MileApp Kini Terpisah dari Paket.id, Fokus Garap Platform SaaS Logistik

Setelah mengantongi pendanaan awal dari MDI dan BonAngels, tahun ini platform B2B SaaS untuk logistik MileApp berencana kembali melakukan penggalangan dana tahapan pra seri A. Masih dalam proses penjajakan, kepada DailySocial CEO MileApp Dika Maheswara enggan menyebutkan lebih lanjut kapan finaliasi pendanaan baru tersebut.

Mengedepankan teknologi pada navigasi dan adaptive workforce management, platform MileApp saat ini telah digunakan di seluruh Indonesia dengan jumlah pengguna aktif bulanan di atas 17 ribu. Beberapa nama besar yang sudah memakai MileApp di Indonesia termasuk JNE, Sosro, Mitsubishi, hingga Sayurbox. Selain di Indonesia, MileApp juga mempunyai pengguna di Australia.

Meskipun layanan logistik sudah cukup familiar di Indonesia, namun faktanya hingga kini masih banyak tantangan yang dihadapi oleh platform yang menyasar sektor tersebut.

“Karena MileApp mendigitalkan banyak proses di lapangan, hampir selalu membutuhkan waktu untuk mengimplementasikan platformnya secara end to end di sebuah perusahaan, dan perusahaan juga memerlukan change management yang kuat agar bisa beralih ke era digital meninggalkan kertas dan Excel,” kata Dika.

MileApp di awal adalah bagian dari Paket.id, yang merupakan platform untuk kurir pickup dan delivery. Saat ini akhirnya dibuat menjadi standalone platform karena berbeda model bisnis dengan Paket.id yang lebih fokus kepada B2B dan B2C. Hingga saat ini Paket.id tetap tumbuh dan saat ini juga sedang membangun jaringan logistik dengan klien klien MileApp.

Pandemi sempat menghambat bisnis

Secara khusus MileApp menjamin proses pengiriman secara cepat dengan pelacakan lokasi produk yang akurat, guna memenuhi permintaan pelanggan saat ini yang jumlahnya makin meningkat. Disinggung apakah pandemi mempengaruhi bisnis dari MileApp, Dika mengklaim meskipun sempat mengalami kendala namun tidak mempengaruhi bisnis.

“Di masa pandemi karena kebutuhan logistik yang meningkat meskipun sempat menghambat laju ekspansi di 6 bulan terakhir. Tetapi hal tersebut untungnya di offset dengan beberapa klien yang sudah ada kami yang malah tumbuh. Pandemi ini juga mendorong banyak perusahaan untuk mengefisienkan proses bisnis mereka di lapangan yang menjadi solusi dari MileApp,” kata Dika.

Selain solusi workforce management ini, MileApp juga melayani proses logistik end-to-end dengan berbagai modul seperti Warehouse Management Solution. MileApp mempunyai fleksibilitas yang tinggi untuk mengikuti alur bisnis proses sebuah perusahaan yang notabene tidak pernah sama 100% dengan bisnis serupa lainnya yang telah hadir di Indonesia. Selain itu MileApp mempunyai beragam modul untuk memastikan proses end to end di sebuah perusahaan bisa di-cover.

“Tahun ini ada dua sektor industri yang menjadi fokus kami. Sebagai platform B2B model bisnisnya adalah, dari jumlah pengguna aktif di sebuah organisasi per bulan, kami mengenakan biaya mulai dari Rp 149.000 untuk setiap pengguna per bulan,” kata Dika.

Aplikasi Pencatat Utang CrediBook Terima Pendanaan, Lakukan Sinergi dengan Payfazz

Diluncurkan pada bulan Febuari 2020 lalu, aplikasi pencatat utang digital CrediBook saat ini telah telah digunakan oleh lebih dari 200 ribu pengguna. Kepada DailySocial Co-Founder & CEO CrediBook Gabriel Frans menyebutkan, saat ini layanannya sudah tersebar di seluruh Indonesia, bahkan lebih dari 50% pengguna berada di kota tier 2 dan 3.

Mengklaim berbeda dengan platform serupa lainnya, CrediBook tidak hanya melakukan pencatatan, namun juga terkoneksi antarpengguna secara dua arah. Dalam hal ini CrediBook menempatkan platform mereka seperti aplikasi pesan, dengan konsep komunikasi debit-kredit. CrediBook juga mampu melakukan pembayaran tagihan langsung di dalam aplikasi, sehingga mampu mengurangi proses pencatatan dan konfirmasi manual.

