WSJ: Streamer Terkemuka Dibayar Rp700 Juta Per Jam untuk Promosi Game

Influencer di dunia marketing telah menjadi kekuatan yang diakui, serta terbukti dapat menghasilkan tingkat konversi yang tinggi. Hal ini juga berlaku dalam industri video game. Sudah bukan rahasia bahwa banyak penerbit ternama yang gemar membayar influencer terkenal untuk memainkan game baru mereka lewat platform streaming Twitch, contohnya EA ketika merilis Apex Legends beberapa waktu lalu. Di zaman sekarang, popularitas suatu game di Twitch bahkan dapat menjadi indikator kuat akan kesuksesannya di pasaran.

Yang jadi pertanyaan bagi kita adalah seberapa efektif kekuatan influencer itu, dan berapa besar biaya yang dibutuhkan untuk menggunakan influencer marketing? Wall Street Journal (WSJ) mengungkapnya dalam artikel yang diterbitkan pada tanggal 18 Mei 2019 kemarin. Menurut laporan WSJ tersebut, streamer terkenal di Twitch bisa mendapatkan kontrak untuk memainkan game dengan nilai hingga US$50.000 per jam, atau sekitar Rp724,1 juta per jamnya. Luar biasa!

WSJ menyebutkan bahwa beberapa penerbit yang sudah sering menggunakan jasa influencer ternama antara lain Activision Blizzard, Take-Two, Ubisoft, serta tentu saja Electronic Arts. Menariknya, angka US$50.000 itu bukan angka terbesar di dunia streaming. Menurut sumber-sumber yang dikontak oleh Kotaku, tawaran streaming itu bisa mencapai US$60.000, bahkan lebih. Untuk kontrak jangka panjang, nilainya bisa mencapai ratusan ribu bahkan jutaan dolar.

Ninja (Tyler Blevins) adalah salah satu streamer yang dikabarkan pernah menerima kontrak tujuh digit tersebut. Menurut laporan Reuters, Ninja menerima bayaran sebesar US$1.000.000 dari EA untuk mempromosikan Apex Legends di Twitch dan Twitter. EA juga mengontrak beberapa streamer lain, contohnya Shroud (Michael Grzesiek). Strategi ini terbilang sukses, karena Apex Legends sempat menjadi game paling populer di Twitch untuk waktu yang cukup lama. Nilai saham EA pun meningkat hingga sekitar 10% karenanya.

Game Anda menduduki peringkat atas di Twitch sekarang punya nilai yang besar,” kata Adam Lieb, CEO perusahaan marketing Gamesight, dilansir dari Kotaku. Menurutnya, dengan biaya yang sama, pemasangan iklan di Twitch atau IGN tidak akan menghasilkan dampak yang sama besarnya. Akan tetapi penentuan nilai kontrak streamer ini cukup rumit karena tidak semua streamer dapat memberi hasil yang sama.

Sebagai contoh, ketika audiens seorang streamer sudah sangat besar, bisa jadi banyak dari audiens itu terdiri dari pemirsa muda. Artinya kemungkinan mereka berinteraksi dengan konten game yang disiarkan lebih kecil. Kita tidak bisa mematok perhitungan harga sederhana, misalnya US$1 untuk 1 viewer per 1 jam.

Efektivitas influencer salah satunya datang dari kedekatan personal antara influencer dengan audiens mereka. Ketika audiens modern melihat iklan konvensional, mereka cenderung kurang percaya karena mereka tahu iklan sudah dirancang oleh perusahaan untuk menunjukkan keunggulan produk. Tapi ketika melihat influencer, mereka menemukan sosok yang lebih terpercaya, apa adanya, dan dapat menjadi rujukan rekomendasi yang lebih baik. Influencer yang terikat kontrak pasti memiliki aturan-aturan tertentu (misalnya tidak boleh berkata kasar ketika streaming), tapi mereka masih dipandang sebagai sosok yang jujur ketimbang iklan konvensional.

Dengan semakin membesarnya pasar industri streaming, para selebritas internet telah menjadi sarana pemasaran yang efektif dan relatif murah. Nanti mungkin akan tiba waktunya di mana kita tak lagi bisa membedakan mana konten video yang jujur dan mana yang sebenarnya iklan. Tugas para streamer dan influencer adalah menjaga integritas mereka agar mereka tetap objektif terhadap produk yang mereka iklankan, dan tidak berubah menjadi perpanjangan mulut korporasi saja.

