnan dan Michael I. Waitze dalam sebuah sesi di Future Stage
CEO PropertyGuru Group Hari Krishnan dan Michael I. Waitze dalam sebuah sesi di Future Stage

Di sudut lain dalam Future Stage hadir CEO PropertyGuru Group Hari Krishnan. Sesinya dipandu oleh Michael I. Waitze. Judul diskusi yang diangkat ialah menelisik bagaimana PropertyGuru akan berkembang di masa mendatang. Maka perbincangan di awal ialah soal inovasi startup. Menurut Hari banyak founder mengatakan bahwa inovasi sebagai bumbu utama untuk bertahan, pun ketika tidak memiliki permodalan dan tim yang besar. Sayangnya di era internet seperti saat ini, bisnis dituntut pada target pertumbuhan dan ekspansi pasar yang lebih besar.

“Inovasi tidak akan berarti apa-apa tanpa eksekusi yang tepat. Saat startup mencapai titik tertentu, founder akan selalu berpikir tentang cara melakukan peningkatan. Di sini berbagai kompleksitas akan ditemkan, maka letak inovasi adalah di sini, founder akan melakukan apa pun untuk mencapai target tersebut,” jelas Hari.

Berkaca pada bisnis yang dijalaninya saat ini di bidang properti, Hari menjelaskan bahwa setiap inovasi akan memiliki aktor. Mungkin saja founder muda akan banyak disorot dengan ide-ide yang diusungnya, namun di balik itu akan selalu dibutuhkan sosok senior yang benar-benar berperan menjalankan eksekusi. Industri properti bukan bidang baru, walaupun mencoba menghadirkan disrupsi dengan teknologi, namun di sana ada aspek fundamental yang perlu digarap.