“Kami membuat ekosistem di mana pembeli, penjual (termasuk UKM), bahkan distributor dan wholesaler dapat terkoneksi dalam satu platform pencatatan. Strategi monetisasi sekarang adalah melalui pembayaran yang ada di dalam CrediBook. Selain itu, kami juga memberikan akses kepada pengguna untuk bisa mengajukan pinjaman modal untuk memperbesar bisnis mereka,” kata Gabriel.

Meskipun mengalami pertumbuhan yang positif bahkan selama pandemi, namun hingga saat ini CrediBook masih menemui beberapa kendala saat menjalankan bisnis. Di antaranya adalah literasi teknologi hingga transisi yang seamless dari pencatatan tradisional ke penggunaan aplikasi.

“Pengalaman saya dan COO saya Chris di Kudo dan Payfazz, membuat kami benar-benar mengerti perilaku pengguna kami. CrediBook menjawab tantangan ini dengan terus mendengarkan pengguna kami dan melakukan peningkatan di produk kami secara terus menerus,” kata Gabriel.

Kerja sama strategis dengan PayFazz

Setelah mengantongi pendanaan tahap awal dari Insignia Ventures Partners dan Payfazz, CrediBook memiliki beberapa target yang ingin dicapai. Di antaranya adalah mengembangkan produk dengan menambahkan fitur-fitur baru yang relevan dan membantu menyelesaikan masalah, seperti infrastruktur produk-produk keuangan dari Payfazz seperti transfer, pinjaman, pulsa, dan rekening yang dapat memberikan value untuk merchant CrediBook.

“Melalui kerja sama strategis ini ada dua sasaran yang ingin dicapai oleh Payfazz. Yaitu mendistribusikan produk-produk keuangan seperti pulsa, transfer, pinjaman, rekening ke merchant CrediBook yang di luar warung. Selain itu kami ingin melakukan integrasi fitur debt recording CrediBook sebagai use case tambahan untuk 250 ribu agen/warung di platform Payfazz,” kata CEO Payfazz Hendra Kwik.

Selama pandemi tidak ada perubahan yang berarti dalam bisnis CrediBook. Perusahaan mencatat saat ini perusahaan mengalami pertumbuhan bisnis yang sangat pesat. Dengan menargetkan 60 juta bisnis untuk menggunakan platform CrediBook untuk pencatatan keuangan digital mereka.

Application Information Will Show Up Here

Strategi Meningkatkan Penjualan Produk Fesyen Saat Pandemi

Menurut survei yang dilakukan Nielsen, fokus konsumen di tengah pandemi adalah kebutuhan primer, termasuk makanan, kesehatan, dan kebersihan. Fokus pembelian yang mulai shifting dan membuat konsumsi fesyen menurun menjadi salah satu alasan kenapa Sorabel menutup bisnisnya.

DailySocial mencoba mempelajari lebih lanjut seperti apa tren dan minat masyarakat Indonesia terhadap produk pakaian dan aksesoris di layanan e-commerce, marketplace, dan para pelaku UKM di masa pandemi ini.

Pergeseran fokus pembelian

Koleksi pakaiam mulism "Kami"
Koleksi pakaian muslim brand “Kami”

Salah satu pengusaha yang merasakan perubahan tersebut adalah Co-Founder “Kami” Istafiana Candarini. Didirikan pada tahun 2009 lalu, Kami merupakan produk modest fashion yang diperuntukkan bagi wanita Indonesia. Memiliki sekitar 15 butik yang tersebar beberapa kota di Indonesia, saat pandemi mulai menyebar perusahaan fokus melancarkan strategi baru, memanfaatkan penjualan secara online.

“Penjualan produk Kami sedikit mengalami penurunan di awal pandemi (April 2020 compare to April 2019) turun 6%, namun di bulan Mei penurunan cukup terasa yakni turun sebesar 38% dibandingkan Mei tahun sebelumnya. Hal ini karena adanya aturan PSBB sehingga pengiriman material dan pengerjaan oleh tim produksi mengalami hambatan,” kata Istafiana.

Ia melanjutkan, “Namun demikian kami cukup beruntung karena demand dari pelanggan masih cukup besar jumlahnya. Untuk metode berbelanja memang mengalami perpindahan karena cenderung berbelanja secara online. Seluruh cabang Kami membuka penjualan secara online (via WhatsApp) dan rutin melakukan Live Shopping di akun Instagram untuk memberitahukan stok barang yang tersedia di masing-masing butik.”