Sumber: Kotaku, Wall Street Journal

Call of Duty Black Ops ‘5’ Akan Hadirkan Kembali Mode Single-Player?

Ada kalanya mode single-player menjadi jati diri dari permainan action dan shooter. Di bagian inilah, developer mencoba membenamkan berbagai teknologi gaming mutakhir, dari mulai grafis dan fisik yang diintegrasikan pada elemen gameplay, puzzle, hingga pengembangan AI pada NPC. Tapi hal ini berubah sejak  battle royale menyerbu dan publisher mulai menjalankan strategi ‘game as a service‘.

Efek dari demam battle royale bisa kita rasakan di mana-mana, termasuk di franchise raksasa seperti Battlefield dan Call of Duty. Kedua nama ini ‘terpaksa’ menyediakan mode last man standing berskala besar demi memenuhi minat pemain, namun Call of Duty melangkah lebih jauh dengan mengorbankan campaign buat memasukkan battle royale. Black Ops 4 merupakan permainan pertama di seri itu yang tidak disertai porsi single-player.

Namun sepertinya, Activision tak berniat membuat single-player absen terlalu lama. Berdasarkan laporan sejumlah narasumber pada Kotaku, sang publisher menugaskan salah satu tim developer-nya untuk mengembalikan mode campaign di Call of Duty, walaupun boleh jadi bukan pada judul yang dirilis di tahun ini. Belum diketahui akan seperti apa Call of Duty ‘2019’, tapi menurut rumor, game tersebut diramu sebagai penerus Modern Warfare.

Para informan mengabarkan bahwa untuk tahun 2020 nanti, Activision menunjuk tim Treyarch buat mengembangkan Call of Duty Black Ops ‘5’. Seperti sebelumnya, proses tersebut dibantu oleh dua studio lain di bawah Activision, yaitu Raven Software dan Sledgehammer Games. Kabarnya, game tersebut akan membawa pemain ke era Perang Dingin. Dan karena jadwal rilis yang diperkirakan mendekati pelepasan console next-gen, kemungkinan ia disiapkan sebagai permainan cross generation.

Jika laporan ini akurat, maka Activision hanya memberikan waktu dua tahun bagi Treyarch untuk menggarap game barunya (Call of Duty 2019 bukan dibuat oleh studio ini). Beberapa orang di Treyarch mengakui bahwa mereka kurang senang terhadap keputusan itu, karena Black Ops 4 saja menuntut begitu banyak waktu lembur; namun ada pula staf yang merasa gembira karena tim sudah mempunyai rencana pengembangan yang solid.

Terlepas dari respons gamer dan media yang cukup positif terhadap Black Ops 4, game shooter blockbuster ini belum dapat membantu Activision mencapai target pemasukan mereka di 2018. Narasumber bilang, publisher tengah mempertimbangkan buat mengusung model bisnis free-to-play (yang dulu begitu dibenci) untuk diintegrasikan dalam Modern Warfare baru. Beberapa orang di Activision kurang setuju dengan pendekatan ini.

Pertanyaan saya pribadi adalah, apakah ‘Modern Warfare 4’ juga menjagokan battle royale dan hadir tanpa single-player?

Razer Upgrade Mouse Gaming Lancehead Dengan Sensor Baru dan Baterai yang Lebih Tahan Lama

Mouse gaming Lancehead diperkenalkan beberapa tahun silam sebagai pilihan alternatif dari produk yang Razer telah sediakan sebelumnya. Berbeda dari Basilisk, Naga dan DeathAdder, Lancehead mengedepankan rancangan ambidextrous sehingga lebih bersahabat bagi para gamer kidal. Wujudnya yang ‘netral’ dan simpel juga memastikannya lebih fleksibel untuk menangani genre game berbeda.

Mungkin karena alasan inilah Razer menawarkan Lancehead dalam dua opsi, yaitu nirkabel serta wired. Dan untuk model berkabel bertajuk ‘Tournament Edition’, tersedia pilihan warna gunmetal grey, mercury white, quartz pink dan hitam. Belum lama ini, sang perusahaan spesialis periferal gaming pimpinan Min-Liang Tan itu memutuskan untuk menerapkan pembaruan pada varian wireless agar produk tetap relevan dalam bersaing dengan mouse-mouse kompetitor yang lebih baru.

Lancehead 3

Upgrade tersebut dimplementasikan Razer pada baterai dan sensor. Dahulu, Razer Lancehead versi nirkabel menyuguhkan waktu bermain hingga 24 jam. Dengan baterai jenis baru, Lancehead siap menemani Anda ber-gaming sampai 50 jam. Dari perspektif personal, saya tidak pernah bermain game melampaui 12 jam; dan jangankan 50 jam, bagi saya mereka yang bisa menikmati permainan video lebih dari 24 jam sudah masuk kategori titisan dewa.

Lancehead 2

Untuk melacak gerakan, Razer mengganti sensor lama dengan tipe laser optik 5G yang dimiliki oleh DeathAdder Elite. Pada dasarnya, sensor di Lancehead lawas dan anyar sama-sama menyuguhkan 16.000DPI, namun yang berbeda adalah kemampuannya dalam melacak kecepatan. Sebelumnya, mouse dapat membaca gerakan sampai 210-inci per detik (IPS). Angka tersebut naik jadi 450-inci per detik di Lancehead baru.

Lancehead 5

Yang membuat kondisinya jadi sedikit membingungkan ialah, upgrade sensor Lancehead wireless membuat spesifikasinya setara dengan Lancehead Tournament Edition berkabel. Selain itu, mouse tetap mengusung switch mekanis dan sembilan tombol yang bisa diprogram. Razer sama sekali tidak mengubah penampilannya. Rencananya, sang produsen juga akan memberinya dukungan fitur Razer Synapse 3 beta, memungkinkan pengguna menyimpan konfigurasi di memori interal serta cloud.

Lancehead 4

Razer Lancehead versi nirkabel tersambung ke PC Anda via dongle wireless dengan sambungan berfrekuensi 2,4GHz. Razer bilang mereka juga telah membenamkan Adaptive Frequency Technology di sana untuk meminimalkan gangguan, serta memastikan sinyalnya stabil dan terkirim 100 persen. Teknologi tersebut bertugas memindai channel frekuensi secara terus-menerus dan men-switch secara otomatis jika diperlukan.

Seperti varian terdahulu, Lancehead wireless bukanlah produk yang murah. Ketika Tournament Edition bisa dimiliki dengan mengeluarkan uang sebesar US$ 80, tipe wireless-nya dibanderol seharga US$ 140.

Via PC Gamer.

Aturan Game Tiongkok Semakin Ketat, Tampilan Darah dan Kata “Bunuh” Dilarang

Baru-baru ini aturan game di Tiongkok sedang jadi perbincangan hangat setelah Tencent mengumumkan penutupan PUBG Mobile di negara tersebut. Menariknya adalah tidak hanya menutup, tapi Tencent menggantinya dengan game baru yang memiliki gameplay serta tampilan visual, namun tanpa unsur-unsur kekerasan. Tampilan darah sama sekali dihilangkan, dan adegan kematian pemain pun diganti dengan karakter yang melambaikan tangan lalu menghilang.

Rupanya, tidak hanya PUBG Mobile yang terkena sensor seperti itu, melainkan semua game yang beredar di Tiongkok mulai sekarang. Dikabarkan oleh Gamasutra, pemerintah Tiongkok ternyata sekarang menerapkan aturan bahwa segala macam wujud darah tidak boleh ada di video game. Dulu pengembang game masih bisa mengakali kekerasan ini dengan menggunakan “cairan berwarna” sebagai pengganti darah, namun kini cara itu pun dilarang. Tidak hanya darah secara eksplisit, tapi segala hal yang bisa diartikan sebagai darah sama sekali tidak diperbolehkan.

Satu lagi aturan tambahan yang baru diterapkan adalah dilarangnya penggunaan kata “bunuh” di dalam game. Ini termasuk seluruh teks yang ada, mulai dari dialog, deskripsi barang, narator, hingga judul game itu sendiri. Bayangkan betapa besar imbasnya. Berbagai game MOBA yang biasanya menggunakan kata-kata seperti “double kill, triple kill” kini harus mengalami perombakan. Begitu juga dengan game yang memiliki judul semacam Killing Floor, atau Danganronpa V3: Killing Harmony.

Aturan ini juga mengikat game yang sudah mendapat lisensi untuk terbit di Tiongkok. Bila ternyata suatu game melanggarnya, bisa jadi lisensi itu ditarik kembali hingga developer melakukan perubahan. Sebelumnya pemerintah Tiongkok juga telah menerapkan aturan anti kekerasan yang melarang adanya tampilan mayat, tengkorak atau tulang-belulang, organ dalam manusia, pemotongan bagian tubuh, dan sebagainya. Namun aturan kali ini semakin mempersempit ruang kreatif para developer di sana.