Pergeseran konsumsi pelanggan juga terjadi secara online. Kepada DailySocial, Head of Category Development Tokopedia Falah Fakhriyah mengungkapkan, selama pandemi masyarakat lebih banyak mencari  produk fesyen yang lebih sesuai dipakai selama beraktivitas di rumah. Celana pendek, kaos, dan celana dalam misalnya, merupakan beberapa produk fesyen yang paling dicari masyarakat di tengah pandemi.

“Tokopedia terus fokus membantu sebanyak-banyaknya masyarakat Indonesia, khususnya UKM lokal, mendapatkan panggung untuk menciptakan peluang daring dan memastikan masyarakat dapat memenuhi kebutuhan tanpa harus keluar rumah sekaligus mendorong pemulihan ekonomi Indonesia yang terdampak pandemi, melalui kampanye #JagaEkonomiIndonesia,” kata Falah.

Tidak berbeda dengan Tokopedia, Shopee juga melihat adanya perubahan pola perilaku dan gaya hidup masyarakat selama pandemi.

“Kami melihat kategori [fesyen dan gaya hidup] ini secara spesifik punya ruang gerak yang cukup luas untuk dapat disesuaikan di platform kami. Beberapa contoh yang kami lihat salah satunya adalah dengan menjual masker kain sebagai alternatif produk selama pandemi atau menggunakan momentum untuk membantu menaikkan penjualan mereka,” kata juru bicara Shopee Indonesia.

Sementara platform fashion commerce, seperti Zalora, memanfaatkan data yang ada, mencoba meminimalisir penurunan tersebut. Perusahaan melihat adanya penurunan pembelian pakaian sehari-hari dan pakaian kantor, tetapi peningkatan pada pakaian olahraga dan pakaian santai.

“Kami juga telah meluncurkan TRENDER, platform data internal kami sendiri, untuk memberi mitra akses ke data, termasuk pemahaman mendalam tentang wawasan konsumen, segmentasi geografis, perilaku pembelian, kecerdasan desain, bermacam-macam, dan wawasan harga. Di masa-masa sulit seperti ini, kami berharap dapat membantu brand merampingkan proses dalam menavigasi tantangan yang dihadapi dan pada akhirnya, terus tampil lebih kuat dari krisis,” kata Director Corporate Communication Zalora Christopher Daguimol.

Traksi pasca Lebaran

Meskipun di awal pandemi terjadi penurunan penjualan produk fesyen, saat Ramadan dan Lebaran masing-masing platform mengklaim adanya peningkatan pembelian.

“Sejak bulan Ramadan tahun ini hingga saat ini, kami memang mencatat adanya kenaikan penjualan di beberapa segmen produk kami, termasuk juga di segmen fashion pria, wanita dan anak yang naik cukup signifikan,” kata VP Merchant Operations Bukalapak Kurnia Rosyada.

Sementara di Tokopedia, brand muslim lokal Nadjani merupakan salah satu penjual di Tokopedia yang memutuskan merombak koleksi pakaian Ramadan yang kurang laku akibat PSBB menjadi celemek dan mukena agar lebih relevan dengan masyarakat yang lebih banyak beraktivitas di rumah.

“Pada Kampanye Big Ramadhan Sale yang lalu di Shopee, pakaian muslim menjadi salah satu kategori yang mengalami sebanyak 4 kali pada puncak kampanye dibandingkan hari biasa,” kata juru bicara Shopee Indonesia.

Sementara bagi brand lokal seperti Kami, pada bulan Ramadan tahun ini terpaksa harus melakukan modifikasi peluncuran koleksi pakaian. Awalnya perusahaan menargetkan meluncurkan 3-4 koleksi Lebaran, namun tahun ini hanya mengeluarkan 1 koleksi di awal Ramadan dan 1 koleksi Hari Raya.

“Pada bulan Juni penjualan Kami turun 19% dibandingkan Juni 2019, namun hingga saat ini alhamdulillah penjualan Kami sudah berangsur naik,” kata Istafiana.

Strategi bisnis selama pandemi

Untuk tetap bertahan dan meningkatkan penjualan saat pandemi berlangsung, beberapa strategi dilancarkan layanan e-commerce, termasuk kampanye online, pemberian diskon, dan promo gratis ongkos kirim untuk pelanggan.

Pembinaan relasi dengan pelanggan juga menjadi Tokopedia, Bukalapak, dan Shopee. Secara rutin mereka berupaya untuk engage dengan para pengguna yang mencari kebutuhan fashion.

Brand yang memiliki gerai offline, seperti Kami, memiliki strategi yang tidak jauh berbeda.