Mortal Kombat 11 - Screenshot
Mortal Kombat 11 dilarang beredar di Tiongkok karena alasan kekerasan | Sumber: Sony

Meski memang sangat ketat, Tiongkok adalah pasar gamer yang sangat besar, jadi bagi banyak developer aturan ini adalah harga yang tidak terlalu mahal untuk dibayar. Gamasutra memberi saran pada para developer untuk siap menciptakan game yang “China-ready”, antara lain dengan langkah-langkah berikut:

  • Menciptakan animasi alternatif untuk kematian. Karakter yang melambai lalu menghilang di Game for Peace adalah salah satu contoh, tapi selain itu masih ada cara lainnya. Misalnya membuat karakter berubah menjadi asap seperti di Clash of Clans.
  • Menggunakan efek pertarungan ala komik. Di berbagai komik terutama komik Amerika, adegan pertarungan disertai dengan efek-efek balon suara untuk dramatisasi. Cara ini bisa juga diterapkan di video game.
  • Menggunakan efek visual lain untuk mengganti darah. Bukannya memunculkan cipratan cairan dari bekas luka, developer bisa menggantinya dengan asap putih ketika ada tokoh tertembak atau tersabet senjata tajam.
  • Memberi opsi untuk menyala-matikan kekerasan. Fitur “toggle violence” sudah cukup lumrah ada bahkan sejak sebelum aturan ini diterapkan. Membuat setiap game memiliki fitur ini adalah langkah yang bijak.
  • Mencari inspirasi dari game ramah anak. Banyak game yang dirancang agar bisa dimainkan oleh semua umur. Game semacam ini masih memunculkan kekerasan, namun dengan cara yang tidak eksplisit sehingga bisa dimainkan anak-anak. Developer bisa meniru cara-cara animasi kekerasan tersebut dalam game mereka.

Contoh developer yang terbuka terhadap adaptasi aturan Tiongkok adalah Yodo1Games, developer di balik game populer Hand of Fate. Di akhir tahun 2017 lalu mereka merilis video yang menunjukkan perubahan-perubahan dalam rangka menyiapkan game tersebut untuk pasar Tiongkok. Anda dapat melihatnya di bawah, dan mungkin bila Anda developer, mencari inspirasi darinya.

Sumber: Gamasutra via Niche Gamer

HP Singkap Omen X 2S 15, Laptop Gaming Berlayar Ganda Pertama di Dunia

Dengan meningkatnya kompetisi di ranah laptop gaming, produsen kini berlomba-loma menyediakan produk yang tak cuma bisa memenuhi kebutuhan gamer, tapi dapat pulamerangkul konsumen di luar segmen itu. Sedikit dampak negatifnya ialah, berkurang pula eksperimen-eksperimen nekat seperti yang terjadi beberapa tahun lalu. Mayoritas dari mereka kini fokus pada aspek portabilitas dan performa.

Tapi ada kejutan menarik dari Hewlett-Packard beberapa minggu sebelum digelarnya Computex Taipei dan E3 2019. Di tengah-tengah acara HP Gaming Festival di kota Beijing, perusahaan PC asal Amerika itu menyingkap Omen X 2S 15, sebuah notebook spesialis gaming pertama yang ngusung dua layar. Konsepnya mungkin akan mengingatkan Anda pada Asus ZenBook Pro, namun HP telah menemukan manfaat esensial (terutama buat gaming) dari kehadiran panel sekunder.

Omen 2

Dalam keadaan tertutup, Omen X 2S 15 mungkin akan terlihat seperti laptop gaming berkonsep minimalis pada umumnya. Tubuhnya didominasi warna hitam, lalu HP tidak lupa membubuhkan logo khas VoodooPC di bagian punggungnya. Omen X 2S 15 adalah notebook berlayar 15,6-inci yang dibingkai oleh bezel tipis ‘micro-edge‘. HP menyediakan pilihan varian 1080p dengan opsi refresh rate 144Hz atau 240Hz, serta versi 4K 60Hz.

Namun ada hal berbeda begitu Anda mengangkat layarnya. Keyboard diposisikan menjorok ke depan dan touchpad diletakkan di pojok kanan – mirip ROG Zephyrus S – untuk memberikan ruang pada display kedua yang berada di dekat engsel. Panel tersebut merupakan jenis layar sentuh LED backlight, memiliki luas 6-inci dan resolusi FHD, yang dapat membantu kita di sejumlah skenario pemakaian.

Omen 4

Dengannya, Anda bisa menyimak/menyaksikan video walkthrough dan mempraktekkannya langsung, menggunakannya untuk mengatur Spotify sembari menemani grinding di dalam game MMO, atau buat mengawasi update chat Twitch atau Discord – semuanya dapat dilakukan tanpa perlu menekan tombol Alt dan Tab. Layar sekunder di Omen X 2S 15 juga dilengkapi fitur screen-mirroring real-time yang bisa menampil bagian tertentu di game, misalnya peta saat Anda menikmati permainan racing.

Untuk sebuah perangkat khusus gamer nomaden, susunan hardware Omen X 2S 15 sama sekali tidak mengecewakan. HP Omen X 2S 15 dipersenjatai prosesor Intel Core generasi kesembilan hingga i9 9880H dan kartu grafis Nvidia GeForce RTX 2070 Max-Q atau 2080 Max-Q, juga dibekali RAM DDR4-3200 sampai 64GB, dan beragam tipe konfigurasi penyimpanan: dari mulai pilihan Intel Optane hingga SSD M.2 NVMe 1TB.

Omen 3

Omen X 2S 15 rencananya akan mulai dipasarkan pada bulan Juni 2019 nanti, pertama kali lewat situs HP.com. Keunikan desain perangkat ini memang berdampak pada harganya. Varian paling dasar dari Omen X 2S 15 dibanderol seharga US$ 2.100. Tipe berlayar 240Hz baru tersedia pada bulan Juli.

Sumber: HP.

Analis: PlayStation 5 Akan Dibanderol $ 500, Dirilis Bulan November 2020

Melihat tanda-tanda yang ada, peralihan dari console current-gen ke generasi selanjutnya akan menjadi momen menarik. Microsoft sudah mulai mengajukan konsep cloud gaming dan ada kemungkinan sistem ini dibubuhkan pada hardware anyar mereka. Sang rival Sony sendiri telah mengungkap sedikit detail spesifikasi dari PlayStation ‘5’ dan rencana buat merangkul fitur backward compatibility.

Namun memang ada banyak pertanyaan yang belum terjawab. Pertama, seperti apa wujud ‘PS5’? Kedua, kapan produk akan resmi disingkap dan diedarkan jika Sony absen di E3 2019? Dan terakhir, detail hardware mengindikasikan harga retail yang lebih mahal dari PlayStation 4, tapi berapa? Analis Hideki Yasuda dari Ace Research Institute mencoba mengajukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut.

Dilaporkan oleh WinFuture, Hideki Yasuda memprediksi bahwa PlayStation 5 akan dibanderol di harga US$ 500. Angka ini lebih tinggi dari PlayStation 4 ketika melakukan debutnya. Sistem gaming current generation itu awalnya dijajakan senilai US$ 400, kemudian dalam perjalanannya, menurun jadi US$ 300, diterapkan baik pada edisi standar maupun spesial. Kini, US$ 400 adalah angka yang dipatok untuk satu unit PlayStation 4 Pro.

Kenaikan harga boleh jadi disebabkan oleh kehadiran komponen-komponen yang lebih canggih. Mengacu pada keterangan lead system architect Mark Cerny di bulan April kemarin, PlayStation 5 akan dibekali penyimpanan berbasis SSD dan kabarnya bisa menjalankan konten di resolusi 4K serta mendukung fitur ray tracing – berkat dukungan prosesor semi-custom AMD Ryzen 3 7nm serta GPU Radeon Navi.

Melihat dari pengalaman sebelumnya, saya menduga bahkan dengan menjual PS5 di harga US$ 500, Sony tidak memperoleh banyak keuntungan atau mungkin malah merugi. Hal ini boleh dikatakan ‘cukup normal’ di ranah penyajian console. Produsen akan balik modal dan mendapatkan pemasukan beberapa saat setelah momen peluncuran berlalu lewat penjualan game serta layanan berlangganan PlayStation Plus.

Untuk waktu ketersediaan PS5, Yasuda mengestimasi akan jatuh pada bulan November 2020. Waktu tersebut cukup masuk akal, karena memang mendekati periode liburan hari raya/akhir tahun. Penuturan Yasuda cukup senada dengan prediksi analis Michael Pachter dari Wedbush Securities sebelumnya, yang menyatakan bahwa PlayStation 5 tidak akan dirilis hingga tahun 2019 berakhir.