“Dalam meningkatkan dan mempertahankan penjualan di platform online Kami memaksimalkan fitur dan asset yang ada di official website serta memberikan kemudahan berbelanja kepada customer secara lebih luas. Kami membuat dan menjalankan program marketing yang memberikan beragam tambahan value kepada pelanggan,” kata Istafiana.

Sementara Zalora, yang memiliki tiga ribu brand di dalam platform-nya, mencoba melakukan diversifikasi dengan meluncurkan produk kesehatan dan kecantikan.

“Karena permintaan untuk produk kesehatan dan esensial meningkat selama ini, kami melihat respons positif terhadap penawaran kategori baru kami. Selain itu, karena banyaknya penutupan brick and mortar store dan keraguan kebanyakan orang untuk keluar, kami telah melihat peningkatan pelanggan baru yang berbelanja di Zalora,” kata Christopher.

Pandemic and The Increasing Awareness of Financial Planning

Life pressures and current economic conditions have influenced people to start planning their financial decisions. Starting from using emergency funds to cutting expenses.

As a digital financial planning platform, Halofina decided it is the right time to educate the public, aiming to increase financial literacy in the country. DailySocial invited Halofina’s Founder & CEO, Adjie Wicaksana in the #SelasaStartup session the first week of August 2020.

Efforts to increase awareness

OJK recorded the percentage of Indonesian people’s financial literacy in 2019 experienced a significant increase of 38%. This number is certainly an achievement compared to the previous 3 years at only 29%. Even though it has increased, Adjie said this number is quite far behind other neighboring countries with a fairly good amount of financial literacy among the community, around 70% and above.

What is quite a challenge, is not only the large size of Indonesia’s population compared to other neighboring countries, but also a trust issues among the public, related to digital financial products.

“Therefore, the productive age is shown as an ideal target market for a digital financial planning platform. Halofina offers products and services, in this case financial planning,” Adjie said.

Even though it’s mainly focused on millennials, adjusting the phase that is ultimately faced by this productive age can increase the number of users who are most familiar with technology or better known as tech-savvy.

“We see that productive age is the largest segment that has been frequently exposed and accustomed to digital products and technological innovations. This has become the focus of Halofina,” Adjie said.

Reducing barrier entry

The main obstacle for most fintech services to offer their products lies in the barrier entry. From lack of trust to product safety and risk factors, which ultimately makes it difficult for fintech platforms in general to acquire users.

“Therefore, it is important for the platform to provide important and legitimate evidence from regulators. As our platform becomes the first listed in the Financial Services Authority’s (OJK Sandbox) Digital Financial Innovation, Digital Financial Planner category,” said Adjie.

Apart from regulatory and legality issues, the platform must also have relevant and on-demand products by the community. In this case, creating a ‘relatable’ product becomes important. In Halofina, financial planning products are what we’ve tried to offer.

“In early July we launched the consulting feature. The main feature is similar to the ones offered by the healthtech platforms, which is consulting with doctors online. However, in Halofina we provide certified financial planners for users to conduct consultations related to investment and financial planning,” said Adjie .

Pandemic and financial planning

In the time of a pandemic, there was a lot of negative news that circulating the daily routine, it was enough to influence most people’s views and decisions. Previously, most millennials don’t really care about their financial management and financial planning, today, Adjie said there has been a significant increase in the community to pay attention to their financial management.

Starting from using the right emergency fund to managing their financial flow. Adjie also mentioned that this opportunity was what Halofina tried to utilize as a relevant platform. Not only on social media accounts and platforms, Halofina tries to provide the right and required education, aiming to increase awareness of the importance of financial management and planning in everyday life.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Aplikasi STRONGBEE Mudahkan Pencarian dan Pemesanan Fasilitas Olahraga

Berawal dari kegemarannya berolahraga, Farah Suraputra kemudian menginisiasi STRONGBEE. Tujuannya untuk memfasilitasi orang yang hobi berolahraga dengan informasi komprehensif terkait fasilitas olahraga dan kebugaran. Menurutnya kondisi saat ini informasi tersebut belum tersebar merata. Kebanyakan masih bergantung pada word-of-mouth dan search engine, sehingga terkadang jadi kurang terstruktur dan kredibel.

“Dengan alasan itulah saya bersama dengan Co-Founder Rian Bastian mengembangkan STRONGBEE, untuk membantu para pecinta olahraga menemukan fasilitas sports, fitness, dan wellness sesuai dengan lokasi [terdekat]. Pengguna pun dapat melihat dan memberikan penilaian untuk membantu pengguna lain dalam menentukan fasilitas,” kata Farah.