Selain itu, Hideki Yasuda memperkirakan akan ada sekitar enam juta unit PS5 terjual di bulan Maret 2021, dan bertambah lagi 15 juta console lagi di tahun berikutnya. Menurutnya, PlayStation 5 akan kembali berkompetisi dengan produk baru Microsoft, sedangkan layanan gaming on demand seperti Google Stadia kemungkinan belum memberikan perlawanan berarti bagi platform konvensional.

Via BGR.

Katsuhiro Harada Masih Ingin Merilis Tekken x Street Fighter, Namun Kondisinya Sulit

Masih ingat dengan Street Fighter x Tekken, fighting game campur-campur yang terbit di tahun 2012 lalu? Ketika pertama kali diumumkan, sebetulnya game tersebut adalah proyek saudara yang seharusnya dirilis bersama dengan satu game lain yaitu Tekken x Street Fighter. Bila Street Fighter x Tekken diproduksi oleh Capcom dan memiliki gameplay menyerupai seri Street Fighter, Tekken x Street Fighter diproduksi oleh Bandai Namco dan memiliki gameplay serupa seri Tekken.

Sayangnya meski Street Fighter x Tekken sudah dirilis, saudaranya hingga kini masih belum dirilis juga. Kabar terakhir, Katsuhiro Harada mengatakan bahwa proyek Tekken x Street Fighter dihentikan sementara dalam kondisi 30% selesai. “Kemunculan Akuma di Tekken 7 terjadi berkat pengalaman dan pengetahuan yang kami dapatkan ketika mengerjakan Tekken x Street Fighter,” kata Harada di sebuah tayangan live stream di akhir 2018 kemarin.

Street Fighter x Tekken - Screenshot
Street Fighter x Tekken | Sumber: Sony

Lalu apakah Tekken x Street Fighter benar-benar sudah mati? Rupanya tidak. Dalam wawancara dengan Video Game Chronicle baru-baru ini, Harada menyatakan bahwa ia masih ingin merilis Tekken x Street Fighter, tapi ia ragu-ragu menentukan apakah game itu harus diselesaikan.

“Ya, secara emosional saya ingin melakukannya,” kata Harada, “Saya masih ingin merilis game tersebut. Akan tetapi, walaupun saya ingin melanjutkan proyeknya, banyak hal telah berubah sejak tahun 2012. Jadi saya butuh mendapatkan persetujuan dan saya perlu bicara dengan Capcom lagi juga—bisa saja sekarang mereka menolak.”

Tekken x Street Fighter - Ryu 1
Protitipe Ryu di Tekken x Street Fighter | Sumber: EventHubs
Tekken x Street Fighter - Ryu 2
Prototipe Ryu di Tekken x Street Fighter | Sumber: EventHubs

Ada alasan kuat mengapa merilis Tekken x Street Fighter di masa sekarang bukanlah keputusan yang baik dari segi bisnis. Sebetulnya di suatu titik Harada sudah ingin melanjutkan proyeknya, tapi kemudian Capcom merilis Street Fighter V pada tahun 2016. Begitu juga pada waktu berdekatan Bandai Namco pun merilis Tekken 7. Bila kemudian Harada merilis Tekken x Street Fighter, game itu akan bersaing melawan dua judul di atas, dan dapat membuat komunitas penggemar terpecah.

“Jadi saya putuskan untuk menunda perilisan (Tekken x Street Fighter) selama satu atau dua tahun. Setelahnya, Tekken 7 kini sangat berhasil sebagai sebuah service game. Biasanya umur sebuah fighting game sangat singkat—mungkin satu atau dua tahun lalu Anda membuat sekuel. Tapi Tekken 7 sangat sukses sebagai sebuah service game dengan DLC di dalamnya. Itu menjadikan jauh lebih sulit untuk merilis game lain, sementara Tekken 7 masih sangat sukses,” papar Harada.

Proyek kolaborasi antara Bandai Namco dan Capcom memang menarik, apalagi bila kita penggemar Tekken dan Street Fighter sekaligus. Rasanya seru sekali melihat karakter yang tadinya 2D kini tampil di pertarungan 3D, begitu pula sebaliknya. Mungkin nanti ketika hype Tekken 7 sudah mulai menurun, Harada bisa menemukan momentum untuk merilis Tekken x Street Fighter. Saya tak sabar menunggu saat itu tiba.

Sumber: Video Game Chronicle

Final Fantasy VII Remake ‘Dikembangkan Secara Terpisah’? Gerbang Pre-Order Sudah Dibuka

Jika Anda gamer, mungkin seperti saya, jejaring sosial saat ini tengah dipenuhi diskusi mengenai remake Final Fantasy VII. Square Enix pertama kali mengumumkan rencana mereka buat membangun ulang permainan ketujuh di seri Final Fantasy itu hampir empat tahun silam, namun baru minggu lalu developer akhirnya berkenan memperlihatkan potongan kecil dari gameplay lewat video trailer singkat.