Secara model bisnis, STRONGBEE menerapkan pendekatan B2B dan B2C. Direalisasikan dengan model kemitraan dengan penyedia fasilitas (mengenakan komisi) dan layanan berlangganan di aplikasi.

Hingga saat ini STRONGBEE telah memiliki sekitar 5 ribu pengguna aktif setiap bulannya. Mereka juga telah menjangkau 200 studio, gym, dan lapangan; serta merangkul 300 pelatih olahraga profesional.

“Mitra STRONGBEE kini masih terkonsentrasi di Jakarta, namun kami juga memiliki mitra di Bandung, Malang, dan Bali. Kami berencana terus menyebarluaskan layanan ke seluruh Indonesia,” kata Farah.

Berbeda dengan platform lainnya seperti ClassPass, R FitnessR Fitness, Doogether dan FitCo, STRONGBEE mengklaim tidak hanya menawarkan kelas-kelas fitness, namun juga pelatih pribadi, lapangan olahraga, mengakomodasi acara, serta fisioterapi.

Untuk pilihan berlangganan, mereka juga menyediakan kelas-kelas berbentuk single visit dan subscription, dengan harapan memberi kesempatan untuk mereka yang ingin mencoba kelas baru maupun yang ingin berlangganan.

STRONGBEE Wallet

Untuk pilihan pembayaran, STRONGBEE menawarkan pilihan yang cukup beragam. Mulai dari pembayaran tunai, kartu kredit, GoPay, virtual account, transfer bank, hingga melalui STRONGBEE Wallet.

Disinggung seperti apa cara kerja dompet digital STRONGBEE tersebut, Farah menyebutkan ketika pengguna telah melakukan pendaftaran berlangganan bisa melakukan proses top up sesuai dengan metode pembayaran yang disediakan platform. Nantinya nilai berlangganan atau subscription tersebut akan di konversi menjadi dana di dompet STRONGBEE.

“Untuk dompet milik kami saat ini belum terdaftar di Bank Indonesia, karena fungsi dari dompet itu sendiri untuk setiap dana yang diisikan hanya bisa dipakai untuk booking atau pemesanan saja. Sehingga setiap transaksi akan jadi lebih mudah, lebih ringkas, dan instant dibandingkan pembayaran menggunakan payment method lainnya. Pengguna pun bisa menikmati tambahan dana senilai 40% dari nilai yang dibayarkan,” kata Farah.

Tahun ini ada beberapa target yang ingin dicapai oleh perusahaan, di antaranya adalah melakukan penggalangan dana. STRONGBEE juga berencana untuk segera meluncurkan SaaS untuk mitra yang dapat mempermudah manajemen bisnis baik dalam mengolah pemesanan maupun informasi layanan mitra.

“Saat pandemi ini kami juga telah meningkatkan kesadaran masyarakat tentang hidup sehat. Kami dengan senang hati memfasilitasi kebutuhan tersebut baik dengan menyediakan kelas olahraga online maupun menyebarkan informasi terkait melalui blog dan juga media sosial kami,” tutup Farah.

Application Information Will Show Up Here

Pandemi dan Peningkatan Kesadaran Perencanaan Keuangan

Tekanan hidup serta kondisi ekonomi saat ini ternyata mempengaruhi kebanyakan orang mengambil keputusan finansial mereka. Mulai dari menggunakan dana darurat hingga memangkas pengeluaran.

Sebagai platform perencana keuangan digital, Halofina merasa ini saat yang tepat untuk memperluas edukasi kepada masyarakat, dengan tujuan untuk meningkatkan literasi keuangan di tanah air. Dalam sesi #SelasaStartup minggu pertama Agustus 2020, DailySocial menghadirkan Founder & CEO Halofina Adjie Wicaksana.

Upaya meningkatkan awareness

OJK mencatat tahun 2019 persentase literasi keuangan masyarakat Indonesia mengalami kenaikan yang cukup signifikan sekitar 38%. Jumlah ini tentunya merupakan prestasi tersendiri jika dibandingkan 3 tahun sebelumnya yang hanya 29% saja. Meskipun mengalami kenaikan, namun menurut Adjie, jumlah ini masih kalah jauh dengan negara tetangga lainnya yang telah memiliki jumlah literasi keuangan cukup baik di kalangan masyarakat sekitar 70% ke atas.

Apa yang menjadi tantangan tentunya bukan hanya jumlah populasi Indonesia yang cukup besar dibandingkan negara tetangga lainnya, namun juga rasa kepercayaan atau trust issue yang masih rendah dikalangan masyarakat, terkait dengan produk keuangan digital.