Namun teaser berdurasi satu menit lebih itu sudah cukup untuk menampilkan gambaran seperti apa versi remake Final Fantasy VII nantinya. Beberapa cuplikan di sana mengindikasikan perombakan pada elemen eksplorasi dan pertempuran, semuanya telah saya rangkum di artikel ini. Tapi ada sejumlah informasi penting lagi tentangnya yang tidak dibahas di live-stream PlayStation State of Play, misalnya terkait bagaimana game ini disajikan dan kapan bisa kita nikmati.

Kabar pertama dilaporkan Gematsu berdasarkan info yang mereka peroleh dari blog resmi berbahasa Jepang milik Square Enix. Sang developer menjelaskan bahwa ada banyak pertimbangan yang mereka lakukan demi menghidupkan kembali Final Fantasy VII di PlayStation 4. Salah satu bagian terunik adalah proses pengembangan ‘dalam beberapa bagian’ atau ‘secara terpisah’. Deskripsi ini memang terasa ambigu, dan menimbulkan sejumlah pertanyaaan.

Apakah itu artinya remake Final Fantasy VII akan disajikan dalam beberapa bagian berbeda (per episode) atau maksudnya ialah dikerjakan oleh beberapa tim sekaligus? Square Enix berjanji akan mengungkap segala detailnya pada bulan Juni besok, kemungkin besar ketika E3 2019 dilangsungkan. Saya pribadi penasaran mengenai platform ketersediaan game. Buat sekarang memang hanya PlayStation 4 yang baru dikonfirmasi, tetapi sudah lama Square Enix merilis Final Fantasy sebagai judul multi-platform.

ffvii_remake_02

Info selanjutnya merupakan kabar gembira bagi Anda yang sudah tidak sabar menyambut peluncuran game. Secara mengejutkan, kita telah dipersilakan buat melakukan pre-order Final Fantasy VII remake walaupun saat ini pemesanan baru bisa dilakukan via Amazon khusus untuk edisi standar versi PlayStation 4. Belum ada opsi edisi spesial, tetapi para pemesan dijanjikan akan mendapat bonus, walaupun belum diketahui seperti apa hadiah-hadiah tambahannya.

Satu hal menarik dari pre-order di Amazon adalah, Anda dijamin selalu mendapatkan harga termurah – entah apakah nanti ada kenaikan harga, atau harganya malah merosot (seperti Mortal Kombat 11). Ketika itu terjadi, Anda akan mendapatkan refund. Di situs e-commerce raksasa itu, Final Fantasy VII dibanderol US$ 60.

Final Fantasy VII Remake.

Tambahan: Gamespot.

Headset Audeze LCD-GX Diciptakan untuk Gamer yang Kebetulan Juga Seorang Audiophile

Saya yakin tidak banyak gamer yang mengenal perusahaan bernama Audeze, kecuali mereka juga punya hobi di bidang audio. Selama berkiprah sejak 2008, nama Audeze lebih populer di kalangan audiophile, akan tetapi per tahun lalu, mereka mulai merambah segmen gaming lewat headset bernama Mobius.

Eksperimen mereka di ranah baru ini rupanya membuahkan hasil yang cukup positif. Buktinya, mereka baru saja mengumumkan gaming headset kedua mereka. Dijuluki Audeze LCD-GX, wujudnya memang sama sekali tidak mencitrakan sebuah gaming gear, sebab memang target pasar yang diincar adalah para gamer yang kebetulan juga masuk di kalangan audiophile.

Itulah mengapa desainnya menyerupai headphone lain dari lini Audeze LCD, mengadopsi model open-backed demi menyajikan soundstage yang lebih luas, tapi dengan ‘ongkos’ suara akan bocor ke mana-mana, serta suara dari luar yang gampang sekali masuk. Di balik setiap earcup-nya, tertanam driver berteknologi planar magnetic dengan diameter 103 mm.

Audeze LCD-GX

Secara umum, keunggulan utama teknologi planar magnetic adalah dentuman bass-nya yang terdengar bulat dan sangat mantap. Ketika diaplikasikan ke ranah gaming, tentunya ini juga bisa dilihat sebagai hal yang positif, meski saya yakin banyak juga gamer yang lebih memprioritaskan gimmick seperti suara surround dan spatial audio.