“Dari situ akhirnya terlihat usia produktif merupakan target pasar yang ideal untuk platform perencana keuangan digital, Halofina menawarkan produk dan layanan, dalam hal ini adalah perencanaan keuangan,” kata Adjie.

Meskipun hanya fokus kepada kalangan milenial, namun menyesuaikan fase yang pada akhirnya dihadapi oleh usia produktif tersebut, dapat menambah jumlah pengguna yang kebanyakan sudah terbiasa dengan teknologi atau lebih dikenal dengan tech savvy.

“Kami melihat usia produktif merupakan segmen paling besar yang sudah sering terekspos dan terbiasa dengan produk digital dan inovasi teknologi. Hal tersebut yang kemudian menjadi fokus dari Halofina,” kata Adjie.

Mengikis barrier entry

Persoalan utama yang masih menjadi kendala kebanyakan layanan fintech untuk menawarkan produknya adalah, barrier entry dari kebanyakan masyarakat untuk mulai mencoba. Mulai dari kurang percaya hingga faktor keamanan dan risiko produk, yang pada akhirnya menyulitkan platform fintech pada umumnya untuk mengakuisisi pengguna.

“Untuk itu penting bagi platform memberikan bukti yang penting dan sah dari regulator. Sebagai platform kami yang pertama telah tercatat di Inovasi Keuangan Digital Otoritas Jasa Keuangan (OJK Sandbox) kategori Digital Financial Planner,” kata Adjie.

Selain persoalan regulator dan legalitas, platform juga harus memiliki produk yang relevan dan dibutuhkan oleh masyarakat. Dalam hal ini menciptakan produk yang ‘relatable‘ menjadi penting. Di Halofina sendiri produk perencana keuangan yang kemudian dicoba untuk ditawarkan kepada target pengguna.

“Awal bulan Juli lalu kami meluncurkan fitur consultation. Fungsinya serupa dengan yang ditawarkan oleh platform healthtech yaitu konsultasi dengan dokter secara online. Namun di Halofina kami menyediakan perencana keuangan yang telah telah tersertifikasi untuk pengguna melakukan konsultasi terkait dengan investasi dan perencanaan keuangan,” kata Adjie.

Pandemi dan perencanaan keuangan

Saat pandemi ketika banyak berita negatif yang mewarnai rutinitas sehari-hari, ternyata cukup mempengaruhi pandangan dan keputusan dari sebagian besar orang. Jika sebelumnya tidak banyak di antara kalangan milenial yang peduli dengan manajemen keuangan dan perencanaan finansial mereka, kini menurut Adjie terjadi peningkatan yang cukup besar dari kalangan masyarakat untuk memperhatikan manajemen keuangan mereka.

Mulai dari menggunakan dana darurat yang tepat hingga mengatur keuangan mereka. Menurut Adjie, peluang ini yang kemudian dicoba untuk dimanfaatkan oleh Halofina sebagai platform yang relevan. Bukan hanya di akun media sosial dan platform, Halofina mencoba untuk memberikan edukasi yang tepat dan dibutuhkan, dengan tujuan meningkatkan awareness pentingnya manajemen dan perencanaan keuangan dalam kehidupan sehari-hari.

Application Information Will Show Up Here

Disney+ Hotstar is to Launch in Indonesia per September 5th, 2020

Disney eventually announced its streaming service in Indonesia. With the same brand as its presence in India, “Disney+ Hotstar”, Indonesian users will be able to enjoy the video streaming application per September 5th, 2020.

There is no further information, including subscription fees or specific collaboration with local partners. However, Telkomsel had previously launched a customer survey related to their interests and responses if Disney + rolled in Indonesia and accessible through Telkomsel’s special package.

In contact with Disney Indonesia representatives, the company is yet to reveal any detailed information for the new platform. They only announced a statement made earlier by Disney CEO, Bob Chapek during a 2020’s third-quarter business exposure, mentioning the plan to launch Disney+ Hotstar service in Indonesia (including in 9 countries outside the United States that were targeted market share).

Previously, the company is said to reach 60.5 million Disney+ customers as of August 3, 2020, after reaching 57.5 million customers at the end of the third quarter, in June 2020. The number increased by 6 million customers from the 54.5 million the company reported on 4 May in the second quarter.

Streaming service competition in Indonesia

In a previous article, DailySocial observed the popular streaming platform in Indonesia. Currently there are dozens of applications that provide similar services. The thing is, it’s a matter of content diversification.

5fb50c2050bc4cad1e485434a95da700_video-on-demand-04

Regarding consumer interest in Indonesia, based on our survey, respondent’s preference on choosing streaming services is based on several factors: easy access (87%), lots of contents (81%), promos (54%), and subscription fees (48%).

The presence of Disney+ Hotstar will be quite prominent, seen from the trends and interests of the Indonesian people who are quite enthusiastic about trying the new US-based video streaming platform.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Disney+ Hotstar Bakal Meluncur di Indonesia 5 September 2020

Disney akhirnya mengumumkan rencana kehadiran layanan streaming mereka di Indonesia. Mengusung merek yang sama dengan kehadirannya di India, yakni “Disney+ Hotstar”, pengguna di Indonesia akan bisa mulai menikmati aplikasi video streaming tersebut per 5 September 2020 mendatang.

Belum ada info lain yang disampaikan, termasuk biaya berlangganan atau kerja sama khusus yang digalakkan bersama mitra lokal. Namun, sebelumnya Telkomsel telah meluncurkan survei kepada pelanggan, terkait dengan minat dan respons mereka jika Disney+ meluncur di Indonesia dan bisa diakses melalui paket khusus di Telkomsel.

DailySocial telah menghubungi perwakilan Disney Indonesia, pihaknya masih enggan merinci rencana kehadiran platform baru tersebut. Mereka hanya menyuguhkan pernyataan yang sebelumnya disampaikan CEO Disney Bob Chapek dalam pemaparan bisnis kuartal ketiga 2020, yang mengatakan rencana peluncuran layanan Disney+ Hotstar di Indonesia (termasuk dalam 9 negara di luar Amerika Serikat yang jadi target pangsa pasar).

Sebelumnya, perusahaan mengungkapkan telah mencapai 60,5 juta pelanggan Disney+ per 3 Agustus 2020, setelah mencapai 57,5 ​​juta pelanggan pada akhir kuartal ketiga pada Juni 2020. Jumlah tersebut meningkat 6 juta pelanggan dari 54,5 juta yang dilaporkan perusahaan pada 4 Mei di kuartal kedua.

Perang layanan streaming di Indonesia

Dalam tulisan sebelumnya, DailySocial mencoba mengulas platform streaming populer di Indonesia. Saat ini ada puluhan aplikasi yang suguhkan layanan serupa. Yang menjadi menarik adalah soal diversifikasi konten yang coba diberikan.

5fb50c2050bc4cad1e485434a95da700_video-on-demand-04

Terkait minat konsumen di Indonesia, berdasarkan survei yang kami jalankan, konsiderasi responden memilih layanan streaming didasarkan pada beberapa faktor: kemudahan akses (87%), kelengkapan konten (81%), promo (54%), dan biaya langganan (48%).

Kehadiran Disney+ Hotstar menjadi menarik untuk diikuti, dilihat dari tren serta minat dari masyarakat Indonesia yang cukup antusias mencoba platform video streaming baru yang berasal dari Amerika Serikat.

The Rent-to-Own Concept by TapHomes Allows User to Rent While Making Down Payment

The low rate of house ownership becomes one of TapHomes’ reasons to run the proptech startup. Victor Ramli Kwan as co-founder revealed to DailySocial, there are currently people who have lost the opportunity of house ownership. And he finds it as a problem that affects many people in Indonesia.

TapHomes applies the “rent-to-own” concept as a bridge to help customers get houses. It allows users to pay rent while saving for the house’s down-payment.

Victor said, most of TapHomes‘ customers are new homeowners who cannot obtain traditional home mortgages; most of the issues are due to incapability to pay a down payment or pay a mortgage loan of at least 15-20% of the price of the house.

Through the application, prospective buyers can simply pay a deposit of 2%, then TapHomes will buy the desired house. The customer will then start to inhabit the house and pay monthly rent starting from 1.2 million Rupiah. The cost is allocated 70% for rent and 30% for savings on home ownership.

Regarding the type of house, the TapHomes team will conduct an analysis according to the ability of prospective buyers. Because it has been purchased, the rental process can be modified or renovated according to residents’ wishes.

The rental period is 3-5 years; and at the end of the lease, the customer will have a savings with a total equivalent value of a 15% deposit for the purchase of a home. They can continue to buy the house in cash or through mortgages.

When the customer cannot continue the house purchase plan at the end of the program, TapHomes and the customer will sell the house to a third party. Proceeds from the sale of the house will be divided according to the proportion of home ownership between TapHomes and customers.