Kalau memang itu yang dicari, maka Mobius jelas merupakan pilihan yang lebih tepat ketimbang LCD-GX, belum lagi rencana Audeze untuk menambahkan fitur yang dapat menerjemahkan pergerakan kepala menjadi input keyboard. LCD-GX di sisi lain hanya akan menarik perhatian mereka yang mementingkan kualitas suara di atas segalanya.

Sebagai sebuah gaming headset, tentu saja LCD-GX dibekali sebuah mikrofon, lengkap dengan tombol mute beserta lengan yang fleksibel sehingga masing-masing pengguna bisa menyesuaikan posisinya dengan mudah. Yang cukup menarik, mic ini menjadi satu dengan kabel, dan Audeze menyertakan dua pasang kabel yang berbeda; satu tanpa mic untuk pemakaian di luar sesi gaming.

Secara keseluruhan, Audeze LCD-GX bukan untuk semua gamer, sebab untuk bisa memaksimalkan kinerjanya, Audeze menyarankan untuk menyiapkan amplifier atau DAC terpisah sebagai pendampingnya. Harganya yang dipatok $899 juga merupakan alasan lain ia kurang cocok buat gamer mainstream.

Sumber: The Verge.

Absen di E3 2019 Tak Hentikan Sony Untuk Siapkan PlayStation 4 Edisi Spesial Days of Play

Rencana Sony membubuhkan fitur backward compatibility di console next-gen mereka merupakan strategi yang diperkirakan efektif untuk memperpanjang siklus hidup PlayStation 4. Dan lewat cara ini, koleksi game current-gen favorit akan tetap relevan begitu Anda telah membeli ‘PS5’. Di sisi lain, kita tidak perlu merasa tertinggal seandainya produk anyar tersebut tersedia nanti.

Dan ketika masa senja PlayStation 4 ada di depan mata, Sony Interactive Entertainment malah terlihat tak ragu buat memperkenalkan edisi spesial baru, kali ini untuk memperingati ajang Days of Play di tahun 2019. Kurang lebih setahun lalu, sang console maker Jepang itu sempat meluncurkan PlayStation 4 Days of Play warna biru, namun model anyar ini mengusung pendekatan desain yang berbeda.

PlayStation 4 Limited Edition Days of Play ‘2019’ disingkap di acara live-stream State of Play minggu lalu. Dalam meramu versi ini, produsen memilih model PS4 slim sebagai basisnya. Cukup kontras dari edisi Days of Play tahun lalu, varian tersebut punya penampilan yang lebih simpel. Hilang sudah warna biru mentereng dan decal emas. PS4 Days of Play baru mengangkat tema baja, dengan tubuh abu-abu gelap metalik.

Seperti versi lawasnya, PS4 Days of Play tetap dihias oleh empat simbol segitiga, lingkaran, X dan kotak yang khas. Namun simbol-simbol tersebut kali ini diposisikan secara horisontal. Lihat lebih teliti, baik simbol maupun logo PS di pojok dibuat seperti pahatan dengan finishing brushed. Saya belum bisa memastikan apakah casing disusun dari bahan berbeda (seperti PS4 Pro 500 Million Limited Edition) atau material standar.

Days of Play 2

Tak berbeda dari edisi Days of Play sebelumnya, console dibekali penyimpanan berupa hard disk 1TB dan dibundel bersama Dual Shock bertema serupa dengan warna metalik. Saya menduga, unit controller kemungkinan juga dijual secara terpisah.

Days of Play 3

Untuk sekarang, Sony belum mengumumkan kapan PlayStation 4 Days of Play edisi 2019 ini akan tersedia dan berapa harganya, tetapi ada peluang besar produsen mematoknya di kisaran US$ 300 atau setara PS4 standar – hanya saja jumlah unitnya yang terbatas. Melihat dari kebiasaan sang perusahaan sebelumnya, Sony boleh jadi akan mengungkap segala detailnya menjelang akhir bulan Mei, sebelum E3 2019 berlangsung.

Days of Play 4

Membahas soal E3 2019, Sony telah mengonfirmasi ketidakhadirannya di ajang gaming terbesar tahun ini. Meski demikian, mereka tetap menyempatkan untuk melangsungkan pengumuman penting via State of Play, di antaranya penyingkapan Riverbond, Away: The Survival Series, remake MediEvil, Predator: Hunting Grounds, dan tentu saja update terkait remake Final Fantasy VII.

Days of Play 5

Via SlashGear.