“We make it easier for new families to buy their homes with affordable down payment and the development of regular home ownership, that in 3 years later our customers can apply for mortgages in banks,” said Victor.

Technology Development

TapHomes is said to have processed around more than 2 thousand potential customer submissions. Later on will be curated process of customers who are entitled to get services.

Regarding technology, TapHomes is developing an Automated Valuation Engine that makes it easier for the platform to evaluate the value of house prices more efficiently.

TapHomes currently has some objectives, including expanding to major cities in Indonesia. To date, TapHomes’ focus is still on the Greater Jakarta area, especially in Bekasi, Tangerang and Depok.

“We have received seed funding from VC and previously bootstrapping. TapHomes is now involved in batch 3 Accelerator Program from SYNRGY by the BCA group in and batch 7 Plug & Play Accelerator,” Victor said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Konsep “Rent-to-Own” TapHomes Mungkinkan Pengguna Sewa Rumah Sembari Cicil Uang Muka Pembelian

Masih rendahnya jumlah kepemilikan rumah menjadi salah satu alasan mengapa startup proptech TapHomes hadir. Kepada DailySocial, Victor Ramli Kwan selaku co-founder mengungkapkan, saat ini masih banyak orang yang kehilangan peluang kepemilikan rumah. Dan ia melihat ini sebagai masalah yang berdampak kepada banyak orang di Indonesia.

TapHomes menerapkan konsep “rent-to-own” sebagai jembatan untuk membantu pelanggan mendapatkan rumah. Yakni memungkinkan pengguna membayar sewa sekaligus mencicil proses pembelian rumah secara bersamaan.

Victor mengatakan, pelanggan TapHomes sebagian besar adalah pemilik rumah baru yang tidak dapat memperoleh KPR rumah secara tradisional; kebanyakan isunya karena tidak mampu membayar uang muka atau membayarkan deposit KPR minimal 15-20% dari harga rumah.

Melalui aplikasi tersebut, calon pembeli cukup membayar uang muka 2%, selanjutnya TapHomes akan membeli rumah yang diinginkan. Pelanggan kemudian akan mulai menghuni rumah dan membayarkan uang sewa setiap bulan mulai dari 1,2 juta Rupiah. Biaya tersebut dialokasikan 70% untuk sewa dan 30% untuk tabungan kepemilikan rumah.

Mengenai tipe rumah, tim TapHomes akan melakukan analisis sesuai kesanggupan calon pembeli. Karena sudah dibeli, ketika proses sewa rumah tersebut bisa dimodifikasi atau direnovasi sesuai keinginan penghuni.

Masa sewanya dalam jangka 3-5 tahun; dan pada masa akhir sewa, pelanggan akan memiliki tabungan dengan total nilai setara dana deposit 15% untuk pembelian rumah. Mereka bisa melanjutkan untuk membeli rumah tersebut secara tunai atau melalui KPR.

Jika di akhir program pelanggan tidak bisa melanjutkan rencana pembelian rumah, TapHomes dan pelanggan akan menjual rumah tersebut kepada pihak ketiga. Hasil dari penjualan rumah tersebut akan dibagi sesuai dengan proporsi pemilikan rumah antara TapHomes dan pelanggan.

“Kami membuat lebih mudah untuk keluarga baru membeli rumah mereka dengan uang muka yang terjangkau dan pengembangan pemilikan rumah yang teratur, bahwa di 3 tahun kemudian pelanggan kami dapat mengajukan KPR di perbankan,” kata Victor.

Mengembangkan teknologi

Saat ini TapHomes mengklaim telah memproses sekitar lebih dari 2 ribu pengajuan calon pelanggan. Nantinya akan dilakukan proses kurasi pelanggan yang berhak untuk mendapatkan layanan.

Terkait teknologi, TapHomes sedang mengembangkan Automated Valuation Engine yang mempermudah platform untuk mengevaluasi nilai harga rumah dengan lebih efisien.

Ada beberapa rencana yang ingin dicapai oleh TapHomes, di antaranya adalah melakukan ekspansi kepada kota-kota besar di Indonesia. Saat ini fokus TapHomes masih di area Jabodetabek terutama di Bekasi, Tangerang, dan Depok.

“Kami sudah mendapatkan seed funding dari VC dan sebelumnya beroperasi dengan pendanaan pendiri. TapHomes sekarang juga sedang menjalani Accelerator Program dari SYNRGY oleh BCA group di dalam batch 3 dan Plug & Play Accelerator di dalam batch 7,” kata Victor.